Jumat, 01 Januari 2010

BALI BANJIR DARAH 1945-1965

Bali Banjir Darah: Revolusi—Ideologi—Pembantaian (1945—1965)
Oleh: Syafaruddin Usman MHD--Isnawita Din

Menyusul kudeta militer Indonesia dan anasir komunis pada Oktober 1965, pulau Bali meledak dalam kekerasan politik yang menyebabkan kira-kira 80.000 orang, atau sekitar 5 persen penduduknya, tewas. Dalam hal intensitas dan proporsi penduduk yang terbunuh, kekerasan di Bali itu bisa jadi melebihi yang disaksikan di Jawa pada masa yang sama. Penduduk di seantero pedesaan dieksekusi, para korban ditembak dengan senapan otomatis atau dicincang sampai mati dengan belati dan parang. Konon, sejumlah pembunuh meminum darah korbannya atau berjingkrak-jingkrak di atas sekian banyak orang yang mereka habisi.



Orang mungkin mengira bahwa kejadian tersebut akan merangsang suatu perbincangan serius tentang masyarakat dan politik Bali. Betapapun, pembantaian tidak cocok dengan pandangan yang diterima luas bahwa Bali adalah surga dunia, dengan warganya yang artistik dan sangat religius hidup harmonis bersama alam dan sesama. Namun demikian, jauh dari memancing suatu pertimbangan kembali terhadap citra yang sangat lazim tentang Bali atau perdebatan mengenai politiknya, pembantaian itu telah diperlakukan entah sebagai bukti dari pra-anggapan tentang eksotisme Bali, atau sebagai anomali tak mengenakkan yang kiranya lebih baik dilupakan.



Berbagai referensi terkenal tentang pembunuhan itu mengarahkan perhatian pada sikap tenang dan bermartabat dari para tersangka komunis yang dianggap menyerahlan diri untuk dieksekusi, seolah menyiratkan bahwa pembantaian hanyalah salah satu dari sekian banyak misteri Bali yang eksotik, atau bahwa jika orang Bali sanggup menerima kematian dengan kepasrahan yang begitu dalam.

Sejauh yang telah dibahas tuntas oleh para akademisi, kekerasan pascakudeta itu umumnya dilukiskan sebagai suatu penyimpangan historis, yang disebabkan oleh campur tangan yang disesalkan dari pihak luar: komunis, Sukarnois, orang Jawa, sehingga tak pelak lagi menebarkan pndangan yang sangat lazim tentang Bali yang harmonis dan apolitis. Sejumlah ulasan menyoroti, meski hanya sepintas lalu, elemen-elemen lain dari wacana standar tentang Bali, seperti religiusitas yang mendalam dari rakyatnya dan sisi liar yang eksotik dari budaya mereka, untuk menjelaskan kekerasan itu. Pembantaian itu sering kali digambarkan, misalnya, sebagai konsekuensi dari hasrat Bali yang mengakar secara religius untuk membebaskan pulau ini dari malapetaka dan memulihkan keseimbangan kosmis.



Pada masa pra-kolonial, Bali berada dalam kondisi persaingan politik dan peperangan yang nyaris terus menerus di antara para pangeran kecil, raja, dan dipertuan. Penaklukan akhir Belanda atas riga kerajaan Bali yang terakhir, antara 1906 dan 1908, tercapai di tengah banyak pertumpahan darah, dan hanya setelah beberapa kampanye militer Belanda melawan kerajaan-kerajaan lain di pulau itu digelar pada 1846. Bahkan, selama masa pemerintahan Belanda, perdamaian dan ketertiban (rust en orde) yang kasatmata telah menyelubungi konflik serius tentang kasta dan juga isu-isu politik dan ekonomi. Selama revolusi nasional, 1945-49, yang jelas-jelas merupakan konflik antara orang Indonesia dan orang Belanda, sekitar 2.000 orang Bali tewas, kira-kira sepertiganya berperang di pihak Belanda. Pada 1950-51, tak lama setelah kemerdekaan, geger baku hantam dan baku bunuh memakan ratusan korban jiwa, dan sejak 1953 sampai 1956, gerombolan bersenjata menjelajah pedalaman tanpa tersentuh hukum terlibat dalam pemerasan dan tindak intimidasi politis dan pembunuhan, dan banyak di antaranya berkaitan dengan pemilu nasional 1955. Pada awal 1960-an, antagonisme antara dua partai politik besar, partai komunis (PKI) dan partai nasionalis (PNI), serta konflik pahit menyangkut perombakan penguasaan tanah (land reform) memicu konfrontasi masa yang sengit, bakar-bakaran, gontok-gontokan, dan bunuh-bunuhan.



Sejarah politik Bali modern harus memberikan penjelasan yang masuk akal, setidaknya terhadap dua problem sejarah yang utama. Pertama, sejarah tersebut harus bisa menjelaskan sekian banyak variasi dalam pola politik Bali dari masa ke masa. Sebab, meski perhatian terhadap konflik dan kekerasan dalam sejarah Bali itu penting, juga harus menyoroti secara analitis. Kedua, sejarah tersebut harus menerangkan karakter politik Bali, dan khususnya, perbedaan dari politik di berbagai bagian lain Indonesia. Mengapa, misalnya, politik Bali pada abad lalu mengungkap konflik di kalangan orang Bali, berdasarkan kasta, kelas, pertalian keluarga, dan sejenisnya, dan bukan antara orang Bali dan kelompok etnis lain, harus menerangkan ketidakhadiran historis dari gerakan politik kesukuan atau kedaerahan yang kuat di Bali, dan serentak dengan itu, menerangkan kekuatan konflik politik antar-orang Bali.



Di balik rust en orde, perdamaian dan ketertiban, yang tampak jelas pada zaman kolonial, 1908-42, kebijakan Belanda memperburuk ketegangan sosial dan ekonomi lama serta membangkitkan ketegangan baru. Rezim kolonial, yang dibikin cemas oleh apa yang dilihat sebagai bukti dari bangkitnya komunisme dan nasionalisme pada dekade 1920-an, melancarkan kebijakan untuk memulihkan tradisi Bali. Proyek ini menuntut dihidupkannya kembali, dalam sejumlah kasus, diciptakannya, berbagai praktik kultural, religius, dan hukum yang tradisional. Proyek ini juga meminta dipulihkannya keluarga-keluarga penguasa lama, yang para anggota terkemukanya, yang pernah dianggap lalim ole Belanda dan dikirim ke pengasingan, kini dipandang sebagai penjamin mutlak dari tatanan tradisional yang harmonis.



Keruntuhan rezim kolonial Belanda dan pemberlakuan administrasi militer Jepang yang sama kuatnya pada Maret 1942 menandai dimulainya masa perubahan yang mendalam pada politik Bali. Dilanjutkannya pemerintahan tak langsung oleh Jepang, digabung dengan sistem penghisapan kekayaan yang kian kejam, memuncakkan konflik yang ada di kalangan orang Bali dan menimbulkan konflik baru. Sementara kekuasaan dahsyat negara Jepang, sebagaimana negara Belanda sebelumnya, mencegah pertentangan atau konflik politik terbuka, beragam upayanya dalam meobilisasi penduduk Bali untuk kepentingan perang memberi pengalaman yang tak pernah didapat sebelumnya bagi banyak pemuda Bali dalam organisasi politik dan militer. Upaya tersebut juga menimbulkan perubahan penting dalam hal wacana politik di Bali.



Signifikasnsi politis dari perkembangan itu menjadi jelas dengan runtuhnya kekuasaan negara Jepang dan proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh pemimpin kaum republikan, Sukarno, pada Agustus 1945. Orang Bali segera mulai bergerak secara politis dan militer demi membela dan menentang Republik Indonesia yang baru dideklarasikan, dan melunaskan dendam lama pada para tersangka kolaborator.



Dalam hasratnya untuk kembali ke Hindia, para ahli strategi Belanda gagal memperhitungkan perubahan yang dialami Bali semenjak 1942. Masih percaya bahwa Bali tidak berminat dalam politik, dan bahwa masyarakatnya tertata rapi dan harmonis, mereka menyimpulkan bahwa tak ada, atau hanya sedikit, perlawanan terhadap pemberlakuan kembali pemerintahan Belanda pada 1946. Mereka keliru, ketika mendarat di Pantai Sanur pada Maret 1946, pasukan Belanda memasuki pulau yang sudah terpecah di antara para pendukung dan penentang kemerdekaan Indonesia. Perlawanan militer yang sengit oleh tentara republik di Bali berlangsung sampai 1948, dan sesudah itu perjuangan politik terus berlanjut. Merespons perlawanan ini, para ahli strategi Belanda mulai memakai orang Bali yang bermaksud baik dan para pemimpin feodal mereka untuk memata-matai, melaporkan, dan membunuh kaum republikan, yang mereka tuding sebagai teroris. Dengan cara ini, strategi Belanda mndorong permusuhan dan bentrokan terbuka di kalangan orang Bali. Menjelang akhir 1949, sekitar 2.000 orang Bali tewas, kira-kira 700 orang di pihak Belanda yang berperkara, dibanding hanya segelintir serdadu Belanda.



Perkembangan politik eksternal terus mempengaruhi pelbagai konflik lokal selama mara revolusi.sesudah 1946, beberapa negara: Reublik, kolonial Belanda, dan Negara Indonesia Timur (NIT) yang disetir Belanda, bersaing memperebutkan kekuasaan tertinggi di Bali. Orang Bali tidak berpaling secara seragam kepada salah satu dari pusat-pusat politis tersebut, tapi kepada semuanya dengan kadar berbeda-beda dan pada waktu yang berlainan. Pengarahan dan rangsangan yang merebak dari pusat-pusat yang bergeser itu membantu membentuk strategi politik dan militer berbagai kelompok yang berbeda di Bali, sering kali dengan cara yang sangat terperinci. Lebih penting lagi, mereka bersinggungan dengan, dan memperkuat, ketegangan yang sudah ada.



Menjelang 1949, terjadi perselisihan hebat antara orang Bali yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan mereka yang bekerja sama dengan Belanda dan negara bonekanya, NIT. Perselisihan politik ini juga memiliki dimensi kultural yang kuat. Kaum republikan berbicara tentang perlunya menghapuskan hak-hak istimewa feodal dan kasta, sementara lawannya berbicara soal perlunya melestarikan tradisi dan kebudayaan Bali. Dinamika politik nasional dan internasional juga membantu mengaksentualisasikan keterbelahan di dalam kubu kaum republikan, yang khususnya penting adalah keretakan antara badan utama para pejuang kemerdekaan yang turun gunung pada awal 1948, setelah ditandatanganinya persetujuan gencatan senjata antara Belanda dan republik (Perjanjian Renville), dan mereka yang meneruskan perjuangan bersenjata sampai Januari 1950.



Tercapainya kemerdekaan Indonesia pada akhir 1949 tidak mengakhiri konflik politik di kalangan orangBali. Sebaliknya, perselisihan antara kaum kolaborator, tulen atau tersangka, dan kaum republikan, serta keterbelahan di dalam kubu kaum republikan itu sendiri, terus diekspresikan melalui kekerasan politik terbuka dan perjuangan yang berlarut-larut untuk mengontrol aparatus negara lokal. Walaupun riasan sosial dan politik para protagonisnya berubah sepanjang lima belas tahun berikutnya, perjuangannya pada hakikatnya tetap tidak kunjung selesai. Pada 1965, menjelang kudeta Oktober, pelbagai golongan yang bertentangan secara diametral dalam politik, ekonomi, dan kepentingan kelas mengontrol elemen-elemen aparatus negara yang berbeda, seperti militer, polisi, briokrasi, dan eksekutif. Kudeta ini menyediakan dalih dan kesempatan bagi konsolidasi kekuasaan politik satu golongan, dipimpin PNI, atas tanggungan golongan lain, PKI dan sekutunya.



Dari 1950 sampai 1965, konflik politik ditransformasikan oleh kondisi ekonomi yang memburuk dengan serius, kebijakan ekonomi pemerintah, dan perubahan serentak pada struktur kelas Bali. Implementasi agresif perombakan penguasaan tanah di Bali, dipimpin PKI dan organisasi petaninya, serta dibantu oleh elemen-elemen kunci dalam negara lokal, turut meningkatkan polarisasi politik di sepanjang silsilah kelas sesudah 1963. Perjuangan demi tanah menyiapkan panggung bagi reaksi hebat dan keras oleh para tuan tanah dan sekutunya dalam PNI setelah kudeta dan kudeta balik antikomunis Oktober 1965.



Konflik politik di kalangan orang Bali kian diperkuat oleh ketergantungan finansial negara lokal terhadap pusat, dan oleh bangkitnya kaum borjuis Bali baru dengan ikatan erat pada negara lokal. Tak punya otonomi finansial apa pun yang signifikan, negara lokal tidak memiliki sarana maupun motivasi untuk mendukung pemberontakan daerah melawan pusat pada akhir dekade 1950-an. Sebaliknya, negara lokal jadi bertindak selaku pengedar lokal patronase, dengan kaum borjuis pribumi sebagai pemetik keuntungan utamanya. Sistem ini memunculkan dugaan tentang bias dan kronisme politik dan menambah dinamika konflik politik lokal. Ketika negara lokal semakin bergeser ke kiri pada dekade 1960-an, dengan Gubernur Suteja yang Sukarnois selaku pemimpin, banyak pihak yang merasa tersisihkan dari alur patronase berbondong-bondong mendukung PNI, sehingga memperkencang reaksi politik melawan PKI dan Suteja sesudah Oktober 1965.



Menjelang awal dekade 1960-an, perjuangan demi kekuasaan negara lokal di Bali terekspresikan lewat meningkatnya pengerahan massa siap tempur dan konfrontasi antara para pendukung PNI dan PKI. Dengan demikian, ribuan rakyat awam menjadi berbagi ikatan solidaritas yang kuat dengan para anggota lain dalam organisasi politiknya, dan antagonisme yang mendalam terhadap mereka yang berada di kubu lawan.



Bersama kondisi ekonomi yang memburuk dengan serius, gugusan bencana alam dan wabah sampar pada awal dekade 1960-an memicu spekulasi bahwa Bali sedang mengalami ketidakseimbangan kosmis. Letusan Gunung Agung pada 1963, di tengah berlangsungnya upacara agama yang jelimet untuk memulihkan keseimbangan itu, dilihat sebagai alamat malapetaka yang lebih besar. Bertepatannya peristiwa ini dengan bangkitnya militansi PKI, dan khususnya dengan kampanye perombakan penguasaan tanahnya yang agresif, memunculkan dugaan bahwa PKI, entah bagaimana, bertanggung jawab atas ketidakseimbangan tersebut. Usulan semacam itu dengan sadar ditiupkan oleh PNI, dan pihak-pihak lain yang, karena alasan lain, merasa terancam oleh, atau antagonistik terhadap, PKI. Menggemakan tuduhan Belanda dan kaum konservatif Bali terhadap kaum republikan selama revolusi, mereka mencap PKI Bali sebagai anti religius dan musuh kebudayaan Bali. Tuduhan ini tak pelak lagi mengaksentuasikan intensitas konflik pada dekade 1960-an dan menyediakan motivasi dan dalih yang ampuh untuk penghukuman keras sesudah kudeta 1965.



Sesudah terciptanya negara Republik kesatuan pada Agustus 1950, sejumlah besar para penantang kekuasaan negara tetap bercokol di pinggiran negeri. Menjadi tugas partai-partai politik di tingkat nasional, militer, dan individu-individu seperti Sukarno, untuk meluaskan kekuasaan pusat ke kawasan-kawasan itu. Kendati kekuatan militer Republik berhasil memadamkan berbagai upaya dini untuk mendirikan pusat-pusat kekuasaan independen di luar Jawa, negara tidak cukup kuat membersihkan seluruh sisa-sisa otoritas mirip negara yang sudah lama atau baru muncul di daerah-daerah yang jauh. Sesungguhnya, dalam hal tertentu, situasi di Indonesia pada dekade 1950-an amat mirip dengan situasi Asia Tenggara tempo dulu.



Setidaknya sejak peralihan abad, otoritas politik di Bali telah bersandar pada, dan dikangkangi oleh, kekuasaan negara luar yang silih berganti. Mula-mula Belanda, lalu Jepang dan, selepas 1946, kombinasi Belanda dan NIT. Tak pernah ada institusi politik se-Bali sebelum pemerintahan kolonial, dan sesudah pemerintahan kolonial tamat riwayatnya, tidak ada struktur baru yang sanggup bertahan memerintah keseluruhan pulau ini. Struktur politik yang tersisa di atas level kerajaan individual, Dewan Raja-raja, Paruman Agung dan birokrasi Karesidenan, amat bergantung pada dukungan politik dan militer dari otoritas kolonial luar. Dengan ambruknya kekuasaan Belanda dan NIT pada 1949-1950, otoritas badan-badan itu jadi melempem, dan banyak personelnya terpuruk secara politis. Jadi, pada 1950 Bali sekonyong-konyong ditingglkan tanpa aparatus negara lokal yang kuat.



Pada umumnya, dinamika interaksi nasional-lokal berperan melemahkan kecenderungan ke arah gerakan kesukuan se-Bali yang mengekspresikan tuntutan vis-a-vis negara pusat, tapi kini sebaliknya justru mempertajam konflik politik di kalangan orang Bali. Ada satu perkecualian dari kecenderungan ini. Perdebatan tingkat nasional pada dekade 1950-an perihal kebijakan keagamaan dan tempat agama dalam konstitusi menyulut keprihatinan di kalangan pemimpin Bali, tanpa membedakan keyakinan politik mereka.



Untuk beberapa lama, perdebatan ini mendorong tingginya kesadaran tentang kekhasan religius dan kultural Bali. Inilah pengalaman terdekat Bali dengan gerakan kedaerahan seperti yang bagkit di daerah-daerah di negeri ini pada tahun-tahun itu. Namun demikian, atas bantuan negara pusat, isu-isu keagamaan yang panas itu secara signifikan bermuara pada penyelesaian yang berpihak kepada Bali, sehingga sentimen etnis atau regional apa pun terhadap pusat kembali meretas konflik politik di kalangan orang Bali sendiri.



Pada awal dasawarsa 1950-an, terkesan kuat seakan-akan Hinduisme-Bali tidak mendapat pengakuan resmi dari negara pusat sebagai agama, karena tidak mudah mencocokkannya dengan kriteria pemerintah, yaitu adanya kitab suci, iman kepada Tuhan yang esa dan seorang nabi, serta pengakuan internasional. Wajar saja jika para pemimpin Bali mengerahkan begitu banyak energi demi mendapatkan pengakuan itu dan mewujudkan sebuah bidang Hindu-Bali tersendiri di Kementerian Agama. Tujuan ini akhirnya tercapai pada 1958, lagi-lagi atas bantuan Sukarno.



Sejumlah organisasi politik-keagamaan didirikan sebagai bagian dari upaya ini. PAHB (Panti Agama Hindu Bali), yang dibentuk di Singaraja pada 1951, tampaknya adalah organisasi pertama yang mengajukan permintaan formal terhadap sebuah seksi yang terpisah dan setara untuk Hinduisme-Bali di Kementerian Agama. Parisada Hndu Dharma, didirikan pada 1959, telah bertahan menjadi badan tertinggi yang mengatur urusan Hindu-Bali di seluruh Indoneia..



Antara 1950 dan 1965, Sukarno kerap campur tangan secara langsung untuk mengubah jalannya politik Bali, biasanya dengan menguntungkan unsur-unsur pemuda yang lebih condong ke sayap kiri. Intervensi semacam itu memancing reaksi marah dari PSI maupun PNI seempat dan memanaskan ketegangan politik. Barangkali intervensi Sukarni yang paling penting adalah pilihannya kepada Suteja untuk menjadi gubernur provinsi Bali yang baru saja diciptakan pada 1958. Anak Agung Bagus Suteja, pemimpin pemuda yang sangat berpengaruh dan putra raja Jembrana, pernah dianggap berbahaya secara politis oleh Belanda karena cerdas, ultra-kiri, dan berkasta tinggi, sebuah kombinasi yang langka.



Upaya Belanda untuk mengkooptasi Suteja dengan menunjuknya sebagai Punggawa Mendoyo, Jembrana, pada 1946, kandas secara menyedihkan, ketika dia menggunakan hak istimewa jabatannya untuk membantu perlawanan bersenjata. Masa belajar di Makassar pada 1947 dan masa kerja yang singkat sebagai asisten administratif di kantor raja Klungkung, keduanya dimaksudkan Belanda untuk menjauhkannya dari masalah, hanya berhasil membuat Suteja jadi lebih dikenal luas dan semakin matang untuk menduduki jabatan politik. Pada 1949, ia ikut mendirikan organisasi pemuda, Gerpindo, dan belakangan terpilih sebagai ketua organisasi pemuda payung, KPNI.



Pada 1958, provinsi Sunda Kecil dibagi menjadi tiga provinsi baru: Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bali. Bali secara resmi menjadi provinsi pada 14 Agustus 1958, dengan ibukota di Singaraja, pada 1960, ibukota provinsi dipindahkan ke Denpasar, sampai sekarang. Terpilihnya Suteja sebagai gubernur dan, pada 1961, sebagai Penguasa Pelaksanaan Dwikora Daerah (Pepelrada) menyimbolkan hubungan istimewanya dengan sang presiden. Menjelang 1965, praktis tak ada orang Bali yang tidak tahu bahwa Suteja adalah anak kesayangan Sukarno. Reputasi ini meningkatkan otoritasnya dan mempengaruhi kekuatan relatif partai-partai politik Bali.



Seperti Sukarno, Suteja melihat manfaat untuk tidak menjalin komitmen formal dengan partai mana pun, untuk berdiri di atas politik. Sebagaimana Sukarno juga, tak urung dia akhirnya dipandang sebagai simpatisan dan pelindung Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai nasionalis kiri, Partindo. Oleh karena itu, hampir-hampir tak mengejutkan jika kedua partai ini menjadi begitu populer menjelang 1965. Tidak pula mengherankan kalau kedua orang ini menjadi target kekuatan antikiri sesudah kudeta Oktober 1965.



Demokrasi Terpimpin dicirikan oleh surunya partai-partai kecuali PKI dan lembaga-lembaga parlementer, bangkitnya Angkatan Darat, menguatnya kekuasaan Partai Komunis dan pengaruh Presiden Sukarno yang nyata-nyata dominan. Meski sistem baru ini dirancang untuk membatasi kompetisi dan mobilisasi politik terbuka, efeknya justru sebaliknya. Partai-partai politik, kecuali PSI dan Masyumi yang dilarang pada 1960, terus berlomba memperebutkan kekuasaan, namun dengan tiadanya pemilu, upaya mereka menemui jalan buntu. Karena pos-pos politik, baik legislatif maupun eksekutif, kini ditentukan oleh keputusan eksekutif yaitu presiden, terbukalah ruang untuk lobi melobi, manipulasi, dan pertikaian yang tak kunjung reda.



NEGARA PRIBUMI

Kearifan yang mebuai dari para pkar dan birokrat Bali zaman pra-perang pada pokoknya tetap tak tergoyahkan selama masa pemerintahan Jepang hingga memasuki 1946. Bali terus dipandang oleh kaum pejabat Belanda dan kebanyakan pakar asing sebagai tempat yang secara khas nyaris bebas dari pengaruh politik, dalam hal ini yang dimaksud terutama adalah nasionalisme dan komunisme. Sebuah tinjauan umum Nefis, Dinas Intelijen Tentara Belanda, dalam Nefis overzicht gegevens over Bali pada 1946 cukup berkomentar bahwa secara umum, orang Bali kurang berminat kepada politik.



Orang boleh saja berharap perjuangan politik sengit yang merebak pada 1945 akan membongkar kelemahan pandangan tentang Bali sebagai sejenis surga terakhir, tapi citra romantik ini terbukti luar biasa bandel. Sebuah ekspresi mencolok tentang pandangan ini termuat dalam instruksi yang disusun oleh seorang perwira Brigade Bali/Lombok, Kapt JBT Konig untuk batalion pasukan serbu Belanda yang datang pada Juli 1946. Sketsa Konig mengenai ciri khas orang Bali tak jauh berbeda dari jenis yang biasa terdapat di brosur-brosur pariwisata zaman pra-perang. Dia menuliskan: “Orang Bali adalah manusia oriental yang luar biasa. Ia sangat cinta seni, dan mengekspresikan dalam musik, tari-tarian, pahatan dan kerajinan perak. Walaupun pecundang karena pengecut, orang Bali percaya diri sehingga sangat bebas bergaul dengan orang lain, termasuk orang Eropa, tapi dengan cara yang enak. Ia jenaka dan suka berkelakar. Watak ini jelas bagian dari alasan sukses besar turisme di sini …”



Sampai batas tertentu, kekukuhan pandangan tersebut disebabkan oleh relatif langkanya bukti yang bertentangan dengannya hingga awal 1946. Informasi dari dalam Bali selama pendudukan Jepang luar biasa langka, dan bahkan sesudah Jepang kalah pun, laporan politik jumlahnya terbatas dan keandalannya meragukan. Salah satu dari segelintir orang Eropa yang tinggal di Bali selama masa pendudukan Jepang, musisi Swiss, Schlager, telah meninggalkan pulau ini pada September 1945, sebelum kerusuhan politik benar-benar dimulai. Karena itu, laporannya kepada dinas intelijen Inggris dan Belanda mungkin memberikan kesan yang lebih menyenangkan tentang situasi di Bali, daripada seandainya dia tinggal lebih lama di Bali.



Namun demikian, problem ini saja tak bisa menjelaskan kukuhnya citra romantik tersebut, karena bukti tentang kerusuhan dan kekerasan politik di Bali dikantongi Belanda beberapa tahun sebelum pendudukan kembali. Sebuah laporan Nefis pada Januari 1946, misalnya, menunjukkan bahwa sudah sejak Oktober 1945, Belanda tahu tentang pertempuran di Bali, pembentangan alangan di jalan dan barikade, penyelundupan senjata, dan keberadaan pusat-pusat perlawanan di seantero pulau. Laporan ini bahkan menyimpulkan bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, perlawanan bersenjata terhadap operasi pendaratan tidak bisa dikesampingkan. Laporan intelijen Inggris pada Desember 1945 membeberkan lebih jauh lagi: Para ekstrimis lebih unggul dan punya pasukan bersenjata di Denpasar, Tabanan, Karangasem, Gianyar dan Singaraja. Pendaratan sekutu di dekat titik-titik ini akan dilawan dengan kekerasan”. Sesungguhnya kebanyakan laporan intelijen, Belanda, Inggris dan Jepang, mengindikasikan kerusuhan di Bali.



Belanda kelewat optimis tentang mudahnya menduduki kembali Bali. Keyakinannya begitu besar, sampai-sampai rencana awal pendudukan, kembali didasarkan pada dugaan bahwa tidak akan ada perlawanan. Laporan Angkatan Laut Belanda sejak November 1945 memprediksikan bahwa kalau sejumlah pasukan ditaruh di tempat-tempat penting, kondisi masa pra-perang jelas akan kembali dalam tempo yang sangat singkat.



Logika pikiran militer Belanda digelayuti kenangan akan tahun-tahun pra-perang. Karena gerakan perlawanan pada hakikatnya dipandang sebagai kerjaan segelintir kaum biang kerok ekstrimis, sehingga dianggap tak punya basis massa riil atau agenda politik apa pun yang bermakna, maka diasumsikan bahwa mereka dapat ditumpas dengan mudah melalui penggunaan unjuk kekuatan yang sigap (machtsvertoon), yang akan membuat segenap penduduk jadi terkesan dan meyakini aksi Belanda. Tanpa pemimpin, dan amat terpukau pada kekuatan militer Belanda yang perkasa, perlawanan diasumsikan akan amblas dalam sekejap.



Persepsi bahwa orang Bali akan menyambut kembalinya Belanda adalah sejalan dengan kepercayaan bahwa orang Jawa adalah sumber agitasi politik di Bali. Nyaris tanpa kecuali, para perwira KNIL dari Brigade Bali/Lombok mengklaim bahwa perlawanan di Bali adalah kerjaan orang Jawa dan bukan orang Bali. FJM van Gessel, komandan Cie 1st Batalion Xe Brigade Bali/Lombok mengatakan bahwa pasukan Belanda merasa dekat dengan orang Bali normal. Betapapun mereka mengejar orang Jawa, bukan Bali. Gessel juga mengklaim bahwa serdadu Belanda mampu membedakan antara orang Bali dan orang Jawa, dan mengarahkan tembakan mereka kepada orang Jawa. Meskipun demikian, sekitar 1.400 orang Bali menjadi korban patroli KNIL.



Opini ini, mededeeling gegevens Bali, diungkapkan dengan gamblang oleh Kapten Konig dalam instruksi Juli 1946 yang ditujukannya kepada pasukan serbu Belanda. Gerakan republikan, tulisnya, telah gagal melawan hati rakyat Bali karena diimpor dari Jawa, dan rakyat Bali sangat sedikit simpatinya kepada apa pun yang datang dari Jawa, karena takut kelak terpuruk di bawah dominasi Jawa. Pandangan bahwa orang Bali tak ada hubungannya dengan revolusi, dan bahwa kerusuhan tidak punya basis sosial yang riil, menguatkan kepercayaan pada strategi machtsvertoon. Jika militer dapat meringkus atau membinasakan para dedengkot teroris Jawa, pikir mereka, Bali akan cepat kembali ke tertib yang lazim dan harmoni sosialnya semula. Namun demikian, meskipun benar bahwa sejumlah aktivis di Bali berasal dari Jawa dan bahwa gagasan republikan bersumber dari Jawa, tetapi mayoritas yang amat banyak dari para pemimpin, aktivis, simpatisan dan korban, adalah orang Bali. Dari sekitar 2.100 korban tewas selama revolusi di Bali, kira-kira 2.000 korban adalah orang Bali.



Sejumlah perwira militer pun menentang penggunaan metode kekerasan di Bali. Di antaranya adalah komandan pertama Brigade Bali/Lombok, Letkol FH ter Meulen. Kendati tidak menentang permberlakuan kembali pemerintahan Belanda di Indonesia, ia terang-terangan menolak menggunakan kekerasan, kecuali tak ada pilihan lain. Dalam Force Operation Order no 2B, 22 Februari 1946, dia menyatakan maksudnya untuk menduduki Bali tanpa melepaskan satu tembakan pun. Dalam perintah operasi sebelumnya, Meulen memberi peringatan atas penggunaan metode kekerasan sebagai berikut: “Sekali tembakan bukan alasan untuk menembak. Dengan mengerahkan kekuatan pasukan yang memadai, mungkin penduduk akan urung melakukan perlawanan, dan hubungan persahabatan dengan penduduk akan terbangun secepat mungkin”.



Pada 1945-46, banyak mantan tawanan perang yang tergabung dalam Brigade Bali/Lombok ingin kembali ke Hindia untuk membalas dendam terhadap kaum pemuda yang dilaporkan telah menistakan para istri dan orang-orang tercinta yang dipenjara di Jawa, terhadap kaum republikan Indonesia, yang jelas-jelas telah berkolaborasi dengan sang musuh, Jepang, terhadap semua orang Indonesia yang berani-beraninya merampas kendali negeri yang mereka rasakan sebagai milik sendiri. Tatkala pasukan Belanda pertama diizinkan mendarat tanpa bantuan di Indonesia, mereka merasakan betul bahwa Brigade Bali/Lombok menjelma jadi garda depan untuk melakukan pembalasan itu dan merebut kembali Hindia Belanda dari kaum perampas. Jenderal GH de Kleijn, saat itu komandan kompi, di kemudian hari mencatat bahwa moral brigade ini tinggi: “Kami semua gatal bertempur. Anda harus mengerti, kami hanya punya satu bendera dan satu ratu”.



Dalam pekan-pekan dan bulan-bulan pertama setelah pendudukan kembali, tentara KNIL sering bertindak indisipliner, membumihanguskan desa-desa, menembaki banyak orang yang tak tahu menahu tentang gerakan perlawanan, dan bahkan memberondong desa-desa dari pesawat B-25 dan Piper Cup, biarpun ada perintah gamblang dari Panglima Tertinggi Angkatan Perang Sekutu yang melarang penggunaan pesawat terbang untuk aksi penyerangan. Telegram-telegram rahasia dari Markas Divisi Infanteri Kelima Sekutu di Surabaya mengindikasikan bahwa aksi-aksi di Bali ini bukan saja melanggar instruksi umum, tapi masih terus terjadi setelah turun perintah gamblang untuk menghentikannya. Antara pertengahan Mei dan pertengahan Juni 1946, sekitar 180 orang Bali dibunuh KNIL dan lebih dari 1.500 orang ditawan.



Situasi ini membentuk karakter gerakan perlawanan di Bali, setidaknya untuk beberapa lama. Dominan dan agresifnya militer para bulan-bulan pertama setelah pendudukan kembali mengandung arti bahwa strategi politik kooptasi, yang digarap di Batavia, perlu waktu untuk meresap. Dengan kepemimpinan republik moderat, KNI, berada di penjara dan pendudukan kembali yang berwujud agresi bersenjata, wajarlah jika perlawanan Bali cenderung berkonsentrasi nyaris eksklusif pada perjuangan bersenjata. Hampir di sepanjang 1946, aksi-aksi KNIL cukup menggila, dan perlawanan gerilya cukup kencang, untuk membuat semua orang Bali (kecuali yang gemar menjilat) berpihak pada kaum revolusioner atau setidaknya diliputi sikap gamang yang penuh kehati-hatian. Maka, untuk beberapa lama revolusi di Bali berkarakter bentrokan militer antara orang Indonesi dan negara kolonial.



Menjelang penghujung 1946, pola konflik mulai berubah dengan sangat signifikan. Dalam jangka panjang, secara paradoksal pendekatan manusiawi Letkol ter Meulen dan para ahli strategi sipil berperan penting dalam mengarahkan orang Bali untuk berperang di kalangan mereka sendiri. Sebagaimana para ahlu strategi militer yang lebih konvensional, mereka menerima keniscayaan dan kelayakan untuk memisahkan para pemimpin ekstrimis dari massa rakyat. Pada Januari 1946, ter Meulen menulis: “Namun demikian, sangat mungkin bahwa sejumlah ekstrimis dari tempat lain berdiam di Bali”. Perlakuan manis dan penuh pengertian yang direkomendasikan Letkol ter Meulan hanya menjadi strategi yang manusiawi sepanjang pembedaan antara kaum ekstrimis dan rakyat Bali memang valid. Pada kenyataannya, tidak begitu. Sikap manis demi mewujudkan rakyat Bali yang kooperatif niscaya tidak mengakibatkan permusuhan terhadap kategori ekstrimis luar yang remeh dan abstrak, tapi terhadap sesama orang Bali.



Dengan demikian, selain penggunaan kekuatan militer, strategi pasifikasi Belanda memerlukan kerja sama dengan, dan kooptasi atas, pelbagai elemen yang berbeda dalam masyarakat Bali. Elemen paling penting pertama-tama adalah kaum elit tradisional, seperti para raja dan anggota kelurga bangsawan berpengaruh, kedua, kelompok kecil kaum muda terpelajar Bali, dan ketiga, rakyat jelata Bali baik-baik. Strategi ini cenderung mengutubkan ketimbang menenteramkan rakyat Bali karena memaksa hampir semua orang untuk berpihak, entah kepada pemuda atau kekuatan restorasi. Pilihan yang salah acap kali berakibat serius, bahkan fatal, sehingga kemarahan dan kepahitan yang ditimbulkannya tidak mudah dilupakan bahkan setelah 1949. Tak kalah pentingnya adlah bahwa strategi Belanda ini menggairahkan identitas politik dan kesadaran kultural Bali yang khas, tapi sedikit sekali memberi angin bagi berkembangnya struktur negara yang meliputi seluruh Bali, yang dikendalikan oleh orang Bali.



Di antara mereka yang merencanakan restorasi politik, hanya charles O van der Plas, pejabat kolonial pra-perang yang kembali ke Jawa pada akhir September 1945 sebagai wakil pemerintah Hindia Belanda di markas Mountbatten, yang tampak menginsafi tingkat ketergantungan para raja kepada otoritas Belanda. Sehubungan dengan kekuasaan mereka pada era pra-perang, dia menulis: “Dua raja secara pribadi telah menurutkan kepada saya bahwa, karena kekuasaan dahsyat aparatus kolonial Beland yang menyokong di belakang mereka, kekuasaan mereka sendiri atas desa-desa, jaringan irigasi … pendeknya atas seluruh masyarakat, menjadi jauh lebih besar daripada sebelum pengambilalihan pulau ini oleh Negeri Belanda”.



Terlepas dari adanya keinsafan ini, kesimpulan van der Plas tidak berbeda dari kebijakan umum. Jika para raja menggantungkan kekuasaan mereka pada negara kolonial Belanda, simpul van der Plas, maka pada gilirannya mereka akan menyambut restorasi otoritas Belanda. Akan tetapi, pada Maret 1946, argumen ini kurang andal dibanding enam bulan sebelumnya. Sebagaimana diketahui, vakum kekuasaan sesudah kekalahan Jepang telah memaksa sejumlah raja yang lebih lemah untuk mencari basis dukungan dan legitimasi politik alternatif. Pada saat Belanda tiba, elbagai organisasi pemuda militan dan janji tentang sebuah negara republikan membentuk alternatif yang masuk akal terhadap jaminan kolonial Belanda. Dengan adanya perkembangan ini pun, Belanda terus saja mempertaruhkan masa depan politik mereka di Bali pada para raja.



Para ahli strategi politik tentu saja menyadari bahwa sebuah restorasi feodalisme yang lengkap tidak akan bisa diterima oleh sebagian penduduk Bali, khususnya kaum intelektual muda berpendidikan modern. Jika sistem zelfbestuur mau dipertahankan di Bali, maka Bali harus dimodernkan. Garis besar sistem semacam itu, dalam sebuah surat dari van Mook kepada van der Plas, pada hakikatnya adalah upaya menarik para intelektual Bali ke dalam aparatus negara kolonial sebagai birokrat di kantor residen, tanpa mengutak-atik kekuasaan para raja dan organisasi-organisasi politik lokal. “Alhasil akan sulit menyelaraskan kaum terpelajar Indonesia dengan masyarakat di mana para pangeran turun temurun (raja-raja) dimahkotai dengan otoritas tinggi”, tulis van Mook. Strategi ini juga dipandang sebagai cara untuk memangkas dukungan kepada republik, karena kaum intelektual Bali juga dipahami sebagai nasionalis. Langkah-langkah di jalur ini tampak mendapatkan angin segar dari peristiwa-peristiwa di Jawa pada Oktober dan awal November 1945.



Selain bersandar pada kaum elit tradisional dan sebagian kaum intelektual pribumi, strategi Belanda memerlukan kerja sama erat dengan rakyat jelata Bali yang baik-baik dan loyal. Para warga desa yang loyal hendak digalang untuk memberikan informasi kepada militer mengenai aktivitas sesama warga Bali. Sebuah instruksi militer pada Maret 1946 menyatakan: “Menjadi tanggung jawab semua kesatuan untuk membangun hubungan persahabatan dengan penduduk Bali setempat dan untuk mengorek informasi perihal aktivitas ekstrimis”. Di samping menjadi mata-mata, orang Bali yang loyal diharapkan akan menyumbangkan tenaganya dalam proyek-proyek pembangunan militer, dan bahkan bertempur bahu membahu dengan pasukan reguler KNIL melawan teroris. Tentara mesti menyokong bantuan semacam ini dengan mengorganisasi dan mempersenjatai sendiri orang Bali. Dalam hitungan van der Plas, Belanda bisa mengandalkan dukungan penuh rakyat Bali dalam aksi apa pun untuk menumpas gerombolan pemuda dan perampok.



Buntut tragis strategi ini, sederhananya, pecahnya perang saudara di kalangan orang Bali, tampaknya tidak pernah sepenuhnya disadari oleh pihak berwenang militer atau sipil Belanda. Dalam pandangan mereka, pembedaan antara teroris dan rakyat jelata sudah jelas. Sesungguhnya, jauh dari mencium adanya tragedi yang inheren di dalamnya, mereka melihat pendekatan ini sebagai sarana untuk memulihkan rezim perdamaian dan ketertiban yang secara moral akan memuaskan dan secara tulus akan dihargai rakyat Bali.



Bali dipandang sebagai arena kekuatan-kekuatan sosial yang perlu dijinakkan, dikoordinasikan, diseimbangkan dan dirasionalkan. Otoritas Belanda dulu pernah memainkan peran penting sebagai koordinator, penyeimbang dan perasional, dan diandaikan akan memainkannya lagi. Pendeknya, negara di Bali mestilah Belanda. Secara efektif ini berarti bahwa menjelang 1949, dengan segala perbincangan perihal otonomi Bali, tak pernah ada sebuah negara pribumi yang otoritasnya meliputi keseluruhan pulau. Absennya atau lemahnya tradisi negara seantero Bali terbukti menjadi kunci perkembangan politik Bali revolusioner dan pasca-revolusioner.



Wawasan belanda zaman pra-perang tentang manusia Bali yang apolitis, konservatif secara sosial dan non-kekerasan, tetap tak tertandingi pada 1945-46. Kebandelan wawasan ini di kalangan para ahli strategi Belanda menggiring mereka untuk meremehkan kemungkinan perlawanan keras di Bali, mereka juga kelewat optimis dengan pasifikasi yang hendak dicapai lewat pendkatan machtsvertoon. Strategi ini pada mulanya mengilhami suatu persatuan tertentu di dalam gerakan perlawanan, tapi akhirnya menyemaikan benih konflik politik di kalangan orang Bali dan membuahkan eskalasi kekerasan politik. Persepsi Belanda tentang karakter apolitis manusia Bali juga membutakan para pembuat kebijakan terhadap implikasi serius dari tindakan mendorong para raja untuk membentuk milisi anti-republik.



Kebijakan-kebijakan ini, bersama keputusan untuk menggalang dukungan rakyat jelata Bali di desa-desa dalam pertempuran melawan teroris, menjerumuskan Bali ke dalam perang saudara.



REVOLUSI

Pendudukan kembali Belanda pada Maret 1946, yang mencegah pendaratan besar pasukan dan perbekalan republikan serta menghalangi arus informasi dan instruksi dari Jawa, tak ayal lagi melemahkan perlawanan di Bali. Kendati demikian, nyaris terisolasinya Bali dari Jawa tidaklah mengurangi, tapi justru tampak menambah, makna simbolis kepemimpinan republikan pusat. Perintah-perintah dari Jawa diterima dengan takzim. Namun, perlu ditekankan bahwa yang membentuk perlawanan Bali adalaj interaksi antara amanat dari Jawa dan dinamika politik lokal, bukan amanat saja. Hal ini amat jelas dalam kasus organisasi dan strategi militer.



Berdasarkan instruksi dari Mayjen Urip Sumoharjo di Jawa yang dibawa oleh I Gusti Ngurah Rai, mantan perwira Korps Prayoda dan komandan TKR Sunda Kecil, sekembalinya dari Jawa pada April 1946, berbagai organisasi perlawanan dihimpun di bawah satu komando, MBU-DPRI. I Gusti Ngurah Rai bertolak ke Jawa pada Desember 1945, dalam rangka mengamankan dukungan militer dan pengakuan atas gerakan perlawanan di Bali. Dia kembali ke Bali pada 4 April 1946 dengan menyandang pangkat letnan kolonel.



Kendati tentara KNIL Belanda menahan diri dari melancarkan serangan besar-besaran terhadap kubu ini, menjelang akhir Mei 1946 jelaslah sudah bahwa dengan bergerombol seperti itu, tentara DPRI menjadi rentan dan tidak efektif. Pemimpin pemuda, Wija Kusuma, yang saat itu wakil komandan MBU-DPRI, mengusulkan strategi gerilya berbasis kelompok-kelompok kecil yang lincah, ketimbang satu kesatuan tambun yang lamban dengan anggota lebih dari 1.000 orang. Tapi pada 1 Juni, I Gusti Ngurah Rai memutuskan untuk keluar dari kubu dalam satu kesatuan dan berjalan ke timur, lewat Buleleng, Bangli dan Karangasem, menuju Gunung Agung. Ngurah Rai kabarnya mengeluarkan perintah yang berbunyi: “Mari kita jalan saja. Kita pasti mendapatkan ide baru di perjalanan”. Agaknya, perjalanan itu adalah untuk mengalihkan pasukan Belanda dari bagian barat pula guna memuluskan pendaratan besar republikan dari Jawa, tapi tak ada pendaratan besar yang terjadi. Selama menempuh long march, perjalanan jauh dengan berjalan kaki, ke Gunung Agung itu, yang berlangsung sampai akhir Juli, pasukan pejuang DPRI yang persenjataannya tak memadai, kurang dari 50 persen yang bersenjata, berulang kali diserang pasukan KNIL yang bersenjata lengkap, dan menderita banyak korban.



Sesungguhnya, ketegangan antara kepemimpinan BKR/TKR/TNI dan kepemimpinan organisasi-organisasi perlawanan sudah muncul setidaknya sejak 1945. Akibatnya, long march hanya menyembulkan perpecahan antara kaum serdadu profesional yang menjelma jadi pejuang kemerdekaan dan kaum aktivis gerilyawan politik. Di bawah tekanan para aktivis, MBU-DPRI dibagi menjadi tiga komando teritorial yang lebih kecil. Salah satunya, dikomandani I Gusti Ngurah Rai, praktis memegang segenap korps perwira militer profesional yang masih ada di Bali, juga sebagian besar senjata.



Kesatuan ini yang tumpas dalam pertempuran, yang kini termasyhur, di dekat desa Marga pada 20 November 1946 peristiwa yang disebut Puputan Margarana, di mana 96 orang, termasuk I Gusti Ngurah Rai, terbunuh dalam sehari. Pertempuran ini menjadi unggulan sejarah revolusioner resmi. Meski diagungkan sebagai puputan, dan menjadi tema dalam sekurangnya dua karya geguritan Bali, pertempuran di Marga bisa dengan mudah dipandang sebagai hasil tragis dari strategi dan taktik militer yang tidak layak. Apa pun rekomendasi Komando Tinggi Angkatan darat di Jawa, pupusnya seluruh anggota militer profesional Bali, kecuali satu orang, dan sebagian besar senjata yang ada, untuk sementara menyelesaikan perdebatan tentang strategi militer, dengan keunggulan di pihak kaum aktivis politik. Segera setelah peristiwa Marga, pada 22 November 1946 MBU DPRI menggelar rapat darurat di desa Buahan untuk memilih kepemimpinan sementara. Biarpun ada tantangan dari satu-satunya perwira militer profesional yang tersisa, Kapten I Gusti Ngurah Mataram, para aktivis pemuda menduduki hampir semua kursi kepemimpinan yang penting. Sesudah 22 November, pemimpin pemuda Wija Kusuma yang baru berusia 23 tahun muncul sebagai pemimpin organisasi perlawanan sentral di Bali itu. Seperti Wija Kusuma, banyak pemimpin baru MBU DPRI adalah kaum berkasta rendah.



Pertempuran di Marga telah menempatkan revolusi di Bali pada lintasan baru secara meyakinkan, dalam arti bahwa kaum pemuda militan yang berpikiran politik untuk selanjutnya memainkan peran utama. Puputan Margarana juga menandai perubahan karakter kasta di jajaran kepemimpinan. Pergeseran ini turut bertanggung jawab atas keterbukaan yang lebih besar terhadap pelbagai strategi yang melibatkan manuver politik, kecerdasan dan diplomasi, ketimbang kekuatan militer semata. Meski ada yang keberatan dengan pendekatan ini, di Bali tak ada yang bisa disejajarkan dengan pengaruh politik dari kekuatan militer semi-profesional berskala besar di Jawa. Menonjolnya kaum pemuda gerilyawan selama revolusi di Bali berlanjut pada masa pascakemerdekaan, ketika kaum pemuda menduduki sejumlah tampuk jabatan politik dan menjadi pemimpin kunci di semua partai politik besar.



Strategi Let Gub Jen van Mook tentang pemerintahan tak langsung melalui penciptaan negara-negara federal Indonesia terutama bertujuan untuk memangkas otoritas pemerintah Republik di Jawa, dengan menciptakan kesan tentang otonomi politik Indonesia di wilayah-wilayah yang belum berada di bawah kendali Republik. Strategi pecah belah dan jajah federalis sudah terlihat jelas dalam berbagai rencana awal Belanda untuk kembali menduduki Hindia. Konferensi Malino, 17-20 Juli 1946, misalnya, jelas bertujuan menciptakan tandingan konservatif terhadap Republik melalui kooptasi elit lokal tradisional di luar Jawa.



Konferensi Malino diselenggarakan untuk membahas kemungkinan diciptakannya sejumlah negara federal otonom di Hindia untuk dikelola, seolah-olah, oleh orang Indonesia. Wakil Bali di konferensi itu termasuk Cokorda Gde Raka Sukawati dan I Gusti Bagus Oka. Barangkali juga tujuan itu paling jelas, dan untuk sementara waktu paling efektif, dalam NIT yang terbentuk di Konferensi Denpasar yang disponsori Belanda pada Desember 1946. Konferensi Denpasar diselenggarakan pada 18-24 Desember 1946. Delegasi Bali dalam konferensi ini adalah Cokorda Gde Raka Sukawati, Anak Agung Gde Agung, Gde Paneca, I Gusti Bagus Oka, Anak Agung Nyoman Panji Tisna dan Made Mendra. Kecuali Mendra dan Paneca, semuanya kaum laki-laki berkasta tinggi dan punya hubungan dekat dengan keluarga kerajaan yang berkuasa. Taklimat Belanda mengenai situasi politik di Bali yang disampaikan seminggu sebelum konferensi mencatat bahwa dukungan kuat untuk Republik dari kalangan pemuda dan intelektual telah memojokkan elit tradisional. Namun, diprediksikan bahwa sebuah konferensi yang berhasil menciptakan Negara Indonesia Timur, dengan administrasi sementara dan parlemennya sendiri, akan menjadi tandingan kecenderungan tersebut.



Van Mook membenarkan penciptaan unilateral NIT dan negara-negara federal lainnya, dengan mengacu pada Persetujuan Linggajati antara Negeri Belanda dan Republik, yang disusun pada pertengahan November 1946 dan akhirnya diratifikasi oleh Negeri Belanda pada 25 Maret 1947. Negeri Belanda mengakui otoritas de facto Republik atas Jawa, Sumatra, dan Madura, dan kedua belah pihak pada prinsipnya sepakat untuk bekerja sama dalam pembentukan Negara Indonesia Serikat di bawah naungan Uni Belanda-Indonesia yang dipimpin ratu Belanda.



Persetujuan Linggajati dan terciptanya NIT mengubah telak lingkungan politik tempat beroperasinya gerakan perlawanan di Bali. Perubahan ini menyediakan berbagai kesempatan baru, baik struktur maupun psikologis, bagi mereka yang sejak semula menentang Republik, termasuk kebanyakan raja. Situasi baru ini memberikan pembenaran bagi berlanjutnya operasi paramiliter bersenjata anti-Republik. Selain yang diorganisasi oleh raja, sejumlah kelompok paramiliter dibentuk oleh para pemimpin lokal. Di Badung Utara, misalnya, mantan punggawa Blahkiuh mendirikan laskar milisi bernama Nara Sadhu, dan di kora Sangsit, Buleleng, sebuah milisi anti-Republik, Anti-Pemberontak, dibentuk oleh orang biasa bernama I Nengah Meder. Selain itu, situasi ini menggiring mereka yang tadinya netral untuk memihak Belanda dan aktif bergiat melawan Republik sebagai mata-mata, informan, dan lain sebagainya.



Perjuangan politik, sebagaimana digariskan dalam Program Minimum, memiliki tiga elemen yang berkaitan: kerja parlementer legal, organisasi massa dan propaganda, dan, operasi intelijen. Di arena parlementer, pergerakan mesti dijalankan di Bali untuk mempengaruhi dan kalau mungkin mengendalikan Paruman Negara dan Paruman Agung melalui persekutuan dengan organisasi-organisasi politik legal seperti Parrindo (Partai Rakyat Indonesia). Ketua Parrindo adalah Gusti Putu Merta, seorang guru sekolah di denpasar. Anggota lain dalam jajaran kepemimpinan partai adalah Ida Bagus Pidada, Ketut Mandera, Gusti Bagus Oka, Gde Putra, Mahadewa dan Gde Puger. Gerakan juga harus mendesak para wakil NIT agar memboikot parlemen NIT demi solidaritas kepada tuntutan untuk menaruh Bali di pangkuan Republik, dan sebagai ekspresi sikap tidak mengakui NIT.



Ketika tekanan internasional memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan pada Desember 1947, yang menghasilkan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 dan pengakuan resmi atas NIT oleh Republik beberapa hari kemudian, ketegangan lama di tubuh gerakan perlawanan republikan Bali merebak lagi. Pasal gencatan senjata Renville, yang menyerukan penarikan seluruh pasukan republikan dari wilayah yang diduduki Belanda, menyebabkan penggunaan kekerasan terhadap Belanda untuk meraih kemerdekaan jadi sulit dibenarkan, sementara pengakuan atas NIT sebagai partner setara dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia membuat berlanjutnya perlawanan apa pun terhadap NIT menjadi problematis secara politis. Mengetahui pengakuan atas NIT, jajaran kepemimpinan di Bali merasa marah dan kesal, sementara di klangan para prajurit, yang memandang NIT sebagai musuh, meruyak kebingungan.



Penyerahan Mei adalah titik balik militer dan politik revolusi di Bali. Bukan saja secara efektif menandai berakhirnya fase militer dalam perjuangan melawan Belanda, peristiwa ini juga terbukti menjadi salah satu isu politik utama dalam hubungan selanjutnya di kalangan kaum republikan Bali, bahkan sesudah kemerdekaan. Kelompok kecil yang bertahan di pegunungan setelah Mei 1948 membina berbagai organisasi bawah tanah yang berpusat pada empat pemimpin, Poleng, I Nengah Tamu [dikenal sebagai Cilik], Cokorda Anom Sandat [dikenal sebagai Sentosa] dan Nyoman Buleleng, seorang mantan serdadu Jepang. Mengantisipasi fase baru perlawanan bersenjata aktif, keempat orang ini pada akhir November 1949 menggabungkan kekuatan untuk membentuk organisasi tunggal, Lanjutan Perjuangan, yang berganti nama menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 4 Januari 1950. Gagasan penyatuan ini diusulkan dalam sebuah surat 28 Oktober 1949 dari perwira penghubung, di Yogya, Subroto Aryo Mataram, menjawab surat Cilik yang meminta instruksi.



Sesudah kemerdekaan, sejumlah besar gerilyawan dan simpatisan PDRI mengikuti Poleng masuk Partai Sosialis Indonesia (PSI), sedangkan sebagian besar pejuang PDRI bergabung ke Partai Nasionalis Indonesia (PNI), atau Partai Komunis Indonesia (PKI). Perjanjian Renville dan pengakuan atas NIT akan melemahkan secara dramatis dukungan kepada mereka dari kalangan nasionalis moderat dan intelektual Bali, dan akhirnya rakyat banyak. Sesungguhnya, yang sangat memuaskan pemerintah NIT Anak Agung Gde Agung, para anggota Bali dari Fraksi Progresif dlam parlemen NIT kini berbalik telak menentang perlawanan bersenjata, mengulurkan dukungan mereka, dalam kata-kata sebuah laporan politik Belanda, kepada NIT dan pemulihan hukum dan ketertiban.

Menurut laporan yang sama, kabinet Agung telah mengambil sikap positif menentang ideologi kekerasan revolusioner dan khususnya menentang unsur-unsur kriminal di dalam gerakan perlawanan. Kaum nasionalis generasi tua di Bali mulai melukiskan kaum republikan muda Bali sebagai kaum kiri ekstrim yang tujuannya tidak realistis. Dan di Paruman Agung Bali, fraksi progresif minoritas yang tadinya mendukung republik, secara terbuka menyokong NIT. Sebuah laporan politik pada akhir Januari 1946 mencatat bahwa para pemimpin perlawanan mengeluhkan kemerosotan mendadak dukungan penduduk.



Pada Maret 1949, penjara-penjara di Bali dijejali dengan para narapidana yang ditahan atas dakwaan politik hingga melampaui batas daya tampungnya. Selain 1.505 tawanan yang dibui di berbagai penjara konvensional, 616 tawanan ditahan di kamp-kamp militer, sehingga jumlah total tawanan politik menjadi 2.121 orang. Mayoritas tawanan adalah para gerilyawan DPRI yang menyerah pada Mei 1948. Dari mereka yang ditahan di penjara-penjara sipil, hanya sekitar 355 orang atau 20 persen yang telah dijatuhi hukuman menjelang Maret 1949. Sekitar 140 dari jumlah itu diganjar masa hukuman lebih berat dari lima tahun dan dijadwalkan untuk diasingkan dari Bali. Termasuk dalam kelompok ini adalah tiga pemimpin MBU-DPRI, Wija Kusuma, Nurai dan Wijana, yang masing-masing diganjar masa hukuman selama 18,12 dan 10 tahun. Dalam keadaan seperti ini, nyaris tak mengherankan jika amnesti umum bagi tawanan politik menjadi tuntutan utama kaum aktivis republikan di Bali pada 1949.



Dalam hitungan bulan, situasi politik di Bali telah berubah secara dramatis. Meskipun laporan politik Mei 1949 bersikukuh bahwa segalanya tenteram, laporan intelijen militer Belanda pada September menyimpulkan dengan masygul: “Mau tak mau ada perasaan bahwa kita hidup di puncak gunung berapi. Gunung itu mungkin diam saja, tapi bisa meletus sewaktu-waktu”. Dan ketika kekuatan pasukan KNIL berangsur-angsur melemah sepanjang 1949, kaum kolaborator maupun kaum revolusioner sama-sama mulai membentuk kelompok bersenjata sebagai persiapan untuk menghadapi datangnya serangan. Kendati hanya ada sedikit laporan tentang pembunuhan sungguhan yang terjadi pada 1949, panggung telah disiapkan, secara politik, organisasional, dan psikologis, bagi meletusnya kekerasan, yang dimulai dengan sungguh-sungguh hanya beberapa bulan setelah transfer kedaulatan.



IDEOLOGI-TRADISI

Gagasan tentang Bali yang apolitis dan tradisional, serta serangkaian citra lebih kompleks yang mencakupnya, berdampak nyata pada strategi politik dan militer yang dirumuskan dan diterapkan oleh Belanda pada 1945-46, dan pada konflik politik di Bali tahun-tahun berikutnya. Pandangan rezim Belanda tentang Bali yang apolitis, serta strategi memulihkan tradisi dan budaya Bali sebagai sarana untuk menegakkan perdamaian dan ketertiban secara paradoks menyulut pelbagai konflik politik di kalangan orang Bali dan sekaligus membatasi kesempatan berkembangnya struktur negara pribumi yang mampu menyelesaikan konflik-konflik itu.



Belanda kelewat optimis tentang mudahnya menduduki kembali Bali. Keyakinannya begitu besar, sampai-sampai rencana awal pendudukan kembali didasarkan pada dugaan bahwa tidak akan ada perlawanan. Laporan Angkatan Laut Belanda sejak November 1945 memprediksikan bahwa kalau sejumlah pasukan ditaruh di tempat-tempat penting, kondisi masa pra-perang jelas akan kembali dalam tempo yang sangat singkat. Logika pikiran militer Belanda digelayuti kenangan akan tahun-tahun pra-perang.



Persepsi bahwa orang Bali akan menyambut kembalinya Belanda adlah sejalan dengan kepercayaan bahwa orang Jawa adalah sumber agitasi politik di Bali. Nyaris tanpa kecuali, para perwira KNIL dari Brigade Bali/Lombok mengklaim bahwa perlawanan di Bali adalah kerjaan orang Jawa dan bukan orang Bali. FJM van Gessel komandan Cie 1st Bataltion Xe Brigade Bali/Lombok mengklaim bahwa serdadu Belanda mampu membedakan antara orang Bali dan orang Jawa, dan mengarahkan tembakan mereka kepada orang Jawa. Meskipun demikian, sekitar 1.400 orang Bali menjadi korban patroli KNIL.



Menjelang penghujung 1946, pola konflik mulai berubah dengan sangat signifikan. Dalam jangka panjang, secara paradoksal pendekatan manusiawi Letkol ter Meulen dan para ahli strategi sipil berperan penting dalam mengarahkan orang Bali untuk berperang di kalangan mereka sendiri. Sebagaimana para ahli strategi militer yang lebih konvensional, mereka menerima keniscayaan dan kelayakan untuk memisahkan para pemimpin ekstrimis dari massa rakyat. Perlakuan manis dan penuh pengertian ang direkomendasikan Meulen hanya menjadi strategi yang manusiawi sepanjang pembedaan antara kaum ekstrimis dan rakyat Bali memang valid. Pada kenyataannya, tidak begitu. Sikap manis demi mewujudkan rakyat Bali yang kooperatif niscaya tidak mengakibatkan permusuhan terhadap kategori ekstrimis luar yang remeh dan abstrak, tapi terhadap sesama orang Bali.



Dengan demikian, selain penggunaan kekuatan militer, strategi pasifikasi Belanda memerlukan kerja sama dengan, dan kooptasi atas, pelbagai elemen yang berbeda dalam masyarakat Bali. Elemen paling penting pertama-tama adalah kaum elit tradisional, seperti para raja dan anggota keluarga bangsawan berpengaruh, kemudian kelompok kecil kaum muda terpelajar Bali, dan rakyat jelata Bali baik-baik. Strategi ini cenderung mengutubkan ketimbang menenteramkan rakyat Bali karena memaksa hampir semua orang untuk berpihak, entah kepada pemuda atau kekuatan restorasi. Pilihan yang salah acap kali berakibat serius, bahkan fatal, sehingga kemarahan dan kepahitan yang ditimbulkannya tidak mudah dilupakan bahkan setelah 1949. Tak kalah pentingnya adalah bahwa strategi Belanda ini menggairahkan identitas politik dan kesadaran kultural Bali yang khas, tapi sedikit sekali memberi angin bagi berkembangnya struktur negara yang meliputi seluruh Bali, yang dikendalikan oleh orang Bali.



Strategi yang mengandalkan kaum jelata Bali didorong oleh kepercayaan bahwa pengaruh republikan di Bali terutama merupakan konsekuensi dari kontak dengan Jawa. Pandangan ini memperkuat kecenderungan untuk mengangap orang Bali sebagai apolitis, loyal, dan gampang dibedakan dari teroris. Di samping itu, van der Plas yakin bahwa kebanggaan kultural dan perasaan anti Jawa akan turut menjelmakan Bali jadi tandingan kuat rezim republikan di Jawa. Akibatnya, penanganan yang benar terhadap budaya Bali menjadi salah satu kepedulian utama para perencana sipil dan militer Belanda pada 1945-46. Sesungguhnya, mereka tampak setidaknya telah mencurahkan energi yang sama banyaknya ada persoalan ini maupun pada ikhwan pembaruan administratif, demokratisasi, atau bahkan taktik militer. Tersitanya pikiran di ranah kultural ini mencerminkan prakonsepsi Belanda tentang hakikat masyarakat dan karakter Bali. Kebudayaan adalah jalan ke jantung Bali, budaya adalah politik yang ampuh.



Wawasan Belanda zaman pra-perang tentang manusia Baliu yang apolitis, konservatif secara sosial dan non-kekerasan, tetap tak tertandingi pada 1945-46. Kebandelan wawasan ini di kalangan para ahli strategi Belanda menggiring mereka untuk meremehkan kemungkinan perlawanan keras di Bali, mereka juga kelewat optimis dengan pasifikasi yang hendak dicapai lewat pendekatan machtsvertoon. Strategi ini pada mulanya mengilhami suatu persatuan tertentu di dalam gerakan perlawanan, tapi akhirnya menyemaikan benih konflik politik di kalangan orang Bali dan membuahkan eskalasi kekerasan politik. Persepsi Belanda tentang karakter apolitis manusia Bali juga membutakan para pembuat kebijakan terhadap implikasi serius dari tindakan mendorong para raja untuk membentuk milisi anti-Republik. Kebijakan-kebijakan ini, bersama keputusan untuk menggalang dukungan rakyat jelata Bali di desa-desa dalam pertempuran melawan teroris, menjerumuskan Bali ke dalam perang saudara.



Berbagai laporan Belanda dari masa revolusi kerap mencatat keplin-planan opini politik orang Bali, yang bergantng pada pihak yang kelihatannya mungkin akan berjaya. Kesiapan orang Bali untuk berganti pihak ini bukan sepenuhnya perkara oportunisme politik, namun merefleksikan karakter ketergantungan Bali dalam arena politik yang lebih besar, dan kesadaran bahwa hasil konfliknya kiranya ditentukan di tempat lain. Dalam keadaan demikian, mengikuti ke mana angin bertiup menjadi masuk akal. Hal ini bukan berarti perubahan-perubahan di luar Bali menentukan persekutuan dan wacana politik orang Bali secara linear atau kausal. Lebih tepat, ada kondisi saling pengaruh rangsang-rangsang yang berasal dari luar dan dari perjuangan politik lokal.



Khususnya yang penting adalah berubahnya konfigurasi otoritas politik dan militer, baik di dalam maupun di antara para kontestan utama kekuasaan negara di Hindia: Republik Indonesia, rezim kolonial Hindia-Belanda, dan Negara Indonesia Timur (NIT), yang berdiri dengan dukungan Belanda pada Desember 1946. Bali dicengkeram otoritas yang disandang oleh ketiganya. Karena negara-negara ini dipengaruhi oleh tekanan internasional, politik Bali terpengaruh pula. Absenya sebuah pusat yang solid mempertajam perpecahan politik di Bali, manakala beragam pengelompokan merespons otoritas simbolis dan politis negara-negara yang bersaing itu. Karena Bali berada di pinggiran kancah pertarungan ini, pergeseran posisi relatif pusat-pusat yang bersaing tersebut menghasilkan fluktuasi yang signifikan dalam persekutuan politik lokal.



NIT DI BALI

Kendati digembar-gemborkan sebagai pembaruan politik yang sejalan dengan aspirasi rakyat Indonesia, strategi Letnan Gubernur Jendral van Mook tentang pemerintahan tak langsung melalui penciptaan negara-negara federal Indonesia terutama bertujuan untuk memangkas otoritas pemerintah Republik di Jawa, dengan menciptakan kesan tentang otonomi politik Indonesia di wilayah-wilayah yang belum berada di bawah kendali Republik. Strategi pecah belah dan jajah federalis sudah terlihat jelas dalam berbagai rencana awal Belanda untuk kembali menduduki Hindia. Konferensi Malino (17-20 Juli 1946), misalnya, jelas bertujuan menciptakan tandingan konservatif terhadap Republik melalui kooptasi elit lokal tradisional di luar Jawa.



Barangkali tujuan ini paling jelas, dan untuk sementara waktu paling efektif, dalam NIT yang terbentuk di Konferensi Denpasar yang disponsori Belanda pada Desember 1946. Taklimat Belanda mengenai situasi politik di Bali yang disampaikan seminggu sebelum konferensi mencatat bahwa dukungan kuat untuk Republik dari kalangan pemuda dan intelektual telah memojokkan elit tradisional. Namun, diprediksikan bahwa sebuah konferensi yang berhasil menciptakan Negara Indonesia Timur, dengan administrasi sementara dan parlemennya sendiri, akan menjadi tandingan kecenderungan tersebut.



Konferensi Malino diselenggarakan untuk membahas kemungkinan diciptakannya sejumlah negara otonom di Hindia untuk dikelola, seolah-olah, oleh orang Indonesia. Wakil Bali di konferensi itu termasuk Cokorda Gde Raka Sukawati dan I Gusti Bagus Oka. Konferensi Denpasar diselenggarakan pada 18-24 Desember 1946. Delegasi Bali dalam konferensi ini adalah Cokorda Gde Raka Sukawati, Anak Agung Gde Agung, Gde Paneca, I Gusti Bagus Oka, Anak Agung Nyoman Panji Tisna dan Made Mendra. Kecuali Mendra dan Paneca, semuanya kaum laki-laki berkasta tinggi dan punya hubungan dekat dengan keluarga kerajaan yang berkuasa.



Van Mook membenarkan penciptaan unilateral NIT dan negara-negara federal lainnya, dengan mengacu pada Persetujuan Linggajati antara Negeri Belanda dan Republik, yang disusun pada pertengahan November 1946 dan akhirnya diratifikasi oleh Negeri Belanda pada 25 Maret 1947. Negeri Belanda mengakui otoritas de facto Republik atas Jawa, Sumatra, dan Madura dan kedua belah pihak pada prinsipnya sepakat untuk bekerja sama dalam pembentukan Negara Indonesia Serikat di bawah naungan Uni Belanda-Indonesia yang dipimpin ratu Belanda.



Persetujuan Linggajati dan terciptanya NIT mengubah telak lingkungan politik tempat beroperasinya gerakan perlawanan di Bali. Ketika tekanan internasional memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan pada Desember 1947, yang menghasilkan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 dan pengakuan resmi atas NIT oleh Republik beberapa hari kemudian, ketegangan lama di tubuh gerakan perlawanan Republikan Bali merebak lagi. Pasal gencatan senjata Renville, yang menyerukan penarikan seluruh pasukan Republikan dari wilayah yang diduduki Belanda, menyebabkan penggunaan kekerasan terhadap Belanda untuk meraih kemerdekaan jadi sulit dibenarkan, sementara pengakuan atas NIT sebagai partner setara dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia membuat berlanjutnya perlawanan apa pun terhadap NIT menjadi problematis secara politis.



Mengetahui pengakuan atas NIT, jajaran kepemimpinan di Bali merasa marah dan kesal, sementara di kalangan para prajurit, yang memandang NIT sebagai musuh, meruyak kebingungan. Sesungguhnya, yang sangat memuaskan pemerintah NIT Anak Agung Gde Agung, para anggota Bali dari Fraksi Progresif dalam parlemen NIT belakangan berbalik telak menentang perlawanan bersenjata, mengulurkan dukungan mereka, dalam kata-kata sebuah laporan politik Belanda kepada NIT dan pemulihan hukum dan ketertiban. Kaum nasionalis generasi tua di Bali mulai melukiskan kaum Republikan muda Bali sebagai kaum kiri ekstrim yang tujuannya tidak realistis. Dan di Paruman Agung Bali, fraksi progresif minoritas yang tadinya mendukung Republik, secara terbuka menyokong NIT.



Meliputi wilayah yang sama dengan Pemerintah Timur Raya zaman pra-perang, yang diciptakan pada 1938 untuk berperan sebagai tandingan terhadap Jawa nasionalis, NIT diilhami oleh tujuan politik konservatif serupa. Kendati NIT menikmati otonomi lebih besar daripada negara-negara federal lainnya, kebebasan tindakannya sesungguhnya sangat dikungkung oleh kekuatan ekonomi, militer, dan legal-politis Belanda yang lebih berpengaruh di kawasan itu. Selain itu, sudah jelas, setidaknya sejak Konferensi Malino pada pertengahan 1946, bahwa Belanda bermaksud membentuk staf NIT dari para pemimpin lokal yang paling konservatif dan kooperatif. Walhasil, pulau Bali menyediakan dua pemimpin paling berpengaruh di jajaran kepemimpinan, yaitu seorang perdana menteri dan sempat menjadi menteri dalam negeri, Anak Agung Gde Agung, dan presiden Cokorda Gde Raka Sukawati.

Dengan tingginya ketergantungan NIT kepada pemerintah Hindia-Belanda, sejumlah besar pekerjaan adminsitartif rutin dapat diserahkan kepada unsur-unsur konservatif itu. Kebanyakan pegawai sipil dan orang-orang militer Belanda menganggap Anak Agung Gde Agung sebagai pintar dan seorang administrator yang efektif. Mayoritas pejabat Belanda di Makassar dan Bali menganggap Cokorda Gde Raka Sukawati sebagai mempesona dan sekaligus berwawasan. Dan meskipun van Mook konon sangat mencemooh Sukawati secara pribadi, dia jelas tidak terlalu khawatir sang presiden akan meluncur di luar kendali Belanda.



Kalaupun Sukawati dan Agung dipandang bermasalah oleh Belanda, hal itu lantaran pikiran mereka terlalu otoriter dan feodal, dan cara mereka mengejar kekuasaan politik terlampau sinis. Kekuasaan dua orang ini di dalam NIT ditakutkan akan membangkitkan sejenis pemerintah keluarga di Bali. Sesungguhnya, Asisten Residen Bali 1947-1948 percaya bahwa kebangkitan kembali feodalisme di Bali menjadi lebih buruk daripada sebelum tahun-tahun itu. Di sejumlah kerajaan, praktik para raja yang menunjuk anggota keluarganya untuk menduduki seluruh jabatan di pemerintahan, seraya mengabaikan kandidat dari anggota keluarga terpandang lainnya atau orang lain, telah mengundang kritik.



Sukawati dan Agung, mesti diingat, adalah anggota keluarga bangsawan terkemuka kerajaan Gianyar. Sukawati dari Puri Ubud, dan Anak Agung dari puri raja Gianyar. Adik lelaki Agung, Anak Agung Gde Oka, adalah raja Gianyar pada saat itu dan ketua Dewan Raja-raja Bali, dan setelah penghapusan Karesidenan Bali/Lombok pada Maret 1949, dia sempat menjadi kepala daerah Bali. Keluarga-keluarga bangsawan lainnya juga menikmati otonomi relatif yang diberikan NIT, dan jelas lebih menyukai pemerintah di Makassar yang bia mereka kontrol, ketimbang pemerintah serikat atau kesatuan di Batavia yang di laur kendali mereka. Dalam pandangan banyak pejabat Belanda, tata kekuasaan di dalam NIT telah mengizinkan keluarga-keluarga ini jadi terlalu kuat, dan tidak menyedakan pengawasan yang efektif terhadap otoritas mereka.



Ketidakpercayaan kaum pejabat rezim Belanda kepada keluarga feodal tampak jelas dalam upaya mereka untuk mengontrol agenda politik, meski sudah ada pembatasan formal. Residen Boon, Asisten Residen van Baal dan para pemimpin militer menyelenggarakan pertemuan teratur untuk membahas perkembangan politik, tapi para raja jarang diundang. Pengabaian ini membuat ketua Dewan Raja-raja, Anak Agung Gde Oka, berpendapat, “Mereka tidak mempercayai kita”.



Walhasil, Belanda memang layak prihatin. Sukawati menunjukkan kecenderungan yang sangat reaksioner, baik dalam pemikiran maupun upayanya untuk mempengaruhi jalannya politik Bali. Pada tahun-tahun pra-perang, dia menjadi satu-satunya wakil Bali di Volksraad, di mana dia telah menebarkan pengaruh yang sangat konservatif dalam perdebatan mengenai Bali. Terdidik di Negeri Belanda, kawin dengan perempuan Prancis, dan menghabiskan sebagian besar masa dewasanya di luar Bali, dia dianggap arogan dan kebarat-baratan oleh banyak orang di kampung halaman. Para pejabat Belanda yang berdinas di Bali sempat mencicipi gaya personalnya saat dia kadang kala pulang kampung ke Bali. Seorang pegawai sipil yang sempat berurusan dengannya mendeskripsikan Sukawati sebagai korup habis … penjudi dan bajingan.



Anak Agung Gde Agung, yang berpendidikan Batavia pernah sebentar menduduki singgasana raja Gianyar (1944-46), sebelum terpilih menjadi perdana menteri NIT. Sebagai raja dalam bulan-bulan rawan sesudah kekalahan Jepang, dia bertikai dengan kaum pemuda Republikan Bali dan diculik oleh mereka sedikitnya satu kali. Agung diciduk oleh sebuah gerombolan pemuda pada 20 September 1945 di sekitar daerah Tegalalang, antara Gianyar dan Denpasar. Dia mengklaim ditawan selama dua hari dua malam, sebelum I Gusti Ngurah Rai berhasil membebaskannya. Menurut sumber-sumber lain, pembebasannya diperoleh dengan intervensi entah pemimpin pemuda, Wija Kusuma, atau pemimpin BKR, Nyoman Pegeg. Beberapa hari kemudian upaya penculikan lainnya dilakukan di dekat Batubulan, namun Agung berhasil lolos dengan mobilnya. Tak lama sesudah itu, dia membentuk laskar paramiliter anti-republikan.



Dalam pandangan banyak orang Bali, Agung kehilangan semua klaim akan kredibilitas nasionalis ketika dia bereaksi terhadap aktivitas pemuda dengan membentuk organisasi pertahanan bersenjata anti-Republik, Pemuda Pembela Negara (PPN), pada penghujung 1945. menurut seorang pemimpin perlawanan dari Bali, “Secara lahir [Anak Agung Gde Agung] bertindak seolah-olah hanya berkolaborasi dengan Belanda demi mewujudkan Negara Indonesia Serikat, tapi secara batin dia menindas unsur-unsur Republikan dengan kejam”.



Meskipun kelihatannya kurang suka menjilat Belanda dibanding Sukawati, dia berusaha sekuatnya menghancurkan perlawanan bersenjata di Bali, dalam upaya memastikan bahwa para bangsawan terpelajar moderat seperti dirinya akan mendominasi sistem politik apa pun yang muncul dari revolusi. Seorang mantan pemimpin pemuda, dengan keterusterangan yang tidak lumrah, merumuskan motivasi politik Agung; “Dia memilih garis politiknya berdasarkan kepentingan pribadi dalam mempertahankan status sosialnya sebagai keturunan raja yang punya hak turun temurun untuk memerintah, dan dalam rangka membela sistem kasta Hindu, yang menjamin kedudukannya di puncak. Kedudukan politik dan sosial ini hanya dapat bertahan jika Bali terus diperintah menurut sistem zelfbestuur di bawah pengawalan Hindia Belanda”. Kendati Agung, pada saat yang tepat, berdamai dengan Republik pada akhir 1948, baik dia maupun Sukawati menuai reputasi, setidaknya di Bali, sebagai oportunis politik dan musuh Republik.



Sesungguhnya, dalam opini sejumlah mantan pemimpin perlawanan, Anak Agung Gde Agung secara pribadi bertanggung jawab atas tindakan represif, termasuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dan eksekusi kilat, terhadap para pejuang kemerdekaan di Gianyar selama tiga tahun pertama revolusi. Seseorang menulis bahwa: “Semua perintah untuk menangkap, menyiksa dan membunuh para pejuang kemerdekaan di Gianyar diberikan oleh Gde Agung sendiri, dan dilaksanakan dengan bantuan Pemuda Pembela Negara, yang beroperasi di bawah bendera merah-putih-biru (Belanda). Sejauh menyangkut Gianyar, militer Belanda tidak perlu mengotori tangan mereka dengan darah para pejuang kemerdekaan, karena pekerjaan itu sudah dibereskan buat mereka oleh Anak Agung Gde Agung dan bala tentara paramiliternya …”



Salah satu yang paling menghebohkan tentang perilaku semacam itu adalah penangkaan dan eksekusi punggawa Peliatan dari Puri Peliatan, yang juga seorang tokoh penting gerakan perlawanan di daerah itu. Menurut seorang mantan pemimpin pemuda, “dia ditawan di sekitar daerah Petang oleh Anak Agung Gde Agung dan sejumlah serdadu NICA. Setelah menderita siksaan fisik dan penistaan, dia diambil dari pos polisi atas perintah Agung, dan ditembak mati dengan alasan bahwa dia berusaha melarikan diri …” Eksekusi itu makin memperlebar jurang antara Puri Peliatan dan Puri Gianyar, yang berlangsung hingga setelah masa revolusi.



Dalam upaya meredakan ketegangan hubungan, pada 1948 raja Gianyar, Anak Agung Gde Oka, adik lelaki Anak Agung Gde Agung, menikahi Cokorda Istri Sri Mas, putri emimpin gerakan perlawanan dari Puri Peliatan yang terbunuh itu. Bagi pengamat biasa, foto upacara pernikahan mereka, yang menampilkan mempelai laki-laki dan perempuan dalam busana ningrat yang meriah, mungkin tampak menegaskan segar bugarnya budaya Bali tradisional meski dirundung politik revolusioner masa itu. Namun, bagi orang Bali mana pun yang menyadarinya, perkawinan itu dengan sendirinya adalah perkawinan politik, yang asal-usulnya tertanam sama dalamnya pada perjuangan politik revolusioner modern maupun tradisi kultural Bali.



Terlepas dari upaya purinya di bidang politik perkawinan itu, dugaan keterlibatan Anak Agung Gde Agung dalam penangkapan dan pembunuhan para pemimpin perlawanan yang sangat dihormati turut berperan dalam alienasi dan radikalisasi banyak pemimpin Republikan Bali. Dukungannya kepada Republik di saat-saat terakhir pada penghujung 1948 tidak banyak mengubah reputasinya di kalangan nasionalis Bali yang lebih militan, sebagai biang pengkhianat terhadap tujuan Republikan. Sebaliknya, dukungan itu dipandang sebagai tindakan oportunisme murni.



Menurut sebuah interpretasi, menjelang akhir 1948 itu, Agung telah menyadari bahwa arus sedang berbalik mendukung Republik, dan menyadari bahwa arus sedang berbalik mendukung Republik, dan menyadari pula bahwa dia tidak punya dukungan penuh dari tokoh kunci Belanda, van Mook dan Boon. Karena itu dia menyeberang ke Republik, dan pada 1950 masuk PSI, yang memiliki kredibilitas nasionalis yang kokoh. Mengikhtisarkan liku-liku politik Agung selama tahun-tahun itu, seorang pemimpin gerakan perlawanan Bali menulis pada 1988: “Gde Agung diam-diam menikam Republik dengan tangan kirinya, lantas berbalik dan menikam punggung Belanda dengan tangan kananya. Dengan pisau masih meneteskan darah para pejuang kemerdekaan Bali, dia bernaung di bawah panji PSI”. karenanya ketika masuk PSI, yang kala itu cukup banyak didukung kalangan pemuda Bali, Agung memicu perpecahan politik mendasar di partai ini.



ETOS ANTI-DEMOKRATIS

Kehadiran kaum bangsawan Bali dari spesies politik ini di tampuk jabatan eksekutif NIT memiringkan keseimbangan kekuatan politik di Bali ke arah konservatif. Sebagai eksekutif negara yang mewahadi Bali, dan dengan dukungan diam-diam negara Hindia Belanda yang lebih kuat, orang-orang-orang ini sanggup menebarkan engaruh politik di Bali yang melampaui kemungkinan yang terbuka bagi mereka sebagai bangsawan lokal di Bali. Di samping itu, melalui teladan mereka, tak ayal lagi mereka mempengaruhi sikap para raja dan bangsawan lain yang posisinya kurang terpandang, tapi masih penting di tingkat lokal.



Pengaruh keluarga-keluarga feodal Bali juga kuat terasakan di badan legislatif NIT dan badan legislatif di Bali, yang strukturnya cenderung mengunrungkan mereka. Teorinya, Paruman Agung Bali berbagi otoritas legislatif dengan Dewan Raja-raja, tapi dalam segala hal yang praktis-praktis, Paruman berada di bawah kekuasaan Dewan. Paruman Agung jarang mengajukan perundangan dan jarang melakukan lebih dari amandemen kecil terhadap undang undang yang diajukan Dewan Raja-raja. Paruman Agung juga menunjukkan keengganan untuk mengkritik keluarga-keluarga bangsawan terkemuka Bali perihal isu-isu penting. Pemilihan umum untuk Paruman Agung diselenggarakan pada 1947, namun hasilnya di Badung dan Buleleng, tempat kandidat nasionalis menang telak, dibatalkan. Inisiatif pembatalan ini datang dari Dewan Raja-raja, yang mengklaim bahwa para ekstrimis telah menekan rakyat supaya memilih kandidat yang tidak bisa diterima. Bahkan setelah digelar pemilu baru pada September 1948 sekalipun, Paruman Agung masih didominasi kekuatan federalis dan pro-raja.



Etos antidemokrasi serupa mengjangkiti parlemen NIT, paling tidak sejauh menyangkut Bali. Delapan wakil Bali di parlemen tidak dipilih, tapi ditunjuk bersama oleh Dewan Raja-raja dan Paruman Agung pada Desember 1947. Pemilu yang lebih langsung dijadwalkan pada Mei 1949, tapi ketika terselenggara, Bali masih dalam Darurat Perang. Partai-partai politik masih dilarang, begitu pula rapat-rapat umum, dan pencetakan serta peredaran barang cetakan masih dibatasi. Pendek kata, kesempatan untuk memobilisasi politik legal oleh kaum nasionalis Bali sebelum pemilu NIT tak ada artinya.



Selain menyalahi visi Belanda tentang efisiensi dan tertib administrasi, kebangkitan kembali tendensi feodalistik Bali, yang kini dikobarkan oleh akses terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif yang melampaui Bali, memercikkan kecemasan pada Belanda tentang reaksi buruk dari kaum jelata Bali. Sesungguhnya, salah satu perdebatan utama setelah 1946 berkenaan dengan pertanyaan apakah perlawanan di Bali membentuk revolusi sosial, atau sekadar manifestasi lokal dari revolusi nasional. Di satu pihak berdiri Anak Agung Gde Agung dan Cokorda Gde Raka Sukawati, yang mati-matian bersiteguh bahwa tak ada unsur revolusi sosial yang signifikan dalam kemelut politik Bali, dan bahwa gerakan perlawanan adalah kerjaan segelintir teroris muda yang tidak merepresentasikan kehendak umum. Dalam pandangan mereka, perlawanan Republikan di Bali akan ceat menguap jika diambil tindakan tegas terhadap para pengacau itu. Menurut sekretaris Residen Boon, Agung murka terhadap saran Baal bahwa ada unsur revolusi sosial dalam gerakan perlawanan.

Pada 15 September 1947, kurang dari dua bulan sesudah dimulainya aksi militer Belanda pertama di Jawa, Sukawati mengirim kawat ke Den Haag, memperingatkan bahwa transfer pasukan keluar dari Bali ke Jawa pada Juli dan Agustus 1947 telah menciptakan kesempatan bagi peningkatan sontak aksi teror dan ekstrimisme di Bali dan telah menimbulkan banyak pembunuhan. Kawat ini memohon penambahan kekuatan militer untuk mencegah kekacauan mutlak. Isi telegram ini dengan cepat disampaikan kepada pimpinan pemerintah dan militer di Batavia, sehingga pada 19 September, pemerintah Hindia belanda mengirim kawat kepada Sukawati dengan pesan: “Telah menerima telegram Anda dengan keprihatinan mendalam … Penambahan pasukan Bali sedang digodok”. Keesokan harinya, kepala Staf Umum KNIL, Mayjen Buurman van Vreeden, mengeluarkan perintah kepada komandan Angkatan Darat KNIL untuk mengirimkan dua kompi penuh ke Bali sebelum akhir September.



Dengan perintah ini, kekuatan total pasukan (belum termasuk staf, personel pendukung, dan unit-unit polisi reguler) menjadi delapan kompi, meningkat sekitar sepertiga dari Agustus 1947. Namun, Sukawati tidak puas.



Pada Februari 1948, tak lama sesudah penandatanganan Perjanjian Renville, Presiden NIT Sukawati kembali membuat permohonan tingkat tinggi untuk peningkatan kekuatan pasukan polisi dan militer di Bali guna membekukan perlawanan. Dalam sepucuk surat rahasia yang dikirimkan lewat kurir kepada van Mook, dia mengemukakan bahwa, dengan menipisnya perbekalan maupun simpati publik yang dialami gerakan perlawanan dalam waktu dekat, dengan sarana peningkatan aktivitas militer, dilengkapi tindakan yang disarankan dalam kaitannya dengan kepolisian.

Rekomendasinya yang spesifik mencakup peningkatan kekuatan pasukan sebanyak tiga kompi tempur lengkap, peningkatan lebih besar dalam jumlah maupun kualitas pasukan polisi lokal, dan 15 kendaraan baru untuk kepolisian. Pada kesempatan ini permintaan Sukawati ditolak. Mayjen Buurman van Vreeden, dalam catatan pinggir surat Sukawati, mencatat: “Saya tidak percaya solusinya akan ditemukan dalam pengerahan pasukan yang terus menerus diperbanyak. Dari cara beroperasinya unsur-unsur perlawanan yang tersisa, penekanan harus diletakkan pada pengumpulan laporan intelijen:. Sukawati tampaknya lebih antusias membasmi perlawanan politik dengan kekuatan militer daripada para komandan KNIL sendiri.



Dari sudut pandang kaum pegawai sipil Belanda yang ditempatkan di Bali, pada masa itu sangat tidak jelas apakah NIT memang negara boneka. Batavia mungkin menganggapnya demikian, tapi bagi pihak-pihak di Bali yang harus bekerja di bawah otoritasnya, NIT sepertinya, betapapun, terlampau kuat. Asisten Residen van Baal, Kontrolir Lijftogt dan Residen Boon, antara lain sering bertabrakan dengan para pejabat papan-atas NIT dalam berbagai isu yurisdiksional dan politik. Kontrolir Lijftogt dipindahkan ke luar Bali pada 1947, setelah menuliskan pendapat kritis tentang Anak Agung gde Agung dalam laporan politik.



Menurut Lijftogt, Agung ingin agar Lijftogt dipindahkan ke daerah terpencil Sulawesi supaya mendapat pelajaran, tapi Residen Boon berhasil mengusahakan dia dipindahkan ke Lombok. Selaku menteri Dalam Negeri NIT, Anak Agung Gde Agung menjadi duri dalam daging bagi beberapa penasihat dan Residen Belanda, termasuk residen Boon, karena dia mengemukakan bahwa menurut konstitusi NIT, mereka secara administratif berada di bawah kekuasaan menteri seperti dirinya. Dan Agung mengemukakan bahwa menteri dalam negeri NIT secara sah memiliki otoritas lebih tinggi daripada Directeur van Binnenlands-Bestuur Hindia Belanda.



Pada Maret 1949 melalui keputusan Agung, Karesidenan Bali/Lombok dihapus, dan Bali secara resmi menjadi salah satu dari 13 daerah NIT. Pada 3 Maret, Residen Boon menyerahkan kendali pemerintah kepada Ketua Dewan Raja-raja, Anak Agung Gde Oka, adik Agung yang juga raja Gianyar. HJ Franken, yang dekat dengan Residen Boon, percaya bahwa penghapusan Karesidenan pada 1949 merepresentasikan kemenangan puncak Anak Agung atas Boon. Inilah tahapan penting dalam proses meredupnya kehadiran Belanda di Bali, yang sudah dimulai sejak Desember 1947. Dalam bulan-bulan pertama 1948, para Kontrolir Belanda telah dicopot dari pos mereka di kerajaan Badung, Bangli dan Buleleng, dan digantikan oleh para penasihat politik dari Bali. Kira-kira pada saat yang bersamaan, sejumlah hak istimewa Residen dan Asisten Residen dialihkan ke Dewan Raja-raja. Menjelang akhir 1949, tinggal tiga pegawai sipil Belanda aktif yang tersisa di pulau ini.



Pengaruh NIT tak kurang mendalam. Meski punya reputasi sebagai negara boneka Belanda belaka, menonjolnya para bangsawan penting Bali dalam NIT secara dramatis memperkuat kelompok-kelompok konservatif di Bali. Dengan memberi daya-dorong psikologis dan politis pada kekuatan-kekuatan reaksioner Bali, NIT ikut andil dalam dinamika permusuhan antara kaum Republikan antifeodal dalam bentuk tertentu. Disemangati oleh struktur otoritas NIT, yang menyediakan sejenis suaka terhadap pengaruh Belanda maupun Republikan, sejumlah bangsawan Bali mengungkapkan diri sebagai lebih reaksioner dan lebih kejam dibanding banyak pejabat kolonial Belanda dalam upaya menghancurkan perlawanan Republikan. Sepak terjang mereka sepanjang tahun-tahun itu tetap menjadi isu politik sampai jauh selepas 1949.



Politik Bali selama revolusi nasional amat kuat dipengaruhi oleh beragam pusat kekuasaan politik dan militer, serta oleh pergeseran hubungan di antara pusat-pusat itu. Pusat-pusat yang krusial adalah republik di Jawa, rezim kolonial Belanda yang bermarkas di Batavia, dan NIT di Makassar. Tekanan internasional juga memiliki pengaruh yang tidak langsung, tapi penting, terhadap jalannya politik. Sesungguhnya, masa revolusi menunjukkan dengan jelas bahwa politik di Bali tidak bisa dipahami dengan layak menurut kaidah dinamika budaya dan kepribadian lokal semata. Kecuali jika ditinjau dengan mengacu kepada konteks nasional dan internasional, politik Bali menjadi tidak masuk akal.



Bagi kaum nasionalis Bali, dan terutama bagi kaum pemuda, Republik Indonesia di Jawa jelas merupakan pusat politik yang paling penting. Mereka menggantungkan strategi militer dan perbekalan kepadanya, mencari pengakuan atas peran mereka sendiri dalam perjuangan dari para pemimpinnya, menemukan inspirasi dalam simbol-simbolnya, slogan-slogannya dan filosofinya, dan senantiasa menyimak perubahan sikap politiknya terhadap pusat-pusat kekuasaan politik yang lain. Kesetiaan mereka kepada republik tidak selalu cocok dengan rekan seperjuangan mereka di Bali, termasuk sejumlah nasionalis generasi tua yang mencap mereka sebagai kaum kiri ekstrim dan percaya bahwa cita-cita mereka tidak realistis. Kurang kompaknya para pemimpin republikan di Jawa dan kekurangpedulian mereka yang nyata kepada perlawanan di Bali ikut menimbulkan problem, dan turut mempertajam perpecahan dan persaingan I antara para pemimpin pemuda yang lebih militan.



Kondisi saling pengaruh antara faktor eksternal dan lokal turut berperan memunculkan pola tertentu konflik politik di Bali. Pola ini, yang begitu dalam mepengaruhi hubungan politik di pulau Bali selepas Desember 1949, pada dasarnya mengakibatkan dua macam konflik, kedua-duanya di kalangan orang Bali. Pertama, ada permusuhan antara para pejuang dan simpatisan gerakan perlawanan republikan, di satu pihak dan, di pihak lain, mereka yang bekerja dengan Belanda atau NIT. Kedua, terdapat persaingan di kalangan para pemimpin nasionalis, baik antara kaum nasionalis moderat generasi tua dan kaum pemuda militan, maupun di dalam kelompok yang terakhir itu, dan di kalangan para pengikutnya masing-masing. Perpecahan ini menjelma menjadi konflik politik terbuka selepas 1949.



REVOLUSI YANG BELUM TUNTAS

Transfer kedaulatan pada 27 Desember 1949 tidaklah mendentangkan lonceng kematian bagi perjuangan politik di Bali, dalam hal tertentu, perjuangan justru baru dimulai. Selama revolusi, otoritas Belanda dan NIT berhasil menguasai pengangkatan pejabat adminsitatif dan merintangi organisasi-organisasi politik sedemikian rupa hingga unsur-unsur moderat atau feodal tetap mendominasi pos-pos jabatan administratif pada penghujung 1949. Akan tetapi, perkembangan di tingkat nasional menjungkirbalikkan keseimbangan kekuatan politik di Bali, memberikan keuntungan kepada kaum Republikan untuk pertamakalinya sejak akhir 1945. Meski demikian, seperti halnya ada 1945, pada 1950 tidak ada satu kelompok pun yang mampu menguasai apartus negara lokal tanpa intervensi dan bantuan dari kekuatan luar yang lebih kuat.



Presiden Sukarno punya andil dalam bangkitnya hegemoni baru, dengan berbicara mengecam bapakisme (kroniisme), feodalisme dan federalisme di serangkaian rapat umum dan diskusi tingkat tinggi yang digelar di Bali pada 1950. Sangat mengherankan bahwa di koran lokal Penindjau dan Berita Nusantara, kecuali permohonan Anak Agung Gde Agung pada 16 Agustus 1950, tidak bisa ditemukan satu pembelaan pun terhadap gagasan federalisme. Demikian pula, suara para raja Bali nyaris sepenuhnya absen. Kemarahan yang merebak dari masa revolusi, dan frustrasi oleh tertundanya perubahan politik yang penting pada bulan-bulan pertama sesudah kemerdekaan, membangkitkan berbagai tindak pembalasan yang terpisah antara satu sama lain pada 1950.



Kekerasan terburuk tampak dimulai segera setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950 dan sekaligus tamatnya Republik Indonesia Serikat (RIS), yang mendorong gubernur Nusa Tenggara untuk memaklumkan Darurat Perang di Bali (yang secara resmi diakhiri pada 15 Mei 1951). Dibayang-bayangi pemberontakan militer regional yang dramatis di Sulawesi pada tahun yang sama, merajalelanya pembunuhan dan banditisme di Bali praktis luput dari perhatian.



Jumlah korban tewas dio seantero pulau tak pernah tercatat secara resmi, namun diperkirakan rata-rata 80 orang tewas setiap bulan pada paruh kedua 1950, sehingga totalnya sekitar 500 korban pada 1950 saja. Perkiraan resmi dari pihak kepolisian agak lebih rendah, sekitar 35 korban per bulan di sepanjang paruh kedua 1950 dan 1951. Kerawanan terus berlanjut sampai akhir 1951. koran lokal Berita Nusantara hanya melaporkan serpihan dari bunuh-bunuhan itu, namun kebanyakan korban yang dilaporkan adalah orang Bali atau orang Cina setempat, bukan orang Eropa atau orang Indonesia lainnya. Di samping itu, serangan-serangan tersebut didorong oleh motivasi politis, menyasar punggawa, perbekel, kepala desa dan pihak lainnya yang dituduh telah berkolaborasi dengan Belanda, termasuk polisi, pegawai sipil dan pengusaha Cina.



Mobilisasi politik, yang telah dimulai di Bali jauh sebelum transfer kedaulatan, dirangsang oleh kelemahan nyata RIS, NIT, dan apartus negara lokal di Bali. Pada 19 Mei, tiga negara RIS yang tersia, RI, NIT dan Sumatra Timur, menandatangani perjanjian formal untuk mendirikan sebuah negara kesatuan. Menulis kepada VE Korn dari Bali pada Maret 1950, Grader mendeskripsikan suasananya: “Orang bisa melihat … bahwa struktur masyarakat ini tengah mengalami transformasi yang amat sontak. Tidak ada otoritas negara yang riil. Segala sesuatunya hanya berjalan mengikuti naluri seketika dan sentimen kolektivitas”.



Semenjak 1950, dengan hanya tiga pegawai sipil Belanda yang tersisa di Bali, kontrol politik secara resmi digenggam oleh Dewan Raja-raja dan Paruman Agung, yang keduanya sangat terpuruk martabatnya akibat berkolaborasi dengan rezim Belanda dan NIT. Pada 22 Mei 1950, barangkali menginsafi segera tibanya kemenangan Republikan, Paruman Agung menetapkan perundangan darurat yang memaklumkan terciptanya Badan Pengelaksana Sementara, dengan otoritas luas untuk mengontrol dan mengarahkan seluruh tugas pemerintahan federasi kerajaan Bali.



Perundangan ini, Peraturan Darurat Daerah Bali untuk mengadakan Badan Pengelaksana Sementara, 22 Mei 1950 No 1/Darurat, dikeluarkan oleh Paruman Agung pada 8 Juni 1950. Para anggotanya yang pertama terutama diambil dari jajaran nasionalis generasi tua, yang sebagian adalah anggota Paruman Agung, dan kelas menengah administratif terpelajar moderat. Keempat anggotanya adalah I Gusti Putu Merta, I Wayan Dangin, I Gusti Gde Subamia dan I Wayan Bhadra.



I Gusti Putu Merta, guru, misalnya, adalah anggota pendiri dan ketua partai yang berumur pendek, Parrindo (1946-47), dan wakil ketua GNI. Pada dasawarsa 1950-an, dia menjadi ketua DPD PNI Bali, dan kemudian ketua DPRD Bali. Pada Desember 1965, menyusul kudeta, dia menggantikan Suteja sebagai gubernur Bali. I Gusti Dge Subamia, asisten punggawa di masa pemerintahan Belanda (1940-42), dan pejabat pajak dan cukai pada masa sesudah perang, adalah anggota KNI Sunda Kecil dan Sekretaris Pertama KNI Tabanan pada 1945. Dia adalah anggota Parrindo dan ikut membentuk GNI pada 1949. Dia dipenjara sejak 1947 sampai 1949 sehubungan dengan aktivitas nasionalisnya, dan setelah bebas dari penjara menjadi komisionaris Dewan Raja-raja. Sesudah kemerdekaan, dia menjadi anggota DPD PNI Bali, tapi pada 1956, dia memasuki arena politik nasional sebagai anggota parlemen. Pada 1959, dia menjabat wakil ketua fraksi PNI di parlemen, dan belakangan ditunjuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung untuk presiden. Wayan Bhadra adalh seorang nasionalis pra-perang penting yang agak lain. Murid I Nengah Merta, seorang guru nasionalis, pada masa sebelum perang ini adalah sastrawan yang menulis salah satu novel nasionalis awal dalam bahasa Bali, Malangcaran ka Sasak. Dia bekerja sebagai kepala Perpustakaan Kirtya Liefrinck-van der Tuuk di Singaraja. Wayan Badra menjadi model kecendekiawanan gaya nasionalis yang belakangan ditiru oleh tokoh sastra Bali, Gusti Bagus Sugriwa.



Dengan gaya agak kocak, Grader menulis kepada Korn (7 Agustus 1950): “Jadi sekarang Bali diperintah oleh pustakawan, inspektur pertanian, guru dan pegawai bea cukai”, mestinya ia tambahkan pangeran, karena kepala Badan Pelaksana tak lain adalah raja Gianyar, Anak Agung gde Oka, mantan ketua Dewan Raja-raja.



Sedikitnya tiga dari empat anggota tetap badan yang terbentuk pada Mei 1950 ini memiliki kredibilitas yang mantap sebagai nasionalis moderat, dan dua anggotanya belakangan menjadi pemimpin penting Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Latar belakang sosial dan politik mereka dalam banyak hal adalah tipikal para perintis PNI di Bali dan membedakan mereka dari kaum pemuda. Sangat terdidik menurut standar Bali, semuanya pernah bekerja sebagai pegawai sipil di zaman Belanda. Mereka adalah nasionalis tulen, namun aktivitas mereka sebelum dan selama revolusi terbatas pada kegiatan seperti pembentukan partai politik, pendirian sekolah nasionalis dan, pada satu kasus, pengembangan sastra nasionalis.



Menjelang akhir September 1950, baik Paruman Agung maupun Dewan Raja-raja dihapuskan, dan masing-masing diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali (DPRD Bali) dan Dewan Pemerintahan Daerah Bali (DPD Bali). Paruman Agung dibubarkan pada 20 September 1950 dan DPRD Bali berdiri pada 25 September 1950. Perubahan ini menimpakan pukulan telak, meski tidak fatal, pada otoritas politik para raja dan sekutu terdekat mereka. Walaupun tidak ada raja di Dewan Pemerintahan Daerah dan tak satu raja pun punya kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, seara umum diakui bahwa pengaruh sosial dan politik mereka masih tetap besar. Lagi pula, sejumlah besar kaum eks kolaborator terus memegang kedudukan otoritas di birokrasi pemerintahan dan di tingkat lokal, seperti punggawa, perbekel, kepala desa dan seterusnya. Hal ini terbukti menjadi faktor penting dalam erkembangan partai-partai politik dan konflik politik di Bali di kemudian hari.



Tata konstitusional baru setelah September 1950 ini tidak menyentuh, dan mungkin malah meningkatkan, posisi para nasionalis moderat generasi tua. Dari lima anggota Dewan Pemerintahan Daerah, tiga di antaranya I Gusti Gde Subamia, I Gusti Made Mudra, dan I Wayan Dangin, adalah generasi tua yang berlatar belakang pegawai sipil. Mereka masing-masing diserahi tanggung jawab sebagai menteri sosial, politik dan ekonomi. Kendati demikian, perubahan konstitusional ini juga memberikan suara sah yang kuat dalam struktur politik kepada pemuda. Pada September 1950, Sukarno memilih pemimpin pemuda yang berusia 27 tahun, Suteja anggota elit bangsawan, sebagai Kepala Daerah Bali. Calon lain adalah Cokorda Anom Putra, putra raja Klungkung. Suteja mendapat mayoritas suara yang telak, 32, dan Putra berhail mengalahkan kontestan ketiga Anak Agung Nyoman Panji Tisna mantan raja Buleleng dalam pemungutan suara susulan. Namun demikian, keputusan terakhir ditentukan oleh Presiden Sukarno.



Juga duduk di dewan Pemerintahan Daerah kala itu adalah I Gusti Bagus Sugriwa, yang berafiliasi dengan organisasi nasionalis kiri, Ikatan Rakyat Murba Indonesia (IRMI). Meski belakangan menjadi termasyhur sebagai sarjana satra, selama revolusi dia adalah salah satu pemimpin organisasi bawah tanah yang pada November 1949 menjadi sarang PDRI di Buleleng. Dua pemimpin lain di organisasi Gerim (Gerakan Rahasia Indonesia Merdeka) adalah Cilik (I Nengah tamu) dan I Gusti Bagus Nyoman Panji. Pada pertengahan 1950, Sugriwa adalah anggota dewan pemerintahan darurat yang dibentuk di Buleleng untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh pengunduran diri raja. Tiga anggota lain di dewan Buleleng adalah Ida Bagus Indera, Bagus Brata dan Made Toya. Seperti Suteja, Sugriwa dipandang sebagai progresif secara politis.



Menjelang September 1950, sebuah kelompok yang pada Maret dirujuk sebagai segelintir pemuda yang menginginkan integrasi Bali ke dalam republik, telah memainkan peran kunci dalam organ eksekutif dan legislatif utama aparatus negara lokal. Tapi tetap saja, mereka berbagi kekuasaan politik dengan kaum republikan generasi tua yang berpengaruh, dan beragam kaum eks kolaborator serta unsur-unsur feodal.



KONFRONTASI IDEOLOGI

Meskipun organisasi politik yang terbentuk di Bali antara 1949 dan 1955 luar biasa banyak jumlahnya, kurang dari sepuluh organisasi saja yang memperoleh suara dalam pemilu nasional pertama, untuk parlemen nasional dan Konstituante, yang diselenggarakan pada akhir 1955. Pemilu untuk DPR diselenggarakan pada 29 September 1955, dan untuk Konstituante pada 15 Desember 1955. Di antara partai-partai itu, tiga partai meraup 90 persen suara. Diurut dari yang terkuat, adalah PNI (51,4 persen), PSI (30,6 persen) dan PKI (7,9 persen) [lainnya 10,2 persen]. Kemahnya daya tarik partai-partai besar Islam dan kristen di Bali, yang dominan Hindu, hampir-hampir tak mengherankan. Namun demikian, unggulnya ketiga partai tingkat nasional yang berbasis di Jawa itu jelas memerlukan penjelasan.



Dibanding penampilannya di tingkat nasional, misalnya, PSI benar-benar gemilang di Bali, dari lima kursi parlemen yang disabetnya secara nasional, tiga kursi didapatkan dari Bali. Demikian pula, PKI berprestasi lebih baik di Bali daripada di sebagian besar daerah lain di negeri ini, di luar kawasan-kawasan basis tradisional partai ini di Jawa, dan, sebagaimana di Jawa, pengaruhnya meluas dengan pesat sesudah 1955. PNI mendominasi pemilu 1955 di Bali dan tetap menjadi kekuatan politik yang tangguh, meskipun meredup, hingga 1965. Sebaliknya, satu-satunya partai berbasis lokal yang terang-terangan mengumandangkan sentimen keagamaan Bali, Partai Nasional Agama Hindu bali, yang didirikan di Klungkung Februari 1954, memperoleh kurang dari 1 persen suara dalam pemilu 1955.



Pada saat kemerdekaan, organisasi partai politik formal belum punya tradisi yang mapan di Bali. Kebanyakan partai mengambil partai-partai Republikan yang berpusat di Jawa sebagai modelnya, baik secara organisasional maupun ideologis. Karena itu, wajarlah jika bersama kian dekatnya kemenangan Republik, para aktivis politik di Bali pertama-tama mengincar kepemimpinan partai-partai nasional yang paling terpandang, seperti pni dan PSI. pada saat yang bersamaan, partai-partai ini sedang giat berusaha melebarkan sayapnya di bekas negara-negara federal, segera sesudah transfer kedaulatan.



Waktu yang dipilih oleh gelombang pertama mobilisasi partai di Bali adalah krusial, karena menentukan parameter struktural di mana kompetisi lokal partai akan berlangsung. Pada awal dasawarsa 1950-an, baik PNI maupun PSI memiliki posisi penting di dalam apartus negara pusat, menjelang akhir 1953, PNI telah mapan sebagai partai yang menguasai pemerintahan, dan PSI mulai membangun rekor oposisi terhadap pemerintah pusat. Situasi ini mempengaruhi pola dukungan partai di Bali, meski dengan cara yang tidak selalu jelas. PSI, misalnya, tampak menggaet sebagian pengikutnya sebagai hasil dari posisinya yang kuat di dalam pemerintahan antara 1950 dan 1952, dan agak belakangan menangguk dukungan dari berbagai kelompok yang tidak puas.



Berbagai upaya awal untuk menjaga front persatuan di kalangan pemuda tidak bertahan lama. Kombinasi dari ambisi politik, permusuhan personal, dan perpecahan dari masa revolusi, menggiring para pemimpin pemuda untuk masuk ke salah satu dari tiga partai besar. Dengan demikian, pelbagai bekas kawasan basis revolusioner pun menjadi pusat-pusat dukungan untuk partai politik yang berbeda-beda. Basis gerlya di Selemadeg, Tabanan barat, misalnya, menjadi pusat kekuatan PNI, sementara Wongaya Gde, Tabanan utara, dan Panji, Buleleng, menjadi kental dengan PKI. Perpecahan di tubuh kelompok pemuda tetap menjadi isu politik penting sepanjang dekade 1960-an. Di Tabanan, misalnya, di mana konfrontasi PNI-PKI jadi serius menjelang 1964, bupati mengemukakan bahwa “kekalutan ini muncul karena ada konflik mendalam di kalangan mantan pendukung revolusi, dan di kalangan mantan gerilyawan itu sendiri”. Kendati mustahil menunjukkan korelasi sederhana apa pun antara pengelompokan pemuda yang penting di masa revolusi dan pilihan partai di kemudian hari, sejumlah pola umum akan menjadi jelas ketika membahas masing-masing partai besar itu.



Karena kaum pemuda terbelah secara internal, dan lantaran mereka tidak sendirian dalam perjuangan demi kekuasaan negara lokal, mereka bersekutu dengan berbagai kekuatan sosial dan politik yang lain. Di antaranya dengan kaum nasionalis pra-perang generasi tua yang telah memainkan peran utama dalam perjuangan legal selama revolusi. Banyak laki-laki dan perempuan dari kalangan ini telah berafiliasi dengan salah satu partai nasional sebelum 1950, atau telah memilih ikatan personal yang erat dengan para pemimpin partai di Jawa. PNI dan PSI pada kenyataannya giat menggalang dukungan orang-orang semacam ini, karena menginsafi bahwa mereka, sebagaimana para pemimpin pemuda, menyediakan jalan mulus untuk mengamankan basis politik yang luas.



Perubahan struktural yang luas, seperti diperkenalkannya Demokrasi terpimpin, membuahkan perombakan ikatan kesetiaan kepada partai. Di samping itu, pelarangan PSI pada 1960, yang hingga saat itu adalah partai terkuat kedua di Bali, niscaya menimbulkan pergeseran penting dalam afiliasi partai. Faktor-faktor ini menghasilkan peningkatan polarisasi ideologi di Bali menjelang 1965, dan, sebuah refleksi yang lebih jernih tentang perbedaan kelas dalam pengikut dua partai besar, PNI dan PKI.



Di Bali, PSI memiliki empat sumber utama kepemimpinan. Kelompok intelektual nasionalis generasi tua, kebanyakan berlatar belakang Taman Siswa, segemen penting eks-pemuda, unsur-unsur Angkatan Darat, dan sejumlah keluarga bangsawan yang masih berpengaruh. Masing-masing kelompok pada giliranya mampu memobilisasi sejumlah besar pengikut untuk mendukung partai ini. Walaupun koalisi yang luas ini turut andil dalam sukses elektoral PSI yang tak lumrah di Bali, keragaman kepemimpinan dan basis sosial PSI mengandung arti bahwa potensi faksionalisme dan pembelotan teramat besar.



Perintis PSI di Bali adalah sekelompok kecil kaum nasionalis dan intelektual generasi tua, yang kebanyakan memiliki ikatan personal yang erat dengan guru Taman Siswa yang belakangan jadi aktivis PSI, Wiyono Suryokusumo. Selama revolusi, Wiyono bertugas dengan tentara nasional di Jawa Barat. Pada 1950, ia bekerja di Departemen Politik, Kementerian Pertahanan, dan wakil kepala Seksi Politik di kepemimpinan pusat PSI. dia berinisiatif mengorganisasi PSI di Bali, kendatipun dia bekerja melalui Kapten Daino, seorang perwira politik muda Jawa di kementerian Pertahanan, yang pergi ke Bali bersama pasukan republikan pada pertengahan 1950. Sebelum berangkat, Daino bertemu Wiyono dan berhasil menyusun daftar 40 kawan lama dan lulusan Taman Siswa. Begitu tiba di Bali, dia bersafari naik jip guna mendorong mereka agar mendirikan cabang-cabang lokal PSI. perintis PSI di Bali termasuk I Nyoman Pegeg, I Gusti Ketut Reti, Ida Bagus Wisnem Manuaba, I Gusti Gde Raka, Wayan Samba dan Ida Bagus Pidada. Pada tahun-tahun selanjutnya, Daino terus bertindak sebagai perantara, yang sering bepergian ke Bali untuk menyampaikan kabar tentang perkembangan di pusat. Daino mengklaim bahwa perintah membentuk PSI di Bali datang dari sekretaris jenderal partai, Sitorus, namun dia mengakui peran Wiyono dalam menyediakan informasi dan kontak yang diperlukan.



Wibawa personal dan pengaruh Wiyono dan pemimpin PSI, Sutan Syahrir, amat penting dalam perkembangan poros PSI di Bali selanjutnya. Hal ini sangat selaras dengan gaya kader yang dianut partai ini secara umum. Namun demikian, reputasi PSI sebagai partai elit kaum intelektual yang berpikiran barat tidak sepenuhnya benar di Bali, karena di pulau ini, boleh dibilang PSI telah melangkah jauh untuk secara sadar memobilisasi basis massa menjelang pemilu 1955. Dengan makin dekatnya pemilu, muncul kesadaran di dalam partai bahwa sesuatu yang mirip strategi mobilisasi massa PNI dan PKI mungkin diperlukan guna memastikan sukses elektoral. Tatkala PSI di tingkat nasional cukup teguh berpegang pada prinsip partai kader, di Bali, ketegangan diam-diam antara pendukung politik gaya kader dan gaya massa diselesaikan dengan keunggulan gaya massa. Perselisihan kebijakan serupa berkembang di tubuh kepemimpinan nasional PSI tak lama sesudah pemilu 1955. Isunya tampak adalah kelayakan kerja sama dengan Sukarno dalam upaya mengamankan basis massa. Di satu pihak ada Sitorus, yang mendukung kerja sama, di pihak lain terdapat Syahrir, yang menganut pandangan yang lebih berhati-hati.



Kemenangan garis massa PSI agaknya terwujud di pertemuan regional partai ini pada 1954. Perdebatan yang menyusul berakibat pengunduran diri sedikitnya dua pendukung lokal garis kader dari pos-pos kepemimpinan partai dan naiknya sejumlah pembela garis massa, termasuk I Made Sugitha, yang menjadi sekretaris PSI Sunda Kecil dan I Gusti Bonjoran. Dalam kampanye pemilu 1955, gerombolan-gerombolan bersenjata juga beroperasi atas nama partai ini. Pergeseran ke strategi akar rumput dan penggunaan gerombolan-gerombolan semacam itu ikut berperan dalam kuatnya unjuk elektoral PSI di Bali. Perubahan tersebut juga membantu menjelaskan mengapa dukungan untuk PSI begitu besar di bekas kawasan basis revolusi di Tabanan, Badung, dan Gianyar barat.



Lewat berbagai cara, para eks-pemuda yang bersimpati kepada PSI juga mampu membangun basis massa partai ini. Ketut Gde Dharmayudha (anggota Badan Pemerintahan Harian, BPH, sampai Oktober 1963), rekan Poleng, memiliki banyak pengikut di kawasan basis republikan di Gianyar barat, yang membuahkan penunjukkannya sebagai asisten punggawa Batubulan, Gianyar barat, pada Mei 1951. Dia juga mampu menggunakan otoritas politiknya di sana dan posisinya dalam organisasi kerja sama, Ikatan Tani Indonesia (ITI), untuk membangun dukungan bagi PSI. Situasi yang sama meruyak di distrik Kuta, barat Denpasar. Di sana, pada 1950 punggawa lama digantikan oleh Wayan Rana, seorang simpatisan PSI, yang mendukung upaya partai ini untuk meraih kekuasaan pada 1955. Sudah begitu, kebanyakan perbekel di distriknya adalah para eks-pemuda yang secara personal loyal kepadanya. Mereka termasuk Poleng, yang posisinya dalam aparatus militer setempat membuat pekerjaan Rana sebagai punggawa jadi tak terkira lancarnyua: “Tanpa kawan dekat di Angkatan Darat, pada masa itu seorang punggawa akan mendapat kesulitan besar”. Menurut Rana, prosedur yang lazim untuk melaksanakan tugas sebagai punggawa pada hari-hari itu adalah, pertama-tama menghubungi kawan-kawan lama dari zaman revolusi.



Selain karena basis pemudanya, kekuatan partai ini berhutang banyak kepada dukungan dari unsur-unsur feodal yang jelas-jelas diperangi oleh pemuda. Hal ini khususnya terjadi di Gianyar, di mana raja, Anak Agung Gde Oka dan saudaranya Anak Agung Gde Agung dikenal sebagai simpatisan PSI. mantan perdana menteri NIT, Agung, secara politis cukup cerdik untuk memahami perlunya menambal kredibiliutas nasionalisnya, dan itu dilakukannya dengan masuk jajaran PSI sejak 1950. Kebanyakan mantan pemimpin PSI di Bali dewasa ini lebih suka mengabaikan peran Agung selama revolusi, dan sebagai gantinya, memfokuskan pada kemampuan Agung, sebagai pembenaran atas diterimanya Agung dalam partai ini.



Menurut Ida Bagus Wisnem Manuaba, misalnya, “PSI tidak mau ikut-ikutan dalam urusan menilai orang dari dosa-dosa masa lalu yang dituduhkan padanya, partai lebih suka menilai orang semata-mata berdasarkan kemampuannya. Kemampuan Anak Aung tidak dipersoalkan lagi”. Namun, di luar partai, bahkan di sejumlah kalangan kepemimpinan nasional PSI sendiri, meloncatnya Anak Agung ke dalam pelukan PSI telah, dan sampai belakangan masih, dipandang sebagai tindak oportunisme politik murni. Daino mengklaim bahwa Anak Agung secara eksplisit mencari perlindungan di PSI, dan sebagai balasannya berjanji mendukung perkembangan koperasi di Gianyar. Biarpun demikian, oportunisme bukan di pihak Agung semata. Para pemimpin PSI menyadari bahwa pengaruh puri Gianyar masih besar, dan mereka lebih dari senang menangguk keuntungan dari pengaruh itu. Graha bangsawan lainnya juga menjadi pusat kekuatan PSI, termasuk Geria Jaksa Manuaba di Tabanan dan Puri Jerokuta di Denpasar. Akan tetapi, graha-graha ini punya asosiasi yang lebih lama dengan cita-cita nasionalis, dan karena itu tidak boleh dimasukkan dalam golongan oportunis aristokratik. Anak Agung Alit Raka Made Angkasa dari puri Jerokuta dan Ida Bagus Wisnem Manuaba adalah produk Taman Siswa yang dekat dengan Wiyono Suryokusumo.



Selama beberapa waktu, dukungan dari atas ini terbukti menguntungkan bagi partai, untuk menambahi dukungan sektor-sektor lain. Namun, sesudah 1955, aliansi ini menjadi kian sulit dipertahankan. Berbagai perbedaan dasa dalam idelogi dan basis sosial partai semakin dipertajam oleh perkembangan di tingkat nasional dan lokal. Timbul perpecahan, misalnya, saat berlangsung perdebatan mengenai status administatif bekas kerajaan-kerajaan di Bali pada penghujung 1957. Sejumlah pihak melihat bahwa tuntutan akan status daerah istimewa yang diajukan oleh raja Gianyar dan didukung jajaran kepemimpinan PSI di Bali, adalah langkah feodal yang tidak tahu malu. Hal ini mengakibatkan hengkangnya kaum kiri dan eks-pemuda dari PSI dan isolasi lebih lanjut terhadap unsur konservatif partai.



Nasib PSI sesudah partai ini dilarang pada 1960 memberikan suatu indikasi tentang kadar perpecahan ideologis dan sosial internal kala itu. Para pendukungnya mulai masuk PNI, PKI, Partindo dan berbagai partai lain yang lebih kecil, seperti IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Banyak pemimpin PSI tetap memegang posisi otoritas politik dan eksekutif selama 1964, meskipun partai ini dilarang sejak 1960. Unsur-unsur yang lebih konservatif tampak masuk PNI, yang kala itu mengekspresikan sentimen antikomunis yang sama dengan yang sebelumnya diusung PSI. bukti yang tersedia mengisyaratkan bahwa para anggota PSI di sejumlah bekas kawasan basis republikan berbondong-bondong masuk PKI. Desa Beringkit, Badung barat, misalnya, yang kental dengan PSI sampai 1960, menjadi kurang lebih sepenuhnya PKI menjelang 1965. Kendati pembelokan semacam itu sulit diukur kadarnya, ada kemungkinan bahwa sejumlah besar orang yang mengalihkan kesetiaan mereka kepada PKI sesudah 1960 itu tertarik dengan posisi partai ini dalam perkara land reform. Ada pula spekulasi bahwa banyak eks-pemuda lebih memilih PKI ketimbang PNI kala itu karena kepala Jawatan Urusan Veteran provinsi sejak 1950 hingga 1966, Subroto Aryo Mataram yang orang Jawa, konon bersimpati kepada partai itu. Kelak, dia dipaksa pensiun pada 1966 karena tudingan tentang afiliasinya dengan PKI.



Pesatnya penyebaran PNI ke kawasan-kawasan di luar Jawa sesudah 1949 berhutang banyak pada kemampuan partai ini menunggangi birokrasi republikan yang meluas. Gubernur pertama Sunda Kecil, Susanto Tirtoprojo, terang-terangan anggota PNI. Sesungguhnya, pada 1951, dia diusulkan sebagai calon perdana menteri pada saat pembentukan kabinet Sukiman. Gubernur berikutnya, Sarimin Reksodihardjo, 1952-57, juga orang PNI. Suksesi gubernur PNI ini tak diragukan lagi mempengaruhi orientasi politik korps pegawai pemerintah yang bekerja di bawah otoritas mereka. Kontrol PNI atas berbagai jawatan penting dalam pemerintahan lokal, seperti jawatan Pekerjaan Umum, di sepanjang masa itu kiranya juga telah menarik banyak orang untuk masuk partai ini demi alasan yang murni oportunistik.



Seperti PSI, PNI Bali juga terlihat memiliki dukungan aktif dari unsur-unsur kekuatan keamanan sebelum danpada pemilu 1955. Tapi jika PSI punya jalinan dengan Angkatan Darat, dukungan bagi PNI terutama datang dari kepolisian, yang sokongannya kiranya juga telah mempengaruhi tingkat dukungan elektoral untuk partai ini pada 1955. Menurut seorang tokoh terkemuka PSI di Tabanan, “Mungkin PSI bisa lebih kuat kalau saa pada 1955 menjelang pemilu, kepolisian [pro-PNI] tidak masuk dan menghajar rakyat di daerah pedesaan”.



Faktor lain yang menguntungkan PNI adalah fakta bahwa partai ini dipahami, meski mungkin secara keliru, sebagai partainya Sukarno, yang menjelang 1950 sudah punya banyak pengikut di Bali. Pada awal dasawarsa 1950-an, partai ini malah menyandang reputasi nasionalis yang terpercaya. Di bawah kepemimpinan nasional Sidik Joyoskarto, sampai 1955, PNI mengusung ideologi nasionalis sekular radikal yang punya daya tarik yang masuk akal bagi kaum republikan Bali. Ketakutan akan dominasi Islam dan pengislaman, yang mencapai puncaknya di Bali pada awal dekade 1950-an, tak diragukan lagi meningkatkan daya tarik retorika nasionalis PNI yang sekular dan anti-Masyumi.



PNI Bali tumbuh dari GNI, yang didirikan oleh kaum nasionalis moderat Bali pada Agustus 1949. Pembentukan cabang-cabang pertama partai ini di Singaraja, Tabanan, dan Jembrana, melibatkan terserapnya organisasi dan kepemimpinan GNI yang ada ke dalam PNI. Sebagaimana GNI sebelumnya, PNI di Bali secara resmi menentang berlanjutnya pelbagai lembaga dan praktik feodal. Pada awal dasawarsa 1950-an, misalnya, PNI mengupayakan dihapuskannya pembatasan tertentu dalam perkawinan lintas kasta, dan pada 1957, partai ini giat mengkampanyekan agar bekas kerajaan-kerajaan ditunjuk sebagai daerah biasa ketimbang daerah istimewa. Pendiriannya tersebut tampak menyiratkan oposisi terhadap hak istimewa feodal, dan dalam hal ini menarik banyak kaum republikan tulen ke pihak PNI.



Terdapat graha-graha bangsawan yang mengusung simpati republikan yang tulus selama revolusi, dan banyak di antaranya mendukung PNI sesudah 1950. Puri Satria di Denpasar dan mantan raja Buleleng, yang menjadi anggota PNI adalah Jelantik saudara Anak Agung Nyoman Panji Tisna aktif di Partai Rakyat Nasional [PRN], misalnya, termasuk yang pertama mendukung PNI pada 1950. Nyatanya, kongres PNI digelar di puri Satria pada September 1950.



Kaum pemuda yang menjadi aktif di PNI pada prinsipnya adalah mantan para pemimpin DPRI yang tidak kembali ke pegunungan sesudah penyerahan Mei 1948. Meski semuanya adalah kaum republikan setia, mereka mencakup golongan yang secara politis lebih konservatif di kelompok pemuda ini. Nyoman Mantik, misalnya, yang telah menghabiskan sebagian besar masa revolusi di Yogyakarta di kantor penghubung Bali, aalah seorang anti-komunis yang kukuh. Sudah sejak 1957 dia melancarkan serangan gencar terhadap PKI dan, seraya memperingatkan akan bahaya kudeta komunis, menyerukan kepada presiden agar melarang partai ini. Mantik mengklaim bahwa dia mengulangi peringatannya itu dalam pertemuan pribadi dengan Sukarno pada tahun yang sama, tapi Sukarno tetap tak bisa diyakinkan. Sesudah kudeta 1965, Mantik bekerja keras untuk meng-golkar-kan PNI Bali, yang pada hakikatnya berarti membersihkan organisasi-organisasi elemen Sukarnois yang berafiliasi dengan PNI. Pada 1958, ketika upayanya untuk menjadi gubernur dimentahkan oleh pilihan Sukarno kepada Suteja, Mantik mulai menuduh Suteja sebagai simpatisan komunis. Akibatnya, inisiatif yang kemudian dilakukan oleh kepemimpinan nasional PNI ntuk menggalang patronase Gubernur Suteja bagi PNI Bali mnjadi terhalang.



Dalam kampanyenya, Mantik dibantu oleh sosok antikomunis yang ganas, Wesastera Suyasa. Dipandang garang dan temperamental oleh pihak lain, Wedastera mendeskripsikan sikapnya sendiri tentang konfrontasi dengan PKI dalam ungkapannya yang gamblang: “Ida Bagus Dupem [anggota PKI Bali] pernah mengirim pesan yang mengusulkan gencatan senjata antara PNI dan PKI. Saya tolak tawarannya. Teruskan dan kita lihat saja apa kau mampu menghajar kami, kata saya, dan kami pun akan melakukan hal yang sama. Itulah tujuan revolusi”. Lebih daripada tokoh PNI lokal mana pun, kedua eks-pemuda inilah, Mantik dan Wedastera, yang bertanggung jawab atas meningkatnya polarisasi politik di Bali sesudah 1958. Wedastera berasal dari Jembrana, menumbuhkan sayap politiknya dalam perpolitikan pelajar di Makassar selama revolusi. Pada awal dasawarsa 1950-an, ia aktif dalam gerakan pembaruan keagamaan di Bali. Belakangan ia masuk organisasi PNI, di mana ia menjadi salah satu pemimpin yang paling aktif selama masa Demokrasi Terpimpin. Pada Maret 1963, ia terpilih sebagai Ketua III DPD PNI Bali.



Kendati mengusung garis Sukarnois yang kental sepanjang dekade 1950-an dan 1960-an, PNI Bali berangsur-angsur menjadi dikenal sebagai surga kaum oportunis dan benteng kaum reaksioner, terutama berkenaan dengan isu land reform. Sikap PNI yang kian sengit terhadap Nasakom, upaya Sukarno merangkum tiga arus politik dasar negeri ini: nasionalisme, agama, dan komunisme, dan Gubernur Suteja turut membangun reputasi partai ini dalam hal konservatisme dan agaknya mendorong sejumlah pembelotan blok ke PKI dan Partindo.



Kendati baru memulai upaya mobilisasi yang signifikan di Bali pada sekitar 1953, PKI kala itu ikut menikmati keuntungan struktural dari PNI dan partai-partai lain dalam koalisi pemerintahan. Pada 1952, di bawah kepemimpinan baru Aidit, Nyoto, Lukman, dan kolega-koleganya, PKI meluncurkan strategi front persatuan nasional yang memerlukan kerja sama yang jauh lebih erat dengan elemen-elemen nasionalis borjuis, termasuk PNI. Salah satu keuntungan dari pendekatan ini adalah masuknya dua simpatisan kiri, meski tak mesti pro PKI, di kabinet Ali pertama sebagai menteri pertahanan dan menteri peranian. Secara berangsur-angsur pula PKI tampak mengantongi restu Presiden Sukarno, yang secara terbuka mendukung partai ini dalam kongres tahunannya pada Maret 1954. Perkembangan ini membantu PKI memulihkan kredibilitas nasionalisnya yang di mata banyak orang telah ternoda oleh perannya dalam pemberontkan Madiun 1948. Meski mengklaim beranggota kurang dari 10.000 orang pada 1952, menjelang akhir 1954, konon PKI punya setengah juta anggota.



Di antara ketiga partai besar, PKI-lah yang paling sedikit mengandalkan aliansi oportunistik dengan para eks kolaborator dan elemen-elemen feodal di Bali, hal ini kiranya ikut berperan dalam relatif terpuruknya penampilan partai ini pada 1955. Hanya raja Jembrana, ayah Suteja, yang konon bersimpati kepada PKI, meski harus ditekankan bahwa dia mengklaim dirinya netral secara politis. Purinya baru mendapatkan reputasi pro PKI pada dekade 1960-an ketika muncul kesan bahwa Suteja sendiri adalah PKI. Para pemimpin PNI, seperti Wedastera Suyasa, kemudian menerakan label PKI dengan agak gegabah supaya tampak seolah-olah puri raja ini sedari dulu punya simpati komunis yang jelas. Meski Suteja tak syak lagi adalah penganut faham kiri, dia tak pernah menjadi anggota PKI.



Saat ditanya tentang orientasi politiknya, Suteja akan sering menjawab: “Saya murid setia Bung Karno”. Dan pada sebuah kesempatan, dia dilaporkan mengatakan: “Saya bilang Nasakom, karena Bung Karno bilang Nasakom. Kalau Bung Karno komunis, saya juga komunis”. Ketika Sukarno terlihat semakin lengket dengan PKI pada tahun-tahun terakhir Orde Lama, musuh-musuh Suteja kian menganggap kedekatan itu sebagai bukti bahwa dia adalah PKI. Pendekatan nonpartai Suteja, dan lintasan politik yang menjadi hasil akhirnya, diikuti leh sejumlah eks pemuda yang berorientasi nasionalis kiri.



Pada awal dasawarsa 1960-an sejumlah kalangan kelompok pemuda menjadi terlihat aktif di PKI, sementara lainnya tampak berada di belakang berdirinya cabang Bali dari partai nasionalis kiri, Partindo. Partindo dibentuk secara nasional pada 1958 oleh sekelompok sempalan PNI yang menentang kepemimpinan konservatif partai ini di bawah Suwiryo. Secara ideologis jauh lebih dekat dengan PKI, Partindo, sangat kritis terhadap kelambanan PNI dalam perkara land reform pada tahun-tahun yang lebih kemudian. Partindo cabang Bali dibentuk pada 1961. Dalam politik lokal di penghujung masa Demokrasi Terpimpin, PKI dan Partindo praktis tak bisa dibedakan. Keduanya mendorong keras Nasakomisasi lembaga-lembaga politik Bali dan implementasi land reform, dan kedua partai ini menderita akibat tuduhan keterlibatan dalam kudeta ggal 1 Oktober 1965. Partindo Bali menyerukan, misalnya, pengusiran pihak-pihak di pemerintahan lokal yang anti Nasakom, komunistofobia, dan memecah belah persatuan nasional. Para pemimpin pemuda yang diasosiasikan dengan PKI dan Partindo termasuk menjadi target utama kemarahan PNI dalam reaksi sengit yang menyusul kudeta itu.



Betapapun, tuduhan-tuduhan itu yang sengaja dilansir oleh para pemimpin PNI dan PSI di Bali, berperan penting dalam kebencian yang gila-gilaan terhadap PKI pada dekade 1960-an, dan memberikan semacam pembenaran moral dan kultural untuk penumpasan para anggotanya selepas kudeta Oktober 1965.



KONFLIK MILITER

Politik Bali pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an pada prinsipnya disetir oleh perjuangan untuk mengendalikan lengan-lengan eksekutif dan legislatif apartus negara lokal, dan diartikulasikan melalui kompetisi partai politik. Konflik politik juga bertumpang tindih dengan pertikaian soal hak istimewa religius, sosial dan kultural, serta masalah akses terhadap tanah dan sumber daya ekonomi lainnya. Pada masa Demokrasi Terpimpin, kompetisi ini menjadi kian banyak ipertarungkan di jalanan dan di lapangan dalam bentuk pawai massa, demonstrasi, dan aksi sepihak atas tanah. Menjelang 1965, politik Bali telah terpolarisasi secara tajam antara PNI dan PKI beserta para sekutunya masing-masing di tinkat lokal dan nasional.



Menjelang dekade 1960-an, PKI dan Partindo mengendalikan, atau punya jalinan erat dengan, banyak elemen dari mesin negara lokal di Bali. Gubernur Suteja menggunakan otoritas eksekutifnya untuk menempatkan para anggota partai dan orang-orang kiri lainnya di kursi kekuasaan politik. Pada 1965, tiga dari delapan kerajaan, yang sejak saat itu disebut kabupaten di Bali, masing-masing Jembrana, Buleleng dan Gianyar, punya bupati pro-PKI atau Partindo. Kepala Kantor Penerangan adalah seorang Sukarnois kiri, dan istrinya konon adalah wakil Gerwani di Front Nasional Bali. Pada 1961, PKI dan Partindo cukup kuat terwakili di Front Nasional.



Meskipun tingkat pengaruh dalam aparatus negara lokal ini fundamental bagi kekuatan PKI/Partindo, nyatanya tidak mencukupi untuk menjamin monopoli kekuasaan macam apa pun secara lokal pda kedua partai tersebut. Dukungan Suteja untuk PKI/Partindo relatif baru belakangan saja dipetik, dan akibatnya, banyak sektor di departemen pemerintah lokal dan parlemen masih dikendalikan oleh PNI dan bahkan PSI. di samping itu, Badan Pemerintahan Harian (BPH) di tingkat kabupaten maupun provinsi didominasi oleh PNI sampai 1965.



Terlepas dari posisinya sebagai Pepelrada, Suteja tidak bisa seenaknya menindak PNI. Otoritasnya di Bali amat bergantung pada asosiasi eratnya dengan Sukarno, begitu latar penunjukkannya sebagai gubernur pada 1958 terungkap. Jika pada 1950 Suteja dicalonkan oleh mayoritas di DPRD Bali, pada 1958 ia mendapatkan suara yang lebih kecil daripada calon PNI, Nyoman Mantik. PNI Bali berharap Jakarta akan memilih Mantik. Namun pada 1958, Sukarno sudah memulai kampanyenya menentang demokrasi parlementer, dan jelas menolak dikungkung oleh opini mayoritas parlemen lokal tiga tahun setelah pemilu. Dengan agak berlebihan, pendukung Sukarno dan Suteja mengklaim bahwa dominannya PNI di DPRD menggelembungkan kekutan partai ini yang sesungguhnya di kalangan penduduk pada 1958.



Ketergantungan pada Sukarno inilah yang akhirnya membuat otoritas Suteja di Bali begitu rapuh dan rawan terhadap perubahan keseimbangan kekuatan di pusat. Kekuatan PSI di Bali dan pengaruh Anak Agung Gde Agung memastikan adanya rongrongan terhadap Sukarno dan Suteja di sana. Saling tak percaya antara Agung dan Sukarno mencapai titik kritis pada Agustus 1961, ketika terjadi percobaan yang gagal untuk menghabisi nyawa Sukarno dalam sebuah perjalanan ke Makassar. Percobaan ini berlangsung hanya beberapa pekan setelah sekelompok tokoh penting, termasuk para diplomat asing, pemimpin nasional PSI, dan pihak lain yang dikenal menentang Sukarno, berkumpul di puri milik Agung di Gianyar, jelasnya dalam acara kremasi ayahanda Agung, 18 Agustus 1961. Daftar tamu termasuk Hatta, Syahrir, Soebadio Sastrosatomo, Sultan Hamid II, Roem dan kebanyakan duta besar di Jakarta. Belakangan Sukarno mengklaim bahwa PSI telah memanfaatkan kesempatan ini untuk bersekongkol membunuhnya.



Entah Agung berada di balik persekongkolan untuk membunuh Sukarno atau tidak, peran sentralnya dalam komplotan gelap anti Sukarnois tak lama sebelum percobaan pembunuhan Makassar itu memiliki signifikasi politis yang mendalam. Peran ini menyediakn dalih bagi penangkapan tokoh-tokoh terkemuka PSI, termasuk Syahrir dan Agung, sehingga secara definitif melemahkan salah satu pengelompokan politik utama di Bali dan mendorong polarisasi lebih lanjut antara PNI dan PKI. Syahrir wafat saat menjalani perawatan medis di Swiss, semua tokoh lainnya tetap dipenjara sampai Mei 1966.



Upaya sepihak Suteja untuk mengendalikan aksi massa PNI dan aktivitas partai ini atas nama perdamaian dan ketertiban memancing reaksi geram dari PNI lokal, yang dipimpin oleh Wedastera Suyasa yang garang. PNI menuduh Suteja tidak kompeten dan tidak adil, dan memulai kampanye lewat pawai-pawai yang mengusung tema semacam Rombak Suteja dan kebiri Suteja. Pada 1964, sebuah delegasi parlementer berkunjung ke Bali dan melaporkan bahwa situasi politik di sana sudah terpolarisasi dengan parah. Sepanjang 1964, aktivitas partai merosot ke taraf konfrontasi massa yang kronis antara ormas-ormas PKI dan PNI. Kekisruhan memuncak dalam pertengkaran hebat antara gubernur dan Wedastera di sebuah pawai umum di Denpasar pada 6 Maret 1965, yang berbuntut penangkapan Wedastera atas perintah Suteja. Wedastera mula-mula ditahan di denpasar, dan kemudian di jakarta sampai 29 Januari 1966. PNI juga berjuang melawan Suteja sampai ke Jakarta dengan meminta intervensi pemerintah pusat untuk mengembalikan kedudukan politik sah partai ini dalam aparatus negara lokal.



Berbagai perkembangan di tingkat nasional dan lokal pada akhir dasawarsa 1950-an dan awal dekade 1960-an, termasuk transisi ke Demokrasi Terpimpin, land reform, dan pelarangan PSI, mengubah watak kompetisi politik di Bali, memperhebat polarisasi ideologis dan kelas antara PNI dan PKI, para kontestan baru untuk kekuasaan negara lokal. Jadi, bertentangan dengan pelbagai interpretasi tentang politik Bali yang telah diterima luas, afiliasi dan kompetisi partai pada masa itu bukanlah sekadar refleksi dari persaingan tradisional, melainkan hasil saling pengaruh yang dinamis antara kekuatan nasional dan kekuatan lokal, khususnya pertarungan demi kekuasaan negara lokal.



Walaupun konflik politik lagi-lagi menemukan ekspresinya dalam tindak kekerasan dan konfrontasi terbuka, sampai tingkat tertentu dibatasi oleh keseimbangan halus kekuasaan negara yang dipegang masing-masing pihak yang berperkara. Kudeta Oktober 1965 mengacaukan keseimbangan ini, sehingga dalam hitungan beberapa bulan saja, kekuasaan lokal bergeser secara dramatis dari Suteja, PKI dan Partindo, ke PNI dan para mantan anggota PSI dan sekutu-sekutunya. Hal ini meletakkan landasan struktural bagi kekerasan pada penghujung 1965 dan 1966.



Negara lokal benar-benar mempengaruhi cara kekuasaan dan kebijakan nasional diartikulasikan di tingkat lokal dan bagaimana warga biasa mengalaminya, meskipun negara di Bali sejak semula sudah terbelah tajam. Secara umum, tiadanya kohesi internal ini mempertajam konflik sosial dan politik di kalangan orang Bali dan membatasi peluang tumbuhnya politik solidaritas regional. Satu-satunya perkecualian dari pola ini terjadi dalam konteks perdebatan nasional tentang kebijakan keagamaan pada pertengahan dekade 1950-an, namun benih solidaritas se-Bali ini lenyap dalam sekejap.



Sejak 1950 sampai 1965, militer Indonesia jarang bersuara tunggal. Perpecahan internal, secara kultural, politis, personal, dan institusional, sering menimbulkan perselisihan serius dan terkadang memicu perkelahian terbuka. Berbagai kesatuan atau dinas militer kerap berhadapan dalam isu-isu politik yang panas, atau menjadi terasosiasikan erat dengan salah satu partai politik besar. Pola politisasi yang terpecah belah ini berarti bahwa pertikaian politik selalu potensial mengundang konflik kekerasan. Sepanjang periode ini, bala tentara militer reguler dan gerombolan bersenjata semi-resmi tidak kecil peranannya dalam pola percekcokan politik dan pecahnya kekersan yang merajalela pada akhir 1965.



Dominannya kekuatan militer dari luar, yang dikerahkan di Bali selepas 1950, memungkinkan simpati politik dan agenda kekuatan militer non-Bali untuk menebarkan pengaruh independen terhadap politik lokal. Perubahan kebijakan, personel, dan pola-pola kesetiaan politik di pusat, besar konsekuensinya secara lokal. Di samping itu, hanya terdapat sedikit basis bagi berkembangnya tantangan kedaerahan yang dipimpin militer terhadap pemerintah pusat oleh para komandan militer lokal, sebagaimana yang terjadi di sejumlah daerah di negeri ini.



Hingga Oktober 1950, Bali diduduki oleh Komando Pasukan Bali, sebuah kesatuan yang utamanya tersusun dari eks-pasukan KNIL yang kebanyakan pernah menjadi anggota Korps Pratoda. Sebuah laporan suratkabar dari 1950 mencatat bahwa tiga kompi pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) yang menduduki Bali kala itu adalah orang-orang Bali yang pernah berdinas di knil. Kompi-kompi ini, konon, adalah balatentara KNIL pertama yang ditransfer ke APRIS, pada 3 Januari 1950. Kehadiran mereka di Bali selama setahun penuh sesudah kemerdekaan adalah sumber kepedihan bagi kaum republikan Bali, khususnya pemuda, yang memandang pengerahan tentara eks-KNIL sebagai tak dapat diterima secara politis.



Kekesalan begitu parahnya sampai-sampai bermuara pada apa yang disebut oleh mantan pemimpin PDRI, Cilik, sebagai ekses revolusi, ketika sejumlah besar mantan kolaborator dibunuh oleh para gerilyawan. Selain kompi-kompi eks-Prayoda Bali, tentara yang paling tersohor reaksionernya kala itu adalah CPM (Korps Polisi Militer), yang konon 90 persen anggotanya adalah mantan tentara KNIL. CPM bertanggung jawab atas sebagian besar operasi pembasmian gerombolan eks-gerilyawan pada 1950-51, dan juga laporan-laporan bahwa para mantan anggota Nefis (Dinas Intelijen Tentara Belanda) pergi ke pedalman untuk mengorganisasi pembunuhan terhadap eks-pemuda. Mantan aparat Nefis, Joseph Lu, misalnya, konon membunuh pemimpin pemuda yang terkenal, Cokorda Anom Sandat. Kabar-kabar ini mendorong banyak pemuda untuk kembali ke pegunungan guna memulai aksi pembalasannya sendiri.



Berbagai perkembangan di bidang militer juga memperburuk ketegangan di kubu republikan di Bali. Sebagaimana di daerah-daerah lain di negeri ini, muncul pelbagai kesulitan sehubungan dengan demobilisasi tentara ireguler. Pada Januari 1950, sebuah komisi militer yang diketuai oleh Kapt Andi Yusuf dikirim dari Komando Teritorial RIS untuk Indonesia Timur di makassar guna mengkoordinasi demobilisasi gerilyawan republikan Bali. Komandan RIS, Letkol Mokoginta, seorang republikan, serentak mengeluarkan perintah untuk seluruh laskar gerilya di NIT agar menyerah kepada komisi sebelum 16 Januari 1950.



Dengan semangat kesejawatan yang langka dan berumur pendek, para pemimpin pemuda DPRI dan PDRI mulai bertemu dengan dilingkupi harapan bahwa sejumlah anggota kedua kelompok ini akan dirangkul dalam tentara nasional. Ketika Nyoman Mantik (DPRI) bertemu Poleng pada awal januari 1950, dia diduga meyakinkan Poleng bahwa seluruh eks-tentara gerilya (DPRI dan PDRI) akan menyerah kepada komisi. Perintah 21 November 1949 dari Letkol Kahar Muzakar, yang menggariskan rencana pembentukan dua batalyon lengkap TNI di Bali, telah memberi mereka alasan untuk berharap bahwa anggota mereka, sebanyak apa pun yang dikehendaki, dapat tertampung dalam tentara reguler Angkatan Darat. Di saat yang sama, kahar Muzakkar masih menjadi komandan dan Komando Groep Seberang TNI. Pada Juli 1950, Kahar memutus ikatannya dengan tentara nasional, setelah komandan TT-VII, Kawilarang, tidak bersedia menerima tentara gerilyanya ke dalam tentara reguler.



Namun demikian, pada 15 Januari 1950, hanya para pemimpin PDRI yang menyerah kepada komisi. Alasan langsungnya tampaknya adalah keputusan yang dikeluarkan pada 12 Januari 1950 oleh Ketua Dewan Raja-raja, Anak Agung Gde Oka, bahwa status pejuang kemerdekaan hanya akan dianugerahkan kepada para gerilyawan yang tidak pernah ditangkap atau dipenjarakan. Keputusan ini dikeluarkan dalam bentuk fonogram no J20/1/3 yang ditujukan kepada Kapt Yusuf dan kepolisian lokal yang berwenang, tampaknya keputusan ini baru dipublikasikan beberapa bulan kemudian. Sejumlah besar anggota DPRI, yang aksesnya terhadap angkatan bersenjata telah ditlak, mengalihkan perhatian kepada pertarungan demi jabatan politik dan administratif. Dngan berdirinya Dewan pemerintah daerah Bali dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali pada September 1950, dan ditunjuknya Suteja sebagai kepala daerah, sepertinya kelompok DPRI telah unggul dalam pertarungan ini.



Dalam retrospeksi, kiranya agak mengejutkan bahwa seorang perwira militer republikan, Kapten Yusuf, begitu cepat menerima nasihat dari sebuah badan semacam Dewan Raja-raja menyangkut persoalan yang makna politisnya demikian jelas seperti demobilisasi laskar gerilya, kecuali, tentunya, ada tekanan dari pihak lain. Dalam hal ini, patut diingat bahwa saudara Anak Agung Gde Oka, Anak Agung Gde Agung, kala itu adalah menteri dalam negeri NIT. Bukan mustahil, Agung telah menimpakan pengaruhnya sebagai menteri, entah secara langsung atau tidak langsung melalui Sekretaris Jenderal Pertahanan, Ali Budiarjo, sesama orang PSI, dalam upaya mempengaruhi proses demobilisasi di Bali. Akan menguntungkan bagi Agung jika dapat melemahkan musuh lamanya, kaum pemuda, baik dengan memicu pertikaian di kalangan pemimpin mereka maupun dengan menjaga agar separuh lebih dari mereka tetap berada di luar institusi militer resmi. Tujuan untuk membonsai kekuatan militer Bali ini tampaknya juga dianut oleh Ali Budiarjo, yang membatalkan perintah Kahar Muzakar untuk membentuk tiga batalyon TNI di Bali.



Sakit hati orang PDRI kian menjadi-jadi manakala, dari beratus-ratus pejuang PDRI, hanya sekitar 200 anggota yang diterima di Batalyon Arjuna yang dibentuk untuk menampung mereka. Baru pada November 1950, setelah berselang hampir setahun penuh, batalyon ini secara resmi tergabung dalam angkatan bersenjata reguler. Puncak penghinaan terhadap PDRI terjadi pada Desember 1950, ketika Batalyon Arjuna dirombak menjadi Kompi Panji Irawan dan digabung menjadi satu batalion [Balation 706] dengan eks-pasukan KNIL yang pernah menduduki Bali.



Kedongkolan diperhebat oleh apa yang dipandang sebagai perlakuan tidak adil terhadap kompi gerilya, pangkat anggota eks-KNIL dinaikkan, sementara pangkat mantan gerilyawan diturunkan. Pada 1951, ketika Balation 706 ditempatkan di Kupang, gelegak amarah meletus dalam konfrontasi bersenjata antara kompi eks-gerilyawan dan eks-KNIL. Tak heran, banyak mantan gerilyawan lantas keluar dari kesatuannya dan kembali ke pegunungan di Bali. Bersama sejumlah besar orang di kelompok PDRI yang sama sekali tidak pernah diterima di angkatan bersenjata, mereka membentuk poros sempalan militer dan politik.



Pada 1950, orang-orang PDRI tersebut mulai mengorganisasi sebuah jaringan gerilya baru yang dikenal sebagai PGSI (Pasukan Gerilya Seluruh Indonesia). Tujuan gamblang mereka adalah untuk membasmi kaum eks-kolaboratos atau, dengan kata lain, menuntut balas kepada pihak-pihak yang telah menentang mereka selama revolusi. Tidak jelas, sampai sejauh mana mereka menjalin kerja sama dengan kawan-kawan lama yang kini di Angkatan Darat. Namun demikian, sebuah maklumat lokal Angkatan Darat pada Agustus 1950, yang melarang pemakaian seragam atau lencana tentara oleh pihak-pihak yang tidak berwenang, secara eksplisit menunjuk adanya problem dengan kelompok-kelompok gerilya yang menyaru sebagai TNI.



PGSI dilarang secara resmi menjelang penghujung 1951, tak lama setelah 13 pemimpin pemuda Bali dipanggil ke Jakarta oleh Sukarno untuk membicarakan situasi keamanan yang memburuk di pulau ini. Tiga belas pemuda ini adalah Suteja, Subamia, Wija Kusuma, Poleng, Wijana, Ida Bagus Surya Tanaya, Nurai, Cilik, Mantik, I Gusti Bonjoran Bayupati, Mahadewa, Puger dan Sugitha. Tapi menurut Gubernur Sarimin Reksodihardjo, pembunuhan politik dan bandistime terus berlanjut. Ada 47 kasus pembunuhan yang dilaporkan secara resmi pada 1952, 66 kasus pada 1953, 97 kasus pada 1954. Ini adalah angka-angka resmi yang diberikan oleh kepolisian kepada seorang wartawan pda awal 1956. Memasuki 1955, tahun pemilu nasional, gerombolan-gerombolan kian aktif, banyak di antaranya diorganisasi di bawah naungan nama LOGIS (Lanjutan Organisasi Gerilya Indonesia Seluruhnya). Dengan semakin dekatnya pemilu, menjadi jelas bahwa Logis bereaksi seia-sekata dengan, kalau bukan atas perintah langsung dari, PSI. Penangkapan dan penggerebekan kabarnya membuktikan ini.



Hanya sepekan menjelang pemilu, Logis membunuh seorang anggota PNI di Dewan Gianyar, dan pada hari pelaksanaan pemilu, komandan Brigade Mobil Denpasar, Sutarjo, ditembak oleh elemen-elemen Logis. Dalam kondisi seperti ini, tak heran jika kampanye penumpasan Logis diprakarsai oleh PNI, dengan dibantu PKI. Menurut seorang aktivis PNI di Tabanan, dua eks-pemuda, Nyoman Mantik dan Ida Bagus Mahadewa, menjadi ujung tombaknya. Aktif pula Cokorda Bagus Sayoga dari puri Satria, pusat utama aktivitas PNI sejak 1950.

Pengaruh PSI di Angkatan darat jelas signifikan di tingkat nasional pada tahun-tahun itu. Menteri pertahanan/koordinator keamanan pada saat kemerdekaan, Sultan Hamengku Buwono IX, adalah simpatisan PSI meski bukan anggota, dan sekretaris jenderal Kementerian Pertahanan, Ali Budiarjo, adalah anggota kawakan PSI yang dekat dengan Syahrir dan juga Sultan. Beberapa perwira Angkatan Darat yang ditempatkan di Bali juga simpatisan PSI, termasuk Islam Salim, komandan Kompas C pada 1950-1951. Simpatisan PSI dan mantan pemimpin gerilya PDRI, Poleng, bertugas sebagai perwira untuk tugas khusus di bawah Salim pada 1950-1951.



Di pihak PNI dan PKI, kedua partai ini mengundang polisi yang secara politis dapat dipercaya di Bali dan empat kompi Brigade Mobil dari Jawa Timur untuk mengganyang Logis. Berasal dari Semarang, kepala polisi Bali, Sutarto, adalah anggota pemuda Marhaen PNI sebelum bergabung dalam kepolisian, dan pada awal dekade 1960-an berkiprah di agensi intelijen Subandrio, Badan Pusar Intelijen, atau BPI. Pada Oktober 1965, dia tercantum sebagai anggota Dewan Revolusi Letkol Untung, dan belakangan dijatuhi hukuman penjara yang lama sebagai konspirator kudeta. Kendati tak jelas apakah dia ketika di Bali adalah simpatisan PKI, karena mungkin saja dia PNI, sudah jelas bahwa dalam opini PSI, dia adalah musuh politik. Kebanyakan pemimpin PSI Bali memandang karier dia selanjutnya sebagai bukti yang cukup bahwa Sutarto adalah pro-PKI pada pertengahan dekade 1950-an. Tokoh polisi lain yang aktif dalam kampanye anti Logis adalah eks-pemuda, Ida Bagus Mahadewa, yang belakangan menjadi bupati Buleleng. Pada pertengahan dekade 1950-an, dia adalah anggota terkemuka organisasi pegawai polisi di Bali, PPPRI (Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia). Seperti Sutarto, Mahadewa di belakang hari dianggap bersimpati kepada kaum kiri, tapi pada pertengahan dasawarsa 1950-an, dia lebih suka mengusung label non-partai. Apa pun yang terjadi, bergabungnya kekuatan militer dan kepolisian di kedua belah pihak dalam perkara Logis ini menunjukkan seberapa jauh berbagai pengelompokan politik teleh menembus pelbagai bagian dari kekuatan ko-ersif aparatus negara lokal, dan membantu menjelaskan banyak hal tentang kekerasan politik sejak pertengahan dekade 1950-an hingga masa selanjutnya.



Logis terutama beroperasi di daerah pegunungan Tabanan, Badung utara, Gianyar barat dan Bangli, yaitu pada pokoknya di kawasan basis revolusi tempo doeloe, dan selama beberapa waktu menegakkan sesuatu yang mirip aparatus negara alternatif di sana. Berintikan tak lebih daripada 200 personel bersenjata, Logis sangat mengandalkan simpati atau sikap pasif para pejabat dan warna lokal. Kawasan-kawasan bekas basis republikan tampak menaruh banyak simpati kepada tujuan politik Logis yang tidak jelas. Di kalangan rakyat jelata di daerah-daerah ini, ada rasa ketidakpuasan umum karena mereka tidak mengerti kenapa pihak –pihak yang telah bekerja untuk musuh bisa dilepaskan dengan begitu gampang atau bahkan diperbolehkan masuk pemerintahan. Solusinya yang alami adalah membunuh mereka.



Untuk wilayah yang tidak pro-PSI, sikap pasif adalah posisi yang masuk akal, mengingat terbatasnya sarana perlindungan yang tersedia. Pada dasawarsa 1950-an, punggawa umumnya hanya memiliki dua atau tiga staf, dan tak punya kendali langsung atas angkatan kepolisian atau militer. Bisa saja meminta bantuan polisi, tapi hampir selalu terlambat atau sia-sia. Solusinya yang jelas adalah mengikuti ke mana angin bertiup, dengan harapan agar terhindar dari pembalaan dendam gerombolan. Kelemahan negara, dengan kata lain, menyediakan ruang kapang untuk manuver gerombolan-gerombolan itu, dan berarti bahwa kekuasaan politik tak jarang berlandaskan pada kendali nyata atas angkatan bersenjata. Kekerasan politik adalah hasilnya yang tak terhindarkan lagi.



Sesudah pemilu, reputasi kawanan Logis sebagai bajingan biasa semakin marak, dan simpati publik kian redup. Awal tamatnya riwayat Logis terjadi dengan dibunuhnya seorang pemimpin utmanya, Marsidi, pada Juli 1956. Marsidi diasumsikan punya jalinan dengan PSI. Berasal dari Jawa Timur, Marsidi pernah menjadi kapten di Batalyon 711 Kompas C. Dia dituding terlibat dengan gerombolan-gerombolan Bali pada 1955. Dalam beberapa bulan berikutnya, banyak lagi anggota yang terbunuh atau tertangkap, sehingga memasuki pertengahan 1957, kekuatan Logis habis. Tetap saja, 54 pembunuhan dilaporkan secara resmi pada 1956. Untuk sementara waktu, kekerasan politik di Bali berakhir, tapi tak ada jaminan tidak akan merebak lagi.



SILANG SENGKETA

Menyadari bahaya kekuasaan militer yang berlebihan, Sukarno mulai menyokong PKI. Akibatnya, selewat 1957, Angkatan Darat dan PKI terjeblos dalam pertarungan yang kian sengit demi kekuasaan politik, sebuah pertarungan di mana dukungan Presiden Sukarno adalah fundamental. Pada tahun-tahun penghabisan rezim Orde Lama, Sukarno tampak semakin condong ke kiri. Konsepsinya tentang Nasakom, di mana tiga aliran politik dasar negeri ini: nasionalisme, agama, dan komunis, akan dijalin menjadi satu kesatuan, teristimewa menimbulkan kekhawatiran Angkatan Darat, karena Nasakomisasi dipandang menyiratkan infiltrasi PKI. Usul PKI pada 1965 untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani juga sangat mengancam kepemimpinan Angkatan Darat. Sejalan dengan itu, sejumlah perwira Angkatan Darat bertambah gerah, dan dalam kudeta balasan Oktober 1965, mereka mengambil tindakan terhadap presiden maupun partai komunis.



Karena berbagai alasan, pemberontakan daerah yang memicu pemberlakuan undang undang darurat militer pada 1957 tidak terlalu berdampak langsung pada politik Bali. Pada Agustus 1952, empat sub-komando TT-VII dicanangkan sebagai resimen infanteri (RI), sehingga eks-Kompas C TT-VII menjadi RI-26/VII. Mayjen Ibnu Subroto adalah komandan kesatuan ini sejak Desember 1951 sampai Maret 1956. Pada April 1956, Subroto digantikan Letkol Minggu. Dengan reorganisasi TT-VII pada Mei 1957, Minggu menjadi panglima Komando Daerah Militer Nusa tenggara (KDM-NT) yang baru dibentuk, salah satu dari empat komando regional yang disusun dari komando teritorial sebelumnya, TT-VII. Pada 1959, KDM-NT diganti namanya menjadi Kodam NT/Raksabuana dan pada 1960 menjadi Kodam XVII/Udayana. Akan tetapi, meski terdapat antusiasme kepada Permesta di kalangan kesatuan-kesatuan militer yang ditempatkan di Nusa Tenggara Timur, dukungan dari para komandan yang bermarkas di Bali sepertinya sangat terbatas.



Atas permintaan komandan TT-VII, Letkol HNV Sumual, komandan Nusa tengara, Letkol Minggu, memilih beberapa delegasi dari tiap sektor dalam komandonya untuk menghadiri konferensi Permesta di Makassar, yang mewakili Bali antara lain adalah orang-orang PSI, termasuk Anak Agung Gde Agung, yang kabarnya pada sekitar masa itu telah didekati CIA dan didesak untuk memberikan dukungan kepada Permesta. Menurut salah seorang yang menghadiri konferensi itu, I Gusti Ketut Reti, gagasan otonomi daerah mendapat dukungan di Bali, khususnya di tubuh PSI, di mana terdapat kecenderungan untuk menyalahkan pusat atas kesulitan ekonomi lokal.



Namun di Bali, terjadi perpecahan opini tentang apakah akan ikut serta secara aktif dalam gerakan Permesta. Para pentolan militer yang bermarkas di Bali masih sangat pro-Sukarno dan pro-pusat. Mayor Iwan Stambul, komandan Sektor I Nusa tenggara, sektor yang mencakup Bali, misalnya, bukan simpatisan Permesta, tapi sebaliknya orang PNI yang kukuh, dan pasukannya berperan aktif dalam operasi anti-Permesta di Nusa tenggara Timur. Letkol Minggu tampak memiliki pandangan politik serupa. Keterlibatan PSI dan Angkatan Darat dalam Logis telah mengakibatkan terjadinya upaya-upaya untuk membersihkan apartus militer lokal, sehingga menjelang penghujung 1965, barangkali tinggal segelintir prajurit atau perwira di Bali yang bersimpati kuat kepada cita-cita PSI atau Permesta.

Tidak seperti pemberontakan Permesta, perubahan di tingkat nasional ini berdampak langsung pada politik Bali, menggeser keseimbangan kekuatan politik, setidaknya untuk sementara waktu, ke posisi yang menguntungkan PNI dan merugikan Gubernur suteja serta partai-partai kiri. Penunjukan Letkol Supardi di pos panglima Komando Daerah Militer Nusa Tenggara (KDM-NT) pada Agustus 1959, misalnya, jelas kerjaan Nasution. Sejumlah perubahan personel tingkat tinggi lainnya dilakukan di KDM-NT sekitar masa itu juga. Menurut seorang pengamat, Supardi adalah sosok antikomunis teguh yang mau bekerja dengan PNI melawan Suteja, ketika Suteja mulai mendukung aktivitas PKI pada awal dasawarsa 1960-an.



Pada Januari 1963, tak syak lagi dengan bantuan Sukarno, Letkol Supardi dicopot dari jabatannya sebagai Pangdam XVI/Udayana dan digantikan oleh Brigjen Sjafiuddin. Sejumlah tokoh anti-PKI di kepolisian dan Angkatan Darat juga dipindahkan pada masa itu. Sjafiuddin bukan komunis, tapi seperti Suteja, dia adalah pengikut setia Sukarno, dan dibanding Supardi, kurang suka mencampuri rencana Suteja. Sjafiuddin digantikan sebagai Pangdam XVI/Udayana pada Juni 1966. Tidak jelas apakah dia tersengkut dalam kudeta Oktober 1965, atau cuma dianggap tidak cukup anti Sukarno. Selain itu, menjelang 1965, dia sudah mulai membuat pernyataan publik yang jelas-jelas menempatkannya di pihak kiri. Dalam pidato yang disampaikan pada peringatan Hari Buruh di Denpasar, misalnya, dia menyokong gagasan PKI untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani, pembentukan Angkatan Kelima. Reputasinya sebagai penganut aliran kiri diperkuat oleh fakta bahwa istrinya konon aktif di organisasi perempuan yang bernaung di bawah PKI, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).



Menurut sejumlah sumber, di tubuh kesatuan-kesatuan yang aktif di Bali terdapat anggota eks-Batalyon 715 dan partisipan pemberontakan Madiun 1948. Sejumlah kesatuan lokal di belakang hari dituduh terlibat dalam percobaan kudeta 1965, termasuk kesatuan Cakrabirawa di istana kepresidenan di Tampaksiring, kompi Brigade Mobil yang ditempatkan di Baturi, Kompi A Batalyon 741 di Kuta, kesatuan dari pusat pendidikan dan latihan (Dodik VIII) di Kediri, dan kesatuan polisi militer Kodam XVI/Udayana. Meski tuduhan ini sulit dibuktikan kebenarannya, sudah jelas bahwa memasuki Oktober 1965, terjadi keretakan politik yang serius di tubuh militer di Bali yang, dalam konteks percobaan kudeta dan kudeta balasan, menciptakan suasana saling curiga dan kelumpuhan yang nyaris total pada garis komando normal.



Namun, dengan semua ketegangan dan kecurigaan itu, Bali tidak segera meledak ke dalam kondisi perang saudara. Sebagaimana terlihat, dengan masih berkuasanya Suteja, belum dilarangnya PKI secara resmi, dan keseimbangan kasar kekuatan militer, ketenangan yang tidak nyaman menggenangi sepanjang Oktober dan sebagian besar November 1965. Meruyaknya kekerasan politik baru dimulai setelah pemindahan Suteja ke Jakarta atas perintah Sukarno, dan disusul keputusan para pemimpin militer lokal, termasuk Sjafiuddin, untuk menindak tegas PKI pada sekitar penghujung bulan itu juga. Keseimbangan bahkan makin jauh bergeser menguntungkan kekuatan anti PKI dengan datangnya pasukan dari Jawa pada awal Desember 1965.



Tiadanya kesatuan politik di tubuh aparatus militer lokal memiliki dua konsekuensi penting. Pertama, hal itu membuahkan strategi mengontrakkan tugas menjaga ketertiban kepada organisasi-organisasi pertahanan lokal sipil. Kebijakan ini sesungguhnya semakin mengembangbiakan kekerasan lokal, dan menciptakan preseden dan model bagi politik jaga keamanan 1965-66. Kedua, hal itu berarti bahwa situasi keamanan di Bali lebih bergantung pada kekuatan militer dari luar dan karenanya lebih rentan terhadap perubahan struktutral dan politis yang berlangsung di pusat. Kedua faktor ini turut berperan dalam kekerasan kronis dasawarsa 1950-an dan dalam pembunuhan massal 1965-66.



Kudeta militer 1 Oktober 1965 [Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia] di Indonesia adalah mukadimah salah satu pembantian terbesar abad lalu. Dalam tempo kurang dari setahun, antara 500.000 dan satu juta orang, sebagian besar tersangka anggota PKI atau salah satu organisasi afiliasinya, dibunuh. Tak seorang pun tahu pasti berapa yang tewas dalam pembantaian ini. Perkiraan berkisar dari 100.000 hingga sekitar 1 juta korban. Pembunuhan paling ganas berlangsung di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Tapi, dalam hal proporsi penduduk yang terbunuh, kiranya Bali adalah provinsi yang paling celaka. Di sana, antara Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80.000 orang, atau sekitar 5 persen penduduk yang berjumlah kurang dari 2 juta jiwa, ditembak, ditikam, ditebas atau dikepruk sampai mati.



Perkiraan jumlah korban yang terbunuh berkisar dari taksiran rendah, 40.000 orang, hingga taksiran tinggi 100.000 orang. Soe Hok Gie menyebut angka 80.000 korban tewas sebagai perkiraan yang paling konservatif. Wertheim mengacu pada catatan kepolisian Bali yang mengindikasikan bahwa sedikitnya 100.000 orang telah tewas. Sejarah resmi Angkatan Darat, yang hampir dapat dipastikan merendahkan tingkat pembunuhan ini, menyodorkan angka 40.000 korban. Sejumlah orang Bali yang punya akses ke catatan militer dan pemerintah rovinsi kala itu mengangap angka 50.000 korban tewas sebagai jelas kelewat rendah, dan angka 100.000 korbantewas sebagai mungkin. Sesungguhnya, jauh dari merangsang suatu pertimbangan kembali yang serius terhadap citra yang sangat lazim tentang Bali sebagai surga dunia, pembantaian itu telah diartikan entah sebagai bukti dari pra-angapan tentang eksotisme Bali ataupun anomali sial, sebuah penyimpangan historis.



Sebelum kudeta, pelbagai konflik ekonomi, sosial dan politik yang sangat serius, beberapa di antaranya punya akar historis mendalam, sudah muncul di kalangan orang Bali. Kebanyakan orang Bali takut bicara atu menulis tentang kudeta Oktober 1965 dan buntutnya yang berdarah, karena melakukan hal itu dengan jujur berisiko menuai hukuman berat dari rezim Orde Baru. Oleh sebab itu, uraian sezaman dari para wartawan barat termasuk di antara sedikit sumber yang tersedia mengenai pembantaian di Bali. Tak urung, berbagai uraian tersebut hanya menawarkan penjelasan yang sangat sepenggal dan terkadang menyesatkan tentang penyebab dan hakikat pembantaian. Kebanyakan menyarankan, karena tak satu pun yang memberi argumen kokoh, bahwa pembantaian itu dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dalam kerangka ciri-ciri esensial tertentu dari karakter, budaya, dan agama Bali. Di saat yang sama, argumen-argumen tersebut cenderung mengabaikan atau menyalahartikan signifikansi konteks politik dan historis dari pembunuhan itu.



Tema umum di berbagai uraian yang ada mengenai Bali, dan Jawa, pascakudeta adalah bahwa kekerasan ekstrim terhadap PKI merupakan reaksi atas kekacauan yang ditumbulkan partai ini pada harmoni, tatanan, dan keseimbangan yang terang benderang dalam budaya dan agama Bali. Katalisnya jelas kejengkelan yang sontak menggelegak terhadap komunis, yang sibuk di bawah permukaan Bali yang tenang, tapi telah membuat kesalahan serius dengan mengolok-olok dan coba-coba merongrong bukan saja nilai-nilai religius di pulau itu, tapi juga tradisi kulturalnya yang mengakar kuat. Dalam upaya serupa untuk merujukkan fakta pembantaian dengan gambaran konvensional tentang Bali nan molek, Donald Kirk menyimpulkan bahwa komunisme telah mengacaukan keseimbangan masyarakat Bali.



Kekuatan militer masa itu memainkan peran utama dalam pembasmian PKI, baik melalui aksi militer langsung maupun lewat berbagai manuver politik yang dilakukan begitu memasuki masa pascakudeta. Dimulai pada Oktober, pasukan Divisi Siliwangi yang bermarkas di Jawa Barat dan pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) diturunkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan tujuan eksplisit membantu pemberantasan PKI. Menjelang akhir November, mereka telah membunuh, atau menghasut warga sipil untuk membunuh, beberapa puluh ribu tersangka anggota PKI dan memantau penangkapan sewenang-wenang terhadap lebih banyak orang lagi. Pada awal Desember 1965, pasukan RPKAD bersama kesatuan dari Divisi Brawijaya yang bermarkas di Jawa Timur yang mendarat di Bali untuk melanjutkan tugas itu. Kampanye ini dipacu oleh serbuan propaganda rapi di seluruh penjuru negeri, yang melukiskan anggota PKI sebagai pengkhianat, barbar dan ateis, dan terang-terangan menghasut tindak kekerasan terhadap mereka.



Sesudah 1 Oktober 1965, pers penuh dengan rujukan pada tugas suci Angkatan Darat dan sekutu-sekutu sipilnya untuk menghancurkan PKI. Pada 14 Oktober 1965, contohnya, koran Angkatan Darat, Angkatan Bersenjata, menulis dalam editorialnya: “Tuhan menyertai kita, karena kita berada di jalan yang benar, dan Ia telah melapangkannya untuk kita”. Pada 8 Oktober, koran yang sama agaknya menyerukan perang suci: “Pedang tak bisa dihadapi dengan Quran … tapi harus dihadapi dengan pedang. Quran sendiri menyatakan bahwa siapa pun yang melawanmu harus dilawan sebagaimana mereka melawanmu”. Angkatan Darat juga mendorong berbagai kelompok keagamaan, organisasi pelajar, dan beraneka komando aksi gaya satgas keamnan, untuk berkiprah dalam pembantaian. Dengan kerja sama erat dari pelbagai partai politik, organisasi massa dan para pemimpin agama yang antikomunis, militer dengan mulus menggulung PKI, seraya berangsur-angsur merongrong otoritas Presiden Sukarno. Bukti bahwa PKI bertanggung jawab atas kudeta ini, dengan kata lain, tampaknya telah direkayasa atau sengaja dibesar-besarkan untuk membenarkan tindak pembalasan militer terhadap partai ini.



BANJIR DARAH

Kudeta dan kudeta balasan 1 Oktober serta kampanye menentang PKI yang menyusulnya berdampak mendalam pada perimbangan kekuatan-kekuatan politik di Bali. Meski tidak segera memicu meruyaknya kekerasan politik di Bali, transformasi hubungan politik di tingkat nasional sungguh menghasilkan perubahan penting dalam persekutuan kekuatan-kekuatan politik menjelang akhir November. Kerja sama yang diperbaharui antara komando militer lokal dan PNI menyudutkan Gubernur Suteja, PKI, dan partai-partai kiri lain untuk pertama kalinya sejak beberapa tahun. Perubahan ini merupakan salah satu prakondisi struktural bagi pembantaian yang dimulai pada Desember, tapi tak cukup untuk memicu pembunuhan yang merajalela. Sesungguhnya, sebelum kedatangan pasukan unggul dari Jawa, kekerasan politik di Bali hingga batas tertentu masih tertahan oleh kebuntuan tegang di antara berbagai kekuatan politik yang bersaing di tingkat lokal.



Meski ada berbagai desakan, di sepanjang Oktober, angkatan bersenjata di Bali malas meringkus para tersangka pengkhianat G30S/PKI. Sesungguhnya, sejumlah upaya dilakukan untuk membatasi aktivitas kelompok-kelompok antikomunis yang bermunculan. Dalam sebuah instruksi 13 Oktober, Asisten Dua bala bantuan pertahanan sipil, Sumarno, melarang patroli gerombolan bersenjata yang terkait dengan organisas masa. Dalam pernyataan publik selanjutnya, Sumarno menekankan pengganyangan Malaysia dan neokolonialisme, dan mengecilkan G30S/PKI. Demikian pula, sikap komandan polisi daerah tetap ambigu hingga akhir Oktober, sedangkan Sjafiuddin nyaris diam seribu bahasa sepanjang Oktober 1965, sehingga memicu kecurigaan bahwa dia diam-diam mendukung G30S/PKI. Istri Sjafiuddin diduga adalah aktivis Gerwani, dan kendati tidak pernah terang-terangan menyatakan simpati kepada PKI, ada desas-desus bahwa Sjafiuddin juga bersimpati kepada partai ini.



Sikap diamnya jadi mencurigakan setelah beberapa Panglima Daerah Militer di wilayah tetangga mengeluarkan perintah pelarangan atau pembekuan PKI dan organisasi massanya. Apalagi pada penghujung Oktober, ketika muncul berbagai laporan bahwa para pemimpin PKI sendiri telah mengakui keterlibatannya dalam kudeta, dan bahwa cabang-cabang PKI dan ormasnya di banyak daerah di Jawa dan Sumatra mulai membubarkan diri secara sukarela, Sjafiuddin masih belum juga bergerak. Baru pada awal November, tatkala sudah sepenuhnya jelas ke arah mana angin bertiup, dan setelah dia ditunjuk sebagai panglima Kopkamtib daerah oleh Suharto, Sjafiuddin secara terbuka mengutuk PKI dan mengeluarkan instruksi untuk menggerakkan aksi pemberantasan. Sjafiuddin ditunjuk menjadi panglima Kopkamtib untuk Kodam XVI pada, atau sekitar, 1 November 1965. omandan Korem 163 ditunjuk oleh Sjafiuddin menjadi panglima Kopkamtib untuk Bali pada 29 November 1965.



Gubernur Suteja juga praktis tidak mengeluarkan pernyataan publik dan jarang muncul di berbagai upacara dan pertemuan publik selama Oktober 1965. Dalam sebuah upaya yang kentara untuk mengendorkan ketegangan politik, dia memberlakukan larangan peliputan media massa tentang perkembangan di Bali terkait G30S/PKI. Instruksi yang dikeluarkan 13 Oktober 1965 ini memerintahkan bahwa surat kabar yang terbit di Bali dan Radio Republik Indonesia tidak boleh mencetak atau menyiarkan pernyataan atau informasi dalam bentuk apa pun yang berhubungan dengan peristiwa G30S/PKI. Lawan-lawan Suteja mengangap sikap diamnya dan upayanya membatasi debat publik tentang isu tersebut sebagai tanda keterlibatannya dalam G30s/PKI, dan sebagai usaha memberangus PNI, terutama karena koran besar di Denpasar Bali, Suara Indonesia, berafiliasi dengan PNI. Pada pekan terakhir Oktober, Suteja dipanggil ke Jakarta oleh Sukarno, yang jelas menyadari kian gawatnya posisi Suteja.



Memanfaatkan absennya Suteja yang sedang di Jakarta, PNI menuntut agar PKI ditindak dan untuk pertama kalinya secara terbuka mengungkapkan kecurigaan bahwa Suteja dan Sjafiuddin sengaja berlambat-lambat. Organisasi-organisasi PNI mendominasi pawai Hari Pemuda 28 Oktober di Denpasar, yang dihadiri sekitar 15.000 orang. Dalam amanahnya, pemimpin PNI, dan belakangan sebagai gubernur, I Gusti Putu Merta, menyerukan kepada Presiden Sukarno agar memerintahkan Suteja untuk membersihkan pemerintah lokal dari seluruh elemen G30S/PKI. Mengapa, tanya Merta dengan retorik, tatkala daerah-daerah lain di negeri ini mulai mengambil tindakan tegas terhadap PKI, upaya ini belum dilaksanakan di Bali. Kita harap saja, lanjut Merta, pihak berwenang di Bali tidak akan terus berlagak seolah Bali adalah negeri yang terpisah. Pada 31 Oktober, dalam sebuah pawai di Kesiman Timur, di luar Denpasar, Merta kembali mengeluhkan bahwa Bali jauh ketinggalan dibanding daerah-daerah lain di Indonesia dalam menindak PKI.



Segera sekembalinya dari Jakarta, pada 29 Oktober 1965, Suteja menemui Sjafiuddin, kemungkinan guna membicarakan perkembangan paling mutakhir di Jakarta dan untuk meneruskan pesan Sukarno. Pada 1 November, ia mengeluarkan perintah pembekuan sejumlah terbatas organisasi masa yang berafiliasi dengan PKI. Perintah ini menegaskan bahwa kebekuan tidak berarti membunuh atau bahkan menangkap anggotanya, hanya saja aktivitas normal organisasi bersangkutan harus dihentikan untuk sementara waktu. Kemungkinan, pembekuan sebagian ini diumumkan sebagai upaya untuk memperingatkan organisasi-organisasi afiliasi PKI lainnya akan bahaya yang menghadang mereka, dan guna memberi mereka kesempatan untuk mencari perlindungan. Barulah pada 3 November akhirnya Suteja benar-benar membekukan PKI dan organisasi-organisasi massa utamanya. Dalam instruksi yang sama, para pemimpin organisasi bersangkutan di segala tingkatan diperintahkan melapor kepada polisi. Pada hari yang sama, dua surat kabar yang konon berafiliasi dengan PKI dan atau Partindo, Fadjar dan Bali Dwipa, dilarang terbit.



Pada 11 November 1965, Gubernur Suteja pergi lagi dari Bali ke Jakarta untuk bertemu presiden. Empat hari kemuian, atas perintah Sukarno, dia digantikan sebagai Pepelrada oleh Sjafiuddin. Suteja secara resmi tetap menjabat gubernur sampai 8 Desember, namun selewat pertengahan November, dia efektif tidak berwenang lagi. Dengan tersingkirnya suteja, dan militer lokal menggeser dukungannya dari Sukarno ke Suharto, bertemulah dua prakondisi bagi mobilisasi bareng kekuatan penentang PKI oleh militer dan para pemimpin partai politik. Dalam dua pekan terakhir November, Suteja secara terbuka dituduh mendukung PKI dan kudeta. Sebuah delegasi PNI pergi ke Jakarta pada suatu ketika Desember 1965 untuk menyingkirkan Suteja. Sehabis pertemuan singkat, dia kabarnya mengutarakan keinginan untuk nyupat, dengan harapan bahwa tindakan ini akan mengakhiri kekerasan massal di Bali. Kemudian, berbusana putih-putih, kabarnya Suteja dibawa ke sebuah hutan atau perkebunan sekitar dan dibunuh dengan keris. Para pejabat PNI menanyakan kepada balian di suatu tempat dekat Singaraja pada awal 1966, untuk memastikan bahwa Suteja benar-benar telah terbunuh. Arwah Suteja konon muncul setelah dipanggil oleh sang balian. Menurut salah seorang pejabat PNI yang hadir, dia mengenakan busana putih yang ternoda darah, diperkirakan pada tempat tikaman keris.



Nyaris semua organisasi politik besar dan kedelapan bupati Bali bergabung menyerukan pencopotanya sebagai gubernur dan ketua Front Nasional provinsi serta ketua dewan pemerintah provinsi. Ketika situasinya sudah menjadi jelas, Sjafiuddin dilengserkan dari posnya. Sjafiuddin digantikan sebagai Pangdam oleh Brigjen Sukartyo pada Juni 1966, dan sejak itu tidak pernah lagi tercatat memegang jabatan komando militer. Otoritas-otoritas militer yang lebih rendah diduga juga mengambil tindakan serupa. Komandan Kodim di Singaraja, misalnya, dicurigai mendorong aksi-aksi anti-PKI dan anti Partindo sampai Desember 1966.



Sepanjang oktober dan sebagian besar November, kendati menimbulkan ketegangan politik yang serius, kampanye anti PKI tidak mengakibatkan pembunuhan besar-besaran di Bali. Sesungguhnya, yang paling menakjubkan dari pola konflik politik di Bali hinga penghujung November adalah bahwa, kecuali gamblangnya potensi konfrontasi, dan berlawanan secara mencolok dengan situasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, hal itu tidak cepat memburuk jadi pembunuhan massal yang rusuh. Pembantaiannya sendiri baru dimulai pada Desember, ketika persekutuan kekuatan politik dan militer di tingkat nasional maupun lokal sudah semakin telak berubah menentang PKI. Orang Cina juga menjadi sasaran, khususnya jika mereka terasosiasi dengan partai politik etnis Cina yang pro PKI, Baperki. Namun demikian, menurut berbagai laporan yang ada, hebatnya hanya sedikit yang terbunuh hingga akhir November.



Ketegangan politik serius telah menimbulkan sejumlah kekerasan politik di sepanjang November, namun skala dan intensitasnya tidak sampai menyamai berbagai peristiwa yang dimulai pada Desember. Sesungguhnya, bukti yang berserakan mengindikasikan bahwa di sejumlah wilayah, para anggota PKI masih beraksi dengan tangguh dan percaya diri, dan sama sekali tidak diam saja dijagal atau digiring ke kuburnya. Di Banjar Loloan Barat, di kota Negara, para aktivis PKI konon mencoretkan kata Hidup di rumah sekuru dan kata Mati di rumah musuh. Setidaknya hingga pertengahan November, keseimbangan yang cukup memadai antara berbagai kekuatan politik lokal masih bisa tercapai di Bali, sehingga ketegangan politik yang hebat tak sampai berubah jadi pembunuhan massal.



Situasi politik dan militer di Bali mulai berubah secara dramatis pad paruh akhir November. Tentara lokal, di bawah teknan agar mengambil tindakan yang sejalan dengan perkembangan di Jawa, dan barangkali berhasrat menutupi keterlibatan mereka sendiri dalam percobaan kudeta Untung, mengusung sikap yang kian agresif terhadap tersangka penjahat kudeta, khususnya PKI. Dengan tersingkirnya Gubernur Suteja, jauh lebih mudah bagi mereka untuk melakukannya. Pada November, otoritas militer dan kepolisian di Bali mulai mempergunakan teknik dan bahasa yang dikembangkan oleh para propagandis militer dan politik nasional untuk mengobarkan gairah menentang PKI. Seperti kisah-kisah rekaan tentang perempuan Gerwani yang menggelar tari telanjang sambil mengebir dan mencungkil mata para jenderal yang diculik di Jakarta pada 1 Oktober, pelbagai penyingkapan tersebut berfungsi agar anggota PKI bukan saja tampak sebagai pengkhianat politik biasa, tapi juga tak bermoral, bejat dan biadab. Taktik ini membuat pendelegitimasian PKI dan pembunuhan pra tersangka anggotanya jadi jauh lebih mudah. Surat-surat kabar lokal berkomentar: “Dari pengungkapan ini jelaslah sudah betapa imoral dan bejatnya rencana PKI. Setelah menangguk untung sebanyak-banyaknya dari aktivitas seksualnya yang tak tahu malu, para anggota Gerwani diduga membunuh dan bersamaan dengan itu memotong alat kelamin korbannya”.



Atas dukungan kopkamtib, diluncurkan kampanye untuk membuat agar rakyat jelata jadi mustahil tetap netral secara politis, sebuah teknik perang urat saraf tentunya. Dimulai pertengahan November, tim-tim propaganda, dikenal sebagai Team penerangan Operasi Mental, terjun ke daerah pedesaan menyebarluaskan logika maut non-netralitas: Ditegaskan bahwa hanya ada dua alternatif yang mungkin: berpihak kepada G30S/PKI atau berdiri di belakang pemerintah dalam penumpasan G30S/PKI. Tidak ada yang namanya posisi netral. Jika seseorang tidak tegas menentang PKI, niscaya ia mendukungnya. Supaya tidak ditangkap atau mati, semua orang Bali, terutama yang tadinya anggota PKI, harus menunjukkan bahwa mereka sepenuhnya menolak partai ini, mengutuk pengkhianatan G30S/PKI, dan akan bekerja sama penuh dalam rencana apa pun yang disodorkan pihak resmi untuk menghancurkannya.



Insiden yang konon menyulut pembantaian di Bali adalah terbunuhnya seorang perwira Angkatan Darat dan dua pemuda Ansor oleh para anggota PKI di Desa Tegalbadeng, Jenbrana, pada 30 November. Menurut kearifan konvensional, kekerasan anti PKI merajelale secara spontan di seantero pulau setelah terjadinya insiden ini, dengan cepat menjadi begitu gila-gilaan, sampai-sampai ketika pasukan RPKAD dan Divisi Brawijaya tiba dari Jawa pada 7-8 Desember, tugas utama mereka adalah untuk menghentikannya sebelum terjadi kerusakan yang tak bisa diperbaiki lagi pada struktur sosial.



Manipulasi simbol-simbol kultural dan religius adalah krusial dalam dinamika pembantaian. Karena walaupun dalam hal tertentu ikonoklastik, PKI tidak serta merta ateistik, tidak pula jelas-jelas bertanggung jawab atas terjadinya problem ekonomi dan sosial atau ketidakseimbangan kosmis yang kasatmata di pulau Bali. Pelbagai gagasan tentang hakikat PKI dan hukuman yang patut diterimanya harus, dan telah, dipupuk sebagai fondasi untuk aksi kolektif. Demikian pula, gagasan bahwa problem ketidakseimbangan atau ketidaksucian kosmis akan bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya melalui pembnuhan massa tidaklah muncul secara alami dari ajaran Hinduisme Bali, melainkan lebih cenderung tercipta bersama kepemimpinan militer Indonesia. Seluruh gagasan tersebut sengaja disebarkan atas uluran tangan para pemimpin partai politik dan keagamaan yang berhasrat melihat tamatnya riwayat PKI, tak peduli sebesar apa pun biayanya.



Namun demikian, pembunuhan besar-besaran dan terorganisasi terhadap para tersangka anggota PKI belum dimulai dengan sungguh-sungguh hingga awal Desember 1965, tatkala paukan dari Jawa tiba untuk menertibkan kampanye menentang G30S dan PKI. Maka, berlawanan dengan kearifan yang telah diterima, pembantaian yang dimulai pada awal Desember itu bukanlah tragedi tak terelakkan yang disebabkan oleh curahan gairah religius yang spontan, hasrat bersama untuk menjaga keseimbangan dan harmoni kehidupan desa, atau kegemaran kultural untuk hanyut ke dalam kondisi kesurupan atau amuk yang meluap-luap. Untuk sebagian besar, pembantaian itu adalh hasil dari upaya-upaya yang dengan sadar dilakukan oleh pihak berwenang militer dan sipil untuk menghancurkan PKI.