Jumat, 02 Oktober 2009

Biografi Sejarah Pangeran Natakusuma

PERJUANGAN RAKYAT LANDAK ANTARKAN KEMERDEKAAN
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

BERMULA DARI POLITIEK CONTARCT KOLONIAL
DALAM 1911, seperti juga di kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, kolonial Belanda yang merasa sudah kuat posisi dan kedudukannya, berusaha keras untuk mengendalikan politik pemerintahan otonom lokal feodal lokal di Kalimantan Barat. Untuk itu pemerintah Belanda menyodorkan berbegai naskah perjanjian yang harus ditandatangani. Naskah-naskah ini dikenal luas dengan sebutan Korte Verklaring atau Pelakat Pendek. Dalam naskah perjanjian tersebut, antara lain, dinyatakan agar kepada rakyat ditarik pajak.. Hal ini tentu saja sangat memberatkan rakyat, sebab sebelumnya itu tidak pernah ada.

Dari kontrak pertama antara Kerajaan Landak dengan kolonial Belanda (1845) sampai Politiek Contract (1909) dan 1911, kesemuanya secara berangsur mempersempit ruang gerak dan kekuasaan feodal dan otonom Landak. Dalam isiannya, politiek contrack yang di dan terpaksa lakukan itu intinya adalah” “…administrasi Kerajaan Landak dipegang (kendalikan) oleh pemerintah kolonial Belanda, yang dikuasakan kepada seorang pejabat selaku gezaghebber atau controleur. Jabatan menteri dalam Kerajaan Landak dihapuskan, pembekal (seorang pimpinan adat) diubah menjadi kepala onderdistrik atau juga kepala distrik. Sedangkan kedudukan raja atau panembahan hanya berfungsi, tak lebih dan tak kurang dari, sebagai pengawas”.

Selain itu, “apanage” dihapuskan, diganti dengan belasting yang harus dibayar dalam bentuk uang oleh rakyat. Di samping ini, rakyat Landak juga dikenakan suatu keharusan melakukan kerja rodi (heeredienst) selama 20 hari dalam setahun. Sementara, pajak sebesar 10 persen dikenakan untuk hasil hutan. Selain itu juga dikenakan cukai bagi penambangan emas dan pendulangan (pelimbangan menurut tradisi lokal Landak) intan dan berlian.

Adapun Perjanjian Adat 12 (Dua Belas) Perkara yang dibuat antara para peletak dasar berdirinya Kerajaan Landak (modern) Raden Abdul Kahar dan saudara seibunya (Dara Hitam atau Dara Itam) Ria Kanu (Aria Kanuhanjaya) dipasukan oleh Belanda. Sedangkan hukum adat mulai disingkirkan dan dibentuk suatu lembaga pengadilan Belanda yang disebut landraad van justitie.

Seperti juga kerajaan lain di Kalimantan (Borneo) Barat khususnya, Kerajaan Landak diperintah seorang panembahan atau raja. Dibantu oleh beberapa petinggi feodal atau kalangan pangeran (Rijksgrooten) dari keluarga panembahan (Bloed verwanten van den vorst). Mereka, kalangan ini, bergelar menteri kerajaan. Apabila jabatan panembahan atau raja mengalami kekosongan, misal disebabkan raja mangkat sedangkan putera mahkota atau calon pengganti yang bergelar Pangeran Ratu masih belum mencukupi usianya untuk dinaik-tahtakan, maka ditunjuk wakilraja sebagai ackting atau pelaksana harian raja yang bergelar Pangeran Mangku atau Pangeran Mangkubumi.

Hubungan Kerajaan Landak dengan kolonial Belanda, secara administratif, dapat ditelusuri bermula sejak berdirinya Kesultanan Pontianak 1771. hadirnya kerajaan terakhir di Borneo Barat itu, semua aktifitas perniagaan dari Landak dan Kapuas yang semula terpusat di Sukadana dan Mempawah, belakangan difokuskan di Pontianak. Pajak ekspor dan impor perniagaan dari, antaranya Landak, dipungut oleh Pontianak. Landak dengan sendirinya menempati posisi sebagai negeri vazal dari Kesultanan Banten, tentu sangat keberatan atas tindak pemaksaan untuk masalah pajak tersebut. Maka Landak yang merasa dinaungi Banten melaporkan kondisi terakhir ini kepada penguasa Banten. Banten sampai pada masa ini terus menerus dilanda krisis intern. Karenanya, atas laporan Landak, kesultanan ini tak bisa berbuat lebih untuk Landak yang merupakan negeri sekutunya.

Pada keadaan kritis demikian, kolonial Belanda yang pernah terlibat membantu aktif Banten dalam dukungannya pada perang saudara Landak—Sukadana (1698), mendekati Banten meminta agar daerah dan kekuasaan Landak dialihkan kepada Belanda. Maka tak lama kemudian, 26 Maret 1778 sekitar tujuh tahun sejak eksisnya Kesultanan Pontianak, di benteng Diamant Banten, Sultan Abulmafakhir Muhammad Aliuddin melakukan serahterima Landak (dan Sukadana) kepada kolonial Belanda, dalam hal ini VOC.

Pasca penyerahan Landak kepada Belanda oleh Banten, Gubernur Jenderal Belanda (VOC) di Batavia (1778) mengutus Nicolas de Kloek untuk memantau keadaan Pontianak dengan ekspedisinya. Kloek belakangan ditarik dari posisinya sebelum mengakhiri tugas yang diembannya untuk memantau kondisi lapangan di Pontianak, Landak dan Sukadana pasca penyerahan dari penguasanya.

Itu semua tak lepas dari peran Abdurrahman, pendiri dan sultan pertama Pontianak, yang secara khusus mengirim putranya Kasim ke Batavia menemui Gubernur Jenderal di sana. Maka 6 Nopember 1778, Abdurrahman diakui oleh Hooge Regering (Pemerintah Tertinggi Belanda) sebagai Sultan Pontianak dan Sesango (Sanggau) bergelar Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie.

Nicolas de Kloek belakangan diganti Residen Willem Adrian Palm dengan jabatan Komisaris. Ia bertindak atas nama Reiner de Klerk Gouverneur General (GG) van Nederlandsch Oost Indische Compagnie dan Raaden van Indie, yang mengukuhkan pemerintah dan kekuasaan Pontianak dan Sanggau. Maka dalam padanya, investiture yang berisi 18 pasal disodorkan kepada Abdurrahman. Dinyatakan di dalamnya bahwa Abdurrahman (Pontianak) dipinjami tanahnya sendiri secara kekal abadi (erfelijk leen) dari Belanda guna melengkapi beridirnya Pontianak.

Suatu kejanggalan memang. Pemilik meminjam hak miliknya sendiri kepada bangsa asing. Landak dalam posisi ini dirugikan. Mengingat daerah kekuasaannya ikut berkurang, di mana sebagian tanah wilayah kekuasaannya diambil-alih Pontianak untuk kemudian dimiliki VOC dan belakangan dipinjamkan oleh VOC kepada Pontianak sebagai pemberi semula. Dengan berdirinya Pontianak, luas wilayah Kerajaan Landak berkurang, sehingga tersisa 8910 Km2, sedang Pontianak menjadi 4545 Km2. bukan tidak ada sengketa antara Landak dengan Pontianak terhadap hal itu. Kembali Landak meminta Banten turun tangan menengahi, namun Banten lepas tangan tak berdaya atas itu semua.

Sejak intervensi Belanda terhadap otonomnya, Landak mulai terlibat permufakatan dengan Gouvernement van Nederlandsh Indie pada 31 Mei 1845, di masa pemerintahan raja Landak Panembahan Gusti Mahmud Aqamaddin (1844—1847). Belakangan, inilah permufakatan pertama Landak dengan Belanda, berlanjut pada 7 dan 17 Juli 1859 di saat pemerintahan Panembahan Ratu Adi Kesuma Amaruddin (Panembahan Amar, 1847—1874), ditandai Lange Contrack (kontrak panjang). Mulai saat itu di ibukota Kerajaan Landak di Ngabang, Belanda menempatkanpegawai bangsa Eropa selaku Euroopeesch Bestuursambtenaar.

Belakangan, di masa Wakil Panembahan Pangeran Mangkubumi Gusti Budjang Isman Tadjuddin (1901—1922) ditandatangani lagi Politiek Contract 8 Oktober 1909, kemudian Korte Verklaring 19 Mei 1922. dan disertai dua perjanjian ini pula, pengukuhan Pangeran ratu sebagai Raja atau Panembahan Landak Gusti Abdul Hamid Azis dilakukan 4 Nopember 1922. panembahan Hamid sebagai raja menerima kenyataan kekuasaan otonom lokal di bawah kendalinya dalam keadaan serba sempit. Kekuasaan yang dibatasi dan wilayah kekuasaan yang diawasi. Maka jelas, sejak kontrak pertama hingga politiek contract terakhir tadi semua itu secara berangsur, namun pasti, mempersempit ruang gerak dan kekuasaan feodal otonom lokal Landak.

Terhadap tindak-tanduk kolonial Belanda, elit Landak tak berdiam diri. Dengan cara terbatas, mereka bangkit berontak. Meski upaya itu dengan mudah diatasi Belanda. Bahkan, sebatas rencana perlawanan rakyat Landak pun sudah diantisipasi penguasa Belanda, sehingga tak memungkinkan tindakan perlawanan lebih dalam skala besar untuk ukuran pada zaman itu. Namun begitu, Ratu Adi Achmad Kesuma, putra dari Pangeran Mangkubumi Gusti Ismail Raja Haji Isya, menyalakan kobar api perlawanan rakyat Landak yang sangat melegenda. Sekalipun dipadamkan dengan mudah oleh Belanda, akan tetapi benih pemberontakan rakyat Landak menentang dominasi kolonial Belanda mulai menebar untuk kemudian tumbuh subur seiring dengan konteks zamannya.

Seakan meneruskan perlawanan Ratu Adi Achmad Kesuma, yang dikenal luas dengan sebutan Pemberontakan Ratu Adi, dalam 1890 muncul pergolakan bersenjata dipimpin Wakil Panembahan Landak (1875—1890) Haji Gusti Kandut Muhammad Tabri Pangeran Mangkubumi Wira Natakusuma. Perlawanan berwaktu pendek itu, sebagaimana juga perlawanan Ratu Adi terhadap kolonial Belanda berpangkal pada politiek contrack, dengan mudah dipatahkan Belanda. Dan Gusti Kandut belakangan diinternir ke Cianjur hingga wafat di sana (1890).

Maka jelas, sejak pemberontakan Ratu Adi hingga pergolakan Gusti Kandut Pangeran Wira Nata (1890), kesemua perlawanan rakyat Landak, di mana di dalam konteks ini Landak dipandang sebagai perlawanan Melayu—Dayak di satu pihak terhadap Belanda di pihak lain, disebabkan oleh sejumlah hal. Keseluruhannya adalah lantaran:

1. Administrasi Kerajaan Landak diambilalih (kemudian dipegang langsung) oleh pemerintah kolonial Belanda, yang dikuasakan kepada gezaghebber atau controleur. Dalam padanya sistem pemerintahan feodal otonom lokal Landak sendiri yang memang sudah diwarisi terhapuskan, atau setidaknya diminimalisir oleh kekuasaan Belanda. Antaranya, kedudukan panembahan atau raja tak lebih sebagai pengawas atau mandor, termasuk bersama pejabat Landak di bawah dan jajarannya diberikan tunjangan dari landschap.
2. Apanage dihapuskan diganti dengan blasting yang harus dibayar dalam bentuk mata uang dan disetorkan pada kas lanschap. Di samping itu rakyat diwajibkan melakukan kerja rodi (heeredienst) selama 20 hari dalam setahun. Pajak 10 persen dikenakan untuk hasil hutan, juga 10 persen untuk cukai penambangan emas dan intan atau non-migas.
3. Perjanjian 12 Perkara Adat dihapuskan. Hukum adat perlahan namun diwujud-nyatakan diganti dengan kekuasaan Landraad atau Pangadilan Negeri. Akibatnya, ikatan adat, baik Melayu maupun Dayak, berada di bawah pengawasan kolonial Belanda.

4. Kolonial Belanda selalu menyodorkan kontrak-kontraknya yang sifatnya, jelas, sangat merugikan satu pihak (dalam hal ini Kerajaan Landak). Secara politis, penguasa otonom lokal Landak tersudutkan dengan penandatanganan Lange Contract (Kontrak Panjang) sejak 1859 hingga Nieuw Lange Contract (Kontrak Panjang yang Diperbaharui) 5 Juli 1883.

5. Perjanjian Perbatasan Landak dengan Pontianak 18 Agustus 1886, nyata merugikan Landak, di satu sisi lain terjadi pengurasan luas wilayah dan hasil bumi di wilayahnya oleh kekuasaan otonom lokal lainnya (Pontianak) bersama kolonial Belanda di belakangnya.

PENERAPAN BELASTING DAN HEEREDIENST
SEJAK DITANDATANGANI Kontrak Panjang 17 Juli 1859, apanage dan sejumlah pajak lain, seperti emas dan intan serta hasil bumi non-migas Landak, diserahkan kepada pemerintah Belanda. Sementara, Landak merupakan pasaran komoditi dan produksi hasil bumi yang melimpah, rakyat Landak sendiri tak cukup menikmati hasil bumi mereka. Bahkan, penguasa feodal otonom lokal Landak tak lebih sebagai pemerhati dari perampasan hak-hak yang dimiliki rakyat oleh kolonial Belanda. Keengganan sebagian besar feodal birokrat Landak menentang sikap dan tindakan Belanda ini tak lebih karena posisi mereka di birokrasi pemerintahan Landak sendiri.
Dalam suasana dualistis itu, di satu sisi penekanan oleh pihak Belanda dan di sisi lain birokrat Landak mulai berhitung dengan pertimbangan kedudukan mereka, Wakil Panembahan Kerajaan Landak Gusti Kandut bersikap lain. Ia memelopori suatu perlawanan, meski hanya didukung sebagian kecil birokrat di jajaran pemerintahannya. Satu pertimbangan lain kalangan birokrat tak melebur diri bersama tindak perlawanan Gusti Kandut, di mana benih dukungan terhadap posisi raja yang diemban Gusti Kandut, mulai dipersoalkan. Kalangan tersebut berupaya memanfaatkan kondisi yang diperankan Gusti Kandut untuk merebut posisi wakil raja ini.

Haji Gusti Kandut Muhammad Tabri yang bergelar Pangeran Wira Natakusuma adalah Wakil Panembahan atau Pangeran Mangkubumi Kerajaan Landak kurun 1875—1890. Ia memerintah sejak mangkatnya raja Landak terdahulu, Panembahan Gusti Abdul Majid (1872—1875). Saat panembahan Majid wafat dalam usia muda, ia meninggalkan putra mahkota calon pengganti kemudian nanti masih dalam usia kanak-kanak. Di antara putra-putra Panembahan Majid, antaranya Pangeran Ratu (gelar yang diberikan kemudian oleh Wali Kerajaan) Gusti Abdul Azis dan Gusti Abdurrani yang belakangan bergelar Pangeran Nata Kusuma.

Mengingat itu pula, diasingkannya Pangeran Wira Natakusuma ke Cianjur 1890, maka tahta empuk kerajaan pun dialihkan kepada pemangku jabatan Gusti Ahmad. Selama enam tahun (1890—1896) Gusti Ahmad selaku Pangeran Mangkubumi, dalam 1896 ia kemudian mundur dari jabatannya dan melepaskan kedudukan itu kepada pewaris jabatan ini Pangeran Ratu Gusti Abdul Azis Majid. Sejak menduduki tahta, Panembahan Azis bergelar Panembahan Gusti Abdul Azis Aqamaddin Surya Kusuma. Dalam memerintah, dengan masa kekuasaan yang sangat pendek tak lebih dari tiga tahun, hingga wafat 1896, Panembahan Azis didampingi antara lain saudaranya Gusti Abdurrani Pangeran Nata Kusuma.

Panembahan Azis wafat dalam usia belia 1896. Saat mangkat setelah sekitar tiga tahun memerintah Kerajaan Landak, ia meninggalkan putra mahkota yang belakangan diberi gelar Pangeran Ratu, masih dalam kandungan Ratu Permaisuri Utin Derma. Mangkatnya Panembahan Azis, sementara pewaris kerajaan (yang kala ketika itu belum dapat dipastikan apakah bayi dalam kandungan ratu permaisuri adalah seorang putra), mengharuskan kalangan birokrasi kerajaan, dengan tak lepas dari campur tangan Belanda, untuk menentukan pengisi tahta kerajaan yang lowong.

Mengisi kekosongan tahta Kerajaan Landak, kolonial Belanda yang sejak diadakannya Korte Verklaring, campur tangan. Mengatur administrasi pemerintahan Kerajaan Landak, dan dengan sendirinya, telah melampaui batas kewenangan di mana dalam menentukan siapa yang berhak menduduki tahta selanjutnya, Belanda andil besar.

Maka, lagi-lagi dengan bimbingan kolonial Belanda, sebagai pengisi tahta yang ditinggal wafat Panembahan Azis diangkatlah Wakil Panembahan Pangeran Mangkubumi Gusti Budjang Isman Tadjuddin yang kemudian menduduki jabatan ini tak kurang dari 23 tahun, 1899—1922. Gusti Budjang adalah putra Pangeran Mangkubumi Gusti Doha, wakil raja Landak terdahulu (1874—1880).

Pihak Belanda, secara halus dan mulanya tak kentara, jelas sangat berkepentingan atas pergantian kekuasaan di Landak. Adanya benih persengketaan kepentingan birokrasi internal di lingkungan feodal otonom lokal Landak yang terpercik sejak pemerintahan Gusti Kandut, dipelihara dengan rapi oleh kolonial Belanda. Oleh sebab itu, politik devide et impera pun diterapkan dalam suasana menempatkan calon pengganti Panembahan Azis yang wafat ini.

Belakangan, timbul dua faksi di lingkungan Kerajaan Landak. Semula faksi ini hanya sebatas wacana internal, namun dipicu kepentingan dan keterlibatan Belanda di salah satu faksi, akhirnya dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Landak dikenal twee takken. Masing-masing Oeloe Tak yang disebut-sebut dengan figur berpengaruhnya Gusti Abdurrani Pangeran Nata Kusuma dan Wadana Jaya Kusuma Ya’ Bujang serta Ilir Tak dengan figur sentralnya Pangeran Mangkubumi Gusti Budjang Isman Tadjuddin.

Sejak menduduki jabatan Pangeran Mangkubumi (1899), Gusti Budjang pun tak luput dari keharusan menandatangani Politiek Contrack yang dilakukan dalam 1901 dan kemudian 8 Oktober 1909. Semakin nyata, otonom lokal Landak semakin sempit dan tata pemerintahannya semakin terjepit. Dengan begitu, dukungan atas kebijakan yang ditempuh penguasa kerajaan menyebabkan rakyat Landak mengalami keterbelahan.

Di satu sisi mengemuka keinginan menolak kepemimpinan Gusti Budjang, di sisi lain timbul tudingan Gusti Abdurrani memanfaatkan kesempatan untuk menyisihkan pemegang kekuasaan. Timbulnya dualisme ini tak pelak lantaran pemicu persoalan ini, kolonial Belanda, memainkan peranan yang cukup strategis. Sementara itu, terbelahnya dua sikap di lingkungan istana Kerajaan Landak terus mengemuka, rakyat Landak memikul beban berat. Di samping rakyat Melayu—Dayak melakukan kerja paksa (rodi atau heeredients), juga dicekik keharusan membayar pajak yang sangat sukar dipenuhi.
Dengan demikian, kehidupan rakyat Landak yang sudah cukup lama tertekan, semakin menemui kesukarannya. Akibatnya nyata, penderitaan rakyat Landak kian terasa dan kentara.

Adanya tudingan Belanda terhadap sinyalir ada dua tak (Oeloe Tak dan Ilir Tak, atau kelompok hulu dan kelompok hilir) di lingkungan Kerajaan Landak, lantaran mencuat ke permukaan penentangan yang dinampakkan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma. Sebagai menteri kerajaan Landak yang mengatur masalah keamanan dengan diberikan kewenangan untuk membantu pemerintahan di wilayah Menyuke dan sekitarnya, ia mempersoalkan apa yang ditekankan terhadap rakyat.

Dan lebih ke dalam, ia memprotes sikap tidak tegas penguasa kerajaan yang tak ada sikap menolak apa yang dimaukan pihak Belanda. Gusti Abdurrani intinya menuntut eksistensi kekuasaan kerajaan tetap ditegakkan, bahkan ia menghimbau agar tindakan yang ditempuh pendahulu, antaranya Gusti Kandut, untuk diteruskan. Sikap anti-pati ini dimanfaatkan kalangan penguasa yang sedikit-banyak merasa khawatir akan terseret dalam upaya menolak kekuasaan Belanda. Dalam pemikiran yang ada, apabila mengikuti inisiatif Gusti Abdurrani, memungkinkan pihak Belanda akan melakukan perubahan besar-besaran struktur kekuasaan kerajaan yang ada. Maka, jika itu terjadi, penguasa dan jajarannya akan terpinggirkan dan digantikan oleh penguasa yang baru.

Atas pandangan sikap terakhir, kecurigaan semakin menebal, di mana Gusti Abdurrani sendiri adalah saudara kandung dari panembahan terdahulu, Gusti Azis, yang memang memungkinkan mewarisi pula jabatan dan kedudukan dari orangtuanya. Atau dalam pengertian lain, ia berhak menjadi pemangku jabatan atau wali jabatan dari keponakannya yang masih dalam kandungan Ratu Permaisuri Utin Derma, putra mahkota yang ditinggal mangkat Panambahan Azis.

Atas dasar kecurigaan itu pula, pihak pejabat kerajaan semakin merapat dengan penguasa Belanda. Maka, di kalangan luas rakyat Landak, adanya Oeloe Tak dan Ilir Tak sudah bukan sebatas wacana. Namun, manjadi semacam realita yang ada di hadapan mata. Belanda mengisukan, dukungan yang diberikan kepada Ilir Tak lantaran di Oeloe Tak tidak ditemukan adanya figur yang cakap untuk menjalankan administrasi pemerintahan Kerajaan Landak. Ini sebagaimana diterangkan Gezehebber Landak, Later, dalam memorinya De reden dat Goesti Boedjang tot de regering werd groepen was hiering gelegen dat in Oeloe Tak geen geschikte regent, figur te vinden was.

PERTENTANGAN INTERNAL ELIT
DALAM 1912 mulai diberlakukannya pembayaran pajak dengan sistem belasting, uang yang dipungut langsung dan diserahkan ke kas landschap. Dengan perubahan sistem pembayaran pajak ini, dari apanage ke sistem belasting, dengan sendirinya panembahan serta kalangan birokrat feodal lokal Landak mendapat gaji dari landscap atau pemerintah Belanda.

Dalam padanya, kehidupan perekonomian rakyat Landak kian terjepit. Terlebih diberlakukannya kontrak-kontrak yang dipaksakan, sehingga semakin memperkecil dan mempersempit ruang gerak hak dan kekuasaan birokrat Landak. Dipicu itu, kalangan birokrat feodal lokal Landak mengalami perpecahan yang kian meruncing. Dan semakin kentara sejak dihapuskannya sistem apanage dan diberlakukanya sistem pajak belasting disertai rodi 20 hari dalam setahun. Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma sendiri selaku menteri Kerajaan Landak yang notabene sebagai apanage houders praktis tidak mempunyai kuasa lebih dari sekadar simbol belaka untuk jabatan itu.

Di wilayah kerja-tugasnya, Menyuke khususnya, Gusti Abdurrani dikenal sangat berpengaruh. Bukan saja sebagai menteri kerajaan jabatan yang disandang olehnya, tetapi juga kedekatan dengan rakyat di sana. Mayoritas masyarakat Dayak dalam wilayah kerja Natakusuma sangat fanatik dengan kebijakan yang ditempuh sang menteri kerajaan ini. Apalagi, di lapangan Ya’ Bujang Wedana Jaya Kusuma merupakan tangan kanan Natakusuma yang leluasa bergerak memberikan pengertian ke depan di kalangan rakyat luas tentang sistem belasting yang diberlakukan ini bila tidak ditengarai berbagai kalangan akan memberikan ekses tersendiri. Ekses itu terutama pada faktor perekonomian rakyat tradisional khususnya.

Pengaruh kuat itu pula yang melibatkan dukungan yang segera diberikan sejumlah pemuka adat dan pemimpin tradisional lokal di kalangan masyarakat Dayak, terutama dari sejumlah panglima adat yang berpengaruh, antaranya Panglima Ganti, Panglima Bida, Panglima Daud dan Panglima Anggui. Itu semua selanjutnya diwujudkan dalam suatu bentuk mengkristalnya kebulatan tekad untuk meletuskan sebuah pemberontakan bersenjata. Dan ikatan emosional di kalangan pemimpin lokal dengan rakyatnya ini diperkuat suatu jalinan dikukuhkannya kembali sistem Perjanjian 12 Perkara Adat oleh Pangeran Natakusuma, di mana oleh Belanda, salah satunya masalah ini telah dihapuskan.

Dihapuskannya sistem ini, salah satu dari beberapa hal penting lainnya yang didelete kolonial Belanda, dikarenakan kecurigaan di dalam sistem itu sangat potensial jalinan kuat antara Dayak dan Melayu dalam suatu ikatan emosional bersama yang utuh dan menyeluruh. Hal disebutkan terakhir, dalam pandangan penguasa landschap Belanda sangat membahayakan jalanannya kekuasaan yang diterapkan. Namun di sisi lain, kalangan birokrat feodal lokal Landak sendiri, memainkan suatu peranan dalam kedekatannya dengan kalangan landschap Belanda, di mana isu yang dihembuskan, dalih mempertahankan perjanjian adat 12 perkara itu bukan semata masalah kepentingan sosial ekonomi, namun menurut pengaduan kalangan tersebut, tak kurang sebagai upaya menyusun suatu rencana strategi dalam rivalitas kekuasaan di lingkungan Kerajaan Landak itu sendiri.

Dalih terakhir ini sebetulnya oleh Belanda tidak begitu berpengaruh, apalagi dibanding kekuatan yang dimiliki dalam kekuasaannya. Namun, dalih itu menjadi sangat diperhatikan, bahkan dijadikan manajemen konflik, karena adanya kepentingan khusus. Belanda sebagai suatu rahasia umum berkepentingan menjalin hubungan baik dengan kalangan birokrat penguasa otonom lokal Landak, oleh sebab itu, sinyalir perpecahan di kalangan ini dikelola semaksimal mungkin. Sehingga dalam pandangan Belanda, sesungguhnya kedua faksi yang menjadi rivalitas di Landak ini sama-sama dikuasai dengan cara penguasaan yang berbeda.

Hal dimaksudkan terakhir, Belanda memandang Oeloe Tak bahkan dianggap sebagai musuh berbuyutan, sedangkan Ilir Tak sebagai mitra kerja dalam penyelenggaraan tata pemerintahan. Maka dengan begitu, wacana Oeloe Tak dan Ilir Tak mengalami suatu perubahan menjadi kenyataan. Apalagi, dari pendekatan khusus Belanda, mengantarkan kalangan Ilir Tak pada kesimpulannya untuk bersekutu dengan Belanda dalam rangka stabilitas pemerintahan Kerajaan Landak dan dinamitas penguasaan Belanda. Namun sebetulnya, di sisi menyimpang dari perselingkuhan Ilir Tak dan landschap Belanda itu tak lebih sebagai upaya, dengan menolak konsep Oeloe Tak, untuk melanggengkan kekuasaan yang dipegang dalam mengelola pemerintahan otonom lokal Landak itu sendiri.

Dukungan masyarakat luas Menyuke melalui para elitnya, dalam hal ini sejumlah panglima adatnya, diwujudkan dengan diedarkannya isyarat pergolakan rakyat secara utuh dan menyeluruh yang dinamakan damak. Damak, dalam konteks ini adalah semacam tongkat komando atau instruksi wajib dipandang dari sudut adat-istiadat lokal masyarakat, sama halnya dengan isyarata adat mangkuk merah. Isyarat ini merupakan ikatan atau jalinan emosional masyarakat luas dalam wilayah penyebarannya untuk mendukung suatu upaya atau gerakan yang diinstruksikan pemimpin atau para panglima adat untuk suatu hal tertentu. Dan dalam waktu relatif singkat, peredaran damak sudah meliputi seluruh wilayah kerja menteri kerajaan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma.

Beredarnya damak yang kemudian menjadi isyarat peperangan ini, selain memperoleh sambutan luas, juga menjadi ikatan emosional masyarakat majemuk Dayak dan Melayu yang dalam bagian tertentu dikatakan sebagai sebuah faksi bagi Oeloe Tak. Pada mereka, isyarat itu sebagai komando peperangan. Dan dalam pengertian mereka pula isyarat damak tak kurang sebagai sebuah perlawanan untuk pertumpahan darah. Maka di kalangan Oeloe Tak suatu keyakinan mendalam, pertumpuhan darah di daerah Landak oleh Dayak dan Melayu adalah satu darah: merah dan satu jiwa: putih. Konteks ini melihatkan jiwa semangat dan nilai kehidupan yang mereka emban diterjemahkan sebagai merah putih darah dan jiwa yang menyala di dalam diri masing-masing mereka.

Menjelang beredarluasnya damak, sebetulnya suatu upaya meredam itu semua sudah dicoba oleh kalangan Ilir Tak. Dalam sebuah perhitungan mereka, bila isyarat adat ini terpenuhi oleh berbagai kalangan masyarakat Landak, memungkinkan kegoyahan dalam roda pemerintahan Landak segera mengemuka. Namun hal itu tak terlampau diperhitungkan, mengingat Belanda memberikan perlindungannya bagi kalangan ini dalam persaingan kuat dengan kalangan Oeloe Tak.

Dan untuk itu pula, ketika sistem pajak belasting dan rodi dirubah menjadi sistem pajak belasting dan rodi atau dalam istilah setempat nembok diberlakukan per-pintu atau lawang rumah masyarakat dan diberlakukan pula bagi masyarakat di atas 15 tahun. Dan dalam waktu bersamaan sistem ini kembali diperketat, untuk diberlakukan per-kelambu, atau dalam pengertian harus diterima dan diterapkan secara menyeluruh. Kalangan Ilir Tak sama sekali tidak menggubris sistem ini. Bahkan terkesan memuluskan jalannya penindasan Belanda terhadap rakyat Landak itu sendiri. Adanya sistem diberlakukan itu jelas membawa dampak resiko yang sangat menyulit dan menyudutkan rakyat.

Perubahan pajak dari pintu ke kelambu bagi orang yang sudah dewasa membawa dampak luas, tipa lawang atau pintu biasanya terdiri dari beberapa kelambu. Turun nembok, istilahnya, biasanya bersamaan waktunya dengan saat mulai bercocok tanam padi di ladang. Akibat dua sistem ini, kesemua aktifitas agraris masyarakat Landak terbengkalai. Siang malam rakyat menjalankan perintah rodi, sebelumnya hanya 20 hari dalam setahun, namun belakangan terakhir dengan waktu tak terbetas. Dan kalangan Ilir Tak sama sekali tak memberikan reaksinya atas sistem yang menyimpang dari tata aturan semula ini.

Dikarenakan diberlakukannya sistem tersebut, sebagian masyarakat Landak memilih meninggalkan daerah semulanya. Mereka hijrah ke wilayah kekuasaan Kesultanan Pontianak, termasuk ke Sungai Ambawang dan Sekilap Sepatah di tepi aliran Sungai Landak dan Sungai Ambawang. Oleh sebab itulah, damak yang semula beradar di kalangan terbatas, kemudian memperoleh dukungan luas. Tak sebatas wilayah edarnya di daerah Menyuke, damak belakangan meluas ke seluruh wilayah Kerajaan Landak. Dan di belakangan tabir itu semua, Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma bersama Ya’ Bujang Wedana Jayakusuma adalah konseptor yang memainkan peranan penting dan menerapkan langkah strategisnya.

PERGOLAKAN BERSENJATA RAKYAT LANDAK
Saat perayaan khitanan (besnijdenis van den) Pangeran Ratu Gusti Abdulhamid, putra panembahan terdahulu Azis, kepala-kepala dan tua-tua kampung di samping turut merayakan pesta tersebut, juga membawa sumbangan sebagaimana digariskan dalam Hukum Adat 12 Perkara. Di antara mereka ini yang hadir Mangku Rasan, Mangku Bintan, Mangku Empen, Raksapura Setolo, Temenggung Jelimpo, Temenggung Naya dan lainnya. Perhelatan tujuh hari ini dimanfaatkan para tetua dan pemuka rakyat mengatur strategi dikoordinir Panglima Ganti dan Anggui dari Kampung Rasan, Panglima Bida dari Kampung Rayan dan Panglima Daud serta Ya’ Bujang Wedana Jaya Kesuma bekas Wedana Darit. Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma berada di belakang layar rencana yang akan dilakukan kemudian.

Controleur van Landak Marius Lodewijk Horsting seorang bestuur berpendirian keras. Dia sangat dekat [atau sebaliknya] elit Kerajaan Landak masa ini. Wakil Panembahan Gusti Budjang Isman Tajuddin Pangeran Mangkubumi, dan Ya’ Amin Adipati Wira Negara digolongkan dalam kelompok ini. Ketiganya kurang disenangi rakyat, dikaitkan dengan Partai Ilir dan Partai Ulu. Semakin jelas Ulu Tak dan Ilir Tak, melonggarkan strategi yang dimainkan Horsting, terlebih Gusti Bujang dan Ya’ Amin dua elit yang berpengaruh dalam birokrasi Landak sukar dipisahkan dari kebijakan bestuur ketika itu.

Selasa malam 1 Nopember 1912, atas undangan Sunduk Mangku Rasan secara rahasia atas perintah Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma, berkumpul sejumlah kepala dan tetua Dayak dan Melayu masing-masing beserta pengikutnya. Disiapkan adat berimah, suatu upacara sakral memanggil roh leluhur untuk keberhasilan suatu rencana. Pada 2 Nopember paginya, di muara Sungai meyuke di Kampung Munggu percabangan Sungai Landak ke arah Ngabang, acara sakral inipun dilakukan. Sedikitnya mendatangkan 700 orang rakyat Dayak dan Melayu yang bersimpati dan terkoordinir untuk menuju ke suatu tujuan khusus yang disiapkan Natakusuma.

Namun demikian, sejak acara sunatan Pangeran Ratu Gusti Hamid di Keraton Raja Ngabang, bestuur ambtenaar Belanda dalam lingkup kontrolir telah mencium gelagat ini. Mungkin ini latarnya, 30 Oktober 1912, sehari sebelum persiapan berimah dilakukan, dari Pontianak Controleur Horsting berada di Munggu diikuti pasukan tambahan dari Pontianak. Militer dalam jumlah kecil namun bersenjata lebih dari yang dihandalkan rakyat, dipimpin Letnan Krabbenbos dengan sejumlah serdadu dan gewapende politie dinaar, masing-masing 6 orang, serta Daeng Saleh Polisi Kahar atau Landschap.

Entah bagaimana, Horsting serta merta memanggil Pangeran Nata Kusuma (diikuti juga dengan dipanggilnya Pangeran Riya) untuk sebuah pertemuan. Mereka berada di atas Kapal Kahar, armada kecil yang membawa kontrolir beserta pasukan bersenjata dari Ngabang dan bantuan militer dari Pontianak. Rencana semula, kapal ini akan ditembaki di daerah Sempadang. Namun, satu sama lain pemuka Dayak dan Melayu yang telah berimah tak menangkap isyarat lebih. Sebaliknya, keberadaan Natakusuma di kapal tersebut, terlebih diikuti Pangeran Riya, mereka menafsirkan telah terjadi suatu perdamaian keduabelah pihak.

Di Ngabang saat bersamaan, sekitar 700 rakyat dibubarkan. Termasuk Sunduk Mangku Rasan, dipanggil ke kantor kerajaan dan dihadiahi sebungkah mando [tempayan] dan piring putih tanda adat persaudaraan dan perdamaian oleh Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang Isman Tajuddin. Dengan sendirinya, rakyat yang telah bersiap bertempur terpelah. Sebagian besar kembali ke kampung halaman, sebagian kecil masih bertahan mengikuti perkembangan lanjut. Dan yang disebutkan terakhir menemukan suatu fakta nyata dipimpin Panglima Anggui dan Ganti. Mereka sadar, suatu muslihat telah terjadi, Natakusuma masuk jebakan kontrolir, tentunya atas strategi yang dipersiapkan elit kerajaan yang memang berseberangan dengannya.

Malam 3 Nopember 1912, Anggui dan Ganti diikuti beberapa orang pengikut menyusup memasuki Ngabang. Mereka bertahan di sekitar Kampung Raja dengan mengamankan diri di sekitar rumah Gusti Sahidin. Dari jarak yang tak terlalu jauh dari kolong rumah Gusti Sahidin pula, Panglima Ganti melepaskan tembakannya ke arah Ya’ Amin Pangeran Adipati Wira Negara. Dan letusan senapannya yang mengarah ke sasaran yang tepat, Ya’ Amin roboh seketika. Seketika pula Ganti dan Anggui meninggalkan Ngabang kembali ke Rasan. Dari sana, mereka masing-masing memboyong keluarga menuju Sambeh untuk selanjutnya ke Pontianak atas bantuan Wedana Suta yang menyembunyikan mereka.

Atas kejadian itu, beberapa hari kemudian Asisten Residen Borneo Barat Edward Ludwig Martin Kurh berada di Ngabang. Dia diikuti Controleur Horsting serta membawa Gusti Abdurrani Pangeran Nata Kusuma serta mengajak Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang Isman Tajuddin. Namun, suatu yang tidak diduga sebelumnya, tidak berapa lama memastikan Ngabang berada dalam keadaan aman, Kurh serta rombongannya kembali ke Pontianak, dengan menawan Gusti Abdurrani. Di Pontianak Natakusuma diinapkan di tempat terpisah dengan Pangeran Mangkubumi, Natakusuma di sebuah rumah milik seorang Cina sedangkan Mangkubumi di rumah kapten Djengkawang.

Beberapakali Natakusuma meminta waktu menghadap Residen Hendri de Vogel MH Zn, namun tidak diberi sedikit kesempatan. Setelah mangkubumi dan Horsting kembali ke Ngabang, Natakusuma langsung diinapkan khusus di kediaman seorang jaksa, untuk selanjutnya dirumahkan di penjara Sungai Jawi Pontianak. Sekitar seminggu di penjara Pontianak, kemudian dipindahkan penahanannya di Batavia bertempat di Kampung Ketapang bersama Ya’ Bujang yang juga telah ditangkap. Kurun dua tahun, 1912—1914, Natakusuma ditahan di Batavia, seterusnya dengan Besluit Gouverneur generaal Alexander Willem Frederik Idenburg atas dasar Exorbitante Rechter 6 januari 1914 Nomor 43, Natakusuma diasingkan seumur hidup. Ia dan Ya’ Bujang dipersalahkan melanggar Art 48 RR, dan sejak 16 Maret 1914 mendekam di tanah pembuangannya di Bengkulen.

NYALA API TAK KUNJUNG PADAM
Keberadaan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma sebagai salah seorang pewaris birokrasi feodal lokal Landak tidak memperoleh tempat di mata kolonial Belanda. Elit birokrasi Landak sendiri bersikap sama memandang keberadaan Natakusuma. Bahkan digariskan sebagai orang yang menghalangi suatu pasifikasi di lingkungan Kerajaan Landak. Karena itu, pertikaian antar elit yang di satu pihak Natakusuma beserta pengikutnya dengan di lain pihak elit feodal Landak dibayangi kolonial Belanda, tidak mungkin terhindarkan. Meski dalam kenyataannya, keduabelah pihak tidak menampakkan keterusterangan mereka dalam suatu silang sengketa. Seterusnya, kondisi nyata diperlihatkan dengan adanya campur tangan Residen Borneo Barat, yang sudah barangtentu dengan sepengetahuan Gubernur Jenderal di Batavia, mempertegas pertikaian elit Landak tersebut.

Saat Natakusuma diinternir di Batavia, menunggu keputusan terakhir yang kelak mengantarkan ke pengasingan hingga akhir hayatnya, seorang advokat berkebangsaan Belanda, Mr AJG Maclaine Pont, berusaha melakukan suatu pembelaan. Namun, upaya itu tanpa banyak pertimbangan, ditolak tegas Gubernur Jenderal, terutama terhadap surat yang diajukan Pont 5 Mei 1913 kepada Raad van Nederlandsch Indie yang dimaksudkan untuk suatu pembelaan dalam perkara yang dituduhkan. Natakusuma sendiri, beberapa hari menjelang diberangkatkan ke pengasingannya di Bengkulen menulis surat kepada pemerintah kolonial yang disampaikan melalui CM Kan Ajudan Gubernur Jenderal di Batavia, pun tidak memperoleh respon sama sekali.

Dalam kasus ini, sebetulnya pihak pemerintah Belanda tidak mengabaikan hak-hak pembelaan diri yang dimiliki Natakusuma. Akan tetapi, suatu permintaan (mungkin lebih tepat pengaduan yang dilebih-lebihkan) kalangan elit Landak, menyebabkan pihak kolonial menutup rapat kesempatan itu sama sekali. Controleur Horsting sangat berkepentingan, seperti juga elit Landak, dikarenakan Natakusuma dalam latar belakang pergolakannya menentang skandal korupsi yang terjadi di sana, di mana penyelewenangan penerimaan belasting dan pelaksanaan pekerjaan rodi nyata-nyata dipeti-eskan oleh Horsting dan elit Landak sendiri. Bahkan, keduanya di satu pihak menikmati buah korupsi tersebut dengan cara masing-masing.

Dalam konsideran Besluit Gouverneur Generaal nomor 43, 6 Januari 1914 yang ditimpakan kepada Natakusuma, tuduhan yang memberatkan padanya antara lain: … bahwa untuk mencapai tujuannya, ia [Natakusuma] telah menggunakan berbagai kesempatan, menghasut rakyat di Kerajaan Landak, mendurhaka pada pemerintah. Bahwa pada 1911 sewaktu perayaan menyunat Pangeran ratu Gusti Abdulhamid ia [Natakusuma] telah mengatakan: … kalau saya menjadi raja rakyat dikenakan belasting 1 ringgit (f2,50), seekor ayam dan segantang beras pertahun. Bahwa pada kunjungan keliling di Sengah Temila (daerah pegangan kekuasaan Natakusuma), ia [Natakusuma] telah membicarakan kepada penduduk ide baru mengenai pembayaran belasting sama dengan apa yang telah dibicarakannya sewaktu perayaan menyunat Pangeran Ratu. Bahwa ia telah menyebabkan penduduk Kampung Ransam membangkang tidak mau membayar belasting dan kerja jalan (rodi) dan kemudian pembangkang ini diikuti oleh kampung-kampung lainnya. [Natakusuma} memerintahkan kepada kepala-kepala dan tua-tua Dayak dan Melayu untuk menghadiri pertemuan rimah besar di Kampung Munggu di Kuala Menyuke pada Oktober 1912 ...

Juga besluit itu menuduhkan: … bahwa ia [Natakusuma] ketika dibawa serta oleh Controleur bersama pasukan menghadiri rimah besar di Munggu, ternyata pasukan tersebut tidak ditembak pemberontak. Bahwa ia setelah peserta rimah besar di Kampung Munggu Kuala Menyuke telah kembali ke kampungnya masing-masing, ia [Natakusuma] menyuruh Kaij Djali bin Djulak untuk pergi berkunjung ke Kampung Rasan menyampaikan pesan berupa perintah kepada Sunduk Mangku Rasan, bahwa apabila pasukan tentara datang ke Rasan untuk menangkapnya, harus ditembak. [Dan] … bahwa ia telah mengirim surat perintah untuk menggalakkan perjuangan, harus mendirikan kubu-kubu pertahanan di Sungai Ringin, Jering, Mandor dan pada beberapa tempat lainnya. Serdadu Belanda yang datang ke kampung agar diusir jauh-jauh atau ditembak mati …

Sebetulnya, hubungan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma dengan onlusten (kaum pemberontak) sangatlah jelas. Namun Natakusuma tidak tampil memimpin langsung perlawanan yang dilakukan rakyat Landak, melainkan sebagai orang yang berada di belakang layar perlawanan rakyat Landak [Dayak dan Melayu]. Perlawanan yang dilakukan, tampil ke depan adalah para panglima dan pengikutnya yang semuanya menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab. Karena itu, sebetulnya tidak terdapat bukti kuat serta alasan mendasar bagi kolonial Belanda menangkap dan menghukum Natakusuma dari sudut pandang ini.

Pada permulaan, Natakusuma luput dari pengawasan lain Bestuur kolonial Belanda dengan adanya pergolakan rakyat Landak. Namun, elit Landak yang berseberangan dengannya membisikkan apa yang sebetulnya menjadi ketidaksenangan pihak ini terhadap Natakusuma kepada kolonial Belanda. Sejak diedarkannya damak perang sebagai reaksi dari pemungutan belasting dan diberlakukannya kerja rodi yang menyimpang dari politik contrack 8 Oktober 1909, rakyat Landak pertengahan 1912 membangkang menolak membayar belasting dan melakukan heerendienst. Bahkan mereka melakukan perlawanan terhadap petugas pemerintah yang datang ke kampung-kampung untuk menagih belasting dan memerintahkan turun rodi. Di banyak tempat di Landak terjadi pemberontakan dan korban berjatuhan di pihak polisi atau militer Belanda.

Natakusuma pernah meminta ijin kepada Controleur Landak untuk mengerjakan sawahnya di Maran, ia disertai pangeran Riya sebagai pemegang kuasa di daerah itu. Kesempatan ini sebetulnya dipergunakannya untuk berhubungan dengan Sunduk Mangku Rasan yang mengantarkan rimah besar di Munggu kelaknya, di mana letak Maran dan Rasan berdekatan. Kesempatan perayaan menyunat Pangeran ratu Gusti Hamid (besnijden van den Pangeran Ratu), para pemuka Dayak dan Melayu, yang dalam skala khusus berada di pihak Natakusuma, menjadikan sisi lain acara itu untuk mereka bermufakat menyatukan pendapat untuk melaksanakan apa yang digariskan Natakusuma: perlawanan rakyat Landak.
Sehari menjelang 2 Nopember 1912, sewaktu pemuka Dayak dan Melayu beserta pengikut mereka berdatangan di Munggu di Muara Menyuke untuk rimah besar, Natakusuma tidak ikut hadir. Ia saat itu bersama beberapa orang lainnya termasuk Letnan Krabbenbos sedang melakukan perburuan di Merasa. Strategi ini diciptakan untuk merupakan alibi yang kuat bahwa ia tidak tahu dan tidak ikut terlibat dalam rimah tersebut. Akhirnya, 4 Nopember dengan ikut sertanya Natakusuma bersama pasukan dari Pontianak mudik ke Munggu, ia menemui nasib malang. Serangan para pemberontak terhadap pasukan Belanda tidak kelihatan sama sekali, bahkan Natakusuma sendiri kemudian ditawan. Kesemua itu telah ditelikung elit Landak yang berseberangan dengannya, dengan suatu persekutuan dengan Belanda, mereka berhasil menyingkirkan Natakusuma.

JEJAK SEJARAH KESULTANAN DAN KOTA PONTIANAK

JEJAK LANGKAH KESULTANAN PONTIANAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Kesultanan Pontianak merupakan kesultanan termuda di Kalimantan Barat maupun kawasan Nusantara, bahkan di dunia internasional. Kesultanan ini dirintis dan didirikan oleh dinasti campuran antara Arab, Dayak, Melayu dan Bugis. Dikatakan termuda di dunia berdirinya, karena kesultanan yang berdiri pada 23 Oktober 1771 bersamaan 12 Rajab 1185 ini merupakan kesultanan yang terakhir dibangun dalam lintasan sejarah Kalimantan Barat. Dikatakan demikian, karena tidak ada kesultanan atau kerajaan lainnya, selain kesultanan ini, yang berdiri pada periode atau tarikh yang sama dengan atau lebih akhir maupun setelah tanggal kehadiran Kesultanan Pontianak (Al Qadrie, 2006: 2).

Kesultanan termuda ini memiliki banyak keunikan sebagai warisan sejarah Nusantara. Karena meskipun kesultanan ini lebih akhir atau paling penghujung, tetapi telah menjadi pemersatu, unggul dan juru kunci serta memimpin kesultanan lainnya di kawasan Kalimantan Barat serta sangat diperhitungkan oleh kesultanan lainnya di kawasan regional di Nusantara. Secara geografis letak yang strategis memungkinkan Kesultanan Pontianak memiliki keuntungan dalam segi politis dan geo-strategis, baik ke luar berkaitan dengan terciptanya hubungan akrab, saling menguntungkan dengan kesultanan lainnya di Nusantara, maupun ke dalam berkaitan dengan diakuinya Pontianak secara implisit sebagai kekuatan hegemoni di kawasan yang belakangan dinamakan dengan Kalimantan Barat.

Kesultanan Pontianak dikenal juga dengan nama Kesultanan Qadriah, mengingat peletak dasarnya dari dinasti Al Qadri. Pendiri kesultanan ini adalah Syarif Abdurrahman Al Qadri putra Sayyid Hussein Al Qadri atau Habib Hussein Al Qadri. Hussein (bin Habib Ahmad Al Qadri) adalah seorang ulama besar keturunan Sayyid dan penyiar agama Islam yang berasal dari kota kecil Trim Hadralmaut yang sekarang lebih dikenal dengan Yaman Selatan. Hussein adalah salah seorang penganut mazhab Syafii termasuk ulama tasawuf (Al Qadrie, op cit, hlm 2).

Hingga hapusnya sistem pemerintahan swapraja di Indonesia, kehidupan pemerintahan kesultanan ini berlangsung selama 179 tahun, suatu masa yang relatif singkat, dan hanya selama kurun tersebut diperintah oleh delapan generasi sultan dari dinasti Al Qadri. Belakangan kemudian, setelah era reformasi hadir, di Pontianak kembali dikukuhkan seorang sultan. Meski kesultanan ini sekarang tidak lebih dari sekedar warisan budaya yang tidak mempunyai kekuasaan politik apapun lagi.

Awal mula Kesultanan Qadriah Pontianak kembali kepada riwayat hidup Syarif Abdurrahman Al Qadri, pendiri Kesultanan Pontianak, putra seorang Habib Husin atau Syarif Husin Ibn Ahmad Al Qadrie yang datang dari Kota Trim Hadralmaut Yaman. Pada usia 22 tahun Habib Husin bersama-sama dengan Saiyid Umar Al Saggaf, Saiyid Abubakar Al Idrus dan Saiyid Muhammad bin Ahmad Quraisy meninggalkan kota tersebut atas saran dan anjuran guru mereka untuk menyebarkan agama Islam dan mencari negeri-negeri yang subur di daerah selatan. Dalam perjalanannya mereka telah menyinggahi beberapa daerah dimulai dari Terengganu di kawasan Semenanjung Melayu. Saiyid Muhammad bin Ahmad Quraisy selanjutnya menetap di daerah ini. Sedangkan ketiganya melanjutkan kembali perjalanan mereka dan Saiyid Umar Al Saggaf kemudian memilih menetap di Negeri Siak Sri Indrapura, kemudian Saiyid Abubakar Al Idrus dan Habib Husin Al Qadri memilih menetap di Aceh (Hasanuddin, 2000: 12).

Setelah beberapa lama menetap di Aceh, Habib Husin berangkat ke Betawi dan menetap di sini selama sekitar tujuh bulan untuk selanjutnya meneruskan perjalanannya ke Semarang dan menetap di sana bersama dengan Syekh Salim Hambal. Sekitar dua tahun lamanya menetap di Semarang atas petunjuk Syekh Salim Hambal ini pula selanjutnya mereka bersama berlayar menuju ke Negeri Matan dan menetap di daerah ini yang diperkirakan dalam 1735. Kedatangan keduanya ke Matan sebagai mubaligh yang menyebarkan syariat Islam di sini.

Atas kejujuran dan kefasihan penguasaan ilmu keagamaannya, Sultan Matan kemudian mengangkat Habib Husin Al Qadri sebagai mufti atau penghulu agung di dalam kerajaan ini. Namanya cukup tersohor khususnya di sekitar wilayah kekuasaan Kerajaan Matan serta juga hingga ke Kerajaan Sebukit Rama (Mempawah Lama).

Sebagai mufti ia juga bertugas mengadili masalah-masalah sosial, politik dan keagamaan dalam Kerajaan Matan. Setelah melakukan kegiatannya ada beberapa hal yang tidak sefaham dengan Raja Matan. Seperti dalam kasus amoral yang dilakukan Nakhoda Ahmad dari Negeri Siantan terhadap seorang gadis Matan yang perkaranya diserahkan kepada Habib Husin yang kemudian diputuskan Nakhoda Ahmad harus bertanggungjawab dengan mengawini gadis tersebut, juga dikenakan denda uang dan diutamakan untuk bertaubat serta memohon ampun kepada Allah serta meminta maaf dan ampunan pula kepada raja (Hasanuddin, op cit, hlm 12).

Di dalam pengambilan keputusan Raja Matan menolak hasil keputusan tersebut. Dan diam-diam telah mengambil keputusan sendiri dengan memerintahkan menyerang perahu Nakhoda Ahmad dan membunuhnya di muara Sungai Kayung Matan. Peristiwa ini membuat Habib Husin marah dan tidak menerima keputusan yang telah diambil oleh raja. Karena kecaman keras terhadap keputusan Raja Matan atas tindakannya sehingga membangkitkan amarah raja, Habib Husin merasa tindakan yang dijalankannya kurang disenangi raja, kemudian memutuskan untuk hijrah ke Kerajaan Sebukit Rama untuk mengabdikan diri di sana dan utamanya untuk melakukan syiar agama Islam di sana.

Di kalangan rakyat Negeri Sebukit Rama (Mempawah Lama), Habib Husin Al Qadri sangat terkemuka dan memiliki pengaruh yang begitu besar. Lebih-lebih setelah diangkat kembali menjadi mufti, mengajarkan ajaran-ajaran Islam, dan sebagai Patih di Kerajaan Sebukit Rama oleh Panembahan Tua Opu Daeng Menambun Pangeran Mas Surya Negara.

Sebelumnya, di Matan, dalam 1742 seorang putra laki-laki lahir dari perjodohannya dengan Nyai Tua, seorang kerabat istana Kerajaan Matan keturunan Dayak Batulapis yang telah memeluk agama Islam. Putra pasangan Habib Husin Al Qadri dan Nyai Tua tersebut diberi nama Syarif Abdurrahman Al Qadri. Abdurrahman lahir pada hari Senin, 15 Rabiul Awal 1154 H. Habib Husin diikuti keluarga serta pengikut lainnya meninggalkan Negeri Matan menuju ke Sebukit Rama pada tanggal 6 Muharram 1160 H dan kelaknya Habib Husin Al Qadrie wafat pada hari Rabu 3 Dzulhijjah 1184 H. Abdurrahman mempunyai tiga orang saudara kandung dari ibu mereka Nyai Tua, yang tertua Syarifah Khadijah, kedua adiknya masing-masing Syarifah Mariyah dan Syarif Alwie Al Qadri.

Sebagai anak muda yang cakap dan tampan, Abdurrahman menunjukkan bakat dan ambisinya yang besar. Masa mudanya penuh dengan petualangan, seperti melakukan pelayaran ke Siak Sri Indrapura dan Palembang, mengadakan kegiatan perdagangan lada di daerah Banjarmasin, mengadakan perang dan berhasil mengalahkan kapal Prancis di Pasir dalam wilayah kekuasaan Banjarmasin. Juga mengalahkan jung-jung Cina dan sebagainya. Di wilayah Banjarmasin ini pula kelaknya ia dijadikan menantu oleh Sultan Saad di mana oleh Sultan Saad, Abdurrahman dinikahkan dengan Putri Syarifah Anom atau Ratu Sirih Anom dalam 1768. Selanjutnya Abdurrahman diberi gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Sebelumnya, di Sebukit Rama ia telah menikahi Utin Tjandramidi putri Opu Daeng Menambun. Karena ambisinya yang sangat kuat maka akhirnya di daerah Banjar dia sangat dibenci oleh kerabat kerajaan ini, sehingga terpaksa bertolak kembali ke Mempawah (Hasanuddin, op cit, hlm 14).

Pada pukul 14.00 Jumat 9 Rajab 1185, setelah shalat Jumat, Syarif Abdurrahman Al Qadri berangkat bersama seluruh keluarganya mencari suatu kawasan untuk dijadikan pemukiman baru bagi mereka. Saat itu kawasan yang dicari belum diketahui dengan jelas. Rombongan ini terdiri dari dua kapal besar dan 14 kapal kecil beserta dengan awak kapalnya lengkap dengan berbagai perlengkapannya. Armada besar ini dinakhodai oleh Juragan Daud (Anonim, 1926: 249-250).

Empat hari mengarungi sungai sampailah rombongan Abdurrahman ke sebuah pulau kecil yang belakangan dinamakan Batu Layang yang berada tak seberapa jauh dari muara Sungai Kapuas. Tempat ini kemudian menjadi tempat pemakaman resmi keluarga Kesultanan Pontianak sekarang. Dari tempat ini rombongan melanjutkan perjalanannya sampai mendekati persimpangan tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak.

Selanjutnya, pada subuh Rabu 14 Rajab 1185 H atau 23 Oktober 1771 rombongan Abdurrahman memasuki kawasan perairan pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak dan menembaki dengan meriam para bajak laut atau perompak yang bersarang di kawasan tersebut. Dikirakan sekitar pukul 08.00 pagi tanggal tersebut, rombongan mendarat pada salah satu kawasan tepi Sungai Kapuas yang tidak seberapa jauh dari muara Sungai Landak. Mereka mulai menebang dan membersihkan pohon-pohon serta mendirikan surau yang sekarang menjadi Masjid Jami Syarif Abdurrahman Al Qadri. Dan pada saat itu pula dipersiapkan kawasan pemukiman. Pemukiman inilah yang kemudian menjadi Istana Kesultanan Qadriah Pontianak (Purwana, 2004: 14).

Keberhasilan Abdurrahman menemukan kawasan pemukiman yang sangat strategi dalam geografis yang aman dari bencana alam, tidak terlepas dari latar belakang budaya dan pendidikan non-formal ditambah dengan wawasan luas, pandangan strategis dan jiwa pionir yang dimilikinya. Tidaklah berlebihan kalau Abdurrahman disebut sebagai seorang yang ahli maritim dan ahli strategi.

Penobatan Abdurrahman sebagai Sultan Pontianak dilakukan oleh Raja Haji dari Kerajaan Riau. Karena tidak saja Kerajaan Riau merupakan kerajaan Melayu yang besar, kuat, berwibawa dan memiliki pengaruh besar di Nusantara yang pengaruhnya dikenal sampai di luar kawasan Kalimantan dan negeri-negeri Melayu. Tetapi juga hubungan pribadi dan pemerintahan Kesultanan Riau dan Pontianak sangat dekat. Abdurrahman dengan Raja Haji memiliki hubungan ipar sepupu sekali (first cousin in law). Abdurrahman adalah menantu Opu Daeng Menambun, sementara Raja Haji adalah putra Opu Daeng Celak. Sedangkan Menambun dan Celak keduanya adalah bersaudara kandung dari lima orang bersaudara putra dari Opu Daeng Relaka bangsawan Kerajaan Luwuk (Al Qadrie, ibid, hlm. 12). Penobatan itu berlangsung pada 8 Syaban 1192 H dihadiri para raja di Kalimantan Barat. Kemudian Yang Dipertuan Haji Raja Muda dari Riau atas nama seluruh rakyat mengangkat Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam dengan gelar Maulana Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadri sebagai sultan di Kesultanan Pontianak.

Dalam perjodohannya dengan Utin Tjandramidi, dikaruniai tujuh orang anak masing-masing Syarif Abdullah Al Qadri, Syarif Kasim Al Qadri, Syarifah Aisyah Al Qadri, Syarifah Fatimah Al Qadri, Syarifah Syafiah Al Qadri, Syarif Husein Al Qadri dan Syarif Achmad Al Qadri. Belakangan, Kasim dan Husin sempat memerintah selaku panembahan di Kerajaan Mempawah setelah kerajaan ini ditinggalkan pewarisnya, Panembahan Adijaya Kusuma Jaya. Sedangkan dari Putri Sirih Anom atau Ratu Sirih Anom, ia dikaruniai dua orang anak, yaitu Syarifah Salmah Al Qadri dan Syarif Alwi Al Qadri.

Pontianak merupakan daerah yang strategis, membawa kemajuan dalam pelayaran dan perdagangan. Dengan kondisi yang demikian, kemudian banyak pedagang datang ke wilayah tersebut mengadakan hubungan dagang, seperti Bugis, Melayu, Cina, juga dari Sanggau, Sukadana, Landak, Sambas, Sebukit Rama dan hulu Kapuas. Dengan adanya jaminan Sultan Pontianak atas pelayaran dan perdagangan di kawasan Sungai Landak dan Sungai Kapuas Kecil, membuat lalu lintas perdagangan di Pontianak semakin ramai. Adanya jalur perdagangan yang dikuasai dan diatur oleh sultan sangat menguntungkan bagi kesultanan Pontianak.

Dengan kedudukannya yang cukup kuat Abdurrahman berusaha melakukan ekspansi, yang menjadi keinginan pertama adalah Kerajaan Sanggau. Adanya ancaman tersebut, Raja Sanggau selaku vazal (negeri bawahan) Banten meminta bantuan. Akan tetapi pihak Banten yang secara resmi masih dipandang mempunyai suzereinitas sesungguhnva sudah tidak berdaya lagi untuk melakukan tindakan tersebut. Maka pada tanggal 26 Maret 1778 Sultan Banten bersama para pembesarnya menyerahkan supremasi Banten kepada VOC dan selanjutnya menyerahkan kekuasaan Sanggau kepada Sultan Pontianak.

Drs H Jimmy Mohamad Ibrahim (1971) menjelaskan: Peristiwa sejarah yang sebenarnya adalah bahwa Sultan Abdurrahman, pada waktu itu Pangeran (Prins) dari Kerajaan Mempawah, mempunyai suatu vor uitzicht yang luas dan suatu pandangan strategis yang bernilai, untuk mencari suatu daerah baru pembangunan suatu kota. Dilandasi oleh jiwa pionir mernbuka daerah yang masih berhutan lebat dan rawa serta sungai, tidak dapat dilepaskan dari cultural background dan educational backgroundnya sebagai pemuda yang beragama untuk memperkembangkan agama Islam. Maka berangkatlah ia beserta pengawalnya dan dalam perjalanannya ia berperang dengan bajak-bajak laut (zeerovers) yang pada waktu itu menjadikan persimpangan tiga Sungai Landak dan Kapuas, di mana sekarang Kota Pontianak terletak, sebagai basis operasi pembajakannya. Dalam dongeng kuno dikatakan sebagai Hantu Pontianak yang sebenarnya adalah bajak laut yang ditembaki dengan meriam-meriam.

Lebih jauh, mengutip tulisan Jimmy Mohammad Ibrahim: Adalah keliru sekali, kalau ada pandangan yang berpendapat mengutik-utik kembali peristiwa sejarah masa lampau akan mengembalikan kita pada zaman feodalisme. Bagaimanapun dan apapun juga penilaian yang akan diberikan orang pada tokoh Sultan Abdurrahman, adalah pendiri Kota Pontianak. Buku-buku barat ada yang mengatakan Sultan Abdurrahman sebagai Arabische Zeerovers, Arabische Fortuinzoeker, tetapi semuanya mengatakan Hij was de stichter van Pontianak.

Menurut hasil penelitian Panitia Hari Jadi Kota Pontianak, 1968, setelah mengkaji cukup dalam tentang persamaan hari dan bulan Hijriyah dengan penanggalan Masehi, menetapkan bahwa tanggal 14 Rajab 1185 Hijriyah bersamaan dengan rabu, 23 Oktober 1771 Masehi, ketika di pagi Rabu itu Syarif Abdurrahman dan rombongannya mendarat di daratan ujung pertemuan Sungai Landak dan Sungai Kapuas Kecil di mana sekarang berdiri Istana Kadriyah dan Masjid Jami Syarif Abdurrahman Pontianak.

Untuk mempertegas prespektif sejarah berdirinya Kota Pontianak, menjelang peringatan 200 tahun kota ini, 1971, Walikota Pontianak Siswojo, membentuk Panitia Penyelidik dan Penyusun Sejarah Lahirnya Kota Pontianak. Dari catatan yang ada sampai 1968, saat atau tanggal Syarif Abdurrahman mendarat di tepian Sungai Landak dan Sungai Kapuas itu hanya disebutkan dalam tarik Hijriyah pada Rabu 14 Rajab 1185 Hijriyah.

Panitia yang diketuai Soeparto, telah melakukan penelitian dan pengkajian tentang kebenaran tanggal hari jadinya atau berdirinya Kota Pontianak. Melalui pengkajian kepustakaan, penelitian lapangan dan analisis menurut ilmu hitung menyangkut persamaan tanggal, bulan dan tahun Hijriyah dengan Masehi yang dilakukan Rani Yasin SH, panitia berkesimpulan bahwa 14 Rajab 1185 Hijriyah bersamaan dengan rabu 23 Oktober 1771.

Berdasarkan hasil penelitian panitia tersebut, Walikota mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 070/Kpts-ot/1968 tanggal 21 Oktober 1968 yang memutuskan bahwa Hari Jadi atau Hari Lahir Kota Pontianak adalah 23 Oktober 1771 M. Keputusan Walikota Pontianak ini dikukuhkan oleh DPRD-GR Kotamadya Pontianak dengan Surat keputusan Ketua DPRD-GR Kotamadya Pontianak No 012/Kpts-DPRD-GR/1968 tanggal 21 Oktober 1968 ditandatangani ketuanya Syarif Achmad Yan Alkadrie.

JEJAK LANGKAH PEMERINTAHAN KESULTANAN PONTIANAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

SYARIF ABDURRAHMAN AL QADRI
Kesultanan Pontianak dikenal dengan nama Kesultanan Qadriah (Al Qadri, 2006: 6) lahir dan didirikan oleh Abdurrahman Al Qadri pada 23 Oktober 1771 bertepatan 12 Rajab 1185 Hijriyah. Pendiri kesultanan ini adalah putra Habib Hussein Al Qadri, kesultanan ini pada khususnya dan kesultanan lainnya di kawasan Kalimantan Barat, Kalimantan (Borneo) dan di kawasan Nusantara, tidak dapat dipisahkan dari dua figur tersebut, Habib Hussein dan Abdurrahman. Kelahiran Pontianak ini bersamaan dengan periode bercokolnya imperialisme Barat yang menyebabkan kehidupan kesultanan ini tertekan di bawah eksploitasi kekuasaan imperialisme tersebut.

Ini berarti (Al Qadri, op cit, hlm 7) bahwa hubungan Kesultanan Pontianak dan sultan serta para kerabat istana dan rakyatnya di satu pihak, dengan pemerintah kolonialisme Belanda bersama pejabatnya di lain pihak, bersifat tidak seimbang, di mana imperialistis dan eksploitatif yang kentara sekali.

Menghadapi kenyataan itu, sultan, sebagian kerabat sultan dan para pembantunya tampaknya menerima perlakuan tidak adil itu tanpa banyak reaksi dan oposisi, sehingga ada kesan Kesultanan Pontianak bersekutu dengan pemerintahan penjajahan Belanda (Al Qadri, op cit, hlm 7-8). Padahal ketundukan itu merupakan keterpaksaan dan strategi menghindari konflik militer langsung antara kedua pihak yang berakibat kehancuran bagi kesultanan ini, karena tidak memiliki kelengkapan perang yang memadai.

Campur tangan VOC dalam soal-soal intern kerajaan membawa Pontianak terlibat dalam pertikaian politik dan ekonomi antar kerajaan. Perebutan kekuasaan di wilayah Kalimantan Barat menjadi kompleks dengan adanya konflik perbatasan antara Mempawah dan Sambas. Meskipun konflik itu dapat diselesaikan melalui perantaan Syarif Abdurrahman Al Qadri Sultan Pontianak, tetapi pertentangan antara Panembahan Mempawah dan Abdurrahman meningkat. Faktor ini disebabkan Panembahan Mempawah tidak memenuhi pembayaran denda sesuai dengan kontrak yang telah disepakati. Sultan Syarif Abdurrahman selanjutnya meyakinkan VOC bahwa Panembahan Mempawah adalah musuh besarnya (Kartodirdjo, 1993: 285).

Kehadiran Raja Ali sebagai musuh VOC di Mempawah pada 1784 dipergunakan Abdurrahman untuk menyerang Kerajaan Mempawah. Hal ini berkaitan dengan kompleksnya persaingan perdagangan yang berkembang menjadi permusuhan, di mana Mempawah dianggap sebagai salah satu faktor penghalang kemajuan pelayaran dan perdagangan Pontianak. Begitupula terjadi antara Pontianak dan Sukadana yang disebabkan mengalirnya komoditi perdagangan dari daerah hulu Sungai Kapuas ke Sukadana, sehingga pemasukan cukai semakin berkurang dan mengakibatkan kerugian besar di pihak Pontianak. Adanya ekspedisi VOC ke Riau menyebabkan sultan dan pembesar Kerajaan Riau menyelematkan diri. Sultan Ibrahim mengungsi ke pegunungan dan Raja Ali selaku raja muda ke Mempawah meminta perlindungan kepada Panembahan Adijaya Kusuma Jaya (ibid, hlm 284-285).

Setelah Raja Ali dari Riau meninggalkan Mempawah dan mengungsi ke Sukadana untuk mencari perlindungan dari Sultan Sukadana, menyebabkan Abdurrahman semakin terdorong untuk menyerang dan menguasai Sukadana dengan meminta bantuan VOC melalui Residen Pontianak JJ Klagman (Purwana, 2004: 18). Pihak VOC menyanggupi untuk membantu Abdurrahman menyerang Sukadana, dengan alasan kuat bahwa Sukadana tidak mengakui supremasinya dan juga adanya intervensi VOC menguasai perdagangan Sukadana dari kekuasaan Inggris.

Selanjutnya VOC mengirim armadanya dan mendapat dukungan prajurit Pontianak dipimpin Syarif Kasim, putra sulung Abdurrahman, untuk menyerang Sukadana. Pada 1786 Sultan Ahmad Kaharuddin bersama pengikutnya berhasil menyelamatkan diri atas serangan Pontianak dan VOC, sehingga peristiwa itu menyebabkan Sukadana jatuh dalam kekuasaan Pontianak (Veth, 1854: 273-274). Dalam pelariannya, Kaharuddin dan pengikutnya menuju daerah Kayung Matan. Begitupula adiknya Pangeran Kusumaningrat—Patih Sukadana—membuka pemukiman baru di Simpang dan berkembang menjadi Kerajaan Simpang yang praktis berkuasa penuh dan berdaulat sendiri (Kartodirdjo, op cit hlm 286). Jatuhnya kekuasaan Sukadana ke tangan Pontianak telah mendorong untuk menguasai Mempawah. Sultan dan VOC melakukan penyerangan terhadap Mempawah pada 1787. Sebelum penyerangan, pihak VOC meminta bantuan di Batavia untuk mengirim armadanya ke Pontianak, selanjutnya dikirim tiga armada laut masing-masing Kapal Beschermer berkekuatan 54 pasukan, Kapal Amphitrite dan Hoorn masing-masing 35 pasukan dan Kapal Fregat Hoop 20 pasukan, di bawah komando Kapitan Silvester.

Armada VOC mulai bertolak dari Batavia pada 21 Maret 1878 dan tiba 28 April 1878. Kapitan Silvester dan Kasim selanjutnya menyerang Mempawah, walaupun Panembahan Mempawah bertahan dalam waktu cukup lama, namun pada akhirnya berhasil ditaklukkan. Kasim kemudian diangkat sebagai Panembahan Mempawah dengan vazal (daerah bawahan) VOC (Purwana, op cit, hlm 19). Para pembesar Mempawah utamanya Panembahan Adijaya Kusuma Jaya dan Tan Kapi meninggalkan Mempawah mengungsi bersama rakyatnya ke pedalaman Karangan. Begitupula orang Bugis dilarang menetap di Mempawah dan semua benteng dihancurkan (Veth, op cit, hlm 274-277).

Kurang lancarnya interaksi sosial antara Abdurrahman dengan putranya Kasim, antara lain disebabkan Abdurrachman dengan usul dari Belanda mengangkat Kasim sebagai penguasa di Mempawah dan tidak mengizinkannya menjadi sultan di Pontianak. Hal ini didasari tiga hal (Al Qadrie, 2005: 28), pertama ketika ayah mertuanya—Opu Daeng Menambon—wafat, calon penggantinya—Adijaya Kusuma Jaya—masih belum dewasa, pengganti sementara adalah Kasim. Kedua, pada saat itu Abdurrahman ditekan Belanda untuk menguasai Mempawah. Gabungan pasukan Kerajaan Pontianak dan Belanda dipimpin Mayor Ambral dan Kapten Salpitsin dapat menguasai Mempawah tanpa peperangan berarti karena Panembahan Adijaya Kusuma Jaya mengundurkan diri ke Karangan. Mempawah berada di bawah kekuasaan Pontianak sampai 1854. Ketiga, persetujuan Abdurrahman mengangkat putra-putranya, Kasim sebagai Panembahan Mempawah dan Usman sebagai Sultan Pontianak kelaknya, didasarkan bahwa ibu Kasim adalah Utin Tjindramidi keturunan Mempawah, sedangkan Ratu Kesumasasri ibu Usman dari Pontianak sendiri. Namun kelaknya, Kasim diangkat juga sebagai sultan Pontianak dengan persetujuan Pangeran Ratu Syarif Usman Al Qadri yang bersedia menjadi Pangeran Ratu setelah Kasim berjanji hanya menjabat sepuluh tahun saja.

Kasim kemudian meninggalkan Mempawah dan menjabat sultan Pontianak. Ia digantikan adiknya, Syarif Hussein Al Qadri sebagai Panembahan Mempawah.

SYARIF KASIM AL QADRI
Setelah Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman Al Qadri wafat 28 Februari 1808 (Rahman, 2000: 216-218) meninggalkan 25 istri dan 69 putra dan dimakamkan di Batu Layang, Syarif Kasim—putra sulung—mengangkat dirinya sebagai sultan. Untuk memperkuat legitimasinya, selanjutnya menghadap langsung Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese di Batavia dan meminta pengakuannya sebagai Sultan Pontianak.

Sebelumnya dalam birokrasi kerajaan, Abdurrahman telah menunjuk putranya Syarif Usman—Pangeran Ratu—sebagai pewaris Sultan Pontianak. Sehubungan Usman masih berusia muda dan diangap belum mampu menjalankan tata pemerintahan kerajaan, maka Syarif Usman merestui dengan menunjukkan loyalitas kepada abang lain ibunya Kasim sebagai Sultan Pontianak untuk sementara waktu. Keputusan tersebut telah menimbulkan keresahan baik di kalangan para pembesar kerajaan maupun di kalangan rakyat yang tetap menginginkan Usman sebagai Sultan Pontianak (Purwana, op cit, 34).

Kasim sebagai Panembahan Mempawah kurang disenangi di kalangan pembesar Kerajaan Pontianak. Bahkan semasa hidupnya Sultan Pontianak Abdurrachman, ayahnya sendiri, pernah menolak kedatangan Kasim di Pontianak, akibat perilakunya membunuh komandan kapten dan Kapten Frykenius dalam perjalanannya dari Malaka ke Pontianak, serta membunuh nakhoda jung Cina. Sewaktu ayahnya Abdurrahman wafat, Kasim ke Pontianak untuk melayat (Veth, op cit, hlm 278-279).

Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim Al Qadri, keadaan politik mengalami keguncangan karena adanya pertentangan antarkerajaan dan golongan. Dalam percaturan politik, 18 September 1811 pemerintah Hindia Belanda telah mengalihkan kekuasaannya ke tangan Inggris. Dalam pemerintahan Inggris selanjutnya mengangkat Thomas Stamfford Raffles (1811-1816) sebagai Letnan Gubernur untuk bekas wilayah koloni Belanda. Penguasaan Inggris di wilayah koloni Belanda dan serangan armada Inggris dipimpin Lord Minto ke Batavia menyebabkan Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens yang baru menggantikan Daendels (1811) mengungsi ke Semarang. Serangan Inggris ini menyebabkan Janssens menandatangani penyerahan tanpa syarat semua wilayah koloni Belanda di Semarang (Poelinggomang, 2002: 54-55, Purwana, op cit, hlm 34).

Walaupun dalam waktu singkat (1811-1816) Inggris menguasai Pontianak, namun telah memberikan perbaikan dalam perdagangan melalui aktifitas para perompak di Pontianak. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya pergolakan bagi Kerajaan Pontianak dan para perompak yang telah mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan sekitarnya. Timbulnya pergolakan dan gerakan para perompak menyebabkan Kasim mengadakan hubungan dengan Raffles di Batavia. Hubungan kerjasama tersebut dipergunakan sultan dengan meminta bantuan dan dukungan dari Raffles. Selanjutnya Raffles mengirim Kapitan Smith (Purwana, op cit, hlm 35) sebagai pejabat EIC (East India Company) dan pasukannya ke Pontianak. Situasi ini juga dipergunakan Raffles untuk mengambil-alih pemerintahan Hindia Belanda. Setiap permasalahan yang dihadapi sultan akan mendapat bantuan Inggris yang mempunyai kepentingan di dalamnya, terutama masalah perompak Melayu dan orang Bugis yang menghalangi jalur perdagangan Inggris di Kalimantan Barat.

Faktor-faktor lainnya lebih kompleks dalam permasalahan Kerajaan Pontianak adalah munculnya perlawanan kongsi-kongsi Cina yang menguasai tambang emasnya di daerah Pontianak dan Sambas. Pergolakan itu disebabkan oleh hak penguasaan atas sumber-sumber emas yang semakin menurun (Ricklefs, 1993: 210). Dalam menghadapi permasalahan kongsi Cina 1816, terjadi pula peralihan kekuasaan di Batavia, pemerintahan Inggris diwakili John Fendall telah menyerahkan kembali daerah jajahannya ke pemerintah Hindia Belanda, selanjutnya mengangkat Godert Alexander Gerard Philip selaku pimpinan pemerintah Hindia Belanda.

Puncak pemberontakan terjadi setelah penangkapan orang-orang Cina yang melakukan kegiatan penyelundupan candu (Veth, 1856: 71-72). Faktor utama disebabkan campur tangan pemerintah Hindia Belanda dalam mengatur kongsi-kongsi Cina, di pihak kongsi Cina—menguasai tambang emas dan perdagangan—tidak mempunyai hubungan dan kepentingan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Keadaan tersebut sering menimbulkan persaingan dan berkembang menjadi peperangan. Walaupun akhirnya kongsi-kongsi Cina berhasil ditumpas, namun menelan biaya besar di pihak pemerintah Hindia Belanda.

Munculnya berbagai pergolakan pada kekuasaan Kasim mendorong pemerintah Hindia Belanda memperkuat kekuasaan politiknya. Untuk mencapai tujuan politiknya, pemerintah Hindia Belanda mengajukan perjanjian dengan sultan. Pada 12 Januari 1819 dilaksanakan perundingan sultan dan pemerintah Hindia Belanda diwakili Komisaris Nahuys. Disepakati bersama perjanjian (kontrak) yang memuat 28 pasal di antaranya (Al Qadrie, 1984: 71-72) kekuasaan atas kerajaan dilaksanakan oleh sultan bersama-sama dengan pemerintah Hindia Belanda dan jika terjadi suatu permasalahan maka sultan akan mendapatkan bantuan dan perlindungan seperlunya dari pemerintah Hindia Belanda, serta untuk melindungi pasukan Belanda yang ada di Pontianak, maka perlu dibangun sebuah tangsi tentara (Purwana, ibid, hlm 37).

Ketidakstabilan Kerajaan Pontianak dalam sistem politik terwujud setiap kali ada pergantian tahta. Bahkan mulai Sultan Kasim masalah pergantian sudah menjadi sumber pertentangan dalam lingkungan keluarga kerajaan yang memuncak pada krisis politik bagi kerajaan. Salah satu faktor itu pula digunakan pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam memperkuat kedudukan politiknya di Pontianak.

Dalam menghadapi politik imperialisme dan menghindari konflik senjata langsung dengan Belanda (Al Qadri, op cit, hlm 7), ada dua sikap dasar yang membentuk dua kelompok berbeda di kalangan istana dan rakyat Pontianak. Kelompok pertama menentang keras dan tidak menerima begitu saja kehadiran pemerintah kolonialisme dan imperialisme Belanda, sultan dan para pembantunya yang bersikap kompromi dan lunak terhadap Belanda pada saat itu. Kelompok kedua lebih kompromistis terhadap Belanda, sultan dan para pembantunya yang bersedia menerima perjanjian yang memberatkan dan menghinakan kesultanan dan rakyat.

Sultan dan pembantunya dalam kelompok kedua ini tidak mempunyai pilihan lain, karena kesultanan tidak memiliki persenjataan secanggih persenjataan Belanda. Kedua sikap dasar ini melandasi pola tingkah laku politik lokal di Kesultanan Pontianak. Kelompok pertama membentuk basis pemukiman sendiri yang sampai sekarang disebut Kampung Luar, sebagai simbolisasi dari ke luar atau dikeluarkan dari lingkungan istana, Kampung Banjar Serasan dan Kampung Kapur. Mereka juga mencari pemukiman lain di luar ketiga tempat itu, seperti Kampung Tanjung Saleh, Jungkat dan Kubu, maupun di luar kawasan Kesultanan Pontianak yang sekarang disebut kawasan Kampung Tuan-tuan, khususnya Desa Bintang Munsir dan lainnya di kawasan perhuluan—the interior upland areas of districts. Pendirian pemukiman tersebut merupakan wujud penentangan kelompok ini terhadap pemerintah kolonial Belanda pada umumnya dan terhadap kebijakan kekuasaan tersebut yang tidak adil dan berada di lingkungan dekat istana atau di kawasan yang disebut sekarang ini dengan Kampung Dalam, Kampung Bugis dan Kampung Beting.

SYARIF USMAN AL QADRI
Pada 1819 Pangeran Ratu Syarif Usman Al Qadri naik tahta kerajaan menggantikan abangnya Sultan Syarif Kasim Al Qadri. Namun dalam proses Pangeran Usman sebagai sultan, mendapat penolakan dari Pangeran Syarif Abubakar Al Qadri putra sulung Kasim yang juga menginginkan dirinya diangkat sebagai sultan. Kasim mempunyai 15 putra, di antaranya Pangeran Muda Syarif Abubakar Al Qadri, Syarifah Qamariah Al Qadri, Syarifah Aisyah Al Qadri dan Syarifah Sipah Al Qadri (Rahman, op cit, hlm 218-219).

Abubakar selanjutnya menghadap langsung Gubernur Jenderal Baron van Der Capellen di Batavia, maksud kunjungannya agar Capellen memperjuangkan dan mengangkat dirinya sebagai sultan (Veth, op cit, hlm 71). Peristiwa itu mendapat kecaman dari lingkungan kerabat kerajaan. Guna menghindari persoalan perebutan tahta kerajaan, Baron van der Capellen memerintahkan Komissaris Kalimantan (Borneo) EJ Roesler ke Pontianak. Roesler kemudian mengakui dan mengangkat Pangeran Ratu Syarif Usman sebagai Sultan Pontianak bergelar Sultan Syarif Usman bin Sultan Abdurrahman Al Qadri, sekaligus ditetapkan juga sebagai Panembahan Mempawah. Begitupula bagi Pangeran Syarif Abubakar diberikan gelar Pangeran Muda dan mendapat tunjangan sebesar f6.000 setiap tahun dari sultan (ibid, hlm 69-71).

Berbagai aturan yang mengikat Sultan Pontianak dan pemerintah Hindia Belanda ditetapkan pada perjanjian 16 Agustus 1819 memuat 28 pasal antara lain (Kartodirdjo, op cit, hlm 209-213) sultan bersedia memberikan penghasilan pajak kepada pemerintah Hindia Belanda di bawah pengawasan Residen Pontianak setiap tiga bulan, serta memberikan penjelasan tentang pemasukan uang kepada residen dengan mempertimbangkan kekurangannya. Sultan diizinkan memperoleh kekurangan uang atas persetujuan Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui surat. Juga, pemerintah Hindia Belanda membangun benteng untuk pendudukan militer yang dibiayai oleh pemasukan kerajaan, dan setiap pergantian sultan harus sepengetahuan dan persetujuan Gubernur Jenderal di Batavia.

Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda kembali mengikat sultan melalui perjanjian 16 Desember 1822 memuat 5 pasal antara lain (ibid, hlm 213-214) sultan bersama pemerintah Hindia Belanda memerintah dalam wilayah Kerajaan Pontianak dan sultan tidak lagi mendapatkan sebagian dari penghasilan Belanda tetapi hanya diberikan tunjangan f42.000 setiap tahunnya. Pemasukan dari orang Cina melalui persetujuan, perlindungan dan kesejahteraan Pontianak sebesar f3.000 bertambah menjadi f40.000 pertahun.

Perjanjian 14 Oktober 1823 memuat 7 pasal (ibid, hlm 214-215) antara lain sultan melalui permohonan pemerintah Hindia Belanda untuk mengatur dan menyelesaikan pemasukan dari kepala sekitar f5.400 setiap tahun dari rakyat untuk perlindungannya.

Mengenai kekuasaan sultan di Mempawah dan hubungannya dengan pemerintah Hindia Belanda ditetapkan dalam perjanjian tersendiri 31 Maret 1828 (ibid hlm 219-220). Dalam perjanjian ditetapkan pemerintahan sultan di Mempawah dipercayakan kepada Pangeran Adinatakrama—putra Pangeran Mohammad Zainal Abidin yang telah ditaklukkan—bergelar panembahan. Pada Agustus 1845 keturunannya ditetapkan sebagai calon pengganti bergelar Pangeran Daeng. Keputusan ini diambil pemerintah kolonial Hindia Belanda bertujuan agar hak atas tahta dari raja-raja keturunan Bugis di Mempawah tetap terjamin. Guna mempertahankan kepentingannya, diputuskan Pangeran Syarif Mohammad Al Qadri—adik Usman—sebagai wakil pemerintah Hindia Belanda di Mempawah (Purwana, op cit, hlm 41).

Kemerosotan politik Kerajaan Pontianak setelah ditandatanganinya perjanjian-perjanjian tersebut tidak hanya mengakibatkan berkurangnya kekuasaan sultan, tetapi juga terjadi krisis politik di dalam keraton. Adanya tekanan peraturan pajak (belasting) yang dibebankan penduduk perkepala menyebabkan penduduk sangat terbebani oleh perjanjian baru itu. Sebelumnya sultan tidak menarik pajak dalam bentuk apapun kepada penduduk untuk perlindungannya, akibatnya penduduk harus menyetor pajaknya kepada petugas pajak bagi penduduk disebutnya tukang cukai.

Perjanjian-perjanjian itu juga mendapat kecaman dan penolakan dari beberapa kerabat kerajaan, dengan meninggalkan keraton dan membuka perkampungan baru di luar keraton yang dikenal Kampung Luar (Al Qadrie, op cit, hlm 83-84), Syarif Abdullah beserta pengikutnya orang-orang Bugis dan Melayu ke luar dari Pontianak menuju daerah Loloan (Bali). Di wilayah ini mereka menyatu dengan masyarakat Bugis dan bersama-sama mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda (Suwitha, 1997: 173) dan Pangeran Syech Hasan bin Umar Al Habsi—menantu sultan—memilih menetap di Surabaya sebagai saudagar dan terkenal kemahiran, kecerdasan dan kejujurannya dalam berniaga (Veth, op cit, hlm 186-187). Dalam lingkungan kerajaan, Syarif Abu Bakar Al Qadri—kerabat sultan—diusir dari Pontianak pada 1829 akibat tindak pembunuhan yang dilakukannya. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menempatkannya di Batavia, 1836 ditugaskan sebagai duane Belanda di Kupang (Pulau Timor) pada 1839 ia menyertai perjalanan Residen Timor ke Pulau Flores, dalam perjalanan tertarik menetap di daerah tersebut. Pada 1840 ia mengundurkan diri dari jabatannya dan menetap di Endeh sebagai seorang saudagar serta menikahi putri salah seorang pemimpin. Pada 1843 beserta keluarganya menetap di Teluk Nangamessi Pulau Sumba dengan mendirikan desa dan menjadi pemimpinnya. Dalam perjalanan hidupnya memiliki pengaruh cukup besar pada para pemimpin di Pulau Sumba. Abu Bakar Al Qadri sering diminta sebagai perantara dalam menyelesaikan pertikaian di antara mereka, serta menjadi penghubung antara mereka dengan pihak Belanda. Setelah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dalam 1877, ia meminta meninggalkan Sumba dan kembali ke Pontianak. Namun sebelum berangkat ke kota kelahirannya, ia kemudian wafat di Kupang (Berg, ibid, hlm 128).

Di masa pemerintahan Usman, susunan ketatanegaraan Hindia Belanda di Borneo (Kalimantan) pada 1839 dibagi dalam tiga kawasan yaitu kawasan yang dihaki oleh Kerajaan Belanda, kawasan Kerajaan Brunei, dan kawasan Timur-Laut yang masuk lingkungan Kerajaan Sulu (Purwana, ibid, hlm 43). Untuk kawasan yang dihaki oleh Kerajaan Belanda secara administratif dibagi menjadi tiga afdeeling yaitu afdeeling Pantai Selatan dan Pantai Timur dipimpin seorang residen berkedudukan di Banjarmasin, sedangkan afdeeling Pontianak dan afdeeling Sambas dipimpin seorang assisten residen. Ketatanegaraan Hindia Belanda di Kalimantan dipegang langsung Gubernur Jenderal melalui Kommisaris Inspecteur van Borneo Westkust (Inspektur Komisaris Kalimantan Barat) ( Kartodirdjo, op cit, hlm 148-149).

Pontianak sebagai afdeeling (daerah bagian) membawahi wilayah atas 26 negeri yaitu Pontianak, Mempawah, Landak, Tayan, Meliau, Sanggau, Sekadau, Sibau, Belitang, Sintang, Silat, Suhaid, Selimbau, Piasa, Jungkung, Bunut, Malo, Sipau, Taman, Madai, Kayan, Melawai, Matan, Simpang, Sukadana dan Kubu (ibid, hlm 208-209). Dalam struktur pemerintahan administratif afdeeling Pontianak dipimpin assisten residen dan dibantu 4 orang gezaghebber di antaranya 3 orang pribumi berkedudukan di Mempawah, Tayan dan Landak, sedangkan Sukadana dijabat oleh orang Belanda. Sampai akhir 1848 wilayah Kalimantan belum ada pemerintahan Hindia Belanda yang terpusat hanya residen dan assisten residen di bawah langsung pemerintahan tertinggi yang berkedudukan di Batavia (ibid, hlm 154).

Menghadapi Belanda dengan strategi dukungan-penghargaan dan hukuman (reward and punishment strategy) bila tidak patuh, dan menyadari pula terbatasnya kemampuan militer yang dimiliki kesultanan, Usman hampir tidak berdaya walaupun ia mendapat dukungan dari sebagian besar kerabat kerajaan dan rakyat setempat. Ia melihat bahwa hampir tidak ada jalan lain kecuali sementara mengikuti keinginan pemerintah kolonial Belanda dengan meneruskan perjanjian yang telah dibuat pendahulunya, bahkan membuat perjanjian baru yang tetap mengikat pada 1819, 1822 dan 1823 (Al Qadrie, ibid, hlm 14).

Sampai 1846 Pemerintah Hindia Belanda di Pontianak pada prinsipnya membatasi pmerintahannya pada urusan-urusan yang langsung berhubungan dengan kepentingannya, terutama kepentingan perdagangan dan keamanan. Urusan perdagangan yang terpenting dikuasainya adalah bea dan cukai di Pelabuhan Pontianak dan monopoli perdagangan garam dan candu. Urusan keamanan dibatasi pada keamanan pantai, urusan kepolisian dan pengadilan yang langsung menyangkut keamanan umum dan keamanan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Dalam benteng terdapat pasukan Belanda yang terbatas jumlahnya (Purwana, op cit, hlm 44).

Adanya James Brooke yang diangkat menjadi Gubernur Serawak oleh Sultan Brunei pada 1841 dan selanjutnya pada 1845 Pemerintah Inggris di Singapura mengesahkan Brooke sebagai wakil pemerintah Kerajaan Inggris di Kalimantan Utara (ibid, hlm 162-165), menyebabkan Pemerintah Hindia belanda mulai memberi perhatian khusus terhadap Kalimantan baik secara teritorial maupun administratif .

Berhubung dengan situasi politik di atas dan ancaman timbulnya perang kongsi, pada 1848, pemerintah Hindia Belanda atas nama Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen mengangkat seorang Gubernur Kalimantan, selanjutnya Gubernur Kalimantan mengunjungi Kerajaan Pontianak guna mempererat hubungan dengan sultan. Sejak dikeluarkannya contract van erkenning van heerschappij (kontrak pengakuan pertuanan) yang mengikat sultan untuk melaksanakan segala hukum perundang-undangan yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda dan menetapkan kerajaan harus mengibarkan bendera Kerajaan Belanda (Besluit Gouverneur Borneo, Nomor 6, 7 Januari 1849). Sejak itu Kerajaan Pontianak harus menyesuaikan tata pemerintahan Hindia Belanda dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal.

Dalam masa kekuasaan Sultan Usman, walaupun kesulitan dalam keuangan dan dalam menghadapi Belanda, berkat dukungan dari kerabat kesultanan dan rakyat sekitarnya, Usman telah mampu melakukan perbaikan atau membangun kembali bangunan lama Masjid Jami pada Selasa, Muharram 1237 Hijriyah bersamaan 1821 dengan bahan penyangga dari kayu belian (Al Qadrie, ibid, hlm 15). Masjid ini merupakan masjid terbesar di Pontianak pada masa itu dengan panjang 33,27 m dan lebar 27,74 m. Pada bagian atas berbentuk tumpang empat yang semakin ke atas semakin kecil dan dibuat dari bahan sirap, sedangkan pada atap paling atas berbentuk kubah yang mirip sebuah lonceng (Purwana, op cit, hlm 45). Di samping itu Usman juga (Al Qadrie, ibid, hlm 15) merintis pembangunan istana kesultanan yang lebih besar beserta tiang bendera kesultanan pada 19 Januari 1845.

Cengkeraman kuku kolonialisme Belanda ke dalam hampir setiap sendi kehidupan kesultanan dan rakyat Pontianak bertambah kuat. Ini ternyata merupakan penghalang utama bagi obsesi Usman untuk menciptakan dan membangun kesultanan Islam yang berwibawa dan sejahtera. Perbenturan antara obsesi dengan realitas politik semacam ini merupakan salah satu pertimbangannya untuk mengundurkan diri sebagai sultan yang dilaksanakannya lima tahun lebih awal dari seharusnya.

Berdasarkan tata aturan kerajaan seorang raja baru akan diganti setelah ia wafat, Usman wafat 1860, tetapi ia telah mengundurkan diri pada April 1855. Lima tahun sisa waktu hidupnya ternyata digunakannya bergabung dengan para pemberontak, para tokoh masyarakat dan para kerabat kerajaan untuk melawan Belanda (Al Qadrie, ibid, hlm 16).
Keputusan politiknya itu adalah pencerminan tidak saja dari sikap pribadinya sebagai figur seorang sultan yang lebih Islamis yang sangat anti ketidakadilan, tetapi juga dari pola tingkah politik seorang penguasa yang sangat konsisten dengan nilai budaya dan sikap politiknya yang anti terhadap penguasaan asing yang menghancurkan martabat—dignity—kesultanan, rakyatnya dan pribadinya.

SULTAN SYARIF HAMID AL QADRI
Pada 1855 Sultan Usman menyerahkan tahta kerajaan—karena usia lanjut dan Usman wafat pada 1860—kepada putra sulungnya Syarif Hamid Al Qadri. Usman mengundurkan diri dari jabatannya lima tahun sebelum ia wafat sebagai protes terhadap Belanda. Usman meninggalkan tiga orang putra, yaitu Syarif Hamid Al Qadri, Syarif Husein Al Qadri dan Syarifah Maryam Al Qadri (Rahman, op cit, hlm 219). Hamid sebelum diangkat menjadi Sultan Pontianak telah memerintah daerah Kubu berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda 7 Oktober 1841 (Veth [1856], op cit, hlm 140-141 dan 590). Berdasarkan peraturan yang berlaku dalam kerajaan serta atas persetujuan pemerintah Hindia Belanda, maka Hamid sebagai Pangeran Ratu naik tahta menjadi Sultan Pontianak pada 12 April 1855. Dalam proses penyerahan tahta, sebelumnya Pangeran Ratu adalah Pangeran Syarif Abubakar. Karena ia menolak menjadi pengganti pamannya, maka Usman menunjuk putranya Hamid sebagai Pangeran Ratu dan sekaligus pengganti sultan (Kartodirdjo, op cit, hlm 136).

Dalam masa pemerintahannya, kepentingan politik dan ekonomi Belanda semakin luas, walaupun telah diakui otoritasnya sebagai Sultan Pontianak dan Mempawah. Hal ini sesuai dengan garis politiknya melalui prinsip-prinsip kebijaksanaan dengan membatasi kekuasaan sultan. Dalam kurun waktu bersamaan kawasan Pontianak di sekitar Sungai Kapuas Kecil telah ramai dikunjungi para pedagang serta menjadikan Pontianak sebagai pusat perdagangan dan Pemerintahan Residentie di Kalimantan Barat.
Setelah baru menjabat setahun, pemerintah Hindia Belanda mengikat sultan dalam suatu perjanjian 1856 (ibid, hlm 137). Menurut perjanjian tersebut, Sultan Pontianak-Mempawah menyerahkan semua urusan kepolisian kepada seorang pembesar bumiputra yang diangkat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada mulanya Panembahan Mempawah menolak perjanjian itu, karena tidak menyetujui atribut yang diberikan kepada pembesar bumiputra. Atas usaha pemerintah Hindia Belanda, penolakan tersebut akhirnya dapat diselesaikan tanpa menimbulkan berbagai persoalan (Purwana, op cit, hlm 47).

Perjanjian lainnya tidak banyak mengalami perubahan kontrak 14 Oktober 1823. Begitupula kekuasaan peradilan diserahkan Residen Pontianak. Setelah dikeluarkannya surat keputusan Residen Borneo Barat 4 Januari 1857 (Rahman, op cit, hlm 123-124), distrik Cina di Mandor masuk dalam kekuasaan sultan. Hal ini dilakukan atas kebijaksanaan sultan yang tidak memihak pada penyerangan kongsi-kongsi Cina Mandor terhadap pemerintah Hindia Belanda 1850.

SULTAN SYARIF YUSUF AL QADRI
Tahun 1827 Sultan Syarif Hamid Al Qadri wafat. Meninggalkan dua orang istri, Nyai Nur dan Syarifah Fatimah. Dari Nyai Nur dikaruniai dua putra, Syarif Ahmad Al Qadri dan Syarif Ali Al Qadri, dari Syarifah Fatimah dikaruniai empat putra yaitu Syarif Yusuf Al Qadri, Syarifah Zahara Al Qadri, Syarif Jafar Al Qadri dan Syarif Ismail Al Qadri (ibid, hlm 219). Syarif Yusuf sebagai Pangeran Ratu menggantikan posisi ayahnya sebagai sultan.

Dalam pemerintahannya, sultan diikat perjanjian 22 Agustus 1872 antara lain dalam pengaturan kekuasaan polisi bagi penduduk pribumi diserahkan kepada sultan melalui persetujuan Bestuur Ambtenaar. Sultan diperkenankan memungut pajak dalam negerinya. Dalam penentuan wajib pajak, sultan harus tunduk peraturan pemerintah Hindia Belanda dan hanya ditugaskan mengkoordinasi penarik pajak penduduk melalui bawahannya, kemudian hasilnya diserahkan kepada Residen Pontianak.

Masa pemerintahannya, sultan telah mengadakan hubungan luas dengan raja-raja di dalam dan luar Kalimantan Barat. Hubungan kerjasama ini menjadi faktor menarik perdagangan di Pontianak. Kedatangan para pedagang bumiputra seperti Bugis, Tambelan, Banjar, Serasan, Sampit, Bangka-Belitung, Kuantan, Kamboja, Saigon telah memberi nuansa pada perkembangan Kota Pontianak. Setelah diberi tempat oleh sultan, para pedagang bermukim dengan membentuk perkampungan di tepian Sungai Kapuas—letaknya paralel sebelah timur keraton. Tidak mengherankan di Pontianak banyak dijumpai perkampungan pedagang yang sesuai daerah asalnya, kondisi ini juga telah membentuk heterogenitas etnis sebagai ciri utama komposisi penduduk.

Para pedagang di antaranya Haji Muhammad Yusuf dari Banjarmasin pada 1884 tertarik untuk menetap di Pontianak. Selanjutnya mendirikan pemukiman baru dikenal Kampung Saigon. Dalam perdagangannya ke Saigon kemudian menikah dengan gadis daerah itu, sepulangnya dari Saigon ia membawa bibit pohon karet dan ditanam di Pontianak (Purwana, ibid, hlm 48, lihat juga Al Qadrie, op cit, hlm 81-82).

Salah satu permasalahan penting yang belum diselesaikan sultan mengenai sengketa tapal batas wilayah Pontianak dan Landak. Pada 3 Agustus 1886, sultan mengadakan pertemuan dengan Panembahan Landak, seminggu kemudian 3 Zulkaidah 1303 H atau 10 Agustus 1886, dilanjutkan kembali pertemuan dan disaksikan Residen Pontianak sebagai perantara. Dari pertemuan tersebut berhasil disepakati dan dirumuskan batas wilayah Pontianak-Landak. Dalam tapal batas kedua kerajaan tersebut, mulai Bukit Batu-Kubu Sengkubu-Kuala Sungai Keramas sampai ke hulu-Kuala Terap-Sungai Landak sebelah kanan-Sungai Menuntung sampai ke hulu-Gunung Benua Ambawang (Purwana, op cit, hlm 49). Jika terdapat Dayak Pontianak yang masuk dalam batas wilayah Landak, maka mereka harus turut perintah dan membayar pajak pada Panembahan Landak, begitupula sebaliknya berlaku bagi Dayak Landak. Perjanjian ini disepakati bersama melalui Haji Pangeran Nata Wirakusuma Gusti Kandut Mohammad Tabri sebagai wakil Panembahan Landak, Sultan Syarif Yusuf Al Qadri sebagai Sultan Pontianak, Pangeran Bendahara Syarif Jafar Al Qadri, Pangeran Syarif Ali bin Sultan Hamid dan Ya’ Dimbul bin Pangeran Suta (Rahman, op cit, hlm 136-137).

Pada 15 Maret 1895 Sultan Yusuf wafat, meninggalkan 2 istri yaitu Syarifah Zaleha dan Syarifah Zahara Almutahar, serta 6 putra yaitu Syarif Muhammad Al Qadri, Syarif Harun Al Qadri, Syarif Abdullah Al Qadri, Syarif Mahmud Al Qadri, Syarifah Zubaidah Al Qadri dan Syarif Abdurrahman Al Qadri (ibid, hlm 219-220).

SULTAN SYARIF MUHAMMAD AL QADRI
Setelah lima bulan Sultan Yusuf wafat, pada 6 Agustus 1895 dalam usia 29 tahun, Syarif Muhammad naik tahta menggantikan ayahnya, bergelar Maulana Sultan Syarif Muhammad Ibnualmarhum Maulana Sultan Syarif Yusuf Ibnualmarhum Maulana Sultan Hamid Ibnualmarhum Usman Ibnualmarhum Maulana Sultan Abdurrahman Ibnualmarhum Habib Husain Tuan Besar di Negeri Mempawah. (Purwana, ibid, hlm 49, Anonim, op cit, hlm 315).

Pada masa pemerintahannya, sultan telah meningkatkan hasil komiditi pertanian dan hutan seperti kelapa, karet, kayu, rotan dan damar sebagai komoditi perdagangan yang laku di pasaran. Atas jasa-jasanya dalam memajukan perekonomian, sultan diangkat sebagai Officer in de Orde van Oranje Nassau berbintang perak (Anonim, op cit, hlm 315).

Sejak aksi-aksi pengeboman di Pontianak oleh militer Jepang yang menelan korban massal dan masuknya pendudukan Jepang melalui militer Rikugun di Pontianak yang diikuti dengan penjarahan-penjarahan barang milik orang Cina menyebabkan penduduk Pontianak mengalami rasa ketakutan dan aktifitas dalam kota terhenti. Keadaan kota yang tidak terkendali telah menimbulkan kegelisahan bagi sultan dan para kepala swapraja di Kalimantan Barat.

Pada April 1942, Sultan Syarif Muhammad Al Qadri mengundang para kepala swapraja di Keraton Kadriyah Pontianak. Mereka berkumpul dan membahas situasi daerah yang semakin tidak menentu. Selanjutnya dirumuskan bahwa ketakutan, penderitaan dan kemelaratan dialami penduduk dapat diatasi jika pihak Jepang dapat diusir dari daerah Kalimantan Barat (Bohm, op cit, hlm 57, Usman MHD, 2007: 45, Purwana, op cit, hlm 149). Penangkapan skala besar terjadi pada 24 Januari 1944 di Keraton Kadriah, Sultan Muhammad, kerabat kerajaan dan keluarga ditangkap oleh pasukan Kempeitai.

Peristiwa penangkapan Sultan Syarif Muhammad Al Qadri serta seluruh anak laki-lakinya juga seluruh menantunya—kecuali Syarif Hamid dan Syarif Ibrahim Al Qadri—dan keluarga kerajaan baik di dalam maupun di luar kompleks keraton berlangsung sampai pukul 03.00 subuh. Keesokan harinya pada 25 Januari 1944 telah berkembang berita penangkapan sultan dan keluarganya, peristiwa penangkapan sultan serta pembesar kerajaan telah menggemparkan penduduk Pontianak, namun tak seorangpun berani bertanya karena takut ancaman kekejaman militer Kempeitai Jepang.

Korban pembunuhan yang dilakukan militer Jepang terhadap sultan dan keluarganya di lingkungan Keraton Kadriah, para tokoh masyarakat, ulama dan cendekiawan menjadi perjalanan sejarah kelam bagi penduduk Pontianak. Korban pembunuhan dalam lingkungan Keraton Kadriah Pontianak sedikitnya sebesar 31 jiwa (Purwana, ibid, hlm 161, Rivai, 1991: 63, Rahman, op cit, hlm 154, Usman MHD, op cit, hlm 69). Peristiwa tersebut sangat menyulitkan guna mencari calon pengganti sultan, karena baik para putra maupun keluarga terdekat ikut ditawan dan dibunuh.

Sultan Syarif Muhammad Al Qadri beristri 10 orang dan dikaruniai 13 putra. Adapun istri sultan adalah Syarifah Telaha Al Qadri tidak dikaruniai anak, Syarifah Zubaidah Al Qadri tidak dikaruniai anak, Hajjah Syarifah Aminah (dari Brunei) dikaruniai 4 orang anak yaitu Syarifah Maimunah gelar Ratu Kusumayudha, Syarif Abdul Muthalib gelar Pangeran Muda, Syarif Usman gelar Pangeran Muda dan Syarifah Chadijah gelar Ratu Perbuwijaya. Istrinya Syarifah Zubaidah Al Qadri gelar Maharatu Besar Permaisuri dikaruniai dua anak, yaitu Syarifah Fatimah gelar Ratu Anum Bendahara dan Syarifah Maryam gelar Ratu Laksamana Sri Negara, dari istrinya Syecha Jamillah Syarwani (ibunya dari Turki) dikaruniai 6 anak yaitu Syarif Hamid Al Qadri dikenal dengan Max Al Qadrie (kelaknya sebagai Hamid II), Syarif Mahmud gelar Pangeran Agung Srimaharaja, Syarifah Salmah gelar Fahmud, Syarifah Rahmah, Syarif Hasyim dan Syarif Abdurrachman. Dari istrinya Syarifah Maryam Assagaf Ratu Seberang tidak dikaruniai anak, Encik Entin dikaruniai seorang anak Tengku Mahmud Al Qadri, Encik Timah tidak dikaruniai anak, Daeng Kadariyah tidak dikaruniai anak, dan Daeng Selma tidak dikaruniai anak (ibid, hlm 169 dan 220-221).

SULTAN SYARIF THAHA AL QADRI
Akibat kekosongan sultan (Dokoh) di kalimantan Barat, maka pada 18 Hatigatu 2605 atau 18 Agustus 1945 pemerintah pendudukan Jepang mengadakan rapat bagi seluruh Syuu di Pontianak. Rapat tersebut membahas tentang persiapan-persiapan pengangkatan dan pelantikan para Dokoh di Kalimantan Barat. Dalam waktu yang sama, berita proklamasi kemerdekaan telah didengar. Sejak tersiarnya berita proklamasi, telah memberi angin segar bagi penduduk Pontianak. Sejak peristiwa itu dimulailah usaha-usaha untuk merebut kekuasaan militer Jepang dan pengambilalihan administrasi pemerintah oleh para pegawai. Menyadari tindakan para pemuda dan pegawai, pihak pemerintah militer Jepang tetap berada dalam tangsi militernya dan tetap melakukan aktifitas sehari-hari.

Keadaan ini juga ikut mendukung para pejabat pribumi dan kerabat Kerajaan Pontianak untuk segera memilih Sultan Pontianak melalui pendudukan Jepang. Usulan tersebut diterima sesuai hasil rapat 18 Agustus 1945 tentang pemilihan calon sultan. Pada 29 Hatigatu 2605 atau 29 Agustus 1945 pukul 16.00 sore berlangsung pertemuan guna memilih calon pengganti Sultan Syarif Muhammad Al Qadri di Keraton Kadriyah. Pertemuan dihadiri Tokoro (Pontianak Ken-Kanrikan), Asjikin (Pontianak Ken-Kanrikan baru), Hasnoelkabri (Zitiryo Hyogikai Gityo), Jamagata, Achmad dan Uray Umar (pegawai Ken-Kanrikan), MT Al Uripan (Penulis I) dan Syarif Maliun (Penulis II), pihak keluarga kerajaan di antaranya Syarif Usman, Syarif Hamid Alhinduan, Syarif Ibrahim Al Qadri, Ratu Besar, Ratu Seberang dan Ratu Anom (ibid, hlm 168).

Rapat Hyogikai dipimpin Hasnoelkabri dan berdasarkan adat istiadat yang berlaku di kerajaan bahwa calon pengganti sultan adalah keturunan dari Gahra Ratu, namun Sultan Muhammad tidak mempunyai putra, tetapi mempunyai 2 orang putri yaitu Syarifah Mariam gelar Ratu Laksamana Sri Negara bersuamikan Syarif Hamid bin Abubakar Al Qadri gelar Pangeran Laksamana, dan Syarifah Fatimah gelar Ratu Anom Bendahara bersuamikan Syarif Usman Al Qadri. Keduanya berhak mewarisi jabatan sultan karena putri dari Syarifah Zubaidah gelar Maharatu Besar Permaisuri. Walaupun keduanya berhak menjadi sultan, namun mereka menolak menggantikan warisan ayahnya dengan pertimbangan tidak sanggup memimpin kerajaan (Purwana, op cit, hlm 167).

Melalui pertimbangan dan usulan Syarifah Mariam dan Syarifah Fatimah bahwa mulai dibentuknya Kerajaan Pontianak sampai Sultan Syarif Muhammad Al Qadri belum pernah diangkat seorang putri sebagai raja. Adanya penolakan kedua putri sultan, maka alternatif selanjutnya memilih para cucu sultan—dari keturunan kedua putri sultan tadi—yang telah akil baliq. Keluarga kerajaan dan Majelis Kerajaan memutuskan untuk memilih 5 cucu sultan sebagai calon Sultan Pontianak Zitiryo. Kelima cucu sultan adalah Syarif Thaha Al Qadri berusia 18 tahun dan masih berpendidikan di Pontianak, Syarif Achmad Yan Al Qadri usia 16 tahun masih melanjutkan pendidikan di Makassar, Syarif Hasyim Al Qadri usia 15 tahun masih melanjutkan pendidikan di Makassar, Syarif Ibrahim Al Qadri usia 17 tahun masih berpendidikan di Pontianak dan Syarif Yusuf Al Qadri usia 15 tahun masih berpendidikan di Pontianak.

Adapun Syarif Thaha, Syarif Achmad Yan dan Syarif Hasyim keturunan dari Syarifah Fatimah Al Qadri, sedangkan Syarif Ibrahim dan Syarif Yusuf keturunan dari Syarifah Mariam (ibid, hlm 169-170). Setelah melalui pertimbangan rapat akhirnya diputuskan Syarif Thaha Al Qadri sebagai Sultan Pontianak, hasil keputusan tersebut mendapat dukungan dari Syarifah Mariam dan Syarifah Fatimah serta para peserta yang hadir.

Hasil rapat tersebut diputuskan pula bahwa sehubungan Syarif Thaha masih usia muda, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan Kerajaan Pontianak diserahkan untuk sementara waktu kepada Majelis Kerajaan (Zitiryo Hyogikai). Selanjutnya pemimpin rapat (Hasnoelkabri) juga menyampaikan bahwa berhubung dengan kepindahannya ke daerah lain, maka ia tidak dapat melanjutkan tugasnya sebagai Zitiryo Hyogikai Gityo, begitu pula Syarif Hamid Alhinduan yang menjabat Hyogikai In dipindahkan di luar daerah Pontianak. Dalam rapat itu dirumuskan untuk mengangkat Zitiryo Hyogikai Gityo dan Hyogikai In baru, maka hasil keputusan rapat disepakati mengangkat Syarif Abdillah Al Qadri sebagai Pontianak Zitiryo Hyogikai Gityo dan Syarif Hamid gelar Pangeran Adi sebagai Pontianak Zitiryo Hyogikai In (ibid, hlm 170-171).

Dalam Keraton Kadriyah belum diangkatnya seorang sultan ikut mendorong kecemasan dalam masyarakat, kedatangan pasukan Dayak Majang Desa pimpinan Panglima Burung, Gusti Matan dan para panglima adat suku Dayak dan Melayu di Pontianak telah memberi arti agar selekasnya dilakukan penobatan Sultan Pontianak. Pada 21 September 1945 Syarif Thaha Al Qadri dinobatkan sebagai Sultan Pontianak. Pada waktu acara penobatan di halaman Keraton Kadriyah dikibarkan bendera merah putih oleh Gusti Matan dan A Muthalib Rivai sebagai wujud dukungan Kerajaan Pontianak terhadap republik Indonesia.

Thaha lahir di Pontianak pada 14 September 1927, beristrikan Raden Ajeng Sriyati binti Mas Noto Saputro bergelar Ratu Negara. Mereka dikaruniai tujuh orang anak. Thaha pada masa mudanya sebagai Sultan Pontianak mendukung pemerintahan Republik Indonesia dengan menaikkan bendera merah putih di tiang istana kesultanan dan bersama keluarga istana kesultanan ikut mendukung pembentukan serta aktif pula sebagai pengurus dalam Pemuda Penyongsong Republik Indonesia (PPRI) yang di dalamnya penuh tenaga muda yang militan dan republikein. Sejak masa Thaha bertindak sebagai pelaksana tugas atas nama Hamid Al Qadrie, banyak di antara kerabat istana kesultanan menyingkat nama Syarif menjadi Sy dan mengubah ejaan Al Qadri menjadi Alkadri. Tampaknya suasana kemerdekaan yang dimulai dengan penekanan pada bahasa dan dialek Indonesia (al Qadrie, ibid, hlm 16) telah mendorong para kerabat Istana Qadriyah menyesuaikan diri dengan mengganti nama keluarga yang mengandung kata Arab dengan kata Indonesia, Alkadri. Thaha wafat pada 27 September 1984 semasa menjabat Kepala Biro Pemerintahan di Kantor Gubernur Kalimantan Barat dan dimakamkan di pemakaman Kesultanan Pontianak di Batu Layang.

SULTAN HAMID II
Syarif Hamid Al Qadri lahir di Pontianak 12 Juli 1913, sebagai putra sulung Sultan Syarif Muhammad Al Qadri dari istri ketiga Syecha Jamilah Syarwani. Pada 1933 mengikuti pendidikan Koninkelijk Militair Academie (KMA) di Breda Negeri Belanda. Setelah lulus KMA tahun 1937 dilantik sebagai perwira KNIL berpangkat Letnan Dua. Ia pernah ditugaskan di Balikpapan, Malang dan beberapa tempat di Pulau Jawa. Setelah dibebaskan dari tawanan Jepang di jakarta, sebagai perwira Kolonel masih berkeinginan untuk melanjutkan karirnya di bidang militer. Namun situasi Pontianak dan Kalimantan Barat yang tidak menentu, serta setelah mendengar ayahnya dan puluhan lerabat kesultanan dibunuh militer Jepang menggugah hatinya untuk kembali ke Pontianak (Rahman, op cit, hlm 172-173). Harus diakui pendidikan akademi militer yang ditempuh Syarif Hamid Al Qadri mengantarnya ke jenjang pangkat yang tinggi dalam dinas KNIL khususnya kaum bumiputra. Kebanyakan orang pribumi yang menjadi tentara KNIL tidak bisa melampaui pangkat Sersan Mayor, mskipun begitu mereka sangat membanggakan dirinya sebagai prajurit profesional (Frederick dan Soeroto, 1984: 364).

Pada 31 Mei 1938, Hamid alias Max melangsungkan pernikahan di Malang dengan wanita Belanda kelahiran Surabaya 5 Januari 1915, Dina van Delden. Dari pernikahan ini mempunyai dua anak, Syarifah Zahra Al Qadri atau Edith Dinise Corry Al Qadri lahir 26 Februari 1939 di Malang dan Syarif Yusuf Al Qadri atau Max Nico Al Qadri lahir 19 Januari 1942 di Malang. Di kemudian hari, Hamid menikah lagi dengan Reni seorang perempuan dari Yogyakarta.

Hamid setelah dibebaskan sebagai tawanan Jepang di Jakarta (Purwana, ibid, hlm 175), selanjutnya diutus Letnan Gubernur Jenderal Dr HJ van Mook—langkah politiknya berusaha menguasai daerah-daerah di luar Pulau Jawa, khususnya Kalimantan dan Timur Besar melalui federasi—ke Pontianak. Mook memerintahkan Hamid—perwira aktif KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger)—telah dipandang memahami dan menguasai Kalimantan Barat. Setelah tiba di Pontianak, Hamid disambut oleh keponakannya Sultan Syarif Thaha Al Qadri. Dalam pertemuan keduanya, Hamid keheranan dan kaget mengetahui Thaha sebagai Sultan Pontianak dalam usia 18 tahun. Hamid mengusulkan kepada Thaha untuk mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan sultan kepada dirinya, alasan Hamid didasarkan bahwa Thaha terlalu masih muda untuk menghadapi situasi pergolakan dan keamanan di Pontianak (ibid, hlm 165-166).

Sehari sejak berkuasanya pemerintah sipil NICA, pada 23 Oktober 1945, pemerintah Belanda mengeluarkan pengumuman bertujuan untuk mengangkat Hamid sebagai Sultan Pontianak. Dalam masa sulit, Thaha menyerahkan tahta Kerajaan Pontianak kepada pamannya, Hamid—selanjutnya dikenal Sultan Hamid II—sebagai sultan Pontianak. Thaha adalah sultan tersingkat dan termuda dalam perjalanan sejarah Kerajaan Pontianak, selanjutnya kembali melanjutkan pendidikannya di Pontianak.

Pada 29 Oktober 1945 Sultan Hamid II dinobatkan secara resmi sebagai Sultan Pontianak melalui upacara oleh pemerintah NICA. Selain sebagai Sultan Pontianak, Hamid II atas nama pemerintah Belanda diangkat sebagai Ajudan Ratu Belanda (Ajudant in Buitengewone Dienst bij HM Koningen der Nederlander) dan Wali Negara Kalimantan Barat (Purwana, ibid, hlm 180, Rahman, op cit, hlm 123-124).

Dalam pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat, Hamid II ditunjuk sebagai anggota penyusun kabinet. Dalam Kabinet RIS pimpinan Hatta, Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara zonder fortofolio. Setelah penyerahan kedaulatan dan pengakuan Belanda terhadap RIS 27 Desember 1949, Hamid menghadapi berbagai kekecewaan dalam pembentukan RIS (Rahman, op cit, hlm 178). Kekecewaan pertama karena Hamid II hanya diberi jabatan Menteri Negara tanpa fortofolio. Ia hanya diserahi tugas menyiapkan gedung parlemen dan menyusunan rencana lambang negara. Sampai dirinya ditangkap dan kemudian ditahan tak ada tugas lain padanya (Persaja, 1955: 179).
Sejarah buram Sultan Hamid II pada 24 Januari 1950 betul-betul dikendalikan oleh pikiran yang tak dapat dipandang rasional. Setelah memarahi Westerling secara kasar, masih dalam suasana emosi, kecewa, pedih dan amarah, ia memerintahkan Westerling dan Inspiktur Polisi Nayoan dengan pasukannya untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS di Pejambon Jakarta (Rahman, op cit, hlm 182)

Rencana dan perintah emosional ini yang tumbuh seketika sebagai puncak kekecewaan Hamid terhadap keadaan negara yang dihadapinya. Keinginannya untuk menjadi Menteri Pertahanan supaya dapat memimpin kemiliteran dalam upayanya mempertahankan negara federal. Akan tetapi (Rahman, op cit, hlm 183) diakuinya setelah agak tenang sesudah mandi insyaflah dirinya akan perbuatan itu tidak patut pada dirinya.

Atas berbagai peristiwa yang telah melibatkan dirinya itu, sidang Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan pada 18 April 1953, Sultan Hamid II divonis 10 tahun penjara dipotong selama berada dalam tahanan (Rahman, op cit, hlm 183). Keputusan ini diterima Hamid dan kemudian mengajukan grasi kepada Presiden Soekarno, namun ditolak. Hamid menjalani hukuman itu dengan tenang dan baik.

Setelah menyelesaikan hukuman yang dijalaninya di rumah tahanan di Jakarta dan Yogyakarta, Hamid II yang telah pensiun sebagai Jenderal Mayor KNIL, mantan kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mantan Menteri Negara RIS serta sultan terakhir Pontianak hidup tenang bersama keluarganya. Sejak 1967 hingga akhir hayatnya selaku Presiden Komisaris PT indonesia Air Transport.

Wacana pemikiran Hamid berkeinginan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui bentuk federasi atau negara serikat. Hamid berpandangan, kesenjangan, ketertinggalan daerah dari pusat di Jawa, dan kekecewaan daerah, tak terkecuali Kalimantan Barat yang dipimpinnya, disebabkan justru bangsanya terlalu takut dengan sistem pemerintahan federasi yang dinilainya lebih mampu memakmurkan dan sistem yang mengandung keadilan sebagai suatu sistem yang mengandung otonomi khusus atau daerah istimwa (Al Qadrie, op cit, hlm 30).

Kekeliruan Hamid boleh jadi terletak pada fakta bahwa ide atau pemikiran politik walalupun masih dalam wacana ketika itu. Wacana itu digulirkan ketika bangsa Indonesia baru saja selesai mengalami trauma diperbudak bangsa lain. Kekeliruan lainnya mungkin terletak pada beberapa hal. Pertama, kekuasaannya sebagai sultan di Pontianak didukung oleh Belanda, kedua, Hamid aktif memperjuangkan gagasannya bekerjasama dengan negara-negara bagian lainnya di Indonesia sehingga ia sering dicurigai sebagai pengkhianat bangsa, ketiga, ia sering mengikuti konferensi federal di dalam dan di luar negeri baik mewakili Kalimantan Barat, RIS maupun Bijeenkomst voor federal Overleg (BFO) yang dirinya selaku ketua, dan keempat, kekecewaan Hamid lainnya adalah realisasi bentuk Negara RIS tidak seperti diharapkan BFO, ketidakberhasilannya menduduki jabatan Menteri Pertahanan padahal reputasi dan karir militernya terpenuhi untuk itu. Ia juga kecewa terhadap dominasi TNI di dalam APRIS (Rahman, op cit, hlm 179).

Al Qadrie (ibid, hlm 25) menjelaskan, politik nasional berkenaan dengan politik lokal di Kalimantan Barat yang berkaitan langsung dengan Sultan Hamid II adalah kontroversi terutama persepsi berkenaan dengan hubungan segitiga antara pewaris terakhir Kesultanan Pontianak dengan pemerintah Republik Indonesia awal kemerdekaan dan dengan pemerintah Belanda. Di satu pihak Hamid dinilai miring yang dianggap telah menghianati Republik Indonesia karena ide federasinya, di lain pihak ia dianggap sebagai figur berpikiran cemerlang ke depan, dengan gagasan besarnya akan pentingnya harkat dan martabat manusia—human dignity—dan hak-hak asasi manusia—human basic rights—di dalam setiap struktur bangunan negara dibanding dengan bangunan negara itu sendiri, yaitu ide tentang yang sekarang dikenal sebagai otonomi daerah—regional autonomy—dan otonomi khusus—special autonomy—yang telah dan akan terus diperjuangkan secara universal. Ide besar yang cemerlang itu ternyata tidak atau kurang dapat dipahami sejak dicetuskannya proklamasi kemerdekaan (Al Qadrie, ibid, hlm 25).

Karena pemahaman miring dan pengingkaran terhadap ide kemanusiaan seperti itu, Hamid II dituduh sebagai seorang penghianat bangsa dan dijebloskan ke dalam penjara selama 10 tahun. Padahal ia hanya mengingini bahwa daerah Kalimantan Barat yang dibangun oleh para kesultanan yang juga mengalami penderitaan yang sama di bawah kekuasaan kolonial Belanda, bahkan lebih sangat menderita di bawah kekuasaan fasis militer Jepang.

Itulah salah satu kerangka alasan mengapa Hamid meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat, di samping ia dipenjara 10 tahun. Hamid telah membayar mahal ide besarnya dalam politik yang dipertahankannya secara konsekuen dan atas kesenjangan pemikiran dan wawasan antara dirinya dan pemuka masyarakat di daerahnya sendiri pada masanya.

Hamid II wafat di Jakarta, 30 Maret 1978 dan dimakamkan dengan upacara kebesaran Kerajaan Pontianak di pemakaman Batu Layang Pontianak. Sultan terakhir Pontianak ini wafat tanpa menunjuk pengganti. Akibatnya mata rantai dinasti ini putus sampai di situ. Bahkan putra Hamid yang bermukim di Belanda, tak merasa otomatis bisa menggantikan sang ayah. Karya besar pribadinya ialah sebagai perancang dan pembuat Lambang Garuda Pancasila, lambang Bhinneka Tunggal Ika (Al Qadrie, ibid, hlm 26).


KOTA PONTIANAK TEMPO DOELOE
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

BERMULA DARI PARIT
Secara geografis pelabuhan Pontianak merupakan tempat pertemuan antara wilayah laut, sungai dan darat. Selain itu juga digunakan sebagai tempat untuk mengambil bekal bagi kebutuhan pelayaran dan menumpuk barang (Veth, 1854: 20—21). Letak geografis berdekatan Malaka, Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Singapura sebagai pusat perdagangan, juga ditunjang letaknya di persimpangan sungai besar—Sungai Kapuas dan Landak—sebagai penghubung komoditi niaga dari pedalaman (hulu). Jaringan-jaringan tersebut merupakan jalan atau kemudahan untuk menyelenggarakan transportasi niaga dan komunikasi. Sehingga sangat menguntungkan proses perkembangan pelabuhan dan Kota Pontianak ke arah pusat perdagangan terbesar di wilayah Kalimantan Barat.

Mata uang sebagai alat tukar perdagangan sudah dikenal di Pontianak. Pemberlakuan mata uang Belanda berlaku sejak perjanjian 5 Juli 1779. Tidak mengherankan kalau kota dagang Pontianak terdapat berbagai mata uang dengan nilai yang berbeda-beda. Alat penukar perdagangan di Pontianak, di antaranya uang Cina dibuat pada abad XIV dari bahan tembaga berbentuk bulat dengan lubang persegi empat, orang Portugis menamakan caixa, dan mata uang Belanda dari bahan tembaga berbentuk bulat yang sisinya terdapat lambang Kerajaan Belanda dan VOC. Hal ini dimungkinkan para pedagang bumiputra dan asing telah mengenal dan membawa alat penukar sebagai alat transaksi dagang (Reid, 1993: 96—98).

Ramainya perdagangan di Pontianak telah menarik para pedagang bumiputra dan asing mengadakan hubungan dagang dengan sultan. Bahkan sebagian dari mereka tertarik menetap dan mendirikan pola-pola perkampungan di Pontianak—berorientasi nama asal daerah pendirinya—setelah mendapat izin dari sultan. Sejajar munculnya perkampungan kaum pedagang telah memberikan potensi besar bagi kemajuan Pontianak. Keadaan ini ditunjang oleh masyarakatnya secara tradisional berasal dari berbagai suku dan bangsa serta telah melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan, sehingga mereka mampu mengembangkan diri dalam memajukan kegiatan pelabuhan dan Kesultanan Pontianak. Adanya perkampungan pedagang telah menciptakan peningkatan kebudayaan bagi penduduk setempat dengan menerima unsur-unsur baru dari luar (Purwana, 2004: 29).

Permukaan tanah yang relatif landai, pola aliran sungai yang tidak teratur dan hutan lebat memberikan kecenderungan penduduk memanfaatkan sungai sebagai prasarana lalu lintas utama. Sungai Kapuas dan Sungai Landak merupakan main road, menjadi penghubung antara Pontianak—pusat perdagangan—dan daerah hinterland sebagai produk komoditi perdagangan. Kegiatan perdagangan menyebabkan munculnya pemukiman-pemukiman di sepanjang sungai, hal ini bertujuan untuk lebih memudahkan hubungan dan transportasi dengan daerah luar (Purwana, ibid hlm 29).

Dilihat dari letak geografisnya, pola pemukiman ini merupakan salah satu mata rantai dari pola pemukiman dendritic (Micksic, 1984: 10). Menurut Bennet Bronson konsep dendritic adalah pemukiman atau perkampungan yang terdapat pada aliran-aliran sungai yang bercabang-cabang, sehingga gambar pola perhubungan antara pemukiman mirip dengan sebatang pohon yang semakin tinggi semakin bercabang hingga beranting, dan di daerah muara sungai akan ditemui pusat perdagangan. Barang-barang komoditi ini disalurkan melalui pemukiman daerah hulu sungai yang akhirnya sampai ke pusat perdagangan di daerah muara sungai.

Sungai besar sebagai main road mempunyai anak-anak sungai, bagi penduduk dikenal dengan parit-parit. Fungsi parit sebagai lalu lintas yang menghubungkan pemukiman dengan daerah pertanian dan pemasaran komoditi perdagangan (Vleming, 1926: 257—258). Di samping itu juga mencegah banjir dan keamanan kota. Fungsi parit bagi keamanan kota adalah untuk memperkecil kemungkinan serangan yang datang dari luar, sehingga musuh tidak bisa langsung menyerang pusat kota.

Pembuatan parit sengaja diperlebar menjadi kanal (gracht) untuk lebih meningkatkan ketiga fungsi tersebut di atas. Peranan dan fungsi parit yang semakin besar dapat menarik penduduk Pontianak mulai mengembangkan pemukiman ke arah parit-parit tersebut. Pada mulanya bersifat memanjang dan mengelompok sesuai dengan kemudahan yang tersedia oleh alam, artinya bahwa pemilihan lokasi pemukiman tidak disertai dengan usaha penaklukan alam lebih dahulu (Purwana, ibid hlm 30). Dengan demikian, lokasi pemukiman berpola mengelompok padat dan memanjang dengan mengikuti alur sungai-sungai. Perkembangan pemukiman yang mengelompok padat dan memanjang mengikuti aliran sungai menjadi ciri perkembangan Kota Pontianak.

Setelah pembukaan hutan di persimpangan Sungai Kapuas—Landak, Syarif Abdurrahman Al Qadri menata dan membangun keraton atau istana sebagai pusat kota tradisional yang dihuni oleh sultan dan keluarganya. Arsitektur keraton awalnya mempunyai bentuk bangunan sangat sederhana. Masuknya para pedagang dan kompeni membawa pengaruh besar bagi bentuk dan bahan bangunan. Keraton menggunakan bahan dari batu bata, terutama pembuatan pagar keliling keraton. Meskipun demikian, sebagian besar bangunan keraton terbuat dari kayu belian yang tahan lama. Bahan dari kayu digunakan untuk tiang, dinding, ruangan dan atap.

Kompleks bangunan keraton terpisah dengan kampung lainnya yang dikelilingi tembok dan sungai. Untuk mencapai tempat yang terpenting keraton sangat sulit. Karena halaman-halaman diberi batas tembok-tembok pemisah dan yang dapat dimasuki hanya melalui pintu gerbang keraton. Pembuatan tembok pemisah berhubungan dengan fungsinya sebagai benteng untuk mencegah gangguan keamanan dari luar.

Di luar wilayah keraton juga bermukim berdasarkan status sosial-ekonomi, status keagamaan dan status kekuasaan dalam kerajaan. Pemukiman di luar kompleks keraton terdiri dari para kerabat sultan. Di luar keraton umumnya bermukim para hulubalang atau pembantu kerajaan keturunan Bugis dan Arab. Kaum kerabat keraton dan hulubalang bermukim di Kampung Dalam Bugis, Arab dan Banjar sekarang. Di luar pemukiman para hulubalang terdapat Kampung Tambelan.

Ketika imigran dari Cina dipimpin Lo Fong bersama sekitar 100 pengikutnya mendarat di Siantan, sebelah utara Sungai Kapuas, pada 1772, mereka langsung membuka pemukiman di daerah tersebut. Setelah menetap selama lima tahun, Lo Fong meninggalkan Pontianak menuju Mandor dengan membuka pemukiman baru dan mendirikan kongsi. Lo Fong berasal dari Kampung Shak Shan Po Kabupaten Kuynchu Propinsi Kanton. Ia merupakan perintis bagi pemukiman orang Cina di Pontianak (Al Qadrie, 1984: 79). Walaupun meninggalkan Pontianak, namun pengaruhnya masih kuat dan menjadi panutan bagi orang Cina yang bermukim di Pontianak.

Penetapan pemukiman bagi orang Cina, menjadi dasar kebijakan sultan untuk ikut mengembangkan wilayah sebelah utara keraton. Kawasan tersebut menunjang aktifitas mata pencahariannya sebagai nelayan, tukang kayu dan pembuat perahu. Di wilayah ini dalam perkembangannya, orang Cina menjadikannya kawasan niaga yang ramai dikunjungi jung, kapal layar dan sampan. Semakin ramainya wilayah itu menyebabkan perluasan pemukiman orang Cina di tepian kanan Sungai Kapuas dan Sungai Landak (Anonim, 1926: 327). Begitupula penetapan pemukiman bagi orang Dayak yang diberi kebebasan mendirikan pemukiman di sebelah utara keraton, di sepanjang Sungai Ambawang. Hal ini didasari pada pertimbangan daerah tersebut memungkinkan bagi orang Dayak untuk mengembangkan sistem pertanian ladang berpindah sebagai pola kehidupannya (Purwana, ibid hlm 32).

KOTA TANAH SERIBU
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Disepakatinya perjanjian 5 Juli 1779 antara Sultan dan VOC, maka penataan Pontianak diatur secara bersama. Sultan memberikan VOC wilayah sebelah selatan keraton—dibatasi Sungai Kapuas. Pemberian ini meliputi areal 1.000x1.000 meter atau dikenal daerah Vierkante Paal untuk dijadikan tempat kegiatan Belanda dan seterusnya menjadi tempat kedudukan pemerintah Resident het Hoofd Westerafdeeling van Borneo, proses tersebut merupakan awal dari pendudukan VOC di Pontianak.

Selanjutnya VOC membangun benteng Fort Mariannen sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan. Fort Mariannen memiliki tembok-tembok besar, kubu-kubu dan pintu gerbang. Pejabat, pegawai pemerintah dan tentara umumnya bermukim dalam benteng dan wilayah sekitarnya. Terbentuknya daerah Vierkante Paal telah menarik orang-orang Cina bermukim, keadaan ini ditunjang oleh letaknya berdekatan dengan pelabuhan sebagai pusat niaga (Al Qadrie, op cit hlm 78-79).

Ketika sultan menata Pontianak, para pedagang Melayu, Bugis dan lainnya ditempatkan tepian Sungai Kapuas yang paralel sebelah timur pusat kerajaan. Sebagaimana digambarkan Veth, bahwa para saudagar membangun pemukiman di sekitar Sungai Kapuas dan sepanjang Sungai Kapuas Kecil (Veth, op cit hlm 17). Penataan pemukiman ini dimaksudkan sebagai cerminan dari kedekatan hubungan antara para pedagang dan sultan, sekaligus sebagai bentuk jaminan keamanan yang diberikan sultan. Kebijakan penetapan pemukiman kelompok-kelompok etnis yang berbeda ini adalah merupakan strategi pengelolaan area boundary dan cultural boundary antar kelompok sukubangsa dan berkaitan juga dengan pembagian lapangan pekerjaan, sehingga konsep ini dapat mencegah pertikaian atau konflik antaretnis (Purwana, op cit hlm 32).

MENJADI ORANG PONTIANAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Terbentuknya heterogenitas etnis Pontianak tercipta karena sikap penduduk pribumi terbuka menerima kedatangan berbagai suku bangsa di daerahnya. Prinsip sistem terbuka menciptakan mereka lebih mudah berhubungan dan bermukim di Pontianak. Di pihak lain Pontianak mempunyai daerah cukup luas dan jumlah penduduk relatif kecil. Keadaan ini mendorong para pendatang untuk membuka perkampungan-perkampungan karena daerah tersebut tidak jauh berbeda dengan kampung asalnya.

Potensi kemajuan jaringan perdagangan Pontianak ditunjang oleh jatuhnya kerajaan-kerajaan besar sebagai saingan perdagangan seperti Sambas, Landak, Sukadana dan Sintang menyebabkan bergesernya pusat perdagangan ke Pontianak. Meningkatnya jaringan perdagangan membawa Pontianak menjadi pusat dan kota niaga terbesar di Kalimantan Barat (Al Qadrie, op cit hlm 19). Kemajuan perdagangan menyebabkan Pontianak termasuk dalam kerajaan-kerajaan terpenting di Kalimantan, termasuk Sambas dan Banjar (Poesponegoro dan Notosusanto, 1984: 51).
Keadaan ini mendorong perluasan pemukiman pedagang bagian timur dan pengembangan pola pembangunan Kota Pontianak bagian selatan. Pemerintah Hindia Belanda menata Pontianak bagian selatan didasari kawasan ini sama dengan lingkungan alamnya di Negeri Belanda. Kondisi tanah yang rendah dan berawa menyebabkan dibuatnya beberapa parit (kanal), tempat-tempat penampungan air, pembangunan jalan dan sistem transportasi yang sama dengan negerinya. Jika diamati pola pemukiman Pontianak tidak jauh berbeda dengan pola pemukiman kota-kota di Belanda.

Kemajuan bukan hanya menarik para pedagang. Tapi juga para pendatang membuka pemukiman baru, di antaranya orang Jawa sebagai pegawai administrasi Belanda serta pengelola perkebunan dan pertanian (Al Qadrie, op cit hlm 37), mereka umumnya bermukim di perkampungan Sumur Bor—perkampungan ini tidak menunjukkan ciri kedaerahan tetapi di perkampungan ini telah dibuat beberapa sumur bor—umumnya dihuni migrasi dari Jawa Tengah terutama Kebumen. Perkembangan selanjutnya mereka memperluas perkampungannya di Jalan Jawa dan Podomoro sekarang. Orang Jawa memang diberi kesempatan pemerintah Hindia Belanda untuk berkolonisasi di Kalimantan Barat yang kondisi fisiknya masih terbuka luas untuk daerah pemukiman dan pertanian. Secara ekonomi perpindahan penduduk Jawa mendatangkan hasil positif, kedatangannya memberikan pengalaman pertanian dan sangat bermanfaat bagi orang Melayu tentang cara-cara mengolah pertanian kelapa dan penanam padi untuk kebutuhan bahan makanan sendiri (ibid hlm 19—20, lihat juga Vleming, op cit hlm 256).

Kemajuan Pontianak dengan bermukimnya para pendatang dari berbagai daerah menciptakan heterogenitas etnis, keadaan ini juga menyebabkan timbulnya urbanisasi orang Melayu dari Mempawah dan Sambas, serta orang-orang Cina. Namun orang Dayak sebagai penduduk mayoritas Kalimantan Barat justru kurang tertarik ke Kota Pontianak. Kondisi ini menyebabkan penduduk Dayak yang menetap relatif kecil dibandingkan penduduk pendatang lainnya. Ada kesan orang Dayak selalu mengikuti suatu filsafat bagi kehidupannya. Menurut pandangan mereka bahwa hakikat kehidupannya adalah sebagai pencari hasil-hasil hutan dan petani serta menganut sistem perladangan berpindah. Pekerjaan ini dipandang paling mulia, karena merupakan nikmat bagi kehidupannya (Purwana, op cit hlm 78). Mereka umumnya bermukim sepanjang Sungai Landak di Kuala Ambawang, Pancaroba, Puguk, Retok dan Lingga.

Kegiatan perekonomian Pontianak hampir secara keseluruhan dikuasai oleh pedagang Cina baik di Pontianak, maupun perdagangan ekspor-impor. Beberapa pedagang Cina yang mempunyai modal besar telah mengusahakan angkutan laut dan sungai, serta pengumpul hasil bumi yang dihasilkan pedagang perantara. Pedagang Cina bermodal kecil sebagai pedagang perantara bagi daerah pedalaman, pedagang retail (pengecer) dengan membuka toko atau warung bagi kebutuhan sehari-hari penduduk dan membuka warung kopi di sekitar pasar.

Di samping itu, sebagian pedagang Cina kadangkala beroperasi sebagai pemberi kredit bagi penduduk. Walaupun pihak pemerintah Belanda telah membuka perkreditan rakyat (Volkscredietwezen), tetapi dalam pelaksanaannya kurang mengalami perkembangan. Faktor ini disebabkan para pedagang Cina pemberi kredit sangat memudahkan bagi penduduk untuk mendapatkan kredit, walaupun dengan bunga tinggi (Bohn, 1986: 31)

Mengenai komposisi penduduk Pontianak dapat disimpulkan dari keterangan Veth bahwa penduduk Pontianak masih sedikit (Veth, op cit hlm xxxi), Tobias membagi berdasarkan etnis bahwa 25.200 orang Melayu dan 3.500 orang Cina. Sedangkan Hartman menyatakan 8.403 orang Melayu dan 1.159 orang Cina. Keterangan Francis bahwa terdapat 11.122 orang Melayu, 11.391 orang Cina, 900 orang Arab dan 1.814 orang Bugis. Van Lijden menambahkan 7.486 orang Melayu, 1.711 orang Cina, 105 orang Dayak dan 216 orang Arab. Dalam kartu statistic van Mervil van Carnbel jumlah penduduk Pontianak termasuk Mandor 36.637 jiwa (ibid hlm 13). Vleming menambahkan Pontianak dan Singkawang dihuni sepertiga dari luas daerahnya (Vleming, op cit hlm 254), 1843 jumlah orang Cina 15.000 jiwa dan hidup dalam kelompok-kelompok kongsi (Kartodirdjo, 1973: 215). Pada 1859 keturunan Arab 800 jiwa, meningkat 1.222 tahun 1870 dan meningkat 1.561 tahun 1885 dengan perincian 538 laki-laki, 487 perempuan dan 536 anak-anak (Berg, 1989: 70). Sampai 1900 jumlah penduduk Pontianak secara keseluruhan 13.136 jiwa (Al Qadrie, op cit hlm 21).

Kemajuan jaringan perdagangan telah menciptakan pelabuhan dan Kota Pontianak semakin dinamis menimbulkan urbanisasi dari berbagai etnis. Pekerjaan yang tersedia serta upah yang layak menjadi pendorong utama perpindahan penduduk tersebut, juga perluasan administrasi pemerintah yang membutuhkan sejumlah tenaga. Kecenderungan terjadi meningkatnya jumlah penduduk yang heterogen, disebabkan oleh masuknya berbagai kelompok telah membawa perubahan-perubahan sosial. Perkenalan antarsuku bangsa, memberi kemungkinan terbukanya komunikasi dalam pertukaran pengalaman-pengalaman di daerahnya yang menjurus pada kesadaran tentang kesatuan suku bangsa dari seluruh tanah air.

PONTIANAK KAMPUNG DI ABAD XIX
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Kota Pontianak dalam abad XIX tidak hanya merupakan pusat perdagangan. Tetapi juga menjadi pusat pemerintahan serta kemudahan niaga dan pelayaran. Merupakan faktor potensial munculnya perluasan kota. Faktor itu ditunjang pula fungsi Sungai Kapuas dan Landak sebagai jalan transportasi termudah yang menghubungkan daerah-daerah pedalaman sehingga muncul pemukiman-pemukiman yang letaknya di tepi sungai tersebut. Perkembangan Pontianak dengan sendirinya berjalan sejajar dengan kemajuan perdagangan, birokrasi, transportasi dan berbagai fasilitas pelayanan lainnya.

Pemukiman sultan dan keluarganya terdapat dalam Istana atau Keraton Qadriah, di luar keraton bermukim para kerabat kerajaan di wilayah Kampung Dalam Bugis dan Arab. Penataan penting lainnya dalam lingkungan kerajaan adalah bangunan Masjid Jami—di luar kompleks keraton—sebagai pusat pengembangan Islam, dan kompleks makam Sultan Pontianak yang terletak di pinggiran kota, Kelurahan Batu Layang sekarang.

Elemen yang turut membentuk struktur dan tata ruang Pontianak adalah pemukiman kaum pedagang yang letaknya di tepi Sungai Kapuas dan vertikal sebelah timur Keraton Qadriah, sebelumnya telah dibangun Kampung Bugis, Arab, Melayu dan Tambelan. Mereka membentuk perkampungan sendiri sesuai daerah asalnya. Kampung Banjar Serasan didirikan Haji Abdul Kahfi asal Banjarmasin pada 1846. Begitu pula didirikan Kampung Sampit, Saigon, Kamboja, Kuantan dan Bangka Belitung (Purwana, op cit hlm 81). Di sekitar perkampungan pedagang didirikan pula Kampung Kapur oleh kaum ulama. Dalam konteks penataan tersebut, keraton sebagai pusat kerajaan mempunyai hubungan erat dengan pedagang dan ulama, sehingga tercermin adanya jaminan keamanan bagi mereka. Faktor ini juga menyebabkan pedagang dan ulama termasuk dalam struktur sosial lebih tinggi dibanding golongan lainnya.

Selain Kampung Bugis di sekitar keraton, pendatang Bugis lainnya menetap di pesisir pantai dan membuat pemukiman baru di Kampung Sungai Itik dan Sungai Kakap (ibid hlm 13). Hal ini berkaitan dengan mata pencahariannya sebagai pembuat perahu, nelayan dan petani kelapa. Begitupula bagi orang Melayu dan Cina telah mengembangkan perkebunan kelapa dan bahkan membangun industri minyak kelapa untuk hasil komoditi ekspor.

Pemukiman kolonial Belanda terletak di wilayah Vierkante Paal sebagai pusat pemerintahan administrasi dan perdagangan. Pola awal kehidupannya dipusatkan dalam benteng Fort Mariannen, selanjutnya diubah menjadi Fort du Bus untuk mengenang Komisaris Jenderal Belanda Du Bus De Gisignies, terletak di kawasan pertokoan Nusa Indah sekarang. Benteng ini berfungsi untuk menghindari jika adanya serangan musuh dari arah daratan, juga memutuskan hubungan penduduk dengan dunia luar. Pola semacam itu merupakan stereotip dari benteng-benteng yang ada di Hindia Belanda. Mereka umumnya bekerja sebagai abdi pemerintah, baik sebagai pejabat, pegawai rendahan maupun anggota militer.

Dalam perkembangannya, benteng du Bus hanya berfungsi sebagai tangsi militer, setelah dibangunnya kantor pemerintahan Residentie—kantor Walikota sekarang—dan pengadilan. Begitupula di sekitarnya dibangun pemukiman baru bagi kediaman residen, assisten residen dan para pegawai pemerintah dalam kompleks Residentweg, mereka umumnya hidup secara eksklusif. Sebelah selatan dibangun Gereja Katolik dan pastoran, Gereja Protestan dan rumah pendeta, serta bangunan sekolah yang dikelola misi Katolik.

Untuk memajukan daerah selatan, residen sebagai penguasa tertinggi pemerintahan kolonial Belanda di Pontianak mengajak orang-orang Cina di Kampung Siantan untuk mengembangkan wilayah tersebut. Selanjutnya orang-orang Cina—diberikan hak-hak istimewa perdagangan—membuat pemukiman baru dan mengembangkannya sebagai kawasan niaga (kawasan Jalan Gajah Mada sekarang). Di kawasan itu mereka membuka toko dan warung dengan menampung hasil pertanian penduduk serta menyediakan kebutuhan sehari-hari penduduk. Kehidupannya berdasakan nilai-nilai kebudayaan dari leluhurnya, sehingga terdapat rumah ibadah toapekong bagi penganut aliran Kong Fut Tse atau Kong Hu Cu. Di luar tata ruang kota bagian selatan dikembangkan para petani Cina dengan membuka lahan perkebunan sayur untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota atau daerah Paritokaya sekarang. Bahkan residen juga menata kota pada bagian timur—terdapat Kampung Melayu—di daerah Parit Besar sampai selatan atau Jalan Merdeka sekarang.

Kawasan pelabuhan—sebelah barat Kantor Residentie—semakin sibuk dengan aktifitas pelayaran dan perdagangan. Hal ini ditandai kedatangan kapal api, kapal layar, dan perahu. Perkembangan kawasan dimulai dengan dibangunnya kantor KPM (Koninklijke Paketvaart Maatshappij), gudang penyimpanan barang dan perusahaan dagang. Gejala perkembangannya ditandai dengan dibentuknya pemukiman penduduk sebelah barat pada daerah Kampung Mariana sampai Sungai Jawi.

Ketika Pontianak ditata residen, telah dibangun Pasar Hilir dan Hulu sebelah timur Kantor Residentie. Kedua pasar tersebut saling berdekatan dan letaknya di tepian Sungai Kapuas dan pertemuan Sungai Landak. Letaknya yang strategis merupakan faktor penting dalam kemajuan perekonomian kota. Fungsi pasar tersebut menampung hasil pertanian dan hutan dari daerah pehuluan dan pedalaman, serta kebutuhan sehari-hari penduduk kota dan pedalaman. Sebelah barat terdapat Kampung Melayu dan dibangun toko-toko dan warung yang dikelola oleh orang Melayu dan Cina.

Dikeluarkannya kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda bagi kepentingan golongan Cina, menyebabkan Pontianak sebagai kawasan pusat perdagangan semakin menarik orang-orang Cina bermukim di perkampungan tersendiri di Pontianak. Selanjutnya mereka mengembangkan pemukiman Cina (Pecinan) sebagai kawasan perdagangan yang sangat mendukung kepentingan ekonomi pemerintah Belanda. Lokasi pecinan berada di tepi jalan raya dan sangat berdekatan dengan pasar sebagai pusat kegiatan usahanya (kawasan Jalan Tanjungpura sekarang) dan pusat administratif pemerintahan (Residentie), kemudian memperluas pemukimannya sampai ke selatan (sekarang Jalan Gajah Mada) (Soedarto, 1978: 33)

Dapat digambarkan bahwa kehidupan Kesultanan Pontianak mulai dari intra-muros dengan dikelilingi penduduk yang mengelompok membentuk mozaik, menurut kategori sosio-ekonomi dan sosio-kultural. Dalam lingkungan kerajaan terdapat Masjid Jami yang berfungsi majemuk, sosial dan keagamaan. Selanjutnya pemerintah kolonial Hindia Belanda mengembangkan Kota Pontianak di bagian selatan sesuai dengan kepentingannya. Pola tata ruang kota terbentuk unsur adanya Residentweg, Kantor Residentie dan benteng Fort du Bus terletak di seberang keraton yang dipisahkan oleh Sungai Kapuas untuk memisahkan sosio-kultural.

Di sekitar Residentweg tidak terdapat masjid. Sehingga dengan sendirinya tidak ada pemukiman muslim di kawasan tersebut. Dari segi arsitektur, percampuran bentuk lokal dan model-model Barat hampir dikatakan tidak ada, selain ungkapan kepekaan orang-orang Belanda terhadap iklim tropis, dibangun selasar sepanjang sisi bangunan yang berfungsi majemuk. Ruang ini berfungsi sebagai penghubung antar ruang, juga berfungsi sebagai isolasi cuaca yang cukup panas.

Arsitektur rumah penduduk Pontianak umumnya telah mendapat pengaruh dari Bugis, Palembang, Riau dan Banjarmasin, sehingga terdapat dua jenis bentuk rumah yaitu Lipat Kajang dan Limas. Pada umumnya bentuk rumah Lipat Kajang dan Limas memiliki loteng sebagai gudang tempat menyimpan hasil bumi, peralatan rumah tangga dan juga biasa digunakan tempat menenun bagi para gadis. Begitupula susunan anak tangga bagi kedua rumah tersebut umumnya menggunakan jumlah ganjil (Usman MHD, 2006: 17).

PENDIDIKAN ORANG PONTIANAK DI ZAMAN ITU
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Dalam pelaksanaan pembaharuan di bidang pendidikan, pemerintah Belanda membuka Volkschool atau Sekolah Desa di Pontianak pada 1892, kemudian diikuti pembukaan Volkschool oleh misi Khatolik pada 1910 dengan pendidikan tiga tahun (Ahok, 1980: 47). Setelah dibukanya Volkschool, ternyata hanya diperuntukkan bagi putra golongan atas, selanjutnya pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan pendidikan baru dengan membagi dua pendidikan yaitu Sekolah Kelas Satu khusus bagi putra-putra bangsawan dan kalangan terkemuka dan Sekolah Kelas Dua diperuntukkan bagi putra-putra rakyat jelata atau golongan bawah (lihat Staatsblad 1935 Nomor 125).

Pada 1914 (Purwana, op cit hlm 96) Sekolah Kelas Satu diubah menjadi Hollandsch Inlandsche Scholen disingkat HIS atau Sekolah-sekolah Belanda—Pribumi. HIS di Jalan Tamar sekarang baru dibentuk pada 1922 dengan pendidikan selama enam tahun. Sedangkan peleburan Sekolah Kelas Satu ke dalam HIS pada 1924. Sejak itu diikuti pada perubahan Vervologschool menjadi Hollandsch Chineesche School disingkat HCS sekitar Jalan Sisingamangaraja sekarang atau Kampung Bali, pendidikan ini diperuntukkan bagi golongan Cina yang telah mendapat pengaruh kebudayaan Eropa. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, pada 1934 baik HIS maupun HCS ditambah pendidikannya menjadi tujuh tahun.

Sebelum HIS didirikan di Pontianak, pemerintah Belanda telah membuka ELS (Europesche Lagere School) pada 1920. Pendidikan ELS diperuntukkan bagi putra-putra Eropa. Namun kenyataannya terdapat putra-putra dari kalangan bangsawan dan kaum berpangkat dalam Pemerintahan Belanda (Ahok, op cit, hlm 48).

Munculnya sistem pendidikan barat yang membatasi pengajaran, mendapat tantangan dari kalangan komunitas Islam, termasuk sultan. Mereka kemudian mendirikan sekolah-sekolah dengan sistem pendidikan lebih bersifat religius daripada liberal. Sehingga di samping memberikan pengajaran keagaman, juga dapat dinikmati bagi kalangan rakyat luas. Dalam lingkungan keraton, sultan mendirikan Perguruan Alqadriah pada 1914 (Al Qadrie, op cit hlm 42-43). Sejak Perguruan Alqadriah mengalami kemajuan dan banyaknya penduduk yang tertarik masuk ke perguruan tersebut telah memberi arti penting bagi pertumbuhan dan perkembangan pengajaran Islam di Pontianak.

Di luar keraton khususnya perkampungan pedagang dibuka pula pendidikan dengan sistem pengajaran yang menyerupai perguruan tersebut. Di Kampung Saigon didirikan Perguruan Saigoniah oleh Haji Muhammad Yusuf yang murid-muridnya hanya dari kalangan sekitar Kampung Saigon (ibid, hlm 43-44). Pada 1926 didirikan Perguruan Muhammadiyah oleh para mubalig dari Sumatera dengan semula murid yang terbatas dari pendatang. Selanjutnya berdiri pula Perguruan Al Islamiyah oleh Haji Arif bin Haji Ismail di Kampung Bangka yang semula berada di rumah tinggal pendirinya sendiri. Perguruan Al Islamiyah mengalami kemajuan pesat setelah dikembangkannya menjadi dua bagian yaitu Vervolschool atau setingkat sekolah pendidikan kolonial lama pendidikan lima tahun, dan Sekolah Khusus pendidikan agama setingkat Ibtidaiyah. Kedua sekolah tersebut dipimpin Abdul Manaf Siasa. Pada 1939 (Purwana, ibid hlm 98) perguruan ini meningkatkan tingkat pendidikan dengan membuka Schakelschool atau Sekolah Lanjutan Vervolgschool.
Kemajuan pengajaran di Pontianak juga menjadi perhatian para pedagang keturunan Arab. Mereka mendirikan Perguruan Islam Raudhatul Islamiyah di Kampung Mariana atau Jalan Merdeka sekarang (ibid, hlm 44-45). Tidak ketiggalan kaum pergerakan kebangsaan juga mendirikan Sekolah Taman Siswa pada 1935, tetapi pengaruhnya kurang begitu besar di kalangan masyarakat Pontianak. Tidak lama usianya, kemudian sekolah ini ditutup. Tokoh pergerakan lainnya, Gusti Sulung Lelanang—alumnus Kweekschool Batavia—merintis sekolah pribumi Inheemse Nederlandsche School (INS) di Pontianak dikepalai oleh Ya’ Sabran (Ahok, op cit hlm 29).

Pada 1928 melalui Misi Bruder Wenceslaus dibuka Sekolah Pertukangan (Ambachschool) di Pontianak. Sistem pendidikannya berlangsung selama 2—3 tahun. Mempunyai perbedaan dengan sekolah-sekolah yang telah dibuka di Pontianak, karena semua muridnya tidak dipungut biaya pendidikan dan diasramakan oleh Misi Bruder Wenceslaus.

Sekedar untuk memenuhi kebutuhan tenaga pengajar dibuka Cursus Volksonderwijzer disingkat CVO atau Sekolah Pendidikan Guru dan digunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Oleh Zending didirikan Sekolah dasar Lok Yue diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Cina lama pendidikan tiga tahun (Al Qadrie, op cit hlm 41). Pada 1937 dibuka Sekolah Menengah Pertama (Meer Uitgebreid Onderwijs) disingkat MULO, Sekolah Dagang (Handelsschool), Cheng Kiang di kawasan Kapuas Indah sekarang dan Hoi Sen di Siantan.

PERLUASAN KOTA PONTIANAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Menjelang masa peralihan kekuasaan pemerintah Belanda kepada pendudukan Jepang, perdagangan ekspor-impor barang selain dilakukan pedagang Cina dan Melayu, namun yang terbesar dikuasai salah satu kelompok dari sepuluh perusahaan dagang Eropa dengan membuka perwakilan maskapai pelayaran dan bank di Pontianak. Kedudukan Pontianak lainnya yang terpenting terletak pada pengangkutan sungai, pengolahan karet, pabrik minyak kelapa dan tempat penggergajian kayu (sawmill). Keadaan ini pula mendorong semakin banyaknya industri dan perdagangan pada 1939. Pelabuhan Pontianak dikunjungi 406 kapal dan 4.400 perahu, sedangkan nilai eksport yang dihasilkan f17.000.000.- dan nilai import sebesar f3.500 (Bohn, op cit, hlm 73).

Pada awal abad XX sampai dengan akhir masa pemerintahan Belanda, Pontianak mengalami kemajuan dalam bidang perhubungan melalui pelabuhan, pusat pemerintahan, perdagangan dan militer. Proses ini juga menarik perkembangan penduduk baik pribumi maupun Eropa terutama Belanda yang bersamaan dengan perluasan sistem pemerintahan Belanda lengkap dengan birokrasinya.

Hubungan ini juga ditunjukkan dengan menempatkan satu batalyon pasukan KNIL bersenjata lengkap di Pontianak. Komposisi jumlah penduduk dalam setiap dasawarsa mengalami penambahan sebagai perbandingan pada 1900 sebesar 13.136 jiwa, pada 1910 sebesar 19.438 jiwa, pada 1920 sebesar 29.730 jiwa, pada 1930 sebesar 45.482 jiwa dan sampai pada masa peralihan kekuasaan pemerintahan Belanda ke pendudukan Jepang pada 1940 sebesar 60.500 jiwa (Al Qadrie, op cit, hlm 21). Gejala perkembangan tersebut selain ditandai berdirinya gedung-gedung pemerintahan, sekolah, pelayaran, pertemuan, pertokoan, hotel, bioskop dan restoran, tetapi juga kediaman pejabat kolonial dan perluasan pemukiman penduduk.

Mengutip penuturan H Achmad Noor dan H Ibrahim Saleh semasa hidupnya beberapa waktu silam kepada Penulis, dijelaskan bahwa: Keberadaan Kantor Residentie (Kantor Walikota sekarang) sebagai pusat administratif pemerintahan Belanda, di sebelah timur terdapat kompleks officieren dan onderofficieren gewoonplaatsen-omgevingen (sekarang kawasan pertokoan Nusa Indah). Daerah sebelah timur Kantor Residentie terdapat Auditeurskantoor atau Kantor Kejaksaan (sekarang Bank Kalbar) berdekatan dengan Pasar Hilir dan Hulu (sekarang Pasar Kapuas Indah). Di kawasan itu terdapat Indische Europeesche Vereeniging yang berfungsi gedung perkumpulan bagi orang-orang Eropa. Selain gedung perkumpulan orang Eropa, dibangun juga gedung Persatuan Anak Borneo (sekarang sebelah Masjid Baiturrahman Jalan Tanjungpura), didirikan juga gedung Medan Sepakat juga berfungsi sebagai tempat perkumpulan kaum pribumi di Landraadweg (sekarang Jalan Urip). Berdekatan dengan kedua gedung perkumpulan kaum pribumi dibangun sarana hiburan seperti restoran Tea Garden dan bioskop Orient Hall.

Di daerah sebelah selatan Kantor Residentie merupakan perluasan Kota Pontianak terdapat Sekolah Zuster yang dibina Misi Katholik, perkuburan Katholik dan warga Belanda (sekarang Jalan Melati), dalam kawasan itu juga terdapat Gereja Katedral Santo Yosef (sekarang Jalan Pattimura) sebagai pusat perkembangan agama Katholik. Di sekitar lahan kosong dimanfaatkan oleh petani Cina menanam sayur-sayuran, sehingga disebut Kebon Sayok atau kebun sayur. Di kawasan kebon sayok kemudian dikembangkan pemerintah Belanda menjadi lapangan sepak bola yang diberi nama Pontianak Sport Vereeniging disingkat PSV (belakang Matahari Departement Store sekarang). Di pinggiran kota sebelah barat terdapat bangunan penjara (sekarang Gertak III atau Rumah Sakit Santo Antonius) sebagai pelaksanaan hukuman bagi penduduk yang melanggar Undang Undang dan Peraturan-peraturan Daerah.

Sebelah selatan terdapat bagunan Kantor Pandhuis (Pegadaian) dan di bagian belakangnya terdapat Opium en Zoutregie (PN Garam sekarang), sehingga kedua bangunan tersebut masih dijumpai dan berfungsi sesuai dengan dinasnya dahulu. Di sebelah selatan sejajar gedung Kantor Opium en Zoutregie terdapat bangunan Zender Radio Belanda (Kantor PT Telkom Jalan Teuku Umar sekarang). Bagian selatan Zender Radio adalah kawasan Schietterrein atau skip (sekarang Kantor Pelayanan Pajak, Gedung DPRD Kota dan Pontianak Convention Centre dahulunya Arena Remaja Jalan Sultan Abdurrahman). Schietterrein difunsgikan sebagai lapangan tembak militer Belanda. Di sebelah timurnya terdapat Sentiong berfungsi sebagai pekuburan masyarakat Cina yang letaknya di daerah pinggiran kota (Jalan Achmad Yani sekarang). (Usman MHD, 2007: 45)

Elemen yang ikut menunjang struktur dan tata ruang pemukiman wilayah Pontianak adalah perhatian pemerintah Belanda terhadap pengembangan sistem transportasi kota berupa jaringan jalan setapak dengan dihiasi penerangan jalan lampu minyak pada setiap pinggiran jalan dan persimpangan jalan. Begitu pula parit sebagai sarana penghubung terpenting dalam kota, baik melalui antarkampung maupun melalui pasar dengan menggunakan sampan dan motor air.

Fungsi parit sangat memegang peranan penting dalam jalur lalu lintas penduduk dan menarik penduduk membuat pola pemukiman di sepanjang parit seperti di daerah alur Sungai Jawi, Parit Besar, Parit Bansir, Parit Pekong, Parit Haji Husin dan Parit Tokaya. Parit-parit mulai diatur dengan kayu barau (berm) untuk mencegah longsornya tanah. Pada umumnya keadaan sanitasi pemukiman penduduk kurang terpelihara dan pembuangan sampah belum teratur, walaupun telah dibuat tempat pembuangan akhir sampah yang cukup luas lokasinya di pinggiran kota (sekarang Pontianak Mall Jalan Teuku Umar).

Di samping pembangunan infrastruktur di atas, telah dibangun Tugu Khatulistiwa. Pembangunan tersebut didasarkan pada letak Kota Pontianak yang mempunyai keunikan dengan daerah lainnya, karena berada di Garis Khatulistiwa atau Equator atau terletak pada garis lintang 0 derajat. Kota Pontianak sebagai Kota Khatulistiwa mempunyai keistimewaan geografis di antaranya curah hujan yang cukup tinggi, suhu dan kelembabannya rata-rata cukup tinggi serta terdapat berbagai jenis atau spesies hewan dan tumbuhan.

Pembangunan Tugu Khatulistia berdasarkan pada catatan Opsiter Wiese pada 1914 dari V en W, dari Bijdragentot De Geographe dari Chep van Den Topographeschen Dien in Nederlandsch Indie: Den 31 Sten Maart 1928. Keterangan tersebut dinyatakan bahwa telah dikirim satu ekspedisi internasional ke Pontianak, ekspedisi tersebut dipimpin seorang ahli geographie berkebangsaan Belanda untuk menentukan titik atau tonggak Garis Equator di Kota Pontianak.

Tugu Khatulistiwa pertama kali dibangun pada 1928 dengan berbentuk tonggak dan tanda panah. Pada 1930 bentuk bangunan tugu ditambahkan, sehingga berbentuk tonggak dengan lingkaran dan tanda panah. Begitupula pada 1938 penyempurnaan tugu kembali dilakukan oleh Opsiter Archiech Silaban. Hasil perbaikan tugu mempunyai bentuk dan ukuran bangunan terdiri dari empat tonggak belian, masing-masing 0,30 m, sedangkan ketinggian pada tonggak bagian depan terdapat dua batang dengan tinggi 3,05 m dari permukaan tanah serta bagian tonggak belakang pada tempat lingkaran dan anak panah sebagai petunjuk arah mempunyai tinggi 4,40 m.

MASA PENDUDUKAN NIPPON DI PONTIANAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Jumat 19 Desember 1941 sekitar pukul 12.00 bertepatan dengan shalat Jumat, Jepang melakukan penyerbuan di Kota Pontianak. Dalam melakukan aksi militernya, Jepang menggunakan sembilan pesawat terbang dan melakukan berbagai pengeboman di dalam Kota Pontianak, seperti di kawasan Parit Besar, Kampung Bali atau sekitar Jalan Sisingamangaraja (Kampung Bali) sekarang, di antaranya tedapat gedung sekolah HCS yang menelan korban sediktnya 20 orang siswa, kawasan Gereja Khatolik dan Kampung Melayu. Setelah aksi pertamanya, tiga hari kemudian pada Senin 22 Desember 1941 Jepang kembali melakukan pemboman dalam Kota Pontianak. Selanjutnya pemboman ketiga dilakukan pada Sabtu 27 Desember 1941 (Usman MHD, 2007: 19-21, lihat juga Rahman, 1991: 72-73, dan Al Qadrie, op cit hlm 96-97).

Munculnya pemboman secara sporadis (Purwana, op cit hlm 126) telah menimbulkan suasana rasa takut dan mencekam terhadap penduduk secara meluas. Aksi pengeboman tersebut mengakibatkan jatuhnya korban massal di pihak penduduk sipil serta menghancurkan sarana-sarana umum dan pemukiman-pemukiman penduduk (Wawancara Noor, Saleh dan Apeh, 2000 dan 2006).

Jalur pelayaran dan perdagangan luar negeri di Pelabuhan Pontianak terhenti. Begitu pula pelayaran antar pulau, baik menggunakan kapal maupun perahu, mengalami penurunan. Walaupun pihak pemerintah militer Jepang tidak melarang adanya perdagangan dari luar, namun tetap melakukan pengawasan ketat. Faktor=faktor sepinya Pelabuhan Pontianak disebabkan kurangnya keamanan pelayaran dan perdagangan akibat sering terjadi penyerangan melalui kapal terbang di kawasan Pontianak (Purwana, op cit hlm 135). Keadaan ini menyebabkan Kota Pontianak menjadi daerah terisolir, sehingga tidak mengherankan kebutuhan bahan pokok, seperti beras, garam, gula, minyak bakar dan pakaian sangat langka ditemukan penduduk.

Hubungan melalui daerah pedalaman—menggunakan perahu bermotor—kadangkala terjadi. Itupun hanya terbatas mengangkut kebutuhan pendudukan militer di Pontianak dan selanjutnya dibarter dengan minyak bakar bagi penduduk di pedalaman. “…Sebelum Jepang masuk ke Pontianak, pohon karet banyak tumbuh di daerah ini [perkampungan pedagang atau Kampung Dalam Bugis], tetapi setelah tentara Jepang masuk pohon-pohon karet semuanya ditebang dan saya tidak tahu apa maksudnya …mungkin mau diganti pohon lain …selanjutnya daerah ini juga jadi perkuburan umum bagi perkampungan pedagang …” (Isa, 1999, ibid hlm 136-137). Hasil penebangan pohon karet dan kelapa hanya dipergunakan untuk bahan pembuatan jalan dan kayu bakar. Selanjutnya perkebunan karet dan kelapa diubah dengan menanam produksi pangan dan palawija sebagai kebutuhan konsumsi perang militernya.

Sebelum jatuhnya pemerintahan Belanda, di dalam Kota Pontianak telah berdiri Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau Sekolah Menengah Pertama, Hollandsch Inlandsche Scholen (HIS), Holandsch Chineesche School (HCS), ELS (Europesche Lagere School), Inheemse Nederlandsche School (INS), Ambachschool (Sekolah Pertukangan), Handelsschool (Sekolah Dagang), Sekolah Dasar Lok Yue dan Cursus Volksonderwijzer (CVO) atau Sekolah Pendidikan Guru. Pada permulaan masuknya militer Jepang di Kota Pontianak di bawah kekuasaan Kaigun (Angkatan Laut), kegiatan sekolah dibekukan semua yang dianggapnya begitu rumit sekolah masa pemerintah Belanda. Usaha ini sekaligus mengikis pengaruh-pengaruh paham Belanda di Pontianak khususnya (Usman MHD, op cit hlm 45, lihat juga Soedarto, op cit hlm 78).

Pendidikan masa pendudukan Jepang mengalami kemerosotan, walaupun setiap penduduk diberi kesempatan yang sama untuk menerima pendidikan tetapi keterbatasan sarana pendidikan dan kekurangan tenaga guru akibat penangkapan para pastur, bruder dan suster. Faktor lainnya adalah keterbatasan kemampuan pendudukan Jepang mendatangkan para guru Jepang untuk menggantikan para guru yang tertangkap, untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pihak Jepang mengusahakannya melalui CVO atau Kursus Pendidikan Guru.

Guna menggantikan MULO sebagai Sekolah Menengah, pihak Jepang mendirikan Futsu Chu Gakko atau SMP Susteran sekarang. Sekolah ini di bawah pimpinan seorang Jepang bernama Prof T Murakawa berpangkat Letnan Kolonel (ibid hlm 87). Sedangkan para gurunya (sensei) berasal dari militer Kaigun dan mengajarkan pelajaran sesuai dengan keahliannya serta semuanya tunduk pada Syuntiyoo Izumi. Begitupula Sekolah Rakyat dileburkan ke dalam Kokumin Gakko (Sekolah Penduduk). Murid-muridnya—diwajibkan kepalanya gundul—selain diajarkan ilmu pengetahuan juga sebagian besar diberi latihan militer (kyoren) dan kerja bakti (kinrohoashi). Mata pelajaran yang diajarkan membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan hayat, bahasa Melayu dan ditekankan pada penguasaan bahasa Jepang. Dalam pelajaran bahasa Jepang diajarkan menulis huruf Katakana dan Kanji (Purwana, ibid hlm 139).

Sejak masuknya Rikugun (Angkatan Darat Jepang) pada 2 Februari 1942 di Pontianak, keadaan ketertiban dan keamanan kota sudah tidak terkendali. Situasi ini juga menyebabkan munculnya penjarahan pada warung-warung, toko-toko dan gudang milik orang-orang Cina. Setelah dikeluarkannya peraturan Osamu Seirei Nomor 1 pada 7 Maret 1942, Rikugun mengambilalih tindakan ketertiban dan keamanan kota. Aksi-aksi penjarahan mulai dilarang dan selanjutnya kehidupan penduduk kota berjalan seperti biasanya, walaupun penduduk masih tetap waspada dan diliputi rasa ketakutan tetapi keadaan kota mulai semakin baik. Dalam pendudukan Rikugun belum banyak melakukan campur tangan dalam menata kehidupan penduduk Pontianak, pihak Rikugun berusaha melakukan pendekatan dan kerjasama dengan penduduk.
Kehidupan penduduk semakin hidup susah disebabkan sulitnya mendapatkan barang kebutuhan pokok sehari-hari. Selanjutnya Syuntiyoo Izumi mengambil langkah-langkah untuk keselamatan penduduk dari kelaparan. Guna mengatasi keadaan tersebut, dibentuklah ekonomi perang dengan mengerahkan penduduk untuk bertani menananm padi, ubi-ubian dan sayur-sayuran di kebun halaman rumah yang hasilnya dapat dikonsumsi. Langkah ini berhasil untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri. Di sisi lain, pihak Jepang juga mengajarkan cara-cara pembuatan garam, sabun, pakaian dari bahan kulit kayu dan penggunaan minyak kelapa untuk bahan bakar. Bahkan beberapa penduduk melakukan kegiatan penyulingan arak untuk kebutuhan militer Jepang, kadangkala arak ditukar (barter) dengan bahan kebutuhan pokok penduduk (Purwana, ibid hlm 148).

MENUJU PONTIANAK KONTEMPORER
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Berakhirnya masa pendudukan Jepang di Pontianak dihadapkan pada situasi perekonomian yang serba kacau. Pemerintah NICA tidak sempat melakukan tindakan-tindakan penanggulangan secara konsepsional. Di dalam masalah produksi dan distribusi bahan makanan masih tetap dilakukan secara lokal sebagai kelanjutan sistem ekonomi perang Jepang.

Dalam hubungan transportasi penyeberangan sungai melalui pelampung bagi masyarakat Pontianak, sering mengalami hambatan karena terbatasnya angkutan pelampung yang hanya dapat menampung dua kendaraan mobil. Untuk mengatasi masalah tersebut, Sultan Hamid II meminta bantuan kepada Kerajaan Belanda untuk mendatangkan pelampung yang kapasitasnya lebih besar, selanjutnya pihak pemerintahan Belanda mendatangkan bantuan satu unit pelampung yang kapasitasnya dapat menampung enam mobil. Adanya bantuan tersebut minimal dapat mengatasi persoalan arus penyeberangan bagi masyarakat.

Begitu pula dalam urusan pendidikan setelah dialihkan ke pemerintahan NICA, maka kegiatan pendidikan mulai digalakkan di tingkat sekolah rakyat (dasar) dan menengah (lanjutan). Sekolah-sekolah yang dibekukan oleh pihak Jepang baik dikelola Misi dan Zending maupun perguruan Islam mulai kembali diselenggarakan. Namun berbagai masalah kegiatan pendidikan yang dihadapi adalah kurangnya tenaga guru yang ada untuk membina sekolah. Keadaan itu disebabkan beberapa tenaga guru dan pengurus sekolah mengalami korban pembunuhan Jepang, tenaga guru lainnya serta pelajar yang tamat dari pendidikan mengisi kekosongan pegawai pada pemerintahan. Faktor lainnya adalah kurangnya sarana alat pendidikan dan perkakas sekolah (ibid, hlm 197).

Sekolah-sekolah yang masih menjalankan kegiatan pendidikan di Pontianak seperti pada dua sekolah Volksschoolen atau Sekolah Rakyat terletak di Kampung Melayu dipimpin oleh Guru Saleh serta Sekolah Rakyat di Gang Mariana dipimpin Mohammad Noor atau Guru Nong. Begitupula terdapat Sekolah Dasar Hollands Indlandsche School (HIS) di Jalan Tamar sekarang, Europesche Lagere School (ELS) di Jalan Rahadi Osman sekarang, Schakelschool atau sekolah penghubung antara Volkschool dengan MULO, dan Hollands Chineesche School di Kampung Bali. Di pihak lain lembaga pendidikan yang diselenggarakan perguruan Islamiyah di Jalan Merdeka Barat dan Kampung Mariana. Untuk bidang pendidikan sekolah lanjutan terdapat Rooms Katholik MULO yang dikelola oleh Misi (Al Qadrie, op cit hlm 46-47).

Di Kota Pontianak sejak dikeluarkannya peraturan bagi Volkschoolen kelas tiga dan Volvolgschoolen kelas dua dileburkan ke dalam Sekolah Rendah Umum. Schakelschool sebagai sekolah penghubung dan hanya satu didirikan di Pontianak sangat diminati dengan jumlah siswa yang cukup banyak. Pada 1 September 1947 telah didirikan pendidikan sekolah kejuruan Gespecialiseerde Vakopleiding (Sekolah Tukang) dan menyusul Sekolah Rendah Perempuan yang selanjutnya diubah menjadi Sekolah Kerajinan Rendah (Harmsen, 1947: 31-32). Sehubungan dengan minimnya pendidikan kejuruan terutama bagi sekolah teknik, maka Sultan hamid II selaku Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat meminta bantuan kepada Kerajaan Belanda. Setelah dikeluarkannya bantuan tersebut, selanjutnya pada 1947 didirikan Sekolah Teknik Sultan Hamid II di Siantan.

Bagi sekolah-sekolah rendah dan menengah untuk golongan Cina telah mendapat subsidi, di antaranya Hollands Chineesche School dan pada 1 Juli 1946 telah dikeluarkan peraturan kurikulum baru untuk pelajaran bahasa Indonesia selama 4 jam pelajaran. Peraturan baru tersebut mendapat penolakan dari golongan Cina, bahkan Hollands Chineesche School yang dibina pemerintah mengalami kemunduran. Dengan adanya peraturan tentang penambahan pelajaran bahasa Indonesia, bagi mereka hanya membuang waktu. Bahkan mereka menginginkan dalam sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah golongan Cina perlu mempunyai kesamaan dengan pendidikan di Tiongkok (ibid, hlm 25).

Selain kegiatan pendidikan umum, untuk menangani keperluan penduduk akan kesehatan selanjutnya dibuka pendidikan juru rawat yang dipusatkan di Rumah Sakit Umum Pontianak. Oleh karena semakin banyaknya permintaan juru rawat di poliklinik yang baru dibuka, maka untuk sementara hanya dapat dilakukan kursus kilat (spoed-cursus), begitupula bagi pembantu mantri (verplager) yang telah lama menunggu ujiannya (examen) dapat meneruskan pendidikannya guna menempuh ujian akhir (eidenxamen) (ibid, hlm 33). Dalam hubungan itu, Sultan Hamid II mendirikan Rumah Sakit Bersalin Ratu Mas Mahkota—diambil dari nama istrinya—selanjutnya diubah menjadi Rumah Sakit Bersalin Pontianak (sekarang Rumah Sakit Bersalin Harapan Anda). Dalam operasional awalnya mendapat bantuan dari pemerintah Belanda dengan direktur pertama Lim Cong Wan kemudian dialihkan kepada dr Mas Soedarso.

Walaupun Kota Pontianak sering mengalami gejolak politik dan sosial, namun dalam kenyataannya jumlah penduduk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, proses ini didukung Kota Pontianak sebagai pusat administratif, industri, perdagangan dan pendidikan. Sebagai perbandingan pada 1950 jumlah penduduk 75.000 jiwa, pada 1955 meningkat 103.000 dan pada 1965 meningkat 174.216 jiwa. Meningkatnya jumlah penduduk disebabkan adanya urbanisasi, pindahan penduduk dari luar daerah berupa anggota ABRI dan pegawai negeri. Salah satu faktor kenaikan ini juga ditunjang oleh masuknya pengungsi Cina dari daerah-daerah pedalaman.

Dalam penyediaan air bersih merupakan suatu permasalahan penting yang sering dirasakan setiap penduduk kota. Langkah-langkah kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Pontianak dengan merencanakan pembangunan instalasi penjernihan air minum untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Pada 1957 instalasi tersebut dibangun oleh Etablissement Emile Degromont, setelah dilakukan survey oleh Balabanian dan harel. Sumber air diambil dari Sungai Kapuas Kecil, namun sungai ini sering dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan menyebabkan kadar garam cukup tinggi. Awalnya Balabanian merencanakan pembangunan instalasi air minum di sebelah utara Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak dengan pertimbangan jika air Sungai Kapuas Kecil telah mengandung kadar garam, maka dapat dialihkan di sebelah utara Sungai Landak yang kurang dipengaruhi air asin. Begitupula jika pengolahan air bersih dapat didistribusikan ke Kota Pontianak di sebelah selatan Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak melalui penggunaan Zinkers. Rencana Balabanian tersebut mendapat penolakan dengan pertimbangan ekonomis, karena letak instalasi cukup jauh dari pusat kota. Selanjutnya Harel menyetujui instalasi dibangun di tepi sebelah selatan Sungai Kapuas Kecil dengan resiko kadar garam cukup tinggi.

Setelah pembangun instalasi air (sekarang Kantor PDAM) langsung mendistribusikan ke rumah penduduk, Pemerintah Kota Pontianak membangun dua resorvoir masing-masing satu resorvoir ditempatkan di daerah Sentiong (Jalan Ahmad Yani sekarang) dan satunya di Jalan Merdeka sekarang. Walaupun telah dibangun instalasi air minum, namun penduduk masih kesulitan mendapatkan air bersih. Sebagian besar penduduk menampung air hujan sebagai sumber persediaan air minum. Hampir setiap rumah mempunyai tempat penampungan air berupa bak dari kayu dan batu, meskipun beberapa rumah telah memasang saluran air minum dan instalasi penjernihan air bersih Kota Pontianak.

Pelaksanaan pembangunan dalam kota yang dilaksanakan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) pada 1965 meliputi perbaikan Jalan Ampera, Kelurahan Paal Lima sepanjang 3,5 Km dengan membuat jalan tembus dari Jalan Kinibalu sampai Kotabaru. Untuk mengatasi banjir, maka dilaksanakan perbaikan dan perluasan parit Jalan Kinibalu sampai Sungai Kapuas. Pelebaran Gang Bahagia seluas 2 m dari Jalan Jaksa sampai Jalan Kalimantan. Perbaikan jalan dan parit dari Kotabaru ke Punggur. Perbaikan Jalan Sutan Syahrir, Jalan Sungai Jawi Dalam, Jalan Kelurahan Mariana, Jalan Kelurahan Tengah, Kelurahan Darat Sekip, pada 1964 melanjutkan perbaikan Jalan Podomoro Kelurahan Sungai Bangkong sepanjang 1,5 Km lebar 4 m dari Jalan Jaksa sampai Jalan Kalimantan, meneruskan perbaikan jalan dan gang di Kelurahan Sungai Jawi Luar. Perbaikan Jalan Kamboja, Jalan Hijaz, Gang Ketapang, Gang Siam, Jalan Parit Tokaya dan Jalan Tanjungpura. Pada 1965 melanjutkan pembangunan Jalan Kinibalu sepanjang 500 m, lebar 3,5 m dan tinggi 0,6 m.
Rencana pembangunan skala besar mulai dipikirkan pemerintah melalui penyediaan lokasi dari beberapa proyek besar dalam Kota Pontianak, yaitu rencana Jembatan Kapuas. Proyek besar lainnya adalah rencana pembangunan universitas, perluasan Kota Baru II (Sentiong), Dok Perkapalan, RSUP dan Stadion Olahraga. Dalam bidang pembangunan kota telah dilaksanakan 6 blok bangunan di Kompleks Seroja dengan jumlah 116 pintu, pembangunan Pasar Sentral telah direalisir 60 persen, pembangunan pertokoan Jalan Barito 60 persen sebanyak 20 petak dan bertingkat tiga.

Pembangunan dalam kota terus digalakkan dengan mengutamakan pembangunan pasar untuk memenuhi kebutuhan jual-beli penduduk dan secara langsung sebagai pemasukan keuangan dan perluasan kota. Pembangunan yang dimaksud meliputi daerah Siantan, perluasan Pasar Mambo, Pasar Tjiplak, Pasar Gertak III Sungai Jawi, pertokoan Jalan Seruni dan Kantor Camat Pontianak Barat di Jalan Veteran (Jalan Johar sekarang).

Kegiatan perbaikan jalan lainnya hanya dilakukan dengan penambahan jalan, kendala ini terjadi karena kurangnya persediaan aspal. Pembuatan lapisan jalan permanen hanya dapat dilaksanakan sepanjang 1.537 M, meliputi Jalan Kalimantan (Jalan Sultan Abduurahman sekarang) sepanjang 1.200 m, Jalan Pak Kasih atau Pelabuhan sepanjang 130 m dan Jalan Malaka sepanjang 207 m. Begitupula telah dilaksanakan perbaikan dan pelebaran sejumlah jembatan meliputi jembatan Tambang Seduit Jalan Kapuas Besar, jembatan Parit Besar Jalan Kapuas Besar, jembatan Parit Pokong Jalan Kapuas Besar dan jembatan di depan Gang Berunai Jalan Tanjungpura (Noor, 1999).

Hubungan perdagangan lokal yang dilakukan para pedagang di Kota Pontianak dengan daerah-daerah pedalaman saling ketergantungan, baik kota sebagai pusat perdagangan dengan tersedianya bahan-bahan kebutuhan penduduk di daerah maupun daerah produksi hasil bumi dan hutan dengan menggunakan motor air atau bandong ke Pontianak. Barang-barang yang diperdagangkan di Pontianak umumnya kebutuhan sembilan bahan pokok seperti beras, gula pasir, garam, kopi, tekstil, minyak tanah, tepung, kacang-kacangan, semen dan lain-lainnya. Begitupula komoditi hasil bumi dan hutan dari daerah dengan membawa komoditi kopra, karet, damar, rotan, kayu, ikan dan hasil komoditi lainnya.

Hubungan perdagangan di antara keduanya telah memberi arti bagi proses berlanjutnya mata rantai perdagangan dari kota ke daerah, begitupula sebaliknya. Pusat aktifitas para pedagang terdapat di sepanjang Sungai Kapuas Kecil dan transaksi skala besar umumnya diselenggarakan pada kantor-kantor dagang di sepanjang Jalan Tanjungpura. Kawasan tersebut cukup strategis, karena berdekatan dengan pelabuhan dan didukung pula terdapatnya sarana pendukung berupa bank dan hotel.

PONTIANAK DUA ABAD LALU
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Dalam 1895, pada 7 Juli, di Matan sebuah kota kecil, sebuah syair, Syair Pangeran Syarif, ditulis oleh Sultan Matan itu sendiri. Syair ini menggambarkan situasi Kota Pontianak pada masa Belanda (baca: abad XIX). Liputan peristiwa yang diungkap dalam Syair Pangeran Syarif merupakan hasil pengamatan, pengalaman dan perenungan Sultan Matan sang penulis syair ini. Sultan Matan itu dikabarkan berada di Pontianak selama sembilan pekan—dari Minggu pertama bulan Zulkaedah 1312 Hijriyah hingga 13 Muharram 1313 Hijriyah.

Gambaran tentang latar belakang sosio-ekonomi Pontianak dapat dilihat pada bait ke 141 hingga 156. Di bait ini disebutkan, sambil menunggu Residen Belanda pulang dari Betawi, Sultan Matan mengobati kakinya yang sakit dan menggunakan masanya yang terluang itu bersiar-siar menyaksikan Pontianak.

Katanya, Pontianak aman, jauh berbeda dari dulu. Penduduknya sudah berlipat ganda ramainya dan sudah terdiri dari berbagai bangsa. Disebutkan juga lalu-lintas laut dan sungai sangat banyak membawa muatan dan penumpang, terdiri dari ada kapal api, sekunar, pinis, bandong, wangkang, tongkang, supit, pencalang, bidang, payang, sampan penambang, rakit dan ambuk.

Pengangkutan laut ini, radius dan lokasi operasinya terbagi dua, tempatan untuk pelayaran sungai hingga mudik ke hulu Sintang, dan pelayaran laut ke Jawa, Singapura, Sambas dan Singkawang. Komoditi yang diangkut misalnya sapi, rotan dan getah. Lalu lintas menyeberang sungai Pontianak menggunakan sampan penambang yang dimonopoli oleh orang Madura. Malah bentuk dan struktur sampannya sendiri mengikut bentuk dan struktur sampan penambang Madura yang mengangkut orang ulang-alik antara Pulau Madura dengan daratan Pulau Jawa, terutama antara Bangkalan di Madura dengan Gersik dan Surabaya di daratan Jawa.

Gambaran ekonomi dan sosio-budaya dapat dilihat pada Bait 157 hingga 179, di sana disebutkan: Tanah Seribu (Pontianak) memiliki kubunya kian kuat selari dengan kemajuan ekonominya, dan ini diikuti dengan perkembangan sosio-budaya. Kalaupun musuh menyerbu, tidak lagi menyusahkan hati. Rumah orang-orang Belanda teratur, jalan rata dan bersih dan terusan sudah ada jambatan yang teguh. Rumah, kedai, pejabat dibina seeloknya, disapu cat putih dan hitam. Peraturan dan Undang Undang sudah merata, dan kejahatan jenayah sudah dapat dicegah, yang semuanya itu berdasarkan perintah bertulis di mana pena dan dakwat memegang peranan besar.

Perumahan Belanda dan penduduk lainnya, pribumi dan asing memperlihatkan kemewahan yang sekaligus membawa perubahan dari segi bentuk seni arsitektur dan selera melengkapi hiasan dalam dan luar rumah. Halaman dihiasi kebun berpindah, dengan manggis dan rambutan senantiasa berbuah. Dalam suasana hiasan rumah dan penghuninya, tepat sekali digambarkan dua jalur kejiwaan, yaitu berahinya anak muda menikmati keindahan dan kecantikan anak-anak dara dan pada waktu yang sama memuncaknya rasa cemas dan ragu di kalangan orang tua atas kemungkinan terjadinya pelanggaran etika moral.

Di kawasan Kampung Jawa dan Kampung Bali, di atas setiap lorong dan terusan dihiasi kerum atau mahkota dan di sinilah kebanyakan orang Belanda menghibur hati bersuka-sukaan. Dari kawasan ini ada lorong terus ke Kampung Cina, dan di sepanjangnya telah dibangun beberapa warung yang menjual berjenis makanan. Di bahagian darat kawasan kantor (kantor kerajaan, pasar dan jembatan pelabuhan terletak di tebing kiri sungai), sudah padat perumahan. Jalannya elok dan lurus seperti disipat (sipat, tali yang diberi warna hitam, digunakan untuk meluruskan ukuran). Lorong-lorong di kawasan perumahan ini setengahnya bertembok batu (semen), bersih tidak ada suatu sampah (kawasan ini terletak antara kantor residen dengan padang bola di Kampung Kebun Sayur).

Keadaan di Kampung Cina sesak berkabut dengan pasarnya yang senantiasa penuh orang dan timbunan barang. Bunyinya gemuruh berebut pembeli. Kemakmuran jelas tergambar di sini, karena apa juga keperluan orang, semuanya ada dijual. Dan yang berniaga di sini sudah dapat menyaingi kehebatan kedai-kedai di Singapura dan Betawi, yang jelas dimiliki oleh orang Cina dan Keling Surati (Bombay). Dalam kemewahan ini diperlihatkan beberapa kenyataan. Di samping kekuasaan penjajah Belanda sebagai pemerintah, sebenarnya Cina yang menguasai segala jalur ekonomi dan nadi penghidupan. Penduduk kian bertambah, terutama orang asing. Orang Melayu yang menjadi asas utama penduduk negeri (Melayu-Bugis-Jawa-Madura) kian bertambah, tetapi pertambahan orang Cina jauh berlipat ganda. Orang Cina datang sebagai migran sudah tidak bermusim, dan ini menyebabkan Sultan Pontianak bersusah hati. Sultan Pontianak tidak dapat berbuat apa-apa terhadap situasi ini.

Jajahan laut sudah rata dipenuhi Cina. Arah ke hulu Kapuas, orang Cina sudah memenuhi Hulu Sintang, Sekadau dan Belitang. Pada semua sungai dan anjung, adalah Cina tinggal di situ. Gambaran tentang penduduk Pontianak dapat dilihat pada Bait 193 hingga 213. Diuraikan: Di kalangan orang Eropa yang menjadi penduduk Pontianak terdiri dari tentara dan pegawai sipil terdiri dari orang Belanda, swasta terdiri dari orang Belanda, Inggris dan Persman (Orang Belanda bagian Utara). Orang-orang Eropa pada waktu itu rapat hubungannya dengan pegawai-pegawai tentara dan sipil Belanda, juga bersahabat dengan sultan.

Orang swasta Eropa ini mendirikan berbagai perusahaan perdagangan dan perniagaan, perusahaan membuat periuk dan papan. Ada pula orang Eropa swasta yang makan gaji, dengan berlayar kapal api, menjadi juru jentera atau pegawai dan nakhoda kapal. Di kalangan orang Bugis pula, termasuk yang datang dari Wajo, dan orang yang datang dari Sumbawa, mereka tinggal di pesisir pantai, dan merekalah yang menguasai kebun ladang. Orang Bugis tinggal berkelompok sesama mereka, membuat kampung dengan susunan perumahan yang berlapis-lapis. Bilangan mereka sangat banyak. Disebutkan mereka memenuhi jajahan laut, dan kalau terjadi peperangan, orang Bugis inilah yang lebih dulu berperang.

Sedangkan suku bangsa yang terdapat di Pontianak ketika itu, antara lain Jawa, yakni dari Betawi, Surabaya dan Plered. Bali, Madura yakni dari Madura, Sumenep dan Bawean. Melayu dari Kalimantan sendiri seperti dari Banjarmasin, Banjar Negara, Banjar Tanggi, Martapura, Brunei, Serawak, Sambas, Singkawang. Melayu yang datang dari Kepulauan Riau, yakni dari Tambelan, Jemaja, Bunguran, Siantan, Serasan, Kamboja, Daik, Lingga, Muntok dan Belitung. Melayu dari Sumatera, yakni Batubara, Siak, Bangkahulu, Padang, Deli, Kampar, Kuantan, Jambi, Palembang. Melayu dari Malaya, yakni Pulau Pinang, Melaka, Johor, Singapura, Pahang, Terengganu, Petani, Kelantan. Melayu dari Indocina yaitu Kemboja. Melayu dari Sulawesi yaitu dari Bugis, Makassar, Buton. Dari Nusantara, yakni Nusa Tenggara, Sumbawa. Orang asing yang ada di Pontianak ketika itu adalah dari jazirah Arabia (Arab Hadralmaut), dari Afrika yakni Habsi dan Arab Walkiti (Mesir), dari India yakni Keling dan Surati. Terdapat juga orang dari Eropa, yakni dari Belanda dan Inggris.

Gambaran tentang taraf hidup orang Pontianak bisa dilihat pada Bait 214 hingga 229. Dari Bait 214 hingga 222 dijelaskan interaksi antara penjual dan pembeli dalam perniagaan pakaian dan makanan yang terdapat di daratan dan kedua belah tebing sungai Pontianak. Para pedagang ini terdiri dari Islam dan kafir, terdiri dari orang yang setempat dan musafir. Di samping itu banyak yang berdagang tetapi lebih banyak lagi yang hidup sebagai kuli. Disebutkan juga banyak yang bekerja sendiri membuat berbagai jenis barang keperluan hidup sehari-hari untuk diperdagangkan. Penjual barang menjajakan jualannya dari rumah ke rumah, termasuklah perhiasan emas perak dan batu-batu permata.

Dari Bait 223 hingga 229 memberikan gambaran tentang keadaan perumahan penduduk. Rumah penduduk dibangun kokoh dan indah. Atap rumah terdiri dari atap sirap—kayu belian, dan seng. Jarang rumah penduduk di Kota Pontianak yang beratap daun nipah. Jendela-jendela rumah sudah mulai dibuat dari besi. Model rumah juga sudah didesain dengan berbagai-bagai bentuk. Bahkan katanya sudah banyak meninggalkan bentuk tradisi Melayu.
Perabot rumah lengkap dan halaman rumah dihiasi pintu gerbang bentuk mahkota. Kursinya bertilam dengan dilapis renda bersulam. Yang lebih kaya lagi, dalam kamarnya dilengkapi katil dan gets, dialas puadai yang menyenangkan mata. Ada persaingan dalam melengkapi dan memperindah rumah masing-masing. Adapun yang mula-mula membangun rumah model baru ini adalah orang Melayu, lalu diikuti orang Cina. Pada akhirnya orang Cina lebih hebat lagi rumahnya karena terus meniru bentuk Barat.

Dari Bait 230 hingga 234 digambarkan tipologi rumah orang Cina. Katanya rumah sistem bangsal masyarakat Cina menurut keperluan hidup sistem kongsi dan taraf migran sudah dipandang hina oleh orang Cina generasi baru Pontianak. Oleh sebab itu ramailah tauke yang membangun rumah mereka dengan bentuk baru yang sesuai untuk mereka hidup satu keluarga saja. Tauke-tauke muda membina rumah mereka menurut cara Belanda dengan dilengkapi perabot ala Barat. Perumahan orang Belanda lebih hebat lagi dibandingkan perumahan orang Melayu dan Cina. Dari Bait 235 hingga 237 diperlihatkan pula tentang model pakaian yang lagi trend pada masa itu. Ini sebagai fenomena bertambahnya adat baru ke dalam penghidupan. Dalam suasana demikian itu di Pontianak, kekuasaan dan kemampuan membolehkan apa saja yang diingini, bisa dinikmati.

Dari gambaran singkat tentang keadaan Kota Pontianak dan kehidupan masyarakat pada abad XIX, diperoleh gambaran tentang susana yang metropolis. Pontianak ketika itu jelas menggambarkan sebuah kota yang maju, kota yang sangat terbuka. Kehidupan juga cukup rancak dengan dinamika sebagai sebuah kota metropolitan. Pontianak menjadi tempat berkumpul orang yang datang dari berbagai daerah. (Disadur dari Syair Pangeran Syarif, Arena Wati, UKM Bangi Malaysia, 1989).


PEMERINTAHAN KOTA PONTIANAK DARI MASA KE MASA
Catatan: Syafaruddin Usman MHD

KEBIJAKAN POLITIK KOLONIAL BELANDA
Dalam kebijakan politik pemerintahan kolonial Belanda terkenal dengan sistem sentralisasi yang ekstrem, birokrasinya yang kaku dan otokrasinya yang mutlak. Banyaknya urusan daerah atau lokal yang sederhana juga harus dilayani pemerintah kolonial Belanda di Batavia, maka pada awal abad XX pemerintah kolonial Belanda memandang lebih baik untuk mulai menyerahkan pembinaan urusan dan kepentingan lokal kepada badan-badan pemerintahan lokal yang diberi sekedar kebebasan (zelfstandig) dan dapat memiliki keuangan sendiri.

Maka sistem Decentralisatie Wet (Undang Undang Desentralisasi) mulai dilaksanakan pada 1903 yang konsekuensinya memberi otonomi lebih banyak kepada pemerintah daerah dan mendirikan pula badan-badan perwakilan. Tugas-tugas administratif yang dipindahkan dari pusat ke daerah terbatas pada persoalan-persoalan setempat, sehingga ditemukan pegawai yang sangat berkuasa. Hal ini disebabkan karena Decentralisatie Wet hanya mewujudkan demokratisasi dalam arti fungsi yang minimal bagi tiap daerah jajahan. Sebelumnya sistem pembentukan ke arah daerah-daerah otonom (pemerintahan sendiri) di wilayah Hindia Belanda mulai diterapkan sejak ditetapkannya De Indische Comptabiliteit Wet pada 1864. Namun karena mengalami berbagai persoalan, maka realisasi pelaksanaan desentralisasi baru terlaksana pada Decentralisatie Wet (Darmiati, 1998: xiii, lihat juga Kartodirdjo, 1993: 43-44).

Berlakunya Decentralisatie Wet bertujuan membuka kemungkinan daerah otonom dengan nama Locale Ressorten (Staatsblad 1905 No 181), namun tidak membawa pengaruh langsung bagi Kerajaan Pontianak. Kondisi ini disebabkan karena sultan masih terikat pada kekuasaan pemerintah Belanda melalui perjanjian-perjanjian para pendahulu Sultan Pontianak. Di Westerafdeeling van Borneo (Bagian Barat Kalimantan) pemerintahan dilakukan oleh districtshoofden. Sejak dikeluarkannya Staatsblad 1919 No 512, maka dibentuk districts-bestuur baru (Soedjito, 1984: 47). Afdeeling Pontianak membawahi Onderafdeeling Pontianak, Landak, Sanggau dan Sekadau.

Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stashouwer mengeluarkan keputusan pada 24 Juni 1938 dengan mengatur lebih lanjut tentang ibukota wilayah adminnistratif pemerintahan Borneo (Kalimantan) berkedudukan di Banjarmasin. Banjarmasin disebut Gemeente (kota) berdasarkan Staatsblad 1919 No 252, setelah kedudukannya sebagai ibukota Kalimantan diubah menjadi Stadgemeente sesuai Staatsblad 1938 No 359 (Purwana, op cit hlm 88). Pemerintahan wilayah Kalimantan dibagi atas dua residentie yakni Kalimantan Selatan dan Timur (Zuider en Oostterafdeeling van Borneo) berkedudukan di Banjarmasin, sedangkan Kalimantan Barat (Wester Afdeeling van Borneo) di Pontianak (Staatsblad 1938 No 352) dan masing-masing dikepalai oleh seorang Residen. Pembangian wilayah pemerintahan administratif Kalimantan dengan dibentuknya Gubernur Kalimantan pada 1848 tidak mengalami banyak perubahan pada 1938, perubahan terjadi hanya pada status Banjarmasin disebut Gemeente (kota), sedangkan Pontianak belum dikatakan sebagai kota.

Setelah dikeluarkannya Staatsblad 1938 No 352, maka dikeluarkan instruksi residen yang menjalankan pemerintahan di dalam Gewest (Wester Afdeeling van Borneo) ditetapkan pada Gouvernementbesluit 30 Juni 1938 No 21 (Bijblad No 14048/II). Afdeeling Singkawang dibagi atas 4 Onderafdeeling yaitu Onderafdeeling Singkawang, Mempawah, Sambas dan Bengkayang. Begitupula Afdeeling Sintang dibagi atas 4 Onderafdeeling yaitu Onderafdeeling Sintang, Melawi, Semitau dan Boven Kapuas (Kapuas Hulu). Afdeeling Ketapang dibagi atas 2 Onderafdeeling yaitu Onderafdeeling Boven en Beneden Matan (Matas Atas dan Bawah) dan Sukadana. Instruksi itu memuat tentang kedudukan residen adalah kepala pemerintahan karesidenan sekaligus kepala kepolisian dan bertanggungjawab langsung di bawah Gubernur Borneo. Dalam hubungan itu, jika residen tidak ada atau berhalangan, maka yang mewakili adalah Assisten Residen Pontianak.

Sejak dikeluarkannya Gouvernementbesluit di atas, pada 1 Juli 1938 Kota Pontianak ditetapkan sebagai ibukota Residentie Wester Afdeeling van Borneo (Kalimantan Barat). Pembagian wilayah administratif residentie meliputi 4 afdeeling, yaitu Afdeeling Pontianak dengan ibukota Pontianak, Afdeeling Singkawang dengan ibukota Singkawang, Afdeeling Sintang dengan ibukota Sintang dan Afdeeling Ketapang dengan ibukota Ketapang. Setiap afdeeling tersebut di bawah kekuasaan assisten residen. Dalam pembagian pemerintahan adminsitartif Afdeeling Pontianak dibagi atas tiga bagian Onderafdeeling yaitu Onderafdeeling Pontianak berkedudukan di Pontianak, Onderafdeeling Landak berkedudukan di Ngabang serta Sanggau dan Sekadau berkedudukan di Sanggau (Purwana, ibid hlm 89).

Pemerintahan Onderafdeeling Pontianak di bawah kekuasaan kontrolir (controleur) sekaligus memegang kekuasaan Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak. Di bawah Onderafdeeling Pontianak terdapat Hoofd der Distrik van (kepala distrik) Pontianak di bawah kekuasaan Demang, sedangkan Hoofd der Onderdistrik van (kepala onderdistrik) Siantan dan Sungai Kakap di bawah pemerintahan Assisten Demang. Pada tingkat yang paling bawah adalah kampung dikepala uwan bagi perkampungan Melayu, uwak daeng bagi Bugis dan tumenggung pada perkampungan Dayak.

Dalam struktur kekuasaan pemerintahan Belanda di Pontianak, baik kedudukan kepala distrik maupun onderdistrik Pontianak biasanya dijabat elit tradisional. Sehingga masih penuh otoritarisme. Oleh karena otoritas tradisional ternyata tulang punggung birokrasi bagi pelaksanaan pemerintahan Belanda, maka modernisasi birokrasi terbatas ke arah masalah-masalah administratif saja. Kecenderungan terjadi pada demang, walaupun diangkat oleh sultan tetapi harus sepengetahuan residen sebagai penasehat (adviseur) Kerajaan Pontianak, sehingga tidak mengherankan demang sebagai pejabat pemerintah Belanda berfungsi juga sebagai penghubung antara Residen-Sultan dan kaum pribumi. Untuk itu demang dipilih dari kaum elit tradisional yang telah memperoleh pendidikan Barat, sehingga dapat mengerti berbahasa Belanda dan mengetahui tata administrasi pemerintahan seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah Belanda.

Afdeeling Pontianak di bawah pimpinan asissten residen mempunyai kewenangan secara mandiri mengurus kepentingan ekonomi wilayahnya, mengatur rumah tangganya sendiri, mempunyai wewenang membuat peraturan-peraturan (regels local), memberi ancaman hukuman bagi yang melanggar peraturan lokal, pengawasan terhadap keadaan politik, melaksanakan berbagai tindakan di bidang ekonomi, menyelesaikan masalah agraria, dan pelaksanaan di bidang sosial seperti kesehatan, pengajaran dan lain-lain (Darmiati, op cit: xv).

Begitupula dalam pemerintahan Distrik Pontianak, Onderdistrik Siantan dan Sungai Kakap telah dibentuk polisi lapangan (veldpolitie) yang bertugas untuk membantu kekuasaan dan kewibawaan pemerintah Belanda. Pejabat kepolisian (posthuiscommandant) membawahi para anggota veldpolitie ikut melaksanakan peradilan terhadap kejahatan atau pelanggaran terhadap hukum-hukum dan perundang-undangan lokal. Pemerintah Belanda juga mengatur pemukiman tersendiri bagi penduduk Cina untuk memudahkan pengawasan. Setiap perkampungan Cina (pecinan) dikepalai oleh seorang letnan atau kaptain der Chineezen, tergantung besar kecilnya kampung dan jumlah anggotanya. Sistem perkampungan Cina dalam bentuk wijk telah diatur tersendiri pada Dinas urusan Warga Negara Cina dalam pemerintahan Belanda (Purwana, op cit hlm 91).

Sejalan dengan perkembangan kekuasaan Asissten Residen het Hoofd der Afdeeling van Pontianak, maka dibentuk Plaatselijk Fonds Pontianak sebagai bagian dari Onderafdeeling Pontianak, sehingga di bawah tanggung jawab langsung kontrolir. Tugas-tugas administratif yang diberikan kontrolir terbatas pada persoalan-persoalan setempat. Kota Pontianak yang sekarang dikenal tidak diberikan status pembaharuan Gemeentelijk Ressort atau gemeente (kota) setelah Decentralisatie Wet dan Stadsgemeente setelah Bestuur Hervorming Wet oleh pemerintah Belanda karena Kota Pontianak masih dianggap belum maju untuk mengelola pemerintahan administratifnya. Faktor ini didukung oleh jumlah penduduk yang relatif kecil dan penghasilan sumber-sumber keuangan masih minim.

Pelaksanaan Plaatselijk Fonds Pontianak hanya diberi kewenangan otonomi terbatas sesuai dengan peraturan (verondering) yang berlaku. Pemerintahan administratif ini bertugas untuk mengelola dan mengurus pemasukan dana milik (eigendom) pemerintah. Dalam pelaksanaan tugasnya mengurus keuangan yang diperoleh dari pajak, opstal-percelen, anjing, reklame, minuman keras, retribusi pasar, dan penerangan jalan. Dalam pelaksanaan administratifnya, Plaatselijk Fonds Pontianak diketuai seorang voorziter, dibantu sekretaris (beheerder standfonds) dan beheercomisie serta beberapa pengawas (comosieleden). Wilayah administratif pemerintahan Plaatselijk Fonds terbatas pada kawasan Vierkante paal (tanah seribu), sehingga tidak membawahi langsung pemukiman pribumi dan perkampungan pedagang di sekitar Sungai Kapuas dan Kerajaan Pontianak.

Pembentukan pejabat-pejabat administratif pemerintah Belanda (residentie) di Pontianak berjalan saling berhubungan atau koordinasi dengan hirarki kerajaan. Para pejabat dari berbagai tingkatan birokrasi seperti residen, asissten residen dan controleur termasuk dalam golongan elit birokrasi (Binnenlands Bestuur) pemerintah Belanda. Mereka juga memegang jabatan penasehat merangkap pengawas sultan, para pembesar kerajaan, Distrik Pontianak serta Onderdistrik Siantan dan Sungai Kakap, sehingga tidak mengherankan ditemukan para pegawai Belanda yang sangat berkuasa di Pontianak.

KEBIJAKAN POLITIK JEPANG
Sebelum pemerintahan Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada tentara pendudukan Jepang, struktur pemerintahan administratif Belanda di Pontianak menurut pembagian terakhir pada 1942, tidak begitu membawa perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan administratif dan susunannya seperti pada Staatsblad 1938 No 352. Begitupula pada Plaatselijk Fons Pontianak tidak mengalami perubahan dan masih terbatas pada pengelolaan dan pengurusan pemasukan dana milik pemerintah.

Sejak pendudukan Jepang mulai berkuasa pada 2 Februari 1942 di Pontianak, sistem pemerintahan masih di bawah kekuasaan militer Angkatan Darat atau Rikugun sampai pada 15 Juli 1942. komandan Rikugun mengeluarkan pengumuman bahwa pemerintahan Belanda di Pontianak diwajibkan melaporkan diri (Soedarto, op cit hlm 72-73, lihat juga Rahman, op cit hlm 79 dan Usman MHD, op cit hlm 74). Peristiwa ini (Purwana, op cit hlm 127) menandai bahwa kekuasaan pemerintah Belanda resmi telah berakhir, sehingga Pontianak memasuki periode baru masa pendudukan militer Jepang.
Pemerintahan Kalimantan Barat (Syuntiyoo) dijabat oleh Letnan Kolonel Izumi (Rahman, op cit, hlm 80), sedangkan Kota Pontianak sebagai Plaatselijk Fonds pada awal pendudukan Jepang aktifitasnya sempat terhenti selama satu bulan. Setelah masuknya tenaga sipil Jepang dan dibentuknya Ken Kanrikan Pontianak, maka Plaatslijk Fonds kembali dibentuk dengan nama Shico (Shintjo) diketuai Muhammad Abdurrahman sampai 1 Oktober 1946. Meski sebagai daerah Shi atau Kota Otonom atau sama dengan Standsgemeente, namun Kota Pontianak tetap merupakan daerah administratif yang tidak mempunyai kekuatan otonomi karena campur tangan Syuntiyoo Izumi. Wewenang yang diberikan Shico hanya terbatas pada soal kebersihan, penerangan jalan, pemadam kebakaran, dan pelampung penyeberangan Sungai Kapuas. Untuk kepala pemerintahan sipil masih dijabat Bun Ken Kanrikan, Sonco dan Kuco (Purwana, op cit, hlm 130).

Usaha-usaha lain yang dilakukan pemerintahan Syuntiyoo dalam memajukan Kota Pontianak, ternyata Syuntiyoo Izumi tidak mampu mengatur Kota Pontianak secara tepat. Pembangunan sarana dan prasarana hanya terbatas pada perbaikan sarana jalan darat yang telah dibuat pemerintah Belanda. Perbaikan sarana jalan bertujuan untuk menunjang hubungan darat bagi aktifitas pendudukan militer Jepang dan penduduk. Dalam kota terdapat hubungan Jalan Matahari (Jalan Merdeka sekarang) dari barat sampai timur dan Jalan Diponegoro sekarang dijadikan jalan utama, setelah dilakukan perbaikan dan perluasan. Kemudian diikuti pengembangan Jalan Kinibalu dan Jalan Gaharu sebagai jalan penunjang kota.

Bagi selatan kota dibatasi Jalan Penjara, Gaharu dan Kinibalu. Pada bagian seberang sebelah utara sudah terbuka hubungan darat Kampung Siantan Hilir dan Siantan Tengah. Untuk menunjang pemasukan hasil-hasil bumi serta hubungan komunikasi dari luar Pontianak., pihak pemerintahan Syuntiyoo juga memperluas hubungan jalur darat Pontianak ke daerah Mempawah, Mandor dan Sungai Durian.

Guna memecahkan berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat terhadap pendudukan Jepang, maka Syarif Muhammad Al Qadri Sultan Pontianak mengundang seluruh kerabat dan pembesar kerajaan Kalimantan Barat di Keraton Qadriah. Pertemuan itu membahas sikap para kerabat dan pembesar kerajaan terhadap pendudukan Jepang. Setelah pertemuan tersebut, militer Jepang telah mengetahui di Keraton Qadriah sering diadakan pertemuan dan rapat bagi tokoh masyarakat dan pembesar kerajaan. Pengawasan terhadap keraton semakin ditingkatkan, aktifitas sultan kembali dicurigai militer Jepang. Akhirnya sultan dianggap mempelopori pergerakan bawah tanah untuk menggulingkan kekuasaan militer Jepang. Setelah kedudukan sultan membahayakan dan mengancam pendudukannya, selanjutnya Kempeitai melakukan penangkapan terhadap sultan serta keluarganya yang dicurigai ikut andil dalam perlawanan Jepang (Usman MHD, op cit, hlm 97-98).

Setelah penangkapan para sultan dan panembahan, tokoh masyarakat, ulama dan cendekiawan, keadaan Kota Pontianak mengalami kesunyian dan mencekam. Penduduk yang tidak mengungsi lebih memilih menetap di rumahnya. Berita tentang penangkapan-penangkapan Kempeitai di Pontianak merupakan hal yang sangat tabu dibicarakan. Surat kabar Borneo Sinbun (Usman MHD, op cit, hlm 101-102) Pontianak edisi 1 Sitigatu 2604 atau 1 Juli 1944 Nomor 216 Tahun II telah menjawab berita-berita miring yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Pada halaman muka memuat foto-foto para korban dan tulisan besar yang merupakan headline serta memuat proses penangkapan. Borneo Sinbun sebagai satu-satunya media massa di Kota Pontianak milik pendudukan militer Jepang yang terbit tiga kali seminggu (wawancara A Halim R, 2006), umumnya surat kabar tersebut memuat berita-berita kepentingan militer Jepang di Kalimantan Barat (Rivai, op cit hlm 63, lihat juga Usman MHD, op cit hlm 110, dan Rahman, op cit hlm 154).

Kehidupan sosial ekonomi penduduk kota di bawah tekanan hidup dan penderitaan berkepanjangan selama fasisme Jepang. Kekejaman militer Jepang telah meninggalkan suatu masa yang tidak pernah terlupakan. Berbagai penderitaan, kelaparan dan ketakutan yang menimbulkan duka mendalam bagi penduduk yang mengalaminya. Setelah adanya berita Proklamasi Kemerdekaan, telah memberikan harapan baru dan mendorong para pemimpin dari generasi tua maupun muda yang tersisa dari pembantaian Jepang untuk mengambil prakarsa memerintah dalam negerinya sendiri.

MENGARUNG GELOMBANG ZAMAN
Kehadiran tentara Australia di Pontianak disambut rasa curiga oleh penduduk dan kemudian menimbulkan ketegangan hubungan mereka dan pihak PPRI—sebuah organisasi kaum republikein dan pemuda militan—di Kota Pontianak setelah membawa orang-orang NICA yang hendak menegakkan kembali kekuasaan Hindia Belanda. Tentara Australia yang didatangkan di Pontianak, pusat komandonya berkedudukan di Pulau Morotai. Diberikannya kebijakan NICA untuk menjalankan pemerintahan sipil, maka wewenang tersebut telah memberikan keuntungan politis bagi pihak Belanda. Pemerintah Belanda menggunakan kesempatan itu yang selanjutnya mendatangkan dan menempatkan pasukan-pasukan Belanda dan bekas-bekas pegawai (Binenlands Bestuur) di Pontianak yang selanjutnya mengangkat kembali Dr J van Der Zwaal sebagai Resident der Westerafdeeling van Borneo (Usman MHD, 1997: 17). Sejak kedatangan tentara Australia dan NICA langsung menduduki Kantor Residen dan bekas markas militer Jepang.

Sejalan dengan situasi politik yang kritis, perjalanan pemerintahan Kota Pontianak memasuki periode baru dalam politik pemerintahan Resident der Westerafdeeling van Borneo. Setelah dikeluarkannya ordonansi dalam Indise Staatsblad (Lembaran Negara Hindia Belanda) 1946 No 17 dan No 18, maka terbukalah untuk menghapus exterritorialiteit Landsonderhorigen (Pasal 1(3) Indise Staatsblad 1946 No 17 dan Pasal 1 (2) Indise Staatsblad 1946 No 18, dengan maksud untuk memperkuat kedudukan landschappen dan neo-landschappen menjelang diadakannya aturan tatanegara baru di Kalimantan Barat.

Penghapusan exterritorialiteit dari Landsonderhorigen diadakan bagi wilayah Kalimantan Barat melalui Indise Staatsblad 1946 No 99 untuk federasi landschappen dan No 122 untuk neo-landschappen. Federasi Kalimantan Barat (Purwana, op cit hlm 192-193) meliputi 12 landschappen dan 3 neo-landschappen terdiri dari landschappen Pontianak, Mempawah, Sambas, Sintang, Kubu, Landak, Sanggau, Tayan, Sekadau, Matan, Sukadana dan Simpang, sedangkan neo-landschappen Meliau, Pinoh dan Kapuas Hulu.

Konsep politik pemerintahan tersebut di atas disesuaikan dengan adat kebiasaan pribumi dengan memberi wewenang kekuasaan kepada Kerajaan Pontianak, tetapi jika mengeluarkan peraturan-peraturan organik baru melalui Sultan Pontianak harus memerlukan pengesahan lebih dahulu dari residen sebagai wakil NICA untuk dapat diberlakukan. Konsep ini berbeda dengan situasi masa lalu yang semua pemerintahan di bawah wewenang kekuasaan serta pengawasan pemerintah Belanda dan Jepang.

Langkah-langkah yang dilakukan Sultan Hamid II Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat dalam melaksanakan perubahan dan peraturan tata pemerintahan baru terus digalakkan. Pada 14 Agustus 1946 Kerajaan Pontianak mengeluarkan Surat keputusan Nomor 24/I/1946/PK dan mendapat pengesahan dari Resident der Westerafdeeling van Borneo Dr J van Der Zwaal memuat 20 pasal. Dalam maklumat itu telah diatur peraturan perubahan dalam bentuk pemerintahan Landschapsgemeente Pontianak, batas wilayah administratifnya disesuaikan dengan wilayah Kota Pontianak sekitar Vierkante paal (kawasan Tanah Seribu).

Berdasarkan pasal 2 ordonansi dalam Indise Staatsblad 1946 No 17 sambil menanti peraturan-peraturan yang baru, maka dapat menunjuk pejabat-pejabat atau dewan-dewan pejabat (colleges van functieonarissen) serta kepada pejabat atau dewan pejabat dapat diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus daerahnya yang menurut pada peraturan yang berlaku pada pemerintah Staadgemeente (Soejito, op cit, hlm 131).

Dewan Kota yang dibentuk terdiri dari para anggota yang dipilih melalui penduduk kota. Jumlah keanggotaan Dewan Kota sebanyak 13 orang terdiri dari 5 wakil pribumi, 5 wakil golongan Cina, 2 wakil anggota Belanda, dan 1 wakil anggota Timur Asing di luar golongan Cina biasanya diwakili dari keturunan Arab. Di samping pembentukan anggota Dewan, juga dibentuk jabatan Syahkota sebagai kepala pemerintahan Staadgemeente.

Pada 1 Oktober 1946 Kerajaan Pontianak mengangkat Syahkota Pontianak pertama R Soepardan—sebelumnya sama dengan pengertian Kepala PU sekarang—menggantikan jabatan Plaatselijk Fonds—masa pendudukan Jepang diubah Shintjo—Muhammad Abdurrahman. Sebelum melaksanakan tugasnya telah dilakukan serah terima aset harta benda dan keuangan Plaatselijk Fonds (Shintjo) dari Muhammad Abdurrahman selaku Staats Fonds. Dalam menjalankan dan mengendalikan tugas pemerintahan kota sehari-hari, R Soepardan dibantu oleh Dewan Kota yang anggotanya terdiri dari H Abdul Sjukur, Achmad Djafar, Abdulhamid Gelar Sutan Djemaris, Abdul Rasjid, H Abdulrazak HM Jusuf, JG de Vries, FJ Schippers, Soen Khin Njoek, Then Hon Tjiap, Tan Han Thay, Tjhoea Soen Hok, Ng Ngiap Lion dan Syech Djafar Garmoes (Bohm, op cit hlm 79). Syahkota bersama dengan Dewan Kota bertugas membuat peraturan bagi penduduk kota selama tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan Kerajaan Pontianak, baik syahkota maupun Dewan Kota bertanggungjawab kepada sultan dan di bawah pengawasan Resident der Westerafdeeling van Borneo.

Mengingat bahwa pembentukan Staadsgemeente masih bersifat sementara, maka berdasarkan Keputusan Pemerintahan Kerajaan Pontianak tanggal 14 Agustus 1946 No 24/I/1946/KP mengalami perubahan dengan memperhatikan kembali Undang Undang Pemerintahan Kerajaan Pontianak tanggal 16 September 1949 No 40/1949/KP. Dalam maklumat itu telah diambil keputusan bahwa mulai dari tanggal peraturan itu berlaku, maka Keputusan Pemerintah Kerajaan Pontianak tertanggal 14 Agustus 1946 No 21/I/1946/KP mengalami perubahan dengan memuat beberapa tambahan.

Sebelum dikeluarkannya Undang Undang Pemerintahan Kerajaan Pontianak tanggal 16 September 1949 No 40/1949/KP jabatan Syahkota R Soepardan telah berakhir pada awal 1948 dan selanjutnya berdasarkan penetapan Pemerintah Kerajaan Pontianak mengangkat Achmad Daud Sutan (ADS) Hidayat dengan jabatan baru sebagai Burgemester Pontianak yang masih berlangsung untuk sementara waktu, sampai diadakan susunan baru berdasarkan Undang Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950.

Sejalan dengan situasi Kota Pontianak sebagai ibukota dan pusat pemerintahan Resident der Westerafdeeling van Borneo dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat, telah membawa pengaruh dalam kegiatan sehari-hari pemerintahan Burgemester Pontianak. Situasi dalam kota sering mengalami ketegangan sebagai akibat timbulnya pergolakan-pergolakan politik dan reaksi keras penduduk terhadap peraturan yang dikeluarkan baik masa Resident der Westerafdeeling van Borneo maupun masa pemerintahan Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Kondisi ini menyebabkan tugas-tugas tata pemerintahan kota mengalami kendala-kendala kritis dalam pelaksanaannya, sehingga hampir kegiatan pemerintahan mengalami kevakuman.

PEMERINTAHAN KOTA
Setelah penyerahan Pemerintahan dan Dewan DIKB ke RIS, selanjutnya pemerintah RIS melalui Menteri Dalam Negeri RIS mengeluarkan Surat Keputusan No BZ 17/2/74 tanggal 24 Mei 1950 menetapkan bahwa segala hak dan kewajiban yang sudah tidak dapat dijalankan lagi oleh Pemerintah Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan alat-alat perlengkapannya—swapraja-swapraja di daerah—dijalankan untuk sementara waktu oleh Residen Kalimantan Barat R Budihardjo dan berkedudukan di Pontianak. Dengan keputusan tersebut, maka Kalimantan Barat secara hirarkis berada di bawah pemerintah RIS.

Perubahan bentuk Pemerintah DIKB yang berstatus sebagai Daerah Bagian Satuan Kenegaraan yang Berdiri Sendiri—Pasal 2 Konstitusi RIS—selanjutnya menyerahkan segala hak dan kekuasaannya kepada pemerintah RIS. Penyerahan pemerintahan tersebut turut mempengaruhi perubahan tatanan pemerintahan kota. Walaupun Pemerintah Daerah Kalimantan Barat dikepalai oleh seorang residen sementara yang secara hirarki di bawah Pemerintah RIS, namun untuk Pemerintah Kota masih di bawah wewenang pemerintah Kerajaan Pontianak. Pada 1950 jabatan Burgemester Pontianak juga mengalami perubahan bentuk pemerintahan menjadi Walikota Pontianak.

Pemerintah Kerajaan Pontianak menetapkan dan memilih Walikota pertama Ny Rohana Muthalib—selanjutnya sebagai Wakil Walikota Pontianak—keputusan ini dimaksudkan dengan mengingat Pasal 25 dalam Undang Undang Kerajaan Pontianak sebagai Walikota hanya dapat diangkat laki-laki yang menurut keputusan Hakim (Purwana, ibid, hlm 208). Dalam pelaksanaan pemerintahan, Walikota diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah Kerajaan Pontianak, Walikota juga didudukkan sebagai anggota Dewan dan sebagai Ketua Dewan Perwakilan Penduduk Kota, dan Walikota juga sebagai Ketua Pengurus Harian atas perintah dari pemerintah Kerajaan Pontianak. Peraturan-peraturan baru yang diterapkan Walikota harus sepengetahuan pemerintah Kerajaan Pontianak.

Setelah melihat kembali Undang Undang Pemerintahan Kerajaan Pontianak tanggal 16 September 1949 No 40/1949/KP dalam Pasal 3 dicantumkan bahwa batas-batas dari lingkungan Pemerintah Kota Pontianak ditentukan oleh Pemerintah Kerajaan Pontianak. Pada 20 September 1950 telah disepakati tanda batas-batas lingkungan Pemerintah Kota Pontianak oleh pejabat-pejabat yang terdiri dari Kerajaan Pontianak diwakili Syarif Ibrahim Al Qadri, Demang Pontianak Noeriman, V en W Wasimin Madrim, dan dari Pemerintah Kota Pontianak diwakili Tasmin Saeman dan M Nawi Adam.

Dikeluarkannya peraturan peralihan kekuasaan Swapraja Pontianak kepada Bupati Kabupaten Pontianak, sedangkan Kotapraja Pontianak tidak termasuk dalam peralihan kekuasaan, maka Pemerintah Daerah Kota Besar Pontianak diberikan status otonom dengan mengurus rumah tangganya sendiri. Perubahan tersebut menjadikan jabatan Walikota ditingkatkan statusnya menjadi Walikota Besar. Peningkatan status pemerintahan telah pula terjadi peralihan jabatan dari Walikota Ny Rohana Muthalib kepada Soemartoyo sebagai Walikota Besar Pontianak.

Sesuai dengan perkembangan tata pemerintahan, maka dikeluarkan Undang Undang Darurat No 3 Tahun 1953 dengan menetapkan terbentuknya daerah-daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam lingkungan Daerah Propinsi Kalimantan, termasuk pula Daerah-daerah Tingkat II dalam wilayah Administratif Keresidenan Kalimantan Barat. Setelah dikeluarkannya Undang Undang Darurat No 3 Tahun 1953, bentuk dan status Pemerintahan Landschapgemeente Pontianak ditingkatkan menjadi Kotapraja Pontianak.

Setelah dikeluarkannya Undang Undang No 25 Tahun 1956 memuat Pemerintah membentuk daerah-daerah otonom Propinsi Kalimantan Barat dengan mencabut Undang Undang Darurat No 2 Tahun 1953, maka mulai 1 Januari 1957 Undang Undang Nomor 25 mulai diberlakukan. Sejak pembentukan Propinsi Otonomi Kalimantan Barat pada 1957, status Kota Pontianak telah mengemban tiga fungsi yaitu sebagai ibukota Daerah Administratif Pontianak, ibukota Kabupaten Administratif Pontianak dan ibukota Propinsi Kalimantan Barat. Kondisi ini menciptakan aktifitas administratif dalam kota cukup tinggi dan sibuk. Proses perkembangan kota telah mendorong timbulnya lapangan pekerjaan baru sebagai pegawai cukup tersedia, sehingga menimbulkan arus urbanisasi dalam Kota Pontianak. Selanjutnya untuk lebih mengefesienkan dan mengefektifkan urusan-urusan administratif Kabupaten Pontianak bagi urusan penduduk, maka pada Februari 1963 ibukota Kabupaten Pontianak dipindahkan di Mempawah (Usman MHD, 2007: 112).

Sehubungan dengan pembentukan daerah otonom, maka untuk mengakhiri masa transisi atau peralihan diadakan Pemilihan Umum untuk memperoleh badan legislatif dan eksekutif yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Sebagai follow-up dari pemilihan Umum Daerah 1957, DPRD Kotapraja Pontianak mengadakan pemilihan dan pencalonan dengan hasil dipilihnya A Moeis Amin yang menjabat patih diperbantukan pada Kantor Gubernur Kalimantan Barat, dengan suara terbanyak disahkan menjadi Walikota Pontianak.
Kotapraja Pontianak baru menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah pada 12 Juni 1958, dan Masyumi merupakan partai terkuat di Kotapraja Pontianak. Walaupun secara keseluruhan di Kalimantan Barat Partai Dayak tampil sebagai pemenang pemilu. Tetapi di Kotapraja Pontianak, Partai Masyumi mendapat suara terbesar dengan jumlah 155.173, PNI 64.195, NU 37.495, dan PKI 8.526. Setelah dilaksanakan penyusunan jumlah kursi bagi partai di DPRD terdiri dari Partai Dayak 2 kursi, Masyumi 6 kursi, PNI 1 kursi, PSI 1 kursi, NU 2 kursi, PKI 2 kursi dan IPKI 1 kursi, sedangkan partai yang tidak memperoleh kursi adalah PPTI, Parindra dan PIR. Begitupula anggota DPD, Partai Masyumi mendapat jatah 2 kursi, PNI 1 kursi, PSI 1 kursi dan NU 1 kursi (Poesponegoro, 1984: 71), Selanjutnya dilakukan pemilihan pimpinan DPRD Kotapraja Pontianak dan mengangkat Radja Mohammad Sidik (Partai Masyumi) sebagai pimpinan. Besarnya suara Masyumi (40 persen) dalam pemilihan umum dan duduk di kursi DPRD telah menghasilkan A Moeis Amin—calon Masyumi—tampil sebagai Walikota Besar Pontianak menggantikan Soemartoyo (Noor, 1999 dan Purwana, op cit, hlm 217).

Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, selanjutnya dikeluarkan Penetapan Presiden No 6 Tahun 1959—disempurnakan—dalam ketentuan Pasal 1, Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebelumnya dalam Undang Undang No 1 Tahun 1957 terdapat Dewan Pemerintah Daerah (DPD), maka dalam Penetapan Presiden No 6 Tahun 1959 sudah tidak diberlakukan lagi. Dengan berlakunya Penetapan Presiden tersebut—sampai 7 September 1959—maka status Kepala Pemerintahan Kotapraja Pontianak sebelumnya Walikota Besar diubah menjadi Walikota.

Perkembangan Pemerintahan Kotapraja Pontianak dalam melakukan aktifitasnya mengalami perubahan bentuk tatanan pemerintahan berdasarkan Undang Undang No 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No 6 Tahun 1959 yang mengatur tentang bentuk dan susunan serta kekuasaan, tugas dan kewajiban Pemerintah Daerah. Dalam Penetapan Presiden No 5 Tahun 1960—disempurnakan—salah satunya menetapkan pembentukan DPRD-GR serta Sekretariat Daerah—disempurnakan—untuk seluruh Daerah Otonom Tingkat I dan Tinkat II, dan DPRD-GR terdiri dari wakil-wakil golongan politik dan Golongan Karya. Begitupula Instruksi Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 1964 dan Undang Undang No 18 Tahun 1965 yang mulai berlaku pada 1 September 1965, maka berdasarkan Surat Keputusan DPRD-GR Kotapraja Pontianak No 012/Kpts/DPRD-GR/65 tanggal 31 Desember 1965, nama Pemerintahan Kotapraja Pontianak diganti menjadi Kotamadya Pontianak.

Dalam masa Pemerintahan Kotamadya Pontianak telah mengalami beberapakali pergantian jabatan Walikota. Dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No UP.14/9/23-1966 tanggal 7 Desember 1966 tentang pergantian Kepala Daerah dan sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 13 tahun 1966, maka ditetapkan pergantian jabatan dari A Moeis Amin kepada Letnan Kolonel Inf Siswojo sebagai Walikota Kepala Daerah Pontianak dan pelantikannya berlangsung pada 25 januari 1967. Selanjutnya dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No Pemda 7/10/12/21-486 tanggal 13 Nopember 1973 tentang pergantian jabatan Walikota dari Kol Inf Siswojo kepada Letkol Moch Barir SH dan pelantikannya pada 25 Nopember 1973. Dalam masa tugasnya terjadi perubahan pemerintahan dari Kotamadya Pontianak menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Pontianak, setelah diberlakukannya Undang Undang No 5 Tahun 1974.

Setelah menjalani masa tugasnya selama lima tahun dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No Pem 7/31/30-609 tanggal 7 Oktober 1978, jabatan Walikota Kol Inf Moch Barir SH diserahterimakan kepada Letkol Inf Tubagus Hisny Halir sebagai Walikotamadya Pontianak. Dalam menyelesaikan masa tugasnya selama lima tahun dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 131.41.652 tanggal 21 Oktober 1983 dengan menetapkan dan mengangkat Letkol Inf A Majid Hasan sebagai Walikotamadya Pontianak dan menggantikan Letkol Inf Tubagus Hisny Halir. Dalam masa tugasnya selama dua periode—sepuluh tahun—sebagai Walikotamadya, Letkol Inf A Majid Hasan digantikan oleh Letkol Inf Ralex Anwar Siregar Ssos berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 131.431.881 tanggal 25 Oktober 1993. Dalam masa tugasnya terdapat pembaharuan tata pemerintahan sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 132.41.312 tanggal 1 Mei 1996 dengan menetapkan Drs H Uray Roekijat sebagai Wakil Walikotamadya Pontianak.

Pada pembangunan kota yang telah dicanangkan mulai awal Orde Baru Pemerintah Daerah Kotamadya Pontianak secara administratif dibagi atas 3 kecamatan meliputi Kecamatan Pontianak Barat, Pontianak Utara dan Pontianak Timur. Sesuai peningkatan jumlah penduduk dan diikuti pula tingkat pertumbuhan ekonomi Pontianak, maka diambil keputusan untuk menambah satu kecamatan dengan melakukan pemekaran Kecamatan Pontianak Timur dan membentuk kecamatan baru yaitu Pontianak Selatan. Sejak dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Kalimantan Barat Nomor: 061/II-A/2 tanggal 19 Mei 1968 menetapkan Kotamadya Daerah Pontianak terdiri dari 4 kecamatan yaitu Kecamatan Pontianak Barat, Pontianak Utara, Pontianak Timur dan Pontianak Selatan. Di era reformasi, bertambah lagi satu kecamatan dengan terbentuknya Kecamatan Pontianak Kota. Menyusul kemudian terbentuk Kecamatan Pontianak Tenggara (2008).

Memasuki masa reformasi terjadi serahterima jabatan kepemimpinan Pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II Pontianak dari Walikotamadya Letkol Inf RA Siregar Ssos kepada dr Buchary Abdurrahman SpKK berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 131.41.1105 tanggal 16 Desember 1998 dan Undang Undang No 22 Tahun 1999. Berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah telah merubah sebutan untuk Pemerintah Daerah Tingkat II Pontianak menjadi sebutan Pemerintah Kota Pontianak.