HEBOH AMBALAT
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
BUKAN JIRAN SIMPATI
Malaysia ternyata bukan jiran yang selalu simpatik. Bukan Cuma doyan menyerobot pekarangan orang, dalam kasus Ambalat, misalnya. Negeri jiran itu pun merasa perlu mengusir tenaga kerja Indonesia, yang dianggap datang secara ilegal, dengan cara arogan, petantang-petenteng, sembari memeras dan merampas hak-hak mereka. Di sisi lain, kapal-kapal ikan mereka begitu rakus menguras perairangan tetangganya. Belum lagi, para cukongnya gentayangan menjadi bandar pembalakan hutan di Sumatera, Kalimantan, dan belakangan lewat di Irian.
Kayu eboni dicolong dari Kalimantan Timur, propinsi di mana Ambalat masuk dalam wilayah administratifnya. Para sindikat ini tidak peduli bahwa pohon kayu itu hampir punah. Sementara kayu merbau dari papua hanya mampir sebentar di Malaysia untuk diberi dokumen palsu, kemudian diekspor ke Cina. Dalam sebulan, 300.000 meter kubik kayu merbau mendarat di Negeri Tirai Bambu. Ini penyelundupan terbesar di dunia.
Indonesia jelas rugi besar. Setahun bisa kecolongan Rp 8 trilyun lebih. Belum lagi kerusakan hutan yang tak ternilai harganya. Karena aktor intelektualnya tak pernah tertangkap. Para cukong itu berkolaborasi dengan broker dari Indonesia. Broker inilah yang menjalin kerja sama dengan oknum pemerintah daerah setempat. Teorinya, kayu yang ditebang itu dari lahan yang dibikin jalan. Tapi, kenyataannya, penebangan bisa 100 kali lipat dari jumlah seharusnya.
Belakangan, jelang pemilu presiden Juli 2009, sekitar Mei-Juni tahun ini, demo mengecam klaim Malaysia atas ambalat kembali merebak. Sekitar empat tahun lalu, 2005, kenyataan serupa juga sama terjadi. Di pelbagai daerah bermunculan posko pendaftaran relawan siap perang.indonesia-Malaysia Juni 2009 kembali berebut laut Ambalat. Ternyata, empat tahun lalu yang berlarut sampai sekarang, kedatangan Shell-Petronas memanaskan pertikaian. Konon, banyak pengusaha berkubang di sana.
Kisah persengketaan Indonesia dengan malaysia bermula dari blok milik ENI. Sebelum digarap ENI, areal tadi digarap Shell Indonesia sejak 1999. Shell, perusahaan asal Belanda, menggarap lahan seluas 1.990 kilometer persegi. Di sana, Shell sempat mengebor sumur yang dinamai bunga Bougenville-1. Konon, sumur yang dibor ternyata kering. Karena menganggapnya tidak potensial, Shell menjual seluruh hak menggarap ladang itu kepada ENI. Pada 4 Oktober 2001, Shell resmi check out dari Ambalat.
Setelah itu, giliran ENI menggarap wilayah bekas garapan Shell. Juli tahun 2004, ENI membuat sumur Aster. Rupanya, sumur itu mengandung minyak. Sumur kedua yang dijuluki Padma hasilnya cukup memuaskan. ENI pun bersiap menggarap lahan itu makin serius. Sejurus kemudian muncul masalah. Shell yang sempat hengkang tiba-tiba datang ke Ambalat kembali. Kali ini dia tidak sendirian, melainkan menggandeng Petronas Carigali malaysia. Shell mendapat lahan itu dari Pemerintah Malaysia, 16 Februari 2005.
Di Ambalat, Shell menempati wilayah ND-6 seluas 8.700 kilometer persegi, dan ND-7 meliputi 17.000 kilometer persegi. Kedua blok itulah yang mengiris seperempat daerah milik ENI serta mencaplok sebagian besar lahan Unocal. Ketika itu oleh Unocal, kasus ini diserahkan ke Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia pun membela habis kepentingan Unocal maupun ENI di indonesia. Dan menyampaikan nota protes pada Malaysia. Pemerintah Indonesia menginstruksikan agar Unocal tetap meneruskan kegiatannya di sana. Alasannya, itu masih wilayah Indonesia. Pemerintah tergiur, karena Unocal mulanya berencana untuk menyemplungkan duit US$ 14,5 milyar untuk menggarap Ambalat itu.
Unocal bukanlah pemain baru dalam bisnis di Indonesia. Perusahaan itu datang ke sini sejak 1968. Belakangan sekitar 30.000 kilometer persegi wilayah laut yang menjadi hak garapan Unocal di seantero negeri. Perusahaan ini juga menanamkan modalnya di bidang kelistrikan. Ketika itu, jika konflik dengan Malaysia berterusan, tentu sangat merugikan Unocal, karena Indonesia termasuk salah satu tempat investasi utama perusahaan ini.
Sayangnya, sebagaimana juga Insiden Ambalat Jilir II 2009 ini, kasus Ambalat empat tahun lalu itu tidak gampang dicarikan kata mufakat. Kedua pihak yakin dengan argumen batas negara masing-masing. Malaysia menilai Ambalat sebagai wilayahnya sejak Pulau Sipadan dan Pulai Ligitan dimenangkan Mahkamah Internasional sebagai bagian negeri jiran itu. Sementara Indonesia menganggap garis batas bikinan Malaysia tidak berdasar,
Di luar soal garis batas, sesungguhnya kedua pihak mengincar Ambalat yang mengandung banyak migas. Daerah itu menjadi tujuan aliran minyak bawah tanah. Secara teoretis, minyak di kawasan itu mengalir ke arah utara timur. Tepatnya di ladang yang digarap Unocal. Mestinya, daerah ini punya kandungan minyak besar. Ada yang bilang, kolam itu menampung 468 juta barel minyak dan 3 trilyun kaki kubik gas. Namun menurut data-data awal, tidak sebesar itu. Kilahnya, angka yang ada di tangan dipastikan juga belum bisa dipakai untuk membuat perkiraan, karena kawasan itu belum diteliti seluruhnya.
Ketika gesekan Indonesia-Malaysia kembali meruncing, sebagaimana Insiden Ambalat Jilid I 2005 silam, di Laut Sulawesi, sulit menghindari godaan mempertanyakan kekayaan terpendam di perairan itu. Apalagi kedua negara mengklaim blok minyak di wilayah yang bertindihan tersebut. Sebetulnya, lokasi blok minyak itu tak persis sama. Indonesia menamakan wilayahnya Blok Ambalat, dengan luas sekitar 6.700 kilometer persegi. Bagian darat dikelola oleh ENI Ambalat Ltd Italia, dan bagian timur dioperasikan Unocal Indonesia Ventures Ltd Amerika Serikat. Sejak 2005, bagian ENI disebut Blok ENI Ambalat, dan daerah Unocal disebut Blok Ambalat Timur.
Penguasaan Malaysia mencakup daerah yang lebih luas, 25.700 kilometer persegi atau hampir seluas Propinsi Sulawesi Utara. Namanya Blok ND-6 dan ND-7, yang dulu sempat dinamakan Blok Y dan Z. kini keduanya doperasikan Shell bersama Petronas Carigali Sdn Bhd Malaysia.media massa sibuk menerka, jutaan barel minyak terkandung di daerah laut dalam itu. Konon, jumlahnya menyaingi cadangan minyak dan gas raksasa di Blok Cepu, Jawa Timur.
Sesungguhnya tak ada pejabat yang berani buka mulut mengenai potensi kekayaan alam di sana. Sikap itu bukannya tanpa alasan. Malaysia pun, bungkam. Negeri serumpun itu berani menolak memberikan data ke Coordinating Committee for Coastal and Offshore Geoscience Programmes (CCOP), lembaga riset dan kegiatan beberapa negara di perairan yang disengketakan itu. Namun, sebetulnya potensi di Blok Ambalat, barat dan timur, mencapai 62 juta barel minyak dan 348 miliar kaki kubik gas bumi. Menilik harga minyak dunia yang belakangan berada di atas US$ 50 per barel, jika jumlah itu benar-benar terbukti, bisa dibayangkan pemasukan bagi negara.
Bila dibandingkan dengan produksi lapangan minyak tua di sekitarnya, potensi Blok Ambalat memang menjanjikan. Ladang minyak Tarakan di Nunukan, Kalimantan Timur, yang dioperasikan Medco E&P, hanya memproduksi 666 barel minyal dan 363 ribu kaki kubik gas per hari. Sedangkan wilayah kerja Pertamina Bunyu hanya menghasilkan 3.000 barel minyak dan 5.000 kaki kubik gas setiap hari. Tentu saja, dibandingkan dengan cadangan Cepu, perkiraan Ambalat masih kalah besar. Cadangan minyak Cepu yang telah terbukti dan diverifikasi mencapai 85 juta barel. Jika digabungkan dengan jumlah cadangan yang masih terduga, keseluruhannya setara dengan 250 juta barel minyak.
Dalam teknis perminyakan, istilah potensi berarti cadangan sama dengan nol, selama belum terbukti dan diverifikasi. Di kawasan laut yang sangat dalam seperti Ambalat, pembuktian tidak mudah dan berisiko tinggi. Kedalaman air yang harus ditembus pun mencapai 3.000-6.000 kaki. Pengeboran tak cukup hanya satu kali, tapi berkali-kali di sejumlah lokasi. Sekali pengeboran setidaknya membutuhkan dana US$4 juta. Dan bisa saja tidak ditemukan apa pun.
Kegagalan memang lumrah di dunia perminyakan. Setidaknya, Shell sudah merasakannya. Perusahaan ini sempat melepas konsesi untuk Blok Ambalat kepada ENI, kini ENI Ambalat Ltd, pada 2001, yang dipegangnya sejak 27 September 1999. Alasannya, setelah mengebor satu sumur, bernama Bougenville, tak ditemukan minyak. Sumur itu ternyata kering ketika itu. Belakangan, 2004, ENI Bukat Ltd mengebor di Blok Bukat, yang letaknya bersebelahan dengan Blok Ambalat. BP Migas menyebutkan, dari dua sumur yang dibor, perusahaan itu berhasil menemukan indikasi minyak dan gas di salah satu sumurnya, Aster-1. Satu lagi, Padma-1, dinyatakan kering.
Ketika itu pihak Direkrorat Jenderal Migas curiga, hasil pengeboran ENI Bukat itu mendorong Shell untuk menggandeng Petronas di Blok ND-6 dan ND-7. Mereka menduga, data lama setelah pengeboran beberapa tahun sebelumnya masih dipegang Shell. Seharusnya memang data itu dikembalikan ke negara begitu konsesi dilepas. Tapi, Shell membantah dugaan itu. Pihak Shell menambahkan, Shell bukan menjual, melainkan mengundurkan diri (withdraw) dari konsorsium kontraktor di wilayah itu. Semua sahamnya diserahkan ke pemilik saham yang tersisa, yaitu ENI. Sebelumnya, BP pemilik saham lain, sudah lebih dulu mundur.
Tanpa minyak pun, sebetulnya wilayah yang diklaim Malaysia ini sebenarnya merupakan wilayah perikanan yang sangat produktif. Di sana kaya akan ikan yang hidup berasosiasi dengan karang, serta menjadi tujuan migrasi jutaan ikan dari wilayah lain. Kini, nelayan takut melaut. Tetap saja lapisan bawah yang merasakan kerugian langsung ini.
AMBALAT BUKAN SEKADAR SEBUAH BLOK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Dalam kurun waktu Januari-April 2009, pelanggaran wilayah oleh unsur laut dan udara Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) maupun Police Marine Malaysia di perairan Blok Ambalat dan sekitarnya tercatat sebanyak sembilan kali. Jumlah yang tidak sedikit dan tidak bisa dianggap enteng. Apalagi, kalau ditarik lagi ke belakang, pelanggaran garis batas oleh malaysia sangat kerap terjadi. Berdasarkan catatan TNI Angkatan laut, sepanjang tahun 2007 terjadi 94 kali pelanggaran. Tahun lalu, pelanggaran yang dilakukan kapal perang Malaysia sempat turun menjadi 38 kali. Ini pun masih tergolong tinggi.
Tahun 2009, diperkirakan pelanggaran itu kembali meningkat, terutama menjelang digelarnya perundingan lanjutan soal delimitasi maritim antara Indonesia dan Malaysia, Juli 2009 di Malaysia. Ada tanggapan, TLDM sengaka meningkatkan show of force dan melakukan provokasi di perairan Blok Ambalat untuk mempengaruhi perundingan tersebut. Dugaan meningkatnya aksi provokasi malaysia itu tak berlebihan. Pada 4 Juni 2009, misalnya, sebuah kapal perang Malaysia kembali masuk ke perairan sekitar Blok Ambalat. Mereka masuk jauh ke kawasan Indonesia sampai satu mil. KRI Suluh Pari dan KRI Hasanuddin menghalaunya.
Kapal jenis Fast Attack Craft milik Angkatan Laut Malaysia bernama KD Baung 3509, Sabtu (30 Mei 2009) pagi sekitar pukul 06.00 Wita, secara terang-terangan melakukan provokasi dengan memasuki perairan Ambalat sejauh 7,3 mil laut pada posisi 04.00, 00 Lintang Utara dan 118,09,00 Bujur Timur dengan kecepatan 11 knot.
Meski provokasi kapal tempur Malaysia terus terjadi, TNI Angkatan Laut belum memandang perlu mengerahkan tambahan kekuatan ke perairan sekitar Blok Ambalat. Enam kapal perang yang selama ini disiagakan di sana diangap memadai. Apalagi, ada bantuan dari unsur Kesatuan Pengamanan Laut dan Pantai serta unsur Departemen Kelautan dan Perikanan. Kentara sekali Malaysia begitu getol melakukan provokasi di sekitar perairan menuju Blok Ambalat, kawasan sangat kaya kandungan minyak dan gas bumi, yang bisa dikeruk hingga 30 tahun. Diperkirakan, Blok Ambalat memiliki sembilan cekungan minyak. Setiap cekungan ditaksir menyimpan cadangan minyak 764 juta barel dan cadangan gas 1,4 trilyun kaki kubik.
Pemasukan negara dari minyak Ambalat bisa mencapai US$ 40 milyar. Memang, bila dicermati, aksi provokasi selama beberapa tahun ini, meski frekuensinya tinggi, relatif tak seseru aksi provokasi pada Februari dan Maret 2005. kendati itu, kapal perang Malaysia tak sekadar menerobos masuk dan kemudian kabur setelah diperingatkan, melainkan juga sampai melakukan manuver menantang seakan mengajak tempur. Meski meriam di kapal masing-masing masih terbungkus terpal, suasana adu gertak dengan posisi berhadapan itu cukup menegangkan. Sebelumnya, tentara Malaysia menyergap dan menghajar sejumlah pekerja Indonesia yang tengah mengerjakan suar milik Departemen Perhubungan di Karang Unarang, Laut Sulawesi, Kalimantan Timur. Militer negeri jiran itu pun terang-terangan melakukan latihan menembak di dekat perbatasan.
Sedangkan serangkaian aksi provokasi Malaysia belakangan terakhir, meski kerap, masih terkesan sebatas meledek. Lihat saja, begitu kapal perangnya kepergok dan diperintahkan angkat kaki, langsung kabur. Karena hal itu selalu saja terjadi, akhirnya membuat Indonesia berang juga. Reaksi keras pun bermunculan. Aksi demo mengecam Malaysia digelar. Sejumlah kelompok masyarakat menyatakan siap membantu TNI untuk menjaga Ambalat atau bahkan berperang melawan Malaysia. Pemimpin negeri ini pun, berbeda dari Insiden Ambalat 2005, kali ini dalam Insiden Ambalat 2009 bereaksi keras.
Entah ada kaitannya dengan momentum menjelang pemilihan presiden Juli 2009 atau tidak. Tengoklah Jusuf Kalla. Wakil Presiden yang maju sebagai calon presiden ini tanpa ragu menyatakan bahwa Indonesia harus siap berperang jika memang terpaksa. Jika konflik tidak bisa diselesaikan dan perundingan sampai ke titik buntu dan wilayah yang kita yakini itu benar, demikian Kalla, tentu kita harus selalu siap untuk menyelesaikan segala sesuatu, termasuk perang. Akan tetapi, itu jika negosiasi buntu, kata Kalla.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga berlaga sebagai calon presiden, bersikap tak kalah keras, meski terkesan sangat hati-hati. Yudhoyono mengatakan, apa yang diklaim Malaysia soal Ambalat itu betul-betul tidak bisa diterima. Sebab, Indonesia yakin, Ambalat adalah wilayah Indonesia. SBY katakan, sejengkal tanah pun atau laut, kalau itu kedaulatan Indonesia, harus dipertahankan. Tidak ada kompromi dan toleransi. Itu harga mati, tegas SBY.
Meski begitu, SBY mewanti-wanti agar tak perlu mengobarkan peperangan karena tak sesuai dengan semangat Piagam Asean yang mengedepankan perdamaian. Presiden lebih mengutamakan jalan diplomasi dan penyelesaian secara damai. Perang adalah jalan terakhir. Utamakan jalan lain yang lebih bermartabat dan tidak mendatangkan masalah bagi negara yang sedang membangun, katanya. Bila Malaysia masih terus melakukan provokasi, tegas SBY, Indonesia akan mengambil langkah lebih tegas untuk mempertahankan kedaulatan. Presiden sangat serius menyikapi persoalan Ambalat ini.
DPR RI melalui Komisi I yang beranggotakan lima orang dipimpin Yusron Ihza Mahendra berangkat ke Malaysia (Senin, 8 Juni 2009) untuk membicarakan masalah Ambalat dengan pemerintah Malaysia, dengan melibatkan parlemen Malaysia. Tim ini dibentuk sebagai wujud kepedulian moral mewakili aspirasi masyarakat Indonesia menyangkut Ambalat kepada Pemerintah Malaysia.
Misi tim itu agaknya berjalan mulus. Setidaknya menyangkut misi damai yang diemban. Isyarat ini tercermin pada hasil pertemuan informal yang berlangsung lebih dulu antara delegasi parlemen Indonesia dan menteri Pertahanan Malaysia, Datuk Seri Ahmad Zahid Hamidi, di Malaysia, Sabtu 13 Juni 2009. Dalam pertemuan itu, Ahmad Zahid dapat memahami protes keras Indonesia menyangkut provokasi Malaysi di Ambalat. Tapi ia juga mengatakan bahwa TNI setidaknya 13 kali melanggar perairan Malaysia.
Ahmad Zahid menegaskan, Malaysia tidak mau berperang dengan Indonesia terkait sengketa Ambalat, yang tidak hanya menyangkut masalah perbatasan, melainkan juga masalah ekonomi itu. Tak bisa disangkal, Malaysia begitu bernafsu hendak mengembat Ambalat, seolah untuk melengkapi suksesnya mencaplok Sipadan-Ligitan dari wilayah Indonesia pada 2002. Klaim Malaysia atas Ambalat ini berdasarkan peta 1979 bikinan Malaysia.
Sebaliknya, tak usah disangsikan lagi bahwa Indonesia dengan segala cara akan mati-matian mempertahankan Blok Ambalat sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua pihak mengklaim sama-sama berhak atas wilayah yang menjadi sengketa itu. Sengketa ini mulai memanas pada Februari 2005, tak lama setelah Petronas, perusahaan minyak Malaysia, menjual konsesi eksploitasi di Blok Ambalat dan Ambalat Timur kepada Shell, perusahaan minyak patungan Inggris dan Belanda. Malaysia mulai unjuk gigi dengan menghajar pekerja Indonesia di Karang Unarang dan melakukan provokasi serius di perairan Blok Ambalat.
Ketegangan hebat itu mereda. Pada 2006, tidak dilaporkan adanya provokasi oleh kapal perang Malaysia di perairan tersebut. Tahu-tahu, pada tahun berikutnya terjadi provokasi gila-gilaan oleh unsur TLDM dan Police Marine Malaysia, 94 kali pelanggaran garis batas. Sejak itu, pada tahun-tahun berikutnya, kerap terjadi pelanggaran oleh pihak Malaysia di wilayah tersebut. Indonesia tentu tak tinggal diam. Selain melakukan penghalauan, Pemerintah Indonesia juga menyampaikan nota protes kepada Pemerintah Malaysia.
Hingga belakangan, tercatat ada 36 nota protes mengenai pelanggaran wilayah Ambalat oleh Malaysia. Nota protes terkini disampaikan pada 4 Juni 2009. Sejak aksi provokasi oleh Malaysia di Blok Ambalat pada Mei dan Juni 2009 di-blow up media massa dan mendapat perhatian sangat serius dari seluruh lapisan masyarakat, Pemerintah Indonesia memperkokoh kuda-kuda. Selain mengutus tim Komisi I DPR ke Malaysia, Indonesia juga menyiapkan tim perunding andal dalam perundingan diplomatik secara bilateral, Juli 2009.
Klaim Malaysia atas Ambalat berdasarkan peta 1979 sangat lemah. Pasalnya, peta 1979 yang dibuat suka-suka itu bukan hanya ditentang delapan negara, antara lain Indonesia, Filipina dan Cina, melainkan juga tak diakui International Court of Justice (ICJ) dalam sengketa kepemilikan Pedra Branca antara Malaysia dan Singapura. Terbukti, Pedra Branca akhirnya masuk wilayah Singapura. Dalam sengketa itu, Malaysia menggunakan klaim berdasarkan peta 1979. Itu berarti, peta 1979 juga tidak diakui oleh ICJ.
SENGKETA BLOK US$40 MILYAR
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Kalau merunut arsip, konflik perbatasan Ambalat ini bermula sejak 1979 saat Malaysia mengeluarkan peta secara sepihak. Klaim itu makin menguat setelah Pulau Sipadan dan Lihitan di Laut Sulawesi jatuh ke tangan Malaysia pada tahun 2002 melalui keputusan Mahkamah Internasional. Malaysia menerbitkan batas baru sepanjang 25.700 kilometer persegi yang memasukkan Ambalat ke wilayahnya.
Pemerintah Indonesia sudah memprotes klaim sepihak negeri jiran itu sejak 1980. Sepanjang 2005 hingga 2009, Pemerintah Indonesia dan Malaysia tercatat 13 kali melakukan perundingan. Sepanjang itu pula, belum ada hasil memuaskan kedua pihak. Pada 4 Juni 2009, Departemen Luar Negeri telah mengirimkan nota protes kepada Pemerintah Malaysia setelah tentara penjaga perbatasan Malaysia memasuki Ambalat akhir Mei 2009. Sebetulnya, nota protes itu telah puluhan kali dikirim oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1998.
Sebetulnya, nota protes merupakan bentuk surat peringatan yang sangat kuat dan tegas. Namun, sejak 2003 Malaysia juga berulangkali mengirim nota protes ke Indonesia. Bisakah Indonesia mempertahankan Ambalat? Kalangat diplomat Indonesia dan parlemen yakin posisi Indonesia sangat kuat. Berbeda dengan Sipadan dan Ligitan, ungkap mereka meyakinkan. Diplomat Indonesia begitu yakin Ambalat tidak akan lepas. Sipadan lepas karena Indonesia pernah tidak memasukkan dua pulau tersebut saat mengklaim wilayah di tahun 1950. Lebih lagi, zaman Belanda dahulu, dua pulau itu bukan daerah yang dikelola oleh Belanda.
Dalam perundingan tentang Ambalat, diplomat Indonesia mengaku mengantongi berbagai bukti historis. Antara lain pembagian wilayah yang terjadi tahun 1966 berdasarkan hukum laut internasional. Saat Pemerintah Indonesia menunjuk Shell pada tahun 1966, alasan para diplomat itu, Malaysia tidak protes. Itu, masih menurut mereka, artinya Malaysia mengakui Indonesia. Peta sepihak dari Malaysia yang terbit pada 1979 ternyata bermasalah dengan Filipina. Dikatakan kalangan diplomat, itu juga bukti yang menguatkan kepemilikan Indonesia atas Ambalat.
Dasar laut Ambalat menyimpan kandungan minyak dan gas dalam jumlah besar. Pemerintah Indonesia mulai menjual konsesi minyak Ambalat pada 1961. Saat itu, Malaysia belum mengklaim lokasi itu sebagai wilayahnya. Empat puluh delapan tahun kemudian, gesekan kembali terjadi di sekitar perairan Pantai Sebatik, Kalimantan Timur, Sabtu 30 Mei 2009. Kapal KD Baung 3509 milik Tentara Diraja Malaysia seenaknya menerobos wilayah Indonesia. KD Baung 3509 adalah kapal jenis Fast Attack Craft milik Angkatan Laut Malaysia. Ini kali ke 11 kapal perang Malaysia melanggar tapal batas sepanjang tahun ini. Meski batas yang dilanggar hanya beberapa mil, hal itu cukup membuat suasana Jakarta memanas. Kalau sudah begini, kedaulatan wilayah menjadi segala-galanya, mengalahkan pertanyaan mendasar tentang kekayaan apa yang ada di Ambalat.
Ambalat bukan sebuah pulau. Ia merupakan kawasan laut yang luasnya 6.700 kilometer persegi, terletak antara Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Posisi geografisnya ada di antara 118 hingga 120 derajat bujur timur. Garis lintangnya ada di antara 3 dan 5 derajat lintang utara. Dari Tarakan, Kalimnatan Timur, perairan itu bisa ditempuh dengan boat sekitar dua jam. Kawasan itu juga dekat dengan Malaysia. Dari Kota Tawau, Sabah, malaysia, jaraknya sekitar 150 kilometer ke arah timur.
Di bawah bentangan laut dalam di Ambalat, ternyata bersemayam emas hitam. Kandungan itu sudah lama tercatat di peta minyak dan gas (migas) yang dimiliki Pemerintah Indonesia dan malaysia. Oleh Pemerintah Indonesia, konsesi migas id sana diberikan kepada dua perusahaan asing, dengan sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract). Ambalat di bagian barat seluas 1.990 kilometer persegi dikelola Ente Nazionale Indrocarburi (ENI) Ambalat Ltd kontraktor dari Italia. Sedangkan Ambalat Timur seluas 4.175 kilometer persegi dikelola Unocal Indonesia Ventures Ltd, yang kemudian merger dengan Chevron.
Berdasarkan eksplorasi yang dilakukan ENI Ambalat, di lapangan Aster saja ada lima sumur yang diperkirakan mengandung cadangan minyak 30.000-40.000 barel per hari. Namun kandungan itu belum ditarik. Lambatnya kegiatan eksplorasi di kawasan Ambalat juga dipicu persoalan sengketa perbatasan. Namun, tahun 2009 ini, ENI Ambalat Ltd akan melakukan drill stand test untuk memastikan produksinya. Bila segalanya lancar, ENI memulai eksploitasi pada tahun 2010 depan. Selanjutnya ENI Ambalat berencana membangun LNG terminal floating. Instalasi jenis ini biasanya memerlukan cadangan besar, yakni 10 sampai 15 juta kaki kubik.
Di Ambalat Timur, kawasan yang konsesinya dipegang Chevron, kandungan minyaknya juga diperkirakan melimpah. Ketika Pemerintah Indonesia memberikan konsesi kepada Chevron tahun 2004, BP Migas memperkirakan kawasan itu mengandung 62 juta barel minyak dan 348 milyar kaki kubik gas. Namun, sampai belakangan terakhir, dengan dalih karena ada perselisihan perbatasan, perusahaan itu belum melakukan kegiatan berarti.
Pemerintah Indonesia mulai menjual konsesi minyak Ambalat pada 1961. Saat itu, Malaysia belum mengklaim lokasi itu sebagai wilayahnya. Eksplorasi pertama dilakukan Pertamina pada 1966, tapi belum menemukan hasil. Sejak saat itu, kegiatan eksplorasi berhenti karena belum ada satu pun sumur yang punya potensi berproduksi. Pada 1999, Shell melakukan eksplorasi di tiga sumur, tapi cadangan minyaknya minim. Meski demikian, para penambang tetap yakin, perut Ambalat kaya minyak, sehingga saat itu para kontaktor masih sibuk melakukan survei seismik guna menemukan titik yang tepat untuk mengebor. Shell bahkan kembali ke Blok Ambalat melalui Pemerintah Malaysia setelah tahun 2001 menjual hak konsesinya kepada ENI Ambalat Ltd.
Keyakinan kuat akan kandungan minyak Ambalat itu membuat perusahaan penambang asing terus bercokol di sana. Padah, untuk mengekploitasi minyak atau gas di kawasan itu, biayanya cukup tinggi, karena berada di perairan dalam. Demi mengisap madu Ambalat, para kontraktor rela mengucurkan investasi besar, meskipun menurut kontrak PSC yang ditandatangani dengan Pemerintah RI, mereka hanya mendapat jatah 25% hasil, sisanya milik pemerintah.
Keyakinan kuat adanya kandungan migas dalam jumlah besar itu terutama karena Ambalat berada di Laut Sulawesi yang dikenal kaya migas. Di kawasan itu, selain Bl;ok Ambalat, ada blok-blok lain yang juga kaya kandungan migas, seperti Blok Tarakan, Blok Bunyu, dan Blok Bukat, yang telah puluhan tahun dikelola oleh Indonesia. Bahkan Blok Bunyu dikelola Total Indonesia sejak 1967. British Petroleum mengelola lepas pantai North East Kalimantan pada 1970 dan Hadson Bunyu untuk Blok Bunyu pada 1983. Kemudian ENI Bukat untuk Blok Bukat pada 1988 dan ENI Ambalat untuk Blok Ambalat pada 1999. Blok Bunyu ini dikelola Pertamina dan Medco E&P. Blok Tarakan dikelola Medco E&P, yang sumur-sumurnya sudah berusia tua dengan produksi minyak 666 barel per hari dan 363.000 kaki kubik gas per hari.
Menurut ahli geologi dari lembaga konsultan Exploration Think Tank Indonesia, satu titik tambang di Ambalat menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 trilyun kaki kubik gas. Itu baru satu titik dari sembilan titik yang ada di Ambalat. Perairan Ambalat secara ekonomi sangat menjanjikan. Kandungan mineral di Ambalat memang bisa dibaca berbeda oleh para ahli perminyakan. Pakar perminyakan lain menaksir potensi pemasukan negara dari minyak Ambalat bisa mencapai US$40 milyar. Tentu nilai ini cukup signifikan jika bisa masuk ke kas negara.
Daya tarik migas itulah yang membuat Pemerintah Malaysia kepincut. Perairan laut di sebelah timur Pulau Kalimantan itu diklaim Malaysia melalui peta 1979. Peta yang diterbitkan secara sepihak itu sudah diprotes Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Sejak 1980, Pemerintah Indonesia terus menyampaikan protes secara berkala, karena Malaysia melanggar wilayah perairan yang berada di bawah kedaulatan Indonesia.
Setelah pada 2002 International Court of Justice memenangkan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai milik Malaysia, negeri jiran itu seperti mendapat angin. Malaysia seolah memperoleh pengesahan atas peta 1979. Pada September 2003, Malaysia melelang Blok ND-6 dan Blok ND-7 kepada perusahaan tambang asing. Lokasi itu tak lain perairan Ambalat. Pada Februari 2005, izin eksplorasi dari Malaysia diberikan kepada Shell.
Bila Jakarta sangat tersinggung oleh aksi main terobos kapal Malaysia, pelakunya malah tenang-tenang saja. Menteri Pertahanan Malaysia, datuk Seri Ahmad Zahid hamidi ketika bertemu delegasi parlemen Indonesia, antara lain Theo L sambuaga, Yusron Ihza Mahendra dan Effendy Choirie, berkomentar datar. Malaysia, kata dia, tidak akan perang dengan Indonesia. Malaysia sengaja mengulur-ulur waktu perundingan. Pembicaraan substansi sengketa Blok Ambalat terus dihindari. Strategi provokasi militer sengaja dimainkan. Indonesia ditergetkan terpancing oleh provokasi dan menyerang lebih dulu. Bila menembak duluan, Indonesia akan dikecam dunia internasional. Akibatnya, bisa kalah dalam perundingan.
BUKAN TERRA NULLIUS
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Konflik perbatasan melanda sebagian garis perbatasan Negara Bagian Sabah. Beban sejarah ternyata bisa menjadi bom waktu. Tak ada negara bagian di Malaysia yang memilki sengketa garis perbatasan serumit Sabah. Selain bermasalah dengan Indonesia, perbatasan mereka juga menjadi ajang perseteruan dengan Filipina. Di laut dan di daratan. Bermula dari peta baru Malaysia terbitan tahun 1979. Cakupan wilayah yang menjadi klaim negara itu sering dituduh sebagai picu sengketa karena dianggap mencaplok kedaulatan negara lain. Akar masalah peta ini adalah sejarah perjanjian perbatasan yang ditinggalkan Inggris, bekas penguasa mereka. Garis perbatasan di daerah muka bingkai Borneo itu ditarik begitu saja, seperti melintasi terra mullius, tanah tak bertuan. Padahal wilayah tersebut secara sah teriokat dengan beberapa kesultanan setempat.
Sejarah mencatat, kekuasaan kolonial hadir di Sabah lewat tangan seorang Gustavus Baron von Overbeck. Hal ini dianggap di luar kelaziman karena kekuasaan kolonial umumnya diwakili negara, bukan individu. Overbeck mendapat sejumlah kewenangan teritorial dari Sultan dan Pengeran Temenggong Brunei, 29 Desember 1877. Kewenangan yang semacam dipinjamkan kepada Overbeck itu, antara lain, untuk menentukan hukuman bagi masyarakat asli, hak pemilikan mutlak di bidang pertanian, peternakan, dan pertambangan. Selain itu, Overbeck juga memiliki kewenangan membuat peraturan, mata uang, menarik cukai dan pajak. Bahkan membentuk tentara dan angkatan laut. Di wilayah dari Pantai Kimanis di sebelah barat laut hingga Sungai Sebuku di sebelah timur.
Namun, kewenangan yang diberikan pada dasarnya merupakan hubungan sewa menyewa biasa, sebagaimana hubungan berdagang saja. Sebab, Overbeck kemudian menggandeng Alfred Dent sebagai patner diharuskan membayar Sultan 12 ribu dolar dan Temenggong 3.000 dolar setiap tahunnya. Untuk melaksanakan kewenangannya itu, Overbeck dan dent membuat sebuah institusi kerja sama yang kemudian diberi nama Overbeck and Dent Association (ODA). ODA lalu mengajukan proposal kepada pemerintah Inggris untuk mengelola daerah konsesi itu. Terbentuklah British North Borneo Company (BNBC) sebagai penguasa bayangan.
Lain pemerintah Inggris, lain pula belanda. Bentuk hubungan antara penguasa asli dan pemerintah Belanda di Bulungan tidak sama. Kesultanan di timur Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Sabah itu diakui Belanda sebagai negara merdeka pada tahun 1844. Kedua negara ini kemudian mengadakan kerja sama membentuk pemerintahan semi-otonomi (Zelfbestuurende landschap) dengan sultan sebagai kepala negara dibantu dua orang pejabat (landsgrote). Perjanjian pembagian kekuasaan Belanda-Bulungan ini terus diperbaharui. Terakhir, perjanjian itu direvisi pada 1928 dan dimuat dalam Staatsblad No 86/1928 dan Gouvernements-besluit No 17 danb 25 tahun 1928. Pada November 1949, Kesultanan Bulungan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.
Salah satu bukti bahwa hubungan Bulungan-Belanda adalah hubungan kemitraan yang setara, ini bisa ditilik dari sambutan yang diberikan secara khusus dan terhormat ketika Sultan Bulungan, Maulana Mohammad Kasim Aldin, berkunjung ke Belanda pada 1923. Dia disambut dalam tata cara kenegaraan oleh Ratu Belanda, Wilhelmina, di Den Haag. Maka, perjanjian perbatasan yang dilakukan antara Belanda dan BNBC pada tahun 1891 dan 1915, yang berisi kesepakatan membagi wilayah Kalimantan Utara menjadi dua, yakni milik Inggris dan Belanda, dianggap menyalahi perjanjian-perjanjian dengan kesultanan setempat sebelumnya.
Perjanjian antara dua negara kolonial itu diprotes keras oleh Kesultanan Bulungan yang terbentang dari Tarakan, Tidung, sampai Lahad Datu, Sabah, menjadi terbelah. Perjanjian tersebut dilakukan tanpa persetujuan Sultan sebagai pemilik kedaulatan. kenyataannya para sultan turun temurun tidak pernah mengakui perjanjian itu. Klaim Pemerintah Malaysia atas sebagian wilayah Sabah, sebagaimana perjanjian perbatasan yang ditinggalkan Inggris tersebut, selain mendapat tentangan dari Kesultanan Bulungan juga dari Sultan Sulu di Filipina Selatan. Sultan Filipina ini juga mengklaim wilayah darat, antara lain meliputi Kota Kinabalu, ibukota Negara bagian Sabah sendiri.
Memang yang terjadi belakangan soal Ambalat masih sebatas perang wacana. Bukan konfrontasi senjata seperti hampir setengah abad silam. Ketika itu, kontak senjata meledak di sejumlah titik di sepanjang perbatasan antara Kalimantan dan sabah-Sarawak, yang hampir 1.000 kilometer lintasannya. Sebagian pasukan Indonesia juga sudah masuk menginfiltrasi, bahkan sampai wilayah Semenanjung Malaysia dan Singapura. Malaysia ketika itu negeri baru yang masih berumur dini. Menghadapi ancaman dari Indonesia, negeri terkuat di Asia Tenggara, Malaysia minta bantuan dari para pengawalnya, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Tidak kurang dari 17.000 personel pasukan gabungan itu didatangkan. Sebagian dari mereka adalah serdadu Gurkha, legiun asing dari balatentara Inggris yang diawaki orang-orang bayaran dari wilayah sekitar Bhutan.
Tentara koalisi itu diperkuat pula dengan dua kapal induk, HMS Victorious dan HMS Centour, serta dua kapal perusak berukuran di atas 10.000 ton, yakni HMS Alboin dan HMS Bulwark. Praktis, tentara Indonesia yang sebagian adalah sukarelawan itu harus menghadapi pasukan koalisi yang bersenjata lengkap. Perang udara dan laut tak sampai meletus. Yang terjadi sebatas kontak senjata di hutan-hutan Kalimantan. Meski tak diumumkan secara resmi, Inggris mengklaim telah menewaskan 590 serdadu Indonesia dan menawan 770 lainnya. Pihaknya mengaku kehilangan 114 prajurit, dan 181 lainnya terluka. Tidak ada konfirmasi resmi dari pihak Indonesia.
Sengketa itu muncul setelah Inggris memerdekakan malaysia, 1961, yang meliputi pula Singapura dan Brunei. Desember 1962, pecah perlawanan di Brunei. Perdana Menteri Malaysia, Tunku Abdul rahman, menuding Indonesia menyokong pemberontakan yang dipimpin Azahari itu. Ketua Partai Rakyat ini memproklamasikan kemerdekaan Kalimantan Utara, meliputi Brunei, Sabah, dan Sarawak, setelah dia memenangkan pemilihan umum. Tapi tentara Inggris cepat membungkamnya.
Hanya empat tahun setelah kemerdekaan negerinya, Tunku Abdul Rahman Putra al-Haj, Yang Dipertuan Agong dan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu, memulai perundingan dengan Perdana Menteri Inggris, Harold McMillan, mengenai Proyek Malaysia. Perundingan di London itu dimulai pada Oktober 1961, dan dilanjutkan pada Juli tahun berikutnya. Federasi baru ini akan meliputi pula Sarawak, Sabah, dan Singapura, yang merupakan koloni Inggris, serta Brunei, yang berstatus protektorat.
Inggris memang bermaksud membentuk Malaysia sebagai negara federasi. Tapi niat itu ditentang keras oleh Presiden Sukarno dan Presiden Filipina Diosdado Macapagal. Dua pemimpin ini meminta Inggris mau mendengar aspirasi Sabah, Sarawak, Brunei dan Singapura, yang ingin berdiri sendiri. Indonesia tidak menyokong pemberontakan di brunei itu. Saat terjadi kudeta di Brunei, Azahari justru berada di Manila, menemui Wakil Presiden Filipina Emanuel Pelaez.
Atas prakarsa Filipina diselenggarakanlah Konferensi Manila, 9-17 April 1963, dihadiri para wakil menteri luar negeri Indonesia, Malaysia, dan Filipina sendiri. Filipina punya kepentingan karena Sabah, wilayah yang diklaim Filipina ketika itu, dimasukkan ke Proyek Malaysia. Secara historis-tradisional, Sabah merupakan milik Sultan Sulu yang disewakan kepada Inggris. Agenda berikutnya adalah Konferensi Tingkat Tinggi Manila. Tetapi, seraya persiapan menuju KTT ini digioatkan, Tunku Abdul rahman secara sepihak menandatangani dokumen persetujuan pembentukan Federasi Malaysia dengan Inggris pada 9 Juli 1963. Dokumen itu merencanakan pembentukan Federasi Malaysia pada 31 Agustus 1963. Kesepakatan ini ditandatangani oleh Malaya, Singapura, sarawak dan Sabah. Brunei memutuskan mundur.
Pada 16 September 1963, Federasi malaysia diumumkan berdiri, meliputi Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah, dan Sarawak. Esoknya, 17 September 1963, Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur. Sejak tanggal itu hingga akhir 1963, Indonesia mencatat 20 kali pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh Malaysia. Pelanggaran darat di perbatasan tercatat 21 kali. Tahun berikutnya Inggris dan malaysia melakukan 56 kali pelanggaran udara, dan 14 kali pelanggaran darat di perbatasan.
Presiden Sukarno sendiri mencurigai Malaysia bentukan Inggris itu tidak lebih dari negara neokolonialis dan imperialis (nekolim). Ia pun masih jengkel, saat meletus pemberontakan PRRI/Permesta, Malaysia menjadi transit bantuan Amerika ke kelompok separatis itu. Setelah pemberontakan itu kandas, negeri jiran itu dijadikan tempat pelarian pula. Akhirnya Bung Karno secara terbuka mendukung perjuangan rakyat Brunei, Sabah, dan Sarawak. Ia mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora), 3 Mei 1964. Komando Siaga (Koga) dibentuk. Situasi memanas, hubungan diplomasi kedua negara putus setelah London mengumumkan pembentukan negara federasi Kerajaan Malaysia, 29 Agustus 1964. Malaysia juga menutup hubungan diplomasinya dengan Filipina.
Bung Karno mencanangkan Dwi Komando rakyat (Dwikora) pada 3 Mei tersebut, untuk memperhebat ketahanan revolusi Indonesia, dan, membantu perjuangan revolusioner rakyat malaya, Singapura, Sabah, sarawak, dan Brunei. Di bawah karisma dan orasi Bung Karno yang berkibar-kibar itu, semangat ganyang Malaysia dan ganyang neokolonialisme bangkit di seantero negeri.
Gelar pasukan dimulai September 1964. Di tengah gelora aksi Ganyang Malaysia, pasukan RPKAD, sekarang Koppasus, ditempatkan di sekitar Long Bawang, Lumbis, Kalimantan Timur. Pasukan KKO (Marinir) siaga di Nunukan. Batalyon 328/Kujang Kodam Siliwangi dan batalyon 430 Kodam Diponegoro pun dikirim ke perbatasan. Sebagian menembus jauh ke Sarawak dan sabah guna melatih tentara gerilya yang dipimpin Azahari. Konfrontasi itu terjadi diam-diam, tidak pernah diumumkan, baik oleh Malaysia, Inggris, maupun Indonesia. Namun, hampir tiga tahun baku tembak itu berlangsung sengit. Dalam pertempuran di Kampung Long Jawi, pasukan Indonesia menembak mati 12 tentara lawan. Pasukan KKO menewaskan delapan orang musuh dan melukai 19 lainnya di Tawau. Batalyon Kujang yang bertempur di Sambas Kalimantan Barat menggelandang 34 pasukan Gurkha, yang sebelumnya dikatakan pantang menyerah. Tercatat empat pesawat terbang Inggris ditembak jatuh.
Konfrontasi itu berangsur reda menyusul terjadinya perubahan politik besar di Jakarta. Namun, apa lacur, Sukarno pun jatuh. Pemberontakan PKI 30 September 1965 berujung tergusurnya Bung Karno dari kursi presiden. Selama rezim Orde Baru, hubungan Indonesia-Malaysia mesra. Dan pada 28 September 1966 Indonesia pun kembali ke haribaan PBB. Baru belakangan memanas lagi, karena Indonesia merasa diperlakukan bak TKI, gampang direnggut hak dan martabatnya.
Belakangan, perseteruan mengenai garis perbatasan yang akan berakibat penguasaan wilayah Karang Unarang dan Ambalat sedang bergulir, dan kian panas. Sebagaimana yang pernah terjadi pada Pulau Sipadan dan Ligitan, Pemerintah Indonesia menyebutnya sebagai terra nullius atau sekeping koin yang tergeletak di jalan. Indonesia sudah punya batas. Namun, ketika berjalan kemudian menemukan koin, lantas berdebat ini milik siapa.
Kini, setelah mendapatkan dengan mudah Sipadan dan Ligitan, Malaysia pun berasumsi Ambalat pun akan dengan gampang jatuh ke pangkuan mereka, segampang dulu Tunku Abdul rahman mengadopsi Stambul Terang Bulan, sebagai hak Indonesia pertama yang dicaplok dan mendadak dijadikan lagu kebangsaan Persekutuan Tanah Melayu pada hari kemerdekaannya dari Inggris, 31 Agustus 1957.
NEGARA JIRAN TETANGGA YANG TAK BAIK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Kasus Ambalat meruncing, ternyata motifnya masih sama dengan Insiden Ambalat pada 2005. Awalnya karena sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan. Ada sikap yang tak etis dari pemerintah Negara Jiran itu. Pada 1979 malaysia mengundangkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah mereka. Malaysia juga menjadikan Sipadan-Ligitan sebagai basis untuk mengukur zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka. Itu jelas sangat tidak etis karena Sipadan dan Ligitan masih dalam sengketa.
Sikap Indonesia tentang peta Malaysia 1979 itu protes keras. Negara tetangga yang lain juga protes. Bagi indonesia, selain memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan, Malaysia melakukan kesalahan lainnya. Peta itu juga menarik garis lurus antara Pulau Sipadan dan pantai timur Pulau Sebatik. Akibatnya, seluruh laut di Pulau Sebatik diambil Malaysia. Menurut hukum, mereka tak berhak. Mereka sebetulnya paham dengan aturan hukum itu. Malaysia juga menarik garis tengah antara Pulau Sipadan dan Sebatik dengan garis dasar Indonesia tahun 1960. Itu membuat wilayah Malaysia jauh ke bawah hingga menabrak Ambalat. Sejak itu Malaysia mengklaim Ambalat sebagai wilayahnya.
Meski Sipadan dan Ligitan punya Malaysia, tak berarti Ambalat juga masuk wilayah mereka. Soalnya, Sipadan dan Ligitan terpisah dari Sabah oleh laut yang dalamnya sekitar 1.400 meter. Sipadan dan Ligitan seperti permukaan gunung dari bawah laut. Jadi, berbeda dengan daratan yang bisa memperoleh ZEE sampai 200 mil hingga ke Ambalat. Jelas, mereka tak bisa serta merta mengklaim Ambalat sebagai wilayah Malaysia.
Dalam hukum laut banyak contoh pulau kecil terpencil yang tak diperkenankan mendapat ZEE dan landas kontinen. Soalnya, bila mereka mendapat hak ZEE, akibatnya tak adil bagi dunia internasional. Selain itu, penentuan batas wilayah antarnegara harus memperhitungkan luas daratan, panjang pantai terkait, dan kepentingan ekonomi rakyatnya. Panjang pantai Sipadan dan Sabah jauh lebih pendek daripada pantai Kalimantan Timur. Luas Sipadan dan Ligitan juga tak sebanding dengan luas pulau-pulau di sebelah timur Kalimantan. Secara topografis, Ambalat juga merupakan kelanjutan alamiah dari Kalimantan Timur. Dari sudut pandang hukum laut internasional, Ambalat memiliki keterkaitan dengan pantai Kalimantan Timur.
Meski begitu nyatanya Malaysia tetap nekat mengklaim Ambalat. Itulah kelihaian Malaysia. Mereka tahu ada Indonesia di Ambalat. Sekarang mereka mengambil tindakan sendiri. Inilah yang membuat situasi memanas karena mereka tak berkonsultasi dengan Indonesia. Padahal, sebagai negara yang bersahabat, konsultasi soal perbatasan sangat perlu. Contohnya pada 1998 Indonesia mengubah beberapa garis pangkal Nusantara di Laut Natuna. Ketika itu nampak sekali Malaysia sebagai Negara Jiran tak bersikap sebagai tetangga yang baik.
Selain mengklaim Ambalat, malaysia juga menjadikan Karang Unarang di sebelah timur Kalimantan sebagai wilayahnya. Mungkin mereka menarik garis lurus antara Sipadan dan Sebatik. Tapi itu tak bisa dilakukan karena terlalu jauh. Jadi, sangat tidak bisa dimengerti mengapa mereka mengklaim Karang Unarang. Wilayah itu berjarak kurang dari 12 mil dari pantai Pulau Sebatik sebelah selatan, yang merupakan wilayah Indonesia. Seharusnya mereka tahu bahwa itu wilayah Indonesia. Anehnya, saat pekerja Indonesia akan memasang rambu-rambu untuk pelayaran, malah ditangkap tentara Malaysia.
Pada 1998 Indonesia memberikan konsesi Ambalat ke perusahaan minyak dunia. Secara hukum internasional hal itu dibenarkan. Soalnya, letak Ambalat dekat dengan Kalimantan Timur. Dari segi topografi Ambalat merupakan kelanjutan alamiah dari Kalimantan Timur. Menurut ilmu hukum laut, itu berakibat kewenangan di dasar laut menjadi milik Indonesia. Aturan itu sudah ditetapkan dalam konvensi hukum laut dunia tahun 1982.
Sebetulnya persoalan perbatasan memungkinkan diselesaikan secara bilateral. Indonesia pernah bertahun-tahun berunding dengan Vietnam Selatan mengenai perbatasan dekat Natuna pada 1971. kesepakatannya baru tercapai pada 2002. jadi, meski memiliki teori hukum yang berbeda, bisa tercapai kesepakatan. Kesabaran itu sangat perlu tentunya. Dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional disebutkan, bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai alternatif, misalnya mediator, arbritrator, dan mekanisme regional.
Malaysia dapat dipastikan tak akan menggunakan mekanisme regional di ASEAN, karena Malaysia punya persoalan dengan semua negara tetangganya, Singapura, Vietnam, Brunei darussalam, Filipina, dan Thailand, mengenai batas laut. Malaysia takut semua anggota ASEAN berpohak ke Indonesia.
Bila menemui jalan buntu, bisa saja dipilih solusi joint development. Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, Indonesia sepakat tak membuat garis batas dengan Australia di Celah Timor. Indonesia menyepakati membuat joint development dengan melakukan kerjasama ekonomi di wilayah yang disengketakan. Malaysia sangat mungkin dengan model penyelesaian seperti itu. Saat ini Malaysia punya dua joint development di Laut Cina Selatan, dengan Thailand dan Vietnam. Itu karena mereka tak sepakat dalam hal garis batas selama bertahun-tahun.
Sebaliknya, Indonesia tak akan mau ke mahkamah internasional. Mungkin bercermin dengan kasus Sipadan dan Ligitan. Lagi pula, Mahkamah Internasional banyak memakan waktu dan biaya. Diperkirakan kasus Sipadan dan Ligitan menghabiskan lebih dari US$ 10 juta atau sekitar Rp 90 miliar. Sebagian besar dihabiskan untuk jasa pengacara asing dari Amerika dan Prancis.
Selain dengan Malaysia, tapal batas Indonesia yang berpotensi bermasalah adalah batas ZEE dengan Thailand. Selain itu perbatasan laut antara Indonesia dan Filipina di Pulau Miangas. Filipina mengakui Pulau Miangas milik Indonesia. Tapi mereka menyatakan pulau itu berada di Laut Filipina. Indonesia sudah berunding mengenai Pulau Miangas dengan Filipina sejak 1973. Tapi sampai sekarang tak maju-maju.
Saat kemerdekaan, laut Indonesia Cuma 3 mil dari pantai. Jadi luas laut Indonesia tak lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Setelah konsep Wawasan Nusantara diterima dunia, dan mendapat tambahan ZEE 200 mil, total laut Indonesia menjadi 6 juta kilometer persegi. Masalahnya, jumlah kekuatan angkatan laut Indonesia tak sebanding dengan luas wilayah yang harus diamankan. Bayangkan, Singapura yang tidak punya laut saat ini punya lima kapal selama. Anggaran militer Indonesia tak memadai. Tapi harus ada kemauan politik yang kuat. Dulu, zaman Bung Karno kondisi keuangan Indonesia lebih buruk. Tapi Bung Karno bisa membeli kapal perusak. Bahkan Bung Karno bisa membebaskan irian Barat, yang ketika itu masih diduduki belanda.
Dalam Konferensi Hukum laut PBB ke 3 tahun 1982, disepakati United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos), yang mengatur perihal hukum laut. Konvensi ini efektif berlaku pada 16 November 1994. penggerak konvensi ini adalah negara kepulauan seperti Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritius.
Dalam konvensi tersebut, diatur cara menentukan batas teritorial di laut, yakni maksimal 12 mil laut atau 22,2 kilometer dari muka laut terendah. Bila dua negara tetangga memiliki garis teritorial antar dua negara adalah garis median atau garis tengah (equidistance). Bila sebuah negara berbentuk kepulauan, batas laut teritorialnya diukur dari pulau-pulau terluar sewaktu air surut. Titik-titik ini kemudian dihubungkan sehingga membentuk garis batas teritorial. Dalam batas teritorial ini berlaku penuh kedaulatan negara.
Selain laut teritorial, terdapat juga zona tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif, dan batas landas kontinen. Zona tambahan tidak boleh lebih dari 24 mil laut atau 44,4 kilometer dari batas laut terendah sebuah negara. Dalam zona ini, suatu negara berhak melakukan pengawasan di bidang pabean, imigrasi, dan fiskal.
Di zona ekonomi eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil atau 370 kilometer, negara memiliki hak berdaulat atas kekayaan alam maupun mineral yang berada di jalur tersebut. Sedangkan wilayah landas kontinen adalah daerah dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and suboil) dari daerah yang masih kepanjangan alamiah dari daratan pantainya hingga tepi kontinen (continental margin). Lazimnya batas landas kontinen ini tak lebih dari 200 mil dari garis pangkal pantai. Dalam landas kontinen, negara pantai berhak melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam yang ada di bawahnya.
BERCERMIN PADA SIPADAN-LIGITAN
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Kemenangan atas sengketa Sipadan-Ligitan lewat Mahkamah Internasional tak serta merta bisa jadi landasan menguasai Ambalat. Pemerintah Malaysia telah melanggar Konvensi Hukum laut PBB, United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos). Unclos terlagir dari Konferensi Hukum laut ketiga PBB yang diteken pada 10 desembe 1982 di Motego Bay, jamaika. Konvensi itu telah mengadopsi konsep negara kepulauan yang diperjuangkan, antara lain, oleh Indonesia. Baik negara kepulauan maupun negara pantai punya wilayah daratan dan perairan yang meliputi jalur yang disebut laut teritorial. Yakni jalur selebar 12 mil laut ditarik dari garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar negara pantai atau kepulauan.
Khusus untuk negara kepulauan, selain punya laut teritorial, juga punya hak menegakkan hukumnya di zona tambahan 12 mil laut. Di sini, negara tersebut punya hak sanitasi, fiskal, bea cukai, dan imigrasi. Adapun batas terjauh wilayah negara kepulauan adalah 200 mil laut dari garis pangkal. Sepanjang 200 mil itu negara tersebut diperbolehkan mengelola sumber daya alam yang ada. Itulah zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Pasal 15 Unclos menyebutkan bahwa alasan historis bisa dijadikan landasan untuk menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara dengan cara tertentu. Bila mengacu pada alasan historis ini, sejak zaman Kesultanan Bulungan, kini masuk Propinsi kalimantan Timur, para nelayan dari daerah tersebut terbiasa mencari ikan di daerah ini. Ada hubungan historis yang kuat antara Kesultanan Bulungan dan Ambalat.
Pemerintah Malaysia baru mengklaim Ambalat masuk wilayahnya dengan cara mengundang perusahaan minyak Shell untuk melakukan eksplorasi. Hal itu dilakukan setelah mahkamah Internasinal pada 17 Desember 2002 memutuskan Sipadan-Ligitan masuk wilayah Malaysia. Sebelum Sipadan-Ligitan diputus oleh Mahkamah Internasional, negeri jiran itu tak berani mengusik Ambalat. Blok Ambalat, demikian kata Pemerintah Malaysia, masuk wilayah malaysia memang setelah adanya kedaulatan baru atas Sipadan-Ligitan. Dengan kemenangan di Sipadan-Ligitan itu, Malaysia merasa bisa menarik garis pangkalnya dari kedua pulau yang baru didapatinya itu.
Namun, pada keputusan Mahkamah Internasional mengenai Sipadan-Ligitan, ditegaskan di sana putusan tersebut hanya menyangkut kedaulatan kedua pulau, tidak menyangkut landas kontinen. Untuk landas kontinen, harus dilihat berdasarkan Unclos tahun 1982. masalah kedaulatan atas dua pulau kecil dan tidak berpenghuni itu berbeda dengan pengaruh dua pulau itu atas delimitasi landas kontinen. Karena itu, tindakan Malaysia menarik garis batas salah alamat. Kedua hal tersebut adalah masalah yang sangat berbeda. Delimitasi batas laut harus ditinjau dari sudut pandang lainnya, antara lain Unclos tahun 1982 tadi.
Indonesia adalah negara kepulauan, sedangkan Malaysia negara pantai. Sebagaimana diatur dalam Unclos, negara kepulauan berhak menarik garis di pulau-pulau terluarnya sebagai patokan untuk garis batas wilayah kedaulatannya. Sedangkan negara pantai hanya berhak menarik garis dari pantainya, bukan dari pulau terluarnya. Adapun klaim atas Ambalat sebenarnya berawal dari peta yang dibuat malaysia tahun 1979. Pada peta yang dibuat sepihak itu, Pulau Sipadan-Ligitan masuk dalam wilayah Malaysia. Saat itu juga muncul reaksi. Selain indonesia, Singapura, Filipina, dan Thailand ikut memprotes. Dengan adanya protes ini, mestinya malaysia menyelesaikannya dengan negara=negara yang menyoalnya. Tapi langkah itu tak dilakukan. Malaysia hanya bersemangat mempersoalkan Sipadan-Ligitan.
Setelah Pemerintah malaysia dinyatakan berhak atas Sipadan-Ligitan, barulah ia berani mengklaim Ambalat. Padahal nila merujuk Pasal 74 dan 83 Unclos 1982, delimitasi batas ZEE dan landas kontinen haruslah ditetapkan dengan perjanjian dan berdasarkan pada hukum internasional. Itula yang tidak pernah dilakukan pihak malaysia. Hal itu menunjukkan bahwa klaim batas secara unilateral seperti yang dilakukan Malaysia dengan peta 1979-nya tidak memiliki kekuatan hukum.
Bila perundingan atau cara diplomasi tak juga menemukan jalan keluar, apa bolah buat, jalur hukum pun mesti ditempuh. Ada beberapa pengadilan bersifat internasional yang bisa dipakai dalam penyelesaian sebuah sengketa. Selain mahkamah Internasional, ada International Tribunal for the Law of the Sea (Itlos), Permanent Court of Arbitration (PCA), dan pengadilan arbitrase biasa.
Hilangnya si kembar, Pulau Sipadan dan Ligitan, memang belum membuat Indonesia serius mengurus pulau terpencil. Mendung menambah pucat Kota Den Haag. Angin bulan Desember 2002 berdesis, melorotkan suhu hingga ke bawah titik beku. Tapi gedung Mahkamah Internasional di Peace Palace, den Haag, belanda, masih berdenyut. Dalam balutan mantel tebal, para hakim meluncur masuk dengan keputusan yang sudah bulat.
Berbulan-bulan melahap tumpukan berkas perkara dan meneliti 77 peta kuno, akhirnya 15 hakim menetapkan vonis kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang dipersengketakan Indonesia dan malaysia. Dalam hening aula Peace palace, palu vonis pun berdentam. Sipadan dan Ligitan milik Malaysia. Pernyataan yang guncangannya mencapai Jakarta dan Kuala Lumpur.selasa yang murung buat Indonesia. Pada 17 Desember 2002 itu dua pulau kecil di timur Borneo pun terhapus dari peta Indonesia. Itu sebuah kekalahan yang menyakitkan setelah 33 tahun Indonesia berjuang mempertahankan kedaulatan pulau itu dan menghabiskan dana Rp 16 miliar untuk ongkos berperkara dan sewa pengacara.
Sengketa dua pulau itu memanas ketika Indonesia dan Malaysia merundingkan batas landas kontinen kedua negara di kawasan laut Sulawesi pada 1967. Kedua jiran ini lalu membuat perjanjian pada 1969. Intinya kurang lebih mereka setuju untuk tidak melakukan kegiatan di sana sebelum jelas putusan tentang kepemilikan pulau tersebut. Indonesia saat itu sangat yakin dirinyalah pemilik sah dua pulau yang ada di dekat Nunukan Kalimantan Timur itu. Keyakinan itu mengacu pada perjanjian antara Inggris dan Belanda yang diteken pada 1891 di London. Dalam perjanjian itu disebutkan, batas jajahan belanda di Borneo dan negara-negara yang dilindungi Inggris di pulau itu sama-sama diukur dari titik 4 menit 10 detik lintang utara di pantai timur Kalimantan.
Dari posisi itu, lantas ditarik garis ke timur mengikuti garis paralel melintasi Pulau Sebatik milik Indonesia. Bagian pulau yang terletak di sebelah utara garis paralel itu sepenuhnya milik British North Borneo Company. Sedangkan bagian di selatan garis milik Belanda. Berdasarkan hal itu Pulau Sipadan dan Ligitan masuk wilayah Belanda pada waktu itu dan kemudian diwarisi oleh Indonesia. Malaysia, sebaliknya, mengklaim dua pulau ini adalah warisan dari Sultan Sulu. Dari sang Sultan pulau itu turun temurun pindah tangan ke Spanyol, Amerika Serikat, Inggris dan terakhir ke Malaysia. Konon Malaysia telah melakukan penguasaan secara nyata sejak 1878.
Pulau yang diributkan Indonesia-Malaysia ini sebetulnya ukurannya kecil. Sipadan luasnya Cuma 10,4 hektar. Hanya butuh waktu satu jam berjalan kaki untuk mengitari pulau yang dihiasi dengan hujan tipis dan beberapa resor itu. Ligitan lebih kecil lagi, luasnya Cuma 7,9 hektar, tak ada penduduk dan hanya ada karang dan pasir putih. Dalam kenyataannya kemudian, biarpun mungil, Sipadan-Ligitan ini adalah tambang devisa karena mampu menyedot turis dari berbagai sudut dunia.
Keindahan bawah laut Sipadan memang luar biasa. Para penyelam tahu, di sana ada ikan yang tergolong jarang dijumpai. Karang dan rumput lautnya juga indah dan unik. Bisnis wisata di pulau ini konon mencapai puluhan miliar rupiah tiap tahunnya. Itu sebabnya Malaysia mati-matian dengan pendiriannya dan rajin menanam ringgit untuk membangun puluhan resornya di daerah itu sejak 1980, ketika status hukum pulau ini masih mengambang.
Kekalahan telak Indonesia di Den Haag terjadi setelah hakim-hakim itu menelisik faktor kehadiran terus menerus, penduduk efektif, pengelolaan dan pelestarian alam. Dalam sidang itu, pertimbangan utama Mahkamah Internasional adalah penguasaan efektif yang dilakukan oleh Inggris, bukan Malaysia, yang dilakukan sejak 1969. Jejak-jejak legal Inggris di sana tampak nyata dalam pembuatan aturan, misalnya pungutan pajak penangkapan penyu sejak 1917, penerbitan ordonasi perlindungan satwa burung pada 1930-an, dan pembangunan serta pemeliharaan mercu suar di Pulau Sipadan sejak 1962 dan di Ligitan sejak 1963.
Mahkamah sama sekali tidak mempertimbangkan tindakan-tindakan yang dilakukan Malaysia setelah critical date pada 1969 untuk mendukung klaimnya. Langkah-langkah itu yang tak dilakukan Indonesia. Bahkan Indonesia tak memasukkan pulau kembar ini dalam peta resmi yang ada di Undang Undang Nomor 4 Tahun 1960, undang-undang yang mengatur batas-batas Indonesia. Dari itulah, Sipadan dan Ligitan adalah pelajaran berharga. Kekalahan di Den Haag ini sekarang hampir terulang denganb sengketa pulau karang Ambalat di dekat Sipadan. Ketika Malaysia sudah memberikan konsesi pengolahan minyak, pemerintah baru sibuk menjaga perairan di sana serta membangun mercu suar.
DEKLARASI DJUANDA: DARI AKADEMIK KE POLITIK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Perdana menteri Ir H Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 mengumumkan sikap Republik Indonesia yang dalam jangka panjang mempunyai arti strategis bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk meningkatkan pembangunan dan memantapkan kesatuan nasionalnya. Dalam pernyataan yang diumumkan segera setelah sidang kabinet itu, dinyatakan oleh pemerintah bahwa mulai saat itu seluruh perairan yang mengelilingi dan yang terletak atau yang menghubungkan pulau-pulau Indonesia, tanpa memperhatikan luasnya, dianggap sebagai bagian yang integral wilayah Negara republik Indonesia dan berada di bawah laut-laut perairannya dianggap sebagai perairan pedalaman atau perairan nasional Indonesia.
Pelayaran oleh kapal-kapal asing melalui perairan Indonesia diperkenankan berdasar prinsip Indonesia diperkenankan berdasar prinsip lalu lintas laut damai (innocent passage) selama tidak melanggar kedaulatan dan keamanan Indonesia. Mulai saat itu, fungsi laut antara tidak lagi sebagai pemisah antara pulau-pulau Indonesia sebagaimana masa lalu, terutama di zaman kolonial, tetapi berubah menjadi alat pemersatu bangsa dan sebagai wahana bagi pembangunan, keamanan dan pertananan nasional.
Alasan yang dikemukakan antara lain secara geografis Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau. Demi menjaga kesatuan teritorialnya, dan melindungi seluruh kekayaan alamnya, seluruh pulau dan laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan. Di samping itu, masalah keamanan Indonesia juga menjadi bahan pertimbangan. Dinyatakan pula bahwa lebar laut wilayah Indonesia yang sebelumnya adalah tiga mil dari pantai masing-masing pulau, kini menjadi 12 mil diukur dari garis-garis dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluar (point to point theory). Dengan pernyataan ini, luas wilayah Indonesia sekaligus berkembang dari kiora-kira dua juta kilometer persegi menjadi kira-kira lima juta kilometer persegi.
Dalam hubungan ini perlu kiranya dicatat berbagai persoalan yang selama ini dihadapi oleh Indonesia untuk memperjuangkan kesatuan dan pembangunan nasionalnya. Sudah sejak 28 Oktober 1928 pemuda Indonesia menyatakan tekadnya untuk menjadi satu bangsa yang hidup dalam satu tanah air yang berbahasa satu. Cita-cita kesatuan kejiwaan ini memakan waktu hampir 17 tahun untuk diwujudkan menjadi satu kesatuan kenegaraan dengan diproklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Sukarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Diperlukan pula perjuangan fisik lebih dari empat tahun untuk memperoleh pengakuan dunia internasional terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu dengan dicapainya Persetujuan Konferensi Menja Bunda (KMB) pada tanggal 27 Desember 1949.
Walaupun kemerdekaan Indonesia telah diakui dunia sejak tahun 1949, namun nyatanya Indonesia masih menghadapi berbagai pergolakan di dalam negeri yang merongrong Negara Kestuan. Antara lain munculnya negara federasi RIS pada tahun 1949 yang umurnya tidak lebih dari setahun, sulitnya mewujudkan kesatuan nasional karena belum kembalinya Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, antara lain karena perairan Indonesia, terutama Laut Jawa dan Laut Banda, masih sangat bebas dilayari oleh kapal-kapal perang asing, dan kekayaan laut Indonesia, khususnya perikanan, masih sangat banyak dimanfaatkan oleh nelayan asing dibanding dengan yang dimanfaatkan oleh nelayan Indonesia sendiri.
Tentu saja pengumuman pemerintah yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda itu mendapat tantangan yang sangat keras dari dunia maritim internasional karena mengangap bertentangan dengan Hukum Internasional yang berlaku waktu itu yang masih mengakui lebar laut wilayah tiga mil yang diukur dari masing-masing pulau. Hukum Laut Internasional belum secara jelas mengakui lebar laut wilayah 12 mil, apalagi mengakui laut dengan pulau suatu gugus kepulauan yang ribuan jumlahnya sebagai Kesatuan Kewilayahan.
Deklarasi Djuanda kemudian diperjuangkan dalam Konferensi PBB yang ke 1 tentang Hukum Laut di jenewa dalam bulan Februari 1958. Mengingat kerasnya oposisi, Indonesia mengambil kebijaksanaan untuk menarik kembali usulnya sebelum ditolak secara resmi oleh dunia internasional. Ternyata beberapa tahun kemudian keputusan untuk menarik kembali usul adalah suatu kebijaksanaan yang sangat tepat. Memang lebih bijaksana untuk mematangkannya terlebih dahulu sebelum mengajukannya dalam suatu konferensi internasional yang bila suasananya belum matang malahan dapat menolaknya, yang berarti dapat mematikan konsep itu sendiri.
Indonesia kemudian mengundangkan isi Deklarasi Djuanda melalui Undang Undang/Prp No 4/1960 pada bulan februari 1960 sebagai suatu persiapan untuk menghadapi Konferensi PBB ke 2 tentang Hukum Laut di jenewa dalam bulan April 1960. Tetapi Konferensi yang ke 2 ternyata tidak lagi membicarakan masalah Negara Nusantara, namun memusatkan perhatian kepada batas terluar dari laut wilayah, tiga mil, 12 mil, atau enam mil laut wilayah ditambah enam mil zona perikanan, yang ternyata kemudian juga gagal mencapai kesepakatan.
Sementara itu, Indonesia tetap mengimplementasikan Undang Undang/Prp No 4/1960, walaupun UU itu juga mendapat banyak protes dan kecaman dari dunia maritim internasional. Indonesia antara lain menetapkan peraturan pemerintah No 8/1962 tanggal 25 Juli 1962 untuk mengatur lalu lintas laut damai bagi kendaraan air asing yang melalui perairan Nusantara Indonesia, dan keppres No 103/1963 yang menetapkan seluruh perairan Nusantara Indonesia sebagai satu lingkungan laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan Laut Republik Indonesia.
Baru sepuluh tahun kemudian, yaitu sejak tahun 1967 timbul kembali berbagai pemikiran di dunia internasional untuk membahas kembali masalah-masalah kelautan yang antara lain disebabkan oleh makin banyaknya negara-negara yang baru merdeka, terutama di Asia dan Afrika yang merasa tidak pernah ikut membuat Hukum Laut Internasional pada masa lalu, dan karena itu kini ingin lebih berperan dalam menentukan dan membela kepentingannya.
Timbul suara-suara kembali untuk mengadakan Konferensi Hukum Laut Internasional PBB ke 3. Indonesia melihat kesempatan ini untuk memperjuangklan lagi pengakuan dunia internasional terhadap konsepsi kesatuan kewilayahannya sebagai salah satu tiang utama bagi negara kesatuan Republik Indonesia dalam wadah Negara Nusantara. Setelah melalui persiapan beberapa tahun, Indonesia ikut sejak tahun 1969, Konferensi PBB yang ke 3 tentang Hukum Laut dimulai pada bulan Desember 1973, atau 16 tahun sejak Deklarasi Djuanda.
Indonesia sudah merasa confident untuk mengajukan lagi konsepsi Kesatuan Kewilayahan negara-negara kepulauan, seperti Indonesia, setelah mengadakan serangkaian upaya penggalangan intensif melalui berbagai forum resmi dan forum ilmiah atau akademis pada tingkat internasional untuk mendapat dukungan, terutama dari sesama negara kepulauan, negara-negara Asia-Afrika, khususnya yang tergabung dalam Asian African Legal Consultative Committee (AALSCC), negara-negara yang berkembang, dan negara-negara tetangga.
Indonesia dalam Konferensi Hukum laut PBB ke 3 memperjuangkan konsep Kesatuan Kewilayahan Nasional yang bukan saja suatu kessatuan antara darat dan laut, tetapi juga mencakup suatu kesatuan dengan wilayah udara di atasnya dan seluruh kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia. Kesatuan Kewilayahan yang mencakup empat unsur inilah yang kemudian secara tersendiri diakui dalam Konvensi Hukum laut PBB di Montego Bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 1982, atau 25 tahun setelah Deklarasi Djuanda. Pada tanggal 31 Desember 1985, Indonesia meratifikasi konvensi melalui Undang Undang No 17/1985, yang berlaku secara internasional sejak 16 November 1994, atau satu tahun setelah ratifikasi ke 60 oleh Guyana pada tanggal 16 November 1993.
Dengan diterimanya pula konsepsi zone ekonomi eksklusif (ZEE) selebar 200 mil dari garis-garis dasar perairan Nusantara dan konsepsi Landas Kontinen sampai ke batas terluar continental margin dalam Konvensi Hukum laut 1982, maka kawasan sumber-sumber kekayaan alam Indonesia juga sudah meluas. Dengan Wawasan Nusantara, ZEE dan landas Kontinen (Benua Maritim indonesia), maka kawasan kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi Indonesia kini telah meluas menjadi kira-kira dua juta kilometer persegi pada waktu proklamasi menjadi kira-kira delapan juta kilometer persegi, termasuk enam juta kilometer persegi di antaranya di laut dan di udara.
Deklarasi Djuanda merupakan salah satu dari tiga tiang utama kesatuan negara dan bangsa Indonesia, yaitu Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah pemuda 28 Oktober 1928, Kesatuan kenegaraan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dan Kesatuan Kewilayahan yang diumumkan oleh Perdana Menteri Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957.
NEGERI JIRAN ITU: DARI MALAYA KE MALAYSIA
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Sejarah masa lampau suatu negara selalu meninggalkan serentetan pilihan bagi masa kini. Demikian pula keputusan-keputusan politik yang harus diambil pada masa kini, sangat banyak dipengaruhi oleh penekanan-penekanan pada masa lampau. Hal itu ulalah yang kini dialami oleh Negara Malaysia. Konsep negara federal yang dianut oleh Malaysia tidak terlepas dari hubungan kesembilan kerajaan yang terdapat di negeri itu dengan pihak kolonial yang pernah mendudukinya seperti Portugis, Belanda, dan Inggris. Ketiga penjajah imperialis itu masih mengakui eksistensi mereka walaupun memanfaatkannya untuk kepentingan kolonial.
Gagasan pemerintahan federasi negara Melayu dilakukan pertama kali oleh Inggris dengan menggabungkan kerajaan-kerajaan perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang pada tahun 1895. Di sini kekuasaan sultan masih diakui secara terbatas. Akan tetapi sultan tidak boleh langsung menangani pemerintahan tanpa seizin Dewan Negara yang dipimpin oleh Residen Inggris.
Selain itu Pemerintah Inggris juga membentuk pemerintah konfederasi di wilayah yang diambilalihkan dari Kerajaan Siam, seperti di kedah, Perlis, kelantan dan trengganu, sedangkan Johor juga dimasukkan dalam kelompok konfederasi ini pada tahun 1909. Dalam pola kedua ini kekuasaan sultan lebih besar, dan pemerintahan tetap berada di tangan orang Melayu sebagai Menteri Besar, sementara Inggris hanya berperan sebagai penasihat.
Di Penang, Malaka dan Singapura (straits settlements) Ingris berkuasa secara penuh, tanpa campur tangan sultan. Penguasaan itu dilakukan berdasarkan perjanjian saling membantu dengan para sultan yang dulu menguasai ketiga daerah itu. Sabah, Sarawak dan Brunei baru dapat dikuasai oleh British Military Administration (BMA), setelah berakhirnya Perang Dunia II, di mana Inggris diberi kekuasaan oleh PBB untuk menjadi protektorat ketiga wilayah itu.
Pada tanggal 1 April 1946, Pemerintah Inggris di London mempersiapkan konstitusi baru bagi kesembilan kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka dengan membentuk pemerintahan federasi Malayan Union yang dipimpin oleh Gubernur Ingris. Dalam konstitusi itu juga dinyatakan bahwa semua warga negara Malaya mempunyai hak politik dan teritorial yang sama dalam mencapai suatu pemerintahan sendiri. Pernyataan Pemerintah Inggris secara sepihak ini ditentang oleh raja-raja Melayu dan ketua UMNO datuk Onn bin Jafar. Mereka menuntut agar dilibatkan dalam penyusunan konstitusi baru ini.
Akhirnya tercapailah kesepakatan untuk membentuk Negara Federasi Malaya, di mana setiap kerajaan masih diakui kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian penduduk asli Melayu, 55 persen, memperoleh hak istimewa dalam politik, sedangkan keturunan Cina, 35 persen, dan India, 10 persen, diakui sebagai warga negara yang harus tunduk kepada pemerintahan kerajaan Melayu setempat. Federasi Malaya itu akan dipimpin oleh Komisaris Tinggi Inggris mulai tanggal 1 Februari 1949 sampai diadakannya Pemilihan Umum yang akan dibentuk pemerintahan sendiri.
Malaya, sebagai cikal bakal Malaysia, memperoleh kemerdekaannya, lebih tepatnya pemerdekaan untuknya, pada 31 Agustus 1957, pada hari Sabtu. Hal ini bertepatan dengan 4 Safar 1377 H. sekalipun agak terlambat, tetapi Malaya lebih beruntung, karena kemerdekaan dicapai secara damai, secara evolusi, bertahap dan kurang banyak meminta korban. Malaysia modern dimulai dengan penjajahan Inggris pada abad ke 18 dan ke 19. Dengan kedatangan kolonialis dan imperialis itu mulailah sistem kolonialisme di Tanah Melayu.
Ingris menggunakan berbagai cara dan alasan agar berkuasa di Tanah Melayu itu, dengan memperalat kekuasaan raja-raja boneka atau membuat peraturan-eraturan atau akta yang membolehkannya berkuasa sepenuhnya dalam politik. Kekuasaan kolonial Inggris dimulai dengan merampas Pulau Penang dari Kerajaan Kedah pada tahun 1789, dan diikuti dengan pendudukan Singapura pada tahun 1819. Sebenarnya Inggris sudah berkuasa di Malaka pada tahun 1795-1818, sesudah itu Malaka diserahkan kepada Belanda. Hanya dengan tercapainya Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824 barulah Malaka dikuasai Inggris. Sebagai gantinya Inggris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda. Ketiga negeri ini kemudian bersatu di bawah pemerintahan negeri-negeri Selat pada tahun 1826.
Setelah mantapnya kekuasaan di Malaka, Inggris meluaskan pengaruhnya ke Naning dengan memaksa penduduk setempat membayar pajak kepadanya. Tetapi Ingris ditentang Penghulu Naning Dol Said yang menganggap naning sebagai negeri bebas. Akibatnya meletuslah Perang naning 1831-1832, pada tingkat awal Inggris dapat dikalahkan, tetapi dengan bantuan angkatan perang yang besar akhirnya Inggris menang. Inggris hanya menanti masa dan peluang untuk memaksakan kekuasaannya ke Negeri-negeri Melayu yang lain. Kesempatan ini datang dengan adanya golongan raja-raja Melayu yang tamak kuasa dan tahta, sehingga mengundang orang-orang asing kulit putih untuk membantu mereka.
Dahulu Sultan Abdullah di Kedah yang mengharapkan kehadiran Inggris, menulis dua pucuk surat menyatakan kesediaannya menyerahkan Pulau Penang jika Inggris dapat membantunya dari ancaman Bugis dan Siam. Kesempatan yang sama timbul apabila terjadi peperangan merebut tahta di Perak. Raja Ismail yang naik tahta sebagai sultan, tetapi Raja Abdullah menganggap dirinya sebagai waris yang sah. Melalui WH Rad, Raja Abdullah mengirim surat kepada Andrew Clarke Gubernur Negeri-negeri Selat di Singapura untuk membantunya. Tahun 1874, Andrew Clarke tiba di Pulau Pangkor dengan dua kapal perang dan sebuah kaal api. Dengan ancaman senjata, tercapailah perjanjian pangkor 1874 yang menandakan perluasan kuasa kolonial di Tanah Melayu secara tidak langsung (indirect rule), dengan pelantikan Residen sebagai penguasa tunggal.
Dengan alasan menghapuskan bajak laut di Negeri Selangor dan ajakan Tengku Kudin untuk menentang Raja Mahadi, Andrew Clarke segera mengirim empat kapal perang dari Cina dan lima kapal perang Negeri-negeri Selat ke pantai Selangor 6 Februari 1874. Dengan adanya ancaman ini, Desember 1874, Sultan Abdul Samad terpaksa menyambut JG Davidson sebagai Residen Selangor yang pertama.
Inggris mengambil juga kesempatan pada Datuk Bandar dan Datuk kelana ketika keduanya saling berebut kekuasaan di Sungai Ujong Negeri sembilan. Datuk kelana mohon kepada Andrew Clarke agar pihak Inggris segera mengirimkan kapal perang dan tentara pada akhir 1874. Dengan kekalahan datuk bandar, Datuk Kelana diangkat sebagai pemerintah Sungai Ujong, tetapi diwajibkan menerima nasihat Residen British. Kekuasaan British kemudian berkembang ke Seri menanti, jelebu dan rembau. Pada tahun 1895 sembilan negeri, termasuk Sungai Ujong, akhirnya berhasil disatukan dalam Negeri Sembilan dan terpaksa menerima seorang Residen British sebagai penasihat dalam pemerintahan sehari-hari.
Inggris mengirim kapal perang pada tahun 1888 setelah Bendahara wan Ahmad membatalkan perjanjian dengan perusahaan British di Pahang. Dengan ancaman ini, Wan Ahmad menyerah dan, sebagai syarat diakui sebagai Sultan Pahang, menerima kehadiran Residen British. Dalam masa setahun Inggris berhasil menguasai Perak, Selangor dan Sungai Ujong. Sedangkan Pahang dikuasainya kemudian. Ternyata penguasaan Pahang membebankan Inggris. Dalam usaha mengatasi masalah keuangan dan memusatkan kekuasaannya di Pahang, Inggris menumbuhkan Negeri-negeri Melayu Bersekutu (Federated malay State) pada tahun 1895. Tindakan ini berhasil menyatukan administrasi pemerintahan keempat negeri di bawah seorang Residen Jenderal, yaitu Frank Swettenham.
Kerajaan Persekutuan (Federation) adalah sebuah persatuan negeri-negeri yang dibangun untuk tujuan bersama dan setiap negeri tetap mengekalkan otonomi dalam perkara-perkara tertentu. Dalam praktiknya, seluruh kuasa legislatif dalam negeri-negeri Melayu diletakkan di bawah pengawasan seorang Residen Jenderal, sehingga merupakan penyerahan politik sultan.
Inggris mencari jalan meluaskan wilayah jajahannya di tanah Melayu. Kesempatan datang ketika Siam yang ragu-ragu terhadap pengembangan kuasa British dan Prancis membuat Perjanjian Bangkok 1909 yang memindahkan semua haknya di Kedah, Perlis, kelantan dan terengganu kepada British. Inggris berjanji tidak akan campur tangan di Siam. Hasil perjanjian ini Inggris dapat meluaskan sistem residen ke Negeri Kelantan 91910), Terengganu (1919), Kedah (1923) dan Perlis (1930). Johor yang lama di bawah hegemoni Inggris menerima residen pada tahun 1914. Karena tidak bergabung dengan Negeri-negeri Melayu Bersekutu di bawah kuasa residen jenderal, dinamakan Negeri-negeri Melayu Tidak Bersekutu (Unfederated Malay State). Pada tahun-tahun 1920-an dan 1930-an Inggris mencoba menggabungkan seluruh negeri-negeri Melayu, tetapi usaha ini gagal.
Hakikatnya Inggris berhasil menguasai seluruh Tanah Melayu melalui sistem residen atau secara indirect rule, namun Inggris masih belum puas. Untuk menyempurnakan impiannya mengambil kuasa secara de jure atas seluruh negeri-negeri Melayu, Inggris mengutus Harold MacMichael pada tahun 1946 untuk meminta raja-raja Melayu menyerahkan kuasa penuh mereka kepada Inggris, dan bersatu di bawah konstitusi Malayan Union.
Malayan Union ini mendapat tantangan di kalangan orang-orang Melayu yang membentuk UMNO. Sebagai gantinya lahirlah Persekutuan atau Federasi Tanah Melayu pada tahun 1948. di kalangan orang-orang Melayu, terutama UMNO, pembentukan persekutuan ini dianggap sebagai kejayaan mereka, karena dapat mengembalikan kedaulatan raja-raja Melayu di negeri masing-masing. Persekutuan memegang kuasa-kuasa tertentu, namun kuasa negeri atau sultan tetap kekal dalam beberapa hal.
Jelaslah kolonialisme mendapat kuasanya secara kekerasan dan paksaan. Untuk melicinkan pemerintahan dibentuk federalisme. Di samping kolonialisme dan federalisme, penjajah memperkenalkan demokrasi di Tanah Melayu. Dalam sejarah politik Malaysia, sistem demokrasi dikatakan bermula ketika diadakan pemilihan umum pertama kali di kawasan Kuala Lumpur pada Februari 1952. Sebanyak 12 kursi dipertandingkan, atau diperebutkan, dan yang ikut serta ialah gabungan UMNO-MCA dan Independence Party of Malaya (IMP).
Pasca pemilihan tingkat munisipal atau distrik ini, baru tahun 1955 Inggris mengadakan pemilihan umum pertama di Tanah Melayu. Dengan ini berarti pada tahun 1955 Persekutuan Tanah Melayu dianggap mulai menjadi negara yang memerintah sendiri, dengan sistem demokrasi parlementer. Inggris telah menyiapkan asas-asas politik dan pemerintahan yang kokoh dengan tercapainya kemerdekaan pada 31 Agustus 1957. Sistem federalisme telah diluaskan pada tahun 1963 dengan dilahirkan Malaysia, yang meliputi Tanah Melayu, Sabah, Sarawak dan Singapura.
Pada tanggal 31 Agustus 1957 Federasi Malaya dinyatakan sebagai negara yang merdeka dan terbentuknya pemerintahan federal di bawah pimpinan Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman Putra al-Haj setelah memenangkan pemilu yang diadakan sebelumnya. Ia merupakan Ketua UMNO yang menggantikan Datuk Onn bin Jafar yang memenangkan Pemilu 1957 dengan melakukan aliansi dengan partai kelompok Cina (MCA) dan partai kelompok India (MIC) dengan meraih suara secara bersama 81,7 persen. Mulai tanggal 16 September 1963 Federasi Malaya itu diperluas dengan nama federasi Malaysia, yaitu dengan memasukkan Sabah, Sarawak dan Singapura, yang kemudian keluar pada tahun 1965 dan berdiri sendiri sebagai negara Singapura yang merdeka.
AWAS, ANCAMAN NEGERI JIRAN!
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Konsep negara kepulauan dilahirkan dari Deklarasi Djuanda. Awalnya sempat ditentang banyak negara. Kedaulatan laut Indonesia diperoleh melalui jalan panjang. Mulanya, perundingan Belanda-Indonesia melalui Perjanjian Linggarjati, 10 November 1946, secara de facto hanya mengakui wilayah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. Hasil perjanjian Renville, 17 januari 1948, Belanda dinyatakan berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia. Kedaulatan ini pada Konferensi meja Bundar, yang menghasilkan Piagam penyerahan Kedaulatan 27 Desember 1949, diwujudkan dalam satu negara, yakni republik Indonesia Serikat. Problem kedaulatan di laut mulai terasa, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia tegak kembali menggantikan RIS, 17 Agustus 1950.
Berdasarkan aturan Hindia belanda, yakni Ordonansi Lautan Territorior dan Lingkungan Laut Larangan (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie) tahun 1939, dinyatakan lebar laut teritorial Hindia Belanda adalah 3 mil laut atau sekitar 5,5 kilometer. Dengan laut teritorial seperti itu, ribuan pulau-pulau di Indonesia saling terpisah. Ini membahayakan pengamanan negara dan menyulitkan pengaturan di bidang pabean.
Karena alasan keamanan itu, Kabinet Ali Sastroamidjojo kedua (24 Maret 1956-14 maret 1957) memandang perlu adanya terobosan baru di bidang hukum laut. Dibentuklah Tim Interdepartemen Pembaharuan Hukum Laut. Kabinet Djuanda, pengganti Kabinet Ali II, kemudian menyempurnakan tim beranggotakan belasan orang tersebut. Antara lain dengan memasukkan nama Mochtar Kusumaatmadja seorang master hukum lulusan Yale University di Amerika.
Pada tahun 1957, berlangsung persiapan rangkaian sidang International Law Comission, sebuah organ PBB untuk membuat Konvensi Hukum Laut. Sebagian anggota Tim Interdepartemen itu diangkat menjadi anggota delegasi. Konsep negara kepulauan menjadi jualan delegasi Indonesia. Sebuah terobosan baru. Langkah pertama Indonesia mengajukan usul pembahasan konsep negara kepulauan (archipelagic state) pada Sidang umum PBB tahun itu diterima dan dimasukkan dalam naskah (draft articles) ILC. Momentum ini segera diraih Djuanda untuk mengumukan secara sepihak berlakunya hukum laut baru di Indonesia.
Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 ini kemudian dikenal luas sebagai deklarasi Djuanda. Ini langkah politik berani karena konsep hukum baru itu, sebenarnya belum berlaku secara internasional. Putaran sidang Konvensi Hukum Laut jenewa itu sendiri baru dimulai tahun 1958. Deklarasi Djuanda memberlakukan lebar laut teritorial sepanjang 12 mil (22,2 kilometer) dari titik surut terendah. Selain itu, laut pedalaman antarpulau harus dianggap sebagai satu kedaulatan wilayah itu.
Deklarasi Djuanda mendapat reaksi keras dunia internasional. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan Selandia Baru tidak mengakui klaim Indonesia. Hanya lima negara anggota PBB saja yang mendukung. Negara besar yang mendukung Cuma Uni Soviet dan republik Rakyat Cina. Selebihnya tiga negara kecil di Amerika Latin. Namun, Indonesia tak gentar. Konsep negara kepulauan yang diadopsi dari konsep akademis hukum kepulauan (archipelago) kajian Universitas Harvard dan International Law Association tahun 1930-an ini, terus disorongkan. Konsep itu tidak jelas, karenanya tidak laku.
Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 menghasilkan empat konvensi yakni, yang mengatur laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan sumber daya hayati laut, landas kontinen, kemudian konvensi tentang laut lepas. Konsepsi negara kepulauan Indonesia akhirnya diterima dan menjadi kesepakatan internasional enam juga kilometer persegi laut milik Indonesia saat ini, sungguh tak terbayangkan pada masa awal merdeka.
Sebenarnya, lima belas tahun sebelum Deklarasi Djuanda 1957, telah terjadi suatu perdebatan para founding fathers dalam menentukan wilayah Indonesia. Di Gedung Tjuo Sang-in di Jalan Pejambon, Jakarta, 11 Juli 1945, dengan dibantu wakilnya, Raden Pandji Soeroso, dr KRT Radjiman Ketua Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI menyiapkan pemungutan suara untuk menentukan wilayah Indonesia Merdeka.
Tiga pilihan yang tersedia adalah, bekas Hindia Belanda, bekas wilayah Hindia Belanda ditambah malaya, Borneo Utara, papua, Timor Portugis dan kepulauan sekelilingnya, serta bekas wilayah Hindia belanda ditambah malaya dikurangi Papua Barat. Lalu komisi pemungutan suara beranggotakan R Otto iskandar Dinata, Abikoesno Tjokrosoejoso dan Johannes Latuharhary dibentuk. Pemungutan suara pun dilakukan. Dan ternyata, dalam rapat 11 Juli 1945 itu, 39 orang dari 66 anggota BPUPKI memilih opsi kedua, sementara 19 orang memilih opsi pertama, 6 orang memilih opsi ketiga, dan seorang memilih blangko.
Maka di tengah hari itu pula diputuskan bahwa wilayah Indonesia Merdeka adalah bekas jajahan Hindia Belanda, ditambah Malaya, Borneo Utara, papua, Timor Portugis dan pulau-pulau di sekelilingnya. Namun, keputusan ini tidak dimasukkan dalam naskah Undang Undang dasar yang mereka rancang. Rupanya harapan untuk merengkuh Malaya ke pangkuan republik Indonesia tak pernah berhasil. Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kekuasaan jepang telah punah, sementara pasukan Inggris sudah kembali menancapkan kekuasaannya di Semenanjung Malaya. Kesibukan Republik Indonesia dalam menghadapi agresi militer Belanda dan upaya pemimpin kaum Melayu dalam mengakomodasi janji kemerdekaan Inggris akhirnya semakin merenggangkan hubungan antara kedua negeri.
Keinginan agar kedua negeri serumpun itu bersatu sebenarnya masih terus bersemi pada tahun 1960-an. Brunei dan Sarawak pun pernah menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan Indonesia. Sayang, politik konfrontasi Presiden Sukarno pada akhir masa kepemimpinannya justru meruntuhkan semua cita-cita yang pernah didukungnya itu.
Sementara, salah seorang founding fathers, Muhammad Yamin, dengan prinsip negara yang utuh, ia membuat konsep lima daerah yang akan menjadi wilayah Indonesia merdeka. Kelima daerah itu adalah daerah bekas jajahan Hindia Belanda, yakni Sumatera, Jawa, sebagian Borneo, Selebes, Sunda Kecil, Maluku, dan pulau-pulau di sekelilingnya. Daerah peperangan istimewa, yakni Tarakan, Morotai, Papua dan Halmahera. Daerah Timor Portugis dan Borneo Utara. Semenanjung Malaya dengan pulau-pulau di sekelilingnya. Daerah Malaya yang empat, yakni Terengganu, kelantan, kedah, dan Perlis. Tanah Malaya dan daerah yang empat di semenanjung itu ialah tanah Indonesia asli dan penduduk aslinya adalah bangsa Indonesia sejatinya, ujar Yamin.
Untuk memperkuat pendapatnya, Yamin menyitir kitab Negarakertagama. Namun Hatta berpendapat bahwa batas-batas Indonesia tidak lebih dari bekas jajahan Hindia Belanda. Mengenai wilayah Malaya, Hatta menyarankan agar Indonesia menyerahkan keputusan itu kepada rakyat Malaya. Ia meminta agar para koleganya yang semagatnya berkobar-kobar jangan sampai menganjurkan politik imperialisme.
Sukarno pernah membantah bahwa dalam pikirannya tebersit nafsu imperialisme. Ia menjelaskan, selama 25 tahun berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, ia tak pernah menuntut bahwa Indonesia hanyalah Hindia Belanda. Ia mengaku pernah bercita-cita tentang Pan Indonesia, yang meliputi Malaya, Papua, dan bahkan Filipina. Ia pun tidak setuju jika penentuan wilayah Indonesia dibicarakan dengan Belanda maupun Inggris. Sebab, seluruh Kepulauan Indonesia, Malaya, Borneo Utara, Papua, dan Timor Timur telah berada di tangan Dai Nippon. Tangan dai Nippon itulah, demikian Bung Karno muda, yang akan menentukan pula, apa yang akan menjadi daerah negara Indonesia itu nanti.
Ironisnya, pulau-pulau perbatasan Indonesia yang diperjuangkan para pendiri bangsa itu kini lenyap satu persatu. Pulau Sipadan dan Ligitan telah menjadi milik malaysia, perairan Ambalat tengah terancam. Sementara itu Pulau Nipah di Riau nyaris tenggelam akibat reklamasi di Singapura, dan Pulau Miangas di utara Sulawesi kini banyak dihuni warga Filipina. Sesungguhnya Indonesia sudah sejak 1957 mempunyai visi kelautan tersendiri dalam wadah Negara Nusantara, dan secara berangsur-angsur memperjuangkan dan mengimplementasikannya di dalam negeri, di kawasan sekitar maupun di dunia ternasional. Indonesia kemudian telah pula mengembangkan suatu konsepsi pembangunan yang didasarkan kepada Kesatuan Nusantara.
Kini, tamsil Abdoel Kahar Moezakkir salah seorang founding fathers lainnya, terasa tepat dan mengena. Pada 10 Juli 1945, ia sempat menganalogikan wilayah negara dengan halaman rumah. Menurut dia, ketika halaman rumah ditetapkan, yang terpenting adalah bagaimana mempertahankan halaman itu. Rupanya, halaman rumah itu pagarnya kurang tangguh. Kini malah terancam keropos.
Minggu, 27 September 2009
SINGKAWANG: KOTA AMOY YANG KEHILANGAN AMOY
Nestapa Amoy Indonesia di Tanah Formosa
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Kota Amoy julukan yang diberikan untuk Singkawang, Kalimantan Barat, tidak hanya memberikan arti gudangnya gadis Cina yang cantik. Tetapi juga menyiratkan kesan Kota Indonesia berciri Cina. Cap Cina yang melekat pada Kota Singkawang memang punya sejarah panjang. Kehadiran orang-orang Cina di daerah itu bermula sejak berabad-abad yang silam. Namun yang lebih mempengaruhi perkembangan Singkawang adalah migrasi besar-besaran pada awal bad XVIII.
Mereka kemudian melewati perjalanan sejarah yang panjang dan berlikut, sampai akhirnya adalah migran-migran Cina yang bekerja di pertambangan emas dan intan di Montrado yang membangun Korta Singkawang yang semula dimaksudkan sebagai daerah peristirahatan. Setelah berjaya di Montrado, mereka dikalahkan oleh Belanda lewat pertempuran yang sengit. Orang-orang Cina kembali bertani dan berdagang di Singkawang, kemudian membentuk komunitas Cina yang dominan. Sekarang, keturunan Cina merupakan mayoritas. Anehnya, kaum mudanya, khususnya para Amoy Singkawang, malah tak betah berlama-lama di kampung halamannnya itu.
Ke mana perginnya Amoy Singkawang, dan mengapa dari Singkawang mereka mencari cinta, merupakan dua sudut pandangan yang cukup unik. Singkawang tidak hanya terkenal karena keramik. Kemunculan gejala lain mulanya, Amoy di kota tepian pantai di Kalimantan Barat ini, bahkan sampai belakangan masih sibuk pula menjual cinta kepada lelaki khususnya dari Pulau Formosa. Dan para lelaki Taiwan yang mencari cinta banyak yang bergairah untuk memperistri Amoy dari Singkawang. Alasannya, praktis dan biayanya murah.
Ternyata, masalah perkawinan yang selama ini dikategorikan sebagai isu personal, bukanlah semata sebuah isu personal. Melainkan, juga sebuah isu sosial politis, di tingkat negara maupun dalam hubungan antarnegara. Sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, perkawinan antara perempuan Indonesia, Amoy Singkawang, dan laki-laki Taiwan ternyata hadir sebagai sebuah konsekuensi logis dari sistem dunia yang diwarnai oleh bau kapitalisme.
Karena adanya demand dan suplly dengan logika kapitalisme itu, telah dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai lahan bisnis dengan modus perkawinan transnasional (baca: pengantin pesanan) dengan menjadi perantara dalam modus perkawinan tersebut. Pada akhirnyua, perkawinan itu adalah wujud dari metode perdagangan perempuan, trafficking in women, yang sangat merugikan para Amoy itu sendiri. Para Amoy Singkawang pasca pernikahan tetap menempati posisi subordinat, baik di tingkat relasi personal, antara Amoy dan lelaki Taiwan atau pun pria Hongkong yang mempersuntingnya, dengan keluarga dan negaranya, maupun dengan negara yang ditujunya.
Budak Terselubung Percikan Budaya
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Seperti pada kebanyakan kasus perkawinan transnasional yang ditemukan, sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki Taiwan yang menikah dengan perempuan luar negeri asal Indonesia, yang disebut Amoy, adalah mereka yang di dalam pasar perkawinan dalam negeri Taiwan dikategorikan sebagai laki-laki tanpa masa depan. Kelompok ini lahir sebagai dampak dari perkembangan perekonomian Taiwan yang mengedepankan industri dengan strategi substitusi impor dan orientasi ekspor. Mereka adalah para petani yang mengalami pemiskinan akibat kebijakan pemerintah yang menguntungkan industri dengan cara mempertahankan harga jual yang murah untuk hasil pertanian sementara alat-alat produksi pertanian hasil industri dijual dengan sangat mahal. Dengan tetap bertahan di desa, mereka hidup dalam kondisi ekonomi yang buruk.
Kondisi yang tidak menguntungkan di pedesaan menyebabkan banyak laki-laki yang kemudian tertarik untuk memasuki pasar tenaga kerja untuk industri. Tetapi, para buruh juga mengalami pemiskinan karena pemerintah Taiwan memiliki kebutuhan untuk tetap menekan upah buruh agar tidak meningkatkan biaya produksi sehingga produk yang dihasilkan mempunyai nilai kompetitif di pasar global. Akibatnya, kondisi ekonomi buruh pun hanya sedikit relatif lebih baik daripada kelompok petani.
Sebagai kelompok yang tidak memiliki masa depan dalam bursa perkawinan dalam negeri, sementara kebutuhan untuk membangun rumah tangga adalah mendesak, maka mereka kemudian didorong untuk melirik perempuan dari luar negeri. Meskipun demikian, masih ada harapan bahwa perempuan yang dipersunting memiliki kesamaan budaya, yaitu Hoklo ataupun Hakka.
Dengan kebutuhan untuk menemukan pasangan hidup, laki-laki Taiwan, yang selanjutnya disebut klien, kemudian klien mencari pihak yang dapat membantu mereka. Pihak ini disebut perantara. Pada perkembangannya, perantara dapat pula menawarkan jasanya kepada para laki-laki Taiwan yang potensial untuk menjadi klien. Tetapi tentunya jasa perantara ini tidak Cuma-Cuma.
Setiap perantara akan menutupi kenyataan bahwa mereka memperoleh nafkah dari perkawinan Indonesia-Taiwan. Tidak ada perantara yang bekerja sendiri. Sedikitnya da tiga peran yang dimainkan oleh perantara yang berbeda. Pertama, perantara berfungsi sebagai pencari klien di Taiwan. Klien terutama diperoleh dari hubungan interpersonal yang sudah dibangun, misalnya dari klien laki-laki maupun perempuan yang pernah berhubungan dengan perantara tersebut. Kedua adalah yang berperan mengumpulkan perempuan-perempuan yang bersedia menjadi pengantin perempuan ke Taiwan. Pencarian ini bisa sampai ke pelosok daerah. Ketiga adalah mengurus seluruh dokumen yang dibutuhkan oleh pihak perempuan setelah perkawinannya untuk pindah ke Taiwan.
Dengan ketiga tugas ini, memang sulit bagi seseorang perantara untuk bekerja sendiri. Biasanya, terdapat orang yang berbeda untuk setiap tugas tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya perangkapan tugas. Keluarga lain juga dilibatkan dalam mencari calon pengantin perempuan, para Amoy, meskipun ia juga dibantu oleh orang lain dalam pengumpulan calon pengantin tersebut.
Mempertimbangkan kebutuhan untuk membuat klien puas, usaha untuk mencari pengantin perempuan atau Amoy biasanya dilakukan oleh banyak orang, sebutlah hunter. Hal ini dimaksudkan agar klien memperoleh beberapa pilihan calon pengantin. Untuk setiap hunter yang temuannya tersebut kemudian disunting oleh klien akan menerima 300.000 sampai 500.000 rupiah.
Laki-laki Taiwan masih menaruh harapan bahwa Amoy atau perempuan yang dipersunting memiliki kesamaan budaya, yaitu Hoklo ataupun Hakka yang kebanyakan dijumpai di Singkawang. Itulah sebabnya Indoneia menjadi salah satu rujukan untuk menemukan pengantin perempuan karena pada awal abad XIX terjadi gelombang migrasi dari Cina Selatan menuju ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Di Indonesia, Kalimantan Barat adalah salah satu kantong keturunan Cina. Bahkan di Singkawang, tercatat 70 persen dari penduduknya adalah keturunan Cina, terutama dari subsuku Hakka.
Adanya kesamaan latar belakang budaya ini bisa mengecohkan. Secara sepintas terpikirkan bahwa sebuah perkawinan adalah hal yang sangat personal yang dilakukan oleh dua insan manusia. Dan adalah wajar bila perkawinan terjadi antara dua orang yang mengusung kebudayaan yang sama, sekalipun berbeda kewarganegaraannya. Namun, perkawinan antara Indonesia—Taiwan adalah hasil rekayasa. Tidak ada pertemuan yang hadir secara alamiah antara amoy perempuan Indonesia dan laki-laki Taiwan dalam perkawinan ini. Semuanya adalah buah dari jasa yang disediakan perantara. Dan untuk dapat menyewa jasa seorang perantara, klien harus membayar sejumlah uang sebesar NT$ 300.000-350.000 atau sekitar Rp 90-105 juta, bila dibandingkan NT$1 setara Rp 297,5 dalam kurs US$1 senilai Rp 8.500. Pembayaran ini sudah termasuk biaya perkenalan dengan pihak perempuan, pengurusan dokumen, biaya perkawinan dan kadangkala biaya transportasi pihak perempuan ke Taiwan.
Dari pembayaran ini, perantara pertama pencari klien akan mengambil sepertiga dari total pembayaran. Dua pertiga lagi diserahkan ke perantara kedua untuk melangsungkan segala proses yang dibutuhkan. Berbeda dengan mail order bride yang berkembang di negara barat, perantara untuk perkawinan Indonesia-Taiwan jarang menggunakan katalog pengantin perempuan, bahkan sama sekali belum menggunakan teknologi seperti video dan internet, kecuali belakangan terakhir ini.
Pihak laki-laki dengan demikian harus datang ke Indonesia untuk bertemu sendiri dengan para calon pengantin perempuan, para Amoy, untuk kemudian menentukan pilihannya. Tentunya pihak perantara tidak mau menanggung biaya transportasi klien untuk datang ke Indoneeia untuk mencegah biaya operasi yang terlalu besar serta kerugian yang mungkin ditimbulkan bila klien adalah seorang laki-laki pemilih sehingga tidak cukup hanya dengan satu kali kunjungan ke Indonesia. Karena biaya yang harus dikeluarkan untuk satu kali kunjungan cukup mahal, jarang ada klien yang kembali ke Taiwan dengan tangan hampa.
Setelah klien memberikan seluruh uang untuk keperluan perkawinan itu, perantara pertama akan mempersiapkan keberangkatan klien ke Indonesia. Perantara tersebut akan menghubungi mitranya di Indonesia untuk mempersiapkan akomodasi dan jadwal pertemuan dengan calon mempelai perempuan atau Amoy. Biasanya, setelah mendengar informasi keberadaan klien, perantara kedua di Indonesia akan menghubungi hunters untuk mulai mencari pengantin perempuan yang mendekati kriteria yang diinginkan oleh klien. Bila semua sudah siap, klien akan datang berkunjung ke Indonesia untuk memilih pasangannya.
Pertemuan antara klien dengan calon pengantin perempuan dapat dilakukan di Jakarta ataupun di Kalimantan Barat, baik di Pontianak maupun Singkawang. Untuk pertemuan ini, ada dua cara yang dapat diterapkan, terutama tergantung pada jumlah klien yang datang. Bila klien datang dalam rombongan besar, 5 sampai 8 orang, maka semua calon pengantin dikumpulkan di sebuah ruangan dan klien-klien akan datang ke ruangan tersebut. Setelah sedikit perkenalan tentang latar belakang masing-masing calon, seperti usia, pendidikan dan motif menjadi calon pengantin, klien akan memilih Amoy atau perempuan mana yang paling manrik hatinya pada saat itu. Selanjutnya klien dapat meminta Amoy tersebut untuk pindah ruangan dan wawancara lebih mendalam bisa dilanjutkan di sana.
Kedua adalah dengan mendatangkan calon pengantin satu persatu. Cara ini biasanya dilakukan bila klien tidak datang dalam rombongan besar. Wawancara akan dilakukan pada saat calon pengantin pere,mpuan datang dan dimulai dengan memperkenalkan latar belakang usia, pendidikan an silsilah keluarga calon pengantin perempan. Motivasi menjadi pengantin perempuan dan virginitas menempati urutan teratas dari tanya jawab yang dilakukan.
Setelah pertemuan pertama, bila ada calon yang berkenan di hati klien, maka Amoy atau perempuan lebih intensif akan dilakukan. Restoran atau tempat hiburan lainnya menjadi pilihan lokasi untuk pertemuan tersebut. Dari pertemuan ini diharapkan akan membantu klien untuk mengenal perempuan tersebut lebih lanjut. Bila hasil pertemuan ini positif, maka klien dapat menggandeng Amoy tersebut ke pelaminan. Dalam proses menentukan pilihan ini, keinginan klien menempati prioritas utama. Meskipun demikian, calon pengantin perempuan diberi kesempatan untuk menolak klien jika memang tidak sesuai dengan keinginannya. Tetapi penolakan itu jarang, bahkan hampir tidak pernah terjadi. Hal ini tidak terlepas dari kondisi awal Amoy yang sudah menyatakan kesediaannya untuk dipilih dan bukan pada posisi setara untuk memilih pasangan hidupnya.
Bila sudah menemukan pasangan, klien akan dipertemukan dengan orangtua Amoy untuk melakukan proses peminangan. Dalam proses peminangan, klien akan memberikan sejumlah uang atau perhiasan kepada orangtua klien sebagai mahar atau emas kawin, biasanya berkisar 2 hingga 4 juta rupiah. Kemudian pesta perkawinan sederhana pun dilangsungkan. Setelah klien menentukan pilihan, perantara akan mempersiapkan paspor bagi pengantin perempuan. Karena itu, segera setelah perkawinan, pihak perempuan atau Amoy sudah menggenggam paspor atas namanya. Perantara pula yang mengurus segala dokumen lain yang dibutuhkan untuk paspor tersebut, misalnya akte kelahiran. Untuk mempercepat proses, mereka sudah mempersiapkan sejumlah uang pelicin atau kolusi dan nepotisme selain membangun relasi yang baik dengan petugas-petugas yang harus dihadapinya.
Dokumen lain yang harus dipersiapkan adalah akte perkawinan. Dokumen ini diperoleh dengan mencatatkan perkawinan tersebut ke catatan sipil. Keanehan biasanya akan berlangsung di sini saat ditanyakan kedua mempelai apakah mereka saling mencintai satu sama lain dan benar-benar bersedia untuk menikah. Dalam sebuah proses perkenalan yang tidak lebih dari 3-4 hari dan tidak berlangsung secara alamiah, tentu sulit bagi seseorang untuk mengatakan apakah benar-benar mencintai pasangannya itu. Apalagi bila perempuan tersebut masih sangat muda menikah dengan laki-laki yang sama sekali asing dalam kehidupannya dan bersuai dua kali lipat atau lebih dari dirinya sendiri. Sementara itu, pertanyaan tersebut sudah seperti formalitas saja untuk mendapatkan jawaban dari pihak mempelai bahwa mereka tidak menikah atas tekanan dari siapa pun.
Setelah seluruh dokumen yang dibutuhkan dari daerah asal perempuan di Kalimantan Barat selesai, pasangan ini kembali ke Jakarta untuk mendaftarkan diri Taipei Economy and Trade Office, Teto. Teto adalah institusi pemerintah Taiwan di Indonesia yang memiliki kewenangan untuk memberikan visa. Untuk memperleh visa, pasangan tersebut akan diwawancarai oleh petugas Teto. Bila mereka lulus wawancara maka Amoy atau perempuan tersebut dapat pergi ke Taiwan untuk bergabung dengan suami dan keluarga suaminya itu. Karena seluruh dokumen yang dibutuhkan adalah asli, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya pemalsuan misalnya tentang usia dalam dokumen tersebut maka kedua mempelai tidak menghadapi banyak kesulitan hukum dalam aplikasi visa ini, kecuali dari petugas Teto sendiri.
Dari pekerjaannya ini, perantara akan memperoleh keuntungan bersih berkisar dari 3-7 juta rupiah dari setiap perkawinan yang berlangsung tergantung pada posisi yang mereka mainkan. Mereka merasa dirinya mendapat keuntungan lebih karena klien-klien perempuan yang diperolehnya juga akan sekaligus bekerja di pabrik dengan upah yang relatif murah. Sebuah investasi jangka panjang dalam penafsiran mereka tersebut.
Tanggung jawab perantara secara otomatis akan berakhir setelah Amoy atau perempuan tersebut tiba di Taiwan. Perantara tidak bertanggung jawab seandainya klien laki-laki adalah seorang yang abusive, penipuan lewat perkawinan untuk mempekerjakan perempuan atau Amoy sebagai pekerja seks, pemabuk, penjudi atau bahkan bila terjadi kasus penjualan kembali Amoy tersebut di Taiwan, sebagai seorang pekerja seks sekalipun. Bagi mereka, segala hal dalam rumah tangga tersebut dikembalikan pada peruntungan nasib Amoy atau perempuan itu. Dan pihak perempuan atau Amoy dan orangtua dari perempuan tersebut juga tidak akan menyalahkan perantara bila terjadi hal yang buruk dalam perkawinan itu.
Masalah lain yang muncul dalam perkawinan ini berasal dari tradisi keluarga besar yang dalam budaya Cina, atau Asia pada umumnya. Dalam tradisi ini seorang anak perempuan dan menantu harus berbakti kepada keluarganya atau keluarga suami. Karena itu, seorang menantu harus bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan segala kebutuhan keluarga besar tersebut, mengurus kebersihan rumah, memasak, mencuci dan lain sebagainya, termasuk bercocok tanam bila suami dan keluarganya menggantungkan nafkah di bidang pertanian dan perkebunan. Tugas ini akan memakan waktu yang panjang sehingga para Amoy atau perempuan ini baru dapat beristirahat pada larut malam. Kondisi ini menyebabkan mereka menjadi budak terselubung dalam keluarga tersebut akibat ikatan perkawinannya.
Tetapi sebagai pengusung kebudayaan yang sama, pada banyak kasus, perempuan merasa wajar dan pasrah menerima keadaan ini. Bahwa segala kemarahan dari pihak mertua adalah hal yang wajar dan patut diterima untuk dapat memahami dan menjadi bagian dari keluarga suami. Demikian pula dengan sifat suami dari Amoy yang suka minum minuman beralkohol yang dipandang sudah menjadi bagian dalam budaya Cina.
Pengantin Orderan
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Pernikahan biasanya memang memberikan sekantung impian. Namun, mimpi punya dua sudut. Indah atau buruk. Di Singkawang, Kalimantan Barat, sudut-sudutt itu menampilkan wajah tajamnya. Pengantin pesanan berawal dari kunjungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Taiwan ke Kalimantan Barat pada 1980. Muhibah itu diteruskan dengan mengunjungi Singkawang. Jarak Pontianak ke Singkawang sekitar 145 Km arah utara. Untuk mempererat hubungan itu, dilakukan juga dengan cara pernikahan.
Mereka menganggap pernikahan merupakan salah satu cara, untuk mengikat kembali tali persaudaraan. Masyarakat Singkawang percaya, mereka satu leluhur dengan masyarakat Taiwan. Sama-sama dari China Daratan Tiongkok. Pada perkembangannya, pengantin pesanan yang merupakan simbol peningkatan hubungan kekerabatan, dijadikan alat mendapatkan keuntungan oleh sebagian orang. Mereka memanfaatkan rendahnya tingkat pendidikan, sumber pendapatan keluarga, ketidaktahuan hak dan informasi, gaya hidup konsumtif, ketidakadilan gender atau kuatnya budaya patriakhi dalam keluarga dan masyarakat. Rendahnya kesadaran terhadap nilai anak, serta faktor-faktor lain yang merupakan titik lemah ketahanan keluarga dan masyarakat, menjadi sasaran para calo mendekati para orang tua untuk merestui menikahkan anaknya.
Ada pola tertentu pada pengantin pesanan. Pada era 1980-an, biasanya perempuan datang ke Taiwan. Begitu sampai di Taiwan, sudah ada penghubung yang mempertemukan Amoy dengan pria Taiwan. Pada 1990-an, pria Taiwan datang langsung ke Kalimantan Barat, untuk mencari perempuan atau Amoy Singkawang. Bahkan, ada yang datang bersama orang tuanya. Pada 2000-an, perkawinan sudah menjadi ajang bisnis. Dan merupakan salah satu cara, mencari dan menggeruk uang. Banyak kasus, perempuan yang sudah kawin, balik ke Singkawang. Tentunya, setelah mereka mendapatkan berbagai uang dan barang.
Berbagai sebab dan adanya orang yang menggunakan hal itu, calo, untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, membuat praktik pengantin pesanan bisa terjadi. Para calo masuk ke desa miskin di pedalaman Singkawang. Mereka mencari perempuan usia muda dan hidup miskin. Para calo itu membujuk dan menawarkan menikah dengan warga negara Taiwan. Imbalannya, tentu saja merubah nasib dan mencari kehidupan lebih baik.
Mereka juga menawarkan jasa sebagai biro jodoh, dan membuat paket perkawinan. Yang memudahkan calon pengantin melaksanakan perkawinan. Amoy biasanya menuruti segala syarat yang diajukan calo. Terutama dalam pengurusan dokumen dan berbagai surat. Biasanya segala data mengenai usia bakal dimanipulasi. Hal itu dilakukan, karena Amoy biasanya masih sangat muda, dan berusia di bawah 18 tahun.
Tidak jarang, Amoy menolak dijodohkan dengan pengantin pria. Alasannya, pria bakal suaminya jauh lebih tua dari usianya. Ketika Amoy tidak mau dijodohkan, orang tua akan memaksanya. Dengan alasan berbakti pada orang tua, dan keinginan keluar dari kemiskinan, akhirnya Amoy akan menurut. Bila orang tua setuju, calo akan mengurus semua administrasi yang berhubungan dengan perkawinan. Dan persiapan pesta nikahnya. Semua biaya dan keperluan menikah, ditanggung pihak pengantin laki-laki.
Minimnya pendidikan Amoy, dan minimnya informasi terhadap calon pengantin pria, merupakan celah bagi masalah ini. Seharusnya, calon pengantin perempuan mendapatkan informasi yang benar. Sehingga bisa menjadi pertimbangan menentukan masa depannya. Menikah dengan siapa pun memang hak seseorang. Tapi, dia harus mendapatkan informasi yang jelas. Siapa calon pasangannya, bagaimana negara asal pasangannya dan lainnya.
Sebelum pernikahan berlangsung, biasanya yang datang fotonya ganteng-ganteng. Begitu acara nikah, ternyata orang tua. Hal itu tentu saja merupakan suatu penipuan. Yang dilakukan para calo. Faktor kemiskinan dan ketidaktahuan inilah, satu celah dan selalu dimanfaatkan calo. Namun ketika ada masalah dengan perkawinan itu, tidak ada yang bisa dimintai pendapat dan tanggung jawab. Biasanya bila terjadi masalah, Amoy tidak tahu haknya dan memilih diam. Tak jarang mereka balik ke Indonesia dan meninggalkan anak yang dilahirkan. Mereka memilih pisah dan cerai. Alasannya, mereka dieksploitasi secara fisik, psikis dan seksual.
Ada beberapa sebab, mengapa terjadi pengantin pesanan di Kalimantan Barat. Masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab utama pengantin pesanan. Atas nama merubah nasib dan ekonomi keluarga, seorang anak harus berbakti pada orang tua dan keluarga besarnya, dan menikah dengan pria Taiwan. Selain itu, keinginan menjalani kehidupan lebih baik, kesempatan ke luar negeri, penampilan lebih baik, pemilikan aset pribadi, tidak ingin menikah dengan pria lokal, dan atas nama cinta. Mereka juga ingin mendapatkan kehidupan lebih baik, dengan memiliki suami yang mencintai dan menghargai.
Faktor kedua, masalah persamaan budaya. Masyarakat Cina di Kalimantan Barat, mempunyai persamaan budaya dengan Taiwan. Persamaan budaya konfusianisme, buddisme dan pemujaan pada leluhur. Faktor itu secara tidak langsung, turut juga menyumbang pernikahan pesanan. Orang beranggapan, menikah dengan pria Taiwan merupakan penyatuan dan pertautan budaya.
Mengapa pria Taiwan memilih Amoy sebagai pasangan hidupnya? Orang Taiwan beranggapan, Amoy punya tipe setia, rajin dan ulet dalam membina keluarga. Selain itu, menikah dengan Amoy jauh lebih murah, dibandingkan menikah dengan perempuan Taiwan sendiri. Menikah dengan perempuan Taiwan, harus mempersiapkan rumah, mobil dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. Biaya nikah dengan perempuan Taiwan, bisa untuk mendapatkan 5—6 gadis Amoy dari Singkawang.
Dengan modal sekitar Rp 60 Juta, pria Taiwan sudah bisa mempersunting Amoy. Kurs mata uang Taiwan adalah Dollar Taiwan. Satu dollar U$ Amerika setara dengan 33 dolar Taiwan. Uang itu untuk mengurus berbagai surat pernikahan, biaya perjalanan dan penginapan pria Taiwan, selama berada di Indonesia. Pokoknya, pria Taiwan terima beres. Segala macam surat dari RT, kelurahan, paspor dan seluruh biaya perkawinan dengan uang itu. Bila ditotal semua, biaya mengurus semua keperluan itu sekitar Rp 17—20 Juta. Orang tua si Amoy diberi uang sekitar Rp 6 jutaan. Tak heran, bila dalam masalah pengantin pesanan, orang paling mendapat untung dari praktek ini adalah para calo.
Menikah dengan pria Taiwan merupakan cara paling mudah mengangkat harkat dan perekonomian keluarga. Kelak setelah menikah, Amoy bisa mengirimkan uang pada keluarga besarnya di kampung. Dengan kiriman uang itulah, mereka memperbaiki rumah dan modal usaha.
Pria Taiwan yang menikah dengan Amoy, biasanya dari kalangan menengah ke bawah, bila mereka hidup di perkotaan, biasanya dari kalangan cleaning service dan lainnya. Dari pedesaan, biasanya petani dan penggarap tanah. Wilayah pantai, biasanya dari kalangan nelayan. Kalaupun dari kalangan pegawai atau pemerintahan, adalah pensiunan dan berumur di atas 40 tahun.
Nestapa Perkawinan Seleluhur
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Kawin dengan pria Taiwan memang untung-untungan. Kalau mendapat pria baik, dan benar-benar untuk menikah, maka si Amoy akan dapat meningkatkan taraf hidup diri dan keluarganya. Tapi bila tidak beruntung, maka pengalaman buruk berupa pemukulan, atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kerap juga terjadi. Sebagai istri petani, Amoy harus merangkap sebagai pekerja pertanian, dan bekerja seharian penuh membantu keluarganya di kebun. Yang lebih parah, bila suaminya bekerja di sektor nelayan. Bila musim peceklik tiba, dan pria Taiwan tidak mampu membayar uang pinjamannya untuk kawin, maka istrinya akan diberdayakan. Entah, sebagai Penjaja Seks Komersial (PSK) atau apa, demi melunasi hutang sang suami. Yang agak beruntung, bila Amoy mendapat suami seorang tentara atau pegawai, karena mendapat gaji setiap bulannya.
Selain itu, pengantin pesanan atau perkawinan seleluhur selalu rentan dengan masalah. Mereka mendapatkan status legal yang rendah. Hal ini tentu saja menyulitkan, dan sebuah ketidakpastian hak-hak legal. Terpencarnya komunitas Amoy, juga mempersulit koordinasi bila ada masalah. Kendala bahasa turut pula menyumbang permasalahan. Banyak dari Amoy tidak bisa berbahasa Mandarin. Di Kalimantan Barat, Pontianak dan Singkawang dan sekitarnya khususnya, biasanya mereka menggunakan bahasa Cina dengan dialek Khek dan Teochiu.
Menurut data Kementerian Dalam Negeri Taiwan dari 1987—2003, ada 240.837 pengantin asing yang masuk ke Taiwan dengan 93 persen pengantin perempuan. Dari Cina Daratan 57,8 persen dan Asia Tenggara 42,2 persen. Dari jumlah itu, pengantin pesanan dari Asia Tenggara, sebanyak 57,5 persen dari Vietnan, 23,2 persen dari Indonesia, 5,3 persen dari Thailand dan 5,3 persen dari Filipina. Sisanya dari Korea dan lainnya.
Data dari Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC Melati), Forum Komunikasi Etnis Tionghoa (Foket) dan Majelis Adat Budaya Tionghoa (MBAT) Singkawang yang diterbitkan 1 Juli 2007, dijelaskan bahwa dari 1980 (hingga data terkini) sekitar 24 ribu warga Cina asal Singkawang dan sekitarnya berada di Negara Taiwan. Ditegaskan, 100 persen mereka melakukan perkawinan pesanan atau perkawinan seleluhur tersebut. Darinya, 60 persen dilaporkan dapat mengangkat derajat perekenomian keluarga mereka.
Perempuan atau Amoy yang kawin dengan pria Taiwan dan anak hasil perkawinan mereka, dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Mereka seringkali mendapat diskriminasi di masyarakat Taiwan. Mereka dianggap bisa membuat masalah sosial bagi Taiwan. Karena itulah, pada 2003, pemerintah Taiwan mengeluarkan kuota bagi perkawinan dengan Amoy dari Indonesia. Jumlahnya sekitar 2000 orang saja setiap tahunnya. Kuota itu diberlakukan, karena ada kekhawatiran, pernikahan bakal membawa masalah bagi negara Taiwan.
Faktanya, justru posisi perempuan atau Amoy inilah, berada pada titik rawan. Meski sudah melahirkan dan punya anak, sebelum 4 tahun, Amoy masih menjadi warga negara asing di Taiwan. Karenanya, mereka rentan dideportasi, bila dianggap melanggar peraturan dan berbuat salah. Ketika mengalami eksploitasi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau pun lari, mereka harus meninggalkan anak hasil perkawinannya.
Belakangan ini, pemerintah Taiwan melakukan new immigrations. Taiwan memberikan peluang bagi warga negara asing yang menikah dengan pria Taiwan, untuk belajar budaya, bahasa, adat istiadat, di suatu lembaga. Tak heran jika orang dari China Daratan, Vietnam, Indonesia (Singkawang dan Pontianak dan sekitarnya khususnya), Filipina, Thailand, Korea dan lainnya, mengisi fasilitas itu. Mereka belajar kebersamaan. Saling bercerita berbagai pengalaman dan mengatasi permasalahan.
Meski sering terjadi masalah pada pengantin pesanan, namun masalah ini jarang sekali muncul ke permukaan dan diketahui masyarakat luas. Ada beberapa faktor kesulitan dalam penanganan masalah pengantin pesanan itu. Salah satunya, ketertutupan pihak korban dan keluarganya. Mereka beranggapan, masalah itu merupakan aib keluarga. Karena itu harus ditutupi dan masyarakat tidak perlu mengetahuinya. Tak heran bila ada pihak luar ingin melakukan advokasi terhadap korban, malah dilarang. Korban dan keluarga besarnya tidak mau bicara.
Betapa tertutupnya keluarga korban yang rata-rata masyarakat Cina. Padahal ada yang mau membantu permasalahannya. Namun mereka malah tidak mau. Terkesan terlalu eksklusif. Sikap itu tidak serta merta muncul. Tentu ada latar belakangnya. Perlakuan diskriminatif yang acap dialami orang Cina di Indonesia, bukan semata-mata karena orang Indonesia bersikap rasis atau cemburu terhadap kemajuan ekonomi orang Cina. Bukan itu sebabnya.
Seandainya orang Cina memandang mereka sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, hendaknya duduk persoalan sebelumnya dikaji. Agaknya jika di antara mereka merasa ada sikap diskriminatif dari bumiputera, pada hakekatnya juga merupakan sebab dan akibat dari kecelakaan sejarah mereka di masa lalu. Sejak dulu orang Cina selalu memiliki orientasi sangat kuat ke negeri leluhurnya. Sikap ini menghalangi mereka untuk berasimilasi dengan masyarakat setempat. Kadang-kadang, chauvinisme di kalangan orang Cina begitu tinggi sehingga sebagian dari mereka memandang bangsanya lebih bermartabat dari berbagai suku bangsa lain di Indonesia. Chauvinisme ini merupakan hambatan psikologis orang Cina untuk berasimilasi dengan orang Indonesia.
Pada masa penjajahan, Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas. Pertama, Europeanean (Belanda). Kedua, Vremde Oosterlingen (Cina, Arab, India). Ketiga, Inlander (berbagai suku bangsa Bumiputera). Pada masa rezim pemerintahan Orde Lama, Sukarno, juga membuat kebijakan yang diskriminatif. Sukarno mengeluarkan PP Nomor 10/1959 berupa pelarangan bagi perdagangan kecil eceran yang bersifat asing di luar ibukota propinsi dan kabupaten-kota. Dengan peraturan ini, masyarakat Cina akhirnya mengumpul di satu wilayah saja.
Rezim Orde Baru, di mana masa ini tak kalah sengitnya. Berbagai perlakuan dan tindakan diskriminatif, termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Pemberlakuan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), bagi masyarakat Cina, merupakan cara dan salah satu bentuk paling diskriminatif yang pernah dilakukan. Atas nama SBKRI, berbagai segi kehidupan, baik secara ekonomis atau politis terpasung. SBKRI juga dilanggengkan oleh kalangan tertentu, untuk mengeruk upeti dan mendapatkan uang. Berbagai pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) atau dokumen, selalu dikenakan biaya tinggi bagi masyarakat Cina. Sejarah itulah yang membuat masyarakat Cina jadi menutup diri dan eksklusif.
Selama sebelum belakangan ini, pemerintah Indonesia tidak menganggap serius permasalahan pengantin pesanan. Penanganannya tak pernah tuntas. Jaringannya terputus di berbagai tempat. Ada beberapa faktor bisa dilakukan, untuk memangkas masalah pengantin pesanan. Dalam pengurusan dokumen, seperti KTP atau paspor, pihak terkait harusnya lebih jeli. Misalnya, dengan menanyakan orang yang membuat paspor, sudah cukup umur atau belum. Apalagi, bila diketahui akan menikah dengan pria Taiwan. Selama ini pihak imigrasi seakan tidak punya gigi. Mereka beranggapan, secara administrasi hal itu sudah dilengkapi. Jadi tidak ada alasan untuk tidak memberikan paspor.
Selain itu, ada pendapat dari masyarakat, kenapa orang ingin menikah dan mencapai kebahagiaan, harus dihalangi. Ketika mengurus paspor, orang tua tentu mengetahui. Dan ini sebuah kesepakatan, dan mereka anggap bukan suatu pelanggaran. Berdasarkan data pihak imigrasi Singkawang, misalnya, ada kenaikan jumlah perempuan pencari paspor. Ada dua jenis paspor, 24 halaman berlaku 3 tahun, dan 48 halaman berlaku 5 tahun. Orang atau Amoy yang kawin dengan pria Taiwan, biasanya membuat paspor 48 halaman berlaku 5 tahun.
Bila pada 2004 pencari paspor 48 halaman berjumlah 1.819. pada 2005 meningkat menjadi 2.999. Namun jumlah pencari paspor 24 halaman menurun drastis. Jika 2004 berjumlah 9.060, pada 2005 menjadi 964. Begitupun dengan TKW yang mengajukan paspor. Bila pada 2004 berjumlah 1.127. pencari paspor pada 2005 menjadi 109 orang.
Berdasarkan data Pengadilan Negeri Singkawang, dari 1997—2003 saja, ada 170 kasus gugatan perceraian dengan suami dari Taiwan. Pengadilan digelar secara in absentia yaitu perstek atau tanpa kehadiran salah satu pihak. Acara itu disetujui, bila penggugat dapat mengemukakan alasannya secara tepat, dan pihak pengadilan menyetujuinya. Setelah perceraian, untuk mendapatkan hak perwalian dan pengasuhan anak juga terhalang.
Dalam hal terjadinya perkawinan wanita Indonesia dengan laki-laki asing, berdasarkan hukum Indonesia, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan itu ikut kewarganegaraan bapaknya. Dalam hal ibu ingin mendapat hak asuh terhadap anak yang masih di bawah umur, hanya mungkin dilakukan gugatan di Pengadilan Negeri di tempat perkawinannya dilakukan dan dicatat. Dan biasanya dilihat, apakah si ibu mempunyai kemampuan, dan penghasilan yang layak, untuk memungkinkan pemeliharaan si anak dalam masa pengasuhan. Tetapi persoalan hukumnya adalah, si anak itu tetap warga asing dan batas tinggal di Indonesia mempunyai batasan tertentu. Yang jika tidak dipenuhi syarat-syarat hukum sewaktu-waktu bisa dideportasi oleh aparat yang berwenang seperti imigrasi.
Peraturan hukum di Indonesia tidak memberikan ruang bagi perempuan yang menikah dengan warga negara asing, untuk memiliki hak asuh bagi anaknya. Sekalipun, pernikahan itu terjadi di Indonesia. Undang Undang Nomor 62 Tahun 1958 menyatakan bahwa perempuan yang menikah dengan orang asing, anak hasil perkawinan tersebut otomatis menjadi warga negara asing. Ketika anak berusia 17 tahun, ia baru dapat memilih kewarganegaraan mana yang diinginkan.
Banyak dari pasangan pengantin pesanan mendapat kebahagiaan. Tapi, tak sedikit mengalami masalah. Bahkan, ada yang telah meninggal, karena terkena virus HIV/AIDS. Mereka diperdagangkan menjadi PSK, ketika sampai di Taiwan. Ada yang diminta melayani satu keluarga, karena uang untuk mendapatkan Amoy diperoleh melalui patungan. Tak sedikit yang kehilangan jejak, karena tak ada kabar beritanya. Berita tentangnya tidak pernah terdengar, pihak keluarganya tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada uang untuk mencari informasi ke Taiwan.
Tak bisa dipungkiri memang. Pengantin pesanan atau perkawinan seleluhur ini telah menghadirkan fakta, adanya perdagangan manusia, tapi dibungkus melalui ritual perkawinan. Minimnya informasi awal sebelum perkawinan, membuat berbagai masalah muncul dikemudian hari. Repotnya, angka kasus itu tidak terlihat di permukaan. Keluarga perempuan atau Amoy menutup diri bila ada masalah. Jaringan calo juga tidak mau tanggung jawab, bila ada kasus yang terjadi.
Pada akhirnya, permasalahan pengantin pesanan atau perkawinan tidak normal, tak ubah seperti fenomena gunung es. Sedikit di permukaan, padahal sebenarnya besar sekali jumlahnya. Inilah sebuah nestapa perkawinan ilegal dengan pria seleluhur.
Di Singkawang Mencari Cinta
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Kehadiran awal orang-orang Cina ke Sambas tak lepas dari peran monarkhi Kesultanan Melayu Sambas. Atas undangan sultan Sambas, Omar Aqamaddin, pada 1750 terjadi semacam kolonisasi Cina ke mari. Mereka diundang bekerja di pertambangan emas di wilayah kekuasaan sultan dengan perjanjian bagi hasil penggalian emas dilakukan di Larah, dan meluas ke Montrado yang kini masuk administratif Samalantan Kabupaten Bengkayang.
Di bagian awal telah dijelaskan, keberadaan para imigran Cina sebagai penambang emas dan intan cukup besar. Sehingga membentuk beberapa kelompok pemukiman yang dikepalai seorang Kung Se, semacam ketua perserikatan kerja. Kemudian keberadaan kung se jadi sangat kuat dan dianggap berbahaya. Pada 1884, semua kung se pertambangan emas dan intan dibubarkan Belanda. Sejak itu, mereka pun beralih menjadi pedagang, petani, dan buruh kasar.
Tanah Singkawang mengandung unsur hara. Tak mengherankan, karena orang Cina itu terampil menjadi petani. Maka dalam waktu singkat Singkawang maju pesat. Pada 1834 di Singkawang sudah terdapat satu jalan utama membelah kota. Kini, sekitar tiga abad kemudian, Kota Singkawang sudah maju. Mayoritas penduduknya keturunan Cina. Pertokoan hampir semua dijaga kaum wanitanya, sedangkan kaum lelakinya hampir semua bekerja di lahan pertanian. Sisa peningalan, seperti vihara dan kelenteng, tetap berdiri kukuh.
Walau kemajuan terjadi, kemiskinan tetap saja melilit kehidupan warga keturunan Cina di sana dan sekitarnya. Kini mereka adalah generasi ke delapan dengan hitungan satu generasi 25 tahun. Mengkristalnya keturunan Cina ini di Singkawang, hal ini tak lepas dari peristiwa pada 1967, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa pemberontakan PKI dan PGRS/Paraku. Waktu peristiwa itu meletus, posisi keturunan Cina, konon pro Kuo Min Tang, berada di pedalaman dan dekat dengan perbatasan Sarawak yang berbau komunis. Supaya jangan tercemar, maka puluhan ribu jiwa orang Cina itu diungsikan ke Singkawang. Tapi, sebelumnya, di Singkawang memang sudah ada keturunan Cina. Dan kehadiran para pengungsi yang besar-besaran itu membuat keturunan Cina di sini bertambah banyak.
Akibat mengungsi, mereka memulai hidupnya dari nol kembali. Itu sebabnya di Singkawang orang Cina di segala lini ada, sebagai buruh kasar, buruh tani, buruh angkut, dan pembantu rumah tangga. Dari mulai strata bawah sampai atas ada di sana. Dari sekitar 70 persen atau sekitar 50.000 keturunan Cina warga Singkawang itu, 90 persen berasal dari sub-suku Khek. Sisanya, ada Tio Ciu, Hokkian, Hainan, dan lainnya. Suku Khek ini sangat rendah kelasnya. Daya pikirnya tinggi, Cuma karena sangat miskin, jadi kelihatan bodoh. Itu sebabnya suku lain memandang remeh suku Khek itu.
Pendidikan rendah dan miskin itu mungkin yang membuat para Amoy Singkawang dan sekitarnya tak betah tinggal. Entah faktor adanya hubungan famili, warga Singkawang ini, terutama Amoy-nya, senang merantau ke Taiwan dan Hong Kong. Dan Amoy-amoy Singkawang ini tergiur kepada lelaki Taiwan atau Hong Kong untuk pendamping hidupnya. Kecenderungan ini terus meningkat saban tahun. Amoy yang menikahi pria Taiwan itu rata-rata berpendidikan SD dan SMP. Malah ada yang buta huruf. Dan yang pasti mereka semua dari keluarga miskin.
Kalau Amoy yang berpendidikan sampai SMA, apalagi dari keluarga yang lumayan, dia pasti tidak mau. Ia malu dengan teman-temannya. Lebih baik ia ke Jakarta atau kawin dengan pemuda setempat. Diakui, memang ada juga Amoy berpendidikan SMA yang kawin demikian, tapi umumnya itu dari pedalaman. Apakah karena Singkawang atau Pemangkat tak menjanjikan apa-apa sehingga mereka memilih kabur. Konon, Pontianak dan Jakarta tidak pula menjanjikan hidup layak. Dan sekitar 20 tahun ini mereka tergiur kawin dengan pemuda Taiwan atau Hong Kong. Kedapatan, selama 20 tahunan itu perkawinan Amoy Singkawang dengan pria Taiwan adalah sebuah trend, menurut mereka, rezeki pun mengalir.
Tergiurnya lelaki Taiwan itu lantaran biaya perkawinannya murah dibandingkan dengan di negara asalnya. Hanya dengan, minimal 30-an juta, pemuda Taiwan sudah bisa membawa pulang Amoy Singkawang ke negeri Kepulauan Formosa itu. Menurut seorang cangkau (sebutan untuk calo) Amoy di Singkawang, biaya seorang pria yang kawin di Taiwan mencapai tiga kali lipat dari jumlah itu. Wanita Taiwan kalau mau dinikahi minta tiga syarat, diberi rumah sendiri, mobil sedan, dan kulkas.
Yang jelas, tiga syarat itu harus ada. Ini belum lagi mahar kawin, seperti perhiasan emas. Jika si lelaki Taiwan itu tak mampu memenuhi syarat itu, jangan harap wanitanya mau menikah. Wanita Taiwan hidupnya glamour, mereka lebih rela menjadi PSK atau pelavur daripada syarat kawin itu tak terpenuhi. Maka, di Taiwan sangat banyak dijumpai wanita berprofesi sebagai PSK atau pelacur. Selain itu, hidup wanita di sana pun bebas dan terikat pada karir. Di sana wanitanya bekerja semua, pokoknya apa saja dikerjakan, malah tenaga kerja di Taiwan masih kurang. Itu sebabnya dari Indonesia terus mengalir tenaga kerja wanita ke sana.
Secara yuridis trend perkawinan ini tak bisa dilarang, apalagi dicegah. Itu menyangkut soal hak asasi manusia. Cuma, yang mengkhawatirkan adalah soal implikasi politiknya. Kekhawatiran itu tentu sekali beralasan, sebab para Amoy tersebut menjadi warga negara Taiwan. Dan keluarganya yang masih menetap di Singkawang atau sekitarnya lambat laun pikirannya akan berubah. Perkawinan itu secara ekonomi dampaknya tentu positif. Diakui oleh sebuah sumber di Singkawang, dulu jika tak ada bisnis itu, maka warga keturunan Cina di sini sudah keok. Di sini mereka tidak tahu mau kerja apa, sangat miskin. Ini fakta. Mereka melihat dan menerima duit Rp 1 juta saja sudah gemetar. Itu sebabnya, perkawinan antara Amoy dan lelaki Taiwan direstui.
Dulu Amoy Singkawang kerja ke Taiwan, lantas mendapat jodoh. Kemudian terjadi pelarangan. Lantas pria Taiwan itu yang datang ke Singkawang mengambil si Amoy. Dan kemudian ada trend baru walaupun masih kecil, belakangan pria Taiwan justru yang tingal di Singkawang
Contohnya, ada pasangan yang sudah seatap dengan pria Taiwan. Si Amoy berusia 22 tahun dan pria Taiwan berusia sekitar 60 tahun. Mereka mengaku sudah menikah lima tahun lalu, tapi tak pernah ke Taiwan. Si Amoy mengatakan bukannya tidak pengin ke Taiwan, namun si pria Taiwan suaminya itu masih punya istri di tanah kelahirannya. Istrinya sudah tua, ungkap si Amoy tadi yang berpendidikan sampai kelas III SD itu. Sebelumnya, si Amoy bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Suatu hari, akunya, ia dikenalkan dengan pria tua Taiwan itu. Dia pun senang saja, katanya dia orang kaya, mereka pun kawin. Bahwa pria tua Taiwan itu kaya ternyata benar.
Kini, di Singkawang, Amoy tadi dan suaminya tinggal di rumah sendiri, dengan kelengkapan rumah tangga memadai. Tak hanya itu, kini dengan atas nama si Amoy, pria Taiwan itu sudah pula mendirikan 10 unit rumah toko. Satu unit diberikan kepada orang tua Amoy dan keluarganya. Sisanya dijual dan dikontrakkan. Dan semua itu sudah atas nama si Amoy.
Namun belakangan, dengan lugu si Amoy yang sudah disebut Nyonya ini bilang ia kawin atas dasar suka sama suka. Kini, dengan motif seperti ditempuh Amoy ini, dinilai perkawinanan para Amoy dengan pria Taiwan sebagai penolong keluarganya. Sedangkan pria tua Taiwan tadi tidak setiap hari bisa tinggal bersamanya. Jika habis visanya, ia pulang ke Taiwan, dan tak lama di sana datang lagi. Api asmara yang panas menggeledak membuatnya sulit memupus ingatannya dari Singkawang.
Tergiur Gemerincing Dollar Taiwan
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Perkawinan yang dipaksa bisa berakibat fatal. Setelah di Taiwan, misalnya, tidak senang sama suaminya, lantas kabur. Mereka telantar. Kondisi ini membuat mereka ada yang terjerumus ke dunia prostitusi. Pada posisi ini, mereka diperas germonya, dijadikan sarana pencari uang. Info yang dikumpulkan, 1993 pernah ditemukan sedikitnya 100 orang Amoy asal Singkawang yang telantar. Mereka dipulangkan ke Singkawang dan sekitarnya.
Sebenarnya mereka malu pulang. Karena malu, lalu mereka hijrah ke Batam berpraktek prostitusi. Kalau di daerah asalnya buka praktek malu, memang ada juga di sini tapi terselubung. Yang dari Batam, ada juga yang pulang setelah berhasil, kawin baik-baik di sini. Pernah ada kasus seorang Amoy remaja, sekitar 13 tahun, dipaksa orang tuanya kawin dengan warga Taiwan via cangkau. Persoalan bagi Amoy remaja muncul manakala menghadapi perilaku seksual pria Taiwan. Kasus ini sempat menghebohkan. Persoalan memang macam-macam. Tidak hanya setelah amoy-amoy itu berada di Taiwan.
Pada proses awal perjodohan pun ada. Peristiwa Tjang Lie Na beberapa tahun lalu misalnya menjadi bahan perbincangan yang hangat di Singkawang. Maklum, dan gara-gara peristiwa itu pula Lie Na tak mau lagi ke Taiwan ikut suaminya. Lebih baik bercerai, ungkapnya waktu itu, di Singkawang saja dianiaya, apalagi nanti di taiwan jauh dari orang tua, pikir dia.
Lain lagi kasus Bong Lie Cin. Amoy bunga Dusun Sentete Desa Sungai Raya pemangkat. Ia ketika itu baru menginjak usia 18 tahun. Suatu ketika rumahnya didatangi dua lelaki yang dikenalnya, sebut saja bernama A Sung seorang pengusaha hotel di pemangkat dan A Bun warga pemangkat yang kerap bolak-balik Jakarta—Singkawang. Dua pria ini agen yang berniat menjodohkan Lie Cin dengan Chang Kun Hung, warga Taiwan berusia 36 tahun.
Pria Taiwan itu menginap di hotel milik A Sung. Ia kerap ke salah satu salon menemui Lie Cin. Singkat kata, mereka pun menjadi akrab. Lewat jasa dua cangkau itu si pria Taiwan meminang Lie Cin. Pinangan diterima, diwakili Lim Kim Khiong abang Lie Cin. Perkawinan direstui asalkan syaratnya dipenuhi berupa uang tunai Rp 10 juta dan perhiasan emas 200 gram.
Sontak syarat tersebut dikabulkan Chang Kun Hung. Pesta perkawinan dilakukan, dan dilanjutkan ke Catatan Cipil dengan dibuatkan akta kawin. Setelah semua beres, mereka ke Jakarta, berbulan madu, sebelum terbang ke Taiwan. Di Jakarta, pasangan ini menginap di salah satu hotel di kawasan Pancoran. Entah bagaimana, Lie Cin mendadak hilang. Kun Hung panik, apalagi ia tidak bisa berbahasa Indonesia. Via telepon ia mengontak A Bun di pemangkat, melaporkan hilangnya Lie Cin. Dengan berantai, info tersebut sampai pada keluarga Lie Cin. Mereka juga kacau, kemudian melapor ke polres setempat. Dan Singkawang, bahkan Pontianak pun geger.
Dua minggu setelah hilang, Lie Cin muncul di pemangkat. Ditemani pengacaranya, lalu ia melapor ke polisi. Cerita pengacaranya, kliennya itu nekat lari karena diperlakukan tak layak sebagai istri. Selama menginap di Jakarta, segala biaya dibebankan kepada Lie Cin. Kun Hung tak mau tahu soal itu. Alasannya, ia tak punya uang rupiah. Sampai Lie Cin kehabisan uangnya. Lie Cin melarikan diri dan nekat memanggil taksi. Ternyata, sopir taksi itu punya kenalan orang Singkawang.
Berkat itulah ia bisa bertahan di Jakarta. Selain adanya keanehan perilaku Kun Hung, rupanya syarat perkawinan yang Rp 10 juta itu baru dilunasi Rp 1 juta. Sisanya, Rp 9 juta, diserahkan dalam bentuk tabungan. Ketika Lie Cin dikabarkan hilang, Kim Khiong abang Lie Cin berusaha mencairkan tabungan itu, ternyata tak bisa dicairkan. Rupanya tabungan itu masih atas nama Kun Hung, bagaimana mungkin bisa cair. Merasa ditipu, Lie Cin membatalkan perkawinannya.
Bukan hanya di Singkawang. Pada pria Taiwan pun menjajal beramai-ramai juga turun ke Jakarta. Seperti di Singkawang, di kota metropolis ini mereka pun sama, mencari perempuan di sana. Di Singkawang perempuan muda ini dikenal sebagai Amoy, maka di Jakarta, lebih populer diistilahkan dengan Cina Benteng. Tentu saja, gadis Cina Benteng itu untuk diperistri.
Dengan melibatkan molang, atau perantara, sebutan di Singkawang-nya cangkau, di sini mereka hanya perlu menyediakan dana sekitar Rp 5 Juta. Dengan merogoh kocek senilai itu, warga Taiwan itu pun sudah bisa menggaet gadis idaman dalam sebuah proses lamaran yang dinamakan sangjitan yang ringkas.
Seperti juga klasiknya di Singkawang dan sekitarnya, di komunitas Cina Benteng pun faktor kemelaratan menahun dan pendidikan yang terbatas membuat para gadisnya, terutama yang bermukim di Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, lebih memilih jalan pintas. Ada yang mujur, namun banyak sekali yang malang. Sebuah majalah berita ibukota beberapa waktu lalu pernah melaporkan. Dituliskan, ada foto pengantin yang terasa ganjil. Seorang pria paruh baya bersandingkan gadis belia yang dipoles riasan tebal. Pria bernama, sebut saja A Hian tersebut tampak berusaha terlihat mesra. Sedangkan si gadis, Amoy, hanya tersenyum datar. Bedak dan gincu tak kuasa menyembunyikan kemudaannya.
Diakui si Amoy ini, saat itu ia baru menginjak usia 13 tahun. Si Amoy dalam potret itu mengatakan, A Hian, pria Taiwan, sudah 50 tahun. Konon, kata si Amoy ini pria itu lebih tua dari ayahnya. Pernikahan mereka itu bukan sekedar pose kosong. Sebelum naik pelaminan, proses perkenalan hingga lamaran telah mereka jalani. Bedanya, semuanya dijalani secara instan lewat proses perjodohan atau chesaw.
Adalah, sebut saja Cin Lo, nenek si Amoy sendiri, yang mengenalkan dia kepada A Hian di sebuah hotel di kawasan Mangga Besar, Jakarta, pertengahan 2005. Bersama Amoy, waktu itu ada lima perempuan muda yang datang dengan maksud serupa, mereka datang untuk diseleksi A Hian. Belakangan, ternyata A Hian memilih si Amoy yang kemudian mengaku bernama, sebut saja, Keke.
Esoknya, proses lamaran atau sangjitan dilakukan. A Hian mendatangi rumah Amoy dan menyatakan niatnya meminang si gadis. Proses ini ditandai dengan penyerahan uang Rp 5 juta kepada calon mertua. Hari itu juga diadakan pesta makan di salah satu restoran dan diakhiri dengan potret pengantin di salah satu studio foto. Sejak itu, resmilah A Hian dan Amoy jadi suami-istri, konon, tanpa ke catatan sipil atau disahkan secara agama.
Akunya, tidak ada satu orang pun yang memaksa Amoy ini melakukan itu semua. Dia sendiri yang mengajukan diri. Kata dia, untuk membantu meringankan beban orang tua. Begitulah pengakuan polos Amoy yang tinggal di Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, itu. Kawasan ini memang dikenal juga sebagai salah satu sentra permukiman koloni Cina Benteng di Jakarta.
Amoy yang mengaku bernama Keke ini hanyalah salah satu contoh perkawinan ala sangjitan yang marak di komunitas Cina Benteng belakangan lalu. Nenek Amoy, yang kerap berperan sebagai molang atau perantara, mengaku bisa menjodohkan tiga pasang dalam sebulan. Di Kampung Belakang, ternyata bukan cuma Cin Lo yang menjadi molang.
Kedapatan, molang juga tak hanya ada di Kampung Belakang. Mereka ternyata masih punya atasan alias manajer operasi di Jakarta kota. Mereka inilah yang berhubungan dengan molang alias cangkau di Taiwan yang memegang kendali biro jodoh. Mereka biasanya orang Singkawang atau Medan yang sudah lama menikah dengan orang Taiwan. Beberapa perempuan Kampung Belakang mengaku rela menjalani perjodohan macam itu untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan yang sudah mendera mereka berabad-abad. Apa boleh buat, sudah lama komunitas masyarakat ini memang tak beruntung secara ekonomis.
Saat menyusuri Kampung Belakang, memang yang ada adalah pemandangan getir segera menyergap. Rumah kontrakan saling berimpitan dan hanya disekat gang sempit. Jika sebuah sepeda motor melintas, yang lain harus menunggu giliran lewat. Betapa sempit dan kumuhnya, begitulah yang sesegera dirasakan bila berada di sana.
Warga Kampung Belakang kebanyakan bekerja di sektor informal: tukang ojek, kuli, pemulung, buruh cuci, hingga pedagang nomor buntut. Sungguh bukan jenis pekerjaan yang menjanjikan pendapatan besar tentunya. Jangankan untuk mencukupi kebutuhan harian, konon diakui mereka untuk membayar kontrakan saja sering nunggak. Harga kontrakan di sana berkisar Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu per bulannya. Kemiskinan dan pendidikan yang rendah membuat gadis Kampung Belakang tak punya banyak pilihan. Mereka bagai putus harapan sampai kemudian merebak gejala perkawinan lewat perjodohan alias chesaw ala Taiwan ini. Perjodohan inilah yang kini menjadi salah satu cara sebagian perempuan muda atau Amoy Kampung Belakang yang ingin mengubah garis nasibnya.
Adalah, sebut saja Hwang Li Na alias Lina, yang menjadi awal cerita ini. Ayah Lina penarik ojek, dan ibunya berjualan nomor buntut. Tiba-tiba suatu hari ia dikenalkan dengan pria Taiwan bernama, sebut saja, Ie Sek. Singkat cerita, lelaki seberang dari Pulau Formosa itu pun tertarik dan terjadilah sangjitan. Saat itu, ia memberikan Rp 2,5 juta untuk orang tua Lina. Pesta pun digelar. Belakangan ini dikabarkan Lina hidup sejahtera di Kota Chiayi, Taiwan.
Sebagaimana juga di Singkawang, di Kampung Belakang di lingkungan Cina Benteng ini, sejak itulah chesaw dianggap sebagai jalan pintas untuk lolos dari jerat kenestapaan. Peluang ini akhirnya memunculkan molang seperti Cin Lo. Dia memulainya beberapa tahun lalu dengan menjodohkan anaknya sendiri, sebut saja, Lili dan Yeni, dengan orang Taiwan. Setelah itu banyak gadis datang kepadanya. Belakangan terakhir, kata dia, kian banyak orang menjadi molang. Wajar saja, untuk setiap perjodohan yang berhasil, molang akan mendapat fee Rp 3 juta. Sangat lumayan besar tentunya untuk ukuran Kampung Belakang ini.
Dia menambahkan tuturannya, order untuk melakukan perjodohan datang lewat telepon oleh atasannya di kawasan Jakarta Kota. Dia mengabarkan ada orang Taiwan yang akan turun mencari istri, ungkapnya berkisah. Maka, para molang segera berkeliling di Kampung Belakang mencari Amoy alias gadis muda yang bersedia dinikahi orang Taiwan. Kadang molang, seperti Cin Lo ini, sudah punya catatan perempuan yang bersedia dikawinkan.
Setelah itu, molang akan mengantarkan Amoy calon istri ke hotel di kawasan kota. Di sana biasanya sudah menunggu lima perempuan lain yang dibawa molang pesaing. Mereka lalu dipajang. Jika ada yang cocok, calon istri terpilih akan diberi tanda jadi Rp 1 juta untuk belanja persiapan sangjitan. Lalu keesokan harinya dimulailah proses sangjitan. Usai proses ini, kedua mempelai menginap di hotel bak suami-istri yang sah.
Sebenarnya, para molang ini sepenuhnya tahu bahwa perkawinan ini amat berisiko. Maka sejak awal mereka memasang radar untuk membaca karakter pria Taiwan yang turun itu. Kalau kelihatan kurang baik, tidak diizinkan untuk diteruskan, aku molang Cin Lo suatu ketika.
Perkara itu tampaknya bahkan lebih penting ketimbang soal absah-tidaknya perkawinan itu sendiri. Molang satu ini, Cin Lo, misalnya, beranggapan, meski tak bersandar pada agama, praktek itu menurutnya halal. Mereka, kata dia, tetap menikah meski tidak di depan Tuhan. Masih argumen dia, yang penting, adalah restu orang tua si Amoy alias gadis muda tersebut sudah didapat. Nampaknya, lagi juga cara ini adalah yang diminta oleh para pria Taiwan itu.
Untuk memuluskan kerjanya, molang lokal punya hubungan dengan biro jodoh di Taiwan. Biro inilah yang dipasrahi orang Taiwan untuk mengurus perjodohannya di Indonesia. Dengan 300 ribu NT atau the New Taiwan dollar, setara dengan Rp 84 juta di mana 1 NT sebanding Rp 280, maka mereka tak perlu pusing memikirkan biaya perjalanan dan akomodasi, uang sangjitan, dan angpau. Harga itu sudah termasuk untuk pengurusan surat nikah dan imigrasi.
Mengenai surat nikah, biasanya setelah berbulan madu di hotel, sang suami akan kembali ke Taiwan. Kelak, setelah enam bulan, pengantin wanita baru akan diboyong ke Taiwan setelah para calo kelar mengurus surat nikah dan administrasinya. Seperti di Singkawang yang diarasakan para Amoy yang sudah terjual pada pria Taiwan, dari sinilah bermacam kisah bisa terjadi. Tak jarang dengan berbagai alasan sang pria Taiwan tak kembali dan perkawinan batal begitu saja. Amoy Kampung Belakang, sebut saja bernama Keke adalah salah satu korbannya. Hingga belakangan, pak tua yang telah merenggut kegadisannya dulu tak terdengar lagi kabarberitanya.
Nasib A Cu alias Silvy di Singkawang, yang berusia 21 tahun, setali tiga uang juga. Ia sudah menjalani sangjitan dengan pria 65 tahun. Setelah setahun A Cu menunggu, pria gaek itu tak juga kunjung datang menjemputnya. Alhasil, kekecewaanlah yang belakangan ia rasakan. Tetapi itu hanya sebentar. Seorang anak buah kapal Taiwan berumur sekitar 56 tahun kemudian meminatinya.
Untuk mereka yang akhirnya jadi berangkat ke Taiwan, seribu kemungkinan juga menunggu. Cin Cin sebut saja begitu, mungkin bernasib mujur. Salah seorang perempuan itu beruntung mendapat suami dan keluarga baru yang menerimananya dengan baik. Pun begitu, selalu saja ada sisi kelam dalam sebuah kisah. Yanti, anak yang lain Cin Lo misalnya, kini terpaksa bekerja serabutan di Taiwan setelah bercerai dengan suaminya yang kerap menyiksanya.
Yanti alias Ango kini ia sering menemani para pria di tempat karoeke guna menutup biaya hidupnya yang tinggi. Sebuah elegi ketidakberuntungan juga menyergap Mely, yang terjebak dikawini pria Taiwan pengidap keterbelakangan mental.
Gejala perkawinan internasional pria Taiwan ini nampaknya memberikan sebuah benang merah. Modus yang terjadi, tidak hanya gadis alias Amoy dari Indonesia, khususnya Singkawang, Jakarta, Medan dan Batam, namun pria Taiwan juga suka mencari perempuan dari negara lain, terutama Vietnam. Fenomena ini marak karena perempuan terdidik Taiwan tidak kebelet nikah buru-buru. Alasan lain, konon pria Taiwan banyak yang tak mampu membayar mahar yang tinggi untuk mereka.
Entah alasan mana yang bisa dibenarkan. Suami Lian Mui, sebut saja begitu mengaku menikah dengan perempuan asing setelah perkawinannya dengan wanita setempat gagal. Dan, nampaknya, apa boleh buat, perkawinan sangjitan ini terasa kental aroma bisnisnya. Seribu resiko sudah disadari, tapi kemelaratan menahun menyaput semua itu, seperti diakui sejumlah Amoy yang konon mereka tak pernah merasa menyesali kegagalannya menggapai harapan ke Taiwan.
Alasan utamanya, mereka sudah sumpek di kampung kelahirannya. Menurut mereka, mereka hanya berharap kelak nasibnya lebih baik. Kegagalan yang pernah dirasakan umumnya tak membuat para Amoy keder untuk kembali ke Taiwan mengadu peruntungannya dengan pria Taiwan lain.
Nestapa Amoy di Formosa
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Disebut-sebut dIa adalah perempuan pertama dari Kampung Belakang, Kalideres, Jakarta Barat, yang kawin dengan pria Taiwan. Konon, keberuntungannya itu telah mengundang yang lain mengikuti jejaknya. Kabarnya ia datang ke Taman Kota Chiayi, Taiwan, itu diantar suami dan anak bungsunya mengendarai skuter. Sebut saja Diana, sekitar 26 tahun ketia itu, tampak segar dan modis. Celana jins ngepas di badan plus kaus merah membalut tubuhnya yang ramping. Bibir tipisnya disapu gincu warna pink. Lalu di hari yang cerah pada suatu hari beberapa tahun lalu, perempuan bernama asli Hwang Li Na ini menuturkan kisahnya kepada salah satu majalah ibukota.
diana, seperti pengakuannya, adalah perempuan Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, pertama yang kawin dengan pria Taiwan. Sepuluh tahun silam, dia atau Amoy satu ini menikah dengan seorang pria Taiwan pada usia yang sangat belia. Diana baru menginjak 16 tahun ketika itu. Sejak itu, bisnis begituan, ungkap dia dengan gaya bahasanya, mulai ramai.
Bisnis, begitu penyebutannya. Perkawinan Amoy Kampung Belakang dengan pria Taiwan memang sulit dibilang seperti perkawinan pada umumnya. Mereka saling tak kenal. Apalagi untuk dikatakan saling ada rasa cinta. Salah satu tujuan perkawinan itu tak lain adalah keluar dari jerat kemelaratan yang mendekap mereka selama berabad-abad lalu.
Orang tua Diana memang tidak beruntung. Papanya menarik ojek, dan sang ibu jualan nomor buntut. Suatu saat, persisnya 10 tahun lalu, Diana dikenalkan dengan pria Taiwan berusia 31 tahun. Esoknya, ia dibisiki bahwa lelaki itu, disebutnya bernama Ie Sek Yauw, telah jatuh hati padanya. Dan ketika disampaikan Ie Sek ingin segera melamarnya, Diana pun manut saja. Lalu hari itu juga proses lamaran dilakukan. Ie Sek memberikan uang Rp 2,5 juta untuk orang tua Diana. Dari sang calon mertua, Diana menerima angpau 10 ribu New Taiwan dollar (NT), setara dengan Rp 2,8 juta. Pesta pun digelar dengan biaya dari Ie Sek. Akunya, mereka juga berfoto di studio.
Pesta pun usai, dan Ie Sek kembali ke Taiwan enam hari kemudian, tapi Diana masih tinggal di Kampung Belakang. Kenang dia, saat itu dia masih suci, belum berhubungan suami-istri layaknya. Hingga sembilan bulan kemudian mereka hidup terpisah. Setiap bulan suami dan mertuanya mengirim uang 10 ribu NT. Tetapi sampai di tangan mereka tinggal Rp 250 ribu karena dimakan calo Singkawang Kalimantan Barat sebagai cangkau.
Lalu tibalah saatnya Diana dijemput dan diboyong ke Chiayi. Di kota ini mereka tinggal bersama ibu Ie Sek. Ayah Ie Sek sudah meninggal dunia saat ia masih kecil. Di sinilah perkawinan itu disahkan di kuil setempat. Pesta kembali digelar. Ayah Diana didatangkan untuk menyaksikan pernikahan anaknya. Sebulan sesudah itu Diana baru berhubungan layaknya suami-istri dengan sang suami.
Terbekatilah Diana, karena sang suami dan mertua sangat menyayanginya. Suaminya, yang bekerja sebagai pengawas di pabrik kunci, amat memanjakannya. Tiap bulan Diana mendapat uang jajan 3000 NT atau sekitar Rp 840 ribu. Kebutuhan lain sudah diurusi suami, kata dia. Ie Sek juga siap jika Diana hendak mengirim uang ke Indonesia. Tidak hanya itu, tiap pekan suaminya mengajaknya belanja baju baru. Sekali setahun suaminya mendapat jatah libur ke luar negeri. Tentu saja Diana ikut kecipratan kenikmatan ini.
Bagi Diana, Ie Sek adalah suami idaman. Ia tergolong tipe pria lembut, tak suka judi ataupun merokok, main perempuan, dan mabuk. Kalau pulang terlambat sebentar saja, dia pasti bilang, ujar Diana. Belakangan kini mereka telah dikaruniai sepasang anak manis yang masing-masing diberi nama A Yauw Sen Fan, dan Yauw Veren.
Secara ekonomis, Ie Sek juga tak mengecewakan. Ia bergaji 40 ribu NT per bulan dan memiliki flat tujuh lantai seharga 3 juta NT. Pemandangan ketika menengok flat yang dari luar tampak dingin tetapi terasa hangat di dalam itu. Di basement terparkir mobil Hyundai tahun 2000 plus dua sepeda motor. Lantai satu dilengkapi kursi kayu jati, difungsikan sebagai ruang tamu. Lantai dua jadi tempat belajar anak-anak. Sedangkan ruang tidur ada di lantai tiga dan empat–total ada empat kamar tidur.
Masih ada harta masa depan Diana, yakni rumah yang ditempati sang mertua seharga 10 juta NT atau setara Rp 2,8 miliar. Rumah itu kelak akan kembali ke Ie Sek karena dialah yang membangunnya. Kini, Diana sudah memegang paspor Taiwan. Dia pun sudah lancar membaca dan menulis huruf Cina. Masakan Indonesia, Diana tak lagi suka. Kemiskinan juga sudah ditinggal jauh-jauh di pojok barat Jakarta. Kesuksesan Diana inilah yang membuat gadis di Kampung Belakang ingin mengikuti jejaknya.
Tentu, itu hanya yang dialami Diana. Berbeda dengan yang dirasakan seorang yanti. Frustasi pada lelaki dan kemelaratan membuat Yanti nekat ke Taiwan. Konon, nasibnya tak kunjung berubah. Yanti jelas tak seberuntung Diana. Setelah mengalami masa-masa sulit dengan suaminya, perempuan berusia 27 tahun itu belakangan terpaksa rela kos di kamar berdinding tripleks tanpa ventilasi. Perempuan bernama Cina, sebut saja Shiu Cen, ini tinggal di lantai dua sebuah bangunan di belakang stasiun Kota Tao Yuan, sekitar 60 kilometer dari Taipei. Pemilik rumah itu adalah seorang kakek yang menjual barang elektronik bekas di lantai bawah.
Yanti sudah empat bulan tinggal di sini. Sebelumnya berpindah-pindah. Kamarnya tak bisa dibilang rapi. Ketika disambangi, barang-barang seperti tisu, alat-alat make up, obat-obatan, gelas kotor, dan sisa makanan bercampur-baur di atas meja. Dua kantong plastik sampah tampak teronggok di sudut ruangan. Serombongan lalat berpesta di sekitar sampah berbau itu.
Memang ada mesin pendingin udara untuk kamar bertarif 3.500 NT atau hampir sejuta rupiah perbulan itu. Tetapi pendingin udara murahan itu tak mampu mengatasi kepengapan ruangan. Dari pemilik kos, Yanti juga menikmati fasilitas televisi 21 inci, ranjang, dan sebuah kamar mandi dengan keran air panas. Untuk menompang hidup, Yanti bekerja serabutan. Saat terakhir dia bekerja pada pengusaha nasi bungkus dengan upah 3.000 NT per bulan atau setara Rp 840 ribu. Bagi Yanti, uang itu jauh dari cukup untuk mengongkosi hidupnya yang berselera. Dia mengaku kalau dirinya sudah tidak bisa hidup miskin. Dia berambisi ingin kaya.
Untuk menutup kekurangannya, upahnya tak cukup untuk menutup biaya kontrakannya, perempuan bertubuh mungil ini bergantung pada pacar-pacarnya. Konon, dia memang suka gonta-ganti pacar untuk memanfaatkan uang mereka, tulis sebuah majalah ibukota yang menginvestigasinya. Kalau para lelaki itu mau mebiayai hidupnya, Yanti saya beri pelayanan paling oke, ungkapnya membahasakan.
Yanti sepertinya sudah letih dengan kesengsaraannya selama ini. Ia terdampar ke Taiwan setelah beberapa kali dicampakkan lelaki saat masih di Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat. Frustasi karena selalu ditendang, ditambah kemelaratan, anak ketiga dari lima bersaudara ini mencoba melongok Taiwan. Lalu ia mendatangi tetangganya, sebut saja Lin Che, yang biasa menjadi perantara pernikahan dengan pria Taiwan.
Lin Che sendiri punya atasan di Jakarta Kota. Orang itu punya adik bernama, sebut saja A Bi, yang meningkah dengan orang Taiwan dan kini tinggal di Taipei. Rupanya, di sana A Bi adalah seorang bos besar biro perjodohan itu. Maka beberapa bulan kemudian Yanti diantar ke rumah A Bi meninggalkan anaknya hasil pernikahan pertama mereka dulu. Di sana ia ditampung bersama tiga perempuan senasib.
Seraya menunggu lelaki yang meminang, ia membantu usaha jahitan A Bi. Kata dia, upahnya adalah makan dua kali sehari. Sejumlah peminat berdatangan, tapi Yanti masih jual mahal. Ia terkesan memang pemilih. Alasannya, tidak mau mendapat suami yang seumur hidup terpilih yang jelek, tuturnya kenes. Akhirnya Yanti bersedia dikawinkan dengan seorang kepala pengawas pabrik setempat. Dia enggan mengukapkan nama lelaki itu. Maka A Bi pun melepas Yanti dengan harga 300 ribu NT. Diungkapkan Yanti kemudian, menurut calo dia, harga itu adalah tertinggi di antara perempuan yang ada, ujar perempuan berwajah oriental berkulit putih bersih itu.
Proses perkawinannya amat sederhana. Calon pengantin pria cukup menyerahkan uang Rp 5 juta untuk dikirim ke keluarga Yanti di Indonesia. Setelah itu Yanti bersama calon suami menemui ibu si lelaki. Sebagai tanda pernikahan, Yanti menyodorkan secangkir teh kepada ibu mertua. Sang ibu lalu memberikan angpau untuk Yanti dan suaminya. Itu tanda mereka berdua sudah diterima, jelasnya.
Apa yang terjadi kemudian? Ternyata, lalu dimulailah episode kesengsaraan itu. Sang suami akhirnya tahu Yanti sudah punya anak di Indonesia, konon kini berusia delapan tahun. Mereka kerap bertengkar. Pukulan dan tendangan sang suami tak jarang melayang menerjang tubuhnya yang kecil. Akhirnya perceraian pun tak terhindarkan. Yanti lalu meninggalkan suami dan seorang anak hasil perkawinan mereka. Dia sempat kembali ke Indonesia dengan meminjam duit dengan seorang teman. Hanya sesaat di tanah air, Yanti memilih kembali ke Taiwan mengadu nasib. Tetapi ternyata ia kian terpuruk. Yanti tak sanggup membayar utang yang mulai berlipat karena bunga.
Yanti memang masih sanggup bertahan. Namun, kadang-kadang ia merasa letih dengan cara hidup seperti itu. Belakangan kemudian ia mengaku tengah dicekam kebimbangan karena sang suami ingin rujuk. Sebuah nestapa Amoy di tanah Formosa …
Lain lagi Lim Shio Lian, sebut saja begitu. Amoy Singkawang yang semula tinggal di pelosok Kota Singkawang itu, mengungkapkan, semula dia sesungguhnya tak berselera. Lelaki yang didapatkannya tidak cakep dan konon giginya merah bekas kinang. Bermula dari Bandar Udara Internasional Tao Yuan, Taiwan, sekitar dua tahun lalu. Perempuan sekitar 27 tahun ini dengan perut membusung tampak ikut dalam arus kedatangan penumpang dari luar negeri. Semua serba asing bagi Lim Shio Lian, yang belakangan dikenal dengan nama Linda. Perempuan asal salah satu kampung di Singkawang itu, terus berjalan mencari wajah pria setempat yang berusia dua kali lipat darinya.
Pria yang ia cari adalah seorang kuli bangunan bernama Shin Chung. Beberapa waktu sebelumnya, si lelaki datang ke Indonesia khusus mencari istri. Dan lewat proses perjodohan ala cangkau atau pun sangjitan, hatinya tertambat pada Linda, janda beranak tiga , tapi pada saat lamaran itu, Linda mengaku masih gadis.
Bagaimana dengan Linda? Sesungguhnya, ungkap dia, dirinya tidak berselera. Wajah pria Taiwan itu sama sekali tidak cakep. Giginya merah karena suka nginang atau makan sirih. Linda kini tinggal di kediaman suaminya itu di Chiayi, Taiwan. Tetapi kemelaratan memaksanya berpikir lain. Pinangan diterima dan sekarang ia sudah di Taiwan. Anak mereka juga sudah lahir.
Konon, semua itu bermula ketika ia bercerai dengan suaminya terdahulu. Lelaki yang memberinya tiga anak itu dipenjara karena terjerat kasus narkoba. Hidupnya pun yang sudah susah semakin mengenaskan. Sehari-hari bersama dua anaknya, yang seorang lagi ia titipkan ke bekas mertua, Linda menumpang di rumah kontrakan orang tuanya. Di rumah petak berukuran 3x7 meter itu berjejalan keluarga Linda bersama tujuh orang lainnya, termasuk adik dan keponakannya.
Nio, sebut saja begitu, ibu Linda, menjadi penyangga keluarga dengan bekerja sebagai tukang cuci di beberapa rumah tangga di Singkawang. Ayahnya, meski kelihatan gagah, ternyata menganggur karena menderita ambien parah. Linda mencoba membantu dengan bekerja menjadi penjaga tempat hiburan ketangkasan di Singkawang. Tak tahan deraan kemiskinan, Linda memutuskan mengikuti praktek perjodohan dengan orang Taiwan. Ia lalu menghubungi A Ngo, sebut saja begitu, yang biasa menjadi perantara. Maka dimulailah hari-hari yang mendebarkan. Beberapa kali dia dipertemukan dengan pria Taiwan di sebuah hotel di Singkawang, sebelum diminati suaminya saat ini.
Dalam proses itu Linda sebetulnya nyaris dikawini seorang awak kapal di pelabuhan Sintete Pemangkat, berumur 52 tahun. Saat itu sudah sampai ke proses sangjitan. Mereka pun konon sudah berbulan madu di hotel. Namun, lelaki itu tak pernah kembali ke Singkawang sepulang ke Taiwan untuk mengurus surat nikah. Katanya di Taiwan dia menabrak orang, Linda punya kepercayaan kalau mengalami suatu kecelakaan, niat baik harus dibatalkan, alasannya.
Linda berharap, dengan perkawinannya ini ia dapat membantu keluarganya di Indonesia. Linda pingin kerja di sini agar dapat membelikan susu anaknya di Indonesia, kata Linda suatu ketika. Tentu saja ia merahasiakan agendanya itu. Sang suami sudah mengancam, kalau Linda ketahuan punya anak, uang chesaw sebesar 300 ribu NT atau sekitar Rp 84 juta, harus dikembalikan.
Tampaknya, harapan itu bakal menjadi kenyataan. Meski cuma kuli bangunan, suaminya cukup berada. Dia adalah anak tunggal dari pasangan petani berusia akhir 60-an. Mereka tinggal bersama di rumah berlantai dua seluas 500 meter persegi. Di belakang rumah masih ada kebun kecil yang ditanami jagung dan sayur-sayuran. Juga ada peternakan ayam. Mertua Linda masih memiliki kebun luas dan sawah tak jauh dari sana. Di garasi tampak tiga sepeda motor dan mobil bak terbuka.
Kehidupan sosial Linda juga tampak cukup baik. Seperti disaksikan majalah ibukota saat mengunjunginya, para tetangga menyapanya ramah. Oleh suaminya, Linda juga didorong segera dapat berbahasa setempat agar proses interaksi semangkin lancar. Dan, suaminya juga meminta Linda menjaga penampilan agar tetap kelihatan segar dan langsing. Caranya, dia telah menganggarkan 150 NT atau RP 42 ribu agar istrinya rutin pergi ke salon sepekan sekali. Kata Linda. Di Singkawang boro-boro ke salon, makan saja susah …
Amoy dan Peruntungan Nasib
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Seorang perempuan yang belakangan diketahui kesehariannya sebagai perantara dalam perkawinan order ala Amoy Singkawang, sebut saja Chin. Chin baru saja tiba dari Taiwan dan mengawal seorang klien yang datang bersama ayahnya. Mereka dijemput oleh anak perempuan Chin, sebut saja Anna, yang mengaku hanya menggantikan tugas saudara laki-lakinya. Anna sendiri bekerja untuk sebuah perusahaan yang bergerak di penjualan saham di Bursa Efek Jakarta.
Chin dan rombongan kemudian menginap di salah satu hotel di kawasan Jakarta Utara. Hotel ini sudah sering digunakan Chin untuk mengatur pertemuan antar klien dan calon pengantinnya. Selama perjalanan ke hotel, Chin sibuk dengan telefon genggamnya menjawab maupun menelefon mitra-mitranya di Jakarta untuk memberitahukan klien sudah tiba dan menanyakan kesiapan mereka membawa calon pengantin ke hotel tersebut.
Chin berusia sekitar 50 tahun. Dia seorang ibu rumah tangga, berperawakan sedang dengan rambut dipotong pendek rapi. Ia tidak ingat kapan ia memulai kegiatannya ini, tetapi sudah lebih dari lima tahun yang lalu. Pada awalnya ia hanya berperan sebagai orang yang mencari perempuan-perempuan muda yang bersedia menjadi pengantin bagi laki-laki Taiwan. Menurutnya, ia adalah seorang mak comblang, dan karenanya ia tidak pernah berbohong pada perempuan-perempuan tersebut akan kebutuhannya mencari pengantin perempuan. Dari perannya ini ia memperoleh Rp. 300 ribu hingga Rp 500 ribu untuk setiap calon yang ia tawarkan dan kemudian dipersunting oleh klien.
Dari perempuan-perempuan atau para Amoy yang berhasil dipasangkannya ini, ia kemudian diperkenalkan dengan beberapa orang klien. Seringkali klien tersebut masih berhubungan darah dengan suami dari perempuan ini. Chin mengambil kesempatan ini untuk langsung mengurus kliennya. Ia menghubungi beberapa orang teman untuk mencarikan perempuan-perempuan muda yang mendekati kriteria yang diinginkan oleh klien.
Chin kemudian menjemput klien di Jakarta, mempertemukannya dengan para calon pengantin. Chin pula yang kemudian mengatur untuk memberikan upah sebesar Rp. 300 ribu hingga Rp 500 ribu kepada mitranya yang berhasil membawa calon yang diinginkan oleh klien.
Untuk usahanya ini, Chin memperoleh sekitar 300.000 hingga 350.000 dollar Taiwan. Uang ini ia pergunakan untuk mengatur biaya perkenalan dengan calon pengantin, biaya pesta pernikahan, pengurusan dokumen atau paspor dan visa, serta transportasi calon pengantin ke Taiwan. Untuk mengurus dokumen, Chin sudah biasa menanganinya sendiri. Seringkali tugas pengurusan dokumen ini ia serahkan kepada anak laki-lakinya atau putrinya, Anna, karena mereka lebih fasih berbahasa indonesia.
Selain itu, biaya akomodasi dan mas kawin ditanggung sendiri oleh klien. Klien juga menanggung biaya perjalanan Chin ke Taiwan bila ia diminta untuk menemani penggantin perempuan. Biasanya perjalanan ini digunakan Chin untuk bertemu dengan klien baru di Taiwan. Dari kegiatannya ini, ia memperoleh penghasilan bersih sekitar 5-7 juta rupiah. Kadangkala masih mendapat bonus dari keluarga perempuan atau Amoy sebagai ucapan terima kasih atas bantuannya mempertemukan perempuan tersebut dengan klien.
Pada sore hari, datang dua calon pengantin didampingi seorang teman Chin. Setelah sekitar satu setengah jam, kedua calon pengantin perempuan itu pulang. Menurut Chin, kliennya kurang berkenan dengan kedua calon tersebut. Calon pertama berusia 20 tahun, tetapi kurang fasih berbahasa Hakka atau bahasa daerah klien. Calon kedua baru berusia 16 tahun. Klien merasa calon kedua terlalu muda sehingga khawatir akan menghadapi kesulitan untuk dapat bergaul dengannya.
Klien Chin berusia 35 tahun dan bekerja sebagi mekanik di sebuah bengkel di Meinung, Taiwan. Menurut ayahnya, klien sangat pendiam sehingga sulit mencari pasangan di Taiwan. Selain itu, mereka juga lebih menyukai perempuan atau Amoy dari Indonesia karena mau bekerja keras untuk keluarga. Karena itu, mereka lebih memilih untuk mendapatkan pengantin yang berasal dari keluarga petani dan juga yang sudah biasa dengan pekerjaan rumah termasuk mengasuh anak kecil dan orang-orang tua. Untuk postur tubuh, klien lebih menyukai perempuan yang tidak lebih tinggi darinya di mana tinggi klien sekitar 165 cm, tidak berdandan terlalu modis karena klien berpendapat bahwa Amoy yang berdandan suka dengan suasana kota sehingga ia khawatir perempuan tersebut tidak akan betah tinggal di rumahnya yang ada di desa. Dan kulit Amoy yang terang.
Proses pemilihan calon pengantin terus berlangsung. Lebih dari 5 Amoy sudah dipertemukan ke klien. Saat memasuki ruangan, A Lie yang juga bernama Lina, sebut saja demikian, ditemani oleh seorang mitra Chin dan seorang perempuan muda berusia sekitar 30 tahun yang mengaku masih berhubungan darah dengan ayah A Lie. A Lie terus menundukkan kepala sejak masuk ke ruangan, duduk sampai saat meninggalkan ruangan tersebut. Sementara itu, klien dan ayahnya terus memperhatikan Lie, mungkin sambil mereka-reka bagaimana seandainya A Lie menjadi istri klien.
Bibi A Lie kemudan memperkenalkan A Lie ke klien. Menurutnya, A Lie baru saja berulang tahun ke-18 akhir tahun lalu. A Lie sempat mengenyam pendidikan sampai tamat SMP tetapi karena kekurangan biaya, A Lie tidak lagi melanjutkan sekolah. A Lie adalah anak ketiga dari 6 bersaudara. Ayah A Lie seorang butuh tani di Sedau, kota kecil di utara Kota Singkawang Kalimantan Barat. Sejak kecil A Lie sudah mahir mengasuh adik-adiknya jika orangtuanya pergi ke kebun. Beberapa saat lalu, orang tua A Lie meminta agar bibi A Lie mempertemukan A Lie dengan laki-laki Taiwan yang adatang ke Indonesia untuk mencari pengantin perempuan.
Dengan A Lie menikah, diharapkan akan dapat mengurangi beban ekonomi keluarga, karena A Lie tidak sampai saat ini hanya tinggal di rumah mengurus rumah dan adik-adiknya. Dua saudara laki-laki A Lie yang lebih tua membantu orangtuanya di kebun, salah satunya sudah menikah dan masih tinggal di rumah yang sama.
Ayah klien yang warga negara Taiwan itu kemudian memperkenalkan anaknya dan mengatakan bahwa mereka memang mencari seorang Amoy sebagai pengantin yang bersedia membantu kerja-kerja di dalam rumah dan tinggal di desa. Karena A Lie dari desa, tentunya tidak akan canggung bila tiba di sana. Ayah klien menanyakan beberapa hal seperti apakah A Lie bisa berbahasa Hakka, apakah sebelumnya A Lie memiliki kekasih. Hal terakhir ini dimaksudkan mengarah pada virginitas A Lie. Dan, tentang kondisi keluarga A Lie. Dalam menjawab pertanyaan ini A Lie hanya mengganguk dan menggelengkan kepala sambil menjawab dengan singkat. Bibi A Lie yang biasanya memberikan penjelasan lebih untuk menjawab pertanyaan tersebut. Klien sendiri juga hanya diam, sambil sesekali memperhatikan A Lie, sang Amoy dari Singkawang itu.
Wajah A Lie yang semula tegang tampak sedikit mengendur meskipun ia tidak berkata apa-apa dan baru mengangkat kepalanya setelah keluar ruangan. Setelah A Lie masih ada dua orang calon pengantin lainnya yang diwawancarai. Tetapi klien merasa lebih cocok dengan A Lie. Karena itu, Chin kemudian mengatur sebuah pertemuan lagi dengan A Lie agar klien dapat mengenalnya lebih jauh.
Pertemuan kedua dengan A Lie diadakan di salah satu tempat di Jakarta. A Lie pergi ke sana dengan rombongannya, terdiri dari bibi A Lie dan mitra Chin. Dalam perjalanan A Lie lebih banyak diam dan pembicaraan lebih banyak dilakukan oleh ayah klien, bibi A Lie dan Chin. Di tempat ini, mereka menonton pertunjukkan ikan lumba-lumba. A Lie duduk disamping klien dan ayahnya. Agak jauh dari mereka duduk Chin, Anna putri Chin, mitra Chin dan bibi A Lie. Tampak ayah klien berusaha bertanya ke A Lie, kadang klien menambahkan. Tetapi tetap saja A Lie hanya sedikit menjawab dan lebih banyak mengganggukkan atau menggelengkan kepalanya. Pertunjukan itu berlangsung sekitar setengah jam, kemudian diteruskan di salah satu restoran.
Setelah pertemuan kedua itu, klien dan ayahnya merasa menyukai A Lie dan berkeinginan untuk segera melangsungkan pernikahan. Untuk itu mereka, ditemani A Lie dan Chin berangkat ke Kalimantan Barat untuk bertemu dengan orang tua A Lie dan melangsungkan pernikahan. Chin mengaku tidak tahu berapa emas kawin yang diberikan kepada orang tua A Lie tetapi untuk kebutuhan pernikahan dan keberangkatannya, A Lie dibelikan beberapa potong baju dan dua pasang sepatu, serta satu set perhiasan. Di Singkawang Kalimantan Barat mereka menginap selama dua hari, termasuk untuk mencatatkan perkawinan tersebut ke kantor Catatan Sipil setempat dan mengurus paspor A Lie.
Mereka segera kembali ke Jakarta untuk mengurus permohonan visa ke TETO. Karena permohonan visa dikabulkan, pada hari ke tujuh sejak kedatangannya itu, A Lie, klien yang sekarang sudah menjadi suaminya dan ayah klien pulang ke Taiwan. Menurut Chin, belum pernah ada kliennya yang pulang tanpa membawa pengantin perempuan atau Amoy. Hal ini karena biaya yang harus mereka keluarkan tidaklah sedikit untuk mengulang proses perjodohan ini. Pun belum ada calon pengantin yang menolak klien ketika lien tersebut menginginkannya karena sejak awal para Amoy ini tahu bahwa merekalah yang dipilih dan karenanya tidak pada posisi untuk memilih.
Chin juga tidak bertanggung jawab atas masa depan dari para Amoy ini. Menurutnya, adalah wajar bila Amoy tersebut di sana harus mengabdikan dirinya pada keluarga besar suaminya dan kadangkala bekerja untuk menambah pendapatan keluarga. Justeru dengan bekerja tersebut para Amoy ini dapat mengirimkan uang ke keluarganya di Indonesia. Bila terjadi perselisihan, bagi Chin itu adalah hal biasa yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Semuanya diserahkan pada nasib perempuan tersebut.
Liku-liku Menuju Formosa
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Adalah Liu Sen alias Atie, sebut saja begitu, dia adalah seorang laki-laki berusia 50 tahun dan mempunyai dua orang anak. Mengakui berdomisili di Jakarta. Atie menyebutkan pekerjaannya sebagai seorang pengusaha ekspor-import umum dengan jaringan utama ke Taiwan. Menurutnya ada tiga kategori pekerjaan dalam proses perkawinan Indonesia-Taiwan ini. Pertama adalah orang yang mencari laki-laki Taiwan yang hendak menikah dengan Amoy Indonesia (A). Kedua adalah wakil di Indonesia (B) yang akan membantu mempersiapkan kedatangan calon mempelai laki-laki di Indonesia dan kepergian mempelai Amoy ke Taiwan. Ketiga adalah orang lokal (C) yang mencari para Amoy yang bersedia menjadi calon mempelai.
Dalam operasinya, (A) akan mencari atau didatangi oleh laki-laki Taiwan yang hendak menikah dengan Amoy asing. Laki-laki Taiwan tersebut akan membayar sejumlah uang, sekitar 300.000 hingga 350.000 dollar Taiwan ke (A) untuk jasanya mencarikan mempelai perempuan. Uang ini tidak termasuk biaya tranportasi yang perlu dikeluarkan oleh pihak klien untuk datang ke Indonesia memilih mempelainya. Uang tersebut hanya digunakan untu mencari mempelai perempuan.
Dalam kelompok Atie, uang tersebut sudah termasuk biaya yang perlu dikeluarkan untuk perjalanan mempelai Amoy nantinya ke Taiwan dan kebutuhan pernikahan yang sederhana.(A) kemudian mengontak (B) untuk memberitahukan bahwa mereka telah menemukan klien. Biasanya informasi ini disampaikan ketika sudah ada 3-4 klien. (B) kemudian akan mempersiapkan tempat menginap bagi klien-klien tersebut. Kadang, untuk merendahkan biaya yang harus dikeluarkan untuk penginapan, Atie menggunakan rumahnya untuk menampung para mempelai ini. Menurutnya hal tersebut tidak menggangu karena biasanya klien hanya akan menginap satu malam sebelum pergi lagi ke Pontianak atau Singkawang Kalimantan Barat dan sebelum kembali lagi ke Taiwan. Cara lainnya adalah rumahnya justru untuk menjadi tempat menginap sementara calon-calon pangantin perempuan, atau para Amoy, bila proses perjodohan dilakukan di Jakarta dan lak-laki tersebut tiak ingin ke Pontianak atau Singkawang.
(B) kemudian memberitahukan (C) informasi ini. (C) menetap di Kalimantan Barat. (C) kemudian akan mencari para Amoy, usia tergantung permintaan klien tapi sekitar 18 hingga 25 tahun. Secara langsung dinyatakan kepada para Amoy tersebut, atau keluarganya bahwa ia mencari mereka yang bersedia menjadi istri laki-laki Taiwan. Biasanya (C) juga dibantu oleh beberapa orang (D) yang akan merekomendasikan kenalannya yang hendak menjadi mempelai perempuan. Apabila calon direkomendasikan oleh (D) kemudian menjadi pengantin, maka (D) akan memperoleh uang lelah, berkisar Rp. 150.000 hingga Rp 500.000.
(C) kemudian akan memberitahukan (B) bahwa ia telah berhasil mengumpulkan beberapa Amoy sebagai calon pengantin perempuan. (B) kemudian memberitahukan kepada (A).Tahap selanjutnya adalah mempertemukan klien dengan calon-calon tersebut. (A) mungkin ikut serta dengan klien ke Indonesia. Tetapi karena Atie sudah cukup lama berkecimpung dalam usaha ini, menurut pengakuannya sekitar 10 tahun, maka (A) sudah percaya kepadanya. Atie tinggal datang ke bandara untuk menjemput klien-klien mereka. Selanjutnya, perjalanan ke Kalimantan Barat diatur dan Atie ikut serta ke sana.
Di Pontianak Atie akan bertemu dengan (C) yang sudah mempersiapkan tempat penginapan. Para klien ini kemudian akan diajak bertemu dengan calon pengantin. Pada tahap ini ada beberapa metode yang dapat diterapkan. Pertama adalah calon pengantin ini duduk berjajar dan klien kemudian akan menentukan calon mana yang paling menarik perhatiannya. Klien kemudian akan mengajak perempuan ini untuk mengobrol secara terpisah untuk mengenal satu sama lain lebih jauh. Biasanya restoran merupakan tempat yang digemari untuk proses ini.
Cara kedua adalah klien menentukan dahulu kriteria yang diinginkannya. (C) kemudian akan menyeleksi calon-calon yang dimilikinya sehingga masing-masing klien akan bertemu dengan calon pengantin perempuan yang paling mendekati kriterianya itu. Proses pengenalan lebih lanjut dapat bermula sejak klien menemukan yang dicarinya. Ketiga adalah dengan wawancara satu persatu. Dengan cara ini, klien-klien akan dikenalkan secara bergantian pada para Amoy atau para calon pengantin perempuan. Wawancara dimulai dengan memperkenalkan calon pengantin perempuan atau para Amoy itu. Usia, postur tubuh dan silsilah keluarga menempati posisi penting dalam proses ini. Tanya jawab kemudian akan lebih pada motivasi Amoy tersebut sehingga bersedia dipersunting.
Meskipun klien menentukan, Atie berkata bahwa ia memberikan keleluasaan kepada pihak Amoy untuk menolak bila memang tidak berkenan dengan klien yang menginginkannya. Tetapi penolakan ini jarang terjadi, mungkin karena para Amoy tersebut sudah dinasehati terlebih dahulu untuk tidak memilih-milih pasangannya. Dan karenanya dari pertama mereka sudah pasrah saja.
Bila proses pencarian pengantin sudah usai dan klien menemukan Amoy pasangannya, maka proses penyelesaian dokumen pun dilakukan. Pertama-tama mereka akan menikah dengan upacara yang sederhana. Kadangkala klien mengeluarkan uang lebih untuk mahar atau emas kawin. Tetapi bila tidak, emas kawin dipotong dari uang pertama yang dibayarkannya yaitu sekitar Rp 3 hingga 4 juta yang akan diterima oleh orang tua mempelai perempuan atau Amoy. Atie juga akan mengeluarkan sejumlah uang untuk pesta pernikahan yang sederhana. Dan juga untuk proses pencatatan perkawinan tersebut di kantor catatan sipil setempat.
Pada tahap pencatatan sipil ini, proses pencatatan tetap dilakukan. Misalnya dengan mempertanyakan apakah kedua mempelai tidak dalam tekanan untuk menikah dan apakah mereka menikah atas landasan cinta, suka sama suka. Kemudian diikuti dengan sekelumit nasihat tentang pernikahan dan upaya untuk mempertahankan pernikahan itu di kemudian hari.
Dokumen lain yang juga diurus adalah paspor mempelai perempuan. Atie memiliki mitra lain untuk mengerjakan hal ini, tapi (C) seringkali menjadi pengurus dokumen tersebut. Dari pekerjaan ini (C) akan menerima imbalan sekitar Rp 3 hingga Rp 5 juta per pasangan. Setelah dokumen-dokumen yang dibutuhkan sudah dilengkapi, klien dan pasangannya berangkat ke Jakarta mendaftarkan di TETO untuk diwawancarai agar memperoleh visa. Proses ini cukup lama, kadang mereka harus menunggu selama seminggu dalam antrian. Bila wawancara dikabulkan, konon sampai saat terakhir ini kabarnya belum ada yang ditolak, maka Amoy tersebut kemudian akan berangkat ke Taiwan, bersama-sama klien atau pun menyusul kemudian. Ini tergantung lamanya mereka harus menunggu dalam antrian wawancara tadi.
Setelah proses ini selesai, Atie memeroleh keuntungan bersih sekitar Rp 5 hingga Rp 7 juta perpasangan. Ia memang tidak merasa dibebani untuk mengetahui lebih lanjut kehidupan pasangan tersebut di Taiwan. Tetapi ada beberapa orang kliennya yang berhubungan cukup erat dengannya. Bahkan tak jarang para Amoy atau kliennya itulah yang memperkenalkan dengan klien-klien baru yang hendak meminta jasanya untuk mencarikan pasangannya di Kalimantan Barat atau sebaliknya.
Kepiawaian Seorang Matchmaker
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Mengaku sudah 15 tahun bekerja sebagai matchmaker alias Mak Comblang. Sebenarnya ini hanya pekerjaan sambilan karena pekerjaan utamanya adalah pengusaha kertas kayu. Mengaku memiliki pabrik di Solo tetapi gulung tikar akibat kerusuhan Mei 1998 silam, tetapi juga masih memiliki pabrik serupa di Taiwan. Di Taiwan, Chen sebut saja begitu, memiliki beberapa teman yang menjadi penghubung dirinya dengan klien. Di Indonesia, mitra tetapnya bernama Ameng, orang lokal yang berdomisili di Singkawang. Ameng yang akan mencari Amoy sebagai calon pengantin perempuan, sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh klien dan untuk itu Ameng berhubungan dengan sekitar 10 hingga 20 orang comblang lainnya. Ameng juga sekaligus mengurus segala dokumen yang dibutuhkan untuk pernikahan dan kepergian mempelai perempuan ke Taiwan.
Klien akan membayar sejumlah 300.000 hingga 350.000 dollar Taiwan. Sepertiga dari uang tersebut diambil oleh penghubungnya di Taiwan untuk kemudian dibagi-bagikan dengan beberapa orang yang terlibat dalam mencari klien. sepersepuluh dari sisa uang tersebut deberikan kepada Chen untuk biaya pernikahan dan pengurusan surat-surat. Satu persepuluh lagi diberikan kepada keluarga Amoy. Proses perjodohan sama dengan yang lainnya.
Setelah dipotong sana-sini untuk biaya transpor dan akomodasi klien dan mempelai perempuan, sisanya menjadi milik Chen. Tetapi dia tidak mau menyebutkan jumlahnya. Pada awal tahun saja, Chen sudah berhasil menikahkan sedikitnya 30 pasangan.
Selain Chen, adalah Lin, menurutnya nilai ekonomis dari perkawinan ini tidak saja karena biaya jasa yang diterimanya. Tetapi para pengantin perempuan atau Amoy ini nantinya akan menjadi pegawai di pabriknya di Taiwan. Selain pegawai perempuan lebih mudah diatur daripada laki-laki, upah yang dibayarkan kepada para Amoy ini lebih murah daripada harus mencari pegawai di Taiwan. Menurutnya hal ini mungkin dilakukan karena kurs rupiah yang rendah sehingga meskipun lebih rendah ketika ditukarkan bisa sekitar 1 hingga 1,5 juta rupiah per bulannya. Dan karena itu, tidak ada pegawainya yang memprotes kebijakannya itu, malah mereka bersyukur sudah diberi pekerjaan oleh Lin.
Melihat keuntungan dan prospek dari pekerjaan jual beli Amoy ini, Lin pun akhirnya membuka biro perjalanan yang mengkhususkan diri untuk mencarikan pasangan bagi laki-laki Taiwan di Indonesia atau pun di negara Asia Tenggara lainnya, Vietnam misalnya.
Sebuah Cerita Dari Amoy
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Oey adalah anak perempuan ketiga dari delapan bersaudara. Usianya sekitar 21 tahun dan pernah sekolah sampai kelas dua SMA. Orangtuanya tidak bekerja sejak kedua kakaknya menikah ke Taiwan. Setiap bulan, kedua kakaknya mengirimkan sejumlah uang, meski Oey tidak bersedia menyebutkan jumlahnya, kepada orang tuanya untuk pendidikan adik-adiknya. Sementara itu, dua orang kakak laki-lakinya yang bekerja di Jepang sebagai buruh di pabrik elektronik, karena biaya hidup di sana tinggi, tak banyak yang bisa mereka kirimkan ke rumah di Siantan Pontianak Utara Kalimantan Barat.
Setelah lulus SMA, Oey pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai sales di sebuah toko elektronik di Jakarta. Baru bekerja sekitar tujuh bulan ketika kerusuhan Mei 1998 terjadi, toko elektronik tersebut hangus terbakar. Karena takut, Oey kembali ke rumahnya di Siantan. Sesampainya di rumah, ia berusaha mencari pekerjaan, tetapi belum juga ada lamarannya yang diterima. Oey sehari-hari tinggal di rumah mengurus orangtua dan ketiga adiknya yang masih SD dan SMP. Akhirnya, sekitar dua bulan kemudian, seorang kenalan perempuan datang menemui Oey dan menawarkannya untuk menikah ke Taiwan. Perantara ini bekerja untuk Chen dan Lin.
Bagi orangtua Oey sendiri, pernikahan kedua kakak perempuan Oey ke Taiwan memberi berkah, karena mereka selalu mengirimkan uang ke rumah. Karena itu, orangtua Oey tidak keberatan, bahkan mendorong Oey untuk menerima tawaran tersebut. Merasa tidak memiliki pilihan lain karena tidak memiliki pekerjaan, Oey pun kemudian menerima tawaran tersebut. Oey kemudian mulai ditawarkan ke klien-klien yang dibawa oleh Lin. Sudah ada enam hingga tujuh kali pertemuan, tetapi belum ada klien yang menaruh hati padanya. Sampai pada suatu waktu kemudian, Oey diperkenalkan dengan seorang klien bernama Liu. Klien ini berusia 42 tahun dan telah menikah tetapi cerai. Duda ini memiliki dua orang anak, yang paling besar baru berusia 8 tahun. Liu mengaku seorang mekanik dan bekerja di sebuah pabrik di daerah Meinung, Taiwan.
Ketika Liu melamarnya, Oey tidak merasa memiliki kekuasaan untuk memilih. Ia bukannya tidak senang dengan Liu, tetapi pun bukan berarti ia mencintainya. Pertemuannya sendiri hanya berlangsung dua kali. Pertama saat perkenalan, kedua saat pendekatan yang dilakukan di salah satu restoran di Kota Pontianak. Hari ketiga mereka bertemu kembali dan kali ini Liu mengajak Oey untuk berbelanja baju dan sepatu untuk keperluannya berangkat ke Taiwan. Sementara mereka berbelanja, perantara dan orangtuanya mempersiapkan pesta perkawinan sederhana dengan hanya mengundang keluarga terdekat dan beberapa kenalan saja.
Pernikahan dilakukan keesokan harinya. Oey tidak tahu berapa emas kawin yang diterima oleh orangtuanya. Ia memperoleh seperangkat perhiasan pada hari pernikahannya itu. Setelah itu, Oey kemudian pergi mengurus paspor dan dokumen lainnya. Keesokan harinya, seorang petugas catatan sipil datang ke rumah perantaranya. Oey dan Liu yang telah menjadi suaminya itu sudah menunggu. Petugas tersebut mencatat dan mengesahkan perkawinan mereka. Keesokan harinya, Oey dan suaminya itu berangkat ke Jakarta untuk mengurus visa ke kantor TETO di sana.
Oey belakangan mengaku tidak tahu berapa uang yang harus dibayarkan oleh suaminya ke perantara dan berapa biaya keseluruhan yang dihabiskan oleh suaminya itu. Ia juga tidak tahu berapa besar penghasilan yang diperoleh perantaranya. Hanya saja ia tidak mengeluarkan uang untuk keperluan apapun, termasuk pengurusan paspornya yang sudah siap dalam satu hari. Seluruh dokumen yang diperlukan dipersiapkan oleh perantaranya. Dan dokumen tersebut asli karena dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Ditanya apakah tidak khawatir pergi ke Taiwan, negara yang belum pernah ia lihat untuk berumah tangga dan tinggal dengan keluarga suaminya yang belum pernah dikenalnya, Oey optimis menjawab ia tidak tahu apa yang harus dikhawatirkan. Ditambah dengan ketidakmampuannya berbahasa Mandarin, Oey hanya ingin mempasrahkan nasibnya saja. Oey merasa sedikit lega karena mempunyai beberapa teman yang sudah menikah di Taiwan. Meskipun sampai saat pernikahan itu ia juga belum tahu apa yang akan dilakukannya di sana, tetapi jika ada kesempatan ia ingin bekerja apa saja agar dapat mengirimkan uang kepada keluarganya nanti. Bagi Oey, setidaknya pernikahannya ini meringankan beban keluarganya, sehingga uang yang dikirimkan oleh saudara-saudaranya itu dapat dimanfaatkan oleh orangtuanya dan untuk pendidikan adik-adiknya.
Lain lagi kisah yang dialami Cheng, sebut saja begitu. Cheng adalah anak pertama dari tujuh bersaudara, tiga perempuan dan empat laki-laki. Sejak kecil, Cheng sudah ditugaskan untuk memasak, mengurus rumah dan adik-adiknya ketika ayah dan ibunya bekerja di kebun. Dua adiknya perempuan dan laki-laki juga ditugasi pekerjaan yang sama, tetapi tanggung jawab utama ada pada Cheng. Orangtuanya berkebun pepaya dan bayam. Tetapi penghasilan dan perkebunan tersebut sangat minim sehingga kehidupan keluarganya sulit. Mereka hanya mempunyai sebuah transistor sebagai alat penghibur.
Cheng tamat SD saat berusia 13 tahun. Karena keuangan keluarga tidak memadai, Cheng tidak melanjutkan pendidikannya. Ia lalu bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Di rumah tempatnya bekerja itu ada seorang nenek, suami-istri dan tiga anak laki-laki yang tertua sebaya denganya, satu masih berusia 10 tahun dan paling kecil berusia 7 tahun. Pasangan tersebut juga mempunyai dua orang pembantu lain, tetapi tidak menginap di rumah. Tugas utama Cheng adalah merawat nenek dan menemani anak-anaknya. Dengan bekerja di sana dia berharap akan dapat melanjutkan sekolahnya. Tetapi karena sudah lewat tahun ajaran, ia harus menunggu satu tahun ke depan.
Pekerjaan di rumah itu tidak terlalu berat untuk Cheng. Perlakuan majikannya pun cukup baik bahkan ia bisa sambil belajar dengan anak majikan yang seusia dengannya. Cheng bekerja di sana selama hampir lima bulan ketika ibunya datang dan berkata akan mengambil Cheng pulang ke rumah. Alasan ibunya adalah karena di rumah tidak ada yang membantu, sementara adiknya masih kecil-kecil. Karena itu, Cheng pun pulang.
Ternyata orangtua Cheng punya rencana lain. Mereka menerima tawaran seorang kenalan bernama Chuan yang memang sudah cukup lama bekerja sebagai perantara yang sedang mencari pengantin perempuan. Cheng kemudian diajari untuk sedikit berdandan, dengan lipstik dan bedak. Cheng kemudian mulai diperkenalkan dengan klien-klien perantara itu. Perawakan Cheng memang besar untuk anak seusianya. Dengan dandanannya itu, tidak ada yang curiga bila dikatakan ia berusia 16 tahun. Di kemudian hari, seluruh dokumen yang Cheng miliki menuliskan usianya yang sudah ditambah 3 tahun. Setelah beberapa pertemuan, seorang klien menaruh hati pada Cheng. Proses yang ia lalui tak beda dengan Oey.
Dua hari setelah pertemuannya dengan klien tersebut, Cheng menikah. Saat itu, pertengahan bulan Agustus 1994, ia belum genap 14 tahun. Sekalipun belum mempunyai keinginan untuk menikah. Cheng tidak merasa memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuannya. Menurut Cheng, ia dapat mengerti keputusan orangtuannya itu karena keluarga mereka sangat miskin dan ia masih memiliki 6 orang adik yang harus dibiayai. Dan Cheng juga tidak tahu apakah ia akan dapat lebih berguna bagi keluarganya itu jika tetap tinggal di Indonesia dengan pendidikannya yang hanya lulus sekolah dasar.
Cheng mengaku bahwa ia sebenarnya sangat takut ketika harus menerima kenyataan akan berpisah dengan keluarganya untuk ikut suaminya ke Taiwan. Ia tidak tahu bagaimana keluarga suaminya akan menerima dirinya. Apalagi Cheng tidak dapat berbahasa Mandarin dan hanya mengerti sedikit bahasa Hakka yang dipergunakan sehari-hari oleh keluarga suaminya. Suami Cheng adalah seorang buruh pabrik elektronik di pinggir ibukota Taiwan. Dia berusia 40 tahun saat menikah dengan Cheng dan belum pernah berkeluarga. Di sana, Cheng tinggal dengan orang tua suaminya yang sudah tua, berusia sekitar 70 tahun. Cheng berkewajiban untuk mengurus rumah tangga dan orangtua suaminya itu.
Cheng bersyukur suaminya tidak pernah berbuat kasar padanya. Begitu pula orangtua suaminya. Bahkan tak jarang mereka mengungkapkan terima kasih atas pertolongan Cheng merawat mereka dan anaknya. Setahun setelah pernikahan itu Cheng mengandung tetapi keguguran. Baru pada tahun berikutnya ia dapat melahirkan seorang anak laki-laki.
Selain mengurus rumah tangganya, Cheng juga bekerja sebagai tukang sapu di sebuah kuil dekat rumahnya. Atas pekerjaan itu, Cheng dapat sejumlah uang dari para pengunjung kuil. Karena itu, Cheng dapat mengirimkan uang untuk keluarganya di Indonesia. Kadang ia mengirimkan uang 3-4 bulan sekali dengan total uang senilai Rp 1,5 hingga 2 juta. Justru ketika kurs rupiah jatuh, uang yang dikirimkan Cheng bisa mencapai dua kali lipat dari biasanya. Uang tersebut terutama digunakan untuk keperluan pendidikan adik-adiknya.
Salah seorang adik perempuan Cheng juga hendak dinikahkan saat berusia sekitar 14 tahun. Cheng menentang keputusan orangtuanya itu. Ia malah mengajak adiknya ke Taiwan untuk ikut membantunya. Tetapi keinginan itu ditolak. Adik Cheng akhirnya menikah dengan seorang petani di Taiwan saat berusia 15 tahun, sekitar 1999. Cheng belum pernah berkomunikasi langsung dengan adiknya itu, tetapi menurut orangtuanya, adik Cheng baik-baik saja meskipun belum bisa menyisihkan uang yang sama besar jumlahnya dengan Cheng karena harus membantu suaminya di kebun di Taiwan.
Cheng masih mempunyai dua orang adik perempuan, dan ia mengaku khawatir bahwa mereka akan bernasib sama dengannya. Meskipun ia tidak mendapat perlakuan kasar, ia tidak ingin adik-adiknya tidak menikah terlalu cepat dengan orang yang tidak dikenal oleh mereka sebelumnya. Dengan uang yang dihasilkannya itu, Cheng berharap adik-adiknya akan mendapat pendidikan yang lebih baik sehingga tidak harus menikah untuk mengatasi kesulitan ekonomi keluarganya.
Kisah Nestapa Para Amoy
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Ai Chia, sebut saja begitu, adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ai Chia lahir pada 1976, sedangkan adik laki-lakinya lahir tiga tahun kemudian. Ayah Ai Chia bekerja sebagai buruh kasar, ibunya tidak bekerja dan sakit-sakitan. Atas bantuan keluarga dari pihak ibu, Ai Chia akhirnya bisa bersekolah sampai SMA. Terbujuk dengan rayuan seorang teman laki-lakinya yang berjanji akan menikahi Ai Chia, Ai Chia bersedia untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Akhirnya ai Chia hamil dan laki-laki tersebut menolak untuk menikahinya.
Mendengar keadaan anaknya itu, ibu Ai Chia kemudian mengusahakan Ai Chia untuk melakukan aborsi. Aborsi berhasil tetapi saudaranya menolak untuk terus menyekolahkan Ai Chia. Saat itu Ai Chia baru kelas II SMA dan karena orangtuanya tidak mampu, tidak mungkin baginya untuk meneruskan sekolah. Ai Chia berhenti dan mulai bekerja di toko milik salah seorang kenalan ibunya.
Dari pekerjaan itu, Ai Chia memperoleh gaji sebesar Rp 200 ribu per bulannya. Upah ini sudah termasuk biaya transportasi dan makan siang. Sisa gaji digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari seluruh keluarga. Saat bekerja di toko, Ai Chia berkenalan dengan seorang perempuan yang bekerja sebagai perantara bernama A Cu. Perempuan tersebut menawarkan Ai Chia untuk menikah ke Taiwan. Menurut perempuan itu, setiba di Taiwan, Ai Chia juga dapat bekerja di pabrik-pabrik yang masih membutuhkan banyak sekali pekerja perempuan. Ai Chia berkata akan mempertimbangkan tawaran tersebut dan memberikan alamatnya ketika ditanya oleh perantara tersebut.
Perantara itu kemudian datang ke tumah Ai Chia dan menceritakan maksudnya kepada orangtua Ai Chia. Di luar pengetahuan Ai Chia, orangtuanya menerima usulan tersebut dan meminta perantara untuk segera menghubungi mereka bila ada klien yang datang. Ai Chia tidak bisa menolak keputusan orangtuanya itu, terutama saat ayahnya mengungkit soal Ai Chia yang sudah tidak lagi perawan dan gaji Ai Chia yang tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Ai Chia ditekan untuk turut memikirkan pendidikan adik laki-lakinya karena menurut ayah Ai Chia, saudara mereka tidak mungkin selamanya membiayai pendidikan adiknya. Terutama bila anak-anak mereka, saudara Ai Chia, sendiri sudah mulai beranjak dewasa dan membutuhkan biaya lebih untuk pendidikan mereka.
Dihadapkan pada keadaan tersebut, Ai Chia kemudian menerima keputusan orangtuanya dan ikut diperkenalkan ke beberapa klien. Karena ia sudah tidak perawan, agak sulit baginya untuk menemukan klien yang mau denganya. Akhirnya seorang laki-laki berusia 35 tahun dan bekerja sebagai montir mempersunting Ai Chia. Seorang teman dari perantara Ai Chia mengerjakan kelengkapan dokumen tersebut. Ai Chia hanya datang ke kantor imigrasi sekali untuk membubuhkan tandatangan dan foto untuk paspornya. Bersama perantara dan kliennya, Ai Chia pergi ke kantor catatan sipil Pontianak, Kalimantan Barat untuk mencatatkan perkawinan itu. Ai Chia tidak tahu berapa mahar yang diterima oleh orangtuanya dari suaminya itu. Tetapi menurut perantara Ai Chia, emas kawin yang diberikan tidak lebih dari 1,5 juta rupiah. Itu pun sudah cukup besar mengingat kondisi Ai Chia yang sudah tidak perawan lagi. Ai Chia menikah pada November 1993 dan saat itu ia berusia 17 tahun.
Tiba di Taiwan, Ai Chia tinggal di sebuah rumah susun dengan suaminya. Ternyata suaminya seorang pemabuk sekaligus penjudi. Ai Chia seringkali kekurangan uang untuk keperluan hidupnya akibat perilaku suaminya itu. Untungnya di rumah susun itu Ai Chia berkenalan dengan beberapa orang Amoy asal Indonesia yang juga menikah dengan laki-laki Taiwan. Atas bantuan salah seorang temannya itu, Ai Chia akhirnya bekerja di sebuah pabrik elektronik.
Gaji yang ia peroleh ia gunakan untuk membiayai hidupnya dan menabung untuk dikirimkan ke keluarganya di Indonesia. Pada dua bulan setelah bekerja ia berhasil mengirim uang yang ketika dikurskan di Indonesia hampir sebesar 1 juta rupiah. Uang ini ia kirimkan dan sejak saat itu Ai Chia selalu mengirimkan uang setiap 2 hingga 3 bulan.
Ai Chia hamil lima bulan setelah pernikahannya dan ia melahirkan seorang anak laki-laki pada 1995. Mengetahui bahwa Ai Chia menyimpan sejumlah uang, pada suatu malam 1996, suami Ai Chia kembali dalam keadaan mabuk dan meminta Ai Chia menyerahkan tabungannya itu. Ai Chia menolak dan karena itu suaminya memukul Ai Chia. Ai Chia terpaksa menyerahkan tabungannya itu. Ia kemudian menelepon ibunya untuk memberitahukan kejadian tersebut. Ibu Ai Chia hanya menganjurkan untuk bersabar dan konsentrasi pada anaknya. Tak lama setelah kejadian itu sekitar sebulan, Ibu Ai Chia meninggal dunia. Empat bulan kemudian ayah Ai Chia menikah kembali.
Ternyata kejadian pemaksaan dan pemukulan oleh suami Ai Chia terus berulang dan Ai Chia tidak tahan. Khawatir Ai Chia akan melarikan diri, suaminya kemudian menahan kunci lemari dan kamar supaya Ai Chia tidak dapat mengambil barang-barangnya jika ia sedang tidak ada di rumah. Tetapi dengan bantuan seorang teman, Ai Chia mengeluarkan sedikit demi sedikit perhiasan dan pakaiannya setiap kali berangkat kerja. Sampai tabungannya cukup untuk membeli tiket pulang, Ai Chia dan anaknya akhirnya kembali ke Indonesia pertengahan 1996.
Tiba di rumah, Ai Chia malah dimarahi oleh ayahnya. Ibu tiri Ai Chia bersikap tidak mau mencampuri masalah. Hanya saja, karena ibu tiri Ai Chia juga bekerja, seringkali ia cemberut dan mengeluh bahwa uang jerih payahnya tidak cukup untuk menanggung kebutuhan Ai Chia dan anaknya. Hampir setiap hari Ai Chia bertengkar dengan ayahnya. Ai Chia akhirnya tidak tahan. Ketika ditawarkan oleh seorang kenalannya, Asuan, untuk pindah ke Jakarta, Ai Chia menyetujuinya.
Setiba di Jakarta, Ai Chia bekerja di rumah makan milik Asuan, yang juga menjadi perantara. Setelah dibujuk beberapa kali oleh Asuan, akhirnya Ai Chia bersedia untuk kembali ikut dalam bursa calon pengantin. Menurut Ai Chia, keputusan itu terpaksa ia ambil karena ia membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membesarkan anaknya dan hasil dari bekerja di rumah makan milik Asuan tidak mencukupi kebutuhan tersebut.
Pertengahan 1997, dari perkenalannya dengan klien Asuan, ia bertemu dengan seorang duda berusia 50 tahun yang memiliki tiga anak. Anak terbesar dari laki-laki itu berusia sepantar dengan Ai Chia, 21 tahun. Dua lagi berusia 18 dan 16 tahun. Tetapi laki-laki itu tidak bersedia bila Ai Chia membawa anaknya serta. Untuk itu, Ai Chia menitipkan anaknya ke Asuan dan suaminya memberi uang 2 juta rupiah kepada Asuan untuk mengasuh anak Ai Chia sebagai pengganti emas kawin Ai Chia.
Ai Chia tidak tahu berapa uang yang diperoleh Asuan dari pernikahannya itu. Tetapi Asuan mengatur segala keperluan Ai Chia untuk menikah kembali. Termasuk menyediakan dokumen-dokumen yang Ai Chia butuhkan. Karena Ai Chia belum resmi bercerai dengan suami pertamanya, maka untuk memudahkan kepergiannya, Ai Chia dibuatkan dokumen baru. Dokumen-dokumen tersebut menurut Ai Chia juga asli karena dikeluarkan oleh instansi yang berwewenang. Bahkan sampai ke akte kelahiran Ai Chia yang baru. Dari asuan, Ai Chia mengetahui bahwa untuk itu sejumlah uang dibutuhkan Asuan untuk menyogok aparat-aparat yang terkait sehingga segala dokumen yang ia butuhkan sudah siap dalam satu bulan. Dengan dokumen-dokumen itu, Ai Chia tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh visa.
Kali ini Ai Chia pergi tidak lagi dengan rasa takut. Apalagi ai Chia sudah lancar berbahasa Mandarin. Ia hanya mengkhawatirkan anaknya yang dititipkan ke Asuan. Agar dapat menengok anaknya, Ai Chia akhirnya turut membantu Asuan untuk mencari klien di Taiwan dan kemudian menemani klien-klien tersebut ke Indonesia. Sebelum kembali ke Taiwan, Ai Chia akan menyempatkan diri untuk mencari para Amoy yang bersedia untuk menjadi pengantin untuk kemudian dititipkan ke Asuan. Tujuannya adalah untuk mempermudah mereka saat klien berikutnya mereka dapatkan.
Untuk setiap klien yang berhasil memperoleh pasangan, Ai Chia memperoleh 50.000 hingga 100.000 dollar Taiwan. Sebagian dari uang tersebut ia berikan ke Asuan secara bertahap untuk biaya hidup anaknya. Sisanya ia tabungkan untuk keperluan pendidikan anaknya kelak.
Hui Fang adalah anak pertama dari sebelas bersaudara. Ia mempunyai empat orang adik perempuan dan enam orang adik laki-laki. Saat ini yang paling kecil baru berusia 5 tahun, ada tiga yang masih sekolah dasar kelas 2, 5, dan 6. Dua lagi di SMP. Adik laki-laki yang paling besar ikut bekerja di konveksi bibinya di Jakarta. Sebenarnya adik laki-lakinya ini ingin bekerja di Taiwan tetapi dicegah oleh Hui Fang. Menurut Hui Fang lebih baik adiknya menungu sampai berusia 22 tahun sebelum bekerja di sini supaya bisa masuk ke Taiwan secara legal. Adik Hui Fang yang perempuan sudah menikah ke Malaysia tahun lalu. Sedangkan dua lagi adiknya sudah putus sekolah dan belum bekerja.
Ayah Hui Fang tidak bekerja. Karena keuangan keluarga yang sangat kurang, ibu Hui Fang juga pernah ke Taiwan dan bekerja di sana selama empat bulan. Tetapi karena anak-anaknya masih kecil-kecil, ia harus pulang kembali. Hui Fang sempat mengeyam pendidikan sampai kelas II SMA. Karena tidak punya cukup uang, Hui Fang harus berhenti. Ia kemudian pergi ke Jakarta tetai karena tidak mendapatkan pekerjaan, ia kembali ke Pontianak. Saat itu usianya baru 19 tahun.
Seorang kenalan bernama Chuan Kou pada suatu suatu hari mendatangi Hui Fang dan menawarkannya untuk menikah ke Tiawan. Dari teman-teman, Hui Fang beranggapan bahwa menikah ke Taiwan adalah menguntungkan karena bisa bekerja. Ibu Hui Fang juga memiliki pendapat yang serupa meskipun ia tidak memaksa Hui Fang untuk menikah. Hui Fang sendirilah yang memutuskan untuk menikah ke Taiwan lewat bantuan perantara tersebut.
Chuan Kou kemudian memperkenalkan Hui Fang dengan seorang laki-laki Taiwan berusia sekitar 30 tahun. Ia bekerja sebagai montir di dekat Kao Hsiung. Setelah perkenalan itu, Hui Fang dan suaminya berjalan-jalan dan membeli pakaian. Pesta perkawinan dilakukan sehari kemudian. Untuk itu diadakan pesta perkawinan sederhana dengan mengundang keluarga dan teman dekat. Itu terjadi sekitar empat tahun yang lalu. Semua dokumen kepergian Hui Fang diurus oleh perantaranya dan mereka Hui Fang dan keluarganya tidak membayar sedikit pun untuk itu. Dan bagaimana budaya yang diusungnya, ibu Hui Fang menerima sejumlah emas kawin dari menantunya itu, meskipun ia enggan menyebutkan jumlahnya.
Sekarang Hui Fang sudah mempunyai seorang anak. Selama pernikahannya itu Hui Fang sudah 4 kali kembali ke Indonesia. Di Taiwan Hui Fang bekerja di sebuah rumah makan. Ia terus mengirimkan uang ke keluarganya. Kalau sudah dikirimkan, Hui Fang akan menyuruh ibunya untuk mengecek uangnya di bank. Pernah Hui Fang bertanya kepada ibunya tentang apakah uang yang dikirimkannya itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sebagai orangtua dari pihak perempuan, ibu Hui Fang merasa tidak memiliki kekuasaan untuk menjawab pertanyaan itu. Bagi ibu Hui Fang, karena anaknya adalah perempuan, maka sebenarnya ketika anak tersebut sudah menikah, ia akan menjadi milik keluarga suaminya itu. Ibu Hui Fang sudah merasa sangat bersyukur karena suami Hui Fang membiarkan anaknya mengirim uang dan tidak pernah berusaha meminta hasil jerih payah Hui Fang.
Uang dari Hui Fang tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari seluruh keluarga dan biaya pendidikan adik-adiknya. Selain itu, mereka juga mendapat tambahan uang dari adik perempuan Hui Fang yang meninkah di Malaysia. Hui Fang tidak pernah mengeluhkan kondisi perkawinannya. Tetapi dari pantauan ibu Hui Fang saat ia berada di Taiwan, kondisi perkawinan Hui Fang cukup beruntung bila dibandingkan dengan anak perempuan tetangganya. Di lingkungan tempat tinggal ibu Hui Fang, hampir semua keluarga mempunyai anak perempuan yang dipersunting laki-laki Taiwan. Salah satu tetangga memiliki anak perempuan yang juga menikah ke Taiwan dan sekarang sudah mempunyai dua anak perempuan. Sebenarnya suaminya itu sangat pintar mencari uang. Sayangnya setelah melakukan operasi kepala, ia menjadi sangat terbelakang atau cacat. Meskipun demikian perempuan tersebut tidak bercerai dan terus bekerja di Taiwan untuk menyambung hidupnya, suami dan kedua anaknya.
Selain itu, ibu Hui Fang juga yakin bahwa laki-laki Taiwan yang menikah ke sini adalah laki-laki baik-baik. Memang terdegar kabar bahwa ada beberapa anak perempuan tetangganya yang menikah di Taiwan kemudian dipukuli oleh suaminya. Tapi setelah membahasnya lebih lanjut, ibu Hui Fang yakin bahwa kesalahan selalu ada di pihak perempuan itu sendiri. Sudah sepantasnya seorang menantu berbakti pada mertuanya. Adalah wajar bila dimarahi oleh mertua, terutama bila mertua itu sudah tua dan cerewet. Hanya bila para Amoy itu berlaku sembarangan maka para suami akan dan pantas untuk menghajar istri-istri mereka itu. Ibu Hui Fang juga beberapa kali membantu perantara mencari anak perempuan yang mau dinikahkan. Kebanyakan memang dari keluarga dengan ekonomi yang tak jauh berbeda darinya. Dan usahanya ini cukup berhasil karena sudah beberapa pasangan yang berhasil dihubungkannya.
Lain Hui Fang lain pula A Nyam. A Nyam mempunyai seorang kakak laki-laki dan tiga adik, dua perempuan, satu laki-laki. Kakak laki-laki A Nyam tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai sales di sana. Ayah a Nyam bekerja serabutan sementara ibunya tidak bekerja. A Nyam bersekolah sampai tamat SMP. Karena mempertimbangkan keuanga keluarganya, A Nyam memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. Saat usianya menjelang 20 tahun, A Nyam ikut dengan salah satu kenalannya ke Jakarta untuk bekerja di sebuah rumah makan. Di sana ia bertemu dengan seorang teman yang menawarkannya untuk menikah ke Taiwan. A Nyam kemudian menerima tawaran ini.
Ibu a Nyam sendiri tidak dapat berbuat banyak karena saat itu A Nyam ada di Jakarta. A Nyam baru memberitahu setelah ada calon yang bersedia mempersuntingnya. Saat itu A Nyam berusia 23 tahun dan suaminya itu berusia 37 tahun. Keinginan A Nyam untuk menikah sudah bulat, dan A Nyam memberitahu ibunya bahwa keputusan ini dia ambil guna meringankan beban ekonomi keluarga. Bersama dengan calon suaminya itu, A Nyam kembali ke Ngabang, Kalimantan Barat. Dengan bantuan perantara, A Nyam mengurus segala dokumen untuk kepergiannya. Pesta perkawinan dilakukan sangat sederhana. Hanya keluarga saja yang diundang dan kemudian mereka pergi ke tukang foto untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut. Usai pernikahan A Nyam kembali ke Jakarta untuk kemudian meneruskan perjalanannya ke Taiwan. Pernikahan tersebut berlangsung sekitar lima tahun yang lalu.
Ibu A Nyam mengingat anaknya sebagai seorang anak yang ulet dan memang sangat mengkhawatirkan kondisi keuangan keluarganya. Karena itu, A Nyam kemudian berusaha dengan membuka toko makanan. Tapi kemudian a Nyam menutup rumah makan ini dan melakukan alih profesi menjadi tukang jahit. Dari pekerjaannya ini A Nyam dapat mengirimkan sejumlah uang untuk keperluan pendidikan adik-adiknya. Bahkan dari uang itu bisa ditabung untuk membeli pick-up yang kemudian digunakan ayahnya untuk bekerja dengan menyewakan mobil tersebut. A Nyam juga berhasil menyekolahkan adik perempuannya sampai lulus sebuah akademi di Pontianak. Adik perempuan A Nyam ini akan menyusul kakak laki-lakinya di Surabaya agar dapat bekerja di sana.
Suami A Nyam adalah seorang perajin kayu. Mereka tinggal di sebuah desa di daerah Meinung. A Nyam tinggal dengan suami dan mertua perempuannya. Sekarang A Nyam sudah mempunyai dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Yang paling besar sudah bersekolah. Pada awalnya ibu A Nyam khawatir bahwa anaknya akan tidak betah tinggal di Taiwan, tetapi seiring dengan perjalanan waktu, ia yakin anaknya sudah dapat menyesuaikan diri dan betah tinggal di sana. Tahun kedua dari perkawinannya itu, A Nyam mengganti kewarganegaraannya menjadi warga negara Taiwan.
Di daerah itu memang A Nyam memiliki cukup banyak teman karena banyak Amoy dari Kalimantan Baarat yang menikah ke Taiwan. Dan sepengetahuan ibu A Nyam, para perempuan itu memiliki kehidupan yang cukup layak di sana. Bahkan hampir semuanya mampu menyisihkan uang untuk dikirim kembali ke keluarga mereka di Indonesia. Adik A Nyam yang paling kecil sekarang ada di Taiwan untuk melanjutkan sekolahnya. Dibutuhkan sekita 2 juta untuk biaya perjalanan, dokumen dan pendaftarannya. Semua itu ditanggung oleh A Nyam, sekaligus biaya pendidikan adiknya sampai lulus. Kalau memang bisa, adik A Nyam juga akan belajar sambil bekerja di sana.
Salah satu adik perempuan ibu A Nyam juga bekerja di Tai Tang, Taiwan. Ia baru bekerja beberapa bulan sebagai pembantu rumah tangga khusus untuk merawat seorang tua di rumah itu. Jadi ibu A Nyam sangat menaruh harapan bahwa adik laki-laki a Nyam juga akan dengan mudah mendapat pekerjaan, seperti membantu di rumah makan. Adik perempuan A Nyam yang satu lagi tetap tinggal di rumah dan masih duduk di kelas II SMP. Masih terlalu muda untuk dipikirkan apakah ia juga akan mengikuti jejak kakaknya untuk menikah di sana. Bahkan ibu A Nyam tidak tahu apakah anak perempuannya yang sekarang ada di Surabaya juga akan melakukan hal yang sama. Meskipun juga tidak menolak jika keputusan itu yang diambil , terutama bila mempertimbangkan kisah-kisah sukses di Taiwan, ibu A Nyam lebih membiarkan anaknya mengambil keputusannya sendiri.
A Nyam juga sudah beberapa kali mencarikan ibunya klien yang hendak memperoleh pasangan di Indonesia. Bahkan beberapa waktu yang lalu ia menelepon dan mengatakan ada klien yang akan datang. Tetapi berbekal pengalaman terdahulu, ibu A Nyam merasa akan lebih mudah bila A Nyam mengirimkan foto klien itu terlebih dahulu, sementara ibu a Nyam juga akan mengirimkan foto perempuan-perempuan yang bersedia menjadi pengantin. Setelah ada yang cocok baru akan diatur pertemuannya. Dengan demikian, waktu berkunjung klien di Indonesia pun dapat dipersingkat dan tugas yang harus dilakukan oleh ibu A Nyam juga menjadi lebih ringan.
Lain lagi kisah A Ngo. A Ngo adalah anak pertama perempuan dari lima bersaudara, tiga adik perempuan dan satu kakak laki-laki. Ayahnya bekerja sebagai sopir kapal air alat tranportasi di Kalimantan Barat di Sedau Singkawang yang terutama mengangkut anak-anak yang hendak pergi ke sekolah. Pada saat A Ngo berusia sembilan tahun, mereka sekeluarga pindah ke Pontianak karena ayah A Ngo sakit-sakitan dan seringkali pingsan sehingga tidak memungkinkan untuk bekerja.
Di Pontianak, ibu A Ngo berusaha menghidupi keluarganya dengan berjualan hekeng, makanan tradisonal yang bahan dasarnya udang dan tepung terigu. Tapi hasil penjualannya tidaklah banyak. Karena itu, sejak lulus SMP, A Ngo memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Ia bekerja membantu ibunya berjualan hekeng. Dari hasil tersebut, adik perempuannya, A Ling, berhasil sekolah sampai tamat SMA. Tak lama setelah tamat, A Ling, memutuskan untuk menikah ke Taiwan. Ia menikah dengan seorang mandor di Kao Hsiung pada 1992 ketika usianya baru berusia 18 tahun. Dari pernikahan ini, A Ngo membantu keluarganya dengan sesekali mengirimkan sejumlah uang.
A Ngo kemudian pindah ke Jakarta pada akhir 1992 untuk mencari pekerjaan dengan harapan memperoleh penghasilan yang lebih baik. Saat itu kakak laki-laki A Ngo juga sudah berkeluarga. Saudara laki-lakinya ini memperoleh penghasilan dari berjualan jajanan anak-anak yang terbuat dari beras yang dijadikan kerupuk dan disiram gula atau disebut pheng. Perbuah jajanan tersebut dihargai Rp 75, dan hasil dari jualan itu tidaklah mencukupi, bahkan untuk keluarga kakaknya sendiri yang telah memiliki satu anak.
Di Jakarta, A Ngo bertemu dengan perantara, seorang perempuan setengah baya yang berpostur gemuk. A Ngo sempat bimbang karena ia tidak bisa berbahasa Madarin, belum pernah ke Taiwan dan sama sekali tidak mengenal latar belakang calon suaminya itu. Tetapi melihat kondisi keluarganya akhirnya A Ngo memutuskan untuk menerima tawaran perantara tersebut. Sejak kepergian A Ngo ke Jakarta, ibu A Ngo memang berhenti berjualan hekeng dan membantu anak laki-lakinya membuat Pheng. Tetapi keadaan semakin buruk karena saingan semakin banyak sementara bahan baku semakin mahal.
A Ngo yang saat itu berusia 21 tahun kemudian dikenalkan dengan seorang pria berusia sekitar 40-an dan bekerja sebagai montir di Taipei. Setalah perkenalannya di Jakarta, A Ngo dan suaminya ini kembali ke Pontianak untuk melangsungkan pernikahan. Sebuah pesta perkawinan sederhana diadakan untuk merayakan perkawinan tersebut. Setelah semua dokumen yang dibutuhkan lengkap, A Ngo pergi ke Taiwan.
Di Taipei, A Ngo berjualan jajanan untuk anak-anak sekolah. Penghasilannya ini ia kirimkan ke rumah. Suami A Ngo sendiri tidak keberatan dengan kegiatan A Ngo tersebut. Bahkan ia suka mengingatkan A Ngo bila ia sudah lama tidak berhubungan dengan keluarganya di Indonesia. Waktu ibu A Ngo yang ke Taipei pada 1995 untuk membantu A Ngo yang hendak melahirkan, penerimaan menantunya pun cukup baik. Tetapi sayangnya, suami A Ngo ini senang minuman beralkohol. Jika sudah mabuk, ia langsung tidur. Menurut ibu A Ngo, minimal keadaan itu jauh lebih baik daripada anaknya dipukul. Dan ia tidak begitu heran dengan kebiasaan menantunya ini, karena menurut ibu A Ngo, laki-laki mabuk adalah semacam tradisi di dalam budaya Cina yang dapat ditolerir.
Dari uang yang dikirimkan A Ngo, adik perempuannya pun dapat menyelesaikan SMA. Sekarang adik perempuannya itu sudah berkeluarga. Jadi tanggungan A Ngo tinggal adiknya yang bungsu yang sekarang masih SMP. Tetapi melihat keadaan abangnya, A Lung juga bersedia menyekolahkan keponakannya itu. Apalagi karena abangnya sudah bercerai dan mereka tinggal dengan orang tua A Ngo.
Sekalipun A Ngo mengetahui bahwa bila menjadi perantara ia akan dapat menghasilkan uang yang lebih banyak, A Ngo tidak bersedia. A Ngo berpendapat bahwa tanggung jawab atas nasib para Amoy tersebut akan terlalu berat untuk ditanggungnya. Siapa yang bisa menjamin kalau yang ditawarkannya adalah pria baik-baik, begitu juga tidak mau mendukung keinginan ibunya untuk menikahkan adiknya dengan laki-laki Taiwan terutama setelah A Ngo mengetahui bahwa adiknya itu sudah memiliki kekasih, yang kemudian memang dinikahinya.
Untuk saat ini, uang yang dikirimkan oleh A Ngo dan A Ling cukup untuk memenuhi kebutuhan ayah, ibu, adik bungsu dan pendidikan keponakannya. Bahkan sudah disisihkan sedikit demi sedikit untuk bekal pendidikan adik bungsunya ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut ibu A Ngo, ia belum lagi memikirkan apakah akan meminta anak bungsunya itu untuk menikah ke Taiwan. Ia juga tidak yakin kalau A Ngo akan sepakat dengannya. Selain itu, ibu A Ngo juga sepakat kalau tidak boleh semua anak perempuannya menikah jauh-jauh. Bila ada apa-apa dengan ayah mereka, siapa yang akan membantu, pikirnya.
Hilang Harapan di Negeri Sakura
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Malam membekap kawasan Akasaka di jantung Tokyo. Tapi salah satu daerah esek-esek terkemuka di ibu kota Jepang itu terasa kian panas. Beberapa turis asing dan lelaki hidung belang Jepang tampak menikmati pemandangan. Young and beautiful, young and beautiful, ujar seorang perempuan, berpromosi. Setengah merengek, perempuan dengan kostum ketat itu memaksa. Begitu dilaporkan salah satu majalah berita mingguan ibukota beberapa waktu lalu.
Dengan cekatan, sang salesgirl dari Bar Somaru itu menjanjikan berbagai kenikmatan duniawi. Bila tak cukup dengan kata-kata (maklumlah, bahasa inggris seorang salesgirl umumnya sangat terbatas), ia langsung menggunakan tangan dan tubuhnya. Tanpa sungkan, ia menggandeng dan memeluk pinggang calon pegunjung bar. Cukup hanya dengan membayar 7.000 yen (sekitar Rp. 500 ribu) – jumlah yang kecil bagi ukuran warga Jepang – seorang pengunjung bebas melenggang masuk. Tarif itu termasuk dua gelas minuman dan pertunjukan berupa tarian semi-striptease.
Suasana di dalam bar tak ubahnya seperti bar-bar di Jakarta, temaram dan dijejali perempuan berbaju seronok. Seorang pelayang yang menyebut dirinya Michiko menyambut dengan sesungging senyuman ala Jepang. Perempuan dengan aroma parfum yang lembut itu segera menawarkan “teman” selama Kongko di bar. “Jepang, Thailand, Philippine, or Indonesia?” ujarnya. Tanpa pikir panjang, tulis seorang wartawan yang menuliskan reportasenya itu, meminta seorang “teman” yang berasal dari Indonesia.
Indonesia? Ya, Perempuan indonesia rupanya menjadi salah satu ikon dalam dunia malam di Negeri Sakura. Di Bar Somaru Akasaka, misalnya, ada seorang Amoy, sebut saja Oey Tan, bukan nama sebenarnya, yang berdarah keturunan Cina Indonesia. Perempuan berusia 23 tahun ini mengaku berasal dari salah satu desa di Singkawang, Kalimantan Barat. Oey Tan ternyata sudah dua tahun bekerja di kawasan Akasaka. Selama dua tahun pula Oey Tan berlumur peluh lelaki hidung belang di Jepang. “Mau bagaimana lagi? Sudah kepalang basah,” ujarnya.
Alasan klasik. Tapi justru itulah yang selalu menjadi dalih para pekerja yang terjun di dunia keremangan malam. Oey Tan, yang cuma mengeyam sekolah hingga kelas 2 SMA, mengaku tak punya pilihan lain. Jika bertahan hidup di Singkawang atau Indonesia, tak akan ada perubahan nasib. Padahal, ujar Oey tan, masih ada dua orang adiknya yang duduk di bangku SMU dan SMP.
Oey Tan mengaku tak sendirian. Di kawasan Akasaka saja diperkirakan ada sekitar 30 perempuan asal Indonesia, kebanyakan para Amoy atau gadis muda keturunan Cina Indonesia. Mereka bekerja di berbagai bar dan pub di sepanjang kawasan “esek-esek” itu. Hubungan antar perempuan asal Indonesia terbilang ketat. Mereka tetap berkumpul untuk saling “curhat” atau sekadar ngerumpi. “Karena jauh dari keluarga, kami seperti bersaudara,” kata Oey Tan.
Bagi Jepang, persoalan prostitusi seperti pedang bermata dua. Secara resmi sejak 1958 Jepang menyatakan prostitusi sebagai kegiatan melanggar hukum. Meski begitu, seperti negeri maju lainnya, Jepang tak berdaya membendung pertumbuhan bisnis pemuas syahwat itu. Selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan bisnis itu seperti cendawan di musim hujan. Cepat dan maju pesat. Tak percaya? Tengok saja di Tokyo. Beberapa kawasan bisnis, seperti Akasaka, Shinjuku, dan Roppogi, merupakan kawasan esek-esek terkemuka.
Buntutnya sebenarnya cukup merepotkan pemerintah Jepang. Pertumbuhan pengidap HIV/AIDS di Jepang terbilang relatif tinggi untuk kawasan Asia Pasifik. Penyakit yang kerap menimpa pekerja seks komersial itu kini menjadi ancaman serius bagi masyarakat Jepang. Data Badan Intelijen Amerika (CIA) beberapa waktu lalu menyebut angka prevalensi HIV/AIDS di kalangan warga Jepang dewasa mencapai 0,02 persen. Saat ini diperkirakan sekitar 20 ribu penduduk Jepang terinfeksi virus mematikan itu.
Di sisi lain, Jepang merupakan salah satu negara penting bagi para tenaga kerja Indonesia (TKI). Maklumlah, Jepang memang tak memiliki pasokan pekerja untuk sektor-sektor tertentu. Negeri yang memiliki pendapatan per kapita US$28 ribu (sekitar Rp. 225 juta) itu tiap tahun membutuhkan ratusan ribu tenaga kerja asing. Umumnya para pekerja asing itu bekerja di sektor infrastruktur, industri manufaktur, dan “dunia hiburan”. Di dunia, Jepang merupakan satu-satunya negara yang memberikan visa “pekerja hiburan bagi tenaga kerja asing.
Arti penting Jepang bagi Indonesia tercermin pada jumlah TKI yang bekerja di sana. Hingga akhir tahun lalu, Kedutaan Besar RI di Jepang memperkirakan ada 12.779 orang TKI yang bekerja di Jepang. Tapi tak ada catatan yang jelas soal jumlah devisa yang diperoleh para pekerja Indonesia itu. Maklumlah, tak semua pekerja memiliki identitas dan status yang jelas. Pihak KBRI memperkirakan ada sekitar 4.000 orang tenaga kerja indonesia yang berstatus “ilegal”. Para tenaga kerja ilegal ini umumnya adalah pekerja yang sudah overstay dan tak memegang kontrak kerja. Bahkan, sebagian besar dari mereka tak memegang paspor yang menjadi identitas penting di luar negeri. Soalnya, paspor mereka ditahan oleh majikan lama atau oleh agen tenaga kerja di Jepang.
Ada hal lain yang menarik. Kedutaan Besar RI di Jepang menyebut ada 235 orang tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di sektor hiburan. Secara resmi, mereka disebut sebagai “artis atau entertainer”. Angka ini bisa jadi jauh lebih kecil dari fakta sebenarnya. Soalnya, para TKI yang berstatus ilegal juga banyak yang bekerja di dunia hiburan. Masalahnya, para pekerja di sektor hiburan ini sangat rawan terhadap eksploitasi seksual. Bisa dipastikan, para pekerja seks komersial. Hampir semua pekerja hiburan di Jepang akan dijadikan pemuas syahwat.
Apalagi proses audisi saat perekrutan “artis” untuk Jepang umumnya sangat menonjolkan keindahan fisik calon tenaga kerja wanita. Bahkan banyak perusahaan yang meminta calon “artis” berlenggak-lenggok sambil menanggalkan pakaian. Tak mengherankan, para TKW yang akan menjadi pekerja hiburan di Jepang ini kerap disebut sebagai “Ayam bersepatu”. Istilah ini, telah menjadi joke di kalangan perusahaan pengirim TKW. Untunglah, tak semua “Ayam bersepatu” pasrah dengan keadaan.
Seperti kebanyakan pekerja seks komersial asal Indonesia, mereka para Amoy muda ini nyaris tak pernah menikmati hasil keringat mereka. Ini akibat “keteledoran” saat menandatangani kontrak kerja. Dalam salah satu klausul kontrak kerja mereka disebutkan bahwa para pekerja berutang 5 juta yen (sekitar Rp. 350 juta) kepada mucikari di Jepang. Angka sebesar itu konon merupakan segala ongkos yang harus dikeluarkan untuk menjadi pekerja di Jepang. Sialnya, para perempuan lugu itu dipakasa membayar utang tersebut dengan tubuh mereka. Bila menolak, “Kami dihajar seperti binatang,” ujar seorang Amoy dengan setengah berbisik.
Memang ada Oey Tan, pekerja seks komersial di kawasan Akasaka, yang akhirnya bersikap pragmatis. Daripada tak bisa pulang ke kampung, ia menerima dan menikmati kehidupan malam di kota metropolis Tokyo. Tapi, bukan tak mungkin, jauh lebih banyak Amoy atau perempuan yang ingin keluar dari cengkeraman sang mucikari. Para begundal anggota Yakuza-lah yang membuat mereka kehilangan harapan.
Desah Batin Amoy di Singapura
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Singapura dikenal sebagai bersih, disiplin, cenderung steril, dilarang merokok, dilarang berjualan permen karet, dilarang menyeberang sembarangan, dan seribu larangan lainnya. Singapura juga dikenal sebagai surga belanja bagi orang Indonesia. Tapi ketika kemudian disebutkan pula sebagai ajang transaksi bisnis seks, maka banyak orang akan mengerutkan keningnya, tidak percaya. Bagaimana mungkin, lantas kenapa pemerintah Singapura mendiamkannya saja, atau menindaknya.
Konon, prostitusi sudah sejak lama ada di Singapura. Bahkan sejak Stamford Raffles memerintah 1819 hingga saat terakhir ini. Sebelum ia meninggalkan Singapura karena jabatannya berakhir 1823, Raffles menulis, “Pelacur malang itu seharusnya diperlakukan dengan rasa iba, namun demikian segala upaya hendaknya dilakukan guna mencegah agar pelayanannya terhadap para pelanggan menjadi sumber keuntungan bagi orang lain kecuali dirinya …”
Sebagai orang yang realistis, Raffles tahu bahwa pulaunya yang bergelora ini akan menarik perhatian banyak lelaki petualang dari seluruh Asia, sehingga hal itu juga akan menarik perhatian para wanitanya untuk melayani para pria, serta untuk mengangkat mereka dari jurang kemiskinan, dengan cara yang waktu itu mungkin merupakan satu-satunya kesempatan karir yang terbuka bagi mereka sebagai wanita lajang.
Sebagai manusia yang penuh belas kasihan juga, Raffles tahu bahwa para wanita itu akan dieksploitasi oleh para pria, dan wanita lainnya, dan ia tegas-tegas menyatakan ketidaksukaannya kepada germo dan sebangsanya yang paling menikmati keuntungan dari para wanita yang harus mendapatkan uang dengan cara berat, yaitu dengan menjadi penjaja seks komersial.
Pada 1898, Protektorat Tiongkok ini mencatat bahwa Singapura mempunyai 200 rumah pelacuran terdaftar yang mempekerjakan lebih dari 3.000 wanita, sebagaian besar Amoy dari atau orang Kanton, ditambah 150 yang tidak terdaftar berisi 600 Amoy, sebagian besar Amoy dari kalangan orang Teochew. Populasi lelaki lajang Cina pada waktu itu sekitar 250.000, jadi tidak terlalu mengherankan bila 4 dari tiap 5 Amoy yang datang dari Tiongkok melalui Boat Quay cepat-cepat dikirim ke zona pelacuran. Daerah tersebut kemudian dikenal sebagai Blue Triangle atau Segitiga Biru, batasnya sekarang adalah keong Saik Road, Teck Lim Road dan Jiak Chuan Street.
Sampai awal 1930-an, pusat zona lampu merah yang terbuka bagi semua ras adalah Malay Street. Tapi setelah perang, pusat tersebut berpindah ke deretan daerah Selegie, Jalan Besar, Lavender, Bales dan Desker Road, di mana pada 1950-an para wanitanya menentukan tarif aneh yaitu $5.60, mereka ini dijuluki dengan lima enam puluh. Menyusul adanya anti kebudayaan kuning, setelah kemerdekaan pada 1959-an, daerah percabulan Singapura itu sebagian besar pindah ke arah barat tempat di mana sampai sekarang mereka masih beroperasi, misalnya, tentu saja Desker Road.
Begitulah juga yang terjadi di daerah-daerah lain di Singapura masa kini. Hal itu sudah bukan menjadi rahasia lagi, walaupun mungkin mengejutkan bagi orang-orang luar negeri yang terlanjur memandang Singapura sebagai surga belanja yang bersih dan nyaman, namun juga garang, sebuah tempat yang tegas-tegas melarang penjualan permen karet. Ada pula sejumlah besar warga lokal yang mungkin berpikir bahwa hal seperti itu hanya bisa terjadi di Bangkok, Haadyai, Batam, tapi tidak di sana. Sebuah ironis tentunya. Berikutnya, ada juga orang-orang yang mengetahui tempat-tempat seperti Geylang dan Desker Road tapi tidak akan bermimpi untuk pergi ke sana dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Sikap resmi pemerintah Singapura tentang prostitusi ini, antara lain disebutkan, “adanya daerah-daerah de-sanitized, tidak terjamah, di mana Singapura membiarkan orang-orang seperti apa adanya …” Designated red-light areas, daerah tertunjuk lampu merah, dan Singapura tidak mengiklankan prostitusi, tapi tiap orang Singapura tahu ada Geylang dan apa yang terjadi di sana. Agaknya, penegasan itu merupakan toleransi setengah hati yang didasarkan pada argumen pragmatis untuk tidak mengarahkan kegiatan bisnis seks secara underground, sembunyi-sembunyi, yang justru akan jauh lebih sulit lagi untuk diknedalikan.
Lebih dari 6.000 wanita menawarkan bisnis seks di Singapura masa kinin. Ini merupakan perkiraan tidak resmi yang mencakup semua jenis bisnis seks yang diketahui, mulai dari pelacur full time, sampai yang sekedar ngobyek, termasuk wanita-wanita Indonesia, para Amoy, yang konon dari Singkawang, Pontianak dan beberapa kota di Pulau Jawa yang berada di Singapura untuk, dalihnya, liburan sambil bekerja. Jumlah sebenarnya mungkin lebih besar.
Dan jika angka 6.000 lebih itu tampaknya besar, mengapa mereka, terutama para Amoy dari Indonesia, melakukannya? Para Amoy ini mencakup semua tingkatan, mulai pelacur jalanan dan ibu rumah tangga yang kerja paroh waktu sampai wanita-wanita simpanan yang tinggal di apartemen meah. Tapi apa yang menghubungkan mereka semua, tentu saja melakukan seks demi uang. Tak jauh berbeda dengan motif pengantin orderean antara Amoy Indonesia dengan pria Taiwan di Formosa tentunya.
Pada sisi yang paling mendasar, para Amoy tersebut membutuhkan uang untuk membayari biaya-biaya rumah tangga yang meningkat bahkan sebelum mereka memikirkan hal yang menyenangkan diri sendiri. Prostitusi barangkali menawarkan jalan yang paling mudah, paling cepat, dan paling bebas pajak untuk dilakukan oleh para Amoy yang tidak melampaui garis batas ketat sistem pendidikan Singapura atau para wanita yang memiliki anak-anak yang harus mereka hidupi sendiri.
Kemudian ada juga para Amoy yang melakukannya untuk kesenangan, untuk mencari sensasi, karena kehidupan mereka sehari-hari begitu membosankan. Atau para Amoy yang seksualitasnya sangat aktif, tapi tidak dapat mengekspresikannya dalam kungkungan masyarakat Singapura yang konvensional. Atau para Amoy dalam kelompok lebih atas dari bisnis seks ini, yang tahu bahwa sejumlah uang yang cukup besar bisa mereka peroleh apalagi melakukannya juga menyenangkan. Dan, para Amoy ini melakukannya dengan banyak cara.
Daerah pelacuran yang mencolok Amoy Indonesia di Geylang berada antara Lorong 10/12, dan sepanjang Talma Road. Kadang-kadang terlalu mencolok, padahal patroli polisi sering lewat di situ, dan rumah-rumah kos kecil yang digunakan para Amoy Indonesia untuk melacur dengan mudah dapat digerebek oleh Police Anti-Vice. Salah satu akibatnya adalah bahwa para Amoy atau gadis muda ini hanya keluar di waktu-waktu tertentu, biasanya sekitar jam 6-8 malam untuk periode sore hari, mencari short time, dan kemudian setelah jam 11 malam untuk semalaman ketika, bahkan, Polisi Anti-Vice pun ingin bersantai! Daerah ini dikenal baik oleh para buruh asing yang tinggal di daerah tersebut dan menganggap para Amoy itu sebagai tontonan terbuka dan gratis di malam hari.
Hal ini menjengkelkan para Amoy tersebut karena jarang adanya tawaran bisnis yang bisa didapat dari para lelaki mesum itu, sementara kerumunan mereka bisa menarik perhatian polisi yang tidak mereka inginkan. Masalah yang lebih besar daripada sekedar Polisi Anti-Vice bagi para Amoy Singkawang dan Pontianak yang transit lewat Batam ini adalah meja-meja imigrasi di World Trace Center, di mana fery Batam dan Bintan berlabuh. Di sana, para petugas akan menebak-nebak alasan berkunjung sebenarnya dan memberi izin berkunjung hanya 3 hari. Hal ini mengurangi kesempatan mereka mendapatkan uang, dan para Amoy pekerja keras dari Indonesia ini, antaranya dari Singkawang dalam jumlah besar, sangatlah bergembira ketika mereka kembali ke Batam, lemas mendesah tapi bertambah kaya $1.000. Konon, penghasilan normal mereka biasanya jauh lebih rendah daripada itu, tetapi akan terkompensasikan oleh kuatnya dolar Singapura terhadap rupiah Indonesia.
Kadang-kadang, petugas imigrasi tidak membiarkan masuk Amoy yang diketahui berprofesi seperti itu sama sekali dan meminta mereka menunjukkan uang tunai yang cukup guna menunjukkan kepada petugas bahwa mereka berkunjung untuk berbelanja, atau segera mengirim mereka kembali dan menegaskan bahwa mereka tidak bisa masuk Singapura lagi untuk paling tidak satu bulan.
Konon, saat terpuruknya perekonomian Indonesia dan kekacauan yang terjadi pra dan pasca kejatuhan rezim Pak Harto, di mana paling kentara dirasakan para Amoy keturunan Cina, mendorong sebuah media massa untuk melaporkan bahwa ribuan Amoy menjadi pelacur guna menghidupi keluarga mereka, dan meneruskan trauma tindak asusila dalam Mei 1998 di Jakarta. Dan, krisis telah menyebabkan meledaknya prostitusi tersebut.
Lebih dari 800 wanita Indonesia diperkirakan bekerja di pulau-pulau Indonesia yang bertetangga langsung dengan Singapura, yaitu Batam dan Bintan. Wanita-wanita ini datang dari segala penjuru kepulauan Indonesia, tak terkecuali para Amoy dari Singkawang, Pontianak dan sekitarnya, yang tergoda untuk datang ke pulau-pulau yang dulunya sepi ini demi kejayaan dolar Singapura. Karena Batam berjarak hanya sekitar 30 menit dan Bintan 1 jam perjalanan fery, banyak lelaki Singapura datang ke sana untuk menikmati jeda kerja, R&R breaks mereka.
Wanita-wanita pekerja Batam, khususnya para Amoy, beroperasi dengan cara yang berbeda-beda, kebanyakan harus di dalam ruangan. Pusat kota Batam di Nagoya memiliki beberapa panti pijat bergaya akuarium, karaoke dan tempat-tempat KTV, disko, klub malam, lounge, bar, bahkan salon penataan rambut yang tidak jelas. Bisnis seks Bintan berbeda, lebih berhati-hati, tidak terlalu menonjol. Tetapi, pulau ini memang memiliki kampung cinta, begitu julukannya, yang tidak umum, atau disebut juga peternakan ayam, istilah sehari-harinya di sana. Tempat ini merupakan kampung kecil, sekitar 17 kilometer keluar pusat kota Bintan yaitu Tanjung inang, dan tidak dapat dicapai oleh kendaraan apapun selain taksi, yang menunggu hingga mobil mereka yang rombengan itu diisi dulu bensinnya oleh si lelaki hidung belang.
Akhirnya, mereka membelok dari jalan utama dan menyusuri jalan kecil yang kotor, melewati pembatas yang dijaga oleh orang-orang, dan di situlah tempatnya. Kampung yang kecil itu berdiri sendiri, yang benar-benar jauh dari mana-mana, ditandai dengan para Amoy yang menunggu untuk menawarkan jasanya di tempat atau, jika mereka mau, bisa dibawa ke hotel.
Bintan disukai oleh para lelaki Singapura yang lebih tua, yang secara alamiah senang mendapatkan Amoy muda yang seks-nya bersemangat dan memberikan perhatian begitu besar kepada mereka. Atau, perhatian kepada isi dompet mereka. Karenanya hal itu disebut sindrom para pria ini biasanya berusia di atas 55 tahun dan dengan demikian sudah bisa menarik simpanan Central Profident Fund sejenis dana pensiun mereka. Dan ketika para Amoy ini sudah bisa memisahkan si lelaki dari uang mereka, mereka kini menyingkirkan kakek-kakek ini sebagaimana mereka membuang bungkus nasi yang kini telah mereka makan.
Kelihatannya alasan mendasar prostitusi yang ditempuh para Amoy, sebagai penolakan dipersunting pria Taiwan misalnya, adalah sama di seluruh dunia. Uang, itulah yang mereka cari. Itu pulalah yang membuat mereka menjadi bukan hanya profesional, melainkan juga mengidentikkan diri mereka ini.
Kemiskinan dan ketidakmampuan para Amoy, seperti utamanya dijumpai dan dipatok sebagai alasan utama yang ada di Singkawang dan beberapa kota lainnya di Indonesia, menafkahi hidupnya dengan jalan lain mungkin merupakan faktor utama yang memotivasi mengapa begitu banyak Amoy terjun dan terjungkal ke dunia prostitusi di Singapura. Jelas, berbeda dengan pengantin orderan ke Taiwan, yang jauh lebih dimaklumi kemudiannya.
Diakui, Singapura mempunyai bisnis seks sendiri dan bisnis ini mempunyai karakteristik setempat yang berbeda. Ini karena modernitas Singapura masih bercampur baur dengan pandangan-pandangan Asia tradisional, di mana lelaki adalah sebagai penyedia uang dan wanita sebagai penerima uang, juga adanya standar-standar ganda sepanjang menyangkut seks.
Pengakuan seorang Amoy asal Singkawang yang sampai belakangan menetap di Batam, dapat diungkapkan, bahwa seorang Amoy yang menjadi penjaja seks komersial berpikir hal semacam itu adalah lebih buruk daripada yang dia dapat, keuntungan satu-satunya menjadi wanita yang telah menikah adalah tidak adanya stigmatisasi sosial. Prostitusi diberi stigma hanya karena mereka tidak mengungkapkan seksualitasnya dalam lembaga pernikahan yang patriarkal.
Dan, inilah yang membedakan Amoy ke Singapura dengan Amoy ke Formosa ...
Bukan Akhir Sebuah Cerita …
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Dengan kemiskinan yang dialami selama pembangunan dilangsungkan di daerah asalnya, maka banyak Amoy atau perempuan yang berasal dari keluarga petani tidak memiliki banyak pilihan dalam menjalani hidupnya. Bila menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri adalah salah satu cara untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik, minimal keluarga yang ditinggalkan, maka untuk Amoy atau perempuan Indonesia asal Kalimantan Barat menikah dengan laki-laki Taiwan adalah cara untuk mencari penyambung hidup dan keluar dari kemiskinan yang dihadapi oleh diri dan keluarganya. Entah sebuah keberuntungan ataukah justru sebuah kemalangan bahwa para Amoy asal Indonesia yang terpinggirkan dalam proses pembangnan dan Neoliberalisme Ekonomi Indonesia ini adalah terlahir sebagai keturunan Cina. Dengan ciri fisik dan budaya yang diusungnya, para Amoy ini laris pula di bursa perkawinan bagi laki-laki Taiwan yang hendak mencari istri ke luar negeri.
Trend mencari istri keluar negeri oleh laki-laki Taiwan secara kebetulan memiliki kesamaan dengan arus kapital dari Taiwan ke leuar negeri. Setelah bangkit sebagai negara industri baru Taiwan mulai menggalakkan investasi ke arah Asia Tenggara sejak pertengahan 1980-an silam. Antara 1980-1990-an, investasi Taiwan terbesar diarahkan ke Malaysia dan Thailand. Kemudian menyusul ke Filipina. Pada tahun-tahun itu perkawinan laki-laki Taiwan dengan perempuan luar negeri paling banyak terjadi dengan perempuan di dua negara tersebut. Seiring dengan instabilitas di Filipinan dan ditandatanganinya Investment Guarantee Agreement antara pemerintah Indonesia perkawinan antara laki-laki Taiwan dan Amoy Indonesia mulai dilakukan secara massal dan terus bertambah setiap tahunnya. Sementara setelah hubungan ekonomi Taiwan dan Vietnam membaik ditunjukkan oleh semakin besarnya investasi Taiwan di negara Indocina tersebut, jumlah pengantin perempuan dari Vietnam juga berkembang dengan pesat atau bertambah 2,7 kali dari perkawinan transnasional Taiwan-Vietnam yang berlangsung kemudian.
Merelakan anak perempuan untuk menjadi istri bagi orang asiong, tidak dikenal sebelumnya, adalah sesuatu yang mungkin sulit untuk dipahami dalam kondisi normal. Tetapi ketika kehidupan begitu berat akibat kemiskinan yang semakin menjadi, maka orang tua pun akan merelakan anak perempuan pergi menyeberangi batas-batas wilayah negara untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Apalagi bila orangtua tersebut merasa yakin bahwa kepergian satu saa dari anak perempuannya akan dapat menyokong perekonomian seluruh keluarga yang ditinggalkan, bukan hanya sekadar emas kawin yang diterima tetapi karena di negara tujuan yang lebih maju, anak perempaunnya atau Amoy juga masih dapat bekerja dan mengirimkan penghasilannya ke rumah.
Pengorbanan yang telah dilakukan oleh para Amoy atau perempuan Indonesia yang menikah ke Taiwan, ini adalah kenyataan pahit sekaligus penghargaan yang harus disampaikan kepada mereka yang menjadi korban dari sistem kapitalis dunia yang sedemikian buasnya sehingga mereka harus dan bersedia merelakan perasaan, tubuh dan seluruh masa depan mereka demi kelangsungan kehidupan seluruh keluarganya.
Pertama bahwa kerelaan perempuan Indonesia untuk menikah ke Taiwan adalah disebabkan oleh pemiskinan yang dialami oleh perempuan dan rakyat Indonesia pada umumnya sejak Indonesia berkomitmen untuk memenuhi tuntutan perekonomian global dengan melaksanakan pembangunan. Kedua bahwa dengan adanya kerelaan ini, tidak serta merta menganulir unsur perdagangan trafficking dalam perkawinan Indonesia-Taiwan.
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Kota Amoy julukan yang diberikan untuk Singkawang, Kalimantan Barat, tidak hanya memberikan arti gudangnya gadis Cina yang cantik. Tetapi juga menyiratkan kesan Kota Indonesia berciri Cina. Cap Cina yang melekat pada Kota Singkawang memang punya sejarah panjang. Kehadiran orang-orang Cina di daerah itu bermula sejak berabad-abad yang silam. Namun yang lebih mempengaruhi perkembangan Singkawang adalah migrasi besar-besaran pada awal bad XVIII.
Mereka kemudian melewati perjalanan sejarah yang panjang dan berlikut, sampai akhirnya adalah migran-migran Cina yang bekerja di pertambangan emas dan intan di Montrado yang membangun Korta Singkawang yang semula dimaksudkan sebagai daerah peristirahatan. Setelah berjaya di Montrado, mereka dikalahkan oleh Belanda lewat pertempuran yang sengit. Orang-orang Cina kembali bertani dan berdagang di Singkawang, kemudian membentuk komunitas Cina yang dominan. Sekarang, keturunan Cina merupakan mayoritas. Anehnya, kaum mudanya, khususnya para Amoy Singkawang, malah tak betah berlama-lama di kampung halamannnya itu.
Ke mana perginnya Amoy Singkawang, dan mengapa dari Singkawang mereka mencari cinta, merupakan dua sudut pandangan yang cukup unik. Singkawang tidak hanya terkenal karena keramik. Kemunculan gejala lain mulanya, Amoy di kota tepian pantai di Kalimantan Barat ini, bahkan sampai belakangan masih sibuk pula menjual cinta kepada lelaki khususnya dari Pulau Formosa. Dan para lelaki Taiwan yang mencari cinta banyak yang bergairah untuk memperistri Amoy dari Singkawang. Alasannya, praktis dan biayanya murah.
Ternyata, masalah perkawinan yang selama ini dikategorikan sebagai isu personal, bukanlah semata sebuah isu personal. Melainkan, juga sebuah isu sosial politis, di tingkat negara maupun dalam hubungan antarnegara. Sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, perkawinan antara perempuan Indonesia, Amoy Singkawang, dan laki-laki Taiwan ternyata hadir sebagai sebuah konsekuensi logis dari sistem dunia yang diwarnai oleh bau kapitalisme.
Karena adanya demand dan suplly dengan logika kapitalisme itu, telah dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai lahan bisnis dengan modus perkawinan transnasional (baca: pengantin pesanan) dengan menjadi perantara dalam modus perkawinan tersebut. Pada akhirnyua, perkawinan itu adalah wujud dari metode perdagangan perempuan, trafficking in women, yang sangat merugikan para Amoy itu sendiri. Para Amoy Singkawang pasca pernikahan tetap menempati posisi subordinat, baik di tingkat relasi personal, antara Amoy dan lelaki Taiwan atau pun pria Hongkong yang mempersuntingnya, dengan keluarga dan negaranya, maupun dengan negara yang ditujunya.
Budak Terselubung Percikan Budaya
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Seperti pada kebanyakan kasus perkawinan transnasional yang ditemukan, sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki Taiwan yang menikah dengan perempuan luar negeri asal Indonesia, yang disebut Amoy, adalah mereka yang di dalam pasar perkawinan dalam negeri Taiwan dikategorikan sebagai laki-laki tanpa masa depan. Kelompok ini lahir sebagai dampak dari perkembangan perekonomian Taiwan yang mengedepankan industri dengan strategi substitusi impor dan orientasi ekspor. Mereka adalah para petani yang mengalami pemiskinan akibat kebijakan pemerintah yang menguntungkan industri dengan cara mempertahankan harga jual yang murah untuk hasil pertanian sementara alat-alat produksi pertanian hasil industri dijual dengan sangat mahal. Dengan tetap bertahan di desa, mereka hidup dalam kondisi ekonomi yang buruk.
Kondisi yang tidak menguntungkan di pedesaan menyebabkan banyak laki-laki yang kemudian tertarik untuk memasuki pasar tenaga kerja untuk industri. Tetapi, para buruh juga mengalami pemiskinan karena pemerintah Taiwan memiliki kebutuhan untuk tetap menekan upah buruh agar tidak meningkatkan biaya produksi sehingga produk yang dihasilkan mempunyai nilai kompetitif di pasar global. Akibatnya, kondisi ekonomi buruh pun hanya sedikit relatif lebih baik daripada kelompok petani.
Sebagai kelompok yang tidak memiliki masa depan dalam bursa perkawinan dalam negeri, sementara kebutuhan untuk membangun rumah tangga adalah mendesak, maka mereka kemudian didorong untuk melirik perempuan dari luar negeri. Meskipun demikian, masih ada harapan bahwa perempuan yang dipersunting memiliki kesamaan budaya, yaitu Hoklo ataupun Hakka.
Dengan kebutuhan untuk menemukan pasangan hidup, laki-laki Taiwan, yang selanjutnya disebut klien, kemudian klien mencari pihak yang dapat membantu mereka. Pihak ini disebut perantara. Pada perkembangannya, perantara dapat pula menawarkan jasanya kepada para laki-laki Taiwan yang potensial untuk menjadi klien. Tetapi tentunya jasa perantara ini tidak Cuma-Cuma.
Setiap perantara akan menutupi kenyataan bahwa mereka memperoleh nafkah dari perkawinan Indonesia-Taiwan. Tidak ada perantara yang bekerja sendiri. Sedikitnya da tiga peran yang dimainkan oleh perantara yang berbeda. Pertama, perantara berfungsi sebagai pencari klien di Taiwan. Klien terutama diperoleh dari hubungan interpersonal yang sudah dibangun, misalnya dari klien laki-laki maupun perempuan yang pernah berhubungan dengan perantara tersebut. Kedua adalah yang berperan mengumpulkan perempuan-perempuan yang bersedia menjadi pengantin perempuan ke Taiwan. Pencarian ini bisa sampai ke pelosok daerah. Ketiga adalah mengurus seluruh dokumen yang dibutuhkan oleh pihak perempuan setelah perkawinannya untuk pindah ke Taiwan.
Dengan ketiga tugas ini, memang sulit bagi seseorang perantara untuk bekerja sendiri. Biasanya, terdapat orang yang berbeda untuk setiap tugas tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya perangkapan tugas. Keluarga lain juga dilibatkan dalam mencari calon pengantin perempuan, para Amoy, meskipun ia juga dibantu oleh orang lain dalam pengumpulan calon pengantin tersebut.
Mempertimbangkan kebutuhan untuk membuat klien puas, usaha untuk mencari pengantin perempuan atau Amoy biasanya dilakukan oleh banyak orang, sebutlah hunter. Hal ini dimaksudkan agar klien memperoleh beberapa pilihan calon pengantin. Untuk setiap hunter yang temuannya tersebut kemudian disunting oleh klien akan menerima 300.000 sampai 500.000 rupiah.
Laki-laki Taiwan masih menaruh harapan bahwa Amoy atau perempuan yang dipersunting memiliki kesamaan budaya, yaitu Hoklo ataupun Hakka yang kebanyakan dijumpai di Singkawang. Itulah sebabnya Indoneia menjadi salah satu rujukan untuk menemukan pengantin perempuan karena pada awal abad XIX terjadi gelombang migrasi dari Cina Selatan menuju ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Di Indonesia, Kalimantan Barat adalah salah satu kantong keturunan Cina. Bahkan di Singkawang, tercatat 70 persen dari penduduknya adalah keturunan Cina, terutama dari subsuku Hakka.
Adanya kesamaan latar belakang budaya ini bisa mengecohkan. Secara sepintas terpikirkan bahwa sebuah perkawinan adalah hal yang sangat personal yang dilakukan oleh dua insan manusia. Dan adalah wajar bila perkawinan terjadi antara dua orang yang mengusung kebudayaan yang sama, sekalipun berbeda kewarganegaraannya. Namun, perkawinan antara Indonesia—Taiwan adalah hasil rekayasa. Tidak ada pertemuan yang hadir secara alamiah antara amoy perempuan Indonesia dan laki-laki Taiwan dalam perkawinan ini. Semuanya adalah buah dari jasa yang disediakan perantara. Dan untuk dapat menyewa jasa seorang perantara, klien harus membayar sejumlah uang sebesar NT$ 300.000-350.000 atau sekitar Rp 90-105 juta, bila dibandingkan NT$1 setara Rp 297,5 dalam kurs US$1 senilai Rp 8.500. Pembayaran ini sudah termasuk biaya perkenalan dengan pihak perempuan, pengurusan dokumen, biaya perkawinan dan kadangkala biaya transportasi pihak perempuan ke Taiwan.
Dari pembayaran ini, perantara pertama pencari klien akan mengambil sepertiga dari total pembayaran. Dua pertiga lagi diserahkan ke perantara kedua untuk melangsungkan segala proses yang dibutuhkan. Berbeda dengan mail order bride yang berkembang di negara barat, perantara untuk perkawinan Indonesia-Taiwan jarang menggunakan katalog pengantin perempuan, bahkan sama sekali belum menggunakan teknologi seperti video dan internet, kecuali belakangan terakhir ini.
Pihak laki-laki dengan demikian harus datang ke Indonesia untuk bertemu sendiri dengan para calon pengantin perempuan, para Amoy, untuk kemudian menentukan pilihannya. Tentunya pihak perantara tidak mau menanggung biaya transportasi klien untuk datang ke Indoneeia untuk mencegah biaya operasi yang terlalu besar serta kerugian yang mungkin ditimbulkan bila klien adalah seorang laki-laki pemilih sehingga tidak cukup hanya dengan satu kali kunjungan ke Indonesia. Karena biaya yang harus dikeluarkan untuk satu kali kunjungan cukup mahal, jarang ada klien yang kembali ke Taiwan dengan tangan hampa.
Setelah klien memberikan seluruh uang untuk keperluan perkawinan itu, perantara pertama akan mempersiapkan keberangkatan klien ke Indonesia. Perantara tersebut akan menghubungi mitranya di Indonesia untuk mempersiapkan akomodasi dan jadwal pertemuan dengan calon mempelai perempuan atau Amoy. Biasanya, setelah mendengar informasi keberadaan klien, perantara kedua di Indonesia akan menghubungi hunters untuk mulai mencari pengantin perempuan yang mendekati kriteria yang diinginkan oleh klien. Bila semua sudah siap, klien akan datang berkunjung ke Indonesia untuk memilih pasangannya.
Pertemuan antara klien dengan calon pengantin perempuan dapat dilakukan di Jakarta ataupun di Kalimantan Barat, baik di Pontianak maupun Singkawang. Untuk pertemuan ini, ada dua cara yang dapat diterapkan, terutama tergantung pada jumlah klien yang datang. Bila klien datang dalam rombongan besar, 5 sampai 8 orang, maka semua calon pengantin dikumpulkan di sebuah ruangan dan klien-klien akan datang ke ruangan tersebut. Setelah sedikit perkenalan tentang latar belakang masing-masing calon, seperti usia, pendidikan dan motif menjadi calon pengantin, klien akan memilih Amoy atau perempuan mana yang paling manrik hatinya pada saat itu. Selanjutnya klien dapat meminta Amoy tersebut untuk pindah ruangan dan wawancara lebih mendalam bisa dilanjutkan di sana.
Kedua adalah dengan mendatangkan calon pengantin satu persatu. Cara ini biasanya dilakukan bila klien tidak datang dalam rombongan besar. Wawancara akan dilakukan pada saat calon pengantin pere,mpuan datang dan dimulai dengan memperkenalkan latar belakang usia, pendidikan an silsilah keluarga calon pengantin perempan. Motivasi menjadi pengantin perempuan dan virginitas menempati urutan teratas dari tanya jawab yang dilakukan.
Setelah pertemuan pertama, bila ada calon yang berkenan di hati klien, maka Amoy atau perempuan lebih intensif akan dilakukan. Restoran atau tempat hiburan lainnya menjadi pilihan lokasi untuk pertemuan tersebut. Dari pertemuan ini diharapkan akan membantu klien untuk mengenal perempuan tersebut lebih lanjut. Bila hasil pertemuan ini positif, maka klien dapat menggandeng Amoy tersebut ke pelaminan. Dalam proses menentukan pilihan ini, keinginan klien menempati prioritas utama. Meskipun demikian, calon pengantin perempuan diberi kesempatan untuk menolak klien jika memang tidak sesuai dengan keinginannya. Tetapi penolakan itu jarang, bahkan hampir tidak pernah terjadi. Hal ini tidak terlepas dari kondisi awal Amoy yang sudah menyatakan kesediaannya untuk dipilih dan bukan pada posisi setara untuk memilih pasangan hidupnya.
Bila sudah menemukan pasangan, klien akan dipertemukan dengan orangtua Amoy untuk melakukan proses peminangan. Dalam proses peminangan, klien akan memberikan sejumlah uang atau perhiasan kepada orangtua klien sebagai mahar atau emas kawin, biasanya berkisar 2 hingga 4 juta rupiah. Kemudian pesta perkawinan sederhana pun dilangsungkan. Setelah klien menentukan pilihan, perantara akan mempersiapkan paspor bagi pengantin perempuan. Karena itu, segera setelah perkawinan, pihak perempuan atau Amoy sudah menggenggam paspor atas namanya. Perantara pula yang mengurus segala dokumen lain yang dibutuhkan untuk paspor tersebut, misalnya akte kelahiran. Untuk mempercepat proses, mereka sudah mempersiapkan sejumlah uang pelicin atau kolusi dan nepotisme selain membangun relasi yang baik dengan petugas-petugas yang harus dihadapinya.
Dokumen lain yang harus dipersiapkan adalah akte perkawinan. Dokumen ini diperoleh dengan mencatatkan perkawinan tersebut ke catatan sipil. Keanehan biasanya akan berlangsung di sini saat ditanyakan kedua mempelai apakah mereka saling mencintai satu sama lain dan benar-benar bersedia untuk menikah. Dalam sebuah proses perkenalan yang tidak lebih dari 3-4 hari dan tidak berlangsung secara alamiah, tentu sulit bagi seseorang untuk mengatakan apakah benar-benar mencintai pasangannya itu. Apalagi bila perempuan tersebut masih sangat muda menikah dengan laki-laki yang sama sekali asing dalam kehidupannya dan bersuai dua kali lipat atau lebih dari dirinya sendiri. Sementara itu, pertanyaan tersebut sudah seperti formalitas saja untuk mendapatkan jawaban dari pihak mempelai bahwa mereka tidak menikah atas tekanan dari siapa pun.
Setelah seluruh dokumen yang dibutuhkan dari daerah asal perempuan di Kalimantan Barat selesai, pasangan ini kembali ke Jakarta untuk mendaftarkan diri Taipei Economy and Trade Office, Teto. Teto adalah institusi pemerintah Taiwan di Indonesia yang memiliki kewenangan untuk memberikan visa. Untuk memperleh visa, pasangan tersebut akan diwawancarai oleh petugas Teto. Bila mereka lulus wawancara maka Amoy atau perempuan tersebut dapat pergi ke Taiwan untuk bergabung dengan suami dan keluarga suaminya itu. Karena seluruh dokumen yang dibutuhkan adalah asli, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya pemalsuan misalnya tentang usia dalam dokumen tersebut maka kedua mempelai tidak menghadapi banyak kesulitan hukum dalam aplikasi visa ini, kecuali dari petugas Teto sendiri.
Dari pekerjaannya ini, perantara akan memperoleh keuntungan bersih berkisar dari 3-7 juta rupiah dari setiap perkawinan yang berlangsung tergantung pada posisi yang mereka mainkan. Mereka merasa dirinya mendapat keuntungan lebih karena klien-klien perempuan yang diperolehnya juga akan sekaligus bekerja di pabrik dengan upah yang relatif murah. Sebuah investasi jangka panjang dalam penafsiran mereka tersebut.
Tanggung jawab perantara secara otomatis akan berakhir setelah Amoy atau perempuan tersebut tiba di Taiwan. Perantara tidak bertanggung jawab seandainya klien laki-laki adalah seorang yang abusive, penipuan lewat perkawinan untuk mempekerjakan perempuan atau Amoy sebagai pekerja seks, pemabuk, penjudi atau bahkan bila terjadi kasus penjualan kembali Amoy tersebut di Taiwan, sebagai seorang pekerja seks sekalipun. Bagi mereka, segala hal dalam rumah tangga tersebut dikembalikan pada peruntungan nasib Amoy atau perempuan itu. Dan pihak perempuan atau Amoy dan orangtua dari perempuan tersebut juga tidak akan menyalahkan perantara bila terjadi hal yang buruk dalam perkawinan itu.
Masalah lain yang muncul dalam perkawinan ini berasal dari tradisi keluarga besar yang dalam budaya Cina, atau Asia pada umumnya. Dalam tradisi ini seorang anak perempuan dan menantu harus berbakti kepada keluarganya atau keluarga suami. Karena itu, seorang menantu harus bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan segala kebutuhan keluarga besar tersebut, mengurus kebersihan rumah, memasak, mencuci dan lain sebagainya, termasuk bercocok tanam bila suami dan keluarganya menggantungkan nafkah di bidang pertanian dan perkebunan. Tugas ini akan memakan waktu yang panjang sehingga para Amoy atau perempuan ini baru dapat beristirahat pada larut malam. Kondisi ini menyebabkan mereka menjadi budak terselubung dalam keluarga tersebut akibat ikatan perkawinannya.
Tetapi sebagai pengusung kebudayaan yang sama, pada banyak kasus, perempuan merasa wajar dan pasrah menerima keadaan ini. Bahwa segala kemarahan dari pihak mertua adalah hal yang wajar dan patut diterima untuk dapat memahami dan menjadi bagian dari keluarga suami. Demikian pula dengan sifat suami dari Amoy yang suka minum minuman beralkohol yang dipandang sudah menjadi bagian dalam budaya Cina.
Pengantin Orderan
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Pernikahan biasanya memang memberikan sekantung impian. Namun, mimpi punya dua sudut. Indah atau buruk. Di Singkawang, Kalimantan Barat, sudut-sudutt itu menampilkan wajah tajamnya. Pengantin pesanan berawal dari kunjungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Taiwan ke Kalimantan Barat pada 1980. Muhibah itu diteruskan dengan mengunjungi Singkawang. Jarak Pontianak ke Singkawang sekitar 145 Km arah utara. Untuk mempererat hubungan itu, dilakukan juga dengan cara pernikahan.
Mereka menganggap pernikahan merupakan salah satu cara, untuk mengikat kembali tali persaudaraan. Masyarakat Singkawang percaya, mereka satu leluhur dengan masyarakat Taiwan. Sama-sama dari China Daratan Tiongkok. Pada perkembangannya, pengantin pesanan yang merupakan simbol peningkatan hubungan kekerabatan, dijadikan alat mendapatkan keuntungan oleh sebagian orang. Mereka memanfaatkan rendahnya tingkat pendidikan, sumber pendapatan keluarga, ketidaktahuan hak dan informasi, gaya hidup konsumtif, ketidakadilan gender atau kuatnya budaya patriakhi dalam keluarga dan masyarakat. Rendahnya kesadaran terhadap nilai anak, serta faktor-faktor lain yang merupakan titik lemah ketahanan keluarga dan masyarakat, menjadi sasaran para calo mendekati para orang tua untuk merestui menikahkan anaknya.
Ada pola tertentu pada pengantin pesanan. Pada era 1980-an, biasanya perempuan datang ke Taiwan. Begitu sampai di Taiwan, sudah ada penghubung yang mempertemukan Amoy dengan pria Taiwan. Pada 1990-an, pria Taiwan datang langsung ke Kalimantan Barat, untuk mencari perempuan atau Amoy Singkawang. Bahkan, ada yang datang bersama orang tuanya. Pada 2000-an, perkawinan sudah menjadi ajang bisnis. Dan merupakan salah satu cara, mencari dan menggeruk uang. Banyak kasus, perempuan yang sudah kawin, balik ke Singkawang. Tentunya, setelah mereka mendapatkan berbagai uang dan barang.
Berbagai sebab dan adanya orang yang menggunakan hal itu, calo, untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, membuat praktik pengantin pesanan bisa terjadi. Para calo masuk ke desa miskin di pedalaman Singkawang. Mereka mencari perempuan usia muda dan hidup miskin. Para calo itu membujuk dan menawarkan menikah dengan warga negara Taiwan. Imbalannya, tentu saja merubah nasib dan mencari kehidupan lebih baik.
Mereka juga menawarkan jasa sebagai biro jodoh, dan membuat paket perkawinan. Yang memudahkan calon pengantin melaksanakan perkawinan. Amoy biasanya menuruti segala syarat yang diajukan calo. Terutama dalam pengurusan dokumen dan berbagai surat. Biasanya segala data mengenai usia bakal dimanipulasi. Hal itu dilakukan, karena Amoy biasanya masih sangat muda, dan berusia di bawah 18 tahun.
Tidak jarang, Amoy menolak dijodohkan dengan pengantin pria. Alasannya, pria bakal suaminya jauh lebih tua dari usianya. Ketika Amoy tidak mau dijodohkan, orang tua akan memaksanya. Dengan alasan berbakti pada orang tua, dan keinginan keluar dari kemiskinan, akhirnya Amoy akan menurut. Bila orang tua setuju, calo akan mengurus semua administrasi yang berhubungan dengan perkawinan. Dan persiapan pesta nikahnya. Semua biaya dan keperluan menikah, ditanggung pihak pengantin laki-laki.
Minimnya pendidikan Amoy, dan minimnya informasi terhadap calon pengantin pria, merupakan celah bagi masalah ini. Seharusnya, calon pengantin perempuan mendapatkan informasi yang benar. Sehingga bisa menjadi pertimbangan menentukan masa depannya. Menikah dengan siapa pun memang hak seseorang. Tapi, dia harus mendapatkan informasi yang jelas. Siapa calon pasangannya, bagaimana negara asal pasangannya dan lainnya.
Sebelum pernikahan berlangsung, biasanya yang datang fotonya ganteng-ganteng. Begitu acara nikah, ternyata orang tua. Hal itu tentu saja merupakan suatu penipuan. Yang dilakukan para calo. Faktor kemiskinan dan ketidaktahuan inilah, satu celah dan selalu dimanfaatkan calo. Namun ketika ada masalah dengan perkawinan itu, tidak ada yang bisa dimintai pendapat dan tanggung jawab. Biasanya bila terjadi masalah, Amoy tidak tahu haknya dan memilih diam. Tak jarang mereka balik ke Indonesia dan meninggalkan anak yang dilahirkan. Mereka memilih pisah dan cerai. Alasannya, mereka dieksploitasi secara fisik, psikis dan seksual.
Ada beberapa sebab, mengapa terjadi pengantin pesanan di Kalimantan Barat. Masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab utama pengantin pesanan. Atas nama merubah nasib dan ekonomi keluarga, seorang anak harus berbakti pada orang tua dan keluarga besarnya, dan menikah dengan pria Taiwan. Selain itu, keinginan menjalani kehidupan lebih baik, kesempatan ke luar negeri, penampilan lebih baik, pemilikan aset pribadi, tidak ingin menikah dengan pria lokal, dan atas nama cinta. Mereka juga ingin mendapatkan kehidupan lebih baik, dengan memiliki suami yang mencintai dan menghargai.
Faktor kedua, masalah persamaan budaya. Masyarakat Cina di Kalimantan Barat, mempunyai persamaan budaya dengan Taiwan. Persamaan budaya konfusianisme, buddisme dan pemujaan pada leluhur. Faktor itu secara tidak langsung, turut juga menyumbang pernikahan pesanan. Orang beranggapan, menikah dengan pria Taiwan merupakan penyatuan dan pertautan budaya.
Mengapa pria Taiwan memilih Amoy sebagai pasangan hidupnya? Orang Taiwan beranggapan, Amoy punya tipe setia, rajin dan ulet dalam membina keluarga. Selain itu, menikah dengan Amoy jauh lebih murah, dibandingkan menikah dengan perempuan Taiwan sendiri. Menikah dengan perempuan Taiwan, harus mempersiapkan rumah, mobil dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. Biaya nikah dengan perempuan Taiwan, bisa untuk mendapatkan 5—6 gadis Amoy dari Singkawang.
Dengan modal sekitar Rp 60 Juta, pria Taiwan sudah bisa mempersunting Amoy. Kurs mata uang Taiwan adalah Dollar Taiwan. Satu dollar U$ Amerika setara dengan 33 dolar Taiwan. Uang itu untuk mengurus berbagai surat pernikahan, biaya perjalanan dan penginapan pria Taiwan, selama berada di Indonesia. Pokoknya, pria Taiwan terima beres. Segala macam surat dari RT, kelurahan, paspor dan seluruh biaya perkawinan dengan uang itu. Bila ditotal semua, biaya mengurus semua keperluan itu sekitar Rp 17—20 Juta. Orang tua si Amoy diberi uang sekitar Rp 6 jutaan. Tak heran, bila dalam masalah pengantin pesanan, orang paling mendapat untung dari praktek ini adalah para calo.
Menikah dengan pria Taiwan merupakan cara paling mudah mengangkat harkat dan perekonomian keluarga. Kelak setelah menikah, Amoy bisa mengirimkan uang pada keluarga besarnya di kampung. Dengan kiriman uang itulah, mereka memperbaiki rumah dan modal usaha.
Pria Taiwan yang menikah dengan Amoy, biasanya dari kalangan menengah ke bawah, bila mereka hidup di perkotaan, biasanya dari kalangan cleaning service dan lainnya. Dari pedesaan, biasanya petani dan penggarap tanah. Wilayah pantai, biasanya dari kalangan nelayan. Kalaupun dari kalangan pegawai atau pemerintahan, adalah pensiunan dan berumur di atas 40 tahun.
Nestapa Perkawinan Seleluhur
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Kawin dengan pria Taiwan memang untung-untungan. Kalau mendapat pria baik, dan benar-benar untuk menikah, maka si Amoy akan dapat meningkatkan taraf hidup diri dan keluarganya. Tapi bila tidak beruntung, maka pengalaman buruk berupa pemukulan, atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kerap juga terjadi. Sebagai istri petani, Amoy harus merangkap sebagai pekerja pertanian, dan bekerja seharian penuh membantu keluarganya di kebun. Yang lebih parah, bila suaminya bekerja di sektor nelayan. Bila musim peceklik tiba, dan pria Taiwan tidak mampu membayar uang pinjamannya untuk kawin, maka istrinya akan diberdayakan. Entah, sebagai Penjaja Seks Komersial (PSK) atau apa, demi melunasi hutang sang suami. Yang agak beruntung, bila Amoy mendapat suami seorang tentara atau pegawai, karena mendapat gaji setiap bulannya.
Selain itu, pengantin pesanan atau perkawinan seleluhur selalu rentan dengan masalah. Mereka mendapatkan status legal yang rendah. Hal ini tentu saja menyulitkan, dan sebuah ketidakpastian hak-hak legal. Terpencarnya komunitas Amoy, juga mempersulit koordinasi bila ada masalah. Kendala bahasa turut pula menyumbang permasalahan. Banyak dari Amoy tidak bisa berbahasa Mandarin. Di Kalimantan Barat, Pontianak dan Singkawang dan sekitarnya khususnya, biasanya mereka menggunakan bahasa Cina dengan dialek Khek dan Teochiu.
Menurut data Kementerian Dalam Negeri Taiwan dari 1987—2003, ada 240.837 pengantin asing yang masuk ke Taiwan dengan 93 persen pengantin perempuan. Dari Cina Daratan 57,8 persen dan Asia Tenggara 42,2 persen. Dari jumlah itu, pengantin pesanan dari Asia Tenggara, sebanyak 57,5 persen dari Vietnan, 23,2 persen dari Indonesia, 5,3 persen dari Thailand dan 5,3 persen dari Filipina. Sisanya dari Korea dan lainnya.
Data dari Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC Melati), Forum Komunikasi Etnis Tionghoa (Foket) dan Majelis Adat Budaya Tionghoa (MBAT) Singkawang yang diterbitkan 1 Juli 2007, dijelaskan bahwa dari 1980 (hingga data terkini) sekitar 24 ribu warga Cina asal Singkawang dan sekitarnya berada di Negara Taiwan. Ditegaskan, 100 persen mereka melakukan perkawinan pesanan atau perkawinan seleluhur tersebut. Darinya, 60 persen dilaporkan dapat mengangkat derajat perekenomian keluarga mereka.
Perempuan atau Amoy yang kawin dengan pria Taiwan dan anak hasil perkawinan mereka, dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Mereka seringkali mendapat diskriminasi di masyarakat Taiwan. Mereka dianggap bisa membuat masalah sosial bagi Taiwan. Karena itulah, pada 2003, pemerintah Taiwan mengeluarkan kuota bagi perkawinan dengan Amoy dari Indonesia. Jumlahnya sekitar 2000 orang saja setiap tahunnya. Kuota itu diberlakukan, karena ada kekhawatiran, pernikahan bakal membawa masalah bagi negara Taiwan.
Faktanya, justru posisi perempuan atau Amoy inilah, berada pada titik rawan. Meski sudah melahirkan dan punya anak, sebelum 4 tahun, Amoy masih menjadi warga negara asing di Taiwan. Karenanya, mereka rentan dideportasi, bila dianggap melanggar peraturan dan berbuat salah. Ketika mengalami eksploitasi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau pun lari, mereka harus meninggalkan anak hasil perkawinannya.
Belakangan ini, pemerintah Taiwan melakukan new immigrations. Taiwan memberikan peluang bagi warga negara asing yang menikah dengan pria Taiwan, untuk belajar budaya, bahasa, adat istiadat, di suatu lembaga. Tak heran jika orang dari China Daratan, Vietnam, Indonesia (Singkawang dan Pontianak dan sekitarnya khususnya), Filipina, Thailand, Korea dan lainnya, mengisi fasilitas itu. Mereka belajar kebersamaan. Saling bercerita berbagai pengalaman dan mengatasi permasalahan.
Meski sering terjadi masalah pada pengantin pesanan, namun masalah ini jarang sekali muncul ke permukaan dan diketahui masyarakat luas. Ada beberapa faktor kesulitan dalam penanganan masalah pengantin pesanan itu. Salah satunya, ketertutupan pihak korban dan keluarganya. Mereka beranggapan, masalah itu merupakan aib keluarga. Karena itu harus ditutupi dan masyarakat tidak perlu mengetahuinya. Tak heran bila ada pihak luar ingin melakukan advokasi terhadap korban, malah dilarang. Korban dan keluarga besarnya tidak mau bicara.
Betapa tertutupnya keluarga korban yang rata-rata masyarakat Cina. Padahal ada yang mau membantu permasalahannya. Namun mereka malah tidak mau. Terkesan terlalu eksklusif. Sikap itu tidak serta merta muncul. Tentu ada latar belakangnya. Perlakuan diskriminatif yang acap dialami orang Cina di Indonesia, bukan semata-mata karena orang Indonesia bersikap rasis atau cemburu terhadap kemajuan ekonomi orang Cina. Bukan itu sebabnya.
Seandainya orang Cina memandang mereka sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, hendaknya duduk persoalan sebelumnya dikaji. Agaknya jika di antara mereka merasa ada sikap diskriminatif dari bumiputera, pada hakekatnya juga merupakan sebab dan akibat dari kecelakaan sejarah mereka di masa lalu. Sejak dulu orang Cina selalu memiliki orientasi sangat kuat ke negeri leluhurnya. Sikap ini menghalangi mereka untuk berasimilasi dengan masyarakat setempat. Kadang-kadang, chauvinisme di kalangan orang Cina begitu tinggi sehingga sebagian dari mereka memandang bangsanya lebih bermartabat dari berbagai suku bangsa lain di Indonesia. Chauvinisme ini merupakan hambatan psikologis orang Cina untuk berasimilasi dengan orang Indonesia.
Pada masa penjajahan, Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas. Pertama, Europeanean (Belanda). Kedua, Vremde Oosterlingen (Cina, Arab, India). Ketiga, Inlander (berbagai suku bangsa Bumiputera). Pada masa rezim pemerintahan Orde Lama, Sukarno, juga membuat kebijakan yang diskriminatif. Sukarno mengeluarkan PP Nomor 10/1959 berupa pelarangan bagi perdagangan kecil eceran yang bersifat asing di luar ibukota propinsi dan kabupaten-kota. Dengan peraturan ini, masyarakat Cina akhirnya mengumpul di satu wilayah saja.
Rezim Orde Baru, di mana masa ini tak kalah sengitnya. Berbagai perlakuan dan tindakan diskriminatif, termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Pemberlakuan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), bagi masyarakat Cina, merupakan cara dan salah satu bentuk paling diskriminatif yang pernah dilakukan. Atas nama SBKRI, berbagai segi kehidupan, baik secara ekonomis atau politis terpasung. SBKRI juga dilanggengkan oleh kalangan tertentu, untuk mengeruk upeti dan mendapatkan uang. Berbagai pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) atau dokumen, selalu dikenakan biaya tinggi bagi masyarakat Cina. Sejarah itulah yang membuat masyarakat Cina jadi menutup diri dan eksklusif.
Selama sebelum belakangan ini, pemerintah Indonesia tidak menganggap serius permasalahan pengantin pesanan. Penanganannya tak pernah tuntas. Jaringannya terputus di berbagai tempat. Ada beberapa faktor bisa dilakukan, untuk memangkas masalah pengantin pesanan. Dalam pengurusan dokumen, seperti KTP atau paspor, pihak terkait harusnya lebih jeli. Misalnya, dengan menanyakan orang yang membuat paspor, sudah cukup umur atau belum. Apalagi, bila diketahui akan menikah dengan pria Taiwan. Selama ini pihak imigrasi seakan tidak punya gigi. Mereka beranggapan, secara administrasi hal itu sudah dilengkapi. Jadi tidak ada alasan untuk tidak memberikan paspor.
Selain itu, ada pendapat dari masyarakat, kenapa orang ingin menikah dan mencapai kebahagiaan, harus dihalangi. Ketika mengurus paspor, orang tua tentu mengetahui. Dan ini sebuah kesepakatan, dan mereka anggap bukan suatu pelanggaran. Berdasarkan data pihak imigrasi Singkawang, misalnya, ada kenaikan jumlah perempuan pencari paspor. Ada dua jenis paspor, 24 halaman berlaku 3 tahun, dan 48 halaman berlaku 5 tahun. Orang atau Amoy yang kawin dengan pria Taiwan, biasanya membuat paspor 48 halaman berlaku 5 tahun.
Bila pada 2004 pencari paspor 48 halaman berjumlah 1.819. pada 2005 meningkat menjadi 2.999. Namun jumlah pencari paspor 24 halaman menurun drastis. Jika 2004 berjumlah 9.060, pada 2005 menjadi 964. Begitupun dengan TKW yang mengajukan paspor. Bila pada 2004 berjumlah 1.127. pencari paspor pada 2005 menjadi 109 orang.
Berdasarkan data Pengadilan Negeri Singkawang, dari 1997—2003 saja, ada 170 kasus gugatan perceraian dengan suami dari Taiwan. Pengadilan digelar secara in absentia yaitu perstek atau tanpa kehadiran salah satu pihak. Acara itu disetujui, bila penggugat dapat mengemukakan alasannya secara tepat, dan pihak pengadilan menyetujuinya. Setelah perceraian, untuk mendapatkan hak perwalian dan pengasuhan anak juga terhalang.
Dalam hal terjadinya perkawinan wanita Indonesia dengan laki-laki asing, berdasarkan hukum Indonesia, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan itu ikut kewarganegaraan bapaknya. Dalam hal ibu ingin mendapat hak asuh terhadap anak yang masih di bawah umur, hanya mungkin dilakukan gugatan di Pengadilan Negeri di tempat perkawinannya dilakukan dan dicatat. Dan biasanya dilihat, apakah si ibu mempunyai kemampuan, dan penghasilan yang layak, untuk memungkinkan pemeliharaan si anak dalam masa pengasuhan. Tetapi persoalan hukumnya adalah, si anak itu tetap warga asing dan batas tinggal di Indonesia mempunyai batasan tertentu. Yang jika tidak dipenuhi syarat-syarat hukum sewaktu-waktu bisa dideportasi oleh aparat yang berwenang seperti imigrasi.
Peraturan hukum di Indonesia tidak memberikan ruang bagi perempuan yang menikah dengan warga negara asing, untuk memiliki hak asuh bagi anaknya. Sekalipun, pernikahan itu terjadi di Indonesia. Undang Undang Nomor 62 Tahun 1958 menyatakan bahwa perempuan yang menikah dengan orang asing, anak hasil perkawinan tersebut otomatis menjadi warga negara asing. Ketika anak berusia 17 tahun, ia baru dapat memilih kewarganegaraan mana yang diinginkan.
Banyak dari pasangan pengantin pesanan mendapat kebahagiaan. Tapi, tak sedikit mengalami masalah. Bahkan, ada yang telah meninggal, karena terkena virus HIV/AIDS. Mereka diperdagangkan menjadi PSK, ketika sampai di Taiwan. Ada yang diminta melayani satu keluarga, karena uang untuk mendapatkan Amoy diperoleh melalui patungan. Tak sedikit yang kehilangan jejak, karena tak ada kabar beritanya. Berita tentangnya tidak pernah terdengar, pihak keluarganya tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada uang untuk mencari informasi ke Taiwan.
Tak bisa dipungkiri memang. Pengantin pesanan atau perkawinan seleluhur ini telah menghadirkan fakta, adanya perdagangan manusia, tapi dibungkus melalui ritual perkawinan. Minimnya informasi awal sebelum perkawinan, membuat berbagai masalah muncul dikemudian hari. Repotnya, angka kasus itu tidak terlihat di permukaan. Keluarga perempuan atau Amoy menutup diri bila ada masalah. Jaringan calo juga tidak mau tanggung jawab, bila ada kasus yang terjadi.
Pada akhirnya, permasalahan pengantin pesanan atau perkawinan tidak normal, tak ubah seperti fenomena gunung es. Sedikit di permukaan, padahal sebenarnya besar sekali jumlahnya. Inilah sebuah nestapa perkawinan ilegal dengan pria seleluhur.
Di Singkawang Mencari Cinta
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Kehadiran awal orang-orang Cina ke Sambas tak lepas dari peran monarkhi Kesultanan Melayu Sambas. Atas undangan sultan Sambas, Omar Aqamaddin, pada 1750 terjadi semacam kolonisasi Cina ke mari. Mereka diundang bekerja di pertambangan emas di wilayah kekuasaan sultan dengan perjanjian bagi hasil penggalian emas dilakukan di Larah, dan meluas ke Montrado yang kini masuk administratif Samalantan Kabupaten Bengkayang.
Di bagian awal telah dijelaskan, keberadaan para imigran Cina sebagai penambang emas dan intan cukup besar. Sehingga membentuk beberapa kelompok pemukiman yang dikepalai seorang Kung Se, semacam ketua perserikatan kerja. Kemudian keberadaan kung se jadi sangat kuat dan dianggap berbahaya. Pada 1884, semua kung se pertambangan emas dan intan dibubarkan Belanda. Sejak itu, mereka pun beralih menjadi pedagang, petani, dan buruh kasar.
Tanah Singkawang mengandung unsur hara. Tak mengherankan, karena orang Cina itu terampil menjadi petani. Maka dalam waktu singkat Singkawang maju pesat. Pada 1834 di Singkawang sudah terdapat satu jalan utama membelah kota. Kini, sekitar tiga abad kemudian, Kota Singkawang sudah maju. Mayoritas penduduknya keturunan Cina. Pertokoan hampir semua dijaga kaum wanitanya, sedangkan kaum lelakinya hampir semua bekerja di lahan pertanian. Sisa peningalan, seperti vihara dan kelenteng, tetap berdiri kukuh.
Walau kemajuan terjadi, kemiskinan tetap saja melilit kehidupan warga keturunan Cina di sana dan sekitarnya. Kini mereka adalah generasi ke delapan dengan hitungan satu generasi 25 tahun. Mengkristalnya keturunan Cina ini di Singkawang, hal ini tak lepas dari peristiwa pada 1967, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa pemberontakan PKI dan PGRS/Paraku. Waktu peristiwa itu meletus, posisi keturunan Cina, konon pro Kuo Min Tang, berada di pedalaman dan dekat dengan perbatasan Sarawak yang berbau komunis. Supaya jangan tercemar, maka puluhan ribu jiwa orang Cina itu diungsikan ke Singkawang. Tapi, sebelumnya, di Singkawang memang sudah ada keturunan Cina. Dan kehadiran para pengungsi yang besar-besaran itu membuat keturunan Cina di sini bertambah banyak.
Akibat mengungsi, mereka memulai hidupnya dari nol kembali. Itu sebabnya di Singkawang orang Cina di segala lini ada, sebagai buruh kasar, buruh tani, buruh angkut, dan pembantu rumah tangga. Dari mulai strata bawah sampai atas ada di sana. Dari sekitar 70 persen atau sekitar 50.000 keturunan Cina warga Singkawang itu, 90 persen berasal dari sub-suku Khek. Sisanya, ada Tio Ciu, Hokkian, Hainan, dan lainnya. Suku Khek ini sangat rendah kelasnya. Daya pikirnya tinggi, Cuma karena sangat miskin, jadi kelihatan bodoh. Itu sebabnya suku lain memandang remeh suku Khek itu.
Pendidikan rendah dan miskin itu mungkin yang membuat para Amoy Singkawang dan sekitarnya tak betah tinggal. Entah faktor adanya hubungan famili, warga Singkawang ini, terutama Amoy-nya, senang merantau ke Taiwan dan Hong Kong. Dan Amoy-amoy Singkawang ini tergiur kepada lelaki Taiwan atau Hong Kong untuk pendamping hidupnya. Kecenderungan ini terus meningkat saban tahun. Amoy yang menikahi pria Taiwan itu rata-rata berpendidikan SD dan SMP. Malah ada yang buta huruf. Dan yang pasti mereka semua dari keluarga miskin.
Kalau Amoy yang berpendidikan sampai SMA, apalagi dari keluarga yang lumayan, dia pasti tidak mau. Ia malu dengan teman-temannya. Lebih baik ia ke Jakarta atau kawin dengan pemuda setempat. Diakui, memang ada juga Amoy berpendidikan SMA yang kawin demikian, tapi umumnya itu dari pedalaman. Apakah karena Singkawang atau Pemangkat tak menjanjikan apa-apa sehingga mereka memilih kabur. Konon, Pontianak dan Jakarta tidak pula menjanjikan hidup layak. Dan sekitar 20 tahun ini mereka tergiur kawin dengan pemuda Taiwan atau Hong Kong. Kedapatan, selama 20 tahunan itu perkawinan Amoy Singkawang dengan pria Taiwan adalah sebuah trend, menurut mereka, rezeki pun mengalir.
Tergiurnya lelaki Taiwan itu lantaran biaya perkawinannya murah dibandingkan dengan di negara asalnya. Hanya dengan, minimal 30-an juta, pemuda Taiwan sudah bisa membawa pulang Amoy Singkawang ke negeri Kepulauan Formosa itu. Menurut seorang cangkau (sebutan untuk calo) Amoy di Singkawang, biaya seorang pria yang kawin di Taiwan mencapai tiga kali lipat dari jumlah itu. Wanita Taiwan kalau mau dinikahi minta tiga syarat, diberi rumah sendiri, mobil sedan, dan kulkas.
Yang jelas, tiga syarat itu harus ada. Ini belum lagi mahar kawin, seperti perhiasan emas. Jika si lelaki Taiwan itu tak mampu memenuhi syarat itu, jangan harap wanitanya mau menikah. Wanita Taiwan hidupnya glamour, mereka lebih rela menjadi PSK atau pelavur daripada syarat kawin itu tak terpenuhi. Maka, di Taiwan sangat banyak dijumpai wanita berprofesi sebagai PSK atau pelacur. Selain itu, hidup wanita di sana pun bebas dan terikat pada karir. Di sana wanitanya bekerja semua, pokoknya apa saja dikerjakan, malah tenaga kerja di Taiwan masih kurang. Itu sebabnya dari Indonesia terus mengalir tenaga kerja wanita ke sana.
Secara yuridis trend perkawinan ini tak bisa dilarang, apalagi dicegah. Itu menyangkut soal hak asasi manusia. Cuma, yang mengkhawatirkan adalah soal implikasi politiknya. Kekhawatiran itu tentu sekali beralasan, sebab para Amoy tersebut menjadi warga negara Taiwan. Dan keluarganya yang masih menetap di Singkawang atau sekitarnya lambat laun pikirannya akan berubah. Perkawinan itu secara ekonomi dampaknya tentu positif. Diakui oleh sebuah sumber di Singkawang, dulu jika tak ada bisnis itu, maka warga keturunan Cina di sini sudah keok. Di sini mereka tidak tahu mau kerja apa, sangat miskin. Ini fakta. Mereka melihat dan menerima duit Rp 1 juta saja sudah gemetar. Itu sebabnya, perkawinan antara Amoy dan lelaki Taiwan direstui.
Dulu Amoy Singkawang kerja ke Taiwan, lantas mendapat jodoh. Kemudian terjadi pelarangan. Lantas pria Taiwan itu yang datang ke Singkawang mengambil si Amoy. Dan kemudian ada trend baru walaupun masih kecil, belakangan pria Taiwan justru yang tingal di Singkawang
Contohnya, ada pasangan yang sudah seatap dengan pria Taiwan. Si Amoy berusia 22 tahun dan pria Taiwan berusia sekitar 60 tahun. Mereka mengaku sudah menikah lima tahun lalu, tapi tak pernah ke Taiwan. Si Amoy mengatakan bukannya tidak pengin ke Taiwan, namun si pria Taiwan suaminya itu masih punya istri di tanah kelahirannya. Istrinya sudah tua, ungkap si Amoy tadi yang berpendidikan sampai kelas III SD itu. Sebelumnya, si Amoy bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Suatu hari, akunya, ia dikenalkan dengan pria tua Taiwan itu. Dia pun senang saja, katanya dia orang kaya, mereka pun kawin. Bahwa pria tua Taiwan itu kaya ternyata benar.
Kini, di Singkawang, Amoy tadi dan suaminya tinggal di rumah sendiri, dengan kelengkapan rumah tangga memadai. Tak hanya itu, kini dengan atas nama si Amoy, pria Taiwan itu sudah pula mendirikan 10 unit rumah toko. Satu unit diberikan kepada orang tua Amoy dan keluarganya. Sisanya dijual dan dikontrakkan. Dan semua itu sudah atas nama si Amoy.
Namun belakangan, dengan lugu si Amoy yang sudah disebut Nyonya ini bilang ia kawin atas dasar suka sama suka. Kini, dengan motif seperti ditempuh Amoy ini, dinilai perkawinanan para Amoy dengan pria Taiwan sebagai penolong keluarganya. Sedangkan pria tua Taiwan tadi tidak setiap hari bisa tinggal bersamanya. Jika habis visanya, ia pulang ke Taiwan, dan tak lama di sana datang lagi. Api asmara yang panas menggeledak membuatnya sulit memupus ingatannya dari Singkawang.
Tergiur Gemerincing Dollar Taiwan
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Perkawinan yang dipaksa bisa berakibat fatal. Setelah di Taiwan, misalnya, tidak senang sama suaminya, lantas kabur. Mereka telantar. Kondisi ini membuat mereka ada yang terjerumus ke dunia prostitusi. Pada posisi ini, mereka diperas germonya, dijadikan sarana pencari uang. Info yang dikumpulkan, 1993 pernah ditemukan sedikitnya 100 orang Amoy asal Singkawang yang telantar. Mereka dipulangkan ke Singkawang dan sekitarnya.
Sebenarnya mereka malu pulang. Karena malu, lalu mereka hijrah ke Batam berpraktek prostitusi. Kalau di daerah asalnya buka praktek malu, memang ada juga di sini tapi terselubung. Yang dari Batam, ada juga yang pulang setelah berhasil, kawin baik-baik di sini. Pernah ada kasus seorang Amoy remaja, sekitar 13 tahun, dipaksa orang tuanya kawin dengan warga Taiwan via cangkau. Persoalan bagi Amoy remaja muncul manakala menghadapi perilaku seksual pria Taiwan. Kasus ini sempat menghebohkan. Persoalan memang macam-macam. Tidak hanya setelah amoy-amoy itu berada di Taiwan.
Pada proses awal perjodohan pun ada. Peristiwa Tjang Lie Na beberapa tahun lalu misalnya menjadi bahan perbincangan yang hangat di Singkawang. Maklum, dan gara-gara peristiwa itu pula Lie Na tak mau lagi ke Taiwan ikut suaminya. Lebih baik bercerai, ungkapnya waktu itu, di Singkawang saja dianiaya, apalagi nanti di taiwan jauh dari orang tua, pikir dia.
Lain lagi kasus Bong Lie Cin. Amoy bunga Dusun Sentete Desa Sungai Raya pemangkat. Ia ketika itu baru menginjak usia 18 tahun. Suatu ketika rumahnya didatangi dua lelaki yang dikenalnya, sebut saja bernama A Sung seorang pengusaha hotel di pemangkat dan A Bun warga pemangkat yang kerap bolak-balik Jakarta—Singkawang. Dua pria ini agen yang berniat menjodohkan Lie Cin dengan Chang Kun Hung, warga Taiwan berusia 36 tahun.
Pria Taiwan itu menginap di hotel milik A Sung. Ia kerap ke salah satu salon menemui Lie Cin. Singkat kata, mereka pun menjadi akrab. Lewat jasa dua cangkau itu si pria Taiwan meminang Lie Cin. Pinangan diterima, diwakili Lim Kim Khiong abang Lie Cin. Perkawinan direstui asalkan syaratnya dipenuhi berupa uang tunai Rp 10 juta dan perhiasan emas 200 gram.
Sontak syarat tersebut dikabulkan Chang Kun Hung. Pesta perkawinan dilakukan, dan dilanjutkan ke Catatan Cipil dengan dibuatkan akta kawin. Setelah semua beres, mereka ke Jakarta, berbulan madu, sebelum terbang ke Taiwan. Di Jakarta, pasangan ini menginap di salah satu hotel di kawasan Pancoran. Entah bagaimana, Lie Cin mendadak hilang. Kun Hung panik, apalagi ia tidak bisa berbahasa Indonesia. Via telepon ia mengontak A Bun di pemangkat, melaporkan hilangnya Lie Cin. Dengan berantai, info tersebut sampai pada keluarga Lie Cin. Mereka juga kacau, kemudian melapor ke polres setempat. Dan Singkawang, bahkan Pontianak pun geger.
Dua minggu setelah hilang, Lie Cin muncul di pemangkat. Ditemani pengacaranya, lalu ia melapor ke polisi. Cerita pengacaranya, kliennya itu nekat lari karena diperlakukan tak layak sebagai istri. Selama menginap di Jakarta, segala biaya dibebankan kepada Lie Cin. Kun Hung tak mau tahu soal itu. Alasannya, ia tak punya uang rupiah. Sampai Lie Cin kehabisan uangnya. Lie Cin melarikan diri dan nekat memanggil taksi. Ternyata, sopir taksi itu punya kenalan orang Singkawang.
Berkat itulah ia bisa bertahan di Jakarta. Selain adanya keanehan perilaku Kun Hung, rupanya syarat perkawinan yang Rp 10 juta itu baru dilunasi Rp 1 juta. Sisanya, Rp 9 juta, diserahkan dalam bentuk tabungan. Ketika Lie Cin dikabarkan hilang, Kim Khiong abang Lie Cin berusaha mencairkan tabungan itu, ternyata tak bisa dicairkan. Rupanya tabungan itu masih atas nama Kun Hung, bagaimana mungkin bisa cair. Merasa ditipu, Lie Cin membatalkan perkawinannya.
Bukan hanya di Singkawang. Pada pria Taiwan pun menjajal beramai-ramai juga turun ke Jakarta. Seperti di Singkawang, di kota metropolis ini mereka pun sama, mencari perempuan di sana. Di Singkawang perempuan muda ini dikenal sebagai Amoy, maka di Jakarta, lebih populer diistilahkan dengan Cina Benteng. Tentu saja, gadis Cina Benteng itu untuk diperistri.
Dengan melibatkan molang, atau perantara, sebutan di Singkawang-nya cangkau, di sini mereka hanya perlu menyediakan dana sekitar Rp 5 Juta. Dengan merogoh kocek senilai itu, warga Taiwan itu pun sudah bisa menggaet gadis idaman dalam sebuah proses lamaran yang dinamakan sangjitan yang ringkas.
Seperti juga klasiknya di Singkawang dan sekitarnya, di komunitas Cina Benteng pun faktor kemelaratan menahun dan pendidikan yang terbatas membuat para gadisnya, terutama yang bermukim di Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, lebih memilih jalan pintas. Ada yang mujur, namun banyak sekali yang malang. Sebuah majalah berita ibukota beberapa waktu lalu pernah melaporkan. Dituliskan, ada foto pengantin yang terasa ganjil. Seorang pria paruh baya bersandingkan gadis belia yang dipoles riasan tebal. Pria bernama, sebut saja A Hian tersebut tampak berusaha terlihat mesra. Sedangkan si gadis, Amoy, hanya tersenyum datar. Bedak dan gincu tak kuasa menyembunyikan kemudaannya.
Diakui si Amoy ini, saat itu ia baru menginjak usia 13 tahun. Si Amoy dalam potret itu mengatakan, A Hian, pria Taiwan, sudah 50 tahun. Konon, kata si Amoy ini pria itu lebih tua dari ayahnya. Pernikahan mereka itu bukan sekedar pose kosong. Sebelum naik pelaminan, proses perkenalan hingga lamaran telah mereka jalani. Bedanya, semuanya dijalani secara instan lewat proses perjodohan atau chesaw.
Adalah, sebut saja Cin Lo, nenek si Amoy sendiri, yang mengenalkan dia kepada A Hian di sebuah hotel di kawasan Mangga Besar, Jakarta, pertengahan 2005. Bersama Amoy, waktu itu ada lima perempuan muda yang datang dengan maksud serupa, mereka datang untuk diseleksi A Hian. Belakangan, ternyata A Hian memilih si Amoy yang kemudian mengaku bernama, sebut saja, Keke.
Esoknya, proses lamaran atau sangjitan dilakukan. A Hian mendatangi rumah Amoy dan menyatakan niatnya meminang si gadis. Proses ini ditandai dengan penyerahan uang Rp 5 juta kepada calon mertua. Hari itu juga diadakan pesta makan di salah satu restoran dan diakhiri dengan potret pengantin di salah satu studio foto. Sejak itu, resmilah A Hian dan Amoy jadi suami-istri, konon, tanpa ke catatan sipil atau disahkan secara agama.
Akunya, tidak ada satu orang pun yang memaksa Amoy ini melakukan itu semua. Dia sendiri yang mengajukan diri. Kata dia, untuk membantu meringankan beban orang tua. Begitulah pengakuan polos Amoy yang tinggal di Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, itu. Kawasan ini memang dikenal juga sebagai salah satu sentra permukiman koloni Cina Benteng di Jakarta.
Amoy yang mengaku bernama Keke ini hanyalah salah satu contoh perkawinan ala sangjitan yang marak di komunitas Cina Benteng belakangan lalu. Nenek Amoy, yang kerap berperan sebagai molang atau perantara, mengaku bisa menjodohkan tiga pasang dalam sebulan. Di Kampung Belakang, ternyata bukan cuma Cin Lo yang menjadi molang.
Kedapatan, molang juga tak hanya ada di Kampung Belakang. Mereka ternyata masih punya atasan alias manajer operasi di Jakarta kota. Mereka inilah yang berhubungan dengan molang alias cangkau di Taiwan yang memegang kendali biro jodoh. Mereka biasanya orang Singkawang atau Medan yang sudah lama menikah dengan orang Taiwan. Beberapa perempuan Kampung Belakang mengaku rela menjalani perjodohan macam itu untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan yang sudah mendera mereka berabad-abad. Apa boleh buat, sudah lama komunitas masyarakat ini memang tak beruntung secara ekonomis.
Saat menyusuri Kampung Belakang, memang yang ada adalah pemandangan getir segera menyergap. Rumah kontrakan saling berimpitan dan hanya disekat gang sempit. Jika sebuah sepeda motor melintas, yang lain harus menunggu giliran lewat. Betapa sempit dan kumuhnya, begitulah yang sesegera dirasakan bila berada di sana.
Warga Kampung Belakang kebanyakan bekerja di sektor informal: tukang ojek, kuli, pemulung, buruh cuci, hingga pedagang nomor buntut. Sungguh bukan jenis pekerjaan yang menjanjikan pendapatan besar tentunya. Jangankan untuk mencukupi kebutuhan harian, konon diakui mereka untuk membayar kontrakan saja sering nunggak. Harga kontrakan di sana berkisar Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu per bulannya. Kemiskinan dan pendidikan yang rendah membuat gadis Kampung Belakang tak punya banyak pilihan. Mereka bagai putus harapan sampai kemudian merebak gejala perkawinan lewat perjodohan alias chesaw ala Taiwan ini. Perjodohan inilah yang kini menjadi salah satu cara sebagian perempuan muda atau Amoy Kampung Belakang yang ingin mengubah garis nasibnya.
Adalah, sebut saja Hwang Li Na alias Lina, yang menjadi awal cerita ini. Ayah Lina penarik ojek, dan ibunya berjualan nomor buntut. Tiba-tiba suatu hari ia dikenalkan dengan pria Taiwan bernama, sebut saja, Ie Sek. Singkat cerita, lelaki seberang dari Pulau Formosa itu pun tertarik dan terjadilah sangjitan. Saat itu, ia memberikan Rp 2,5 juta untuk orang tua Lina. Pesta pun digelar. Belakangan ini dikabarkan Lina hidup sejahtera di Kota Chiayi, Taiwan.
Sebagaimana juga di Singkawang, di Kampung Belakang di lingkungan Cina Benteng ini, sejak itulah chesaw dianggap sebagai jalan pintas untuk lolos dari jerat kenestapaan. Peluang ini akhirnya memunculkan molang seperti Cin Lo. Dia memulainya beberapa tahun lalu dengan menjodohkan anaknya sendiri, sebut saja, Lili dan Yeni, dengan orang Taiwan. Setelah itu banyak gadis datang kepadanya. Belakangan terakhir, kata dia, kian banyak orang menjadi molang. Wajar saja, untuk setiap perjodohan yang berhasil, molang akan mendapat fee Rp 3 juta. Sangat lumayan besar tentunya untuk ukuran Kampung Belakang ini.
Dia menambahkan tuturannya, order untuk melakukan perjodohan datang lewat telepon oleh atasannya di kawasan Jakarta Kota. Dia mengabarkan ada orang Taiwan yang akan turun mencari istri, ungkapnya berkisah. Maka, para molang segera berkeliling di Kampung Belakang mencari Amoy alias gadis muda yang bersedia dinikahi orang Taiwan. Kadang molang, seperti Cin Lo ini, sudah punya catatan perempuan yang bersedia dikawinkan.
Setelah itu, molang akan mengantarkan Amoy calon istri ke hotel di kawasan kota. Di sana biasanya sudah menunggu lima perempuan lain yang dibawa molang pesaing. Mereka lalu dipajang. Jika ada yang cocok, calon istri terpilih akan diberi tanda jadi Rp 1 juta untuk belanja persiapan sangjitan. Lalu keesokan harinya dimulailah proses sangjitan. Usai proses ini, kedua mempelai menginap di hotel bak suami-istri yang sah.
Sebenarnya, para molang ini sepenuhnya tahu bahwa perkawinan ini amat berisiko. Maka sejak awal mereka memasang radar untuk membaca karakter pria Taiwan yang turun itu. Kalau kelihatan kurang baik, tidak diizinkan untuk diteruskan, aku molang Cin Lo suatu ketika.
Perkara itu tampaknya bahkan lebih penting ketimbang soal absah-tidaknya perkawinan itu sendiri. Molang satu ini, Cin Lo, misalnya, beranggapan, meski tak bersandar pada agama, praktek itu menurutnya halal. Mereka, kata dia, tetap menikah meski tidak di depan Tuhan. Masih argumen dia, yang penting, adalah restu orang tua si Amoy alias gadis muda tersebut sudah didapat. Nampaknya, lagi juga cara ini adalah yang diminta oleh para pria Taiwan itu.
Untuk memuluskan kerjanya, molang lokal punya hubungan dengan biro jodoh di Taiwan. Biro inilah yang dipasrahi orang Taiwan untuk mengurus perjodohannya di Indonesia. Dengan 300 ribu NT atau the New Taiwan dollar, setara dengan Rp 84 juta di mana 1 NT sebanding Rp 280, maka mereka tak perlu pusing memikirkan biaya perjalanan dan akomodasi, uang sangjitan, dan angpau. Harga itu sudah termasuk untuk pengurusan surat nikah dan imigrasi.
Mengenai surat nikah, biasanya setelah berbulan madu di hotel, sang suami akan kembali ke Taiwan. Kelak, setelah enam bulan, pengantin wanita baru akan diboyong ke Taiwan setelah para calo kelar mengurus surat nikah dan administrasinya. Seperti di Singkawang yang diarasakan para Amoy yang sudah terjual pada pria Taiwan, dari sinilah bermacam kisah bisa terjadi. Tak jarang dengan berbagai alasan sang pria Taiwan tak kembali dan perkawinan batal begitu saja. Amoy Kampung Belakang, sebut saja bernama Keke adalah salah satu korbannya. Hingga belakangan, pak tua yang telah merenggut kegadisannya dulu tak terdengar lagi kabarberitanya.
Nasib A Cu alias Silvy di Singkawang, yang berusia 21 tahun, setali tiga uang juga. Ia sudah menjalani sangjitan dengan pria 65 tahun. Setelah setahun A Cu menunggu, pria gaek itu tak juga kunjung datang menjemputnya. Alhasil, kekecewaanlah yang belakangan ia rasakan. Tetapi itu hanya sebentar. Seorang anak buah kapal Taiwan berumur sekitar 56 tahun kemudian meminatinya.
Untuk mereka yang akhirnya jadi berangkat ke Taiwan, seribu kemungkinan juga menunggu. Cin Cin sebut saja begitu, mungkin bernasib mujur. Salah seorang perempuan itu beruntung mendapat suami dan keluarga baru yang menerimananya dengan baik. Pun begitu, selalu saja ada sisi kelam dalam sebuah kisah. Yanti, anak yang lain Cin Lo misalnya, kini terpaksa bekerja serabutan di Taiwan setelah bercerai dengan suaminya yang kerap menyiksanya.
Yanti alias Ango kini ia sering menemani para pria di tempat karoeke guna menutup biaya hidupnya yang tinggi. Sebuah elegi ketidakberuntungan juga menyergap Mely, yang terjebak dikawini pria Taiwan pengidap keterbelakangan mental.
Gejala perkawinan internasional pria Taiwan ini nampaknya memberikan sebuah benang merah. Modus yang terjadi, tidak hanya gadis alias Amoy dari Indonesia, khususnya Singkawang, Jakarta, Medan dan Batam, namun pria Taiwan juga suka mencari perempuan dari negara lain, terutama Vietnam. Fenomena ini marak karena perempuan terdidik Taiwan tidak kebelet nikah buru-buru. Alasan lain, konon pria Taiwan banyak yang tak mampu membayar mahar yang tinggi untuk mereka.
Entah alasan mana yang bisa dibenarkan. Suami Lian Mui, sebut saja begitu mengaku menikah dengan perempuan asing setelah perkawinannya dengan wanita setempat gagal. Dan, nampaknya, apa boleh buat, perkawinan sangjitan ini terasa kental aroma bisnisnya. Seribu resiko sudah disadari, tapi kemelaratan menahun menyaput semua itu, seperti diakui sejumlah Amoy yang konon mereka tak pernah merasa menyesali kegagalannya menggapai harapan ke Taiwan.
Alasan utamanya, mereka sudah sumpek di kampung kelahirannya. Menurut mereka, mereka hanya berharap kelak nasibnya lebih baik. Kegagalan yang pernah dirasakan umumnya tak membuat para Amoy keder untuk kembali ke Taiwan mengadu peruntungannya dengan pria Taiwan lain.
Nestapa Amoy di Formosa
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Disebut-sebut dIa adalah perempuan pertama dari Kampung Belakang, Kalideres, Jakarta Barat, yang kawin dengan pria Taiwan. Konon, keberuntungannya itu telah mengundang yang lain mengikuti jejaknya. Kabarnya ia datang ke Taman Kota Chiayi, Taiwan, itu diantar suami dan anak bungsunya mengendarai skuter. Sebut saja Diana, sekitar 26 tahun ketia itu, tampak segar dan modis. Celana jins ngepas di badan plus kaus merah membalut tubuhnya yang ramping. Bibir tipisnya disapu gincu warna pink. Lalu di hari yang cerah pada suatu hari beberapa tahun lalu, perempuan bernama asli Hwang Li Na ini menuturkan kisahnya kepada salah satu majalah ibukota.
diana, seperti pengakuannya, adalah perempuan Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, pertama yang kawin dengan pria Taiwan. Sepuluh tahun silam, dia atau Amoy satu ini menikah dengan seorang pria Taiwan pada usia yang sangat belia. Diana baru menginjak 16 tahun ketika itu. Sejak itu, bisnis begituan, ungkap dia dengan gaya bahasanya, mulai ramai.
Bisnis, begitu penyebutannya. Perkawinan Amoy Kampung Belakang dengan pria Taiwan memang sulit dibilang seperti perkawinan pada umumnya. Mereka saling tak kenal. Apalagi untuk dikatakan saling ada rasa cinta. Salah satu tujuan perkawinan itu tak lain adalah keluar dari jerat kemelaratan yang mendekap mereka selama berabad-abad lalu.
Orang tua Diana memang tidak beruntung. Papanya menarik ojek, dan sang ibu jualan nomor buntut. Suatu saat, persisnya 10 tahun lalu, Diana dikenalkan dengan pria Taiwan berusia 31 tahun. Esoknya, ia dibisiki bahwa lelaki itu, disebutnya bernama Ie Sek Yauw, telah jatuh hati padanya. Dan ketika disampaikan Ie Sek ingin segera melamarnya, Diana pun manut saja. Lalu hari itu juga proses lamaran dilakukan. Ie Sek memberikan uang Rp 2,5 juta untuk orang tua Diana. Dari sang calon mertua, Diana menerima angpau 10 ribu New Taiwan dollar (NT), setara dengan Rp 2,8 juta. Pesta pun digelar dengan biaya dari Ie Sek. Akunya, mereka juga berfoto di studio.
Pesta pun usai, dan Ie Sek kembali ke Taiwan enam hari kemudian, tapi Diana masih tinggal di Kampung Belakang. Kenang dia, saat itu dia masih suci, belum berhubungan suami-istri layaknya. Hingga sembilan bulan kemudian mereka hidup terpisah. Setiap bulan suami dan mertuanya mengirim uang 10 ribu NT. Tetapi sampai di tangan mereka tinggal Rp 250 ribu karena dimakan calo Singkawang Kalimantan Barat sebagai cangkau.
Lalu tibalah saatnya Diana dijemput dan diboyong ke Chiayi. Di kota ini mereka tinggal bersama ibu Ie Sek. Ayah Ie Sek sudah meninggal dunia saat ia masih kecil. Di sinilah perkawinan itu disahkan di kuil setempat. Pesta kembali digelar. Ayah Diana didatangkan untuk menyaksikan pernikahan anaknya. Sebulan sesudah itu Diana baru berhubungan layaknya suami-istri dengan sang suami.
Terbekatilah Diana, karena sang suami dan mertua sangat menyayanginya. Suaminya, yang bekerja sebagai pengawas di pabrik kunci, amat memanjakannya. Tiap bulan Diana mendapat uang jajan 3000 NT atau sekitar Rp 840 ribu. Kebutuhan lain sudah diurusi suami, kata dia. Ie Sek juga siap jika Diana hendak mengirim uang ke Indonesia. Tidak hanya itu, tiap pekan suaminya mengajaknya belanja baju baru. Sekali setahun suaminya mendapat jatah libur ke luar negeri. Tentu saja Diana ikut kecipratan kenikmatan ini.
Bagi Diana, Ie Sek adalah suami idaman. Ia tergolong tipe pria lembut, tak suka judi ataupun merokok, main perempuan, dan mabuk. Kalau pulang terlambat sebentar saja, dia pasti bilang, ujar Diana. Belakangan kini mereka telah dikaruniai sepasang anak manis yang masing-masing diberi nama A Yauw Sen Fan, dan Yauw Veren.
Secara ekonomis, Ie Sek juga tak mengecewakan. Ia bergaji 40 ribu NT per bulan dan memiliki flat tujuh lantai seharga 3 juta NT. Pemandangan ketika menengok flat yang dari luar tampak dingin tetapi terasa hangat di dalam itu. Di basement terparkir mobil Hyundai tahun 2000 plus dua sepeda motor. Lantai satu dilengkapi kursi kayu jati, difungsikan sebagai ruang tamu. Lantai dua jadi tempat belajar anak-anak. Sedangkan ruang tidur ada di lantai tiga dan empat–total ada empat kamar tidur.
Masih ada harta masa depan Diana, yakni rumah yang ditempati sang mertua seharga 10 juta NT atau setara Rp 2,8 miliar. Rumah itu kelak akan kembali ke Ie Sek karena dialah yang membangunnya. Kini, Diana sudah memegang paspor Taiwan. Dia pun sudah lancar membaca dan menulis huruf Cina. Masakan Indonesia, Diana tak lagi suka. Kemiskinan juga sudah ditinggal jauh-jauh di pojok barat Jakarta. Kesuksesan Diana inilah yang membuat gadis di Kampung Belakang ingin mengikuti jejaknya.
Tentu, itu hanya yang dialami Diana. Berbeda dengan yang dirasakan seorang yanti. Frustasi pada lelaki dan kemelaratan membuat Yanti nekat ke Taiwan. Konon, nasibnya tak kunjung berubah. Yanti jelas tak seberuntung Diana. Setelah mengalami masa-masa sulit dengan suaminya, perempuan berusia 27 tahun itu belakangan terpaksa rela kos di kamar berdinding tripleks tanpa ventilasi. Perempuan bernama Cina, sebut saja Shiu Cen, ini tinggal di lantai dua sebuah bangunan di belakang stasiun Kota Tao Yuan, sekitar 60 kilometer dari Taipei. Pemilik rumah itu adalah seorang kakek yang menjual barang elektronik bekas di lantai bawah.
Yanti sudah empat bulan tinggal di sini. Sebelumnya berpindah-pindah. Kamarnya tak bisa dibilang rapi. Ketika disambangi, barang-barang seperti tisu, alat-alat make up, obat-obatan, gelas kotor, dan sisa makanan bercampur-baur di atas meja. Dua kantong plastik sampah tampak teronggok di sudut ruangan. Serombongan lalat berpesta di sekitar sampah berbau itu.
Memang ada mesin pendingin udara untuk kamar bertarif 3.500 NT atau hampir sejuta rupiah perbulan itu. Tetapi pendingin udara murahan itu tak mampu mengatasi kepengapan ruangan. Dari pemilik kos, Yanti juga menikmati fasilitas televisi 21 inci, ranjang, dan sebuah kamar mandi dengan keran air panas. Untuk menompang hidup, Yanti bekerja serabutan. Saat terakhir dia bekerja pada pengusaha nasi bungkus dengan upah 3.000 NT per bulan atau setara Rp 840 ribu. Bagi Yanti, uang itu jauh dari cukup untuk mengongkosi hidupnya yang berselera. Dia mengaku kalau dirinya sudah tidak bisa hidup miskin. Dia berambisi ingin kaya.
Untuk menutup kekurangannya, upahnya tak cukup untuk menutup biaya kontrakannya, perempuan bertubuh mungil ini bergantung pada pacar-pacarnya. Konon, dia memang suka gonta-ganti pacar untuk memanfaatkan uang mereka, tulis sebuah majalah ibukota yang menginvestigasinya. Kalau para lelaki itu mau mebiayai hidupnya, Yanti saya beri pelayanan paling oke, ungkapnya membahasakan.
Yanti sepertinya sudah letih dengan kesengsaraannya selama ini. Ia terdampar ke Taiwan setelah beberapa kali dicampakkan lelaki saat masih di Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat. Frustasi karena selalu ditendang, ditambah kemelaratan, anak ketiga dari lima bersaudara ini mencoba melongok Taiwan. Lalu ia mendatangi tetangganya, sebut saja Lin Che, yang biasa menjadi perantara pernikahan dengan pria Taiwan.
Lin Che sendiri punya atasan di Jakarta Kota. Orang itu punya adik bernama, sebut saja A Bi, yang meningkah dengan orang Taiwan dan kini tinggal di Taipei. Rupanya, di sana A Bi adalah seorang bos besar biro perjodohan itu. Maka beberapa bulan kemudian Yanti diantar ke rumah A Bi meninggalkan anaknya hasil pernikahan pertama mereka dulu. Di sana ia ditampung bersama tiga perempuan senasib.
Seraya menunggu lelaki yang meminang, ia membantu usaha jahitan A Bi. Kata dia, upahnya adalah makan dua kali sehari. Sejumlah peminat berdatangan, tapi Yanti masih jual mahal. Ia terkesan memang pemilih. Alasannya, tidak mau mendapat suami yang seumur hidup terpilih yang jelek, tuturnya kenes. Akhirnya Yanti bersedia dikawinkan dengan seorang kepala pengawas pabrik setempat. Dia enggan mengukapkan nama lelaki itu. Maka A Bi pun melepas Yanti dengan harga 300 ribu NT. Diungkapkan Yanti kemudian, menurut calo dia, harga itu adalah tertinggi di antara perempuan yang ada, ujar perempuan berwajah oriental berkulit putih bersih itu.
Proses perkawinannya amat sederhana. Calon pengantin pria cukup menyerahkan uang Rp 5 juta untuk dikirim ke keluarga Yanti di Indonesia. Setelah itu Yanti bersama calon suami menemui ibu si lelaki. Sebagai tanda pernikahan, Yanti menyodorkan secangkir teh kepada ibu mertua. Sang ibu lalu memberikan angpau untuk Yanti dan suaminya. Itu tanda mereka berdua sudah diterima, jelasnya.
Apa yang terjadi kemudian? Ternyata, lalu dimulailah episode kesengsaraan itu. Sang suami akhirnya tahu Yanti sudah punya anak di Indonesia, konon kini berusia delapan tahun. Mereka kerap bertengkar. Pukulan dan tendangan sang suami tak jarang melayang menerjang tubuhnya yang kecil. Akhirnya perceraian pun tak terhindarkan. Yanti lalu meninggalkan suami dan seorang anak hasil perkawinan mereka. Dia sempat kembali ke Indonesia dengan meminjam duit dengan seorang teman. Hanya sesaat di tanah air, Yanti memilih kembali ke Taiwan mengadu nasib. Tetapi ternyata ia kian terpuruk. Yanti tak sanggup membayar utang yang mulai berlipat karena bunga.
Yanti memang masih sanggup bertahan. Namun, kadang-kadang ia merasa letih dengan cara hidup seperti itu. Belakangan kemudian ia mengaku tengah dicekam kebimbangan karena sang suami ingin rujuk. Sebuah nestapa Amoy di tanah Formosa …
Lain lagi Lim Shio Lian, sebut saja begitu. Amoy Singkawang yang semula tinggal di pelosok Kota Singkawang itu, mengungkapkan, semula dia sesungguhnya tak berselera. Lelaki yang didapatkannya tidak cakep dan konon giginya merah bekas kinang. Bermula dari Bandar Udara Internasional Tao Yuan, Taiwan, sekitar dua tahun lalu. Perempuan sekitar 27 tahun ini dengan perut membusung tampak ikut dalam arus kedatangan penumpang dari luar negeri. Semua serba asing bagi Lim Shio Lian, yang belakangan dikenal dengan nama Linda. Perempuan asal salah satu kampung di Singkawang itu, terus berjalan mencari wajah pria setempat yang berusia dua kali lipat darinya.
Pria yang ia cari adalah seorang kuli bangunan bernama Shin Chung. Beberapa waktu sebelumnya, si lelaki datang ke Indonesia khusus mencari istri. Dan lewat proses perjodohan ala cangkau atau pun sangjitan, hatinya tertambat pada Linda, janda beranak tiga , tapi pada saat lamaran itu, Linda mengaku masih gadis.
Bagaimana dengan Linda? Sesungguhnya, ungkap dia, dirinya tidak berselera. Wajah pria Taiwan itu sama sekali tidak cakep. Giginya merah karena suka nginang atau makan sirih. Linda kini tinggal di kediaman suaminya itu di Chiayi, Taiwan. Tetapi kemelaratan memaksanya berpikir lain. Pinangan diterima dan sekarang ia sudah di Taiwan. Anak mereka juga sudah lahir.
Konon, semua itu bermula ketika ia bercerai dengan suaminya terdahulu. Lelaki yang memberinya tiga anak itu dipenjara karena terjerat kasus narkoba. Hidupnya pun yang sudah susah semakin mengenaskan. Sehari-hari bersama dua anaknya, yang seorang lagi ia titipkan ke bekas mertua, Linda menumpang di rumah kontrakan orang tuanya. Di rumah petak berukuran 3x7 meter itu berjejalan keluarga Linda bersama tujuh orang lainnya, termasuk adik dan keponakannya.
Nio, sebut saja begitu, ibu Linda, menjadi penyangga keluarga dengan bekerja sebagai tukang cuci di beberapa rumah tangga di Singkawang. Ayahnya, meski kelihatan gagah, ternyata menganggur karena menderita ambien parah. Linda mencoba membantu dengan bekerja menjadi penjaga tempat hiburan ketangkasan di Singkawang. Tak tahan deraan kemiskinan, Linda memutuskan mengikuti praktek perjodohan dengan orang Taiwan. Ia lalu menghubungi A Ngo, sebut saja begitu, yang biasa menjadi perantara. Maka dimulailah hari-hari yang mendebarkan. Beberapa kali dia dipertemukan dengan pria Taiwan di sebuah hotel di Singkawang, sebelum diminati suaminya saat ini.
Dalam proses itu Linda sebetulnya nyaris dikawini seorang awak kapal di pelabuhan Sintete Pemangkat, berumur 52 tahun. Saat itu sudah sampai ke proses sangjitan. Mereka pun konon sudah berbulan madu di hotel. Namun, lelaki itu tak pernah kembali ke Singkawang sepulang ke Taiwan untuk mengurus surat nikah. Katanya di Taiwan dia menabrak orang, Linda punya kepercayaan kalau mengalami suatu kecelakaan, niat baik harus dibatalkan, alasannya.
Linda berharap, dengan perkawinannya ini ia dapat membantu keluarganya di Indonesia. Linda pingin kerja di sini agar dapat membelikan susu anaknya di Indonesia, kata Linda suatu ketika. Tentu saja ia merahasiakan agendanya itu. Sang suami sudah mengancam, kalau Linda ketahuan punya anak, uang chesaw sebesar 300 ribu NT atau sekitar Rp 84 juta, harus dikembalikan.
Tampaknya, harapan itu bakal menjadi kenyataan. Meski cuma kuli bangunan, suaminya cukup berada. Dia adalah anak tunggal dari pasangan petani berusia akhir 60-an. Mereka tinggal bersama di rumah berlantai dua seluas 500 meter persegi. Di belakang rumah masih ada kebun kecil yang ditanami jagung dan sayur-sayuran. Juga ada peternakan ayam. Mertua Linda masih memiliki kebun luas dan sawah tak jauh dari sana. Di garasi tampak tiga sepeda motor dan mobil bak terbuka.
Kehidupan sosial Linda juga tampak cukup baik. Seperti disaksikan majalah ibukota saat mengunjunginya, para tetangga menyapanya ramah. Oleh suaminya, Linda juga didorong segera dapat berbahasa setempat agar proses interaksi semangkin lancar. Dan, suaminya juga meminta Linda menjaga penampilan agar tetap kelihatan segar dan langsing. Caranya, dia telah menganggarkan 150 NT atau RP 42 ribu agar istrinya rutin pergi ke salon sepekan sekali. Kata Linda. Di Singkawang boro-boro ke salon, makan saja susah …
Amoy dan Peruntungan Nasib
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Seorang perempuan yang belakangan diketahui kesehariannya sebagai perantara dalam perkawinan order ala Amoy Singkawang, sebut saja Chin. Chin baru saja tiba dari Taiwan dan mengawal seorang klien yang datang bersama ayahnya. Mereka dijemput oleh anak perempuan Chin, sebut saja Anna, yang mengaku hanya menggantikan tugas saudara laki-lakinya. Anna sendiri bekerja untuk sebuah perusahaan yang bergerak di penjualan saham di Bursa Efek Jakarta.
Chin dan rombongan kemudian menginap di salah satu hotel di kawasan Jakarta Utara. Hotel ini sudah sering digunakan Chin untuk mengatur pertemuan antar klien dan calon pengantinnya. Selama perjalanan ke hotel, Chin sibuk dengan telefon genggamnya menjawab maupun menelefon mitra-mitranya di Jakarta untuk memberitahukan klien sudah tiba dan menanyakan kesiapan mereka membawa calon pengantin ke hotel tersebut.
Chin berusia sekitar 50 tahun. Dia seorang ibu rumah tangga, berperawakan sedang dengan rambut dipotong pendek rapi. Ia tidak ingat kapan ia memulai kegiatannya ini, tetapi sudah lebih dari lima tahun yang lalu. Pada awalnya ia hanya berperan sebagai orang yang mencari perempuan-perempuan muda yang bersedia menjadi pengantin bagi laki-laki Taiwan. Menurutnya, ia adalah seorang mak comblang, dan karenanya ia tidak pernah berbohong pada perempuan-perempuan tersebut akan kebutuhannya mencari pengantin perempuan. Dari perannya ini ia memperoleh Rp. 300 ribu hingga Rp 500 ribu untuk setiap calon yang ia tawarkan dan kemudian dipersunting oleh klien.
Dari perempuan-perempuan atau para Amoy yang berhasil dipasangkannya ini, ia kemudian diperkenalkan dengan beberapa orang klien. Seringkali klien tersebut masih berhubungan darah dengan suami dari perempuan ini. Chin mengambil kesempatan ini untuk langsung mengurus kliennya. Ia menghubungi beberapa orang teman untuk mencarikan perempuan-perempuan muda yang mendekati kriteria yang diinginkan oleh klien.
Chin kemudian menjemput klien di Jakarta, mempertemukannya dengan para calon pengantin. Chin pula yang kemudian mengatur untuk memberikan upah sebesar Rp. 300 ribu hingga Rp 500 ribu kepada mitranya yang berhasil membawa calon yang diinginkan oleh klien.
Untuk usahanya ini, Chin memperoleh sekitar 300.000 hingga 350.000 dollar Taiwan. Uang ini ia pergunakan untuk mengatur biaya perkenalan dengan calon pengantin, biaya pesta pernikahan, pengurusan dokumen atau paspor dan visa, serta transportasi calon pengantin ke Taiwan. Untuk mengurus dokumen, Chin sudah biasa menanganinya sendiri. Seringkali tugas pengurusan dokumen ini ia serahkan kepada anak laki-lakinya atau putrinya, Anna, karena mereka lebih fasih berbahasa indonesia.
Selain itu, biaya akomodasi dan mas kawin ditanggung sendiri oleh klien. Klien juga menanggung biaya perjalanan Chin ke Taiwan bila ia diminta untuk menemani penggantin perempuan. Biasanya perjalanan ini digunakan Chin untuk bertemu dengan klien baru di Taiwan. Dari kegiatannya ini, ia memperoleh penghasilan bersih sekitar 5-7 juta rupiah. Kadangkala masih mendapat bonus dari keluarga perempuan atau Amoy sebagai ucapan terima kasih atas bantuannya mempertemukan perempuan tersebut dengan klien.
Pada sore hari, datang dua calon pengantin didampingi seorang teman Chin. Setelah sekitar satu setengah jam, kedua calon pengantin perempuan itu pulang. Menurut Chin, kliennya kurang berkenan dengan kedua calon tersebut. Calon pertama berusia 20 tahun, tetapi kurang fasih berbahasa Hakka atau bahasa daerah klien. Calon kedua baru berusia 16 tahun. Klien merasa calon kedua terlalu muda sehingga khawatir akan menghadapi kesulitan untuk dapat bergaul dengannya.
Klien Chin berusia 35 tahun dan bekerja sebagi mekanik di sebuah bengkel di Meinung, Taiwan. Menurut ayahnya, klien sangat pendiam sehingga sulit mencari pasangan di Taiwan. Selain itu, mereka juga lebih menyukai perempuan atau Amoy dari Indonesia karena mau bekerja keras untuk keluarga. Karena itu, mereka lebih memilih untuk mendapatkan pengantin yang berasal dari keluarga petani dan juga yang sudah biasa dengan pekerjaan rumah termasuk mengasuh anak kecil dan orang-orang tua. Untuk postur tubuh, klien lebih menyukai perempuan yang tidak lebih tinggi darinya di mana tinggi klien sekitar 165 cm, tidak berdandan terlalu modis karena klien berpendapat bahwa Amoy yang berdandan suka dengan suasana kota sehingga ia khawatir perempuan tersebut tidak akan betah tinggal di rumahnya yang ada di desa. Dan kulit Amoy yang terang.
Proses pemilihan calon pengantin terus berlangsung. Lebih dari 5 Amoy sudah dipertemukan ke klien. Saat memasuki ruangan, A Lie yang juga bernama Lina, sebut saja demikian, ditemani oleh seorang mitra Chin dan seorang perempuan muda berusia sekitar 30 tahun yang mengaku masih berhubungan darah dengan ayah A Lie. A Lie terus menundukkan kepala sejak masuk ke ruangan, duduk sampai saat meninggalkan ruangan tersebut. Sementara itu, klien dan ayahnya terus memperhatikan Lie, mungkin sambil mereka-reka bagaimana seandainya A Lie menjadi istri klien.
Bibi A Lie kemudan memperkenalkan A Lie ke klien. Menurutnya, A Lie baru saja berulang tahun ke-18 akhir tahun lalu. A Lie sempat mengenyam pendidikan sampai tamat SMP tetapi karena kekurangan biaya, A Lie tidak lagi melanjutkan sekolah. A Lie adalah anak ketiga dari 6 bersaudara. Ayah A Lie seorang butuh tani di Sedau, kota kecil di utara Kota Singkawang Kalimantan Barat. Sejak kecil A Lie sudah mahir mengasuh adik-adiknya jika orangtuanya pergi ke kebun. Beberapa saat lalu, orang tua A Lie meminta agar bibi A Lie mempertemukan A Lie dengan laki-laki Taiwan yang adatang ke Indonesia untuk mencari pengantin perempuan.
Dengan A Lie menikah, diharapkan akan dapat mengurangi beban ekonomi keluarga, karena A Lie tidak sampai saat ini hanya tinggal di rumah mengurus rumah dan adik-adiknya. Dua saudara laki-laki A Lie yang lebih tua membantu orangtuanya di kebun, salah satunya sudah menikah dan masih tinggal di rumah yang sama.
Ayah klien yang warga negara Taiwan itu kemudian memperkenalkan anaknya dan mengatakan bahwa mereka memang mencari seorang Amoy sebagai pengantin yang bersedia membantu kerja-kerja di dalam rumah dan tinggal di desa. Karena A Lie dari desa, tentunya tidak akan canggung bila tiba di sana. Ayah klien menanyakan beberapa hal seperti apakah A Lie bisa berbahasa Hakka, apakah sebelumnya A Lie memiliki kekasih. Hal terakhir ini dimaksudkan mengarah pada virginitas A Lie. Dan, tentang kondisi keluarga A Lie. Dalam menjawab pertanyaan ini A Lie hanya mengganguk dan menggelengkan kepala sambil menjawab dengan singkat. Bibi A Lie yang biasanya memberikan penjelasan lebih untuk menjawab pertanyaan tersebut. Klien sendiri juga hanya diam, sambil sesekali memperhatikan A Lie, sang Amoy dari Singkawang itu.
Wajah A Lie yang semula tegang tampak sedikit mengendur meskipun ia tidak berkata apa-apa dan baru mengangkat kepalanya setelah keluar ruangan. Setelah A Lie masih ada dua orang calon pengantin lainnya yang diwawancarai. Tetapi klien merasa lebih cocok dengan A Lie. Karena itu, Chin kemudian mengatur sebuah pertemuan lagi dengan A Lie agar klien dapat mengenalnya lebih jauh.
Pertemuan kedua dengan A Lie diadakan di salah satu tempat di Jakarta. A Lie pergi ke sana dengan rombongannya, terdiri dari bibi A Lie dan mitra Chin. Dalam perjalanan A Lie lebih banyak diam dan pembicaraan lebih banyak dilakukan oleh ayah klien, bibi A Lie dan Chin. Di tempat ini, mereka menonton pertunjukkan ikan lumba-lumba. A Lie duduk disamping klien dan ayahnya. Agak jauh dari mereka duduk Chin, Anna putri Chin, mitra Chin dan bibi A Lie. Tampak ayah klien berusaha bertanya ke A Lie, kadang klien menambahkan. Tetapi tetap saja A Lie hanya sedikit menjawab dan lebih banyak mengganggukkan atau menggelengkan kepalanya. Pertunjukan itu berlangsung sekitar setengah jam, kemudian diteruskan di salah satu restoran.
Setelah pertemuan kedua itu, klien dan ayahnya merasa menyukai A Lie dan berkeinginan untuk segera melangsungkan pernikahan. Untuk itu mereka, ditemani A Lie dan Chin berangkat ke Kalimantan Barat untuk bertemu dengan orang tua A Lie dan melangsungkan pernikahan. Chin mengaku tidak tahu berapa emas kawin yang diberikan kepada orang tua A Lie tetapi untuk kebutuhan pernikahan dan keberangkatannya, A Lie dibelikan beberapa potong baju dan dua pasang sepatu, serta satu set perhiasan. Di Singkawang Kalimantan Barat mereka menginap selama dua hari, termasuk untuk mencatatkan perkawinan tersebut ke kantor Catatan Sipil setempat dan mengurus paspor A Lie.
Mereka segera kembali ke Jakarta untuk mengurus permohonan visa ke TETO. Karena permohonan visa dikabulkan, pada hari ke tujuh sejak kedatangannya itu, A Lie, klien yang sekarang sudah menjadi suaminya dan ayah klien pulang ke Taiwan. Menurut Chin, belum pernah ada kliennya yang pulang tanpa membawa pengantin perempuan atau Amoy. Hal ini karena biaya yang harus mereka keluarkan tidaklah sedikit untuk mengulang proses perjodohan ini. Pun belum ada calon pengantin yang menolak klien ketika lien tersebut menginginkannya karena sejak awal para Amoy ini tahu bahwa merekalah yang dipilih dan karenanya tidak pada posisi untuk memilih.
Chin juga tidak bertanggung jawab atas masa depan dari para Amoy ini. Menurutnya, adalah wajar bila Amoy tersebut di sana harus mengabdikan dirinya pada keluarga besar suaminya dan kadangkala bekerja untuk menambah pendapatan keluarga. Justeru dengan bekerja tersebut para Amoy ini dapat mengirimkan uang ke keluarganya di Indonesia. Bila terjadi perselisihan, bagi Chin itu adalah hal biasa yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Semuanya diserahkan pada nasib perempuan tersebut.
Liku-liku Menuju Formosa
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Adalah Liu Sen alias Atie, sebut saja begitu, dia adalah seorang laki-laki berusia 50 tahun dan mempunyai dua orang anak. Mengakui berdomisili di Jakarta. Atie menyebutkan pekerjaannya sebagai seorang pengusaha ekspor-import umum dengan jaringan utama ke Taiwan. Menurutnya ada tiga kategori pekerjaan dalam proses perkawinan Indonesia-Taiwan ini. Pertama adalah orang yang mencari laki-laki Taiwan yang hendak menikah dengan Amoy Indonesia (A). Kedua adalah wakil di Indonesia (B) yang akan membantu mempersiapkan kedatangan calon mempelai laki-laki di Indonesia dan kepergian mempelai Amoy ke Taiwan. Ketiga adalah orang lokal (C) yang mencari para Amoy yang bersedia menjadi calon mempelai.
Dalam operasinya, (A) akan mencari atau didatangi oleh laki-laki Taiwan yang hendak menikah dengan Amoy asing. Laki-laki Taiwan tersebut akan membayar sejumlah uang, sekitar 300.000 hingga 350.000 dollar Taiwan ke (A) untuk jasanya mencarikan mempelai perempuan. Uang ini tidak termasuk biaya tranportasi yang perlu dikeluarkan oleh pihak klien untuk datang ke Indonesia memilih mempelainya. Uang tersebut hanya digunakan untu mencari mempelai perempuan.
Dalam kelompok Atie, uang tersebut sudah termasuk biaya yang perlu dikeluarkan untuk perjalanan mempelai Amoy nantinya ke Taiwan dan kebutuhan pernikahan yang sederhana.(A) kemudian mengontak (B) untuk memberitahukan bahwa mereka telah menemukan klien. Biasanya informasi ini disampaikan ketika sudah ada 3-4 klien. (B) kemudian akan mempersiapkan tempat menginap bagi klien-klien tersebut. Kadang, untuk merendahkan biaya yang harus dikeluarkan untuk penginapan, Atie menggunakan rumahnya untuk menampung para mempelai ini. Menurutnya hal tersebut tidak menggangu karena biasanya klien hanya akan menginap satu malam sebelum pergi lagi ke Pontianak atau Singkawang Kalimantan Barat dan sebelum kembali lagi ke Taiwan. Cara lainnya adalah rumahnya justru untuk menjadi tempat menginap sementara calon-calon pangantin perempuan, atau para Amoy, bila proses perjodohan dilakukan di Jakarta dan lak-laki tersebut tiak ingin ke Pontianak atau Singkawang.
(B) kemudian memberitahukan (C) informasi ini. (C) menetap di Kalimantan Barat. (C) kemudian akan mencari para Amoy, usia tergantung permintaan klien tapi sekitar 18 hingga 25 tahun. Secara langsung dinyatakan kepada para Amoy tersebut, atau keluarganya bahwa ia mencari mereka yang bersedia menjadi istri laki-laki Taiwan. Biasanya (C) juga dibantu oleh beberapa orang (D) yang akan merekomendasikan kenalannya yang hendak menjadi mempelai perempuan. Apabila calon direkomendasikan oleh (D) kemudian menjadi pengantin, maka (D) akan memperoleh uang lelah, berkisar Rp. 150.000 hingga Rp 500.000.
(C) kemudian akan memberitahukan (B) bahwa ia telah berhasil mengumpulkan beberapa Amoy sebagai calon pengantin perempuan. (B) kemudian memberitahukan kepada (A).Tahap selanjutnya adalah mempertemukan klien dengan calon-calon tersebut. (A) mungkin ikut serta dengan klien ke Indonesia. Tetapi karena Atie sudah cukup lama berkecimpung dalam usaha ini, menurut pengakuannya sekitar 10 tahun, maka (A) sudah percaya kepadanya. Atie tinggal datang ke bandara untuk menjemput klien-klien mereka. Selanjutnya, perjalanan ke Kalimantan Barat diatur dan Atie ikut serta ke sana.
Di Pontianak Atie akan bertemu dengan (C) yang sudah mempersiapkan tempat penginapan. Para klien ini kemudian akan diajak bertemu dengan calon pengantin. Pada tahap ini ada beberapa metode yang dapat diterapkan. Pertama adalah calon pengantin ini duduk berjajar dan klien kemudian akan menentukan calon mana yang paling menarik perhatiannya. Klien kemudian akan mengajak perempuan ini untuk mengobrol secara terpisah untuk mengenal satu sama lain lebih jauh. Biasanya restoran merupakan tempat yang digemari untuk proses ini.
Cara kedua adalah klien menentukan dahulu kriteria yang diinginkannya. (C) kemudian akan menyeleksi calon-calon yang dimilikinya sehingga masing-masing klien akan bertemu dengan calon pengantin perempuan yang paling mendekati kriterianya itu. Proses pengenalan lebih lanjut dapat bermula sejak klien menemukan yang dicarinya. Ketiga adalah dengan wawancara satu persatu. Dengan cara ini, klien-klien akan dikenalkan secara bergantian pada para Amoy atau para calon pengantin perempuan. Wawancara dimulai dengan memperkenalkan calon pengantin perempuan atau para Amoy itu. Usia, postur tubuh dan silsilah keluarga menempati posisi penting dalam proses ini. Tanya jawab kemudian akan lebih pada motivasi Amoy tersebut sehingga bersedia dipersunting.
Meskipun klien menentukan, Atie berkata bahwa ia memberikan keleluasaan kepada pihak Amoy untuk menolak bila memang tidak berkenan dengan klien yang menginginkannya. Tetapi penolakan ini jarang terjadi, mungkin karena para Amoy tersebut sudah dinasehati terlebih dahulu untuk tidak memilih-milih pasangannya. Dan karenanya dari pertama mereka sudah pasrah saja.
Bila proses pencarian pengantin sudah usai dan klien menemukan Amoy pasangannya, maka proses penyelesaian dokumen pun dilakukan. Pertama-tama mereka akan menikah dengan upacara yang sederhana. Kadangkala klien mengeluarkan uang lebih untuk mahar atau emas kawin. Tetapi bila tidak, emas kawin dipotong dari uang pertama yang dibayarkannya yaitu sekitar Rp 3 hingga 4 juta yang akan diterima oleh orang tua mempelai perempuan atau Amoy. Atie juga akan mengeluarkan sejumlah uang untuk pesta pernikahan yang sederhana. Dan juga untuk proses pencatatan perkawinan tersebut di kantor catatan sipil setempat.
Pada tahap pencatatan sipil ini, proses pencatatan tetap dilakukan. Misalnya dengan mempertanyakan apakah kedua mempelai tidak dalam tekanan untuk menikah dan apakah mereka menikah atas landasan cinta, suka sama suka. Kemudian diikuti dengan sekelumit nasihat tentang pernikahan dan upaya untuk mempertahankan pernikahan itu di kemudian hari.
Dokumen lain yang juga diurus adalah paspor mempelai perempuan. Atie memiliki mitra lain untuk mengerjakan hal ini, tapi (C) seringkali menjadi pengurus dokumen tersebut. Dari pekerjaan ini (C) akan menerima imbalan sekitar Rp 3 hingga Rp 5 juta per pasangan. Setelah dokumen-dokumen yang dibutuhkan sudah dilengkapi, klien dan pasangannya berangkat ke Jakarta mendaftarkan di TETO untuk diwawancarai agar memperoleh visa. Proses ini cukup lama, kadang mereka harus menunggu selama seminggu dalam antrian. Bila wawancara dikabulkan, konon sampai saat terakhir ini kabarnya belum ada yang ditolak, maka Amoy tersebut kemudian akan berangkat ke Taiwan, bersama-sama klien atau pun menyusul kemudian. Ini tergantung lamanya mereka harus menunggu dalam antrian wawancara tadi.
Setelah proses ini selesai, Atie memeroleh keuntungan bersih sekitar Rp 5 hingga Rp 7 juta perpasangan. Ia memang tidak merasa dibebani untuk mengetahui lebih lanjut kehidupan pasangan tersebut di Taiwan. Tetapi ada beberapa orang kliennya yang berhubungan cukup erat dengannya. Bahkan tak jarang para Amoy atau kliennya itulah yang memperkenalkan dengan klien-klien baru yang hendak meminta jasanya untuk mencarikan pasangannya di Kalimantan Barat atau sebaliknya.
Kepiawaian Seorang Matchmaker
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Mengaku sudah 15 tahun bekerja sebagai matchmaker alias Mak Comblang. Sebenarnya ini hanya pekerjaan sambilan karena pekerjaan utamanya adalah pengusaha kertas kayu. Mengaku memiliki pabrik di Solo tetapi gulung tikar akibat kerusuhan Mei 1998 silam, tetapi juga masih memiliki pabrik serupa di Taiwan. Di Taiwan, Chen sebut saja begitu, memiliki beberapa teman yang menjadi penghubung dirinya dengan klien. Di Indonesia, mitra tetapnya bernama Ameng, orang lokal yang berdomisili di Singkawang. Ameng yang akan mencari Amoy sebagai calon pengantin perempuan, sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh klien dan untuk itu Ameng berhubungan dengan sekitar 10 hingga 20 orang comblang lainnya. Ameng juga sekaligus mengurus segala dokumen yang dibutuhkan untuk pernikahan dan kepergian mempelai perempuan ke Taiwan.
Klien akan membayar sejumlah 300.000 hingga 350.000 dollar Taiwan. Sepertiga dari uang tersebut diambil oleh penghubungnya di Taiwan untuk kemudian dibagi-bagikan dengan beberapa orang yang terlibat dalam mencari klien. sepersepuluh dari sisa uang tersebut deberikan kepada Chen untuk biaya pernikahan dan pengurusan surat-surat. Satu persepuluh lagi diberikan kepada keluarga Amoy. Proses perjodohan sama dengan yang lainnya.
Setelah dipotong sana-sini untuk biaya transpor dan akomodasi klien dan mempelai perempuan, sisanya menjadi milik Chen. Tetapi dia tidak mau menyebutkan jumlahnya. Pada awal tahun saja, Chen sudah berhasil menikahkan sedikitnya 30 pasangan.
Selain Chen, adalah Lin, menurutnya nilai ekonomis dari perkawinan ini tidak saja karena biaya jasa yang diterimanya. Tetapi para pengantin perempuan atau Amoy ini nantinya akan menjadi pegawai di pabriknya di Taiwan. Selain pegawai perempuan lebih mudah diatur daripada laki-laki, upah yang dibayarkan kepada para Amoy ini lebih murah daripada harus mencari pegawai di Taiwan. Menurutnya hal ini mungkin dilakukan karena kurs rupiah yang rendah sehingga meskipun lebih rendah ketika ditukarkan bisa sekitar 1 hingga 1,5 juta rupiah per bulannya. Dan karena itu, tidak ada pegawainya yang memprotes kebijakannya itu, malah mereka bersyukur sudah diberi pekerjaan oleh Lin.
Melihat keuntungan dan prospek dari pekerjaan jual beli Amoy ini, Lin pun akhirnya membuka biro perjalanan yang mengkhususkan diri untuk mencarikan pasangan bagi laki-laki Taiwan di Indonesia atau pun di negara Asia Tenggara lainnya, Vietnam misalnya.
Sebuah Cerita Dari Amoy
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Oey adalah anak perempuan ketiga dari delapan bersaudara. Usianya sekitar 21 tahun dan pernah sekolah sampai kelas dua SMA. Orangtuanya tidak bekerja sejak kedua kakaknya menikah ke Taiwan. Setiap bulan, kedua kakaknya mengirimkan sejumlah uang, meski Oey tidak bersedia menyebutkan jumlahnya, kepada orang tuanya untuk pendidikan adik-adiknya. Sementara itu, dua orang kakak laki-lakinya yang bekerja di Jepang sebagai buruh di pabrik elektronik, karena biaya hidup di sana tinggi, tak banyak yang bisa mereka kirimkan ke rumah di Siantan Pontianak Utara Kalimantan Barat.
Setelah lulus SMA, Oey pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai sales di sebuah toko elektronik di Jakarta. Baru bekerja sekitar tujuh bulan ketika kerusuhan Mei 1998 terjadi, toko elektronik tersebut hangus terbakar. Karena takut, Oey kembali ke rumahnya di Siantan. Sesampainya di rumah, ia berusaha mencari pekerjaan, tetapi belum juga ada lamarannya yang diterima. Oey sehari-hari tinggal di rumah mengurus orangtua dan ketiga adiknya yang masih SD dan SMP. Akhirnya, sekitar dua bulan kemudian, seorang kenalan perempuan datang menemui Oey dan menawarkannya untuk menikah ke Taiwan. Perantara ini bekerja untuk Chen dan Lin.
Bagi orangtua Oey sendiri, pernikahan kedua kakak perempuan Oey ke Taiwan memberi berkah, karena mereka selalu mengirimkan uang ke rumah. Karena itu, orangtua Oey tidak keberatan, bahkan mendorong Oey untuk menerima tawaran tersebut. Merasa tidak memiliki pilihan lain karena tidak memiliki pekerjaan, Oey pun kemudian menerima tawaran tersebut. Oey kemudian mulai ditawarkan ke klien-klien yang dibawa oleh Lin. Sudah ada enam hingga tujuh kali pertemuan, tetapi belum ada klien yang menaruh hati padanya. Sampai pada suatu waktu kemudian, Oey diperkenalkan dengan seorang klien bernama Liu. Klien ini berusia 42 tahun dan telah menikah tetapi cerai. Duda ini memiliki dua orang anak, yang paling besar baru berusia 8 tahun. Liu mengaku seorang mekanik dan bekerja di sebuah pabrik di daerah Meinung, Taiwan.
Ketika Liu melamarnya, Oey tidak merasa memiliki kekuasaan untuk memilih. Ia bukannya tidak senang dengan Liu, tetapi pun bukan berarti ia mencintainya. Pertemuannya sendiri hanya berlangsung dua kali. Pertama saat perkenalan, kedua saat pendekatan yang dilakukan di salah satu restoran di Kota Pontianak. Hari ketiga mereka bertemu kembali dan kali ini Liu mengajak Oey untuk berbelanja baju dan sepatu untuk keperluannya berangkat ke Taiwan. Sementara mereka berbelanja, perantara dan orangtuanya mempersiapkan pesta perkawinan sederhana dengan hanya mengundang keluarga terdekat dan beberapa kenalan saja.
Pernikahan dilakukan keesokan harinya. Oey tidak tahu berapa emas kawin yang diterima oleh orangtuanya. Ia memperoleh seperangkat perhiasan pada hari pernikahannya itu. Setelah itu, Oey kemudian pergi mengurus paspor dan dokumen lainnya. Keesokan harinya, seorang petugas catatan sipil datang ke rumah perantaranya. Oey dan Liu yang telah menjadi suaminya itu sudah menunggu. Petugas tersebut mencatat dan mengesahkan perkawinan mereka. Keesokan harinya, Oey dan suaminya itu berangkat ke Jakarta untuk mengurus visa ke kantor TETO di sana.
Oey belakangan mengaku tidak tahu berapa uang yang harus dibayarkan oleh suaminya ke perantara dan berapa biaya keseluruhan yang dihabiskan oleh suaminya itu. Ia juga tidak tahu berapa besar penghasilan yang diperoleh perantaranya. Hanya saja ia tidak mengeluarkan uang untuk keperluan apapun, termasuk pengurusan paspornya yang sudah siap dalam satu hari. Seluruh dokumen yang diperlukan dipersiapkan oleh perantaranya. Dan dokumen tersebut asli karena dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Ditanya apakah tidak khawatir pergi ke Taiwan, negara yang belum pernah ia lihat untuk berumah tangga dan tinggal dengan keluarga suaminya yang belum pernah dikenalnya, Oey optimis menjawab ia tidak tahu apa yang harus dikhawatirkan. Ditambah dengan ketidakmampuannya berbahasa Mandarin, Oey hanya ingin mempasrahkan nasibnya saja. Oey merasa sedikit lega karena mempunyai beberapa teman yang sudah menikah di Taiwan. Meskipun sampai saat pernikahan itu ia juga belum tahu apa yang akan dilakukannya di sana, tetapi jika ada kesempatan ia ingin bekerja apa saja agar dapat mengirimkan uang kepada keluarganya nanti. Bagi Oey, setidaknya pernikahannya ini meringankan beban keluarganya, sehingga uang yang dikirimkan oleh saudara-saudaranya itu dapat dimanfaatkan oleh orangtuanya dan untuk pendidikan adik-adiknya.
Lain lagi kisah yang dialami Cheng, sebut saja begitu. Cheng adalah anak pertama dari tujuh bersaudara, tiga perempuan dan empat laki-laki. Sejak kecil, Cheng sudah ditugaskan untuk memasak, mengurus rumah dan adik-adiknya ketika ayah dan ibunya bekerja di kebun. Dua adiknya perempuan dan laki-laki juga ditugasi pekerjaan yang sama, tetapi tanggung jawab utama ada pada Cheng. Orangtuanya berkebun pepaya dan bayam. Tetapi penghasilan dan perkebunan tersebut sangat minim sehingga kehidupan keluarganya sulit. Mereka hanya mempunyai sebuah transistor sebagai alat penghibur.
Cheng tamat SD saat berusia 13 tahun. Karena keuangan keluarga tidak memadai, Cheng tidak melanjutkan pendidikannya. Ia lalu bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Di rumah tempatnya bekerja itu ada seorang nenek, suami-istri dan tiga anak laki-laki yang tertua sebaya denganya, satu masih berusia 10 tahun dan paling kecil berusia 7 tahun. Pasangan tersebut juga mempunyai dua orang pembantu lain, tetapi tidak menginap di rumah. Tugas utama Cheng adalah merawat nenek dan menemani anak-anaknya. Dengan bekerja di sana dia berharap akan dapat melanjutkan sekolahnya. Tetapi karena sudah lewat tahun ajaran, ia harus menunggu satu tahun ke depan.
Pekerjaan di rumah itu tidak terlalu berat untuk Cheng. Perlakuan majikannya pun cukup baik bahkan ia bisa sambil belajar dengan anak majikan yang seusia dengannya. Cheng bekerja di sana selama hampir lima bulan ketika ibunya datang dan berkata akan mengambil Cheng pulang ke rumah. Alasan ibunya adalah karena di rumah tidak ada yang membantu, sementara adiknya masih kecil-kecil. Karena itu, Cheng pun pulang.
Ternyata orangtua Cheng punya rencana lain. Mereka menerima tawaran seorang kenalan bernama Chuan yang memang sudah cukup lama bekerja sebagai perantara yang sedang mencari pengantin perempuan. Cheng kemudian diajari untuk sedikit berdandan, dengan lipstik dan bedak. Cheng kemudian mulai diperkenalkan dengan klien-klien perantara itu. Perawakan Cheng memang besar untuk anak seusianya. Dengan dandanannya itu, tidak ada yang curiga bila dikatakan ia berusia 16 tahun. Di kemudian hari, seluruh dokumen yang Cheng miliki menuliskan usianya yang sudah ditambah 3 tahun. Setelah beberapa pertemuan, seorang klien menaruh hati pada Cheng. Proses yang ia lalui tak beda dengan Oey.
Dua hari setelah pertemuannya dengan klien tersebut, Cheng menikah. Saat itu, pertengahan bulan Agustus 1994, ia belum genap 14 tahun. Sekalipun belum mempunyai keinginan untuk menikah. Cheng tidak merasa memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuannya. Menurut Cheng, ia dapat mengerti keputusan orangtuannya itu karena keluarga mereka sangat miskin dan ia masih memiliki 6 orang adik yang harus dibiayai. Dan Cheng juga tidak tahu apakah ia akan dapat lebih berguna bagi keluarganya itu jika tetap tinggal di Indonesia dengan pendidikannya yang hanya lulus sekolah dasar.
Cheng mengaku bahwa ia sebenarnya sangat takut ketika harus menerima kenyataan akan berpisah dengan keluarganya untuk ikut suaminya ke Taiwan. Ia tidak tahu bagaimana keluarga suaminya akan menerima dirinya. Apalagi Cheng tidak dapat berbahasa Mandarin dan hanya mengerti sedikit bahasa Hakka yang dipergunakan sehari-hari oleh keluarga suaminya. Suami Cheng adalah seorang buruh pabrik elektronik di pinggir ibukota Taiwan. Dia berusia 40 tahun saat menikah dengan Cheng dan belum pernah berkeluarga. Di sana, Cheng tinggal dengan orang tua suaminya yang sudah tua, berusia sekitar 70 tahun. Cheng berkewajiban untuk mengurus rumah tangga dan orangtua suaminya itu.
Cheng bersyukur suaminya tidak pernah berbuat kasar padanya. Begitu pula orangtua suaminya. Bahkan tak jarang mereka mengungkapkan terima kasih atas pertolongan Cheng merawat mereka dan anaknya. Setahun setelah pernikahan itu Cheng mengandung tetapi keguguran. Baru pada tahun berikutnya ia dapat melahirkan seorang anak laki-laki.
Selain mengurus rumah tangganya, Cheng juga bekerja sebagai tukang sapu di sebuah kuil dekat rumahnya. Atas pekerjaan itu, Cheng dapat sejumlah uang dari para pengunjung kuil. Karena itu, Cheng dapat mengirimkan uang untuk keluarganya di Indonesia. Kadang ia mengirimkan uang 3-4 bulan sekali dengan total uang senilai Rp 1,5 hingga 2 juta. Justru ketika kurs rupiah jatuh, uang yang dikirimkan Cheng bisa mencapai dua kali lipat dari biasanya. Uang tersebut terutama digunakan untuk keperluan pendidikan adik-adiknya.
Salah seorang adik perempuan Cheng juga hendak dinikahkan saat berusia sekitar 14 tahun. Cheng menentang keputusan orangtuanya itu. Ia malah mengajak adiknya ke Taiwan untuk ikut membantunya. Tetapi keinginan itu ditolak. Adik Cheng akhirnya menikah dengan seorang petani di Taiwan saat berusia 15 tahun, sekitar 1999. Cheng belum pernah berkomunikasi langsung dengan adiknya itu, tetapi menurut orangtuanya, adik Cheng baik-baik saja meskipun belum bisa menyisihkan uang yang sama besar jumlahnya dengan Cheng karena harus membantu suaminya di kebun di Taiwan.
Cheng masih mempunyai dua orang adik perempuan, dan ia mengaku khawatir bahwa mereka akan bernasib sama dengannya. Meskipun ia tidak mendapat perlakuan kasar, ia tidak ingin adik-adiknya tidak menikah terlalu cepat dengan orang yang tidak dikenal oleh mereka sebelumnya. Dengan uang yang dihasilkannya itu, Cheng berharap adik-adiknya akan mendapat pendidikan yang lebih baik sehingga tidak harus menikah untuk mengatasi kesulitan ekonomi keluarganya.
Kisah Nestapa Para Amoy
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Ai Chia, sebut saja begitu, adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ai Chia lahir pada 1976, sedangkan adik laki-lakinya lahir tiga tahun kemudian. Ayah Ai Chia bekerja sebagai buruh kasar, ibunya tidak bekerja dan sakit-sakitan. Atas bantuan keluarga dari pihak ibu, Ai Chia akhirnya bisa bersekolah sampai SMA. Terbujuk dengan rayuan seorang teman laki-lakinya yang berjanji akan menikahi Ai Chia, Ai Chia bersedia untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Akhirnya ai Chia hamil dan laki-laki tersebut menolak untuk menikahinya.
Mendengar keadaan anaknya itu, ibu Ai Chia kemudian mengusahakan Ai Chia untuk melakukan aborsi. Aborsi berhasil tetapi saudaranya menolak untuk terus menyekolahkan Ai Chia. Saat itu Ai Chia baru kelas II SMA dan karena orangtuanya tidak mampu, tidak mungkin baginya untuk meneruskan sekolah. Ai Chia berhenti dan mulai bekerja di toko milik salah seorang kenalan ibunya.
Dari pekerjaan itu, Ai Chia memperoleh gaji sebesar Rp 200 ribu per bulannya. Upah ini sudah termasuk biaya transportasi dan makan siang. Sisa gaji digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari seluruh keluarga. Saat bekerja di toko, Ai Chia berkenalan dengan seorang perempuan yang bekerja sebagai perantara bernama A Cu. Perempuan tersebut menawarkan Ai Chia untuk menikah ke Taiwan. Menurut perempuan itu, setiba di Taiwan, Ai Chia juga dapat bekerja di pabrik-pabrik yang masih membutuhkan banyak sekali pekerja perempuan. Ai Chia berkata akan mempertimbangkan tawaran tersebut dan memberikan alamatnya ketika ditanya oleh perantara tersebut.
Perantara itu kemudian datang ke tumah Ai Chia dan menceritakan maksudnya kepada orangtua Ai Chia. Di luar pengetahuan Ai Chia, orangtuanya menerima usulan tersebut dan meminta perantara untuk segera menghubungi mereka bila ada klien yang datang. Ai Chia tidak bisa menolak keputusan orangtuanya itu, terutama saat ayahnya mengungkit soal Ai Chia yang sudah tidak lagi perawan dan gaji Ai Chia yang tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Ai Chia ditekan untuk turut memikirkan pendidikan adik laki-lakinya karena menurut ayah Ai Chia, saudara mereka tidak mungkin selamanya membiayai pendidikan adiknya. Terutama bila anak-anak mereka, saudara Ai Chia, sendiri sudah mulai beranjak dewasa dan membutuhkan biaya lebih untuk pendidikan mereka.
Dihadapkan pada keadaan tersebut, Ai Chia kemudian menerima keputusan orangtuanya dan ikut diperkenalkan ke beberapa klien. Karena ia sudah tidak perawan, agak sulit baginya untuk menemukan klien yang mau denganya. Akhirnya seorang laki-laki berusia 35 tahun dan bekerja sebagai montir mempersunting Ai Chia. Seorang teman dari perantara Ai Chia mengerjakan kelengkapan dokumen tersebut. Ai Chia hanya datang ke kantor imigrasi sekali untuk membubuhkan tandatangan dan foto untuk paspornya. Bersama perantara dan kliennya, Ai Chia pergi ke kantor catatan sipil Pontianak, Kalimantan Barat untuk mencatatkan perkawinan itu. Ai Chia tidak tahu berapa mahar yang diterima oleh orangtuanya dari suaminya itu. Tetapi menurut perantara Ai Chia, emas kawin yang diberikan tidak lebih dari 1,5 juta rupiah. Itu pun sudah cukup besar mengingat kondisi Ai Chia yang sudah tidak perawan lagi. Ai Chia menikah pada November 1993 dan saat itu ia berusia 17 tahun.
Tiba di Taiwan, Ai Chia tinggal di sebuah rumah susun dengan suaminya. Ternyata suaminya seorang pemabuk sekaligus penjudi. Ai Chia seringkali kekurangan uang untuk keperluan hidupnya akibat perilaku suaminya itu. Untungnya di rumah susun itu Ai Chia berkenalan dengan beberapa orang Amoy asal Indonesia yang juga menikah dengan laki-laki Taiwan. Atas bantuan salah seorang temannya itu, Ai Chia akhirnya bekerja di sebuah pabrik elektronik.
Gaji yang ia peroleh ia gunakan untuk membiayai hidupnya dan menabung untuk dikirimkan ke keluarganya di Indonesia. Pada dua bulan setelah bekerja ia berhasil mengirim uang yang ketika dikurskan di Indonesia hampir sebesar 1 juta rupiah. Uang ini ia kirimkan dan sejak saat itu Ai Chia selalu mengirimkan uang setiap 2 hingga 3 bulan.
Ai Chia hamil lima bulan setelah pernikahannya dan ia melahirkan seorang anak laki-laki pada 1995. Mengetahui bahwa Ai Chia menyimpan sejumlah uang, pada suatu malam 1996, suami Ai Chia kembali dalam keadaan mabuk dan meminta Ai Chia menyerahkan tabungannya itu. Ai Chia menolak dan karena itu suaminya memukul Ai Chia. Ai Chia terpaksa menyerahkan tabungannya itu. Ia kemudian menelepon ibunya untuk memberitahukan kejadian tersebut. Ibu Ai Chia hanya menganjurkan untuk bersabar dan konsentrasi pada anaknya. Tak lama setelah kejadian itu sekitar sebulan, Ibu Ai Chia meninggal dunia. Empat bulan kemudian ayah Ai Chia menikah kembali.
Ternyata kejadian pemaksaan dan pemukulan oleh suami Ai Chia terus berulang dan Ai Chia tidak tahan. Khawatir Ai Chia akan melarikan diri, suaminya kemudian menahan kunci lemari dan kamar supaya Ai Chia tidak dapat mengambil barang-barangnya jika ia sedang tidak ada di rumah. Tetapi dengan bantuan seorang teman, Ai Chia mengeluarkan sedikit demi sedikit perhiasan dan pakaiannya setiap kali berangkat kerja. Sampai tabungannya cukup untuk membeli tiket pulang, Ai Chia dan anaknya akhirnya kembali ke Indonesia pertengahan 1996.
Tiba di rumah, Ai Chia malah dimarahi oleh ayahnya. Ibu tiri Ai Chia bersikap tidak mau mencampuri masalah. Hanya saja, karena ibu tiri Ai Chia juga bekerja, seringkali ia cemberut dan mengeluh bahwa uang jerih payahnya tidak cukup untuk menanggung kebutuhan Ai Chia dan anaknya. Hampir setiap hari Ai Chia bertengkar dengan ayahnya. Ai Chia akhirnya tidak tahan. Ketika ditawarkan oleh seorang kenalannya, Asuan, untuk pindah ke Jakarta, Ai Chia menyetujuinya.
Setiba di Jakarta, Ai Chia bekerja di rumah makan milik Asuan, yang juga menjadi perantara. Setelah dibujuk beberapa kali oleh Asuan, akhirnya Ai Chia bersedia untuk kembali ikut dalam bursa calon pengantin. Menurut Ai Chia, keputusan itu terpaksa ia ambil karena ia membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membesarkan anaknya dan hasil dari bekerja di rumah makan milik Asuan tidak mencukupi kebutuhan tersebut.
Pertengahan 1997, dari perkenalannya dengan klien Asuan, ia bertemu dengan seorang duda berusia 50 tahun yang memiliki tiga anak. Anak terbesar dari laki-laki itu berusia sepantar dengan Ai Chia, 21 tahun. Dua lagi berusia 18 dan 16 tahun. Tetapi laki-laki itu tidak bersedia bila Ai Chia membawa anaknya serta. Untuk itu, Ai Chia menitipkan anaknya ke Asuan dan suaminya memberi uang 2 juta rupiah kepada Asuan untuk mengasuh anak Ai Chia sebagai pengganti emas kawin Ai Chia.
Ai Chia tidak tahu berapa uang yang diperoleh Asuan dari pernikahannya itu. Tetapi Asuan mengatur segala keperluan Ai Chia untuk menikah kembali. Termasuk menyediakan dokumen-dokumen yang Ai Chia butuhkan. Karena Ai Chia belum resmi bercerai dengan suami pertamanya, maka untuk memudahkan kepergiannya, Ai Chia dibuatkan dokumen baru. Dokumen-dokumen tersebut menurut Ai Chia juga asli karena dikeluarkan oleh instansi yang berwewenang. Bahkan sampai ke akte kelahiran Ai Chia yang baru. Dari asuan, Ai Chia mengetahui bahwa untuk itu sejumlah uang dibutuhkan Asuan untuk menyogok aparat-aparat yang terkait sehingga segala dokumen yang ia butuhkan sudah siap dalam satu bulan. Dengan dokumen-dokumen itu, Ai Chia tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh visa.
Kali ini Ai Chia pergi tidak lagi dengan rasa takut. Apalagi ai Chia sudah lancar berbahasa Mandarin. Ia hanya mengkhawatirkan anaknya yang dititipkan ke Asuan. Agar dapat menengok anaknya, Ai Chia akhirnya turut membantu Asuan untuk mencari klien di Taiwan dan kemudian menemani klien-klien tersebut ke Indonesia. Sebelum kembali ke Taiwan, Ai Chia akan menyempatkan diri untuk mencari para Amoy yang bersedia untuk menjadi pengantin untuk kemudian dititipkan ke Asuan. Tujuannya adalah untuk mempermudah mereka saat klien berikutnya mereka dapatkan.
Untuk setiap klien yang berhasil memperoleh pasangan, Ai Chia memperoleh 50.000 hingga 100.000 dollar Taiwan. Sebagian dari uang tersebut ia berikan ke Asuan secara bertahap untuk biaya hidup anaknya. Sisanya ia tabungkan untuk keperluan pendidikan anaknya kelak.
Hui Fang adalah anak pertama dari sebelas bersaudara. Ia mempunyai empat orang adik perempuan dan enam orang adik laki-laki. Saat ini yang paling kecil baru berusia 5 tahun, ada tiga yang masih sekolah dasar kelas 2, 5, dan 6. Dua lagi di SMP. Adik laki-laki yang paling besar ikut bekerja di konveksi bibinya di Jakarta. Sebenarnya adik laki-lakinya ini ingin bekerja di Taiwan tetapi dicegah oleh Hui Fang. Menurut Hui Fang lebih baik adiknya menungu sampai berusia 22 tahun sebelum bekerja di sini supaya bisa masuk ke Taiwan secara legal. Adik Hui Fang yang perempuan sudah menikah ke Malaysia tahun lalu. Sedangkan dua lagi adiknya sudah putus sekolah dan belum bekerja.
Ayah Hui Fang tidak bekerja. Karena keuangan keluarga yang sangat kurang, ibu Hui Fang juga pernah ke Taiwan dan bekerja di sana selama empat bulan. Tetapi karena anak-anaknya masih kecil-kecil, ia harus pulang kembali. Hui Fang sempat mengeyam pendidikan sampai kelas II SMA. Karena tidak punya cukup uang, Hui Fang harus berhenti. Ia kemudian pergi ke Jakarta tetai karena tidak mendapatkan pekerjaan, ia kembali ke Pontianak. Saat itu usianya baru 19 tahun.
Seorang kenalan bernama Chuan Kou pada suatu suatu hari mendatangi Hui Fang dan menawarkannya untuk menikah ke Tiawan. Dari teman-teman, Hui Fang beranggapan bahwa menikah ke Taiwan adalah menguntungkan karena bisa bekerja. Ibu Hui Fang juga memiliki pendapat yang serupa meskipun ia tidak memaksa Hui Fang untuk menikah. Hui Fang sendirilah yang memutuskan untuk menikah ke Taiwan lewat bantuan perantara tersebut.
Chuan Kou kemudian memperkenalkan Hui Fang dengan seorang laki-laki Taiwan berusia sekitar 30 tahun. Ia bekerja sebagai montir di dekat Kao Hsiung. Setelah perkenalan itu, Hui Fang dan suaminya berjalan-jalan dan membeli pakaian. Pesta perkawinan dilakukan sehari kemudian. Untuk itu diadakan pesta perkawinan sederhana dengan mengundang keluarga dan teman dekat. Itu terjadi sekitar empat tahun yang lalu. Semua dokumen kepergian Hui Fang diurus oleh perantaranya dan mereka Hui Fang dan keluarganya tidak membayar sedikit pun untuk itu. Dan bagaimana budaya yang diusungnya, ibu Hui Fang menerima sejumlah emas kawin dari menantunya itu, meskipun ia enggan menyebutkan jumlahnya.
Sekarang Hui Fang sudah mempunyai seorang anak. Selama pernikahannya itu Hui Fang sudah 4 kali kembali ke Indonesia. Di Taiwan Hui Fang bekerja di sebuah rumah makan. Ia terus mengirimkan uang ke keluarganya. Kalau sudah dikirimkan, Hui Fang akan menyuruh ibunya untuk mengecek uangnya di bank. Pernah Hui Fang bertanya kepada ibunya tentang apakah uang yang dikirimkannya itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sebagai orangtua dari pihak perempuan, ibu Hui Fang merasa tidak memiliki kekuasaan untuk menjawab pertanyaan itu. Bagi ibu Hui Fang, karena anaknya adalah perempuan, maka sebenarnya ketika anak tersebut sudah menikah, ia akan menjadi milik keluarga suaminya itu. Ibu Hui Fang sudah merasa sangat bersyukur karena suami Hui Fang membiarkan anaknya mengirim uang dan tidak pernah berusaha meminta hasil jerih payah Hui Fang.
Uang dari Hui Fang tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari seluruh keluarga dan biaya pendidikan adik-adiknya. Selain itu, mereka juga mendapat tambahan uang dari adik perempuan Hui Fang yang meninkah di Malaysia. Hui Fang tidak pernah mengeluhkan kondisi perkawinannya. Tetapi dari pantauan ibu Hui Fang saat ia berada di Taiwan, kondisi perkawinan Hui Fang cukup beruntung bila dibandingkan dengan anak perempuan tetangganya. Di lingkungan tempat tinggal ibu Hui Fang, hampir semua keluarga mempunyai anak perempuan yang dipersunting laki-laki Taiwan. Salah satu tetangga memiliki anak perempuan yang juga menikah ke Taiwan dan sekarang sudah mempunyai dua anak perempuan. Sebenarnya suaminya itu sangat pintar mencari uang. Sayangnya setelah melakukan operasi kepala, ia menjadi sangat terbelakang atau cacat. Meskipun demikian perempuan tersebut tidak bercerai dan terus bekerja di Taiwan untuk menyambung hidupnya, suami dan kedua anaknya.
Selain itu, ibu Hui Fang juga yakin bahwa laki-laki Taiwan yang menikah ke sini adalah laki-laki baik-baik. Memang terdegar kabar bahwa ada beberapa anak perempuan tetangganya yang menikah di Taiwan kemudian dipukuli oleh suaminya. Tapi setelah membahasnya lebih lanjut, ibu Hui Fang yakin bahwa kesalahan selalu ada di pihak perempuan itu sendiri. Sudah sepantasnya seorang menantu berbakti pada mertuanya. Adalah wajar bila dimarahi oleh mertua, terutama bila mertua itu sudah tua dan cerewet. Hanya bila para Amoy itu berlaku sembarangan maka para suami akan dan pantas untuk menghajar istri-istri mereka itu. Ibu Hui Fang juga beberapa kali membantu perantara mencari anak perempuan yang mau dinikahkan. Kebanyakan memang dari keluarga dengan ekonomi yang tak jauh berbeda darinya. Dan usahanya ini cukup berhasil karena sudah beberapa pasangan yang berhasil dihubungkannya.
Lain Hui Fang lain pula A Nyam. A Nyam mempunyai seorang kakak laki-laki dan tiga adik, dua perempuan, satu laki-laki. Kakak laki-laki A Nyam tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai sales di sana. Ayah a Nyam bekerja serabutan sementara ibunya tidak bekerja. A Nyam bersekolah sampai tamat SMP. Karena mempertimbangkan keuanga keluarganya, A Nyam memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. Saat usianya menjelang 20 tahun, A Nyam ikut dengan salah satu kenalannya ke Jakarta untuk bekerja di sebuah rumah makan. Di sana ia bertemu dengan seorang teman yang menawarkannya untuk menikah ke Taiwan. A Nyam kemudian menerima tawaran ini.
Ibu a Nyam sendiri tidak dapat berbuat banyak karena saat itu A Nyam ada di Jakarta. A Nyam baru memberitahu setelah ada calon yang bersedia mempersuntingnya. Saat itu A Nyam berusia 23 tahun dan suaminya itu berusia 37 tahun. Keinginan A Nyam untuk menikah sudah bulat, dan A Nyam memberitahu ibunya bahwa keputusan ini dia ambil guna meringankan beban ekonomi keluarga. Bersama dengan calon suaminya itu, A Nyam kembali ke Ngabang, Kalimantan Barat. Dengan bantuan perantara, A Nyam mengurus segala dokumen untuk kepergiannya. Pesta perkawinan dilakukan sangat sederhana. Hanya keluarga saja yang diundang dan kemudian mereka pergi ke tukang foto untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut. Usai pernikahan A Nyam kembali ke Jakarta untuk kemudian meneruskan perjalanannya ke Taiwan. Pernikahan tersebut berlangsung sekitar lima tahun yang lalu.
Ibu A Nyam mengingat anaknya sebagai seorang anak yang ulet dan memang sangat mengkhawatirkan kondisi keuangan keluarganya. Karena itu, A Nyam kemudian berusaha dengan membuka toko makanan. Tapi kemudian a Nyam menutup rumah makan ini dan melakukan alih profesi menjadi tukang jahit. Dari pekerjaannya ini A Nyam dapat mengirimkan sejumlah uang untuk keperluan pendidikan adik-adiknya. Bahkan dari uang itu bisa ditabung untuk membeli pick-up yang kemudian digunakan ayahnya untuk bekerja dengan menyewakan mobil tersebut. A Nyam juga berhasil menyekolahkan adik perempuannya sampai lulus sebuah akademi di Pontianak. Adik perempuan A Nyam ini akan menyusul kakak laki-lakinya di Surabaya agar dapat bekerja di sana.
Suami A Nyam adalah seorang perajin kayu. Mereka tinggal di sebuah desa di daerah Meinung. A Nyam tinggal dengan suami dan mertua perempuannya. Sekarang A Nyam sudah mempunyai dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Yang paling besar sudah bersekolah. Pada awalnya ibu A Nyam khawatir bahwa anaknya akan tidak betah tinggal di Taiwan, tetapi seiring dengan perjalanan waktu, ia yakin anaknya sudah dapat menyesuaikan diri dan betah tinggal di sana. Tahun kedua dari perkawinannya itu, A Nyam mengganti kewarganegaraannya menjadi warga negara Taiwan.
Di daerah itu memang A Nyam memiliki cukup banyak teman karena banyak Amoy dari Kalimantan Baarat yang menikah ke Taiwan. Dan sepengetahuan ibu A Nyam, para perempuan itu memiliki kehidupan yang cukup layak di sana. Bahkan hampir semuanya mampu menyisihkan uang untuk dikirim kembali ke keluarga mereka di Indonesia. Adik A Nyam yang paling kecil sekarang ada di Taiwan untuk melanjutkan sekolahnya. Dibutuhkan sekita 2 juta untuk biaya perjalanan, dokumen dan pendaftarannya. Semua itu ditanggung oleh A Nyam, sekaligus biaya pendidikan adiknya sampai lulus. Kalau memang bisa, adik A Nyam juga akan belajar sambil bekerja di sana.
Salah satu adik perempuan ibu A Nyam juga bekerja di Tai Tang, Taiwan. Ia baru bekerja beberapa bulan sebagai pembantu rumah tangga khusus untuk merawat seorang tua di rumah itu. Jadi ibu A Nyam sangat menaruh harapan bahwa adik laki-laki a Nyam juga akan dengan mudah mendapat pekerjaan, seperti membantu di rumah makan. Adik perempuan A Nyam yang satu lagi tetap tinggal di rumah dan masih duduk di kelas II SMP. Masih terlalu muda untuk dipikirkan apakah ia juga akan mengikuti jejak kakaknya untuk menikah di sana. Bahkan ibu A Nyam tidak tahu apakah anak perempuannya yang sekarang ada di Surabaya juga akan melakukan hal yang sama. Meskipun juga tidak menolak jika keputusan itu yang diambil , terutama bila mempertimbangkan kisah-kisah sukses di Taiwan, ibu A Nyam lebih membiarkan anaknya mengambil keputusannya sendiri.
A Nyam juga sudah beberapa kali mencarikan ibunya klien yang hendak memperoleh pasangan di Indonesia. Bahkan beberapa waktu yang lalu ia menelepon dan mengatakan ada klien yang akan datang. Tetapi berbekal pengalaman terdahulu, ibu A Nyam merasa akan lebih mudah bila A Nyam mengirimkan foto klien itu terlebih dahulu, sementara ibu a Nyam juga akan mengirimkan foto perempuan-perempuan yang bersedia menjadi pengantin. Setelah ada yang cocok baru akan diatur pertemuannya. Dengan demikian, waktu berkunjung klien di Indonesia pun dapat dipersingkat dan tugas yang harus dilakukan oleh ibu A Nyam juga menjadi lebih ringan.
Lain lagi kisah A Ngo. A Ngo adalah anak pertama perempuan dari lima bersaudara, tiga adik perempuan dan satu kakak laki-laki. Ayahnya bekerja sebagai sopir kapal air alat tranportasi di Kalimantan Barat di Sedau Singkawang yang terutama mengangkut anak-anak yang hendak pergi ke sekolah. Pada saat A Ngo berusia sembilan tahun, mereka sekeluarga pindah ke Pontianak karena ayah A Ngo sakit-sakitan dan seringkali pingsan sehingga tidak memungkinkan untuk bekerja.
Di Pontianak, ibu A Ngo berusaha menghidupi keluarganya dengan berjualan hekeng, makanan tradisonal yang bahan dasarnya udang dan tepung terigu. Tapi hasil penjualannya tidaklah banyak. Karena itu, sejak lulus SMP, A Ngo memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Ia bekerja membantu ibunya berjualan hekeng. Dari hasil tersebut, adik perempuannya, A Ling, berhasil sekolah sampai tamat SMA. Tak lama setelah tamat, A Ling, memutuskan untuk menikah ke Taiwan. Ia menikah dengan seorang mandor di Kao Hsiung pada 1992 ketika usianya baru berusia 18 tahun. Dari pernikahan ini, A Ngo membantu keluarganya dengan sesekali mengirimkan sejumlah uang.
A Ngo kemudian pindah ke Jakarta pada akhir 1992 untuk mencari pekerjaan dengan harapan memperoleh penghasilan yang lebih baik. Saat itu kakak laki-laki A Ngo juga sudah berkeluarga. Saudara laki-lakinya ini memperoleh penghasilan dari berjualan jajanan anak-anak yang terbuat dari beras yang dijadikan kerupuk dan disiram gula atau disebut pheng. Perbuah jajanan tersebut dihargai Rp 75, dan hasil dari jualan itu tidaklah mencukupi, bahkan untuk keluarga kakaknya sendiri yang telah memiliki satu anak.
Di Jakarta, A Ngo bertemu dengan perantara, seorang perempuan setengah baya yang berpostur gemuk. A Ngo sempat bimbang karena ia tidak bisa berbahasa Madarin, belum pernah ke Taiwan dan sama sekali tidak mengenal latar belakang calon suaminya itu. Tetapi melihat kondisi keluarganya akhirnya A Ngo memutuskan untuk menerima tawaran perantara tersebut. Sejak kepergian A Ngo ke Jakarta, ibu A Ngo memang berhenti berjualan hekeng dan membantu anak laki-lakinya membuat Pheng. Tetapi keadaan semakin buruk karena saingan semakin banyak sementara bahan baku semakin mahal.
A Ngo yang saat itu berusia 21 tahun kemudian dikenalkan dengan seorang pria berusia sekitar 40-an dan bekerja sebagai montir di Taipei. Setalah perkenalannya di Jakarta, A Ngo dan suaminya ini kembali ke Pontianak untuk melangsungkan pernikahan. Sebuah pesta perkawinan sederhana diadakan untuk merayakan perkawinan tersebut. Setelah semua dokumen yang dibutuhkan lengkap, A Ngo pergi ke Taiwan.
Di Taipei, A Ngo berjualan jajanan untuk anak-anak sekolah. Penghasilannya ini ia kirimkan ke rumah. Suami A Ngo sendiri tidak keberatan dengan kegiatan A Ngo tersebut. Bahkan ia suka mengingatkan A Ngo bila ia sudah lama tidak berhubungan dengan keluarganya di Indonesia. Waktu ibu A Ngo yang ke Taipei pada 1995 untuk membantu A Ngo yang hendak melahirkan, penerimaan menantunya pun cukup baik. Tetapi sayangnya, suami A Ngo ini senang minuman beralkohol. Jika sudah mabuk, ia langsung tidur. Menurut ibu A Ngo, minimal keadaan itu jauh lebih baik daripada anaknya dipukul. Dan ia tidak begitu heran dengan kebiasaan menantunya ini, karena menurut ibu A Ngo, laki-laki mabuk adalah semacam tradisi di dalam budaya Cina yang dapat ditolerir.
Dari uang yang dikirimkan A Ngo, adik perempuannya pun dapat menyelesaikan SMA. Sekarang adik perempuannya itu sudah berkeluarga. Jadi tanggungan A Ngo tinggal adiknya yang bungsu yang sekarang masih SMP. Tetapi melihat keadaan abangnya, A Lung juga bersedia menyekolahkan keponakannya itu. Apalagi karena abangnya sudah bercerai dan mereka tinggal dengan orang tua A Ngo.
Sekalipun A Ngo mengetahui bahwa bila menjadi perantara ia akan dapat menghasilkan uang yang lebih banyak, A Ngo tidak bersedia. A Ngo berpendapat bahwa tanggung jawab atas nasib para Amoy tersebut akan terlalu berat untuk ditanggungnya. Siapa yang bisa menjamin kalau yang ditawarkannya adalah pria baik-baik, begitu juga tidak mau mendukung keinginan ibunya untuk menikahkan adiknya dengan laki-laki Taiwan terutama setelah A Ngo mengetahui bahwa adiknya itu sudah memiliki kekasih, yang kemudian memang dinikahinya.
Untuk saat ini, uang yang dikirimkan oleh A Ngo dan A Ling cukup untuk memenuhi kebutuhan ayah, ibu, adik bungsu dan pendidikan keponakannya. Bahkan sudah disisihkan sedikit demi sedikit untuk bekal pendidikan adik bungsunya ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut ibu A Ngo, ia belum lagi memikirkan apakah akan meminta anak bungsunya itu untuk menikah ke Taiwan. Ia juga tidak yakin kalau A Ngo akan sepakat dengannya. Selain itu, ibu A Ngo juga sepakat kalau tidak boleh semua anak perempuannya menikah jauh-jauh. Bila ada apa-apa dengan ayah mereka, siapa yang akan membantu, pikirnya.
Hilang Harapan di Negeri Sakura
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Malam membekap kawasan Akasaka di jantung Tokyo. Tapi salah satu daerah esek-esek terkemuka di ibu kota Jepang itu terasa kian panas. Beberapa turis asing dan lelaki hidung belang Jepang tampak menikmati pemandangan. Young and beautiful, young and beautiful, ujar seorang perempuan, berpromosi. Setengah merengek, perempuan dengan kostum ketat itu memaksa. Begitu dilaporkan salah satu majalah berita mingguan ibukota beberapa waktu lalu.
Dengan cekatan, sang salesgirl dari Bar Somaru itu menjanjikan berbagai kenikmatan duniawi. Bila tak cukup dengan kata-kata (maklumlah, bahasa inggris seorang salesgirl umumnya sangat terbatas), ia langsung menggunakan tangan dan tubuhnya. Tanpa sungkan, ia menggandeng dan memeluk pinggang calon pegunjung bar. Cukup hanya dengan membayar 7.000 yen (sekitar Rp. 500 ribu) – jumlah yang kecil bagi ukuran warga Jepang – seorang pengunjung bebas melenggang masuk. Tarif itu termasuk dua gelas minuman dan pertunjukan berupa tarian semi-striptease.
Suasana di dalam bar tak ubahnya seperti bar-bar di Jakarta, temaram dan dijejali perempuan berbaju seronok. Seorang pelayang yang menyebut dirinya Michiko menyambut dengan sesungging senyuman ala Jepang. Perempuan dengan aroma parfum yang lembut itu segera menawarkan “teman” selama Kongko di bar. “Jepang, Thailand, Philippine, or Indonesia?” ujarnya. Tanpa pikir panjang, tulis seorang wartawan yang menuliskan reportasenya itu, meminta seorang “teman” yang berasal dari Indonesia.
Indonesia? Ya, Perempuan indonesia rupanya menjadi salah satu ikon dalam dunia malam di Negeri Sakura. Di Bar Somaru Akasaka, misalnya, ada seorang Amoy, sebut saja Oey Tan, bukan nama sebenarnya, yang berdarah keturunan Cina Indonesia. Perempuan berusia 23 tahun ini mengaku berasal dari salah satu desa di Singkawang, Kalimantan Barat. Oey Tan ternyata sudah dua tahun bekerja di kawasan Akasaka. Selama dua tahun pula Oey Tan berlumur peluh lelaki hidung belang di Jepang. “Mau bagaimana lagi? Sudah kepalang basah,” ujarnya.
Alasan klasik. Tapi justru itulah yang selalu menjadi dalih para pekerja yang terjun di dunia keremangan malam. Oey Tan, yang cuma mengeyam sekolah hingga kelas 2 SMA, mengaku tak punya pilihan lain. Jika bertahan hidup di Singkawang atau Indonesia, tak akan ada perubahan nasib. Padahal, ujar Oey tan, masih ada dua orang adiknya yang duduk di bangku SMU dan SMP.
Oey Tan mengaku tak sendirian. Di kawasan Akasaka saja diperkirakan ada sekitar 30 perempuan asal Indonesia, kebanyakan para Amoy atau gadis muda keturunan Cina Indonesia. Mereka bekerja di berbagai bar dan pub di sepanjang kawasan “esek-esek” itu. Hubungan antar perempuan asal Indonesia terbilang ketat. Mereka tetap berkumpul untuk saling “curhat” atau sekadar ngerumpi. “Karena jauh dari keluarga, kami seperti bersaudara,” kata Oey Tan.
Bagi Jepang, persoalan prostitusi seperti pedang bermata dua. Secara resmi sejak 1958 Jepang menyatakan prostitusi sebagai kegiatan melanggar hukum. Meski begitu, seperti negeri maju lainnya, Jepang tak berdaya membendung pertumbuhan bisnis pemuas syahwat itu. Selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan bisnis itu seperti cendawan di musim hujan. Cepat dan maju pesat. Tak percaya? Tengok saja di Tokyo. Beberapa kawasan bisnis, seperti Akasaka, Shinjuku, dan Roppogi, merupakan kawasan esek-esek terkemuka.
Buntutnya sebenarnya cukup merepotkan pemerintah Jepang. Pertumbuhan pengidap HIV/AIDS di Jepang terbilang relatif tinggi untuk kawasan Asia Pasifik. Penyakit yang kerap menimpa pekerja seks komersial itu kini menjadi ancaman serius bagi masyarakat Jepang. Data Badan Intelijen Amerika (CIA) beberapa waktu lalu menyebut angka prevalensi HIV/AIDS di kalangan warga Jepang dewasa mencapai 0,02 persen. Saat ini diperkirakan sekitar 20 ribu penduduk Jepang terinfeksi virus mematikan itu.
Di sisi lain, Jepang merupakan salah satu negara penting bagi para tenaga kerja Indonesia (TKI). Maklumlah, Jepang memang tak memiliki pasokan pekerja untuk sektor-sektor tertentu. Negeri yang memiliki pendapatan per kapita US$28 ribu (sekitar Rp. 225 juta) itu tiap tahun membutuhkan ratusan ribu tenaga kerja asing. Umumnya para pekerja asing itu bekerja di sektor infrastruktur, industri manufaktur, dan “dunia hiburan”. Di dunia, Jepang merupakan satu-satunya negara yang memberikan visa “pekerja hiburan bagi tenaga kerja asing.
Arti penting Jepang bagi Indonesia tercermin pada jumlah TKI yang bekerja di sana. Hingga akhir tahun lalu, Kedutaan Besar RI di Jepang memperkirakan ada 12.779 orang TKI yang bekerja di Jepang. Tapi tak ada catatan yang jelas soal jumlah devisa yang diperoleh para pekerja Indonesia itu. Maklumlah, tak semua pekerja memiliki identitas dan status yang jelas. Pihak KBRI memperkirakan ada sekitar 4.000 orang tenaga kerja indonesia yang berstatus “ilegal”. Para tenaga kerja ilegal ini umumnya adalah pekerja yang sudah overstay dan tak memegang kontrak kerja. Bahkan, sebagian besar dari mereka tak memegang paspor yang menjadi identitas penting di luar negeri. Soalnya, paspor mereka ditahan oleh majikan lama atau oleh agen tenaga kerja di Jepang.
Ada hal lain yang menarik. Kedutaan Besar RI di Jepang menyebut ada 235 orang tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di sektor hiburan. Secara resmi, mereka disebut sebagai “artis atau entertainer”. Angka ini bisa jadi jauh lebih kecil dari fakta sebenarnya. Soalnya, para TKI yang berstatus ilegal juga banyak yang bekerja di dunia hiburan. Masalahnya, para pekerja di sektor hiburan ini sangat rawan terhadap eksploitasi seksual. Bisa dipastikan, para pekerja seks komersial. Hampir semua pekerja hiburan di Jepang akan dijadikan pemuas syahwat.
Apalagi proses audisi saat perekrutan “artis” untuk Jepang umumnya sangat menonjolkan keindahan fisik calon tenaga kerja wanita. Bahkan banyak perusahaan yang meminta calon “artis” berlenggak-lenggok sambil menanggalkan pakaian. Tak mengherankan, para TKW yang akan menjadi pekerja hiburan di Jepang ini kerap disebut sebagai “Ayam bersepatu”. Istilah ini, telah menjadi joke di kalangan perusahaan pengirim TKW. Untunglah, tak semua “Ayam bersepatu” pasrah dengan keadaan.
Seperti kebanyakan pekerja seks komersial asal Indonesia, mereka para Amoy muda ini nyaris tak pernah menikmati hasil keringat mereka. Ini akibat “keteledoran” saat menandatangani kontrak kerja. Dalam salah satu klausul kontrak kerja mereka disebutkan bahwa para pekerja berutang 5 juta yen (sekitar Rp. 350 juta) kepada mucikari di Jepang. Angka sebesar itu konon merupakan segala ongkos yang harus dikeluarkan untuk menjadi pekerja di Jepang. Sialnya, para perempuan lugu itu dipakasa membayar utang tersebut dengan tubuh mereka. Bila menolak, “Kami dihajar seperti binatang,” ujar seorang Amoy dengan setengah berbisik.
Memang ada Oey Tan, pekerja seks komersial di kawasan Akasaka, yang akhirnya bersikap pragmatis. Daripada tak bisa pulang ke kampung, ia menerima dan menikmati kehidupan malam di kota metropolis Tokyo. Tapi, bukan tak mungkin, jauh lebih banyak Amoy atau perempuan yang ingin keluar dari cengkeraman sang mucikari. Para begundal anggota Yakuza-lah yang membuat mereka kehilangan harapan.
Desah Batin Amoy di Singapura
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Singapura dikenal sebagai bersih, disiplin, cenderung steril, dilarang merokok, dilarang berjualan permen karet, dilarang menyeberang sembarangan, dan seribu larangan lainnya. Singapura juga dikenal sebagai surga belanja bagi orang Indonesia. Tapi ketika kemudian disebutkan pula sebagai ajang transaksi bisnis seks, maka banyak orang akan mengerutkan keningnya, tidak percaya. Bagaimana mungkin, lantas kenapa pemerintah Singapura mendiamkannya saja, atau menindaknya.
Konon, prostitusi sudah sejak lama ada di Singapura. Bahkan sejak Stamford Raffles memerintah 1819 hingga saat terakhir ini. Sebelum ia meninggalkan Singapura karena jabatannya berakhir 1823, Raffles menulis, “Pelacur malang itu seharusnya diperlakukan dengan rasa iba, namun demikian segala upaya hendaknya dilakukan guna mencegah agar pelayanannya terhadap para pelanggan menjadi sumber keuntungan bagi orang lain kecuali dirinya …”
Sebagai orang yang realistis, Raffles tahu bahwa pulaunya yang bergelora ini akan menarik perhatian banyak lelaki petualang dari seluruh Asia, sehingga hal itu juga akan menarik perhatian para wanitanya untuk melayani para pria, serta untuk mengangkat mereka dari jurang kemiskinan, dengan cara yang waktu itu mungkin merupakan satu-satunya kesempatan karir yang terbuka bagi mereka sebagai wanita lajang.
Sebagai manusia yang penuh belas kasihan juga, Raffles tahu bahwa para wanita itu akan dieksploitasi oleh para pria, dan wanita lainnya, dan ia tegas-tegas menyatakan ketidaksukaannya kepada germo dan sebangsanya yang paling menikmati keuntungan dari para wanita yang harus mendapatkan uang dengan cara berat, yaitu dengan menjadi penjaja seks komersial.
Pada 1898, Protektorat Tiongkok ini mencatat bahwa Singapura mempunyai 200 rumah pelacuran terdaftar yang mempekerjakan lebih dari 3.000 wanita, sebagaian besar Amoy dari atau orang Kanton, ditambah 150 yang tidak terdaftar berisi 600 Amoy, sebagian besar Amoy dari kalangan orang Teochew. Populasi lelaki lajang Cina pada waktu itu sekitar 250.000, jadi tidak terlalu mengherankan bila 4 dari tiap 5 Amoy yang datang dari Tiongkok melalui Boat Quay cepat-cepat dikirim ke zona pelacuran. Daerah tersebut kemudian dikenal sebagai Blue Triangle atau Segitiga Biru, batasnya sekarang adalah keong Saik Road, Teck Lim Road dan Jiak Chuan Street.
Sampai awal 1930-an, pusat zona lampu merah yang terbuka bagi semua ras adalah Malay Street. Tapi setelah perang, pusat tersebut berpindah ke deretan daerah Selegie, Jalan Besar, Lavender, Bales dan Desker Road, di mana pada 1950-an para wanitanya menentukan tarif aneh yaitu $5.60, mereka ini dijuluki dengan lima enam puluh. Menyusul adanya anti kebudayaan kuning, setelah kemerdekaan pada 1959-an, daerah percabulan Singapura itu sebagian besar pindah ke arah barat tempat di mana sampai sekarang mereka masih beroperasi, misalnya, tentu saja Desker Road.
Begitulah juga yang terjadi di daerah-daerah lain di Singapura masa kini. Hal itu sudah bukan menjadi rahasia lagi, walaupun mungkin mengejutkan bagi orang-orang luar negeri yang terlanjur memandang Singapura sebagai surga belanja yang bersih dan nyaman, namun juga garang, sebuah tempat yang tegas-tegas melarang penjualan permen karet. Ada pula sejumlah besar warga lokal yang mungkin berpikir bahwa hal seperti itu hanya bisa terjadi di Bangkok, Haadyai, Batam, tapi tidak di sana. Sebuah ironis tentunya. Berikutnya, ada juga orang-orang yang mengetahui tempat-tempat seperti Geylang dan Desker Road tapi tidak akan bermimpi untuk pergi ke sana dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Sikap resmi pemerintah Singapura tentang prostitusi ini, antara lain disebutkan, “adanya daerah-daerah de-sanitized, tidak terjamah, di mana Singapura membiarkan orang-orang seperti apa adanya …” Designated red-light areas, daerah tertunjuk lampu merah, dan Singapura tidak mengiklankan prostitusi, tapi tiap orang Singapura tahu ada Geylang dan apa yang terjadi di sana. Agaknya, penegasan itu merupakan toleransi setengah hati yang didasarkan pada argumen pragmatis untuk tidak mengarahkan kegiatan bisnis seks secara underground, sembunyi-sembunyi, yang justru akan jauh lebih sulit lagi untuk diknedalikan.
Lebih dari 6.000 wanita menawarkan bisnis seks di Singapura masa kinin. Ini merupakan perkiraan tidak resmi yang mencakup semua jenis bisnis seks yang diketahui, mulai dari pelacur full time, sampai yang sekedar ngobyek, termasuk wanita-wanita Indonesia, para Amoy, yang konon dari Singkawang, Pontianak dan beberapa kota di Pulau Jawa yang berada di Singapura untuk, dalihnya, liburan sambil bekerja. Jumlah sebenarnya mungkin lebih besar.
Dan jika angka 6.000 lebih itu tampaknya besar, mengapa mereka, terutama para Amoy dari Indonesia, melakukannya? Para Amoy ini mencakup semua tingkatan, mulai pelacur jalanan dan ibu rumah tangga yang kerja paroh waktu sampai wanita-wanita simpanan yang tinggal di apartemen meah. Tapi apa yang menghubungkan mereka semua, tentu saja melakukan seks demi uang. Tak jauh berbeda dengan motif pengantin orderean antara Amoy Indonesia dengan pria Taiwan di Formosa tentunya.
Pada sisi yang paling mendasar, para Amoy tersebut membutuhkan uang untuk membayari biaya-biaya rumah tangga yang meningkat bahkan sebelum mereka memikirkan hal yang menyenangkan diri sendiri. Prostitusi barangkali menawarkan jalan yang paling mudah, paling cepat, dan paling bebas pajak untuk dilakukan oleh para Amoy yang tidak melampaui garis batas ketat sistem pendidikan Singapura atau para wanita yang memiliki anak-anak yang harus mereka hidupi sendiri.
Kemudian ada juga para Amoy yang melakukannya untuk kesenangan, untuk mencari sensasi, karena kehidupan mereka sehari-hari begitu membosankan. Atau para Amoy yang seksualitasnya sangat aktif, tapi tidak dapat mengekspresikannya dalam kungkungan masyarakat Singapura yang konvensional. Atau para Amoy dalam kelompok lebih atas dari bisnis seks ini, yang tahu bahwa sejumlah uang yang cukup besar bisa mereka peroleh apalagi melakukannya juga menyenangkan. Dan, para Amoy ini melakukannya dengan banyak cara.
Daerah pelacuran yang mencolok Amoy Indonesia di Geylang berada antara Lorong 10/12, dan sepanjang Talma Road. Kadang-kadang terlalu mencolok, padahal patroli polisi sering lewat di situ, dan rumah-rumah kos kecil yang digunakan para Amoy Indonesia untuk melacur dengan mudah dapat digerebek oleh Police Anti-Vice. Salah satu akibatnya adalah bahwa para Amoy atau gadis muda ini hanya keluar di waktu-waktu tertentu, biasanya sekitar jam 6-8 malam untuk periode sore hari, mencari short time, dan kemudian setelah jam 11 malam untuk semalaman ketika, bahkan, Polisi Anti-Vice pun ingin bersantai! Daerah ini dikenal baik oleh para buruh asing yang tinggal di daerah tersebut dan menganggap para Amoy itu sebagai tontonan terbuka dan gratis di malam hari.
Hal ini menjengkelkan para Amoy tersebut karena jarang adanya tawaran bisnis yang bisa didapat dari para lelaki mesum itu, sementara kerumunan mereka bisa menarik perhatian polisi yang tidak mereka inginkan. Masalah yang lebih besar daripada sekedar Polisi Anti-Vice bagi para Amoy Singkawang dan Pontianak yang transit lewat Batam ini adalah meja-meja imigrasi di World Trace Center, di mana fery Batam dan Bintan berlabuh. Di sana, para petugas akan menebak-nebak alasan berkunjung sebenarnya dan memberi izin berkunjung hanya 3 hari. Hal ini mengurangi kesempatan mereka mendapatkan uang, dan para Amoy pekerja keras dari Indonesia ini, antaranya dari Singkawang dalam jumlah besar, sangatlah bergembira ketika mereka kembali ke Batam, lemas mendesah tapi bertambah kaya $1.000. Konon, penghasilan normal mereka biasanya jauh lebih rendah daripada itu, tetapi akan terkompensasikan oleh kuatnya dolar Singapura terhadap rupiah Indonesia.
Kadang-kadang, petugas imigrasi tidak membiarkan masuk Amoy yang diketahui berprofesi seperti itu sama sekali dan meminta mereka menunjukkan uang tunai yang cukup guna menunjukkan kepada petugas bahwa mereka berkunjung untuk berbelanja, atau segera mengirim mereka kembali dan menegaskan bahwa mereka tidak bisa masuk Singapura lagi untuk paling tidak satu bulan.
Konon, saat terpuruknya perekonomian Indonesia dan kekacauan yang terjadi pra dan pasca kejatuhan rezim Pak Harto, di mana paling kentara dirasakan para Amoy keturunan Cina, mendorong sebuah media massa untuk melaporkan bahwa ribuan Amoy menjadi pelacur guna menghidupi keluarga mereka, dan meneruskan trauma tindak asusila dalam Mei 1998 di Jakarta. Dan, krisis telah menyebabkan meledaknya prostitusi tersebut.
Lebih dari 800 wanita Indonesia diperkirakan bekerja di pulau-pulau Indonesia yang bertetangga langsung dengan Singapura, yaitu Batam dan Bintan. Wanita-wanita ini datang dari segala penjuru kepulauan Indonesia, tak terkecuali para Amoy dari Singkawang, Pontianak dan sekitarnya, yang tergoda untuk datang ke pulau-pulau yang dulunya sepi ini demi kejayaan dolar Singapura. Karena Batam berjarak hanya sekitar 30 menit dan Bintan 1 jam perjalanan fery, banyak lelaki Singapura datang ke sana untuk menikmati jeda kerja, R&R breaks mereka.
Wanita-wanita pekerja Batam, khususnya para Amoy, beroperasi dengan cara yang berbeda-beda, kebanyakan harus di dalam ruangan. Pusat kota Batam di Nagoya memiliki beberapa panti pijat bergaya akuarium, karaoke dan tempat-tempat KTV, disko, klub malam, lounge, bar, bahkan salon penataan rambut yang tidak jelas. Bisnis seks Bintan berbeda, lebih berhati-hati, tidak terlalu menonjol. Tetapi, pulau ini memang memiliki kampung cinta, begitu julukannya, yang tidak umum, atau disebut juga peternakan ayam, istilah sehari-harinya di sana. Tempat ini merupakan kampung kecil, sekitar 17 kilometer keluar pusat kota Bintan yaitu Tanjung inang, dan tidak dapat dicapai oleh kendaraan apapun selain taksi, yang menunggu hingga mobil mereka yang rombengan itu diisi dulu bensinnya oleh si lelaki hidung belang.
Akhirnya, mereka membelok dari jalan utama dan menyusuri jalan kecil yang kotor, melewati pembatas yang dijaga oleh orang-orang, dan di situlah tempatnya. Kampung yang kecil itu berdiri sendiri, yang benar-benar jauh dari mana-mana, ditandai dengan para Amoy yang menunggu untuk menawarkan jasanya di tempat atau, jika mereka mau, bisa dibawa ke hotel.
Bintan disukai oleh para lelaki Singapura yang lebih tua, yang secara alamiah senang mendapatkan Amoy muda yang seks-nya bersemangat dan memberikan perhatian begitu besar kepada mereka. Atau, perhatian kepada isi dompet mereka. Karenanya hal itu disebut sindrom para pria ini biasanya berusia di atas 55 tahun dan dengan demikian sudah bisa menarik simpanan Central Profident Fund sejenis dana pensiun mereka. Dan ketika para Amoy ini sudah bisa memisahkan si lelaki dari uang mereka, mereka kini menyingkirkan kakek-kakek ini sebagaimana mereka membuang bungkus nasi yang kini telah mereka makan.
Kelihatannya alasan mendasar prostitusi yang ditempuh para Amoy, sebagai penolakan dipersunting pria Taiwan misalnya, adalah sama di seluruh dunia. Uang, itulah yang mereka cari. Itu pulalah yang membuat mereka menjadi bukan hanya profesional, melainkan juga mengidentikkan diri mereka ini.
Kemiskinan dan ketidakmampuan para Amoy, seperti utamanya dijumpai dan dipatok sebagai alasan utama yang ada di Singkawang dan beberapa kota lainnya di Indonesia, menafkahi hidupnya dengan jalan lain mungkin merupakan faktor utama yang memotivasi mengapa begitu banyak Amoy terjun dan terjungkal ke dunia prostitusi di Singapura. Jelas, berbeda dengan pengantin orderan ke Taiwan, yang jauh lebih dimaklumi kemudiannya.
Diakui, Singapura mempunyai bisnis seks sendiri dan bisnis ini mempunyai karakteristik setempat yang berbeda. Ini karena modernitas Singapura masih bercampur baur dengan pandangan-pandangan Asia tradisional, di mana lelaki adalah sebagai penyedia uang dan wanita sebagai penerima uang, juga adanya standar-standar ganda sepanjang menyangkut seks.
Pengakuan seorang Amoy asal Singkawang yang sampai belakangan menetap di Batam, dapat diungkapkan, bahwa seorang Amoy yang menjadi penjaja seks komersial berpikir hal semacam itu adalah lebih buruk daripada yang dia dapat, keuntungan satu-satunya menjadi wanita yang telah menikah adalah tidak adanya stigmatisasi sosial. Prostitusi diberi stigma hanya karena mereka tidak mengungkapkan seksualitasnya dalam lembaga pernikahan yang patriarkal.
Dan, inilah yang membedakan Amoy ke Singapura dengan Amoy ke Formosa ...
Bukan Akhir Sebuah Cerita …
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Dengan kemiskinan yang dialami selama pembangunan dilangsungkan di daerah asalnya, maka banyak Amoy atau perempuan yang berasal dari keluarga petani tidak memiliki banyak pilihan dalam menjalani hidupnya. Bila menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri adalah salah satu cara untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik, minimal keluarga yang ditinggalkan, maka untuk Amoy atau perempuan Indonesia asal Kalimantan Barat menikah dengan laki-laki Taiwan adalah cara untuk mencari penyambung hidup dan keluar dari kemiskinan yang dihadapi oleh diri dan keluarganya. Entah sebuah keberuntungan ataukah justru sebuah kemalangan bahwa para Amoy asal Indonesia yang terpinggirkan dalam proses pembangnan dan Neoliberalisme Ekonomi Indonesia ini adalah terlahir sebagai keturunan Cina. Dengan ciri fisik dan budaya yang diusungnya, para Amoy ini laris pula di bursa perkawinan bagi laki-laki Taiwan yang hendak mencari istri ke luar negeri.
Trend mencari istri keluar negeri oleh laki-laki Taiwan secara kebetulan memiliki kesamaan dengan arus kapital dari Taiwan ke leuar negeri. Setelah bangkit sebagai negara industri baru Taiwan mulai menggalakkan investasi ke arah Asia Tenggara sejak pertengahan 1980-an silam. Antara 1980-1990-an, investasi Taiwan terbesar diarahkan ke Malaysia dan Thailand. Kemudian menyusul ke Filipina. Pada tahun-tahun itu perkawinan laki-laki Taiwan dengan perempuan luar negeri paling banyak terjadi dengan perempuan di dua negara tersebut. Seiring dengan instabilitas di Filipinan dan ditandatanganinya Investment Guarantee Agreement antara pemerintah Indonesia perkawinan antara laki-laki Taiwan dan Amoy Indonesia mulai dilakukan secara massal dan terus bertambah setiap tahunnya. Sementara setelah hubungan ekonomi Taiwan dan Vietnam membaik ditunjukkan oleh semakin besarnya investasi Taiwan di negara Indocina tersebut, jumlah pengantin perempuan dari Vietnam juga berkembang dengan pesat atau bertambah 2,7 kali dari perkawinan transnasional Taiwan-Vietnam yang berlangsung kemudian.
Merelakan anak perempuan untuk menjadi istri bagi orang asiong, tidak dikenal sebelumnya, adalah sesuatu yang mungkin sulit untuk dipahami dalam kondisi normal. Tetapi ketika kehidupan begitu berat akibat kemiskinan yang semakin menjadi, maka orang tua pun akan merelakan anak perempuan pergi menyeberangi batas-batas wilayah negara untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Apalagi bila orangtua tersebut merasa yakin bahwa kepergian satu saa dari anak perempuannya akan dapat menyokong perekonomian seluruh keluarga yang ditinggalkan, bukan hanya sekadar emas kawin yang diterima tetapi karena di negara tujuan yang lebih maju, anak perempaunnya atau Amoy juga masih dapat bekerja dan mengirimkan penghasilannya ke rumah.
Pengorbanan yang telah dilakukan oleh para Amoy atau perempuan Indonesia yang menikah ke Taiwan, ini adalah kenyataan pahit sekaligus penghargaan yang harus disampaikan kepada mereka yang menjadi korban dari sistem kapitalis dunia yang sedemikian buasnya sehingga mereka harus dan bersedia merelakan perasaan, tubuh dan seluruh masa depan mereka demi kelangsungan kehidupan seluruh keluarganya.
Pertama bahwa kerelaan perempuan Indonesia untuk menikah ke Taiwan adalah disebabkan oleh pemiskinan yang dialami oleh perempuan dan rakyat Indonesia pada umumnya sejak Indonesia berkomitmen untuk memenuhi tuntutan perekonomian global dengan melaksanakan pembangunan. Kedua bahwa dengan adanya kerelaan ini, tidak serta merta menganulir unsur perdagangan trafficking dalam perkawinan Indonesia-Taiwan.
Langganan:
Postingan (Atom)