Minggu, 13 September 2009

LIPATAN MASA LAMPAU INDONESIA

SAMIN SUROSENTIKO
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Wajahnya kuyu, kepalanya digunduli, tangannya diikat, bercelana kolor hitam nan lusuh. Siang itu, setelah semalanan disekap sebagai tahanan, ia dihadapkan kepada Raden Pranolo, Asisten Wedana Randublatung, Blora, Jawa Tengah. “Ki Samin, kitabira durung tumanem aneng kalbu (Samin, kitab andalanmu ternyata belum tertanam di dalam kalbu)”, ejek Pranolo, yang mecoba menjatuhkan mental Ki Samin. Tapi Ki Samin tak terpancing, juga tak berkomentar. Pemilik tubuh kerempeng itu hanya menjawab dengan sorotan matanya yang tajam. Karismanya sebagai pemimpin pergerakan tak surut.

Peristiwa itu terjadi 40 hari setelah Ki Samin dikukuhkan pengikutnya sebagai Raja Jawa, dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam, 8 November 1907. Ia dianggap sebagai Ratu Adil yang akan membawa bumi pertiwi menuju kesejahteraan dan ketenteraman. Setelah 40 hari, Ki Samin mendapat undangan musyawarah dari Wedana Randublatung. Bersama delapan pengikutnya yang berpakaian hitam-hitam dan ikat kepala, Ki Samin memenuhi undangan itu.

Ternyata undangan tersebut adalah khas tipu muslihat penjajah, sebagaimana pernah dialami Pangeran Diponegoro. Begitu hadir, Ki Samin langsung ditangkap dan semalaman disekap di kewedanaan. Esok harinya, setelah mendapat ejekan dan cemoohan dari Raden Pranolo, ia diserahkan kepada serdadu Belanda. Oleh Belanda, Ki Samin bersama delapan pengikutnya itu dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia meninggal di sana pada 1914.

Ki Samin, lengkapnua Samin Surosentiko, yang juga dikenal dengan sebutan Samin Surontiko, terlahir dengan nama Raden Kohar pada 1859 di Desa Ploso, Kediren, Randublatung. Ayah Kohar, raden Surowidjojo, adalah anak raden Mas Adiati Brotodiningrat alias Pangeran Kusumaningayu, Bupati Sumoroto, sekarang masuk wilayah Tulungagung, Jawa Timur, dari tahun 1802 hingga 1826. Walaupun Surowidjojo keturunan ningrat, pikirannya selalu diusik oleh kemiskinan yang ia lihat di sekitar kadipaten. Ketika usianya menginjak dewasa, Surowidjojo meninggalkan kadipaten dan memimpin kaum bromocorah yang beroperasi di sekitar Bengawan Solo di wilayah Bojonegoro.

Surowidjojo beroperasi bak Robon Hood. Ia menjarah rumah-rumah Belanda dan para lintah darat yang menjerat kaum melarat. Hasil jarahannya dibagikan kepada kawulo alit yang miskin. Tatkala Kohan menginjak remaja, Surowidjojo menghilang, raib bak ditelan bumi. Sebelum menghilang, ia sempat meninggalkan kitab Jamus Kalimasada kepada anaknya, Raden Kohar. Jamus Kalimasada ditulis dalam bahasa Jawa, dalam bentuk puisi dan prosa, berisi petunjuk hidup yang berorientasi pada pengendalian diri.

Raden Kohar mewarisi sifat-sifat ayahnya, sangat peduli pada nasib wong cilik. Dari sinilah ia akhirnya menyusun kekuatan untuk menentang Belanda dengan caranya sendiri. Ia mengganti namanya menjadi Samin, yang lebih bernapas kerakyatan. Pengikutnya pun mengenal dia sebagai Samin Surosentiko. Di usianya yang ke 40, Samin mulai menyebarkan ajarannya. Bermula di Desa Klopoduwur, Blora. Di kegelapan malam bersuluh obor, Ki Samin duduk di atas oro-oro, perbukitan, dikelilingi pengikutnya. Ia mengajak masyarakat menjalani hidup dengan pasrah, sabar, tahan uji, dan menerima apa adanya, bagaikan air telaga yang tenang, tak bersuara.

Saminisme berpangkal pada ajaran kesusilaan. Inilah roh yang menggerakkan sikap kemandirian. Mereka juga mengagungkan tokoh pewayangan Pandawa Lima, dengan penekanan pada Puntadewa. Dalam kisah pewayangan, Puntadewa punya sifat tak mau mencampuri urusan orang lain, jujur, tekun, dan berkata apa adanya. Saminisme juga menjelma menjadi falsafah sami-sami amin, yang punya arti sama rata, sama sejahtera, dan mufakat bulat. Untuk bisa mufakat secara bulat itu, diperlukan kepemimpinan. Maka, kepemimpinan Samin pun menyebar ke berbagai pelosok daerah, dengan pemimpin kelompok atau yang menjadi sesepuh.

Awalnya, gerakan Samin tak dianggap oleh Belanda. Tapi ternyata ia mengalami kemajuan cukup pesat. Pada 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa ada 722 pengikut Samin yang tersebar di 34 desa di wilayah Blora dan Bojonegoro. Dua tahun kemudian pengikutnya mencapai 5.000-an orang tersebar di berbagai pelosok Blora, Pati, Madiun, dan Bojonegoro. Gerakan Samin menunjukkan sosoknya dan mulai berani berkata tidak terhadap pemerintahan penjajah.

Kaum Samin mulai berani menentang Belanda dengan cara tidak mau membayar pajak. Ketika petugas pajak datang, mereka mengeluarkan uang dan bertanya, “Ini uang siapa?” sang petugas pajak menjawab, “Itu uangmu”. Maka, orang Samin pun diam dan tetap tak mau membayar pajak. Mereka juga berulah. Ketika petugas pajak datang, mereka diam seribu bahasa: tutup mulut. Dalam pandangan komunitas Samin, bumi yang dipijak dan hasil buminya adalah milik mereka, wong Jowo.mereka mengambil kayu di hutan jati sekehendak hati mereka. “Wong, kami yang menanam, kok dikenai pajak”, kata mereka. “Bumi ini bukan kita yang bikin, melainkan Tuhan”, ujar kaum Samin.

Mereka menolak penjajahan, selain tak mau membayar pajak. Juga tak mau ikut berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk membuat jalan dan sejenisnya., sikap non-kooperatif dengan kaum penjajah ini mau tak mau menggiring kaum Saminis mulai mengisolasi diri, antara lain masuk ke hutan. Kumis panjang terpilin dan pakaian hitam-hitam adalah ciri khas komunitas Samin, setidaknya sampai 1980-an.

Setelah Ki Samin dibuang dan meninggal di pengasingan, ajarannya tetap disebarkan para pengikutnya. Para pengikut Ki Samin makin yakin akan kehebatan sang guru. Bahkan mereka kian terang-terangan melakukan pembangkangan. Saminisme berkembang sebagai ajaran dalam menjalani hidup. Tak hanya di wilayah Blora, melainkan juga ke Pati, Kudus, Grobogan, Madiun, dan bojonegoro.

Ki Samin memiliki sepasang anak; Karto Kemis dan paniyah. Suro Kidin, suami Paniyah, yang sekaligus murid setia Ki Samin, meneruskan perjuangan dan ajaran mertuanya. Ia menyebarkan Saminisme ke berbagai pelosok Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meski pernikahannya dengan Paniyah dikaruniai delapan anak, karena mereka masih kecil-kecil, tongkat estafet perjuangan pun diberikan kepada anak angkatnya bernama Surokerto Kamidin dari Tapelan, Bojonegoro.

Dialah yang menjadi penerus gerakan Samin dan membentuk perwakilan di wilayah Madin, Caruban, Lamongan, dan tentu Bojonegoro sendiri. Pada akhir 1920-an, Surokerto Kamidin menikah dengan gadis dari Dusun Jepang, yang juga telah menganut Saminisme. Dusun itu awalnya hanya dihuni 15 kepala keluarga dan 75 jiwa.

Dalam paham orang samin, selama tanah Jawa masih dicengkeram penjajah, selama itu pula mereka membangkang. Bahkan, ketika terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Mbah Engkrek, tokoh Samin dari Klopoduwur, Blora, ikut angkat senjata. Ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Surokerto Kamidin datang ke Jakarta dan menghadap Bung Karno. Ia bertanya, apakah tanah Jawa sudah merdeka? “Benar!” jawab Bung Karno. Mendengar jawaban itu, gembiralah Surokerto. Lalu ia pulang dengan suka-cita, mengabarkan kepada warga dusunnya. Ia juga keliling Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengabari para pengikut Samin bahwa wong Jowo wis dipimpin wong Jowo, orang Jawa sudah dipimpin orang Jawa. Karena sudah merdeka, mereka pun mau membayar pajak, mau bersekolah, dan mau bergotong royong membangun jalan.

Nilai-nilai kejujuran yang tertanam pada diri masyarakat Samin itu menjadikan warga saling percaya satu sama lain. Termasuk terhadap nilai-nilai baru yang datang dari luar yang memang dipandang baik dan benar. Untuk bisa menjalani hidup secara Samin yang paripurna, seseorang harus mampu mengendalikan delapan unsur dalam dirinya. Empat unsur pertama dilambangkan dengan warna. Putih melambangkan sifat dasar, kuning sebagai pedoman tingkah laku, merah mewakili sifat nafsu, dan hitam mewakili sifat senang. Sedangkan empat unsur kedua berkaitan dengan pancaindra. Yaitu penciuman, perasaan, pendengaran, dan penglihatan. Berdasarkan delapan unsur tadi, masyarakat Samin terikat oleh hukum yang harus ditaati.

Pertama, aja drengki seri, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedhog colong. Maksudnya, jangan berhati jahat, saling mengumpat, iri atas keberhasilan sesama, dan mengambil barang orang lain. Singkat kata, bila menemukan jarum di jalan pun, mereka tidak mau mengambilnya. Kedua, pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga bundhalane ana pitu. Artinya, berbicara dari angka lima dan sembilan ikatannya ada tujuh.

Jika aturan tersebut dilanggar, memang tidak ada sanksi pidananya. Yang ada hanya sanksi moral serta meraa rugi sendiri. Dan, sanksi moral itu lebih dahsyat, mereka yang melanggar akan tersingkir dalam pergaulan sehari-hari. Sedulur Sikep punya logika sendiri. Kejujuran, kelugasan, dan keluguannya terkadang membuat orang lain tersenyum. Selain kejujuran, kebersamaan juga menjadi ciri khas. Konsep gotong royong dan tolong menolong sesama warga menjadi hal biasa dalam komunitas Sedulur Sikep ini.

Di balik cerita yang mungkin terasa konyol, kejujuran masih terpelihara begitu rapi dan indah. Dari mereka, bisa belajar banyak untuk berbuat jujur!

Sedulur Sikep awalnya menganut apa yang dinamakan sebagai Agama Adam. Inti ajarannya adalah manunggaling kawula Gusti. Yakni, sifat-sifat Tuhan hendaknya melekat dan diamalkan setiap saat. Salah satu amalannya adalah puasa tiap hari. Puasa ala Samin ini bukan menahan lapar dan haus. Mereka tetap makan dan minum, tapi pantang membicarakan keburukan orang lain. Puasa mereka, tidak bohong, tidak iri, tidak dengki, tidak mengeluarkan sumpah serapah.
Ajaran kawula Gusti itu, di tanah Jawa, dipopulerkan Syekh Siti jenar. Dalam salah satu riwayat disebutkan, ajaran Samin mulanya bersumber dari agama Hindu-Dharma, juga Syiwa-Budhha sebagai sinkretisme antara Hindu dan Buddha. Dalam perjalanannya, ajaran Samin juga dipengaruhi ajaran Syekh Siti Jenar yang dibawa muridnya, Ki Ageng Pengging. Dari sini, ajaran kawula Gusti versi Siti Jenar berkembang.

Orang Samin memandang Tuhan, Ki Samin meninggalkan buku induk, Jamus Kalimasada, yang terdiri dari beberapa buku, antara lain kitab Serat Uri-uri Pambudi, buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi. Dalam kitab yang aslinya ditulis dalam bahasa Jawa itu, Ki Samin menulis: “Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari betal makmur ke betal mukaram ke betal mukadas juga sejengkal. Kelak, bila menusia meningal dunia, supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka. Hal ini seperti ajaran pendeta Jamadagni. Tekad Pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan dunia tanpa terikat oleh triloka itu diceritakan oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin menitis kepada bayi yang lahir, lahir kembali ke dunia. Karena itulah, pada waktu meninggal dunia, dia berusaha agar tidak salah jalan, yaitu kembali ke rahim wanita, jangan sampai menitis kembali pada bayi alias kembali lahir ke dunia …”

Dari sini terlihat, Ki Samin memandang bahwa roh manusia yang meningal tidak kembali lagi ke dunia, dengan menitis pada bayi atay binatang, tapi kembali ke Thannya, menyatu pada Tuhannya. Tentang Tuhan sendiri, Ki Samin menulis, “Adapun Tuhan itu ada, ada empat. Batas dunia sebelah utara, selatan, timur, dan barat. Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada. Adanya alam semesta dengan segala isisnya itu sebagai bukti bahwa Tuhan itu ada …”

Secara tradisional, Agama Adam itu dipakai juga sebagai syahadat untuk perkawinan. Jika menikah, lelaki Samin akan mengucapkan syahadat versi mereka. “Sejak Nabi Adam, pekerjaan saya memang kawin. Kali ini mengawini seorang perempuan bernama … Saya berjanji setia kepadanya, hidup bersama telah kami jalani berdua”. Begitulah cara masyarakat Samin menikah. Cukup kedua orangtuanya yang menikahkan, urusan pun beres. Jadilah mereka suami-istri. Tapi itu dulu. Sekarang sudah normal dan tertib, sesuai dengan ajaran agama Islam dan administrasi negara.

HEMBOH AMBALAT: MSIA BUKAN JIRAN YANG BAIK

HEBOH AMBALAT
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Dasar laut Ambalat menyimpan kandungan minyak dan gas dalam jumlah besar. Pemerintah Indonesia mulai menjual konsesi minyak Ambalat pada 1961. Saat itu, Malaysia belum mengklaim lokasi itu sebagai wilayahnya.

Kawasan tapal batas itu adalah harga diri bangsa. Tak satu pun anak bangsa ini membiarkan wilayahnya dijarah. Sekalipun hanya sejengkal. Blok Ambalat, juga anugerah. Di sana terdapat sembilan cekungan. Masing-masing mengandung minyak 764 juta barel. Dan gas 1,4 trilyun kaki kubik.

Dan kini, Ambalat ternyata bukan sekadar blok. Apa sesungguhnya yang terjadi?

Enam puluh empat tahun Indonesia merdeka tak membebaskan Indonesia dari belitan persoalan. Setelah Timor Timur dan Sipadan-Ligitan lepas, sadarlah betapa rawannya pagar-pagar pembatas negeri ini, di laut maupun darat. Inilah masalah nasionalisme yang tak mesti bertubrukan dengan globalisasi, juga demokrasi. Anugerah itu bernama pulau. Ribuan pulau yang terbentang mulai dari Pulau Benggala, wilayah paling barat Indonesia lebih barat ketimbang Sabang, hingga irian adalah tambang kehidupan Indonesia.

Menurut data Pusat Survei dan Pemetaan militer, jumlah pulau di Indonesia ada 17.508 dan baru 5.707 pulau yang memiliki nama. Angka ini dikoreksi oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Berdasarkan pengamatan via satelit pada 2002, jumlah pulau di Indonesia mencapai 18.306 pulau.

Banyaknya pulau dan luasnya wilayah tak hanya mendatangkan berkah, tapi juga sejumlah kesulitan. Bayangkan, bagaimana menjaga bumi pertiwi yang seluas 1,9 juta kilometer persegi, daratan seluas 1.826.440 kilometer persegi, dan perairan 93.000 kilometer persegi. Luas itu 15 kali luas daratan Inggris. Dari catatan departemen kelautan dan Perikanan, dari ribuan pulau itu tercatat 92 pulau yang kondisinya rawan, tenggelam atau diambil negara lain. Bahkan, ada 12 pulau terluar, yang bila tak ada perhatian khusus, bisa bernasib seperti Pulau Sipadan dan Ligitan.

Kawasan tapal batas itu adalah harga diri bangsa. Tak satu pun anak bangsa ini membiarkan wilayahnya dijarah. Sekalipun hanya sejengkal. Blok Ambalat, juga anugerah. Di sana terdapat sembilan cekungan, masing-masing mengandung minyak 764 juta barel dan gas 1,4 trilyun kaki kubik. Dasar laut Ambalat menyimpan kandungan minyak dan gas dalam jumlah besar. Pemerintah Indonesia mulai menjual konsesi minyak Ambalat pada 1961. Saat itu, Malaysia belum mengklaim lokasi itu sebagai wilayahnya.

Sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Pulau Ambalat kembali mencuat ke permukaan. Tahun 2005, sengketa serupa juga menyedot perhatian publik. Sekarang, lagi-lagi, perhatian dan emosi masyarakat terpicu oleh laporan TNI AL tentang pelanggaran wilayah laut Ambalat oleh angkatan laut Malaysia. Apa sesungguhnya yang terjadi? Konflik perbatasan Malaysia-Indonesia membara di seputar perairan Ambalat, di balik itu, ada perebutan ladang minyak dan gas yang kandungannya ditaksir mencapai 1 miliar barel. Dan, bukan cuma di Ambalat, sengketa juga berpotensi meletus di daerah perbatasan lain yang kaya minyak dan gas.

Sesungguhnya, di balik Insiden Ambalat serta bercermin dari kasus lepasnya Sipadan-Ligitan, kita harus belajar banyak dari sejarah. Heboh Ambalat, adalah untuk tidak melupakan sejarah. Sejarah tidak berulang, memang. Pengetahuan sejarah bukan pula ajakan untuk kembali ke masa lalu. Tetapi dengan kesadaran akan paralelisme sejarah, kita menyadari juga bahwa sejarah tak lagi sekadar mengenang jasa atau mengagungkan masa lalu, tetapi sebagai cermin perbandingan yang bisa memantulkan kearifan.

I. PENDAHULUAN
Malaysia ternyata bukan jiran yang selalu simpatik. Bukan Cuma doyan menyerobot pekarangan orang, dalam kasus Ambalat, misalnya. Negeri jiran itu pun merasa perlu mengusir tenaga kerja Indonesia, yang dianggap datang secara ilegal, dengan cara arogan, petantang-petenteng, sembari memeras dan merampas hak-hak mereka. Di sisi lain, kapal-kapal ikan mereka begitu rakus menguras perairangan tetangganya. Belum lagi, para cukongnya gentayangan menjadi bandar pembalakan hutan di Sumatera, Kalimantan, dan belakangan lewat di Irian.

Kayu eboni dicolong dari Kalimantan Timur, propinsi di mana Ambalat masuk dalam wilayah administratifnya. Para sindikat ini tidak peduli bahwa pohon kayu itu hampir punah. Sementara kayu merbau dari papua hanya mampir sebentar di Malaysia untuk diberi dokumen palsu, kemudian diekspor ke Cina. Dalam sebulan, 300.000 meter kubik kayu merbau mendarat di Negeri Tirai Bambu. Ini penyelundupan terbesar di dunia.

Indonesia jelas rugi besar. Setahun bisa kecolongan Rp 8 trilyun lebih. Belum lagi kerusakan hutan yang tak ternilai harganya. Karena aktor intelektualnya tak pernah tertangkap. Para cukong itu berkolaborasi dengan broker dari Indonesia. Broker inilah yang menjalin kerja sama dengan oknum pemerintah daerah setempat. Teorinya, kayu yang ditebang itu dari lahan yang dibikin jalan. Tapi, kenyataannya, penebangan bisa 100 kali lipat dari jumlah seharusnya.

Belakangan, jelang pemilu presiden Juli 2009, sekitar Mei-Juni tahun ini, demo mengecam klaim Malaysia atas ambalat kembali merebak. Sekitar empat tahun lalu, 2005, kenyataan serupa juga sama terjadi. Di pelbagai daerah bermunculan posko pendaftaran relawan siap perang.indonesia-Malaysia Juni 2009 kembali berebut laut Ambalat. Ternyata, empat tahun lalu yang berlarut sampai sekarang, kedatangan Shell-Petronas memanaskan pertikaian. Konon, banyak pengusaha berkubang di sana.

Kisah persengketaan Indonesia dengan malaysia bermula dari blok milik ENI. Sebelum digarap ENI, areal tadi digarap Shell Indonesia sejak 1999. Shell, perusahaan asal Belanda, menggarap lahan seluas 1.990 kilometer persegi. Di sana, Shell sempat mengebor sumur yang dinamai bunga Bougenville-1. Konon, sumur yang dibor ternyata kering. Karena menganggapnya tidak potensial, Shell menjual seluruh hak menggarap ladang itu kepada ENI. Pada 4 Oktober 2001, Shell resmi check out dari Ambalat.

Setelah itu, giliran ENI menggarap wilayah bekas garapan Shell. Juli tahun 2004, ENI membuat sumur Aster. Rupanya, sumur itu mengandung minyak. Sumur kedua yang dijuluki Padma hasilnya cukup memuaskan. ENI pun bersiap menggarap lahan itu makin serius. Sejurus kemudian muncul masalah. Shell yang sempat hengkang tiba-tiba datang ke Ambalat kembali. Kali ini dia tidak sendirian, melainkan menggandeng Petronas Carigali malaysia. Shell mendapat lahan itu dari Pemerintah Malaysia, 16 Februari 2005.

Di Ambalat, Shell menempati wilayah ND-6 seluas 8.700 kilometer persegi, dan ND-7 meliputi 17.000 kilometer persegi. Kedua blok itulah yang mengiris seperempat daerah milik ENI serta mencaplok sebagian besar lahan Unocal. Ketika itu oleh Unocal, kasus ini diserahkan ke Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia pun membela habis kepentingan Unocal maupun ENI di indonesia. Dan menyampaikan nota protes pada Malaysia. Pemerintah Indonesia menginstruksikan agar Unocal tetap meneruskan kegiatannya di sana. Alasannya, itu masih wilayah Indonesia. Pemerintah tergiur, karena Unocal mulanya berencana untuk menyemplungkan duit US$ 14,5 milyar untuk menggarap Ambalat itu.

Unocal bukanlah pemain baru dalam bisnis di Indonesia. Perusahaan itu datang ke sini sejak 1968. Belakangan sekitar 30.000 kilometer persegi wilayah laut yang menjadi hak garapan Unocal di seantero negeri. Perusahaan ini juga menanamkan modalnya di bidang kelistrikan. Ketika itu, jika konflik dengan Malaysia berterusan, tentu sangat merugikan Unocal, karena Indonesia termasuk salah satu tempat investasi utama perusahaan ini.

Sayangnya, sebagaimana juga Insiden Ambalat Jilir II 2009 ini, kasus Ambalat empat tahun lalu itu tidak gampang dicarikan kata mufakat. Kedua pihak yakin dengan argumen batas negara masing-masing. Malaysia menilai Ambalat sebagai wilayahnya sejak Pulau Sipadan dan Pulai Ligitan dimenangkan Mahkamah Internasional sebagai bagian negeri jiran itu. Sementara Indonesia menganggap garis batas bikinan Malaysia tidak berdasar,

Di luar soal garis batas, sesungguhnya kedua pihak mengincar Ambalat yang mengandung banyak migas. Daerah itu menjadi tujuan aliran minyak bawah tanah. Secara teoretis, minyak di kawasan itu mengalir ke arah utara timur. Tepatnya di ladang yang digarap Unocal. Mestinya, daerah ini punya kandungan minyak besar. Ada yang bilang, kolam itu menampung 468 juta barel minyak dan 3 trilyun kaki kubik gas. Namun menurut data-data awal, tidak sebesar itu. Kilahnya, angka yang ada di tangan dipastikan juga belum bisa dipakai untuk membuat perkiraan, karena kawasan itu belum diteliti seluruhnya.

Ketika gesekan Indonesia-Malaysia kembali meruncing, sebagaimana Insiden Ambalat Jilid I 2005 silam, di Laut Sulawesi, sulit menghindari godaan mempertanyakan kekayaan terpendam di perairan itu. Apalagi kedua negara mengklaim blok minyak di wilayah yang bertindihan tersebut. Sebetulnya, lokasi blok minyak itu tak persis sama. Indonesia menamakan wilayahnya Blok Ambalat, dengan luas sekitar 6.700 kilometer persegi. Bagian darat dikelola oleh ENI Ambalat Ltd Italia, dan bagian timur dioperasikan Unocal Indonesia Ventures Ltd Amerika Serikat. Sejak 2005, bagian ENI disebut Blok ENI Ambalat, dan daerah Unocal disebut Blok Ambalat Timur.

Penguasaan Malaysia mencakup daerah yang lebih luas, 25.700 kilometer persegi atau hampir seluas Propinsi Sulawesi Utara. Namanya Blok ND-6 dan ND-7, yang dulu sempat dinamakan Blok Y dan Z. kini keduanya doperasikan Shell bersama Petronas Carigali Sdn Bhd Malaysia.media massa sibuk menerka, jutaan barel minyak terkandung di daerah laut dalam itu. Konon, jumlahnya menyaingi cadangan minyak dan gas raksasa di Blok Cepu, Jawa Timur.

Sesungguhnya tak ada pejabat yang berani buka mulut mengenai potensi kekayaan alam di sana. Sikap itu bukannya tanpa alasan. Malaysia pun, bungkam. Negeri serumpun itu berani menolak memberikan data ke Coordinating Committee for Coastal and Offshore Geoscience Programmes (CCOP), lembaga riset dan kegiatan beberapa negara di perairan yang disengketakan itu. Namun, sebetulnya potensi di Blok Ambalat, barat dan timur, mencapai 62 juta barel minyak dan 348 miliar kaki kubik gas bumi. Menilik harga minyak dunia yang belakangan berada di atas US$ 50 per barel, jika jumlah itu benar-benar terbukti, bisa dibayangkan pemasukan bagi negara.

Bila dibandingkan dengan produksi lapangan minyak tua di sekitarnya, potensi Blok Ambalat memang menjanjikan. Ladang minyak Tarakan di Nunukan, Kalimantan Timur, yang dioperasikan Medco E&P, hanya memproduksi 666 barel minyal dan 363 ribu kaki kubik gas per hari. Sedangkan wilayah kerja Pertamina Bunyu hanya menghasilkan 3.000 barel minyak dan 5.000 kaki kubik gas setiap hari. Tentu saja, dibandingkan dengan cadangan Cepu, perkiraan Ambalat masih kalah besar. Cadangan minyak Cepu yang telah terbukti dan diverifikasi mencapai 85 juta barel. Jika digabungkan dengan jumlah cadangan yang masih terduga, keseluruhannya setara dengan 250 juta barel minyak.

Dalam teknis perminyakan, istilah potensi berarti cadangan sama dengan nol, selama belum terbukti dan diverifikasi. Di kawasan laut yang sangat dalam seperti Ambalat, pembuktian tidak mudah dan berisiko tinggi. Kedalaman air yang harus ditembus pun mencapai 3.000-6.000 kaki. Pengeboran tak cukup hanya satu kali, tapi berkali-kali di sejumlah lokasi. Sekali pengeboran setidaknya membutuhkan dana US$4 juta. Dan bisa saja tidak ditemukan apa pun.

Kegagalan memang lumrah di dunia perminyakan. Setidaknya, Shell sudah merasakannya. Perusahaan ini sempat melepas konsesi untuk Blok Ambalat kepada ENI, kini ENI Ambalat Ltd, pada 2001, yang dipegangnya sejak 27 September 1999. Alasannya, setelah mengebor satu sumur, bernama Bougenville, tak ditemukan minyak. Sumur itu ternyata kering ketika itu. Belakangan, 2004, ENI Bukat Ltd mengebor di Blok Bukat, yang letaknya bersebelahan dengan Blok Ambalat. BP Migas menyebutkan, dari dua sumur yang dibor, perusahaan itu berhasil menemukan indikasi minyak dan gas di salah satu sumurnya, Aster-1. Satu lagi, Padma-1, dinyatakan kering.

Ketika itu pihak Direkrorat Jenderal Migas curiga, hasil pengeboran ENI Bukat itu mendorong Shell untuk menggandeng Petronas di Blok ND-6 dan ND-7. Mereka menduga, data lama setelah pengeboran beberapa tahun sebelumnya masih dipegang Shell. Seharusnya memang data itu dikembalikan ke negara begitu konsesi dilepas. Tapi, Shell membantah dugaan itu. Pihak Shell menambahkan, Shell bukan menjual, melainkan mengundurkan diri (withdraw) dari konsorsium kontraktor di wilayah itu. Semua sahamnya diserahkan ke pemilik saham yang tersisa, yaitu ENI. Sebelumnya, BP pemilik saham lain, sudah lebih dulu mundur.

Tanpa minyak pun, sebetulnya wilayah yang diklaim Malaysia ini sebenarnya merupakan wilayah perikanan yang sangat produktif. Di sana kaya akan ikan yang hidup berasosiasi dengan karang, serta menjadi tujuan migrasi jutaan ikan dari wilayah lain. Kini, nelayan takut melaut. Tetap saja lapisan bawah yang merasakan kerugian langsung ini.

II. AMBALAT BUKAN SEKADAR SEBUAH BLOK
Dalam kurun waktu Januari-April 2009, pelanggaran wilayah oleh unsur laut dan udara Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) maupun Police Marine Malaysia di perairan Blok Ambalat dan sekitarnya tercatat sebanyak sembilan kali. Jumlah yang tidak sedikit dan tidak bisa dianggap enteng. Apalagi, kalau ditarik lagi ke belakang, pelanggaran garis batas oleh malaysia sangat kerap terjadi. Berdasarkan catatan TNI Angkatan laut, sepanjang tahun 2007 terjadi 94 kali pelanggaran. Tahun lalu, pelanggaran yang dilakukan kapal perang Malaysia sempat turun menjadi 38 kali. Ini pun masih tergolong tinggi.

Tahun 2009, diperkirakan pelanggaran itu kembali meningkat, terutama menjelang digelarnya perundingan lanjutan soal delimitasi maritim antara Indonesia dan Malaysia, Juli 2009 di Malaysia. Ada tanggapan, TLDM sengaka meningkatkan show of force dan melakukan provokasi di perairan Blok Ambalat untuk mempengaruhi perundingan tersebut. Dugaan meningkatnya aksi provokasi malaysia itu tak berlebihan. Pada 4 Juni 2009, misalnya, sebuah kapal perang Malaysia kembali masuk ke perairan sekitar Blok Ambalat. Mereka masuk jauh ke kawasan Indonesia sampai satu mil. KRI Suluh Pari dan KRI Hasanuddin menghalaunya.

Kapal jenis Fast Attack Craft milik Angkatan Laut Malaysia bernama KD Baung 3509, Sabtu (30 Mei 2009) pagi sekitar pukul 06.00 Wita, secara terang-terangan melakukan provokasi dengan memasuki perairan Ambalat sejauh 7,3 mil laut pada posisi 04.00, 00 Lintang Utara dan 118,09,00 Bujur Timur dengan kecepatan 11 knot.

Meski provokasi kapal tempur Malaysia terus terjadi, TNI Angkatan Laut belum memandang perlu mengerahkan tambahan kekuatan ke perairan sekitar Blok Ambalat. Enam kapal perang yang selama ini disiagakan di sana diangap memadai. Apalagi, ada bantuan dari unsur Kesatuan Pengamanan Laut dan Pantai serta unsur Departemen Kelautan dan Perikanan. Kentara sekali Malaysia begitu getol melakukan provokasi di sekitar perairan menuju Blok Ambalat, kawasan sangat kaya kandungan minyak dan gas bumi, yang bisa dikeruk hingga 30 tahun. Diperkirakan, Blok Ambalat memiliki sembilan cekungan minyak. Setiap cekungan ditaksir menyimpan cadangan minyak 764 juta barel dan cadangan gas 1,4 trilyun kaki kubik.

Pemasukan negara dari minyak Ambalat bisa mencapai US$ 40 milyar. Memang, bila dicermati, aksi provokasi selama beberapa tahun ini, meski frekuensinya tinggi, relatif tak seseru aksi provokasi pada Februari dan Maret 2005. kendati itu, kapal perang Malaysia tak sekadar menerobos masuk dan kemudian kabur setelah diperingatkan, melainkan juga sampai melakukan manuver menantang seakan mengajak tempur. Meski meriam di kapal masing-masing masih terbungkus terpal, suasana adu gertak dengan posisi berhadapan itu cukup menegangkan. Sebelumnya, tentara Malaysia menyergap dan menghajar sejumlah pekerja Indonesia yang tengah mengerjakan suar milik Departemen Perhubungan di Karang Unarang, Laut Sulawesi, Kalimantan Timur. Militer negeri jiran itu pun terang-terangan melakukan latihan menembak di dekat perbatasan.

Sedangkan serangkaian aksi provokasi Malaysia belakangan terakhir, meski kerap, masih terkesan sebatas meledek. Lihat saja, begitu kapal perangnya kepergok dan diperintahkan angkat kaki, langsung kabur. Karena hal itu selalu saja terjadi, akhirnya membuat Indonesia berang juga. Reaksi keras pun bermunculan. Aksi demo mengecam Malaysia digelar. Sejumlah kelompok masyarakat menyatakan siap membantu TNI untuk menjaga Ambalat atau bahkan berperang melawan Malaysia. Pemimpin negeri ini pun, berbeda dari Insiden Ambalat 2005, kali ini dalam Insiden Ambalat 2009 bereaksi keras.

Entah ada kaitannya dengan momentum menjelang pemilihan presiden Juli 2009 atau tidak. Tengoklah Jusuf Kalla. Wakil Presiden yang maju sebagai calon presiden ini tanpa ragu menyatakan bahwa Indonesia harus siap berperang jika memang terpaksa. Jika konflik tidak bisa diselesaikan dan perundingan sampai ke titik buntu dan wilayah yang kita yakini itu benar, demikian Kalla, tentu kita harus selalu siap untuk menyelesaikan segala sesuatu, termasuk perang. Akan tetapi, itu jika negosiasi buntu, kata Kalla.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga berlaga sebagai calon presiden, bersikap tak kalah keras, meski terkesan sangat hati-hati. Yudhoyono mengatakan, apa yang diklaim Malaysia soal Ambalat itu betul-betul tidak bisa diterima. Sebab, Indonesia yakin, Ambalat adalah wilayah Indonesia. SBY katakan, sejengkal tanah pun atau laut, kalau itu kedaulatan Indonesia, harus dipertahankan. Tidak ada kompromi dan toleransi. Itu harga mati, tegas SBY.

Meski begitu, SBY mewanti-wanti agar tak perlu mengobarkan peperangan karena tak sesuai dengan semangat Piagam Asean yang mengedepankan perdamaian. Presiden lebih mengutamakan jalan diplomasi dan penyelesaian secara damai. Perang adalah jalan terakhir. Utamakan jalan lain yang lebih bermartabat dan tidak mendatangkan masalah bagi negara yang sedang membangun, katanya. Bila Malaysia masih terus melakukan provokasi, tegas SBY, Indonesia akan mengambil langkah lebih tegas untuk mempertahankan kedaulatan. Presiden sangat serius menyikapi persoalan Ambalat ini.

DPR RI melalui Komisi I yang beranggotakan lima orang dipimpin Yusron Ihza Mahendra berangkat ke Malaysia (Senin, 8 Juni 2009) untuk membicarakan masalah Ambalat dengan pemerintah Malaysia, dengan melibatkan parlemen Malaysia. Tim ini dibentuk sebagai wujud kepedulian moral mewakili aspirasi masyarakat Indonesia menyangkut Ambalat kepada Pemerintah Malaysia.

Misi tim itu agaknya berjalan mulus. Setidaknya menyangkut misi damai yang diemban. Isyarat ini tercermin pada hasil pertemuan informal yang berlangsung lebih dulu antara delegasi parlemen Indonesia dan menteri Pertahanan Malaysia, Datuk Seri Ahmad Zahid Hamidi, di Malaysia, Sabtu 13 Juni 2009. Dalam pertemuan itu, Ahmad Zahid dapat memahami protes keras Indonesia menyangkut provokasi Malaysi di Ambalat. Tapi ia juga mengatakan bahwa TNI setidaknya 13 kali melanggar perairan Malaysia.

Ahmad Zahid menegaskan, Malaysia tidak mau berperang dengan Indonesia terkait sengketa Ambalat, yang tidak hanya menyangkut masalah perbatasan, melainkan juga masalah ekonomi itu. Tak bisa disangkal, Malaysia begitu bernafsu hendak mengembat Ambalat, seolah untuk melengkapi suksesnya mencaplok Sipadan-Ligitan dari wilayah Indonesia pada 2002. Klaim Malaysia atas Ambalat ini berdasarkan peta 1979 bikinan Malaysia.

Sebaliknya, tak usah disangsikan lagi bahwa Indonesia dengan segala cara akan mati-matian mempertahankan Blok Ambalat sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua pihak mengklaim sama-sama berhak atas wilayah yang menjadi sengketa itu. Sengketa ini mulai memanas pada Februari 2005, tak lama setelah Petronas, perusahaan minyak Malaysia, menjual konsesi eksploitasi di Blok Ambalat dan Ambalat Timur kepada Shell, perusahaan minyak patungan Inggris dan Belanda. Malaysia mulai unjuk gigi dengan menghajar pekerja Indonesia di Karang Unarang dan melakukan provokasi serius di perairan Blok Ambalat.

Ketegangan hebat itu mereda. Pada 2006, tidak dilaporkan adanya provokasi oleh kapal perang Malaysia di perairan tersebut. Tahu-tahu, pada tahun berikutnya terjadi provokasi gila-gilaan oleh unsur TLDM dan Police Marine Malaysia, 94 kali pelanggaran garis batas. Sejak itu, pada tahun-tahun berikutnya, kerap terjadi pelanggaran oleh pihak Malaysia di wilayah tersebut. Indonesia tentu tak tinggal diam. Selain melakukan penghalauan, Pemerintah Indonesia juga menyampaikan nota protes kepada Pemerintah Malaysia.

Hingga belakangan, tercatat ada 36 nota protes mengenai pelanggaran wilayah Ambalat oleh Malaysia. Nota protes terkini disampaikan pada 4 Juni 2009. Sejak aksi provokasi oleh Malaysia di Blok Ambalat pada Mei dan Juni 2009 di-blow up media massa dan mendapat perhatian sangat serius dari seluruh lapisan masyarakat, Pemerintah Indonesia memperkokoh kuda-kuda. Selain mengutus tim Komisi I DPR ke Malaysia, Indonesia juga menyiapkan tim perunding andal dalam perundingan diplomatik secara bilateral, Juli 2009.

Klaim Malaysia atas Ambalat berdasarkan peta 1979 sangat lemah. Pasalnya, peta 1979 yang dibuat suka-suka itu bukan hanya ditentang delapan negara, antara lain Indonesia, Filipina dan Cina, melainkan juga tak diakui International Court of Justice (ICJ) dalam sengketa kepemilikan Pedra Branca antara Malaysia dan Singapura. Terbukti, Pedra Branca akhirnya masuk wilayah Singapura. Dalam sengketa itu, Malaysia menggunakan klaim berdasarkan peta 1979. Itu berarti, peta 1979 juga tidak diakui oleh ICJ.

III. SENGKETA BLOK US$40 MILYAR
Kalau merunut arsip, konflik perbatasan Ambalat ini bermula sejak 1979 saat Malaysia mengeluarkan peta secara sepihak. Klaim itu makin menguat setelah Pulau Sipadan dan Lihitan di Laut Sulawesi jatuh ke tangan Malaysia pada tahun 2002 melalui keputusan Mahkamah Internasional. Malaysia menerbitkan batas baru sepanjang 25.700 kilometer persegi yang memasukkan Ambalat ke wilayahnya.

Pemerintah Indonesia sudah memprotes klaim sepihak negeri jiran itu sejak 1980. Sepanjang 2005 hingga 2009, Pemerintah Indonesia dan Malaysia tercatat 13 kali melakukan perundingan. Sepanjang itu pula, belum ada hasil memuaskan kedua pihak. Pada 4 Juni 2009, Departemen Luar Negeri telah mengirimkan nota protes kepada Pemerintah Malaysia setelah tentara penjaga perbatasan Malaysia memasuki Ambalat akhir Mei 2009. Sebetulnya, nota protes itu telah puluhan kali dikirim oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1998.

Sebetulnya, nota protes merupakan bentuk surat peringatan yang sangat kuat dan tegas. Namun, sejak 2003 Malaysia juga berulangkali mengirim nota protes ke Indonesia. Bisakah Indonesia mempertahankan Ambalat? Kalangat diplomat Indonesia dan parlemen yakin posisi Indonesia sangat kuat. Berbeda dengan Sipadan dan Ligitan, ungkap mereka meyakinkan. Diplomat Indonesia begitu yakin Ambalat tidak akan lepas. Sipadan lepas karena Indonesia pernah tidak memasukkan dua pulau tersebut saat mengklaim wilayah di tahun 1950. Lebih lagi, zaman Belanda dahulu, dua pulau itu bukan daerah yang dikelola oleh Belanda.

Dalam perundingan tentang Ambalat, diplomat Indonesia mengaku mengantongi berbagai bukti historis. Antara lain pembagian wilayah yang terjadi tahun 1966 berdasarkan hukum laut internasional. Saat Pemerintah Indonesia menunjuk Shell pada tahun 1966, alasan para diplomat itu, Malaysia tidak protes. Itu, masih menurut mereka, artinya Malaysia mengakui Indonesia. Peta sepihak dari Malaysia yang terbit pada 1979 ternyata bermasalah dengan Filipina. Dikatakan kalangan diplomat, itu juga bukti yang menguatkan kepemilikan Indonesia atas Ambalat.

Dasar laut Ambalat menyimpan kandungan minyak dan gas dalam jumlah besar. Pemerintah Indonesia mulai menjual konsesi minyak Ambalat pada 1961. Saat itu, Malaysia belum mengklaim lokasi itu sebagai wilayahnya. Empat puluh delapan tahun kemudian, gesekan kembali terjadi di sekitar perairan Pantai Sebatik, Kalimantan Timur, Sabtu 30 Mei 2009. Kapal KD Baung 3509 milik Tentara Diraja Malaysia seenaknya menerobos wilayah Indonesia. KD Baung 3509 adalah kapal jenis Fast Attack Craft milik Angkatan Laut Malaysia. Ini kali ke 11 kapal perang Malaysia melanggar tapal batas sepanjang tahun ini. Meski batas yang dilanggar hanya beberapa mil, hal itu cukup membuat suasana Jakarta memanas. Kalau sudah begini, kedaulatan wilayah menjadi segala-galanya, mengalahkan pertanyaan mendasar tentang kekayaan apa yang ada di Ambalat.

Ambalat bukan sebuah pulau. Ia merupakan kawasan laut yang luasnya 6.700 kilometer persegi, terletak antara Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Posisi geografisnya ada di antara 118 hingga 120 derajat bujur timur. Garis lintangnya ada di antara 3 dan 5 derajat lintang utara. Dari Tarakan, Kalimnatan Timur, perairan itu bisa ditempuh dengan boat sekitar dua jam. Kawasan itu juga dekat dengan Malaysia. Dari Kota Tawau, Sabah, malaysia, jaraknya sekitar 150 kilometer ke arah timur.

Di bawah bentangan laut dalam di Ambalat, ternyata bersemayam emas hitam. Kandungan itu sudah lama tercatat di peta minyak dan gas (migas) yang dimiliki Pemerintah Indonesia dan malaysia. Oleh Pemerintah Indonesia, konsesi migas id sana diberikan kepada dua perusahaan asing, dengan sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract). Ambalat di bagian barat seluas 1.990 kilometer persegi dikelola Ente Nazionale Indrocarburi (ENI) Ambalat Ltd kontraktor dari Italia. Sedangkan Ambalat Timur seluas 4.175 kilometer persegi dikelola Unocal Indonesia Ventures Ltd, yang kemudian merger dengan Chevron.

Berdasarkan eksplorasi yang dilakukan ENI Ambalat, di lapangan Aster saja ada lima sumur yang diperkirakan mengandung cadangan minyak 30.000-40.000 barel per hari. Namun kandungan itu belum ditarik. Lambatnya kegiatan eksplorasi di kawasan Ambalat juga dipicu persoalan sengketa perbatasan. Namun, tahun 2009 ini, ENI Ambalat Ltd akan melakukan drill stand test untuk memastikan produksinya. Bila segalanya lancar, ENI memulai eksploitasi pada tahun 2010 depan. Selanjutnya ENI Ambalat berencana membangun LNG terminal floating. Instalasi jenis ini biasanya memerlukan cadangan besar, yakni 10 sampai 15 juta kaki kubik.

Di Ambalat Timur, kawasan yang konsesinya dipegang Chevron, kandungan minyaknya juga diperkirakan melimpah. Ketika Pemerintah Indonesia memberikan konsesi kepada Chevron tahun 2004, BP Migas memperkirakan kawasan itu mengandung 62 juta barel minyak dan 348 milyar kaki kubik gas. Namun, sampai belakangan terakhir, dengan dalih karena ada perselisihan perbatasan, perusahaan itu belum melakukan kegiatan berarti.

Pemerintah Indonesia mulai menjual konsesi minyak Ambalat pada 1961. Saat itu, Malaysia belum mengklaim lokasi itu sebagai wilayahnya. Eksplorasi pertama dilakukan Pertamina pada 1966, tapi belum menemukan hasil. Sejak saat itu, kegiatan eksplorasi berhenti karena belum ada satu pun sumur yang punya potensi berproduksi. Pada 1999, Shell melakukan eksplorasi di tiga sumur, tapi cadangan minyaknya minim. Meski demikian, para penambang tetap yakin, perut Ambalat kaya minyak, sehingga saat itu para kontaktor masih sibuk melakukan survei seismik guna menemukan titik yang tepat untuk mengebor. Shell bahkan kembali ke Blok Ambalat melalui Pemerintah Malaysia setelah tahun 2001 menjual hak konsesinya kepada ENI Ambalat Ltd.

Keyakinan kuat akan kandungan minyak Ambalat itu membuat perusahaan penambang asing terus bercokol di sana. Padah, untuk mengekploitasi minyak atau gas di kawasan itu, biayanya cukup tinggi, karena berada di perairan dalam. Demi mengisap madu Ambalat, para kontraktor rela mengucurkan investasi besar, meskipun menurut kontrak PSC yang ditandatangani dengan Pemerintah RI, mereka hanya mendapat jatah 25% hasil, sisanya milik pemerintah.

Keyakinan kuat adanya kandungan migas dalam jumlah besar itu terutama karena Ambalat berada di Laut Sulawesi yang dikenal kaya migas. Di kawasan itu, selain Bl;ok Ambalat, ada blok-blok lain yang juga kaya kandungan migas, seperti Blok Tarakan, Blok Bunyu, dan Blok Bukat, yang telah puluhan tahun dikelola oleh Indonesia. Bahkan Blok Bunyu dikelola Total Indonesia sejak 1967. British Petroleum mengelola lepas pantai North East Kalimantan pada 1970 dan Hadson Bunyu untuk Blok Bunyu pada 1983. Kemudian ENI Bukat untuk Blok Bukat pada 1988 dan ENI Ambalat untuk Blok Ambalat pada 1999. Blok Bunyu ini dikelola Pertamina dan Medco E&P. Blok Tarakan dikelola Medco E&P, yang sumur-sumurnya sudah berusia tua dengan produksi minyak 666 barel per hari dan 363.000 kaki kubik gas per hari.
Menurut ahli geologi dari lembaga konsultan Exploration Think Tank Indonesia, satu titik tambang di Ambalat menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 trilyun kaki kubik gas. Itu baru satu titik dari sembilan titik yang ada di Ambalat. Perairan Ambalat secara ekonomi sangat menjanjikan. Kandungan mineral di Ambalat memang bisa dibaca berbeda oleh para ahli perminyakan. Pakar perminyakan lain menaksir potensi pemasukan negara dari minyak Ambalat bisa mencapai US$40 milyar. Tentu nilai ini cukup signifikan jika bisa masuk ke kas negara.

Daya tarik migas itulah yang membuat Pemerintah Malaysia kepincut. Perairan laut di sebelah timur Pulau Kalimantan itu diklaim Malaysia melalui peta 1979. Peta yang diterbitkan secara sepihak itu sudah diprotes Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Sejak 1980, Pemerintah Indonesia terus menyampaikan protes secara berkala, karena Malaysia melanggar wilayah perairan yang berada di bawah kedaulatan Indonesia.

Setelah pada 2002 International Court of Justice memenangkan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai milik Malaysia, negeri jiran itu seperti mendapat angin. Malaysia seolah memperoleh pengesahan atas peta 1979. Pada September 2003, Malaysia melelang Blok ND-6 dan Blok ND-7 kepada perusahaan tambang asing. Lokasi itu tak lain perairan Ambalat. Pada Februari 2005, izin eksplorasi dari Malaysia diberikan kepada Shell.

Bila Jakarta sangat tersinggung oleh aksi main terobos kapal Malaysia, pelakunya malah tenang-tenang saja. Menteri Pertahanan Malaysia, datuk Seri Ahmad Zahid hamidi ketika bertemu delegasi parlemen Indonesia, antara lain Theo L sambuaga, Yusron Ihza Mahendra dan Effendy Choirie, berkomentar datar. Malaysia, kata dia, tidak akan perang dengan Indonesia. Malaysia sengaja mengulur-ulur waktu perundingan. Pembicaraan substansi sengketa Blok Ambalat terus dihindari. Strategi provokasi militer sengaja dimainkan. Indonesia ditergetkan terpancing oleh provokasi dan menyerang lebih dulu. Bila menembak duluan, Indonesia akan dikecam dunia internasional. Akibatnya, bisa kalah dalam perundingan.

IV. BUKAN TERRA NULLIUS
Konflik perbatasan melanda sebagian garis perbatasan Negara Bagian Sabah. Beban sejarah ternyata bisa menjadi bom waktu. Tak ada negara bagian di Malaysia yang memilki sengketa garis perbatasan serumit Sabah. Selain bermasalah dengan Indonesia, perbatasan mereka juga menjadi ajang perseteruan dengan Filipina. Di laut dan di daratan. Bermula dari peta baru Malaysia terbitan tahun 1979. Cakupan wilayah yang menjadi klaim negara itu sering dituduh sebagai picu sengketa karena dianggap mencaplok kedaulatan negara lain. Akar masalah peta ini adalah sejarah perjanjian perbatasan yang ditinggalkan Inggris, bekas penguasa mereka. Garis perbatasan di daerah muka bingkai Borneo itu ditarik begitu saja, seperti melintasi terra mullius, tanah tak bertuan. Padahal wilayah tersebut secara sah teriokat dengan beberapa kesultanan setempat.

Sejarah mencatat, kekuasaan kolonial hadir di Sabah lewat tangan seorang Gustavus Baron von Overbeck. Hal ini dianggap di luar kelaziman karena kekuasaan kolonial umumnya diwakili negara, bukan individu. Overbeck mendapat sejumlah kewenangan teritorial dari Sultan dan Pengeran Temenggong Brunei, 29 Desember 1877. Kewenangan yang semacam dipinjamkan kepada Overbeck itu, antara lain, untuk menentukan hukuman bagi masyarakat asli, hak pemilikan mutlak di bidang pertanian, peternakan, dan pertambangan. Selain itu, Overbeck juga memiliki kewenangan membuat peraturan, mata uang, menarik cukai dan pajak. Bahkan membentuk tentara dan angkatan laut. Di wilayah dari Pantai Kimanis di sebelah barat laut hingga Sungai Sebuku di sebelah timur.

Namun, kewenangan yang diberikan pada dasarnya merupakan hubungan sewa menyewa biasa, sebagaimana hubungan berdagang saja. Sebab, Overbeck kemudian menggandeng Alfred Dent sebagai patner diharuskan membayar Sultan 12 ribu dolar dan Temenggong 3.000 dolar setiap tahunnya. Untuk melaksanakan kewenangannya itu, Overbeck dan dent membuat sebuah institusi kerja sama yang kemudian diberi nama Overbeck and Dent Association (ODA). ODA lalu mengajukan proposal kepada pemerintah Inggris untuk mengelola daerah konsesi itu. Terbentuklah British North Borneo Company (BNBC) sebagai penguasa bayangan.

Lain pemerintah Inggris, lain pula belanda. Bentuk hubungan antara penguasa asli dan pemerintah Belanda di Bulungan tidak sama. Kesultanan di timur Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Sabah itu diakui Belanda sebagai negara merdeka pada tahun 1844. Kedua negara ini kemudian mengadakan kerja sama membentuk pemerintahan semi-otonomi (Zelfbestuurende landschap) dengan sultan sebagai kepala negara dibantu dua orang pejabat (landsgrote). Perjanjian pembagian kekuasaan Belanda-Bulungan ini terus diperbaharui. Terakhir, perjanjian itu direvisi pada 1928 dan dimuat dalam Staatsblad No 86/1928 dan Gouvernements-besluit No 17 danb 25 tahun 1928. Pada November 1949, Kesultanan Bulungan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.

Salah satu bukti bahwa hubungan Bulungan-Belanda adalah hubungan kemitraan yang setara, ini bisa ditilik dari sambutan yang diberikan secara khusus dan terhormat ketika Sultan Bulungan, Maulana Mohammad Kasim Aldin, berkunjung ke Belanda pada 1923. Dia disambut dalam tata cara kenegaraan oleh Ratu Belanda, Wilhelmina, di Den Haag. Maka, perjanjian perbatasan yang dilakukan antara Belanda dan BNBC pada tahun 1891 dan 1915, yang berisi kesepakatan membagi wilayah Kalimantan Utara menjadi dua, yakni milik Inggris dan Belanda, dianggap menyalahi perjanjian-perjanjian dengan kesultanan setempat sebelumnya.

Perjanjian antara dua negara kolonial itu diprotes keras oleh Kesultanan Bulungan yang terbentang dari Tarakan, Tidung, sampai Lahad Datu, Sabah, menjadi terbelah. Perjanjian tersebut dilakukan tanpa persetujuan Sultan sebagai pemilik kedaulatan. kenyataannya para sultan turun temurun tidak pernah mengakui perjanjian itu. Klaim Pemerintah Malaysia atas sebagian wilayah Sabah, sebagaimana perjanjian perbatasan yang ditinggalkan Inggris tersebut, selain mendapat tentangan dari Kesultanan Bulungan juga dari Sultan Sulu di Filipina Selatan. Sultan Filipina ini juga mengklaim wilayah darat, antara lain meliputi Kota Kinabalu, ibukota Negara bagian Sabah sendiri.

Memang yang terjadi belakangan soal Ambalat masih sebatas perang wacana. Bukan konfrontasi senjata seperti hampir setengah abad silam. Ketika itu, kontak senjata meledak di sejumlah titik di sepanjang perbatasan antara Kalimantan dan sabah-Sarawak, yang hampir 1.000 kilometer lintasannya. Sebagian pasukan Indonesia juga sudah masuk menginfiltrasi, bahkan sampai wilayah Semenanjung Malaysia dan Singapura. Malaysia ketika itu negeri baru yang masih berumur dini. Menghadapi ancaman dari Indonesia, negeri terkuat di Asia Tenggara, Malaysia minta bantuan dari para pengawalnya, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Tidak kurang dari 17.000 personel pasukan gabungan itu didatangkan. Sebagian dari mereka adalah serdadu Gurkha, legiun asing dari balatentara Inggris yang diawaki orang-orang bayaran dari wilayah sekitar Bhutan.

Tentara koalisi itu diperkuat pula dengan dua kapal induk, HMS Victorious dan HMS Centour, serta dua kapal perusak berukuran di atas 10.000 ton, yakni HMS Alboin dan HMS Bulwark. Praktis, tentara Indonesia yang sebagian adalah sukarelawan itu harus menghadapi pasukan koalisi yang bersenjata lengkap. Perang udara dan laut tak sampai meletus. Yang terjadi sebatas kontak senjata di hutan-hutan Kalimantan. Meski tak diumumkan secara resmi, Inggris mengklaim telah menewaskan 590 serdadu Indonesia dan menawan 770 lainnya. Pihaknya mengaku kehilangan 114 prajurit, dan 181 lainnya terluka. Tidak ada konfirmasi resmi dari pihak Indonesia.

Sengketa itu muncul setelah Inggris memerdekakan malaysia, 1961, yang meliputi pula Singapura dan Brunei. Desember 1962, pecah perlawanan di Brunei. Perdana Menteri Malaysia, Tunku Abdul rahman, menuding Indonesia menyokong pemberontakan yang dipimpin Azahari itu. Ketua Partai Rakyat ini memproklamasikan kemerdekaan Kalimantan Utara, meliputi Brunei, Sabah, dan Sarawak, setelah dia memenangkan pemilihan umum. Tapi tentara Inggris cepat membungkamnya.

Hanya empat tahun setelah kemerdekaan negerinya, Tunku Abdul Rahman Putra al-Haj, Yang Dipertuan Agong dan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu, memulai perundingan dengan Perdana Menteri Inggris, Harold McMillan, mengenai Proyek Malaysia. Perundingan di London itu dimulai pada Oktober 1961, dan dilanjutkan pada Juli tahun berikutnya. Federasi baru ini akan meliputi pula Sarawak, Sabah, dan Singapura, yang merupakan koloni Inggris, serta Brunei, yang berstatus protektorat.

Inggris memang bermaksud membentuk Malaysia sebagai negara federasi. Tapi niat itu ditentang keras oleh Presiden Sukarno dan Presiden Filipina Diosdado Macapagal. Dua pemimpin ini meminta Inggris mau mendengar aspirasi Sabah, Sarawak, Brunei dan Singapura, yang ingin berdiri sendiri. Indonesia tidak menyokong pemberontakan di brunei itu. Saat terjadi kudeta di Brunei, Azahari justru berada di Manila, menemui Wakil Presiden Filipina Emanuel Pelaez.

Atas prakarsa Filipina diselenggarakanlah Konferensi Manila, 9-17 April 1963, dihadiri para wakil menteri luar negeri Indonesia, Malaysia, dan Filipina sendiri. Filipina punya kepentingan karena Sabah, wilayah yang diklaim Filipina ketika itu, dimasukkan ke Proyek Malaysia. Secara historis-tradisional, Sabah merupakan milik Sultan Sulu yang disewakan kepada Inggris. Agenda berikutnya adalah Konferensi Tingkat Tinggi Manila. Tetapi, seraya persiapan menuju KTT ini digioatkan, Tunku Abdul rahman secara sepihak menandatangani dokumen persetujuan pembentukan Federasi Malaysia dengan Inggris pada 9 Juli 1963. Dokumen itu merencanakan pembentukan Federasi Malaysia pada 31 Agustus 1963. Kesepakatan ini ditandatangani oleh Malaya, Singapura, sarawak dan Sabah. Brunei memutuskan mundur.

Pada 16 September 1963, Federasi malaysia diumumkan berdiri, meliputi Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah, dan Sarawak. Esoknya, 17 September 1963, Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur. Sejak tanggal itu hingga akhir 1963, Indonesia mencatat 20 kali pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh Malaysia. Pelanggaran darat di perbatasan tercatat 21 kali. Tahun berikutnya Inggris dan malaysia melakukan 56 kali pelanggaran udara, dan 14 kali pelanggaran darat di perbatasan.

Presiden Sukarno sendiri mencurigai Malaysia bentukan Inggris itu tidak lebih dari negara neokolonialis dan imperialis (nekolim). Ia pun masih jengkel, saat meletus pemberontakan PRRI/Permesta, Malaysia menjadi transit bantuan Amerika ke kelompok separatis itu. Setelah pemberontakan itu kandas, negeri jiran itu dijadikan tempat pelarian pula. Akhirnya Bung Karno secara terbuka mendukung perjuangan rakyat Brunei, Sabah, dan Sarawak. Ia mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora), 3 Mei 1964. Komando Siaga (Koga) dibentuk. Situasi memanas, hubungan diplomasi kedua negara putus setelah London mengumumkan pembentukan negara federasi Kerajaan Malaysia, 29 Agustus 1964. Malaysia juga menutup hubungan diplomasinya dengan Filipina.

Bung Karno mencanangkan Dwi Komando rakyat (Dwikora) pada 3 Mei tersebut, untuk memperhebat ketahanan revolusi Indonesia, dan, membantu perjuangan revolusioner rakyat malaya, Singapura, Sabah, sarawak, dan Brunei. Di bawah karisma dan orasi Bung Karno yang berkibar-kibar itu, semangat ganyang Malaysia dan ganyang neokolonialisme bangkit di seantero negeri.

Gelar pasukan dimulai September 1964. Di tengah gelora aksi Ganyang Malaysia, pasukan RPKAD, sekarang Koppasus, ditempatkan di sekitar Long Bawang, Lumbis, Kalimantan Timur. Pasukan KKO (Marinir) siaga di Nunukan. Batalyon 328/Kujang Kodam Siliwangi dan batalyon 430 Kodam Diponegoro pun dikirim ke perbatasan. Sebagian menembus jauh ke Sarawak dan sabah guna melatih tentara gerilya yang dipimpin Azahari. Konfrontasi itu terjadi diam-diam, tidak pernah diumumkan, baik oleh Malaysia, Inggris, maupun Indonesia. Namun, hampir tiga tahun baku tembak itu berlangsung sengit. Dalam pertempuran di Kampung Long Jawi, pasukan Indonesia menembak mati 12 tentara lawan. Pasukan KKO menewaskan delapan orang musuh dan melukai 19 lainnya di Tawau. Batalyon Kujang yang bertempur di Sambas Kalimantan Barat menggelandang 34 pasukan Gurkha, yang sebelumnya dikatakan pantang menyerah. Tercatat empat pesawat terbang Inggris ditembak jatuh.

Konfrontasi itu berangsur reda menyusul terjadinya perubahan politik besar di Jakarta. Namun, apa lacur, Sukarno pun jatuh. Pemberontakan PKI 30 September 1965 berujung tergusurnya Bung Karno dari kursi presiden. Selama rezim Orde Baru, hubungan Indonesia-Malaysia mesra. Dan pada 28 September 1966 Indonesia pun kembali ke haribaan PBB. Baru belakangan memanas lagi, karena Indonesia merasa diperlakukan bak TKI, gampang direnggut hak dan martabatnya.

Belakangan, perseteruan mengenai garis perbatasan yang akan berakibat penguasaan wilayah Karang Unarang dan Ambalat sedang bergulir, dan kian panas. Sebagaimana yang pernah terjadi pada Pulau Sipadan dan Ligitan, Pemerintah Indonesia menyebutnya sebagai terra nullius atau sekeping koin yang tergeletak di jalan. Indonesia sudah punya batas. Namun, ketika berjalan kemudian menemukan koin, lantas berdebat ini milik siapa.

Kini, setelah mendapatkan dengan mudah Sipadan dan Ligitan, Malaysia pun berasumsi Ambalat pun akan dengan gampang jatuh ke pangkuan mereka, segampang dulu Tunku Abdul rahman mengadopsi Stambul Terang Bulan, sebagai hak Indonesia pertama yang dicaplok dan mendadak dijadikan lagu kebangsaan Persekutuan Tanah Melayu pada hari kemerdekaannya dari Inggris, 31 Agustus 1957.

V. NEGARA JIRAN TETANGGA YANG TAK BAIK
Kasus Ambalat meruncing, ternyata motifnya masih sama dengan Insiden Ambalat pada 2005. Awalnya karena sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan. Ada sikap yang tak etis dari pemerintah Negara Jiran itu. Pada 1979 malaysia mengundangkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah mereka. Malaysia juga menjadikan Sipadan-Ligitan sebagai basis untuk mengukur zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka. Itu jelas sangat tidak etis karena Sipadan dan Ligitan masih dalam sengketa.

Sikap Indonesia tentang peta Malaysia 1979 itu protes keras. Negara tetangga yang lain juga protes. Bagi indonesia, selain memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan, Malaysia melakukan kesalahan lainnya. Peta itu juga menarik garis lurus antara Pulau Sipadan dan pantai timur Pulau Sebatik. Akibatnya, seluruh laut di Pulau Sebatik diambil Malaysia. Menurut hukum, mereka tak berhak. Mereka sebetulnya paham dengan aturan hukum itu. Malaysia juga menarik garis tengah antara Pulau Sipadan dan Sebatik dengan garis dasar Indonesia tahun 1960. Itu membuat wilayah Malaysia jauh ke bawah hingga menabrak Ambalat. Sejak itu Malaysia mengklaim Ambalat sebagai wilayahnya.

Meski Sipadan dan Ligitan punya Malaysia, tak berarti Ambalat juga masuk wilayah mereka. Soalnya, Sipadan dan Ligitan terpisah dari Sabah oleh laut yang dalamnya sekitar 1.400 meter. Sipadan dan Ligitan seperti permukaan gunung dari bawah laut. Jadi, berbeda dengan daratan yang bisa memperoleh ZEE sampai 200 mil hingga ke Ambalat. Jelas, mereka tak bisa serta merta mengklaim Ambalat sebagai wilayah Malaysia.

Dalam hukum laut banyak contoh pulau kecil terpencil yang tak diperkenankan mendapat ZEE dan landas kontinen. Soalnya, bila mereka mendapat hak ZEE, akibatnya tak adil bagi dunia internasional. Selain itu, penentuan batas wilayah antarnegara harus memperhitungkan luas daratan, panjang pantai terkait, dan kepentingan ekonomi rakyatnya. Panjang pantai Sipadan dan Sabah jauh lebih pendek daripada pantai Kalimantan Timur. Luas Sipadan dan Ligitan juga tak sebanding dengan luas pulau-pulau di sebelah timur Kalimantan. Secara topografis, Ambalat juga merupakan kelanjutan alamiah dari Kalimantan Timur. Dari sudut pandang hukum laut internasional, Ambalat memiliki keterkaitan dengan pantai Kalimantan Timur.
Meski begitu nyatanya Malaysia tetap nekat mengklaim Ambalat. Itulah kelihaian Malaysia. Mereka tahu ada Indonesia di Ambalat. Sekarang mereka mengambil tindakan sendiri. Inilah yang membuat situasi memanas karena mereka tak berkonsultasi dengan Indonesia. Padahal, sebagai negara yang bersahabat, konsultasi soal perbatasan sangat perlu. Contohnya pada 1998 Indonesia mengubah beberapa garis pangkal Nusantara di Laut Natuna. Ketika itu nampak sekali Malaysia sebagai Negara Jiran tak bersikap sebagai tetangga yang baik.

Selain mengklaim Ambalat, malaysia juga menjadikan Karang Unarang di sebelah timur Kalimantan sebagai wilayahnya. Mungkin mereka menarik garis lurus antara Sipadan dan Sebatik. Tapi itu tak bisa dilakukan karena terlalu jauh. Jadi, sangat tidak bisa dimengerti mengapa mereka mengklaim Karang Unarang. Wilayah itu berjarak kurang dari 12 mil dari pantai Pulau Sebatik sebelah selatan, yang merupakan wilayah Indonesia. Seharusnya mereka tahu bahwa itu wilayah Indonesia. Anehnya, saat pekerja Indonesia akan memasang rambu-rambu untuk pelayaran, malah ditangkap tentara Malaysia.

Pada 1998 Indonesia memberikan konsesi Ambalat ke perusahaan minyak dunia. Secara hukum internasional hal itu dibenarkan. Soalnya, letak Ambalat dekat dengan Kalimantan Timur. Dari segi topografi Ambalat merupakan kelanjutan alamiah dari Kalimantan Timur. Menurut ilmu hukum laut, itu berakibat kewenangan di dasar laut menjadi milik Indonesia. Aturan itu sudah ditetapkan dalam konvensi hukum laut dunia tahun 1982.

Sebetulnya persoalan perbatasan memungkinkan diselesaikan secara bilateral. Indonesia pernah bertahun-tahun berunding dengan Vietnam Selatan mengenai perbatasan dekat Natuna pada 1971. kesepakatannya baru tercapai pada 2002. jadi, meski memiliki teori hukum yang berbeda, bisa tercapai kesepakatan. Kesabaran itu sangat perlu tentunya. Dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional disebutkan, bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai alternatif, misalnya mediator, arbritrator, dan mekanisme regional.

Malaysia dapat dipastikan tak akan menggunakan mekanisme regional di ASEAN, karena Malaysia punya persoalan dengan semua negara tetangganya, Singapura, Vietnam, Brunei darussalam, Filipina, dan Thailand, mengenai batas laut. Malaysia takut semua anggota ASEAN berpohak ke Indonesia.

Bila menemui jalan buntu, bisa saja dipilih solusi joint development. Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, Indonesia sepakat tak membuat garis batas dengan Australia di Celah Timor. Indonesia menyepakati membuat joint development dengan melakukan kerjasama ekonomi di wilayah yang disengketakan. Malaysia sangat mungkin dengan model penyelesaian seperti itu. Saat ini Malaysia punya dua joint development di Laut Cina Selatan, dengan Thailand dan Vietnam. Itu karena mereka tak sepakat dalam hal garis batas selama bertahun-tahun.

Sebaliknya, Indonesia tak akan mau ke mahkamah internasional. Mungkin bercermin dengan kasus Sipadan dan Ligitan. Lagi pula, Mahkamah Internasional banyak memakan waktu dan biaya. Diperkirakan kasus Sipadan dan Ligitan menghabiskan lebih dari US$ 10 juta atau sekitar Rp 90 miliar. Sebagian besar dihabiskan untuk jasa pengacara asing dari Amerika dan Prancis.

Selain dengan Malaysia, tapal batas Indonesia yang berpotensi bermasalah adalah batas ZEE dengan Thailand. Selain itu perbatasan laut antara Indonesia dan Filipina di Pulau Miangas. Filipina mengakui Pulau Miangas milik Indonesia. Tapi mereka menyatakan pulau itu berada di Laut Filipina. Indonesia sudah berunding mengenai Pulau Miangas dengan Filipina sejak 1973. Tapi sampai sekarang tak maju-maju.

Saat kemerdekaan, laut Indonesia Cuma 3 mil dari pantai. Jadi luas laut Indonesia tak lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Setelah konsep Wawasan Nusantara diterima dunia, dan mendapat tambahan ZEE 200 mil, total laut Indonesia menjadi 6 juta kilometer persegi. Masalahnya, jumlah kekuatan angkatan laut Indonesia tak sebanding dengan luas wilayah yang harus diamankan. Bayangkan, Singapura yang tidak punya laut saat ini punya lima kapal selama. Anggaran militer Indonesia tak memadai. Tapi harus ada kemauan politik yang kuat. Dulu, zaman Bung Karno kondisi keuangan Indonesia lebih buruk. Tapi Bung Karno bisa membeli kapal perusak. Bahkan Bung Karno bisa membebaskan irian Barat, yang ketika itu masih diduduki belanda.

Dalam Konferensi Hukum laut PBB ke 3 tahun 1982, disepakati United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos), yang mengatur perihal hukum laut. Konvensi ini efektif berlaku pada 16 November 1994. penggerak konvensi ini adalah negara kepulauan seperti Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritius.

Dalam konvensi tersebut, diatur cara menentukan batas teritorial di laut, yakni maksimal 12 mil laut atau 22,2 kilometer dari muka laut terendah. Bila dua negara tetangga memiliki garis teritorial antar dua negara adalah garis median atau garis tengah (equidistance). Bila sebuah negara berbentuk kepulauan, batas laut teritorialnya diukur dari pulau-pulau terluar sewaktu air surut. Titik-titik ini kemudian dihubungkan sehingga membentuk garis batas teritorial. Dalam batas teritorial ini berlaku penuh kedaulatan negara.

Selain laut teritorial, terdapat juga zona tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif, dan batas landas kontinen. Zona tambahan tidak boleh lebih dari 24 mil laut atau 44,4 kilometer dari batas laut terendah sebuah negara. Dalam zona ini, suatu negara berhak melakukan pengawasan di bidang pabean, imigrasi, dan fiskal.

Di zona ekonomi eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil atau 370 kilometer, negara memiliki hak berdaulat atas kekayaan alam maupun mineral yang berada di jalur tersebut. Sedangkan wilayah landas kontinen adalah daerah dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and suboil) dari daerah yang masih kepanjangan alamiah dari daratan pantainya hingga tepi kontinen (continental margin). Lazimnya batas landas kontinen ini tak lebih dari 200 mil dari garis pangkal pantai. Dalam landas kontinen, negara pantai berhak melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam yang ada di bawahnya.

VI. BERCERMIN PADA SIPADAN-LIGITAN
Kemenangan atas sengketa Sipadan-Ligitan lewat Mahkamah Internasional tak serta merta bisa jadi landasan menguasai Ambalat. Pemerintah Malaysia telah melanggar Konvensi Hukum laut PBB, United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos). Unclos terlagir dari Konferensi Hukum laut ketiga PBB yang diteken pada 10 desembe 1982 di Motego Bay, jamaika. Konvensi itu telah mengadopsi konsep negara kepulauan yang diperjuangkan, antara lain, oleh Indonesia. Baik negara kepulauan maupun negara pantai punya wilayah daratan dan perairan yang meliputi jalur yang disebut laut teritorial. Yakni jalur selebar 12 mil laut ditarik dari garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar negara pantai atau kepulauan.

Khusus untuk negara kepulauan, selain punya laut teritorial, juga punya hak menegakkan hukumnya di zona tambahan 12 mil laut. Di sini, negara tersebut punya hak sanitasi, fiskal, bea cukai, dan imigrasi. Adapun batas terjauh wilayah negara kepulauan adalah 200 mil laut dari garis pangkal. Sepanjang 200 mil itu negara tersebut diperbolehkan mengelola sumber daya alam yang ada. Itulah zona ekonomi eksklusif (ZEE).

Pasal 15 Unclos menyebutkan bahwa alasan historis bisa dijadikan landasan untuk menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara dengan cara tertentu. Bila mengacu pada alasan historis ini, sejak zaman Kesultanan Bulungan, kini masuk Propinsi kalimantan Timur, para nelayan dari daerah tersebut terbiasa mencari ikan di daerah ini. Ada hubungan historis yang kuat antara Kesultanan Bulungan dan Ambalat.

Pemerintah Malaysia baru mengklaim Ambalat masuk wilayahnya dengan cara mengundang perusahaan minyak Shell untuk melakukan eksplorasi. Hal itu dilakukan setelah mahkamah Internasinal pada 17 Desember 2002 memutuskan Sipadan-Ligitan masuk wilayah Malaysia. Sebelum Sipadan-Ligitan diputus oleh Mahkamah Internasional, negeri jiran itu tak berani mengusik Ambalat. Blok Ambalat, demikian kata Pemerintah Malaysia, masuk wilayah malaysia memang setelah adanya kedaulatan baru atas Sipadan-Ligitan. Dengan kemenangan di Sipadan-Ligitan itu, Malaysia merasa bisa menarik garis pangkalnya dari kedua pulau yang baru didapatinya itu.

Namun, pada keputusan Mahkamah Internasional mengenai Sipadan-Ligitan, ditegaskan di sana putusan tersebut hanya menyangkut kedaulatan kedua pulau, tidak menyangkut landas kontinen. Untuk landas kontinen, harus dilihat berdasarkan Unclos tahun 1982. masalah kedaulatan atas dua pulau kecil dan tidak berpenghuni itu berbeda dengan pengaruh dua pulau itu atas delimitasi landas kontinen. Karena itu, tindakan Malaysia menarik garis batas salah alamat. Kedua hal tersebut adalah masalah yang sangat berbeda. Delimitasi batas laut harus ditinjau dari sudut pandang lainnya, antara lain Unclos tahun 1982 tadi.

Indonesia adalah negara kepulauan, sedangkan Malaysia negara pantai. Sebagaimana diatur dalam Unclos, negara kepulauan berhak menarik garis di pulau-pulau terluarnya sebagai patokan untuk garis batas wilayah kedaulatannya. Sedangkan negara pantai hanya berhak menarik garis dari pantainya, bukan dari pulau terluarnya. Adapun klaim atas Ambalat sebenarnya berawal dari peta yang dibuat malaysia tahun 1979. Pada peta yang dibuat sepihak itu, Pulau Sipadan-Ligitan masuk dalam wilayah Malaysia. Saat itu juga muncul reaksi. Selain indonesia, Singapura, Filipina, dan Thailand ikut memprotes. Dengan adanya protes ini, mestinya malaysia menyelesaikannya dengan negara=negara yang menyoalnya. Tapi langkah itu tak dilakukan. Malaysia hanya bersemangat mempersoalkan Sipadan-Ligitan.

Setelah Pemerintah malaysia dinyatakan berhak atas Sipadan-Ligitan, barulah ia berani mengklaim Ambalat. Padahal nila merujuk Pasal 74 dan 83 Unclos 1982, delimitasi batas ZEE dan landas kontinen haruslah ditetapkan dengan perjanjian dan berdasarkan pada hukum internasional. Itula yang tidak pernah dilakukan pihak malaysia. Hal itu menunjukkan bahwa klaim batas secara unilateral seperti yang dilakukan Malaysia dengan peta 1979-nya tidak memiliki kekuatan hukum.

Bila perundingan atau cara diplomasi tak juga menemukan jalan keluar, apa bolah buat, jalur hukum pun mesti ditempuh. Ada beberapa pengadilan bersifat internasional yang bisa dipakai dalam penyelesaian sebuah sengketa. Selain mahkamah Internasional, ada International Tribunal for the Law of the Sea (Itlos), Permanent Court of Arbitration (PCA), dan pengadilan arbitrase biasa.

Hilangnya si kembar, Pulau Sipadan dan Ligitan, memang belum membuat Indonesia serius mengurus pulau terpencil. Mendung menambah pucat Kota Den Haag. Angin bulan Desember 2002 berdesis, melorotkan suhu hingga ke bawah titik beku. Tapi gedung Mahkamah Internasional di Peace Palace, den Haag, belanda, masih berdenyut. Dalam balutan mantel tebal, para hakim meluncur masuk dengan keputusan yang sudah bulat.

Berbulan-bulan melahap tumpukan berkas perkara dan meneliti 77 peta kuno, akhirnya 15 hakim menetapkan vonis kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang dipersengketakan Indonesia dan malaysia. Dalam hening aula Peace palace, palu vonis pun berdentam. Sipadan dan Ligitan milik Malaysia. Pernyataan yang guncangannya mencapai Jakarta dan Kuala Lumpur.selasa yang murung buat Indonesia. Pada 17 Desember 2002 itu dua pulau kecil di timur Borneo pun terhapus dari peta Indonesia. Itu sebuah kekalahan yang menyakitkan setelah 33 tahun Indonesia berjuang mempertahankan kedaulatan pulau itu dan menghabiskan dana Rp 16 miliar untuk ongkos berperkara dan sewa pengacara.

Sengketa dua pulau itu memanas ketika Indonesia dan Malaysia merundingkan batas landas kontinen kedua negara di kawasan laut Sulawesi pada 1967. Kedua jiran ini lalu membuat perjanjian pada 1969. Intinya kurang lebih mereka setuju untuk tidak melakukan kegiatan di sana sebelum jelas putusan tentang kepemilikan pulau tersebut. Indonesia saat itu sangat yakin dirinyalah pemilik sah dua pulau yang ada di dekat Nunukan Kalimantan Timur itu. Keyakinan itu mengacu pada perjanjian antara Inggris dan Belanda yang diteken pada 1891 di London. Dalam perjanjian itu disebutkan, batas jajahan belanda di Borneo dan negara-negara yang dilindungi Inggris di pulau itu sama-sama diukur dari titik 4 menit 10 detik lintang utara di pantai timur Kalimantan.

Dari posisi itu, lantas ditarik garis ke timur mengikuti garis paralel melintasi Pulau Sebatik milik Indonesia. Bagian pulau yang terletak di sebelah utara garis paralel itu sepenuhnya milik British North Borneo Company. Sedangkan bagian di selatan garis milik Belanda. Berdasarkan hal itu Pulau Sipadan dan Ligitan masuk wilayah Belanda pada waktu itu dan kemudian diwarisi oleh Indonesia. Malaysia, sebaliknya, mengklaim dua pulau ini adalah warisan dari Sultan Sulu. Dari sang Sultan pulau itu turun temurun pindah tangan ke Spanyol, Amerika Serikat, Inggris dan terakhir ke Malaysia. Konon Malaysia telah melakukan penguasaan secara nyata sejak 1878.

Pulau yang diributkan Indonesia-Malaysia ini sebetulnya ukurannya kecil. Sipadan luasnya Cuma 10,4 hektar. Hanya butuh waktu satu jam berjalan kaki untuk mengitari pulau yang dihiasi dengan hujan tipis dan beberapa resor itu. Ligitan lebih kecil lagi, luasnya Cuma 7,9 hektar, tak ada penduduk dan hanya ada karang dan pasir putih. Dalam kenyataannya kemudian, biarpun mungil, Sipadan-Ligitan ini adalah tambang devisa karena mampu menyedot turis dari berbagai sudut dunia.

Keindahan bawah laut Sipadan memang luar biasa. Para penyelam tahu, di sana ada ikan yang tergolong jarang dijumpai. Karang dan rumput lautnya juga indah dan unik. Bisnis wisata di pulau ini konon mencapai puluhan miliar rupiah tiap tahunnya. Itu sebabnya Malaysia mati-matian dengan pendiriannya dan rajin menanam ringgit untuk membangun puluhan resornya di daerah itu sejak 1980, ketika status hukum pulau ini masih mengambang.

Kekalahan telak Indonesia di Den Haag terjadi setelah hakim-hakim itu menelisik faktor kehadiran terus menerus, penduduk efektif, pengelolaan dan pelestarian alam. Dalam sidang itu, pertimbangan utama Mahkamah Internasional adalah penguasaan efektif yang dilakukan oleh Inggris, bukan Malaysia, yang dilakukan sejak 1969. Jejak-jejak legal Inggris di sana tampak nyata dalam pembuatan aturan, misalnya pungutan pajak penangkapan penyu sejak 1917, penerbitan ordonasi perlindungan satwa burung pada 1930-an, dan pembangunan serta pemeliharaan mercu suar di Pulau Sipadan sejak 1962 dan di Ligitan sejak 1963.

Mahkamah sama sekali tidak mempertimbangkan tindakan-tindakan yang dilakukan Malaysia setelah critical date pada 1969 untuk mendukung klaimnya. Langkah-langkah itu yang tak dilakukan Indonesia. Bahkan Indonesia tak memasukkan pulau kembar ini dalam peta resmi yang ada di Undang Undang Nomor 4 Tahun 1960, undang-undang yang mengatur batas-batas Indonesia. Dari itulah, Sipadan dan Ligitan adalah pelajaran berharga. Kekalahan di Den Haag ini sekarang hampir terulang denganb sengketa pulau karang Ambalat di dekat Sipadan. Ketika Malaysia sudah memberikan konsesi pengolahan minyak, pemerintah baru sibuk menjaga perairan di sana serta membangun mercu suar.

VII. DEKLARASI DJUANDA: DARI AKADEMIK KE POLITIK
Perdana menteri Ir H Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 mengumumkan sikap Republik Indonesia yang dalam jangka panjang mempunyai arti strategis bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk meningkatkan pembangunan dan memantapkan kesatuan nasionalnya. Dalam pernyataan yang diumumkan segera setelah sidang kabinet itu, dinyatakan oleh pemerintah bahwa mulai saat itu seluruh perairan yang mengelilingi dan yang terletak atau yang menghubungkan pulau-pulau Indonesia, tanpa memperhatikan luasnya, dianggap sebagai bagian yang integral wilayah Negara republik Indonesia dan berada di bawah laut-laut perairannya dianggap sebagai perairan pedalaman atau perairan nasional Indonesia.

Pelayaran oleh kapal-kapal asing melalui perairan Indonesia diperkenankan berdasar prinsip Indonesia diperkenankan berdasar prinsip lalu lintas laut damai (innocent passage) selama tidak melanggar kedaulatan dan keamanan Indonesia. Mulai saat itu, fungsi laut antara tidak lagi sebagai pemisah antara pulau-pulau Indonesia sebagaimana masa lalu, terutama di zaman kolonial, tetapi berubah menjadi alat pemersatu bangsa dan sebagai wahana bagi pembangunan, keamanan dan pertananan nasional.

Alasan yang dikemukakan antara lain secara geografis Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau. Demi menjaga kesatuan teritorialnya, dan melindungi seluruh kekayaan alamnya, seluruh pulau dan laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan. Di samping itu, masalah keamanan Indonesia juga menjadi bahan pertimbangan. Dinyatakan pula bahwa lebar laut wilayah Indonesia yang sebelumnya adalah tiga mil dari pantai masing-masing pulau, kini menjadi 12 mil diukur dari garis-garis dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluar (point to point theory). Dengan pernyataan ini, luas wilayah Indonesia sekaligus berkembang dari kiora-kira dua juta kilometer persegi menjadi kira-kira lima juta kilometer persegi.

Dalam hubungan ini perlu kiranya dicatat berbagai persoalan yang selama ini dihadapi oleh Indonesia untuk memperjuangkan kesatuan dan pembangunan nasionalnya. Sudah sejak 28 Oktober 1928 pemuda Indonesia menyatakan tekadnya untuk menjadi satu bangsa yang hidup dalam satu tanah air yang berbahasa satu. Cita-cita kesatuan kejiwaan ini memakan waktu hampir 17 tahun untuk diwujudkan menjadi satu kesatuan kenegaraan dengan diproklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Sukarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Diperlukan pula perjuangan fisik lebih dari empat tahun untuk memperoleh pengakuan dunia internasional terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu dengan dicapainya Persetujuan Konferensi Menja Bunda (KMB) pada tanggal 27 Desember 1949.

Walaupun kemerdekaan Indonesia telah diakui dunia sejak tahun 1949, namun nyatanya Indonesia masih menghadapi berbagai pergolakan di dalam negeri yang merongrong Negara Kestuan. Antara lain munculnya negara federasi RIS pada tahun 1949 yang umurnya tidak lebih dari setahun, sulitnya mewujudkan kesatuan nasional karena belum kembalinya Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, antara lain karena perairan Indonesia, terutama Laut Jawa dan Laut Banda, masih sangat bebas dilayari oleh kapal-kapal perang asing, dan kekayaan laut Indonesia, khususnya perikanan, masih sangat banyak dimanfaatkan oleh nelayan asing dibanding dengan yang dimanfaatkan oleh nelayan Indonesia sendiri.

Tentu saja pengumuman pemerintah yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda itu mendapat tantangan yang sangat keras dari dunia maritim internasional karena mengangap bertentangan dengan Hukum Internasional yang berlaku waktu itu yang masih mengakui lebar laut wilayah tiga mil yang diukur dari masing-masing pulau. Hukum Laut Internasional belum secara jelas mengakui lebar laut wilayah 12 mil, apalagi mengakui laut dengan pulau suatu gugus kepulauan yang ribuan jumlahnya sebagai Kesatuan Kewilayahan.

Deklarasi Djuanda kemudian diperjuangkan dalam Konferensi PBB yang ke 1 tentang Hukum Laut di jenewa dalam bulan Februari 1958. Mengingat kerasnya oposisi, Indonesia mengambil kebijaksanaan untuk menarik kembali usulnya sebelum ditolak secara resmi oleh dunia internasional. Ternyata beberapa tahun kemudian keputusan untuk menarik kembali usul adalah suatu kebijaksanaan yang sangat tepat. Memang lebih bijaksana untuk mematangkannya terlebih dahulu sebelum mengajukannya dalam suatu konferensi internasional yang bila suasananya belum matang malahan dapat menolaknya, yang berarti dapat mematikan konsep itu sendiri.

Indonesia kemudian mengundangkan isi Deklarasi Djuanda melalui Undang Undang/Prp No 4/1960 pada bulan februari 1960 sebagai suatu persiapan untuk menghadapi Konferensi PBB ke 2 tentang Hukum Laut di jenewa dalam bulan April 1960. Tetapi Konferensi yang ke 2 ternyata tidak lagi membicarakan masalah Negara Nusantara, namun memusatkan perhatian kepada batas terluar dari laut wilayah, tiga mil, 12 mil, atau enam mil laut wilayah ditambah enam mil zona perikanan, yang ternyata kemudian juga gagal mencapai kesepakatan.

Sementara itu, Indonesia tetap mengimplementasikan Undang Undang/Prp No 4/1960, walaupun UU itu juga mendapat banyak protes dan kecaman dari dunia maritim internasional. Indonesia antara lain menetapkan peraturan pemerintah No 8/1962 tanggal 25 Juli 1962 untuk mengatur lalu lintas laut damai bagi kendaraan air asing yang melalui perairan Nusantara Indonesia, dan keppres No 103/1963 yang menetapkan seluruh perairan Nusantara Indonesia sebagai satu lingkungan laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan Laut Republik Indonesia.

Baru sepuluh tahun kemudian, yaitu sejak tahun 1967 timbul kembali berbagai pemikiran di dunia internasional untuk membahas kembali masalah-masalah kelautan yang antara lain disebabkan oleh makin banyaknya negara-negara yang baru merdeka, terutama di Asia dan Afrika yang merasa tidak pernah ikut membuat Hukum Laut Internasional pada masa lalu, dan karena itu kini ingin lebih berperan dalam menentukan dan membela kepentingannya.

Timbul suara-suara kembali untuk mengadakan Konferensi Hukum Laut Internasional PBB ke 3. Indonesia melihat kesempatan ini untuk memperjuangklan lagi pengakuan dunia internasional terhadap konsepsi kesatuan kewilayahannya sebagai salah satu tiang utama bagi negara kesatuan Republik Indonesia dalam wadah Negara Nusantara. Setelah melalui persiapan beberapa tahun, Indonesia ikut sejak tahun 1969, Konferensi PBB yang ke 3 tentang Hukum Laut dimulai pada bulan Desember 1973, atau 16 tahun sejak Deklarasi Djuanda.

Indonesia sudah merasa confident untuk mengajukan lagi konsepsi Kesatuan Kewilayahan negara-negara kepulauan, seperti Indonesia, setelah mengadakan serangkaian upaya penggalangan intensif melalui berbagai forum resmi dan forum ilmiah atau akademis pada tingkat internasional untuk mendapat dukungan, terutama dari sesama negara kepulauan, negara-negara Asia-Afrika, khususnya yang tergabung dalam Asian African Legal Consultative Committee (AALSCC), negara-negara yang berkembang, dan negara-negara tetangga.

Indonesia dalam Konferensi Hukum laut PBB ke 3 memperjuangkan konsep Kesatuan Kewilayahan Nasional yang bukan saja suatu kessatuan antara darat dan laut, tetapi juga mencakup suatu kesatuan dengan wilayah udara di atasnya dan seluruh kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia. Kesatuan Kewilayahan yang mencakup empat unsur inilah yang kemudian secara tersendiri diakui dalam Konvensi Hukum laut PBB di Montego Bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 1982, atau 25 tahun setelah Deklarasi Djuanda. Pada tanggal 31 Desember 1985, Indonesia meratifikasi konvensi melalui Undang Undang No 17/1985, yang berlaku secara internasional sejak 16 November 1994, atau satu tahun setelah ratifikasi ke 60 oleh Guyana pada tanggal 16 November 1993.

Dengan diterimanya pula konsepsi zone ekonomi eksklusif (ZEE) selebar 200 mil dari garis-garis dasar perairan Nusantara dan konsepsi Landas Kontinen sampai ke batas terluar continental margin dalam Konvensi Hukum laut 1982, maka kawasan sumber-sumber kekayaan alam Indonesia juga sudah meluas. Dengan Wawasan Nusantara, ZEE dan landas Kontinen (Benua Maritim indonesia), maka kawasan kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi Indonesia kini telah meluas menjadi kira-kira dua juta kilometer persegi pada waktu proklamasi menjadi kira-kira delapan juta kilometer persegi, termasuk enam juta kilometer persegi di antaranya di laut dan di udara.

Deklarasi Djuanda merupakan salah satu dari tiga tiang utama kesatuan negara dan bangsa Indonesia, yaitu Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah pemuda 28 Oktober 1928, Kesatuan kenegaraan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dan Kesatuan Kewilayahan yang diumumkan oleh Perdana Menteri Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957.

VIII. NEGERI JIRAN ITU: DARI MALAYA KE MALAYSIA
Sejarah masa lampau suatu negara selalu meninggalkan serentetan pilihan bagi masa kini. Demikian pula keputusan-keputusan politik yang harus diambil pada masa kini, sangat banyak dipengaruhi oleh penekanan-penekanan pada masa lampau. Hal itu ulalah yang kini dialami oleh Negara Malaysia. Konsep negara federal yang dianut oleh Malaysia tidak terlepas dari hubungan kesembilan kerajaan yang terdapat di negeri itu dengan pihak kolonial yang pernah mendudukinya seperti Portugis, Belanda, dan Inggris. Ketiga penjajah imperialis itu masih mengakui eksistensi mereka walaupun memanfaatkannya untuk kepentingan kolonial.

Gagasan pemerintahan federasi negara Melayu dilakukan pertama kali oleh Inggris dengan menggabungkan kerajaan-kerajaan perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang pada tahun 1895. Di sini kekuasaan sultan masih diakui secara terbatas. Akan tetapi sultan tidak boleh langsung menangani pemerintahan tanpa seizin Dewan Negara yang dipimpin oleh Residen Inggris.

Selain itu Pemerintah Inggris juga membentuk pemerintah konfederasi di wilayah yang diambilalihkan dari Kerajaan Siam, seperti di kedah, Perlis, kelantan dan trengganu, sedangkan Johor juga dimasukkan dalam kelompok konfederasi ini pada tahun 1909. Dalam pola kedua ini kekuasaan sultan lebih besar, dan pemerintahan tetap berada di tangan orang Melayu sebagai Menteri Besar, sementara Inggris hanya berperan sebagai penasihat.

Di Penang, Malaka dan Singapura (straits settlements) Ingris berkuasa secara penuh, tanpa campur tangan sultan. Penguasaan itu dilakukan berdasarkan perjanjian saling membantu dengan para sultan yang dulu menguasai ketiga daerah itu. Sabah, Sarawak dan Brunei baru dapat dikuasai oleh British Military Administration (BMA), setelah berakhirnya Perang Dunia II, di mana Inggris diberi kekuasaan oleh PBB untuk menjadi protektorat ketiga wilayah itu.

Pada tanggal 1 April 1946, Pemerintah Inggris di London mempersiapkan konstitusi baru bagi kesembilan kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka dengan membentuk pemerintahan federasi Malayan Union yang dipimpin oleh Gubernur Ingris. Dalam konstitusi itu juga dinyatakan bahwa semua warga negara Malaya mempunyai hak politik dan teritorial yang sama dalam mencapai suatu pemerintahan sendiri. Pernyataan Pemerintah Inggris secara sepihak ini ditentang oleh raja-raja Melayu dan ketua UMNO datuk Onn bin Jafar. Mereka menuntut agar dilibatkan dalam penyusunan konstitusi baru ini.

Akhirnya tercapailah kesepakatan untuk membentuk Negara Federasi Malaya, di mana setiap kerajaan masih diakui kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian penduduk asli Melayu, 55 persen, memperoleh hak istimewa dalam politik, sedangkan keturunan Cina, 35 persen, dan India, 10 persen, diakui sebagai warga negara yang harus tunduk kepada pemerintahan kerajaan Melayu setempat. Federasi Malaya itu akan dipimpin oleh Komisaris Tinggi Inggris mulai tanggal 1 Februari 1949 sampai diadakannya Pemilihan Umum yang akan dibentuk pemerintahan sendiri.

Malaya, sebagai cikal bakal Malaysia, memperoleh kemerdekaannya, lebih tepatnya pemerdekaan untuknya, pada 31 Agustus 1957, pada hari Sabtu. Hal ini bertepatan dengan 4 Safar 1377 H. sekalipun agak terlambat, tetapi Malaya lebih beruntung, karena kemerdekaan dicapai secara damai, secara evolusi, bertahap dan kurang banyak meminta korban. Malaysia modern dimulai dengan penjajahan Inggris pada abad ke 18 dan ke 19. Dengan kedatangan kolonialis dan imperialis itu mulailah sistem kolonialisme di Tanah Melayu.

Ingris menggunakan berbagai cara dan alasan agar berkuasa di Tanah Melayu itu, dengan memperalat kekuasaan raja-raja boneka atau membuat peraturan-eraturan atau akta yang membolehkannya berkuasa sepenuhnya dalam politik. Kekuasaan kolonial Inggris dimulai dengan merampas Pulau Penang dari Kerajaan Kedah pada tahun 1789, dan diikuti dengan pendudukan Singapura pada tahun 1819. Sebenarnya Inggris sudah berkuasa di Malaka pada tahun 1795-1818, sesudah itu Malaka diserahkan kepada Belanda. Hanya dengan tercapainya Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824 barulah Malaka dikuasai Inggris. Sebagai gantinya Inggris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda. Ketiga negeri ini kemudian bersatu di bawah pemerintahan negeri-negeri Selat pada tahun 1826.

Setelah mantapnya kekuasaan di Malaka, Inggris meluaskan pengaruhnya ke Naning dengan memaksa penduduk setempat membayar pajak kepadanya. Tetapi Ingris ditentang Penghulu Naning Dol Said yang menganggap naning sebagai negeri bebas. Akibatnya meletuslah Perang naning 1831-1832, pada tingkat awal Inggris dapat dikalahkan, tetapi dengan bantuan angkatan perang yang besar akhirnya Inggris menang. Inggris hanya menanti masa dan peluang untuk memaksakan kekuasaannya ke Negeri-negeri Melayu yang lain. Kesempatan ini datang dengan adanya golongan raja-raja Melayu yang tamak kuasa dan tahta, sehingga mengundang orang-orang asing kulit putih untuk membantu mereka.

Dahulu Sultan Abdullah di Kedah yang mengharapkan kehadiran Inggris, menulis dua pucuk surat menyatakan kesediaannya menyerahkan Pulau Penang jika Inggris dapat membantunya dari ancaman Bugis dan Siam. Kesempatan yang sama timbul apabila terjadi peperangan merebut tahta di Perak. Raja Ismail yang naik tahta sebagai sultan, tetapi Raja Abdullah menganggap dirinya sebagai waris yang sah. Melalui WH Rad, Raja Abdullah mengirim surat kepada Andrew Clarke Gubernur Negeri-negeri Selat di Singapura untuk membantunya. Tahun 1874, Andrew Clarke tiba di Pulau Pangkor dengan dua kapal perang dan sebuah kaal api. Dengan ancaman senjata, tercapailah perjanjian pangkor 1874 yang menandakan perluasan kuasa kolonial di Tanah Melayu secara tidak langsung (indirect rule), dengan pelantikan Residen sebagai penguasa tunggal.

Dengan alasan menghapuskan bajak laut di Negeri Selangor dan ajakan Tengku Kudin untuk menentang Raja Mahadi, Andrew Clarke segera mengirim empat kapal perang dari Cina dan lima kapal perang Negeri-negeri Selat ke pantai Selangor 6 Februari 1874. Dengan adanya ancaman ini, Desember 1874, Sultan Abdul Samad terpaksa menyambut JG Davidson sebagai Residen Selangor yang pertama.

Inggris mengambil juga kesempatan pada Datuk Bandar dan Datuk kelana ketika keduanya saling berebut kekuasaan di Sungai Ujong Negeri sembilan. Datuk kelana mohon kepada Andrew Clarke agar pihak Inggris segera mengirimkan kapal perang dan tentara pada akhir 1874. Dengan kekalahan datuk bandar, Datuk Kelana diangkat sebagai pemerintah Sungai Ujong, tetapi diwajibkan menerima nasihat Residen British. Kekuasaan British kemudian berkembang ke Seri menanti, jelebu dan rembau. Pada tahun 1895 sembilan negeri, termasuk Sungai Ujong, akhirnya berhasil disatukan dalam Negeri Sembilan dan terpaksa menerima seorang Residen British sebagai penasihat dalam pemerintahan sehari-hari.

Inggris mengirim kapal perang pada tahun 1888 setelah Bendahara wan Ahmad membatalkan perjanjian dengan perusahaan British di Pahang. Dengan ancaman ini, Wan Ahmad menyerah dan, sebagai syarat diakui sebagai Sultan Pahang, menerima kehadiran Residen British. Dalam masa setahun Inggris berhasil menguasai Perak, Selangor dan Sungai Ujong. Sedangkan Pahang dikuasainya kemudian. Ternyata penguasaan Pahang membebankan Inggris. Dalam usaha mengatasi masalah keuangan dan memusatkan kekuasaannya di Pahang, Inggris menumbuhkan Negeri-negeri Melayu Bersekutu (Federated malay State) pada tahun 1895. Tindakan ini berhasil menyatukan administrasi pemerintahan keempat negeri di bawah seorang Residen Jenderal, yaitu Frank Swettenham.

Kerajaan Persekutuan (Federation) adalah sebuah persatuan negeri-negeri yang dibangun untuk tujuan bersama dan setiap negeri tetap mengekalkan otonomi dalam perkara-perkara tertentu. Dalam praktiknya, seluruh kuasa legislatif dalam negeri-negeri Melayu diletakkan di bawah pengawasan seorang Residen Jenderal, sehingga merupakan penyerahan politik sultan.

Inggris mencari jalan meluaskan wilayah jajahannya di tanah Melayu. Kesempatan datang ketika Siam yang ragu-ragu terhadap pengembangan kuasa British dan Prancis membuat Perjanjian Bangkok 1909 yang memindahkan semua haknya di Kedah, Perlis, kelantan dan terengganu kepada British. Inggris berjanji tidak akan campur tangan di Siam. Hasil perjanjian ini Inggris dapat meluaskan sistem residen ke Negeri Kelantan 91910), Terengganu (1919), Kedah (1923) dan Perlis (1930). Johor yang lama di bawah hegemoni Inggris menerima residen pada tahun 1914. Karena tidak bergabung dengan Negeri-negeri Melayu Bersekutu di bawah kuasa residen jenderal, dinamakan Negeri-negeri Melayu Tidak Bersekutu (Unfederated Malay State). Pada tahun-tahun 1920-an dan 1930-an Inggris mencoba menggabungkan seluruh negeri-negeri Melayu, tetapi usaha ini gagal.

Hakikatnya Inggris berhasil menguasai seluruh Tanah Melayu melalui sistem residen atau secara indirect rule, namun Inggris masih belum puas. Untuk menyempurnakan impiannya mengambil kuasa secara de jure atas seluruh negeri-negeri Melayu, Inggris mengutus Harold MacMichael pada tahun 1946 untuk meminta raja-raja Melayu menyerahkan kuasa penuh mereka kepada Inggris, dan bersatu di bawah konstitusi Malayan Union.

Malayan Union ini mendapat tantangan di kalangan orang-orang Melayu yang membentuk UMNO. Sebagai gantinya lahirlah Persekutuan atau Federasi Tanah Melayu pada tahun 1948. di kalangan orang-orang Melayu, terutama UMNO, pembentukan persekutuan ini dianggap sebagai kejayaan mereka, karena dapat mengembalikan kedaulatan raja-raja Melayu di negeri masing-masing. Persekutuan memegang kuasa-kuasa tertentu, namun kuasa negeri atau sultan tetap kekal dalam beberapa hal.

Jelaslah kolonialisme mendapat kuasanya secara kekerasan dan paksaan. Untuk melicinkan pemerintahan dibentuk federalisme. Di samping kolonialisme dan federalisme, penjajah memperkenalkan demokrasi di Tanah Melayu. Dalam sejarah politik Malaysia, sistem demokrasi dikatakan bermula ketika diadakan pemilihan umum pertama kali di kawasan Kuala Lumpur pada Februari 1952. Sebanyak 12 kursi dipertandingkan, atau diperebutkan, dan yang ikut serta ialah gabungan UMNO-MCA dan Independence Party of Malaya (IMP).

Pasca pemilihan tingkat munisipal atau distrik ini, baru tahun 1955 Inggris mengadakan pemilihan umum pertama di Tanah Melayu. Dengan ini berarti pada tahun 1955 Persekutuan Tanah Melayu dianggap mulai menjadi negara yang memerintah sendiri, dengan sistem demokrasi parlementer. Inggris telah menyiapkan asas-asas politik dan pemerintahan yang kokoh dengan tercapainya kemerdekaan pada 31 Agustus 1957. Sistem federalisme telah diluaskan pada tahun 1963 dengan dilahirkan Malaysia, yang meliputi Tanah Melayu, Sabah, Sarawak dan Singapura.

Pada tanggal 31 Agustus 1957 Federasi Malaya dinyatakan sebagai negara yang merdeka dan terbentuknya pemerintahan federal di bawah pimpinan Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman Putra al-Haj setelah memenangkan pemilu yang diadakan sebelumnya. Ia merupakan Ketua UMNO yang menggantikan Datuk Onn bin Jafar yang memenangkan Pemilu 1957 dengan melakukan aliansi dengan partai kelompok Cina (MCA) dan partai kelompok India (MIC) dengan meraih suara secara bersama 81,7 persen. Mulai tanggal 16 September 1963 Federasi Malaya itu diperluas dengan nama federasi Malaysia, yaitu dengan memasukkan Sabah, Sarawak dan Singapura, yang kemudian keluar pada tahun 1965 dan berdiri sendiri sebagai negara Singapura yang merdeka.

IX. P E N U T U P
Konsep negara kepulauan dilahirkan dari Deklarasi Djuanda. Awalnya sempat ditentang banyak negara. Kedaulatan laut Indonesia diperoleh melalui jalan panjang. Mulanya, perundingan Belanda-Indonesia melalui Perjanjian Linggarjati, 10 November 1946, secara de facto hanya mengakui wilayah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. Hasil perjanjian Renville, 17 januari 1948, Belanda dinyatakan berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia. Kedaulatan ini pada Konferensi meja Bundar, yang menghasilkan Piagam penyerahan Kedaulatan 27 Desember 1949, diwujudkan dalam satu negara, yakni republik Indonesia Serikat. Problem kedaulatan di laut mulai terasa, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia tegak kembali menggantikan RIS, 17 Agustus 1950.

Berdasarkan aturan Hindia belanda, yakni Ordonansi Lautan Territorior dan Lingkungan Laut Larangan (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie) tahun 1939, dinyatakan lebar laut teritorial Hindia Belanda adalah 3 mil laut atau sekitar 5,5 kilometer. Dengan laut teritorial seperti itu, ribuan pulau-pulau di Indonesia saling terpisah. Ini membahayakan pengamanan negara dan menyulitkan pengaturan di bidang pabean.

Karena alasan keamanan itu, Kabinet Ali Sastroamidjojo kedua (24 Maret 1956-14 maret 1957) memandang perlu adanya terobosan baru di bidang hukum laut. Dibentuklah Tim Interdepartemen Pembaharuan Hukum Laut. Kabinet Djuanda, pengganti Kabinet Ali II, kemudian menyempurnakan tim beranggotakan belasan orang tersebut. Antara lain dengan memasukkan nama Mochtar Kusumaatmadja seorang master hukum lulusan Yale University di Amerika.

Pada tahun 1957, berlangsung persiapan rangkaian sidang International Law Comission, sebuah organ PBB untuk membuat Konvensi Hukum Laut. Sebagian anggota Tim Interdepartemen itu diangkat menjadi anggota delegasi. Konsep negara kepulauan menjadi jualan delegasi Indonesia. Sebuah terobosan baru. Langkah pertama Indonesia mengajukan usul pembahasan konsep negara kepulauan (archipelagic state) pada Sidang umum PBB tahun itu diterima dan dimasukkan dalam naskah (draft articles) ILC. Momentum ini segera diraih Djuanda untuk mengumukan secara sepihak berlakunya hukum laut baru di Indonesia.

Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 ini kemudian dikenal luas sebagai deklarasi Djuanda. Ini langkah politik berani karena konsep hukum baru itu, sebenarnya belum berlaku secara internasional. Putaran sidang Konvensi Hukum Laut jenewa itu sendiri baru dimulai tahun 1958. Deklarasi Djuanda memberlakukan lebar laut teritorial sepanjang 12 mil (22,2 kilometer) dari titik surut terendah. Selain itu, laut pedalaman antarpulau harus dianggap sebagai satu kedaulatan wilayah itu.

Deklarasi Djuanda mendapat reaksi keras dunia internasional. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan Selandia Baru tidak mengakui klaim Indonesia. Hanya lima negara anggota PBB saja yang mendukung. Negara besar yang mendukung Cuma Uni Soviet dan republik Rakyat Cina. Selebihnya tiga negara kecil di Amerika Latin. Namun, Indonesia tak gentar. Konsep negara kepulauan yang diadopsi dari konsep akademis hukum kepulauan (archipelago) kajian Universitas Harvard dan International Law Association tahun 1930-an ini, terus disorongkan. Konsep itu tidak jelas, karenanya tidak laku.

Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 menghasilkan empat konvensi yakni, yang mengatur laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan sumber daya hayati laut, landas kontinen, kemudian konvensi tentang laut lepas. Konsepsi negara kepulauan Indonesia akhirnya diterima dan menjadi kesepakatan internasional enam juga kilometer persegi laut milik Indonesia saat ini, sungguh tak terbayangkan pada masa awal merdeka.

Sebenarnya, lima belas tahun sebelum Deklarasi Djuanda 1957, telah terjadi suatu perdebatan para founding fathers dalam menentukan wilayah Indonesia. Di Gedung Tjuo Sang-in di Jalan Pejambon, Jakarta, 11 Juli 1945, dengan dibantu wakilnya, Raden Pandji Soeroso, dr KRT Radjiman Ketua Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI menyiapkan pemungutan suara untuk menentukan wilayah Indonesia Merdeka.

Tiga pilihan yang tersedia adalah, bekas Hindia Belanda, bekas wilayah Hindia Belanda ditambah malaya, Borneo Utara, papua, Timor Portugis dan kepulauan sekelilingnya, serta bekas wilayah Hindia belanda ditambah malaya dikurangi Papua Barat. Lalu komisi pemungutan suara beranggotakan R Otto iskandar Dinata, Abikoesno Tjokrosoejoso dan Johannes Latuharhary dibentuk. Pemungutan suara pun dilakukan. Dan ternyata, dalam rapat 11 Juli 1945 itu, 39 orang dari 66 anggota BPUPKI memilih opsi kedua, sementara 19 orang memilih opsi pertama, 6 orang memilih opsi ketiga, dan seorang memilih blangko.

Maka di tengah hari itu pula diputuskan bahwa wilayah Indonesia Merdeka adalah bekas jajahan Hindia Belanda, ditambah Malaya, Borneo Utara, papua, Timor Portugis dan pulau-pulau di sekelilingnya. Namun, keputusan ini tidak dimasukkan dalam naskah Undang Undang dasar yang mereka rancang. Rupanya harapan untuk merengkuh Malaya ke pangkuan republik Indonesia tak pernah berhasil. Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kekuasaan jepang telah punah, sementara pasukan Inggris sudah kembali menancapkan kekuasaannya di Semenanjung Malaya. Kesibukan Republik Indonesia dalam menghadapi agresi militer Belanda dan upaya pemimpin kaum Melayu dalam mengakomodasi janji kemerdekaan Inggris akhirnya semakin merenggangkan hubungan antara kedua negeri.

Keinginan agar kedua negeri serumpun itu bersatu sebenarnya masih terus bersemi pada tahun 1960-an. Brunei dan Sarawak pun pernah menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan Indonesia. Sayang, politik konfrontasi Presiden Sukarno pada akhir masa kepemimpinannya justru meruntuhkan semua cita-cita yang pernah didukungnya itu.

Sementara, salah seorang founding fathers, Muhammad Yamin, dengan prinsip negara yang utuh, ia membuat konsep lima daerah yang akan menjadi wilayah Indonesia merdeka. Kelima daerah itu adalah daerah bekas jajahan Hindia Belanda, yakni Sumatera, Jawa, sebagian Borneo, Selebes, Sunda Kecil, Maluku, dan pulau-pulau di sekelilingnya. Daerah peperangan istimewa, yakni Tarakan, Morotai, Papua dan Halmahera. Daerah Timor Portugis dan Borneo Utara. Semenanjung Malaya dengan pulau-pulau di sekelilingnya. Daerah Malaya yang empat, yakni Terengganu, kelantan, kedah, dan Perlis. Tanah Malaya dan daerah yang empat di semenanjung itu ialah tanah Indonesia asli dan penduduk aslinya adalah bangsa Indonesia sejatinya, ujar Yamin.

Untuk memperkuat pendapatnya, Yamin menyitir kitab Negarakertagama. Namun Hatta berpendapat bahwa batas-batas Indonesia tidak lebih dari bekas jajahan Hindia Belanda. Mengenai wilayah Malaya, Hatta menyarankan agar Indonesia menyerahkan keputusan itu kepada rakyat Malaya. Ia meminta agar para koleganya yang semagatnya berkobar-kobar jangan sampai menganjurkan politik imperialisme.

Sukarno pernah membantah bahwa dalam pikirannya tebersit nafsu imperialisme. Ia menjelaskan, selama 25 tahun berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, ia tak pernah menuntut bahwa Indonesia hanyalah Hindia Belanda. Ia mengaku pernah bercita-cita tentang Pan Indonesia, yang meliputi Malaya, Papua, dan bahkan Filipina. Ia pun tidak setuju jika penentuan wilayah Indonesia dibicarakan dengan Belanda maupun Inggris. Sebab, seluruh Kepulauan Indonesia, Malaya, Borneo Utara, Papua, dan Timor Timur telah berada di tangan Dai Nippon. Tangan dai Nippon itulah, demikian Bung Karno muda, yang akan menentukan pula, apa yang akan menjadi daerah negara Indonesia itu nanti.

Ironisnya, pulau-pulau perbatasan Indonesia yang diperjuangkan para pendiri bangsa itu kini lenyap satu persatu. Pulau Sipadan dan Ligitan telah menjadi milik malaysia, perairan Ambalat tengah terancam. Sementara itu Pulau Nipah di Riau nyaris tenggelam akibat reklamasi di Singapura, dan Pulau Miangas di utara Sulawesi kini banyak dihuni warga Filipina. Sesungguhnya Indonesia sudah sejak 1957 mempunyai visi kelautan tersendiri dalam wadah Negara Nusantara, dan secara berangsur-angsur memperjuangkan dan mengimplementasikannya di dalam negeri, di kawasan sekitar maupun di dunia ternasional. Indonesia kemudian telah pula mengembangkan suatu konsepsi pembangunan yang didasarkan kepada Kesatuan Nusantara.

Kini, tamsil Abdoel Kahar Moezakkir salah seorang founding fathers lainnya, terasa tepat dan mengena. Pada 10 Juli 1945, ia sempat menganalogikan wilayah negara dengan halaman rumah. Menurut dia, ketika halaman rumah ditetapkan, yang terpenting adalah bagaimana mempertahankan halaman itu. Rupanya, halaman rumah itu pagarnya kurang tangguh. Kini malah terancam keropos.