Minggu, 13 September 2009

LIPATAN MASA LAMPAU INDONESIA

SAMIN SUROSENTIKO
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Wajahnya kuyu, kepalanya digunduli, tangannya diikat, bercelana kolor hitam nan lusuh. Siang itu, setelah semalanan disekap sebagai tahanan, ia dihadapkan kepada Raden Pranolo, Asisten Wedana Randublatung, Blora, Jawa Tengah. “Ki Samin, kitabira durung tumanem aneng kalbu (Samin, kitab andalanmu ternyata belum tertanam di dalam kalbu)”, ejek Pranolo, yang mecoba menjatuhkan mental Ki Samin. Tapi Ki Samin tak terpancing, juga tak berkomentar. Pemilik tubuh kerempeng itu hanya menjawab dengan sorotan matanya yang tajam. Karismanya sebagai pemimpin pergerakan tak surut.

Peristiwa itu terjadi 40 hari setelah Ki Samin dikukuhkan pengikutnya sebagai Raja Jawa, dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam, 8 November 1907. Ia dianggap sebagai Ratu Adil yang akan membawa bumi pertiwi menuju kesejahteraan dan ketenteraman. Setelah 40 hari, Ki Samin mendapat undangan musyawarah dari Wedana Randublatung. Bersama delapan pengikutnya yang berpakaian hitam-hitam dan ikat kepala, Ki Samin memenuhi undangan itu.

Ternyata undangan tersebut adalah khas tipu muslihat penjajah, sebagaimana pernah dialami Pangeran Diponegoro. Begitu hadir, Ki Samin langsung ditangkap dan semalaman disekap di kewedanaan. Esok harinya, setelah mendapat ejekan dan cemoohan dari Raden Pranolo, ia diserahkan kepada serdadu Belanda. Oleh Belanda, Ki Samin bersama delapan pengikutnya itu dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia meninggal di sana pada 1914.

Ki Samin, lengkapnua Samin Surosentiko, yang juga dikenal dengan sebutan Samin Surontiko, terlahir dengan nama Raden Kohar pada 1859 di Desa Ploso, Kediren, Randublatung. Ayah Kohar, raden Surowidjojo, adalah anak raden Mas Adiati Brotodiningrat alias Pangeran Kusumaningayu, Bupati Sumoroto, sekarang masuk wilayah Tulungagung, Jawa Timur, dari tahun 1802 hingga 1826. Walaupun Surowidjojo keturunan ningrat, pikirannya selalu diusik oleh kemiskinan yang ia lihat di sekitar kadipaten. Ketika usianya menginjak dewasa, Surowidjojo meninggalkan kadipaten dan memimpin kaum bromocorah yang beroperasi di sekitar Bengawan Solo di wilayah Bojonegoro.

Surowidjojo beroperasi bak Robon Hood. Ia menjarah rumah-rumah Belanda dan para lintah darat yang menjerat kaum melarat. Hasil jarahannya dibagikan kepada kawulo alit yang miskin. Tatkala Kohan menginjak remaja, Surowidjojo menghilang, raib bak ditelan bumi. Sebelum menghilang, ia sempat meninggalkan kitab Jamus Kalimasada kepada anaknya, Raden Kohar. Jamus Kalimasada ditulis dalam bahasa Jawa, dalam bentuk puisi dan prosa, berisi petunjuk hidup yang berorientasi pada pengendalian diri.

Raden Kohar mewarisi sifat-sifat ayahnya, sangat peduli pada nasib wong cilik. Dari sinilah ia akhirnya menyusun kekuatan untuk menentang Belanda dengan caranya sendiri. Ia mengganti namanya menjadi Samin, yang lebih bernapas kerakyatan. Pengikutnya pun mengenal dia sebagai Samin Surosentiko. Di usianya yang ke 40, Samin mulai menyebarkan ajarannya. Bermula di Desa Klopoduwur, Blora. Di kegelapan malam bersuluh obor, Ki Samin duduk di atas oro-oro, perbukitan, dikelilingi pengikutnya. Ia mengajak masyarakat menjalani hidup dengan pasrah, sabar, tahan uji, dan menerima apa adanya, bagaikan air telaga yang tenang, tak bersuara.

Saminisme berpangkal pada ajaran kesusilaan. Inilah roh yang menggerakkan sikap kemandirian. Mereka juga mengagungkan tokoh pewayangan Pandawa Lima, dengan penekanan pada Puntadewa. Dalam kisah pewayangan, Puntadewa punya sifat tak mau mencampuri urusan orang lain, jujur, tekun, dan berkata apa adanya. Saminisme juga menjelma menjadi falsafah sami-sami amin, yang punya arti sama rata, sama sejahtera, dan mufakat bulat. Untuk bisa mufakat secara bulat itu, diperlukan kepemimpinan. Maka, kepemimpinan Samin pun menyebar ke berbagai pelosok daerah, dengan pemimpin kelompok atau yang menjadi sesepuh.

Awalnya, gerakan Samin tak dianggap oleh Belanda. Tapi ternyata ia mengalami kemajuan cukup pesat. Pada 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa ada 722 pengikut Samin yang tersebar di 34 desa di wilayah Blora dan Bojonegoro. Dua tahun kemudian pengikutnya mencapai 5.000-an orang tersebar di berbagai pelosok Blora, Pati, Madiun, dan Bojonegoro. Gerakan Samin menunjukkan sosoknya dan mulai berani berkata tidak terhadap pemerintahan penjajah.

Kaum Samin mulai berani menentang Belanda dengan cara tidak mau membayar pajak. Ketika petugas pajak datang, mereka mengeluarkan uang dan bertanya, “Ini uang siapa?” sang petugas pajak menjawab, “Itu uangmu”. Maka, orang Samin pun diam dan tetap tak mau membayar pajak. Mereka juga berulah. Ketika petugas pajak datang, mereka diam seribu bahasa: tutup mulut. Dalam pandangan komunitas Samin, bumi yang dipijak dan hasil buminya adalah milik mereka, wong Jowo.mereka mengambil kayu di hutan jati sekehendak hati mereka. “Wong, kami yang menanam, kok dikenai pajak”, kata mereka. “Bumi ini bukan kita yang bikin, melainkan Tuhan”, ujar kaum Samin.

Mereka menolak penjajahan, selain tak mau membayar pajak. Juga tak mau ikut berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk membuat jalan dan sejenisnya., sikap non-kooperatif dengan kaum penjajah ini mau tak mau menggiring kaum Saminis mulai mengisolasi diri, antara lain masuk ke hutan. Kumis panjang terpilin dan pakaian hitam-hitam adalah ciri khas komunitas Samin, setidaknya sampai 1980-an.

Setelah Ki Samin dibuang dan meninggal di pengasingan, ajarannya tetap disebarkan para pengikutnya. Para pengikut Ki Samin makin yakin akan kehebatan sang guru. Bahkan mereka kian terang-terangan melakukan pembangkangan. Saminisme berkembang sebagai ajaran dalam menjalani hidup. Tak hanya di wilayah Blora, melainkan juga ke Pati, Kudus, Grobogan, Madiun, dan bojonegoro.

Ki Samin memiliki sepasang anak; Karto Kemis dan paniyah. Suro Kidin, suami Paniyah, yang sekaligus murid setia Ki Samin, meneruskan perjuangan dan ajaran mertuanya. Ia menyebarkan Saminisme ke berbagai pelosok Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meski pernikahannya dengan Paniyah dikaruniai delapan anak, karena mereka masih kecil-kecil, tongkat estafet perjuangan pun diberikan kepada anak angkatnya bernama Surokerto Kamidin dari Tapelan, Bojonegoro.

Dialah yang menjadi penerus gerakan Samin dan membentuk perwakilan di wilayah Madin, Caruban, Lamongan, dan tentu Bojonegoro sendiri. Pada akhir 1920-an, Surokerto Kamidin menikah dengan gadis dari Dusun Jepang, yang juga telah menganut Saminisme. Dusun itu awalnya hanya dihuni 15 kepala keluarga dan 75 jiwa.

Dalam paham orang samin, selama tanah Jawa masih dicengkeram penjajah, selama itu pula mereka membangkang. Bahkan, ketika terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Mbah Engkrek, tokoh Samin dari Klopoduwur, Blora, ikut angkat senjata. Ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Surokerto Kamidin datang ke Jakarta dan menghadap Bung Karno. Ia bertanya, apakah tanah Jawa sudah merdeka? “Benar!” jawab Bung Karno. Mendengar jawaban itu, gembiralah Surokerto. Lalu ia pulang dengan suka-cita, mengabarkan kepada warga dusunnya. Ia juga keliling Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengabari para pengikut Samin bahwa wong Jowo wis dipimpin wong Jowo, orang Jawa sudah dipimpin orang Jawa. Karena sudah merdeka, mereka pun mau membayar pajak, mau bersekolah, dan mau bergotong royong membangun jalan.

Nilai-nilai kejujuran yang tertanam pada diri masyarakat Samin itu menjadikan warga saling percaya satu sama lain. Termasuk terhadap nilai-nilai baru yang datang dari luar yang memang dipandang baik dan benar. Untuk bisa menjalani hidup secara Samin yang paripurna, seseorang harus mampu mengendalikan delapan unsur dalam dirinya. Empat unsur pertama dilambangkan dengan warna. Putih melambangkan sifat dasar, kuning sebagai pedoman tingkah laku, merah mewakili sifat nafsu, dan hitam mewakili sifat senang. Sedangkan empat unsur kedua berkaitan dengan pancaindra. Yaitu penciuman, perasaan, pendengaran, dan penglihatan. Berdasarkan delapan unsur tadi, masyarakat Samin terikat oleh hukum yang harus ditaati.

Pertama, aja drengki seri, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedhog colong. Maksudnya, jangan berhati jahat, saling mengumpat, iri atas keberhasilan sesama, dan mengambil barang orang lain. Singkat kata, bila menemukan jarum di jalan pun, mereka tidak mau mengambilnya. Kedua, pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga bundhalane ana pitu. Artinya, berbicara dari angka lima dan sembilan ikatannya ada tujuh.

Jika aturan tersebut dilanggar, memang tidak ada sanksi pidananya. Yang ada hanya sanksi moral serta meraa rugi sendiri. Dan, sanksi moral itu lebih dahsyat, mereka yang melanggar akan tersingkir dalam pergaulan sehari-hari. Sedulur Sikep punya logika sendiri. Kejujuran, kelugasan, dan keluguannya terkadang membuat orang lain tersenyum. Selain kejujuran, kebersamaan juga menjadi ciri khas. Konsep gotong royong dan tolong menolong sesama warga menjadi hal biasa dalam komunitas Sedulur Sikep ini.

Di balik cerita yang mungkin terasa konyol, kejujuran masih terpelihara begitu rapi dan indah. Dari mereka, bisa belajar banyak untuk berbuat jujur!

Sedulur Sikep awalnya menganut apa yang dinamakan sebagai Agama Adam. Inti ajarannya adalah manunggaling kawula Gusti. Yakni, sifat-sifat Tuhan hendaknya melekat dan diamalkan setiap saat. Salah satu amalannya adalah puasa tiap hari. Puasa ala Samin ini bukan menahan lapar dan haus. Mereka tetap makan dan minum, tapi pantang membicarakan keburukan orang lain. Puasa mereka, tidak bohong, tidak iri, tidak dengki, tidak mengeluarkan sumpah serapah.
Ajaran kawula Gusti itu, di tanah Jawa, dipopulerkan Syekh Siti jenar. Dalam salah satu riwayat disebutkan, ajaran Samin mulanya bersumber dari agama Hindu-Dharma, juga Syiwa-Budhha sebagai sinkretisme antara Hindu dan Buddha. Dalam perjalanannya, ajaran Samin juga dipengaruhi ajaran Syekh Siti Jenar yang dibawa muridnya, Ki Ageng Pengging. Dari sini, ajaran kawula Gusti versi Siti Jenar berkembang.

Orang Samin memandang Tuhan, Ki Samin meninggalkan buku induk, Jamus Kalimasada, yang terdiri dari beberapa buku, antara lain kitab Serat Uri-uri Pambudi, buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi. Dalam kitab yang aslinya ditulis dalam bahasa Jawa itu, Ki Samin menulis: “Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari betal makmur ke betal mukaram ke betal mukadas juga sejengkal. Kelak, bila menusia meningal dunia, supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka. Hal ini seperti ajaran pendeta Jamadagni. Tekad Pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan dunia tanpa terikat oleh triloka itu diceritakan oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin menitis kepada bayi yang lahir, lahir kembali ke dunia. Karena itulah, pada waktu meninggal dunia, dia berusaha agar tidak salah jalan, yaitu kembali ke rahim wanita, jangan sampai menitis kembali pada bayi alias kembali lahir ke dunia …”

Dari sini terlihat, Ki Samin memandang bahwa roh manusia yang meningal tidak kembali lagi ke dunia, dengan menitis pada bayi atay binatang, tapi kembali ke Thannya, menyatu pada Tuhannya. Tentang Tuhan sendiri, Ki Samin menulis, “Adapun Tuhan itu ada, ada empat. Batas dunia sebelah utara, selatan, timur, dan barat. Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada. Adanya alam semesta dengan segala isisnya itu sebagai bukti bahwa Tuhan itu ada …”

Secara tradisional, Agama Adam itu dipakai juga sebagai syahadat untuk perkawinan. Jika menikah, lelaki Samin akan mengucapkan syahadat versi mereka. “Sejak Nabi Adam, pekerjaan saya memang kawin. Kali ini mengawini seorang perempuan bernama … Saya berjanji setia kepadanya, hidup bersama telah kami jalani berdua”. Begitulah cara masyarakat Samin menikah. Cukup kedua orangtuanya yang menikahkan, urusan pun beres. Jadilah mereka suami-istri. Tapi itu dulu. Sekarang sudah normal dan tertib, sesuai dengan ajaran agama Islam dan administrasi negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar