Senin, 28 September 2009

MANUSIA BUGIS DALAM DIMENSI BUDAYANYA

SIRI—PESSE SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Pola tingkah laku manusia Bugis Makassar yang terlihat dalam kehidupan dunia realitas mereka, merupakan suatu perwujudan tindakan yang berkaitan erat dengan unsur budaya yang di dalam masyarakat mereka dikenal dengan nama Siri. Dalam kehidupan manusia Bugis Makasar, Siri merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain daripada Siri.
Bagi manusia Bugis Makassar, Siri adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela Siri yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis Makassar akan bersedia mengorbankan apa saja. Termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya Siri dalam kehidupan mereka.
Manusia Bugis Makassar dalam usahanya untuk menegakkan harga diri atau martabat keluarga, sama sekali tidak memikirkan besarnya resiko sebagai akibat dari perwujudan tindakan yang dilaksanakannya itu. Di dalam masyarakat telah hidup atau tertanam suatu ungkapan yang terkenal, yaitu Ejatongpi na doing. Artinya, setelah berwarna merah, barulah terbukti udang. Udang sebelum dimasak berwama abu-abu, tapi setelah digoreng wamanya berubah menjadi merah.
Yang dimaksud dengan ungkapan tersebut adalah bahwa resiko dalam menegakkan Siri tidak pernah dahulu dipikirkan akibatnya, soal akibat adalah urusan nanti. Apakah nyawa sendiri akan hilang, atau akan dihukum puluhan tahun atau mungkin hukuman mati, itu bukan masalah yang perlu dipikirkan. Tapi yang penting Siri harus ditegakkan, apa pun akibatnya harus dilaksanakan.
Setelah tugas menegakkan Siri terlaksana, barulah diketahui akibat atau risiko itu. Dan pengertian "barulah terbukti udang", yakni bahwa akibat yang diterima kemudian bukanlah masalah lagi. Sebab semua telah terbukti dan terlaksana. Jadi mereka hanya menerima akibat itu sebagai suatu kenyataan dalam hidupnya.
Menurut kamus dari Matthes, Siri dijabakan dengan malu (schande). Diakui oleh Matthes bahwa penjabaran yang telah dilakukan baik dalam bahasa Indonesia, maupun dalam bahasa Belanda tidak mencapai makna yang sebenarnya. Kemudian CH Salam Basjah dan Sapena Mustaring memberikan suatu pengertian lebih konseptual sifatnya.
1. Siri itu sama artinya dengan malu
2. Siri merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap siapa saja yang menyinggung perasaan mereka. Hal ini merupakan kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukuman menurut norma-norma adat, jika kewajiban itu tidak dilaksanakan
3. Siri itu sebagai daya dorong, bervariasi ke arah sumber pembangkitan tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, untuk sesuatu pekerjaan atau usaha. (CH Salam Basjah dan Sapena Mustaring, 1966:5; Mattulada, op.cit.66)
Kemudian Casutto berpendapat pula bahwa Siri merupakan pembalasan yang berkaitan erat dengan kewajiban moral dalam konteks untuk membunuh manusia yang dianggap telah melanggar adat. Kemudian M Natzir Said mengatakan pula bahwa Siri itu adalah perasaan malu (krenking, beledeging) yang dapat menimbulkan sanksi, dari keluarga atau famili (verwantengroep) yang diangap telah melangar norma adat (M Natzir Said, 1962: 50; Mattulada, op.cit, 66).
Berangkat dari berbagai pandangan tentang konsep Siri seperti yang telah tergambar itu, maka jelas bahwa Siri mempunyai jangkauan yang meliputi semua aspek dari hidup dan kehidupan manusia Bugis Makassar. Namun ada beberapa hal yang patut diperhatikan tentang arti atau paranan Siri dalarn diri pribadi rnanusia yang bersangkulan. Adapun rnasalah yang patut untuk diperhatikan itu adalah rnenyangkut:
1. Penjabaran Siri dengan malu
2. Unsur dendarn
3. KewaJiban moral
Adalah menarik pandangan dari Matthes yang rnengatakan bahwa penjabaran yang dilakukannya tidaklah mencapai arti atau maksud yang sebenarnya. Dapatlah ditarik suatu garis lurus bahwa Siri bukanlah sekedar suatu perasaan rnalu yang umum terdapat dalam setiap pribadi manusia di muka bumi ini.
Akan tetapi Siri yang dibarakan dengan malu itu mempunyai suatu unsur yang unik, Unsur malu yang mempunyai keunikan itu adalah unsur yang membedakan pengertian rnalu itu dan pengertian yang dimiliki oleh kelompok-kelompok sosial lainnya (Abdullah, 1985: 40)
Pengertian malu bagi manusia Bugis Makassar, jikalau ini dijabarkan, adalah menyangkut masalah yang paling peka dalam diri mereka. Juga menyangkut faktor martabat atau harga diri, juga menyangkut reputasi dan kehormatan, yang kesemuanya ini harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan dunia realitas. Setiap anggota keluarga dan kerabat mempunyai kewajiban bersama untuk menjaga Siri itu agar tidak tercemar di mata masyarakat.
Anggota keluarga atau kerabat yang mempunyai tanggung jawab dalam melaksanakan tugas untuk menegakkan Siri, adalah berfungsi sebagai missi dari keluarga bersangkutan. Arti dari missi keluarga Siri itu, namun missi jtu mencakup pula kepentingan adat secara keseluruhan dalam kehidupan masyarakat.
Jadi, jelas, bahwa pengertian Siri bukanlah hanya sekedar berarti malu, seperti yang umum terdapat dalam kehidupan kelompok sosial lainnya. Namun istilah malu di sini menyangkut unsur yang hakiki dalam diri manusia Bugis Makassar yang telah mereka pelihara sejak mereka mengenal apa sesungguhnya arti hidup ini, dan apa arti harga diri bagi seorang manusia.
Sedang arti malu yang bersifat umum, sama sekali tidak menyangkut aspek¬-aspek yang diuraikan tadi. Mungkin seseorang dapat tersinggung karena faktor malu telah menyinggung pribadinya, tapi tidaklah mungkin bahwa faktor malu itu secara serentak merangsang anggota kerabat lainnya untuk bangkit menegakkan martabat kerabat secara keseluruhan dan kemudian manusia di luar kerabat itu akan terlibat secara langsung dalam konteks menjunjung tinggi adat dalam kehidupan mereka. Inilah yang sebenamya yang merupakan faktor yang unik pada pengertian malu dari Siri dalam hidup dan kehidupan manusia Bugis Makassar (Abdullah, 1985: 41).
Kemudian unsur dendam, jelas dapat dimasukkan sebagai faktor yang menimbulkan stimulans untuk berbuat dan bertindak. Namun, arti dendam di sini juga tidak terlepas dari fungsi dan peranan adat dalam kehidupan pribadi manusia, dalam kehidupan keluarga dan kerabat dan dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu totalitas. Ungkapan di bawah ini menyatakan dengan tegas hubungan adat dengan Siri: Utetong ri ade'e najagainnami siri'ku. Artinya, saya taat kepada adat, karena dijaganya Siri-ku.
Dari ungkapan yang hidup di masyarakat itu, dan telah tertanam dalam kehidupan manusia Bugis Makassar, merupakan suatu kenyataan historis. Dan bahwa perwujudan tindakan dalam konteks memelihara adat karena menjaga Siri yang umumnya berakibat penganiayaan dan pembunuhan yang pada masa sekarang ini merupakan pelanggaran hukum, adalah bagian yang terpenting dalam lingkaran kehidupan adat.
Adalah suatu kemustahilan apabila seseorang manusia yang merupakan bagian dari kehidupan adat itu telah memisahkan diri untuk tidak mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah berlaku dari adat yang telah berlaku sejak generasi pertama merintis norma adat itu dalam kehidupan masyarakat. Meskipun seseorang individu yang karena suatu sebab tidak dapat menjalankan missinya, maka adat akan mengambil alih missi itu untuk dilaksanakan.
Bila hal yang demikian ini sampai terjadi, maka pribadi atau keluarga yang bersangkutan akan terlempar keluar dari siklus kehidupan masyarakatnya dan di mata masyarakat sekitarnya dia telah dianggap sebagai orang yang dianggap telah kehilangan kejantanannya. Inilah sebenamya yang menjadi inti mengapa seorang manusia atau keluarga tanpa memikirkan resiko atau akibat menjalankan missi tanpa ada perasaan ragu. Apalagi takut dalam usahanya membela kehormatannya dan martabat keluarganya. ¬
Istilah tena sirina/de gaga sirina yang berarti manusia yang tidak punya malu (Siri), adalah suatu istilah yang sangat ditakuti atau paling tidak berusaha untuk dihindari oleh manusia Bugis Makassar. Sebab istilah itu menempatkan seseorang pada posisi yang rendah di mata masyarakat sekitarnya. Manusia yang telah mendapatkan sebutan tena sirina/de gaga sirina adalah orang yang dapat dikatakan telah kehilangan status sosialnya di masyarakat. Akibatnya bukan saja manusia atau orang yang bersangkutan yang akan menderita sepanjang hidupnya dalam kehidupan masyarakat, tapi keturunannya pun akan dihubungkan dengan istilah yang telah melengket pada diri orang tuanya.

Manusia yang telah dianggap tena sirina/de gaga sirina, adalah termasuk dalam kategori manusia yang tidak memiliki harga diri. Mereka ini, dalam interaksi sosial, tidak dipandang sebelah mata lagi oleh manusia-manusia di sekitar hidupnya. Sebab yang dipikul atau diderita oleh manusia yang termasuk ke dalam kategori ini, tidaklah begitu tampak apabila dilihat secara sepintas.
Namun beban itu telah menyiksa manusia tersebut sepanjang hidupnya. Dan mereka yang sudah tidak dapat lagi menemukan jalan keluar untuk menghilangkan istilah itu, umumnya mereka kemudian meninggalkan kampung halamannya, merantau ke kawasan lain untuk memulai kehidupan baru (Abdullah, op.cit 34).
Kemudian ada lagi istilah yang erat kaitannya dengan hilangnya status sosial seorang manusia di masyarakat, yaitu istilah ballorang/pellorreng yang berarti penakut atau pengecut. Istilah ini biasanya dikenakan terhadap manusia yang juga tidak dapat melakukan suatu missi yang telah dibebankan keluarga kepadanya. Beban penderitaan yang dihadapinya, sama dengan beban manusia yang telah dicap sebagai kawe-kawe/calabai, tena dirina/de gaga sirina.
Manusia Bugis Makassar berusaha dengan berbagai cara agar istilah yang sangat ditakuti itu jangan sampai melengket dalam dirinya atau dalam kehidupan keluarganya. Apabila hal yang demikian itu sampai terjadi, maka itu berarti suatu aib atau musibah yang sangat sukar untuk dihilangkan.
Adat yang digerakkan atau yang dimotori oleh Siri tidaklah dapat hidup, berfungsi dan berkembang di kalangan pendukung-pendukungnya apabila adat yang dimotori oleh Siri itu tidak mendapatkan dukungan moral. Atau lebih tegasnya suatu tanggung jawab moral dari para pendukungnya. Tanggung jawab moral merupakan manifestasi secara langsung yang mencerminkan apakah eksistensi dari adat itu masih mempunyai arti bagi kehidupan manusia.
Suatu adat yang telah kehilangan tanggung jawab moral di kalangan pendukung-pendukungnya, berarti bahwa adat tersebut telah kehilangan eksistensinya dalam kehidupan para pendukungnya. Ini berarti pula bahwa adat tersebut secara perlahan-Iahan ataupun cepat hanya merupakan suatu bayangan masa lampau yang sama sekali telah terputus unsur kontinuitasnya dengan kehidupan masa kini. Adat itu tidak lebih dari suatu unsur simbolisme yang sudah tidak mempunyai pengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Adalah suatu yang mustahil apabila adat dapat berkembang di kalangan pendukungnya, tanpa dukungan moral atau lebih tegas lagi tanpa tanggung jawab moral. Tuntutan suatu tanggung jawab moral dari para pendukung adat, adalah suatu keharusan mutlak. Karena sesungguhnya tanggung jawab moral itu merupakan nafas kehidupan dari adat.
Apabila tanggung jawab moral itu tidak secara total diberikan, maka wibawa dan adat itu dengan sendirinya akan goyah. Dan bila tanggung jawab moral dari para pendukung adat itu melemah atau terhenti sama sekali, maka itu berarti bahwa nafas kehidupan dari adat itu secara otomatis akan berhenti pula. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, adat itu hanya merupakan suatu simbol dalam kehidupan manusia.
Membela kehormatan keluarga, adalah suatu yang bersifat hakiki bagi manusia yang berada dalam siklus Siri. Tidak ada alternatif lain bagi seseorang yang berada dalam siklus itu untuk dapat terhindar dari suatu tanggung jawab moral dalam membela kehormatan keluarga. Termasuk kehormatan dirinya. Kecuali, jikalau manusia yang bersangkutan Iari dari kenyataan adat yang berlaku.

Akan tetapi bila hal ini sampai terjadi, maka pastilah manusia itu akan dicap sebagai kawe-kawe/calabai, ballorang/pelloreng dan tena sinna/de gaga sirina. Semua cap ini adalah suatu kenyataan sosial yang berlaku umum dalam kehidupan adat di dalam dunia empiris manusia Bugis Makassar. (Abdullah, 1985: 45).
Berbagai ungkapan dalam bahasa Bugis yang terwujud dalam kesusastraan, paseng dan amanat-amanat dari leluhurnya, yang dapat dijadikan petunjuk untuk memahami Siri itu pada orang Bugis.
1). Siri' emmi ri onroang ri lino. Artinya, hanya untuk Siri itu sajalah kita hidup di dunia. Dalam ungkapan ini, termaktub arti Siri sebagai hal yang memberi identitas sosial dan martabat kepada seseorang. Hanya kalau ada martabat atau harga diri, maka itulah hidup yang ada artinya.
2). Mate ri Siri'na. artinya mati dalam Siri, atau mati untuk menegakkan martabat/harga diri. Mati yang demikian dianggap suatu hal yang terpuji dan terhormat
3). Mate Siri. Artinya orang yang sudah hilang martabat/harga dinnya, adalah sebagai bangkai hidup. Orang Bugis Makassar yang merasa mate siri, akan melakukan Jallo (amuk), hingga ia mati sandiri. Jallo yang demikian disebut: Napatettonngi sirina, artinya, ditegakkan kembali martabat dirinya.
Banyak terjadi dalam masyarakat Bugis Makassar, baik dalam daerah maupun di luar daerah mereka, peristiwa bunuh membunuh dengan jalan Jallo, dengan latar belakang Siri. Secara lahir, sering tampak seolah-olah orang Bugis Makassar yang karena alasan Siri. Dan sanggup membunuh atau dibunuh, memperbuat sesuatu yang fatal karena alasan-alasan sepele atau karena masalah perempuan yang sesungguhnya harus dapat dipandang biasa saja.
Akan tetapi pada hakekatnya, apa yang kelihatan oleh orang luar sebagai suatu hal yang sepele dan biasa tadi, sesungguhnya bagi orang Bugis Makassar hanya merupakan salah satu alasan lahiriah saja dari suatu kompleks sebab-sebab lain yang menjadikan ialah merasa kehilangan martabat atau harga diri yang menjadi identitas sosialnya (Mattulada, op.cit. 67).
Bagi orang yang hidup di luar dunia realitas dan dunia empiris manusia Bugis Makassar, tentulah cukup sukar untuk memahami apalagi menghayati sistem adat yang berlaku itu. Tidaklah mengherankan, sebab dunia itu baru dapat dipahami dengan mendalam setelah orang luar itu melebur dalam kehidupan dunia empiris manusia Bugis makassar. Tidak pulalah mengherankan bila ada orang luar yang mengatakan bahwa adat atau Siri yang hidup dalam masyarakat Bugis Makassar adalah kejam dan sama sekali tidak menghargai jiwa manusia.
Bila dipandang secara sepintas kilas itulah kesan yang terlihat atau yang diperoleh. Akan tetapi bila adat itu dapat dipahami dengan mendalam dan dapat pula memahami pandangan falsafah atau pandangan hidup manusia Bugis makassar, tentulah penilaiannya akan menjadi lain. Paling tidak orang akan berkata bahwa inilah keunikan dan adat yang berlaku di dalam dunia empiris manusia Bugis Makassar. Dan justru di dalam keunikan itulah terletak perbedaannya dengan adat-adat lain.
Adat Siri menempatkan derajat manusia pada kedudukan yang mulia untuk dihormati dalam kehidupan dunia realitas. Dalam konteks itu, Siri telah berhasil menghilangkan unsur eksploitasi sekelompok manusia minoritas yang disebut penguasa terhadap sekelompok manusia mayoritas yang disebut rakyat. Dan faktor yang menyebabkan adat dapat bertahan sepanjang masa, yaitu sejak generasi pertama berhasil membentuk organisasi sosial sampai pada masa kini, adalah karena adat itu berintikan Siri.

Siri cukup berat untuk dilaksanakan, sebabnya ialah Siri memberi stimulans kepada manusia untuk menjaga harga dirinya, menjaga status sosialnya di masyarakat dan menjaga hubungan yang harmonis antara manusia untuk saling harga menghargai dalam interaksi sosial di masyarakat. Apalah arti hidup seorang manusia di masyarakat jikalau dia dianggap sebagai bangkai hidup oleh manusia lain yang berada di sekitarnya.
Manusia yang telah dicap tena sirina atau orang yang telah kehilangan kehormatan dalam kehidupan masyarakat, akan menderita karena dihina sepanjang hidupnya. Semua ini dapat dihindari, apabila manusia itu dapat menjaga kehormatan dirinya. Untuk menjaga kehormatan dirinya, di samping dia harus senantiasa berpedoman pada kehidupan adat, dia juga harus memelihara Siri itu dengan sebaik-baiknya. Sebab, apabila Siri itu sampai ternoda dan tidak ada kemampuan untuk menegakkannya, akan menimbulkan hal yang bersifat fatal dalam kehidupan manusia selanjutnya.
Tujuan utama dan perwujudan tindakan yang telah dimanifestasikan seseorang dalam kaitannya untuk rnemelihara kehormatannya yang dinodai oleh orang lain, adalah untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa dia sebagai manusia tidaklah dapat diperlakukan dengan, seenaknya oleh siapa pun juga di dunia ini.
Di sini tersirat pula suatu maksud bahwa kehormatan seseorang, adalah sesuatu yang paling tinggi nilainya. Kepada siapa saja yang mencoba menyentuh kehormatan itu, meskipun orang itu mempunyai banyak pengikut, akan dihadapinya tanpa ada perasaan ragu, takut dan segan. Sebab kalau dia dalam kasus penghinaan itu, tidak bangkit untuk membela kehormatannya, maka akibat yang lebih parah dalam hidupnya akan menimpanya.

Ketentuan adat adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk ditawar-tawar. Sebab ketentuan itu merupakan hasil persepakatan yang intinya untuk kebaikan manusia-manusia yang menjadi pendukung adat itu secara keseluruhan. Tidak ada perbedaan perlakuan dan ketetapan adat yang telah disepakati itu. Siapa pun yang telah melanggar adat secara sadar atau di luar kesadarannya, akan terkena sanksi. Dan orang yang telah menunaikan tugasnya dalam membela Siri mendapatkan perlakuan yang tersendiri dalam kehidupan masyarakat.
Pada hakekatnya, konsep Siri tidak hanya terbatas pada masalah yang menyangkut perwujudan yang berkaitan dengan membela kehormatan yang adakalanya mengakibatkan hilangnya nyawa manusia. Tapi konsep Siri menyangkut semua aspek dalam kehidupan manusia Bugis Makassar. Siri berperanan aktif dalam kehidupan, baik kehidupan itu berorientasi kepada kehidupan lahiriah (duniawi) maupun kehidupan yang berorientasi kepada kehidupan rohaniah (keagamaan).
Oleh karena Siri berperan aktif dalam kehidupan manusia itu, maka Siri merupakan faktor yang merangsang keinginan untuk berkembang, kegairahan hidup, kejayaan dalam suatu usaha, ketabahan dalam menghadapi tantangan hidup dan usaha-usaha positif lainnya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Istilah Jallo atau Amuk yang sangat terkenal dalam kehidupan manusia Bugis Makassar, dapat meledak sewaktu-waktu tanpa dapat diduga sama sekali oleh manusia lain yang berada di sekitar manusia yang tidak stabil itu.
Selama manusia itu belum menemukan jalan keluar untuk memanifestasikan rangsangan Siri itu menjadi suatu perbuatan yang nyata, maka selama itu pula manusia tersebut berada dalam ruang lingkup rangsangan Siri, atau dengan lain perkataan, bahwa Siri akan tetap beroperasi secara aktif selama manusia itu belum menemukan jalan keluar untuk memanifestasikannya.
Bahwa jangka masa berakhimya rangsangan itu dapat dalam waktu pendek, dan dapat pula dalam jangka masa yang cukup lama. Adakala memakan waktu bertahun-tahun barulah manusia itu berhasil menemukan jalan keluar untuk memanifestasikan Siri itu dalam suatu perbuatan atau tindakan yang nyata.
Dalam kehidupan perantau-perantau Bugis Makassar hidup suatu ungkapan yang berbunyi Bajikanngang mate ajari galang-galang ri pa rasangnna tawa, na motere tena nacini tauki, yang berarti lebih baik mati menjadi cacing di negeri orang, daripada pulang tapi tidak dipandang sebagai manusia.
Ini adalah suatu modus dari Siri yang memaksa manusia Bugis Makassar untuk selalu berjaya di rantau dan tanggung jawab moral yang menyangkut kehormatan dan harga diri yang menjadi penyebab utama mengapa manusia Bugis Makassar itu dalam kegagalannya dia dapat dikatakan tidak pemah menyerah, apalagi bersikap cengeng dan meratapi kegagalannya itu. Dan pada tingkat yang demikian ini, unsur Siri telah menyatu dengan sempurna dalam diri seseorang karena semua yang dilakukannya itu tidak terlepas dari faktor kehormatan dan harga diri.
Dalam sejarah emigrasi atau perantauan manusia-manusia Bugis Makassar di Nusantara ini, tidak pemah terdengar kelompok manusia yang mengeluh atau meratapi nasibnya sebagai perantau dan kemudian meminta bantuan agar hidupnya dibantu atau diperbaiki. Mereka umumnya memecahkan persoalannya sendiri secara diam-diam tanpa bermaksud untuk menyusahkan manusia-manusia lain yang tidak ada kaitannya dengan hidupnya.
Ini semua terjadi dan menjadi suatu kenyataan sejarah, karena manusia-manusia Bugis Makassar itu sejak lahirnya telah ditempa oleh Panngaderreng dan dalam kehidupan masyarakat tingkah lakunya senantiasa tidak dapat terlepas dan Siri.
Mengkaji dengan cermat peranan Siri dalam kehidupan manusia, maka tampaklah di sini bahwa Siri yang berperanan dalam diri manusia itu pada hakekatnya mengandung dua unsur yang bersifat kontroversial pada saat Siri itu dimanifestasikan dalam tindakan atau perbuatan yang nyata. Orang luar yang tidak dapat mengikuti dan menangkap proses peranan Siri itu dengan cermat, maka kesan yang dapat ditangkapnya adalah satu segi saja, yaitu segi yang menyangkut manifestasi Siri dalam kaitannya membela kehormatan yang telah berakibat hilangnya nyawa seseorang. Akan tetapi apa yang terjadi sesungguhnya, lebih dari apa yang orang luar itu dapat menangkapnya.
Di sinilah terletak sifat Siri yang unik dan kompleks. Manifestasi dari Siri yang berupa perwujudan tindakan adalah pada kenyataannya bersangkut paut dengan terselenggaranya nilai hakiki dari suatu budaya yang termasuk nilai budaya yang bersifat rohaniah atau spiritual. Oleh karena itu, Siri tidaklah mungkin dapat dilihat secara langsung dengan biji mata manusia nyata, tapi dia hanya dapat dipahami melalui pemahaman perasaan.
Dan karena Siri hanya dapat ditangkap melalui pemahaman perasaan, maka dia bersifat abstrak, dan akibatnya orang luar sering salah pula menafsirkan tentang apa yang sebenamya yang menjadi nilai hakiki dari Siri itu. Sebelum terwujud dalam bentuk perbuatan yang nyata, terlebih dahulu Siri melalui suatu proses penggodokan di dalam diri manusia.
Siri, dengan demikian, adalah jantung dan kehidupan adat manusia Bugis Makassar. Apabila jantung itu berhenti berdetak, maka berakhir pula kehidupan adat dalam kehidupan manusia Bugis Makassar. Seperti halnya dengan jantung yang mengatur distribusi aliran darah ke seluruh bagian tubuh manusia, maka Siri merupakan kunci hidup matinya seorang manusia.
Apabila Siri dan jantung mengalami kemacetan dalam diri manusia, tentulah komponen-komponen lainnya mengalami gangguan pula. Atau dengan lain perkataan, bahwa apabila manusia itu telah meninggalkan atau keluar dari sirkulasi Siri, maka dengan sendirinya adat yang diangungkan dalam kehidupan itu otomatis akan hilang fungsinya dalam kehidupan masyarakat.
Bahwa Siri dalam konteks manifestasi perbuatan itu tidaklah dalam satu bentuk saja. Tapi terwujud dalam berbagai bentuk tindakan, demikianlah pula dengan sifat-sifat dari tindakan-tindakan itu. Semuanya tergantung dari sasaran, cita-cita, keinginan dan ambisi, yang kesemuanya itu tidak dapat terlepas dari faktor sebab akibat yang juga merupakan latar belakang dari lahirnya tindakan atau perbuatan Siri itu sendiri.
Selain konsep Siri yang terdapat dalam dunia adat di kalangan masyarakat Bugis Makasar, terdapat lagi sebuah konsep lain yang disebut Pesse. Konsep Pesse ini juga mengandung daya dorong yang dapat juga diartikan sebagai suatu solidaritas (Mattulada, op.cit. 68).
Kata Pesse/Pacce secara harfiah dengan pedih. Dan yang dimaksudkan dengan pengertiannya adalah bahwa kata Pesse/Pacce itu berkaitan dengan unsur pengembangan perikemanusiaan dalam diri manusia. Untuk lebih jelasnya Kata Pacce (pace) yang secara harfiah berarti pedih mempunyai nilai yang tersendiri dan selalu mengikuti sikap Sirik (Siri).
Dengan sikap hidup yang berdasarkan Pacce ini, masyarakat Makassar mengembangkan sikap berprikemanusiaan yang tinggi. Sikap kemanusiaan dalam pandangan hidup yang terkandung dalam kata Pacce ini tidak terbatas kepada semua manusia saja. Tapi juga kepada seluruh makhfuk. Keserasian antara sikap Siri dengan sikap Pacce harus tercapai, saling mengisi antara keduanya dan sewaktu-waktu berfungsi untuk menetralisir sikap yang terlalu ekstrem dari salah satunya. (Nurdin Yatim, op. cit. 32-33)
Istilah atau kata Si pacceangki umpamanya, mengandung suatu ikrar atau janji antara anggota kelompok yang sedang berjuang dalam mencapai kejayaan hidup di rantau atau di kampungnya sendiri. Makna ikrar atau janji dari si pacceangki, cukup dalam. Sebab, setiap anggota kelompok yang pada hakekatnya berada dalam lingkaran kehidupan Siri, akan berpedoman kepada ikrar itu dalam perjalanan hidupnya di rantau.
Istilah itu selain mengandung unsur kesetiaan antara para anggota, juga mereka semuanya bersedia menderita apabila mereka itu pada suatu ketika menghadapi tantangan. Seperti umpamanya, seorang dari anggota kelompok itu telah dihinakan atau kehormatannya disentuh, maka apa yang dialami oleh seorang anggota kelompok itu, uga merupakan penghinaan anggota kelompok lainnya.
Oleh karena itu kata Passe ini merupakan kata yang menyertai Siri, maka ikrar yang telah diucapkan itu sangat kuat berperanan dalam kehidupan kelompok. Tiap-tiap anggota kelompok akan memelihara ikrar itu dengan sebaik-baiknya. Karena mengingkari ikrar itu sama artinya dengan mengkhianati janjinya. Dan orang yang mengkhianati janji adalah orang yang tidak memelihara Sirinya.
Kemudian istilah Paccei pamaikku, adalah istilah yang mengandung unsur prikemanusiaan, belas kasihan, kebajikan, rasa ikut menderita terhadap musibah orang lain, menimbulkan stimulan untuk mendorong seseorang memaafkan kesalahan seseorang dan lain-¬lain. Manusia yang telah merasa paccei pamaikku, adalah manusia yang dapat memahami dan menghayati masalah penderitaan yang sedang dialami oleh orang lain.

Perasaan yang demikian ini dapat secara langsung merubah sikap seseorang yang tadinya bersikap kaku dan ngotot, menjadi sikap yang emosional untuk ikut merasakan penderitaan orang lain. Ini merupakan faktor yang teramat kuat untuk mendorong seseorang berbuat kebajikan dan bertindak manusiawi dalam membantu orang lain. Bentuk amal jariah dari seorang manusia kepada manusia lainnya, banyak dirangsang oleh unsur Paccei pamaikku.
Tanggung jawab moral yang merupakan tuntutan utama dalam konteks Parakai sirinu (peliharalah kehormatanmu) kemudian ditambah lagi dengan Paccei pamaikku (pedih hatiku) yang mengandung unsur kemanusiaan dan terakhir sipacceangki (kita bersama-sama pedih), yang mengandung unsur solidaritas terhadap kawan atau anggota kelompok, adalah tiga unsur yang sesungguhnya menjadi inti yang melandasi pandangan hidup dari manusia Bugis Makassar.
Oleh karena tiga unsur itu merupakan suatu unit yang menyatu dalam setiap pribadi manusia Bugis Makassar, maka manifestasi perbuatannya memperlihatkan suatu sifat yang kontroversial.
Di satu pihak orang luar melihat dan kemudian menimbulkan kesan bahwa manusia Bugis Makassar adalah manusia yang kejam, bersifat kaku dalam kehidupan, sering berbuat nekad, lebih mengutamakan perasaannya, berbuat tanpa memperhitungkan akibat, fanatik, ekstrim dalam tindakan, tidak rasional, ikatan etnisnya sangat kuat, tradisional dan banyak lagi julukan lainnya.
Namun, mereka tidak mengetahui atau berusaha memahami apa yang menjadi latar belakang proses lahirnya sikap yang demikian itu. Padahal sesungguhnya faktor-faktor tadi, tidak terlepas dari usaha manusia Bugis Makassar membela kehormatan yang terhina seperti apa yang telah ditentukan dalam adat Siri itu.

Orang luar melihat manifestasi perbuatan yang mengandung unsur kemanusiaan yang tinggi dan unsur solidaritas terhadap kawan atau kelompok yang dengan segala keikhlasan atau kerelaan tiap-tiap orang bersedia untuk menderita demi ikut merasakan penderitaan dari orang lain, meskipun orang lain itu bukanlah sanak keluarganya.
Melihat keadaan ini orang kemudian akan berkata bahwa manusia-manusia Bugis Makassar itu sangat halus perasaannya. Ini bila orang melihat bagaimana seorang manusia di masyarakat memelihara kestabilan Sirinya dalam interaksi sosial dengan menjaga perasaan orang lain, menghormati tamu secara wajar. Lalu, orang akan berkata pula bahwa manusia Bugis Makassar itu sangat manusiawi, suka menolong orang yang menderita, bahkan terlibat dalam penderitaan itu, berkorban demi meringankan kepedihan orang lain dan berusaha pula untuk membagi kepedihan itu ke dalam dirinya.
Konsep Siri yang merupakan pandangan hidup dari manusia Bugis Makassar, adalah jiwa dan semangat bagi setiap individu di masyarakat. Konsep itu tercermin dalam pola tingkah lakunya, dalam sistem sosialnya dan dalam pola berfikirnya.
Di kawasan manapun manusia Bugis Makassar itu hidup, baik mereka hidup dalam lingkungan masyarakatnya yang bersifat homogen, maupun di kawasan yang letaknya jauh dari kampung halamannya dengan jarak yang beribu-ribu mil dan dibatasi oleh lautan atau samudera, konsep Siri itu selalu dilestarikan dalam kehidupan keluarga mereka. Sekalipun mereka itu berada dalam suatu masyarakat yang bersifat heterogen. Kejayaan dan kehancuran seorang manusia Bugis Makassar, ditentukan oleh faktor seberapa jauh dan dalam dia dapat memelihara dan membela Siri-nya dalam kehidupan masyarakat.

SAWERIGADING-SUREQ I LA GALlGO :
KARYA SASTRA KLASIK BUGIS
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Di kalangan orang Bugis dikenallah Galigo yang telah diturunkan dalam tiga wujud tradisi. Pertama sebagai karya tulis ceritera berangkai (cyclus) , kedua sebagai pangkal silsilah raja-raja dalam berbagai kronik, ketiga sebagai ceritera lisan yang dikaitkan dengan benda alam atau benda peninggalan zaman.
Berdasarkan alur pokoknya, ceriteranya berasal pada waktu para penguasa di Langi (dunia atas) dan Peretiwi (dunia bawah) sepakat untuk mengisi Kawa (dunia tengah) yang masih kosong dengan mengirim anak mereka untuk menjadi penghuni dan penguasa di sana. Dari Langi diturunkan Bataraguru, anak sulung lelaki Patotoe bersama Datu Palinge. lalah yang membentuk gunung, hutan dan sungai, kemudian disusul dengan penjelmaan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, termasuk padi. Dari Peretiwi dimunculkan We Nyiliqtimo, anak sulung Gururiselleq bersama Sinauqtoja. Bataraguru diturunkan di atas gelegar bambu sedangkan We Nyiliqtimo dimunculkan bersama usungan kencana di tengah buih, masing-masing dengan pengiringnya.
Kisah berikutnya Batarallattuq, bermula pada saat ia dilahirkan. Dengan melalui berbagai upacara ia dibesarkan, hingga kawin dan beranak. Istrinya bernama We Datu Senngeng, berasal dari Tompoqtikka. Mereka kemudian beroleh anak kembar emas, seorang lelaki bernama Sawerigading dan seorang perempuan bernama We Tenriabeng.
Ceritera berikutnya Sawerigading menyangkut saat-saat ia dibesarkan hingga dewasa dan mengembara ke seluruh pelosok kerajaan Luwuq serta berbagai negeri asing, termasuk Langi, Peretiwi dan negeri roh. Kemudian ia mencintai dan ingin mengawini saudara kembarnya, tetapi ia tidak diperkenankan oleh orang tuanya. Atas bujukan dan petunjuk We Tenriabeng, ia lalu berlayar ke Negeri Cina untuk mengawini I We Cudaiq.
Pada akhirnya ia pulang ke Luwuq menghadiri pertemuan keluarga, yang berkesudahan dengan meluncurnya ke Peretiwi bersama perahu dan segala isinya. la pun menetap di sana menggantikan neneknya. Adapun I La Galigo, anak Sawerigading bersama tokoh lainnya, kesemuanya hanya berfungsi sebagai tokoh bawahan.
Tradisi kedua berupa ceritera awal berbagai kronik dan silsilah. Ada yang hanya menyebutkan secara singkat, bahwa sesudah keturunan yang tersebut dalam Galigo habis kembali ke Langi, maka terjadilah kekacauan, bagaikan ikan, yang kuat memakan yang lemah, seperti yang terdapat pada awal kronik Soppeng dan Bone.
Pada silsilah raja-raja Luwuq (Luwuk) tidak ada disebut tokoh Galigo kecuali jika Simpurusiang sebagai manurung dianggap anak We Tenriabeng bersama Remmanrilangi. Sedangkan dalam Silsilah Melayu dan Bugis yang diterbitkan oleh Raja Ali Haji, jelas tercantum beberapa tokoh Galigo mulai dari Datu Paleinge, hingga La Tatta (La Tenritatta) anak I La Galigo. Sejarah Goa juga menyebutkan Bataguru sebagai raja pertama pada periode awal kerajaan tersebut.
Di Sulawesi Tengah terdapat pula ceritera yang menyatakan bahwa nenek moyang Raja Sigi, Pangi, Wotu dan Toyo bersaudara dengan Sawerigading. Di Gorontalo terdapat juga ceritera yang menyatakan hubungan raja di sana dengan Sawerigading melalui perkawinan We Tenriawe (sepupu Sawerigading) dengan anak raja setempat. Demikian pula halnya dengan raja-raja di Sulawesi Tengara.
Tradisi ketiga berupa legenda etiologis yang menghubungkan tokoh Galigo, terutama Sawerigading, dengan benda-benda alam atau peninggalan sejarah, terdapat pada beberapa tempat, baik yang berbahasa Bugis maupun yang berbahasa daerah lain. Gunung belah (Bulupolo) yang terdapat dekat Malili dikatakan bekas tertimpa pohon Welengreng yang rebah karena ditebang untuk dijadikan perahu oleh Sawerigading. Batu cadas yang terdapat di daerah Cerekang dan banyak diambil untuk dijadikan batu asah, disebut sebagai kulit bekas taraan pohon Welenreng itu.
Di Gunung Kandora, daerah Mangkendek, Tanah Toraja, terdapat sebuah batu yang dianggap penjelmaan We Pinrakati (Pindakalati), istri Sawerigading yang meninggal dalam keadaan hamil, yang dijemput oleh Sawerigading dari dunia roh (Puya). Setiba kembali di bumi ia melahirkan seorang anak perempuan yang bernama Jamallomo. Anak tersebut kemudian menjelma menjadi batu.
Gunung Batu di daerah Bambapuang (Enrekang) yang dari jauh tampak sebagai anjungan perahu, dianggap perahu Sawerigading yang karam dan telah menjadi batu. Nekara besar yang terdapat di Bontobangung (Selayar) ada pula yang menganggapnya gong Sawerigading yang selalu dibawanya berlayar dan dibunyikan setiap ia hendak memasuki suatu pelabuhan.
Demikian pula dengan kepingan perahu yang terdapat di Bontoteqne, juga dianggap perahu Sawengading. Sejalan dengan itu terdapat pula ceritera di kalangan Orang Ara (Bulukumba), yang menganggap bahwa keahlian mereka membuat perahu diperoleh nenek moyang mereka dari hasil merekonstruksi kepingan perahu Sawerigading yang pernah terdampar di daerah tersebut.
Pada suatu tempat di tepi pantai Ujung Rangas sebelah utara Kota Majene terdapat sebuah batu dengan tanda yang menyerupai bekas kaki kiri. Ceritera rakyat setempat menyatakannya sebagai bekas Sawerigading bersetumpu ketika ia hendak ke Langi menemui neneknya, yaitu Patotoe.
Di kalangan masyarakat Palu terdapat pula ceritera yang menganggap gunung Kavole di daerah Balaroa adalah perahu Sawerigading yang tertelungkup dan telah menjadi tanah. Di daerah Parigi ada pula sebuah tempat yang disebut tana bangkalaq, kuning warnanya, bersih tidak ditumbuhi sesuatu apa pun. Di dekatnya tumbuh sebatang pohon asam. Menurut ceritera masyarakat, di tempat itu Sawerigading pernah mengadakan sabung ayam.
Uraian di atas meskipun belum menyebutkan semua ceritera yang bersangkutan dengan Galigo dalam tiga wujud tradisinya, namun telah diusahakan menampilkan yang penting-penting, mewakili berbagai daerah dengan latar belakang bahasa yang berbeda-beda pula, mencakup hampir seluruh Sulawesi, Gorontalo di sebelah utara dan Selayar di sebelah selatan, Buton di sebelah timur dan Mandar di sebelah barat, bahkan juga kaitannya dengan beberapa daerah Melayu.
Yang menarik perhatian, ialah ceritera itu tidak hanya terdapat dalam wilayah kekuasaan Luwuq atau daerah yang berbahasa Bugis saja. Hal demikian dapat diartikan, bahwa Luwuq adalah suatu kerajaan besar, makmur, disegani atau menduduki tempat yang tinggi dalam pandangan mereka, bahkan mungkin juga diakui kekuasaannya oleh beberapa daerah bersangkutan. Ceritera Galigo rupanya tidak mungkin tersebar luas, seandainya Luwuq merupakan kerajaan kecil yang miskin, lemah dan tidak disegani.
Ceritera Galigo, atau lengkapnya Sureq I La Galigo, adalah salah satu karya terbesar dalam khazanah kesusasteraan Indonesia tradisional. Karya itu berupa ceritera berangkai (cyclus), yang sekaligus termasuk sastra suci (arwah para tokohnya dianggap bersemayam di dalamnya dan dalam hal tertentu dapat dimintai bantuannya), sastra normatf (menentukan pokok adat istiadat) dan sastra indah (yang memikat dan mengharukan).
Karya tersebut mengisahkan asal usul Tanah Bugis dengan kemunculan Bataraguru, yang turun dari Langi (dunia atas) ke Kawa (dunia tengah) untuk menghuni dan menguasainya. Dia membentuk gunung, hutan dan sungai dan menciptakan berbagai jenis tumbuhan, termasuk padi. Dari Peretiwi (dunia bawah), datang pula We Nyiliqtimo, yang timbul di tengah buih. Dari perkawinan mereka lahirlah Bataralattuq, yang kemudian mempunyai dua anak kembar, seorang laki-Iaki bernama Sawerigading dan seorang perempuan bernama We Tenriabeng.
Karya Bugis yang sangat panjang ini tidak pernah diceriterakan dari awal sampai akhir, melainkan terbagi atas sejumlah episode yang dibacakan sambil dilagukan pada kesempatan upacara tertentu. Dalam kerangka kesusasteraan Bugis, ceritera Galigo termasuk kategori sureq, yaitu puisi bermantra, di samping karya-karya bernama toloq, yaitu cerita epik tentang berbagai tokoh dan peristiwa sejarah.
Kategori lain adalah kategori lontaraq, yakni karya-karya yang tidak berisi catatan harian atau silsilah. Kalau naskah-naskah lontaraq telah lama menarik perhatian para sejarawan, maka sureq sebaliknya, termasuk Galigo, sampai sekarang ini baru diteliti secara dangkal saja. Ceritera Galigo yang sangat penting itu ternyata belum pemah disunting atau diterjemahkan secara lengkap.

RINGKASAN CERITA
Sureq Galigo berula ketika Patotoqe (Sang Penentu Nasib) yang mahakuasa di puncak langit, uring-uringan. Ribuan ayam aduannya telantar. Rupanya para penggembala ayamnya sedang melanglang ke dunia. Dan ketika balik ke khayangan mengusulkan agar dunia diisi kehidupan.
Dengan laporan itu, putra sulung Patotoqe, La Togeq Langiq yang juga bemama Batara Guru, dikirim ke dunia dan jadilah ia manusia pertama. Sambil berjalan di bumi mencari cinta dan pasangan hidup, ia menciptakan gunung¬-gunung, hutan, lautan, berbagai jenis unggas, hewan, dan tanam-tanaman. la masih harus menjalani berbagai cobaan agar dapat dinilai sungguh-sungguh telah menjadi penduduk dunia, sebelum akhirnya We Nyiliq Timoq hadir di bumi. Calon istrinya ini, yang adalah putri sulung penguasa Dunia Bawah (Peretiwi), datang dan tercipta lewat buih gelombang Laut Timur.
Dari perkawinan yang didahului adu kesaktian antara Batara Guru dan We Nyiliq Timoq, dari pertautan Dunia Atas dan Dunia Bawah, lahir Batara Latuq. Seorang saudara perempuan lain ibu Batara Latuq yang bernama We Oddang Riuq, meninggal tujuh hari setelah dilahirkan, menghujamkan perih yang beberapa hari kelak menjadi kerinduan yang tak tertahankan di hati ayah bundanya. Dari kubur We Oddang Riuq tumbuh tanaman yang sedang menguning dalam lima nuansa warna yang menyebar ke seluruh bukit dan lembah. Tubuh putri itu terurai menjadi padi yang akan menghidupi manusia beribu tahun.
Alkisah, Sawerigading, putra mahkota Kerajaan Luwuq, tengah menyambangi makam neneknya di Negeri Tompoq Tikkaq (matahari terbit). Di sana ia diberi tahu rahasia terbesar kerajaan. Di bagian terlarang istana, hidup seorang gadis kelewat cantik yang berjalan dengan pakaian serampangan dan menghabiskan waktu dengan mabuk mandi dan bercakap dengan segala jenis burung: seorang makhluk langit yang dititipkan ke dunia.
Dengan berbagai cara, Sawerigading mencari jalan menerobos larangan istana. Begitu melihat gadis tersebut, sukmanya terbang. la jatuh cinta pada gadis yang ternyata adik kembarnya, We Tenriabeng, makhluk paling cendekia dalam seluruh kosmologi Bugis. Pangeran muda itu sesungguhnya sudah punya sejumlah istri. Pernah ia jatuh hati pada seorang putri yang telah meninggal. Seluruh armadanya ia kumpulkan lalu dengan brutal ia menyerang alam arwah yang terlarang dan mengacak-acaknya untuk merebut kekasihnya dari tangan dewa.
Mengetahui bahwa ia tak boleh menikahi adiknya, Sawerigading bertolak dari Luwuq. Untuk menjinakkan ingatannya pada si adik, pangeran tampan dan romantis itu berniat menjarah seluruh lautan. Armadanya mulai membelah samudra ketika sebuah pesan tiba dari orang tuanya yang merindukannya.
Di depan ayah bundanya kembali ia memohon izin mempersunting putri yang satu tembuni dengannya. Orang tua yang mati akal itu hanya bila bilang bahwa inses itu tabu, pemali. Negeri akan berantakan, padi jadi lalang dan sagu Lumpur. Batara Lattuq Sang Raja lalu mendatangkan seorang nenek tua bangka yang lanjut usia, untuk menegaskan akibat perkawinan sedarah adalah kehancuran dunia dan kelaparan yang membentang di cakrawala. Mungkin karena usianya yang uzur, mungkin karena tabuhan Sawerigading pada tubuh tua itu terlalu boros, nenek itu terkapar. Seakan ingin memutuskan sejarah yang menabukan inses, Sawerigading memenggalnya.
Sejumlah kesintingan, seperti memanggang berhari-hari semua anak Luwuq di bawah matahari dengan harapan agar mereka juga menderita sebagaimana dirinya, masih dilakukan Sawerigading sebelum akhimya adik kembarnya datang menemui. Bissu belia yang bahkan lebih cerdas dari dewa-dewa ini berupaya keras menghadapi kakaknya yang lebih mencemaskan.
Segala macam penjelasan kosmis pemali inses dan kabar adanya putri Cina lebih cantik dari si adik, tak dapat masuk ke benak sang pangeran yang terus mendesaknya menikah. Setelah putus asa, We Tenriabeng yang hampir luluh melihat cinta tak berbatas itu, memperlihatkan bayangan I We Cudaiq di kuku jarinya. Lalu dimintanya si kakak .berbaring dan ditiupkannya sebentuk mimpi. Meski tak cukup ampuh. We Tenriabeng pun berjanji, jika I We Cudaiq tak lebih elok dari dirinya, Sawerigading boleh balik ke Luwuq. Si adik kembar akan menerima suntingan kakaknya dan mereka akan meruntuhkan langit, merubah hukum dewata, mengubur rembulan, melangkahi pemali untuk duduk bersanding bersaudara.
Maka diadakan persiapan keberangkatan Sawerigading menuju daratan Cina, sebuah petualangan samudra. Yang ditemui armada Bugis ini di hamparan gelombang menuju Cina adalah hadangan lawan-Iawan yang betul-betul manusia, yang dibereskan dengan tujuh pertempuran laut besar-besaran. Lawan pertama ditemuinya setelah tujuh hari bertolak dari pantai Luwuq tempat ia bersumpah takkan kembali ke tanah kelahirannya dan mengangap kepergiannya sebagai bentuk pembuangan diri menebus sepak terjangnya mengharu-biru kerajaan orangtuanya.
Armada Mancapaiq (Majapahit? Pen) yang dipimpin Banynyaq Paguling awalnya melawan sengit. Penumpasannya diakhiri dengan diceraikannya tubuh dan kepala Paguling, pertempuran-¬pertempuran selanjutnya yang tak kalah sengit datang dari armada pimpinan La Tuppu Soloq, La Tuppu Gellang, La Togeng Tana, dan La Tenripulang.
Sedemikian beratnya pertempuran keenam melawan armada La Tenrinyiwiq, Sawerigading terpaksa meminta bantuan adik kembarnya. We Tenriabeng saat itu sudah terangkat naik ke langit, melewati guntur dan halilintar. Pertempuran ketujuh menghadapi armada Settia Bonga Lompeng ri Jawa Olioge, yang sudah tiga tahun bertunangan dengan I We Cudaiq yang hendak disunting Sawerigading. Bersama para pengawalnya, Settia Bonga ditangkapi dan dipulangkan ke negeri asalnya.
Ketika pagi merekah, di tananya, Ratu Cina melihat sebuah matahari bergerak di depan matahari yang sedang naik meninggi. Matahari itu adalah I La Welenreng, perahu induk Sawerigading yang tengah mendekati pantai Cina. Sawerigading pun harus menempuh jalan berliku dan perang penghancuran hanya untuk menggiring I We Gudaiq ke pelaminan.
Bahkan setelah pesta pemikahan itu, Sawerigading masih harus menyelusuri labirin untuk merebut hati I We Cudaiq. Selama tujuh hari di pusat labirinnya, Putri Cina membungkus dirinya bagai kepompong kupu-kupu raksasa dengan tujuh belas lapis kain sutra dewa. Hati I We Cudaiq akhirnya terbuka bukan oleh keperkasaan dan benda-benda, tetapi oleh kata benda dan kata kerja: rangkaisan prosa dan puisi yang dicipta Sawerigading dari kedahsyatan imajinasi dan keajaiban petualangannya menjelajah segala jenis gelombang dunia.
Sawerigading tak butuh waktu lama untuk akhirnya meninggalkan Cina. Lagi pula I We Cudaiq menolak anak yang lahir dari rahimnya sendiri, dan Sawerigading kembali menjelajah samudra dengan sebuah harapan baru dalam hidupnya mengawal dan mengantar anak keturunannya tumbuh dan bertualang sendiri membentuk diri mereka masing-masing.

KALBAR DI MASA PERANG DUNIA II

Masa Awal Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang di Kalbar
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Pada 19 Junigatsu 2601 (19 Desember 19410 kota Pontianak diserang 9 pesawat pembom Jepang. Masyarakat mulai hidup dalam ketidakberanian atas peperangan. Maka kemudian, 28 Ichigatsu 2602 (28 Januari 1942) politik bumihangus dilakukan. Kemudian, 29 Ichigatsu 2602 balatentara Dai Nippon mulai memasuki dan menduduki Kota Pontianak. Sejak hari itu pula sistem pemerintahan dikendalikan balatentara Dai Nippon.

Sejak 29 Ichigatsu 2602 (29 Januari 1942), pmerintahan Kalimantan (Borneo) Barat dikendalikan Gunseibu, untuk seterusnya dilanjutkan atau digantikan Minseibu. Pada 20 Jugatsu 2602 bertempat di Gedung Kaigun Kaigisjo Pontianak dilangsungkan rapat pemerintahan Borneo Barat. Balatentara Jepang mendarat pertamakali di Kalimantan Barat, mulai dari Pemangkat 26 Ichigatsu 2602. Dua hari kemudian, 28 Ichigatsu 2602, pasukan ini bergerak dan menduduki Pontianak, seterusnya menduduki Singkawang, Mempawah dan sekitarnya.

Pada 29 Ichigatsu 2602 (29 Januari 1942) tiba di Pontianak Opsir Nippon, Morita, sebagai pimpinan sementara Dai Nippon untuk Kalimantan Barat, baik sipil maupun militer. Selanjutnya sebulan kemudian, Februari 1942, Morita diganti Izumi sebagai gunseibu. Izumi segera mengaktifkan media massa propaganda Borneo Barat Shinbun (BBS) dan merestui dibentuknya Nis Sin Kwai. Dengan peralihan kekuasaan atas Kalimantan Barat dari Rikugun ke Kaigun, maka Izumi digantikan kuno. Kuno kemudian digantikan S Yoneda yang meneruskan kekuasaan pemerintahan selanjutnya.

Di masa Yoneda selaku gunseibu Kalimantan Barat, selain Nis Sin Kwai (NSK), ia membolehkan untuk terus aktif 3 organisasi lain. Masing-masing Indo Djin Djijoe Renmei (Indian Independence League) Pontianak, Serikat Dagang Indonesia Pontianak (Sadip) dan Sin Boku Kai (Pervindo).

Indo Djin Djijoe Renmei (Indian Independence League, IIL Pontianak) terdiri dari Kernal Singh, V Tarachand, Lilaram, Md Joesoef, A Madjid, MRE Ponnusamy dan Lekhoomal. Adapun Sadip terdiri dari Nasroen gelar Radja Soetan Pangeran (Ketua), M Rasad (Wakil Ketua), MK Soekimo (Penulis), M Tahir H Arip (Bendahara) dengan anggota pengurus Ramli HM Tahir, M Joesoef, H Djafar H Abdoerrasjid, Jasid gelar Soetan Roemah Tinggi, H Badroeddin H Abdul Fattah, Goesti Mohammad Poetra, MK Indera Mahjoeddin, H Harahap dan Ranie Soelaiman. Adapun Sin Boku Kai (Pervindo) terdiri dari A Kismet (Ketua), Natarsjah (Ketua Muda), HM Aboebakar (Penulis), SS Faizulla (Bendahara) dengan anggota Goelam Abbas bin Abdoel Hoesein, Govindabaij, HM Abdullah, Lilaram, A Madjid dan Lalsingh serta penasehat Kernal Singh dan Lekhoomal.

Pada 13 Shichigatsu 2602 (13 Juli 1942, Senin) untuk pertamakalinya sejak dibentuk Februari 1942, diadakan rapat pengurus organisasi Nis Sin Kwai (Nissinkwai, NSK), bertempat di Sositeit Medan Sepakat di Landraadweg (Jalan Jenderal Urip Pontianak sekarang). Rapat dibuka Ketua Nissinkwai Notosoedjono (Rd Pandji Mohamad Dzoebier Notosoedjono). Dipertegas dalam rapat pengurus tersebut, bahwa: “…organisasi ini dibentuk dengan maksud jaitoe hendak mentjahari soeatoe persatoean jang kekal dan kemadjoean diantara kita bangsa2 Asia seloeroehnja …”

Dijelaskan juga, “… karena itoe djoega pendirian dan Nis Sin Kwai disni boekan sadja mendapat persetoedjoean dari pembesar2 militer Nippon disini, tapi poela mendapat sokongan, seperti andjoeran dari pihak atasan soepaja sekalian pegawai2 negeri mesti memasoekkan dirinja dalam perserikatan ini …”

Semboyan organisasi ini (Nis Sin Kwai) adalah Hidoeplah Dai Nippon! Hidoeplah Nis Sin Kwai! Hidoeplah Asia Raja! Berdasarkan Azas dan Toedjoean atau Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga-nya dijelaskan: Nis berarti Nippon, Sin artinya wakil masyarakat, dan Kwai artinya perserikatan atau organisasi. Ditegaskan pula, “…oentoek akan dapat mentjiptakan persatoean jang dikandoengnja itoe, maka tiap2 orang jang telah masoek dalam Nis Sin Kwai mesti bekerja dengan sedapat2nja mempropagandakan tjita2 dari partainja, baik dengan moeloet, maoepoen dengan toelisan, sehingga tertjapailah angan2 dan tjita2 dari partai Nis Sin Kwai ini …”

Pada 15 Shichigatsu 2602 (15 Juli 1942, Rabu), sejak hari ini pelaksana pemerintahan pendudukan Dai Nippon dialihkan dari semula Rikugun Gun Sei Bu (Gunseibu) kepada Kaigun Min Sei Bu (Minseibu). Struktur pemerintahan sebagaimana struktur pemerintahan di masa kolonial Belanda, sebelum Perang Dunia II, di Kalimantan Barat, tidak mengalami perubahan. Sebagai Min Sei Bu Shutcho Sho diangkat Kenkichi Kuno (K Kuno) dengan sebutan Shutchosho Cho Dai Nippon Kaigun Min Sei Bu atau Pembesar Kantor Min Sei Bu Borneo Barat Cabang Pontianak.

Sebelumnya, sejak pendudukan Pontianak, jabatan ini dijabat oleh S Izumi dari Gunseibu (Angkatan Darat) Dai Nippon Teikoku. Izumi menjabat antara Desember 1941 sampai 15 Juli 1942. Bersama Izumi, pimpinan pasukan Angkatan Darat atau Kepala Pasoekan Bintang selama ini dijabat oleh Omino. Beberapa pejabat teras lainnya seperti Okoeda, Watanabe dan Sakano yang bertugas di Singkawang.

Pada 17 Hachigatsu 2602 (17 Agustus 1942), memulai jabatannya memerintah di Pontianak, S Joneda, selaku Borneo Minseibu Pontianak Shibu-Cho. Joneda adalah pembesar militer Jepang yang menggantikan Kuno, peabat atau penguasa militer sebelumnya. Pada 9 Kugatsu 2602 (9 September 1942), organisasi Parindra Kalimantan Barat membubarkan diri atas tekanan pemerintah Dai Nippon. Pembubaran itu didasarkan pada Undang Undang Nomor 23 dari Balatentara Dai Nippon di Jakarta, serta diberlakukannya peraturan larangan untuk berkumpul sejak 27 Juli 1942 yang memang sudah ditetapkan sebelumnya. Pernyataan pembubaran itu ditandatangani Majelis Daerah Parindra Kalimantan Barat yang terdiri dari Ranie Soelaiman, Hidajat Ismail, Notosoedjono, dr RMA Diponegoro dan Mohd Tahir.

Pada 30 September 1942 diumumkan susunan pemerintahan di Pontianak, masing-masing Sigeeda (Bidang Pemerintahan), Kuno (Keuangan), Ishida 9ekonomi) dan Urusan Umum dirangkap Yoneda. Pada hari yang sama diumumkan pula kepengurusan Pontianak Ishutsunyu Kumiai, terdiri dari Ketua Lim Ek djoe dengan anggota Yanagisawa, K Ogawa, Ng Ngiap Soen, Tjhin Tjhong Hin, Nasroen gelar Radja Soetan Pangeran, H Abdullah Fattah, Rohana, Sj Abd b Sj Aboebakar, dan Tarachand.