Sabtu, 03 Oktober 2009

PERJALANAN SEJARAH EKONOMI MODERN INDONESIA

PERJALANAN SEJARAH EKONOMI MODERN INDONESIA
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Koeli Kontrak di Kebun Tebu
Sejarah ekonomi kolonial Hindia Belanda adalah buku tebal yang sarat dengan nuansa benci tapi rindu. Tak bisa dihapus dari jejak sejarah bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah menjadikan bumi Nusantara ini sebagai Keajaiban Asia karena kekuatan ekonominya. Hindia Belanda identik dengan gula, kopi, tembakau, teh, kina, karet, dan minyak sawit, yang menjadi komoditas penting di pasar dunia. Pada 1930-an, seluruh perkebunan Hindia Belanda mencapai luas hampir 3,8 juta hektar, ekspornya senilai 1,6 milyar gulden pada 1929

Skala ekonomi Hindia Belanda tergolong raksasa untuk ukuran Asia. Malaysia, Thailand, dan Filipina jelas belum apa-apa. Menjelang Belanda angkat kaki karena ditendang Jepang, organisasi ekonomi Oost Indie sudah cukup canggih untuk ukuran zaman itu. Bank-bank bertebaran. Pasar modal telah beroperasi. Modal asing pun membanjir di perkebunan, pertambangan, dan manufaktur. Infrastruktur ekonominya cukup memadai. Pelabuhan-pelabuhan siap melayani bongkar muat kapal. Jalur kereta api merentang 6.811 kilometer dengan lebih dari 1.000 unit lokomotif.

Namun, di sisi lain, hiruk pikuk kegiatan ekonomi itu jauh dari niat memakmurkan rakyat. Pribumi tetap jadi warga kelas tiga. Statistik 1930 menunjukkan bahwa dari penerimaan Hindia Belanda yang sekitar 670 juta gulden saat itu, 59,1 juta warga bumiputra Cuma kecipratan 3,6 juta gulden atau setara 0,54%. Penduduk Asia Lain, terutama Tionghoa yang populasinya 1,4 juta, dapat menangguk 0,4 juta gulden. Sedangkan bagian terbesar, 665 juta gulden (99,4%), dinikmati warga kulit putih yang Cuma berjumlah 241.000 jiwa. Namun, pada 1929 warga pribumi menikmati porsi lebih dari separuh atas 3,5 milyar pendapatan nasional ketika itu.

Apa pun, orang-orang Belanda datang dari seberang lautan memang bukan untuk memakmurkan warga bumiputra. Motif mengeduk harta dan mencari kekayaanlah yang membawa ekspedisi dagang Belanda ke Nusantara, seperti dirintis Cornelis de Houtman. Dengan armada berkekuatan empat kapal, ia mendarat di Banten pada 1596. De Houtman sendiri tidak pernah kembali ke negerinya. Ia tewas dalam pelayaran. Namun ekspedisinya membuka mata pedagang Belanda untuk menengok jauh ke Kepulauan Nusantara. Mereka menghimpun diri dalam VOC (vereenigde Oost-Indische Compagnie), yang dibentuk pada 20 Maret 1602 di Amsterdam. VOC jadi perserikatan maskapai. Ia mulai menancapkan pengaruhnya di Banten pada 1603, lalu ke Ambon pada 1605.

Perserikatan dagang itu, bukanlah murni swasta. Separuhnya badan pemerintah. Dia punya hak-hak istimewa. Dalam lima tahun saja, VOC mampu memobilisasi 15 armada, dengan kekuatan 65 kapal yang berbasis di Negeri Belanda. Hak-hak istimewa VOC antara lain membuat kontrak, membangun kekuatan militer, dan boleh mencetak mata uang. Mereka bekerja di Afrika Selatan, India, Malaka, dan seluruh pelosok Nusantara.

Pada awalnya, VOC menjalankan usaha dagang rempahnya dengan cara barter ke warga dan penguasa pribumi. Tak lama, secara sepihak ia mengambil hak monopoli. VOC menjadi satu-satunya pembeli, dan satu-satunya pemain yang menjual ke pihak lain. Untuk urusan inilah, kekuatan militer mereka perlukan. Muncullah benteng-benteng bermeriam dengan tangsi militer di dalamnya di kota-kota pesisir Jawa, Sumatera, Ternate, Tidore, Ambon, dan Banda. Benteng besar itu berfungsi ganda, untuk tempat mengepul barang komoditas sekaligus sebagai kekuatan penekan bagi penguasa pribumi, demi memperoleh kontrak-kontrak eksklusif yang menguntungkan.

Pada masa itu, sejumlah penguasa yang tak sudi tunduk memilih melawan. Namun, dengan kekuatan militer dan kemahiran politik pecah belahnya, VOC tak terkalahkan. Toh, biaya politik itu tidak murah. Perang itu perlu ongkos. Belum lagi, monopolinya itu mengundang keributan dengan pedagang dari Portugis, Spanyol, dan Prancis. VOC keteter dan tumbang. Era itu ditandai dengan hilangnya hak monopoli cengkeh di Ambon karena ekspansi Prancis, 1769-1772. Akhirnya, pada 1799, VOC dinyatakan bangkrut setelah gagal menangani krisis keuangan.

Personel VOC pada tahun terakhir memang makin tak bermutu. Banyak di antara mereka dicomot begitu saja dari orang-orang tidak terpelajar, petualang, preman, bahkan gelandangan. Hasilnya, adalah aparat yang tidak becus, korup, nepotis, dan tukang mabuk. Setelah VOC bubar dan sebentar diambil alih Prancis dan Inggris, administrasi Hindia Belanda dipegang langsung oleh nederland. Konstitusi Belanda 1815 mengatakan bahwa tanah jajahan diurus oleh kerajaan.

Meski singkat, gaya kekuasaan Prancis dan Inggris ikut mewarnai sistem ekonomi Hindia Belanda. Masa itu sebagai periode yang mengubah wajah Jawa dengan perbaikan infrastrukturnya. Pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, perpaduan antara pembaruan dan kediktatoran diterapkan. Pembangunan infrastruktur digeber. Hasilnya adalah Jalan Raya Pos (Groote Postweg), yang membentang 1.000 kilometer dari Anyer ke Panarukan. Waktu tempuh yang dulu 40 hari diirit jadi enam hari. Dia juga berusaha memberantas korupsi dan penyelewengan dalam administrasi Eropa. Kedudukan Daendels pun pada 1911 digantikan oleh Jan Willem Jansens. Namun, tak lama kemudian, Prancis kalah dari Inggris. Hegemoninya diambil alih Inggris.

Di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles, banyak dilakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ia membangun kebun raya di Bogor sebagai taman koleksi botani. Raffles juga melakukan sensus pertama kali dan memberlakukan kebijakan sewa tanah. Pedagang swasta asing tak bisa membeli tanah pribumi, hanya boleh menyewa.

Pemerintahan Raffles Cuma bertahan lima tahun. Hindia Belanda kembali jatuh ke Nederland. Kembali di bawah Belanda, sistem ekonomi dagang ala kolonial kian menjadi-jadi. Apalagi, keuangannya terkuras oleh Perang Diponegoro 1825-1830, yang disusul Perang Padri di Minangkabau 1821-1837, Pemerintah Hindia Belanda semakin rakus. Sistem sewa tanah dihapus oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch, diganti dengan pola yang lebih eksploitatif: cultuur stelsel, perkebunan negara, alias program Tanam Paksa.

Lahan-lahan adat diambil paksa oleh Pemerintah Hindia Belanda. Petani pribumi pemilik lahan diwajibkan menyediakan seperlima tanahnya untuk budi daya tanaman ekspor titipan pemerintah. Semua kerbau dan sapi harus dikerahkan untuk membantu program tersebut. Petani juga masih diwajibkan bekerja tanpa dibayar selama 66 hari setiap tahun. Biaya produksi tebu, kopi, dan tembakau Tanam Paksa itu sangat rendah. Produksi melimpah. Hindia Belanda serta merta menjadi produsen penting di pasar dunia. Oost Indie bisa menyetor 72% dari penerimaan pemerintah kerajaan di Nederland pada 1880-an.

Perkebunan Tanam Paksa itu diusahakan dengan tangan besi. Meski tidak dibayar, para buruh harus disiplin. Kebun harus bebas dari gulma, tumbuhan pengganggu. Yang turut terciprat duit cultuur stelsel adalah penguasa pribumio dan para mediator warga Asia Timur. Kaum pribumi, sons of soil, hanya kebagian pegal linunya. Namun, para petani mulai belajar budi data baru, komoditas ekspor, yang sebelumnya tak pernah mereka sentuh.

Tanam Paksa berakhir pada 1870, seiring derasnya tekanan dari kaum liberal di Nederland. Dimulailah zaman baru kapitalisme kolonial. Kebun-kebun negara diambil alih swasta, dengan perjanjian sewa lahan sampai 75 tahun. Pihak swasta terus memperluas lahannya dengan menyewa tanah petani untuk jangka paling lama 21 tahun, atau membuka lahan baru yang kemudian dikenal sebagai tanah-tanah erfpacht. Kebun-kebun tak lagi berkonsentrasi di Jawa. Bahkan, hingga 1930-an, dari 3,8 juta hektar lahan perkebunan swasta, tak termasuk kebun rakyat, 2,3 juta hektar (60%) di antaranya dibudidayakan di luar Jawa, dengan konsentrasi terbesar di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan.

Nasib rakyat bumiputra mendingan. Mereka bisa bekerja di kebun-kebun Belanda dengan upah mingguan. Perkebunan tebu mengalami zaman keemasan hingga 1930. Pada tahun itu, produksi gula nasional mencapai 3 juta ton. Pekerja di sana sampai 1,3 juta jiwa, lebih dari separonya koeli kontrak. Di Besuki, rakyat ikut menanam tembakau, dan hasilnya dijual ke onderneming-onderneming Belanda. Pemerintah Hindia Belanda membangun banyak lembaga penelitian dan kebin percobaan. Di Bogor, misalnya, dibangun lembaga riset untuk menangani hama dan penyakit tanaman. Ada pula lembaga penelitian yang fokus ke pengadaan varietas baru.

Perekonomian pribumi tumbuh. Banyak warga pribumi pergi haji. Pada 1879-1899, rata-rata 4.500 orang pergi ke Mekkah per tahun. Angkanya naik menjadi 7.700 pada dekade berikutnya, dan mencapai hampir 20.000 jamaah pada 1910. Jamaah haji Nusantara menjadi rombongan terbesar di Tanah Suci.

Politik etis (balas budi) mulai dipraktekkan di Hindia Belanda sejak awal 1900-an. Hasilnya kelihatan. Fokusnya tiga hal: irigasi, edukasi, dan transmigrasi, yang terakhir ini baru dilakukan pada 1930-an. Sekolah dasar untuk pribumi sudah berdiri 95.578 unit pada 1906, dan melonjak jadi 106.089 pada 1910. Konon, diskriminasi jalan terus. Seorang asisten residen (selevel bupati) bisa berpenghasilan 12.000 gulden setahun, kontrolir (selevel wedana) 9.500 gulden. Angka penghasilan pejabat kulit putih bisa tiga kali yang diperoleh kanjeng bupati atau ndoro wedono pribumi, yang tugasnya saling komplementer dengan mereka.

Pada zaman politik etis itu, lembaga perkreditan rakyat mulai muncul. Lembaga kredit tradisional, yang awalnya dimodali oleh lumbung desa (simpanan padi kolektif), dijadikan badan yang lebih efektif. Menjelang Belanda pergi, ada 11.000 unit lembaga kredit pedesaan yang melayani 2,5 juta nasabah. Pemerintah kolonial juga memberikan penyuluhan pertanian, perikanan, suntikan vaksin cacar, dan kegiatan lainnya. Namun, satu hal, Pemerintah Hindia Belanda tak berminat membangun ekonomi pribumi yang benar-benar kuat. Tak banyak tumbuh borjuasi pribumi.

Sejak akhir 1800-an, sektor industri manufaktur dan pertambangan mulai ramai di Hindia Belanda. Manufaktur menyumbang 430 juta gulden pada 1940, lebih besar dari pertambangan yang hanya 250 juta gulden. Sektor perkebunan masih terbesar, 593 juta gulden. Namun, kaum pribumi tak banyak terlibat. Industri skala kecil pun didominasi oleh Tionghoa. Kaum pribumi praktis hanya menyumbang tenaga kerja yang tetap saja diupah dalam nuansa diskriminasi.

Masa gemilang zaman kolonial memang sudah berakhir. Yang tersisa sebagai warisan kolonial hanyalah pohon-pohon tua di perkebunan, bangunan lapuk, dan mesin-mesin yang uzuk. Namun, di baliknya, masih terbaca jelas pelajaran tentang bagaimana membangun disiplin, bekerja cermat, hemat, jujur, dan akuntabel. Ini tak berhubungan dengan kolonialisme.

Era Priyayi Tanpa Borjuasi
Pengusaha asal Jawa berhasil membangun kerajaan bisnis berdampingan dengan konglomerat kolonial Belanda. Iklim politik meruntuhkan konglomerasi itu. Angin liberalisme yang berembus kencang di daratan Eropa imbasnya sampai ke bumi Nusantara. Kaum liberal Belanda bersuara lantang, mencerca sistem Tanam paksa yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda sejak 1830. Mereka menilai, Tanam Paksa menambah beban penderitaan rakyat di tanah jajahan.

Lewat sistem Tanam Paksa, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johannes van den Bosch, mewajibkan petani, terutama di Jawa, menanam tanaman komoditas ekspor: tebu, kopi, tembakau, indigo, dan teh. Bersamaan dengan itu, mulailah gubernemen mendirikan pabrik-pabrik gula di Jawa. Serta membuka perkebunan kopi dan teh di kawasan pertanian dataran tinggi, Jawa bagian barat dan Sumatera.

Dibandingkan dengan tanaman lainnya, tebu memakan lahan pertanian milik petani Jawa paling luas. Pada masa itu, lahan sawah di Pulau Jawa Cuma 483.000 bahu, satu bahu setara dengan seperempat hektar. Yang digunakan untuk penanaman tebu mencapai 41.000 bahu, sekitar seperdua belas dari seluruh tanah pertanian rakyat Jawa. Lahan produk pangan kian berkurang, manakala pemerintah kolonial mewajibkan petani menanam tembakau dan indigo. Akibatnya, krisis pangan melanda pelbagai kawasan yang lahan pertaniannya digunakan untuk menanam komoditas ekspor. Kritik terhadap pelaksanaan Tanam paksa pun semakin keras dilancarkan kaum liberal.

Akhirnya Belanda menghentikan Tanam paksa dan menerapkan sistem liberal pada periode 1870-1900. untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial, modal swasta diberi peluang masuk ke Hindia Belanda. Pembukaan perkebunan besar oleh swasta asing dimungkinkan setelah Belanda menerbitkan Undang Undang Agraria 1870. Undang Undang itu melindungi hak milik petani atas tanah mereka. Di pihak lain, ia memberi kebebasan pada pengusaha asing untuk menyewa tanah milik petani. Selain itu, perusahaan swasta asing juga diiznkan membuka perkebunanan baru di lahan yang belum dikuasai petani.

Para pengusaha swasta Belanda pun berlomba-lomba melakukan investasi di bumi Nusantara. Sebagian besar investor swasta Belanda menggarap sektor pertanian dan perkebunan. Mereka mendirikan puluhan pabrik gula di Jawa, serta membuka perkebunan teh, kopi, dan tembakau. Para petani pedalaman Jawa dan Sumatera, yang dulunya hanya bermain di tataran ekonomi barter alias tukar menukar barang, kini mengenal jual beli. Sebab pengusaha perkebunan membayar sewa tanah petani dengan uang. Selain itu, petani yang semula hanya bekerja mengolah tanah untuk kebutuhannya sendiri kini punya kesempatan bekerja di pabrik gula dan perkebunan Belanda dengan bayaran duit.

Di era kolonial liberal ini, perusahaan swasta Belanda mengalami pertumbuhan sangat pesat. Sejumlah perusahaan swasta Belanda, yang dulunya bermain di tingkat lokal, kemudian berkembang menjadi perusahaan multinasional. Antara lain, muncul kelompok usaha The Big Five: Jacobson van den Berg, Geo Wehry, Borsumij, Internatio, dan Lindeteves. Internatio awalnya didirikan untuk menyelenggarakan perbankan komersial di Hindia Belanda. Ketika krisis gula pada awal 1880-an, Internatio sempat oleng sehingga banting setir ke bidang usaha perdagangan. Lindeteves merintis usaha sebagai importir mesin, sedangkan Geo Wehry dan Borsumij memilih bidang perdagangan umum dan melebarkan sayap ke bidang perkebunan, manufaktur, serta pertambangan.

Walaupun demikian, kehidupan rakyat pribumi tetap terpuruk di jurang kemiskinan. Banyak petani yang kehilangan lahannya, kemudian bekerja sebagai buruh di perusahaan perkebunan Belanda dengan upah yang hanya cukup untuk makan. Sementara itu, perusahaan swasta Belanda mengalami pertumbuhan sangat pesat. Masuknya modal swasta Belanda dan meluasnya ekonomi uang lebih banyak dinikmati para kapitalis Belanda. Pada waktu itu petani Jawa tidak secara aktif memanfaatkan peluang ekonomi yang terbuka untuk memperoleh keuntungan materi dan meningkatkan taraf hidup.

Mereka hanya menyesuaikan diri secara pasif dengan keadaan baru, sekadar memperoleh tambahan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup minimal. Peluang ekonomi ini justru dicaplok orang-orang Cina. Mereka bertindak selaku pedagang perantara yang membeli hasil pertanian, lalu menjualnya kepada pedagang Belanda. Orang-orang Cina juga menjual barang kebutuhan petani, seperti pakaian yang didatangkan para importir Barat ke tanah Jawa. Komunitas pedagang Cina berkembang pesat di seantero tanah Jawa. Pada akhir abad ke 19, orang Cina bukan lagi sekadar pedagang perantara, melainkan juga mulai terjun ke bisnis perkebunan tebu dan ekspor.

Ada belasan orang Cina yang membangun pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan Oei Tiong Ham, yang asal Semarang mendirikan beberapa pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membuka kantor perwakilan perdagangan di Singapura, Belanda dan Inggris. Oei Tiong Ham berhasil membesarkan usaha yang diwariskan ayahnya, Oei Tjie Sien, seorang pelarian politik dari Cina Daratan. Di bawah bendera Firman Kian Gwan, sang ayah merintis perdagangan hasil bumi pada 1860-an. Oei Tiong Ham bukanlah satu-satunya warga yang sukses di masa kolonial Belanda. Dari kalangan pribumi pun muncul pengusaha besar rokok kretek tangguh bernama Nitisemito. Dia satu dari beberapa gelintir orang Jawa yang bisa membaca peluang bisnis di era kolonial. Nitisemito, anak bungsu seorang lurah di Kudus, tak mau mengikuti jejak ayahnya sebagai ambtenaar.

Ekonomi kolonial tak mewariskan borjuasi pribumi. Ketiadaan kelas menengah yang mapan membuat agenda ekonomi mudah berubah. Tak ada kontinuitas kebijakan. Sejarah bangsa di era kolonial banyak melahirkan pahlawan, cendekiawan, dan sastrawan. Tapi Cuma ada segelintir nama saudagar. Penguasa Hindia Belanda tidak punya kepentingan dengan tumbuhnya borjuasi pribumi, yang salah-salah bisa menjadi kekuatan perlawanan. Maka, memasuki paruh abad ke 19, Hindia Belanda ditandai dengan melemahnya peran ekonomi kaum priyayi dan saudagar pribumi. Yang menonjol justru peran pedagang Cina.

Para saudagar Cina ini menjadi pedagang pengumpul, leveransi, agen barang impor, selain penyedia kredir kecil bagi rakyat dan membangun industri pengolahan produk pertanian rakyat. Mereka mendapat kemudahan akses ke modal dan barang, misalnya, yang lebih besar daripada saudagar pribumi. Sejak awal, orang-orang Belanda memang ingin berkuasa secara ekonomi. Jangan heran kalau mereka sudah menerapkan sistem monopoli sejak abad ke 17. Mereka mengontrol pelabuhan dan jalur pelayaran. Saudagar bumiputra dan penguasa pribumi terputus bisnisnya. Namun para pedagang Tionghoa mendapat kesempatan luas.

Pada 1796, misalnya, dari 8.535 desa di pantai utara yang dikuasai sarikat daganbg VOC (vereenigde Oost Indische Compagnie), 1.143 di antaranya diserahkan bulat-bulat kepada pedagang Cina yang juga bertindak sebagai pemungut pajak pertanian. Ketika itu, separuh desa pesisir Jawa sudah dikuasai VOC. Memasuki pertengahan abad ke 19, borjuasi pribumi tetap majal, meski ekonomi nasional tumbuh secara menggebu.

Pengusaha Cina semakin kuat. Kelas menengah pribumi hanya bertumpu pada golongan penguasa birokrat, mulai lurah, para mantri, asisten wedana, ndoro wedono, hingga patih, dan kanjeng bupati. Di Jawa, di luar Vorstenlanden (daerah inti Kerajaan Mataram), praktis semua bupati dikontrol Belanda. Sebagian dari mereka terutama bupati dan wedana, sudah digaji dan hanya memiliki lungguh, tanah beserta petani yang punya kewajiban melayani sang majikan. Kebijakan Gubernur Jenderal Raffles (1812-1818) yang memberikan hadiah tanah kepada penguasa pribumi dipermak habis hingga nyaris tak bersisa.

Celakanya, penguasa pribumi sendiri tak pusing dengan tanah lungguh. Mereka lebih asyik menerima gaji, plus tip pajak dan komisi perdagangan hasil bumi. Bagi mereka, mengurus orang itu lebih luhur ketimbang melakoni bisnis. Walhasil, tak banyak priyayi yang bisa mengakumulasikan modal untuk memperbesar asetnya. Anak-cucu mereka juga enggan berdagang. Mereka lebih memilih jalur profesional, menjadi dokter, insinyur, pengacara, atau berkarier di pemerintahan Hindia Belanda.

Yang gigih terus berniaga adalah saudagar pribumi muslim. Mereka kemudian menghimpun diri dalam Sarikat Dagang Islam, pada 1912, dan membangun koperasi serta menyerukan pemboikotan atas produk-produk Cina. Sarikat ini dimotori RM HOS Tjokroaminoto, dan sejumlah tokoh lain yang umumnya dari kalangan pengusaha tekstil dan batik. Namun, hingga Belanda angkat kaki, para pengusaha pribumi itu belum sempat memperkuat diri dengan mesin-mesin modern. Usaha mereka masih tergolong tradisional.

Kalaupun ada yang boleh disebut berhasil keluar dari impitan penguasa kulit putih dan pengusaha Cina, ia adalah Nitisemito. Saudagar asal Kudus, Jawa Tengah ini, berhasil membangun bisnis rokok kreteknya dengan mesin modern. Pada 1920-an, ia memiliki buruh hampir 10.000 orang. Adalah Nitisemito, wirausahawan pribumi pertama, yang mempromosikan rokoknya bermerek Bal Tiga dengan banner yang ditarik pesawat terbang di Semarang ketika itu.

Hingga Indonesia merdeka, 1945, Indonesia tak memiliki borjuasi pribumi yang kuat. Maka, eksprerimen ekonomi oleh rezim politik berjalan leluasa. Agenda ekonomi mudah berubah, tanpa kontinuitas, karena tak ada kelas menengah pribumi yang jadi penyeimbang. Saudagar Cina tak bisa memainkan peran ini.

Dari Pasar Tradisional Hingga Hypermarket
Sampai 1970-an di Indonesia orang hanya mengenal pasar tradisional yang menyajikan segala macam kebutuhan sehari-hari. Di tempat ini konsumen berbelanja kebutuhan sehari-hari setiap hari. Tetapi kondisi pasar tradisional saat ini sungguh mencemaskan. Betapa buruknya pengelolaan pasar tradisional. Tetapi pada akhir 1970-an di jakarta mulai berkembang satu-dua supermarket. Tempatnya bersih, udaranya sejuk, produk-produknya pilihan, dan konsumen mulai berkenalan dengan belanja mingguan, serta memilih sendiri barang-barangnya dngan menggunakan kereta dorong.

Ruangnya relatif lebih luas, tetapi harga per satu unitnya lebih mahal. Karena masih merupakan hal yang baru, dan harganya relatif mahal, pada awal-awal supermarket diperkenalkan di sini praktis hanya kalangan tertentu yang dapat berbelanja di situ. Baru kemudian di pertengahan 1980-an konsumen Indonesia mulai lebih aktif berbelanja di supermarket. Hal ini antara lain disorong dengan perluasan areal supermarket dan munculnya konsep baru supermarket yang menawarkan produk-produk yang relatif lebih murah.

Konsep supermarket dengan cepat disambut oleh konsumen Indonesia. Hero Supermarket dan Gelael yang semula membidik segmen A pada 1980-an mulai harus berhadapan dengan Golden Trully di gedung Jakarta Theater yang membidik segmen kelas sosial ekonomi B dan B+. Persaingan saat itu cukup menggairahkan, sehingga masing-masing pelaku usaha mulai bersaing dalam pelayanan, variasi produk yang luas dan adakalanya harga. Keadaan ini tidak berlangsung lama, karena beberapa tahun setelah itu muncullah konsep-konsep belanja baru yang disebut grosir atau kulakan.

Tentu saja konsumen yang datang ke toko kulakan ini melakukan pembelanjaan dengan cara yang berbeda. Mereka harus membayar iuran tahunan dan mendaftar sebagai anggota. Kalau di pasar tradisional mereka bisa membeli eceran dalam ukuran kecil-kecil, sekarang mereka harus membeli dalam skala besar. Kereta yang mereka tarik juga besar. Jarak antara rak pada setiap koridor juga sangat lebar.

Barang-barang yang ditawarkan amat bervariasi, mulai dari kebutuhan sehari-hari sampai elektronik, lemari es, dan perlengkapan kantor. Jadi bisa dibayangkan, konsumen yang berbelanja adalah pembeli bulanan berbelanja sebulan sekali, adakalanya untuk keluarga besar atau bahkan untuk dijual kembali di warung-warung, atau mereka melakukan belanja kelompok. Harganya memang miring, tetapi mereka harus membeli dalam partai besar. Kalau mereka tak punya kendaraan sendiri untuk membawa pulang, pasti tidak berbelanja di toko kulakan. Setidaknya Goro dan Makro mengisi segmen itu.

Sekarang persoalannya, bagaimana supermarket tradisional merespons proses evolusi ini. Selain kulakan, supermarket tradisional juga tengah mengalami serangan dari hypermarket. Dalam perjalanannya, supermarket tradisional di berbagai negara di dunia memang tengah mengalami kesulitan-kesulitan. Model bisnis supermarket tradisional menjadi tampak kurang fit bukan semata-mata karena lahirnya hypermarket dan kulakan, tetapi juga dengan munculnya species baru yang mempunyai konsep sedikit berbeda. Gambaran persaingan ini akan menjelaskan bahwa proses ini bukanlah sebuah persaingan biasa, melainkan sebuah proses evolusi yang berlangsung di mana-mana.

Pada konsep retail tersebut, konsumen melakukan pilihan berdasarkan karakteristik kebutuhan, sehingga masing-masing bisa hidup berdampingan, sekaligus membatasi ruang gerak traditional supermarket. Kalau dahulu orang berbelanja mingguan pada supermarket, lalu berbelanja bulanan pada hypermarket dan kulakan atau grosir, maka pertanyaannya adalah bagaimana kalau konsumen memerlukan kebutuhan-kebutuhan mendadak hanya satu atau dua item saja. Mungkin konsumen terlupa membeli sabun mandi atau sikat gigi. Mungkin seorang ibu rumah tangga memerlukan pembalut wanita. Haruskah ia pergi ke tempat yang jauh dari tempat tinggalnya hanya untuk membeli satu atau dua item itu saja ke supermarket.

Convenient strore adalah toko swalayan yang tidak terlalu besar yang menyajikan barang-barang kebutuhan sehari-hari yang sering kali terlupa dibeli oleh konsumen pada saat belanja mingguan atau bulanan. Seven Eleven, seperti namanya dibuka pukul tujuh, sebelum jam traditional supermarket buka, dan tutup pukul sebelas malam, setelah jam traditional supermarket tutup. Jaringan toko ini dibuka di daerah-daerah yang relatif terletak lebih dekat dengan tempat konsumen tinggal atau belanja. Jaringan toko ini dibentuk setelah para pendirinya mempelajari apa saja kebutuhan konsumen pada saat terdesak atau mendadak. Biasanya, pembelanjaannya tidak terlalu banyak, belanjanya sedikit-sedikit, sehingga antrian tidak terlalu panjang dan cepat selesai. Namun pengunjungnya tidak pernah sepi.

Clubstore, seperti namanya, ditujukan kepada konsumen tertentu yang rela mendaftar dan menjadi anggota dengan memegang kartu keanggotaan tahunan. Biasanya konsumen memiliki minat untuk menjadi anggota bila terdapat kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh pasar swalayan. Selain nama spesies, Clubstore adalah juga kebetulan dipakai sebagai nama sebuah toko yang menjajakan produk-produk sebagian besar produk makanan import. Selain The Clubstore, Ranch Market juga masuk dalam kategori ini.

Specialty Store sebenarnya bukanlah spesies baru yang tumbuh belakangan. Specialty store sudah mulai muncul sejak 1980-an di Amerika Serikat. Jaringan ini cenderung tidak mengeksplor keanekaragaman produk, melainkan mengeksploitasi kedalaman pada satu kategori saja. Toko swalayan sepatu, buku, elektronik, komputer, alat-alat dapur, bahan bagunan, gardening, obat-obatan dan suplemen kesehatan, sampai buah-buahan dan sayuran. Di Indonesia mengenal Gramedia dan Kinokuniya (buku), Ace Hardware (perabot rumah tangga), Toys r Us (mainan anak-anak), Electronic City (Consumer Electronic), sampai toko swalayan buah-buahan Total.

Tekanan dari ketiga species baru itu, ditambah dengan pencabangan dari supermarket sendiri kepada hypermarket dan swalayan kulakan, telah cukup membuat ruang gerak supermarket di seluruh dunia menjadi sempit dan bahkan mengalamai tekanan kepunahan. Inilah sebuah proses yang disebut sebagai natural selection yang tidak dapat dihindari.

Para pengelola supermarket sendiri di seluruh dunia telah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan eksistensinya dari kepunahan. Selain bertransformasi dengan memasuki bisnis hypermarket dan memperbaharui komposisi produk dan efisiensi, mereka juga melakukan upaya-upaya hukum untuk membatasi ruang gerak hypermarket. Celakanya upaya-upaya ini seringkali tidak mendapat dukungan dari konsumen karena pergeseran penghasilan telah mendorong pengetahuan konsumen tentang pilihan barang dan belanja menjadi lebih baik.

Trend-nya di seluruh dunia adalah pilihan produk yang lebih luas, kualitas yang lebih baik, namun harga yang lebih murah. Bahkan pada saat bangsa-bangsa di seluruh dunia mengalami krisis ekonomi, tuntutan memperoleh produk yang demikian menjadi semakin kencang terdengar. Solusinya memang menjadi dilematis: antara solusi defensive dengan membentuk opini publik bahwa usaha-usaha besar hypermarket telah mematikan toko-toko kecil, dan memperoleh dukungan para politisi yang memerlukan support dari pemiliknya, atau solusi offensive, yaitu memperbaharui diri dan bertransformasi menjadi hypermarket.

Persaingan antarkategori pasar tradisional dengan kategori pasar swalayan telah memunculkan kategori-kategori baru seperti hypermarket, kulakan, clubstore, convenient store, dan specialty store. Mekanisme pencabangan ini patut dipahami oleh semua orang agar tidak terperangkap dalam pola pikir tradisional, seakan-akan sesuatu yang tidak fair telah terjadi menimpa sehingga cenderung menyangkal adanya realita baru dan bertindak defensif.

Hari Gini Masih Ada Pasar Becek?
Menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan peran pasar tradisional. Benarkah ia akan mengalami kepunahan? Logika awam, yang dibentuk oleh berbagai opini menunjukkan bahwa dengan munculnya aneka usaha modern, maka pasar tradisional akan punah, dan pedagang-pedagang kecil akan kehilangan pelanggan karena kalah bersaing. Meski pendapat ini sangat masuk akal, fakta yang terjadi di lapangan berbeda dengan opini-opini tersebut.

Sebagian besar barangkali pernah dibesarkan dalam suasana pasar becek. Yang dimaksud pasar becek adalah pasar tradisional, atau pasar Inpres, tempat segala pedagang menjajakan barangnya. Terdiri dari los-los panjang yang hanya bagian tertentu diberi atap. Jalannya kecil, terbuka di bagian atas. Di pasar itu bisa menemui apa saja. Mulai dari ikan basah, ikan asin, sayuran dan buah-buahan, kelapa parut, makanan dan kue-kue, kopi the, gula pasir, beras, panci-panci, barang-barang dari plastik, kain, baju, sepatu, jamu dan sebagainya. Pokoknya komplit, murah, ramai, dan tentu saja becek.

Maklum, jalannya sempit, pedagang dan pengunjungnya padat. Sementara itu sistem penanganan limbahnya tidak memadai. Sehingga pedagang pun membuang limbah di depan dagangan mereka sendiri-sendiri: sayuran busuk, ampas kelapa, buangan air kelapa yang menghitam, bercampur dengan air ikan dan darah daging yang menetes di lantai. Orang yang berbelanja kadang harus berdesak-desakan. Kadang berdiri, kadang berjongkok. Memilih barang, sekaligus menawar harganya. Kadang orang berpura-pura pergi karena merasa kemahalan, tapi setelah agak jauh dipanggil kembali dan harga disepakati.

Yang jualan tidak pakai seragam, bahkan pakaiannya pun agak lusuh dan berpeluh keringat. Hidup mereka serba pas-pasan. Orang bukan membeli abon satu kilo, tetapi satu ons, shampoo-nya bukan botolan, tetapi sachet. Minyak goreng bukan literan atau botolan, tetapi beli seberapa banyak uang yang dipunya. Penjual lalu menakar minyak memakai canting-canting kecil dan memasukkan ke botol sirup yang dibawa. Buah-buahan dibeli dengan harga satuan, bukan kiloan.

Pada 1970-an sampai awal 1980-an, praktis sebagian besar masyarakat Indonesia berbelanja di pasar seperti ini. Sebuah pasar yang ramai, baunya campur aduk dan cebeknya bukan kepalang. Ketika era supermarket, dan belakangan hypermarket berkembang, muncullah polarisasi. Mereka yang tadinya berbelanja di pasar tradisional dengan membawa mobil mulai beralih ke supermarket.

Apakah yang harus dilakukan? Melarang supermarket sama sekali tidak beroperasi, atau memperbaharui pasar tradisional? Para politisi tentu memerlukan suara dari voters mereka. Tetapi argumentasi mereka sungguh menarik: pasar swalayan harus dibatasi, dilarang mendekat pasar-pasar tradisional. Mereka lupa, ada ribuan bahkan jutaan konsumen yang sudah membutuhkan suasana belanja yang menyenangkan dan nyaman. Mereka ini juga rakyat, juga punya hak suara. Padahal, wakil rakyat dan keluarganya di mana-mana juga sudah berbelanja di supermarket dan hypermarket.

Alih-alih mendorong standar pengelolaan yang tinggi, politisi justru mendorong agar pasar tradisional tetap becek. Tanpa peremajaan pasar, bagaimana nasib para pedagang kecil? Pasar tradisional bisa terus hidup kalau jaringan distribusi barang-barang pertanian bisa diperbaiki efisiensinya. Salah satunya adalah dengan memberi ruang agar para kelompok tani bisa langsung menjual hasil pertaniannya di pasar induk tanpa melalui tengkulak atau para pengumpul. Dengan sistem yang lebih baik, maka dibangun pasar induk yang relatif bersih, lebih modern dan terencana dengan baik.

Persaingan antarkategori pasar tradisional dengan kategori pasar swalayan telah memunculkan kategori-kategori baru seperti hypermarket, kulakan, clubstore, convenient store, dan specialty store. Mekanisme pencabangan ini patut dipahami oleh semua orang agar tidak terperangkap dalam pola pikir tradisional, seakan-akan sesuatu yang tidak fair telah terjadi menimpa sehingga cenderung menyangkal adanya realita baru dan bertindak defensif.

Belajar dari “Zaman Meleset” Amerika Serikat
Krisis keuangan global yang melanda Amerika Serikat meninggalkan jejak, antara lain, berupa kota-kota hantu (ghost town). Kota-kota kecil itu dibangun sepanjang awal 2000-an dan mulai diserap pasar pada 2005. Disebut kota hantu, karena sejak pertengahan 2007, para penghuninya menyatakan tidak lagi mampu membayar dan mengembalikan rumah mereka kepada developer atau terpaksa disita oleh bank. Perlahan-lahan rumah-rumah itu berubah menjadi kusam, sepi, gelap, tidak ada kehidupan.

Rumah adalah idaman setiap keluarga di seluruh dunia. Tak terkecuali di Amerika serikat yang perumahannya dibangun dengan konsep impian kelas menengah. Secara sosiologi, kelas menengah adalah perekat antara orang-orang kaya dan kaum pendatang baru (imigran miskin) yang ditandai dengan kepemilikan rumah. Maka ketika para pelaku di sektor keuangan berhasil meramu konsep baru yang memungkinkan para imigran dan kaum miskin bisa membeli rumah sendiri, mereka pun dijuluki jenius.

Jenius itu bekerja mengikuti pola seniornya yang dulu pernah menghasilkan konsep junk bonds (surat utang berisiko tinggi), yaitu Michael Milken. Milken sudah dipenjara pada 1990-an dan kariernya tamat setelah skandal keuangan yang direkayasanya memakan banyak korban. Cara kerjanya adalah dengan memberi bunga tinggi bagi debitor-debitor yang kesulitan memperoleh kredit karena risiko gagal bayarnya besar.

Kredit seperti itu masuk dalam kategori junk karena berisiko besar sama seperti junk foods yang harganya murah tetapi berkolesterol tinggi karena kaya minyak dan cream. Tentu investor hanya memberi pinjaman kalau perangsangnya menarik, yaitu bunga tinggi. Setelah dikemas-kemas dengan sangat menarik masuklah investor-investor besar dan, seperti diduga, setelah jangka waktu tertentu semua debitor itu tak mampu membayar.

Barangkali kalau dianalogikan kurang lebih sama dengan kredit sepeda motor yang diberikan kepada para penganggur dalam jumlah besar yang hampir dipastikan akan gagal bayar. Namun, para pemberi kredit berkilah mereka sudah untung dari bunga yang tinggi, meski beberapa peminjam mengakui angka kegagalannya sudah di atas 15%.

Kembali ke Junk Bonds dan Michael Milken. Milken adalah skandal 1990-an. Sedangkan Mortgage Ghost Town adalah skandal abad ke 21. cara kerjanya juga mirip, yaitu ditujukan kepada orang-orang yang penghasilannya masih belum memungkinkan membeli rumah, atau mungkin caranya lebih jenius namun lebih terkesan konspiratif. Para pengejar impian untuk memiliki rumah yang kondisi keuangannya belum layak pun menjadi sasaran. Kelompok ini diberi nama subprime, untuk membedakannya dengan nasabah kaya yang sudah dianggap layak meminjam (disebut prime). Bank dengan sukarela memberi pinjaman kepada kelompok berisiko ini. Tapi, dari mana bank memperoleh pembiayaannya?

Bank mengemas ulang kredit tersebut menjadi surat-surat berharga yang diperdagangkan dalam pasar keuangan. Dengan kecanggihan pengemasan produk derivatif keuangan, surat-surat berharga itu berhasil memperoleh peringkat AAA—yang artinya sangat bagus. Pengemasan itu tidak hanya berhenti sampai di sini. Surat-surat berharga itu dikemas lagi berkali-kali lipat, diedarkan oleh investment bankers, dibentuk dana-dana lindung nilai (swap), dan diciptakan surat-surat berharga turunannya lagi, demikian seterusnya. Jadi, ketika kredit kepemilikan rumah (KPR) jatuh tempo, para konsumen subprime tak mampu membayar, karena memang sesungguhnya mereka belum layak memiliki rumah secara ekonomis.

Akibatnya, runtuhlah sektor keuangan Amerika Serikat. Puluhan ribu orang yang bekerja pada sektor keuangan yang menangani konsumen subprime pun menganggur, jumlahnya jauh melebihi Krisis 911 yang menimpa industri penerbangan pada 2001 dan menjadi semacam folklore, cerita rakyat sehari-hari. Rumor tentang Ghost Town pun merebak, puluhan ribu rumah disita bank, dan bunga banknya disita negara karena ribuan rumah terpaksa disita dan ditinggalkan pemiliknya (Baca: Washington Time, 23 Agustus 2007).

Folklore itu beredar luas, mulai dari Cleveland (Ohio) sampai San Francisco (California), dan menciptakan ketakutan-ketakutan besar. Semua orang pantas berkecil hati, Ghost Town bukan hanya merampas rumah mereka, melainkan juga pekerjaan, kesehatan, jaminan hari tua, dan seluruh sisa kekayaan yang telah ditabung bertahun-tahun. Orang-orang sakit di mana-mana, pengangguran meluas, komunitas-komunitas menghilang dan kriminalitas merebak. Para kriminal itu mendatangi rumah-rumah kosong dan mengambil material-material yang masih tertinggal (Baca: Ascierto & Enfinger, Juni 2007). Selain mereka, para pelaku sektor keuangan yang dulu menjadi warga terhormat kini menjadi napi dan dicaci maki di seluruh dunia.

Indonesia di Persimpangan Jalan
Meskipun ketakutan-ketakutan terhadap bencana resesi keuangan global telah menular dan menjadi epidemi di mana-mana, pengusaha dari negeri yang sedang menghadapi badai berkabut tebal itu, Amerika Serikat dan Eropa Barat, justru melihat peluang ada di sini. Berikut kutipan bagian bawah tulisan dari sebuah berita di harian berpengaruh Finacial Time, sebagai berikut:

… tetapi, meskipun perusahaan-perusahaan Am,erika mengalami masa-masa sulit untuk meraih keuntungan di Amerika Serikat dan Eropa Barat, menjalankan bisnis di negara berkembang jauh lebih menarik. Di pasar negara-negara Barat, inflasi bergerak lebih cepat daripada daya beli (kenaikan pendapatan), di negara-negara berkembang justru terjadi sebaliknya. Di negara-negara berkembang, konsumen justru sedang mengalami peningkatan daya beli riil meski inflasi juga meningkat, ujar Clayton Daley, Chief Finacial Officer Procter & Gamble dalam sebuah seminar investasi bulan lalu.

… P&G, seperti perusahaan multinasional dalam bidang consumer goods lainnya, telah memanfaatkan kuatnya permintaan dan daya beli dari negara-negara berkembang untuk meng-offset pelambatan permintaan di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Pada tahun 2001, total penerimaan dari penjualan P&G dari negara-negara berkembang hanya US$8 miliar. Sekarang, angkanya telah meroket menjadi US$25 miliar dan merupakan bisnis yang tumbuh paling cepat (Finacial Times, 10 Oktober 2008, hlm 16).

Meskipun begitu, semua orang tetap khawatir, krisis yang terjadi di Amerika Serikat, dengan Ghost Town-nya, dan Eropa Barat dapak berdampak ke negara-negara pengekspor utama Amerika Serikat yang mulai masuk dalam kategori negara kesejahteraan baru, yang dikenal dengan istilah CIBR, yaitu Cina, India, Brazil, dan Rusia. Di negara-negara ini, semangat kapitalisme yang ditandai oleh ekonomi pasar, yaitu kuatnya pasar modal, pasar komoditi, dan pasar tenaga kerja, telah tumbuh mengikuti pola Barat. Namun, kalaupun krisis terjadi, para pelaku usaha di negara-negara maju tetap berkeyakinan mereka hanya terpengaruh sesaar. Asalannya, masih banyak ruang di negara-negara itu untuk tumbuh.

Dunia menjadi cemas karena negara pengalih perhatian yang menjadi sorotan hanyalah Cina, yang menjadi buah kesayangan dunia sepanjang 2000-an. Sejak 2000, Cina dipercaya menjadi motor enggerak ekonomi dunia yang baru dengan pertumbuhan yang sangat mengesankan dalam investasi dan perdagangan dan dipimpin dengan disiplin tinggi. Padahal di luar Cina masih ada India dan Indonesia yang mempunyai pasar domestik yang relatif jauh lebih aman dengan ruang pertumbuhan yang sangat besar.

Di India misalnya, alat pemanas microwave baru diserap sekitar 20% dari total rumah tangganya, sementara di Cina dan Brazil penyerapan sudah di atas 50%. Sedangkan Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan konsumsi ponsel dan sepeda motor terbesar di dunia sepanjang 4 tahun terakhir dan jumlah kelas menengahnya tumbuh terus. Jadi, pasar domestik yang kuat adalah suatu kemewahan di zaman serba turbulen, zaman yang selalu dilanda krisis. Persoalannya tinggal bagaimana para pemimpin merestorasi rasa percaya agar kalangan berduitnya mau memutar uangnya di dalam negeri.

Ekonomi perputaran adalah awal bagi ekonomi daya beli dan keinginan membeli. Dari negara-negara yang sudah terkena dampak krisis keuangan global, para pelaku usaha melihat ruang yang besar untuk tumbuh itu justru ada di sini. Yang masih jadi masalah adalah ekonomi perputaran, bukan daya beli itu sendiri. Dan perputaran masih terhambat oleh birokrasi yang terkesan kuno dan penuh belenggu.

Constraint dan Makna Krisis Globasl
Indonesia sebenarnya berpotensi terhindar dari krisis keuangan global. Bahkan tak seharusnya terkena dampak. Kalaupun ada, seharusnya datang lebih sebagai percikan-percikan kecil, bukan gelombang besar. Semua itu dapat dihindari kalau pemerintah mampu merelaksasikan constraint yang ada pada dirinya. Pemerintah terlihat sulit merespons perubahan karena organisasinya sarat dengan belenggu, yaitu constraint yang diciptakan oleh berbagai pihak, mulai dari perlemen, lembaga-lembaga hukum, pengawasan, prosedur sampai tradisi yang diciptakan oleh para pendahulunya.

Sebagian dari belenggu itu mungkin cocok pada waktunya, tapi tidak pada waktu yang lain, yaitu saat pemerintah-pemerintah di seluruh dunia bersaing dalam memperebutkan investasi dan malayni publik. Reformasi birokrasi seharusnya ditujukan pada dua pokok constraint yang membelenggu pemerintah, yaitu keuangan dan sumber daya manusia beserta desain organisasi pemerintah. Khusus untuk keuangan, perlahan-lahan reformasi sudah mulai terbentuk, yang dimulai dari Departemen Keuangan. Tetapi ini pun masih sangat terbatas di departemen itu sendiri. Seharusnya relaksasi constraint itu dilakukan secara menyeluruh di semua departemen, meski dilakukan secara bertahap.

Selain itu, juga tampak relaksasi tidak disukai para politisi yang berasumsi pemerintah yang baik adalah penguasa yang terpasung yang diucapkan sebagai kekuasaan yang terbatas. Sementara itu, reformasi dalam bidang SDM dan desain organisasi pemerintahan belum terlihat sekelebat pun. Jadi, jangankan budaya kerjanya, organisasi dan sistem kepegawaian pun belum banyak diperbaharui.

Untuk melihat kokohnya belenggu (constraint) di pemerintahan, dapat diberikan ilustrasi berikut:

Pengadaan barang harus melalui tender. Meski untuk membeli komputer bisa dengan cepat melakukan pengecekan segera ke pasar dan menawar dengan harga yang terendah, harus melakukan secara sistematis mulai dari pembuatan proposal, persetujuan anggaran, pengumuman tender di media massa, pembentukan panitia lelang, penawaran, dan seterusnya. Persoalan muncul manakala dibutuhkan pembelian-pembelian pengganti yang jumlahnya tidak besar. Selain itu banyak barang atau jasa yang paling efisien. Meski semua orang tahu hampir tak ada tender yang benar-benar fair dan bebas dari kolusi, tender masih dianggap sebagai metode yang terbaik.

Lalu, rekrutmen pegawai. Rekrutmen bersifat sabgat mekanistik dan dilakukan secara tertutup. Semua orang harus masuk dari pintu bawah, dengan syarat-syarat yang bersifat umum. Tes yang dilakukan juga bersifat sangat umum. Kalau ada calon pegawai yang bagus, sulit diterima kalau tidak melalui pintu terbawah.

Rekrutmen pejabat. Dilakukan dari sumber yang sangat terbatas, ayitu kalangan internal pegawai negeri dari pangkat yang telah ditentukan. Akibatnya sulit memasukkan kaum profesional yang sudah terbiasa bekerja dengan etos kerja cepat, dari luar pemerintah, untuk mewarnai birokrasi

Jenjang kepangkatan didesain sangat kaku. Seorang yang berprestasi dan berpotensi untuk memimpin suatu direktorat belum bisa diangkat selama pangkatnya belum mencukupi. Akibatnya, demografi birokrasi pada level pimpinan terlihat tua. Pengangkatan pejabat lebih digariskan menurut kepangkatan, bukan komptensi atau kesanggupan menjalankan misi atau mencapai hasil

Pengambilan keputusan lebih bersifat dilempar ke atas. Semua keputusan harus diambil pemimpin tertinggi pada unit masing-masing.

Belenggu gaji. Pegawai negeri sipil adalah profesi dengan penghasilan yang relatif kecil. Meski peminat untuk menjadi pegawai negeri tetap besar, penghasilan yang rendah ini dapat mengakibatkan empat hal, yaitu rendahnya rasa percaya diri, rendahnya kemampuan meningkatkan diri, mengeluarkan potensi masuknya manusia-manusia alpha , yaitu manusia berkualitas untuk memimpin lembaga atau perusahaan besar dan birokrasi pemerintahan, sebagai calon pemimpin di pemerintahan, dan berpotensinya pegawai negeri sipil mencari penghasilan di luar gajinya.

Tradisi menghabiskan anggaran. Anggaran umumnya baru bisa dicairkan pada pertengahan tahun. Dengan demikian, anggaran setahun harus dihabiskan dalam tempo enam bulan atau kurang. Akibatnya, pada Desember, pegawai negeri sibuk menghabiskan anggaran. Dalam banyak hal, tidak jarang kegiatan diadakan sekadar untuk menghabiskan anggaran.

Proses perumusan anggaran sangat panjang. Setiap pejabat yang baru dilantik tidak dapat dengan cepat melakukan sesuatu yang baru. Ia hanya bisa menjalankan program-program yang anggarannya sudah diplot oleh pendahulunya setahun sebelumnya. Bahkan mengubah pemakaian mata anggaran memerlukan persetujuan parlemen. Bila tidak, pejabat dapat dikenai sanksi.

Tentu ada banyak lagi constraint lain yang masih harus dikendurkan. Sebagian kalangan di birokrasi menyangkal bahwa hal-hal yang disebutkan di atas merupakan belenggu untuk kemajuan. Mungkin sebagian besar memang sangat dibutuhkan oleh mereka yang sudah terbiasa dengan cara kerja birokrasi yang standar dan rutin. Sebagian lagi merasa belenggu-belenggu itu lebih sebagai proteksi untuk kepentingan karier mereka. Namun harus melihatnya dari kacamata kepentingan yang lebih besar, yaitu pemerintahan modern, efektif, berdaya guna, resposif, dan efisien.

Kalau birokrasi Indonesia mampu menjadi lebih baik, infrastruktur yang rusak dengan cepat dapat diperbaiki, yang kurang cepat ditambah, pelayanan sangat memuaskan, dan biaya birokrasi (perizinan dan lain-lain) tak perlu semahal hari ini.

Belajar dari Negeri Tirai Bambu
Warisan sejarah adalah beban bagi generasi selanjutnya yang dibesarkan dalam situasi yang berbeda. Setiap pemimpin baru datang ia hanya punya 2 pilihan, yaitu melanjutkan hal-hal lama yang dinilai masih relevan, atau mengubahnya sama sekali karena tuntutan sudah berubah. Tipe yang pertama disebut manajer karena ia bekerja memelihara sistem yang sama. Sedangkan, kata pemimpin hanya dapat dianugrahkan pada tipe ke 2 karena dibutuhkan lebih dari sekadar kemampuan manajerial untuk memutuskan warisan sejarah.

Cina modern seperti sekarang barangkali juga tidak akan pernah disaksikan kalau tidak ada orang yang berani memutus warisan sejarah. Bayangkan betapa kuatnya pengaruh warisan Mao dengan sistem komunismenya yang mengalir pada setiap tetes darah rakyat Cina. Sistem yang dikawal oleh Sentaro dan birokrasi yang terpusat tampaknya tidak mudah digoyang oleh siapa pun. Tetapi, Deng Xiao Ping melihatnya dengan cara yang berbeda dan ia mengambil risiko memutar sejarah. Kelak karyanya diteruskan dan diperbaharui lagi oleh anak didiknya sendiri Jiang Zemin, presiden sekaligus arsitek reformasi ekonomi Cina. Ia pun mengalami kendala yang sama ketika hendak melakukan transformasi terhadap BUMN-BUMN Cina pada 1994.

Jiang sempat pusing menghadapi kinerja BUMN-BUMN-nya. Padahal, sekitar 60% output produksi negara tersebut dikuasai oleh BUMN dan mempekerjakan hampir setengah angkatan kerja. Tetapi BUMN-BUMN itu rugi dan nyaris bangkrut. Perubahan sudah digerakkan, tetapi hampir selalu gagal karena resistensi di antara karyawan dan politisi begitu kuat. Titik terang mulai tampak setelah Jiang membaca tulisan Dr Song Jian, dari Universitas Shanghai. Tulisan yang dimuat dalam jurnal antropologi ekonomi itu menyiratkan bahwa BUMN-BUMN Cina menderita tiga penyakit yang berakar dari warisan sejarah, yaitu cult of personality (pengkultusan atasan dan individu), cult of the planned economy (kompleksitas dan birokrasi) dan cult of ownership (campur tangan berlebihan dari berbagai pihak).

Segera setelah membaca artikel itu, Jiang pun langsung bergerak. Ia memerintahkan Zhu Rongji, perdana menteri sekaligus ketua komisi ekonomi dan perdagangan Cina, semecam kementerian BUMN di Indonesia, untuk bertindak. Zhu kemudian memotong cult of the planned economy dengan membubarkan, melakukan merger, atau melakukan spin off sebelas kementerian atau setingkat kementerian yang menjadi biang keladi birokrasi.

Cult of personality dirobohkan dengan memangkas sekitar tiga puluh ribu jabatan tingkat menengah dan hampir setengah juta jabatan tingkat bawah. Upaya yang terbilang radikal ini bukannya tidak mendapatkan tantangan. Tetapi Zhu jalan terus dan didukung atasannya. Katanya, BUMN overcapacity (produksi) dan kelebihan tenaga kerja, jadi harus ada perubahan mendasar. Artinya harus menutup BUMN-BUMN yang tidak sehat. Kalau pemutusan hubungan kerja ini menyebabkan pengangguran, ini merupakan tanggung jawab negara, bukan perusahaan. Zhu berpendapat, BUMN hanya boleh diisi oleh mereka yang memiliki kompetensi dan kinerja.

Puncaknya terjadi ketika Zhu membersihkan cult of ownership. Lagi-lagi, dengan dukungan penuh Jiang Zemin, Zhu membawa para birokrat dan direktur BUMN yang terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum ke pengadilan. Salah satu tuntutan hukum yang menonjol adalah ketika Zhou Beifang, Direktur Utama Capital Iron and Steel Corporation, didakwa melakukan korupsi dalam proses tender. Padahal Zhou dikenal sebagai orang kuat karena kedekatannya dengan anak Deng Xiaoping, pendahulu sekaligus mentor Jiang Zemin.

Pemberantasan korupsi dilakukan seirng dengan perubahan komposisi kepemilikan BUMN. Zhu mengubah struktur kepemilikan yang dahulu dikuasai negara seratus persen, menjadi kepemilikan publik atau gabungan antara keduanya melalui bursa saham. Di negara komunis yang hanya mengenal kepemilikan oleh negara, langkah Zhu mengundang kritik hebat dari tokoh-tokoh politik. Tapi setiap kali menghadapi masalah politik, Jiang Zemin-lah yang maju ke depan. Dalam sebuah kesempatan, Jiang berkata, kepemilikan penuh oleh negara telah menjadi dogma dan dalam ekonomi modern dogma tidak berlaku. Realitaslah yang seharusnya mendikte hidup.

Langkah-langkah Zhu menstimulusi perubahan-perubahan mendasar dalam lingkungan BUMN Cina. Seperti yang disampaikan oleh Sheng Huaren, mantan Direktur Utama Sinopec, powerhouse migas Cina, perubahan besar terjadi ketika harus bertanggung jawab terhadap laba dan rugi. Menemukan kenyataan bahwa harus melakukan perubahan di berbagai area termasuk dalam masalah hukum, manajemen, dan pengambilan keputusan yang efektif.


Upaya pemutusan warisan sejarah ini berbuah manis. Sepuluh tahun setelah program transformasi dijalankan. Cina kini telah memiliki sedikitnya dua puluh powerhouse kelas dunia. Tidak hanya itu, berkat kualitas powerhousenya yang sehat, pertumbuhan ekonomi Cina stabil di angka sembilan sampai dua belas persen per tahun. Sebuah pertumbuhan yang luar biasa. Pengalaman mendasar dari Cina yang dapat dipelajari adalah bahwa setiap upaya pemutusan warisan sejarah harus beranjak dari akar sejarahnya. Dan yang harus diputus adalah warisan sejarah yang bersifat negatif.

Krismon sebagai Sejarah Eekonomi
Krisis ekonomi telah menyadarkan bahwa perekonomian Indonesia adalah bubble economy (perekonomian gelembung) yang dikelola dengan penuh kelengahan. Ibarat balon, Produk Domestik Bruto terus tumbuh secara pesat. Namun, utang luar negeri ternyata menjadi energi utama yang menyebabkan pertumbuhan itu. Krisis adalah konsekuensi pertumbuhan yang diimbangi utang. Penguatan peran swasta yang tidak didukung oleh mobiliasi tabungan domestik, akhirnya memaksa sektor swasta membuka keran utang luar negeri. Besarnya utang jangka pendek akhirnya membuat nilai tukar Rupiah ambrol.

Pada awal krisis, memang sempat diduga bahwa jatuhnya Rupiah diakibatkan oleh kejatuhan mata uang Baht (Thailand) dan Peso (Filipina). Namun segera terbukti, bahwa pada saat-saat siklus krisis memasuki tahap kematangan (maturity), Indonesia menjadi pusat krisis. Dalam episode Asian Turmoil, Thailand adalah pintu masuk, Korea adalah tempat mematangkan krisis. Dan Indonesia adalah tempat di mana krisis bercokol dalam waktu lama. Menjelang Mei 1997, pemerintah (Bank Sentral) berkali-kali mengumumkan bahwa cadangan devisa aman, pertumbuhan ekonomi mantap, dan inflasi terkendali. Krisis nilai tukar, yang saat itu mulai melanda mata uang Baht (Thailand), diyakini tidak akan menular ke Indonesia. Saat itu cadangan devisa Indonesia mencapai US$ 23 Miliar atau ekuivalen dengan 5,5 bulan impor. Menurut ukuran konvensional, cadangan devisa dianggap aman kalau jumlahnya cukup untuk mem-backup impor selama 3 bulan.

Krisis adalah konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang dibimbing utang (growth led by debt). Era penguatan peran swasta tidak didukung oleh mobilisasi tabungan domestik. Mestinya, swastanisasi diletakkan di atas pondasi ketercukupan modal domestik sehingga utang luar negeri benar-benar diposisikan sebagai pelengkap. Namun kesenjangan antara tabungan dan investasi (saving investment gap) membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya modal asing. Ketika ada guncangan pada sistem politik, modal asing pun segera hengkang. Bukan cuma modal asing, modal yang dimiliki oleh masyarakat domestik pun ikut terbang ke mancanegara.

Selama puluhan tahun, pembangunan ekonomi Indonesia dikelola bukan dengan rasionalitas ekonomi. Melainkan rasionalitas politik. Pertumbuhan digenjot untuk memberi kesan keberhasilan secara makro, yang akan memberi credit point bagi penguasa. Inflasi ditekan, antara lain dengan pemilihan metode IHK atau Indeks Harga Konsumen yang bias, bukan deflator GDP, untuk memberi image stabilitas ekonomi. Bank Sentral digunakan sebagai kasir, karena sering menerima tekanan politik untuk mencetak uang baru, demi menutupi defisit anggaran.

Beberapa saat setelah Rupiah terdepresiasi tajam, banyak pejabat meyakinkan rakyat bahwa krisis, baik krisis nilai tukar Rupiah maupun krisis sembilan bahan pokok (sembako), merupakan gejala jangka pendek. Ungkapan seperti itu sedikit banyak mengandung makna politis guna menambal legitimasi pemerintah (rezim Orde Baru) yang mulai goyah. Padahal krisis akan terus berlangsung dalam jangka waktu lama. Gejala jangka pendek merupakan pondasi bagi apa yang terjadi dalam jangka panjang.

Terdapat lingkaran setan (vicious circle) yang membuat krisis perekonomian akan berlangsung lama. Bahkan seolah tiada akhir. Awalnya adalah depresiasi Rupiah, krisis moneter, kemudian menjadi krisis kepercayaan (confidential crisis), kemudian rush yang menyebabkan spiral inflasi, berlanjut pada ketidakpastian atau instabilitas. Faktor ketidakpastian dan instabilitas ini memberi dampak kepada depresiasi Rupiah dalam stadium lanjutan, lalu merembet lagi ke krisis kepercayaan yang makin parah, dan seterusnya. Awalnya adalah depresiasi Rupiah. Juli 1997, kurs masih stabil Rp 2.430/US$. Bulan Agustus 1997, kurs Rupiah terdepresiasi ke level Rp 2.400-an per US$. 14 Agustus 1997, Bank Indonesia mengumumkan pelepasan ambang batas kurs intervensi.

Artinya, Indonesia mengganti sistem nilai tukar dari managed floating menuju free float exchange rate. Kurs langsung anjlok ke tingkat Rp 2.600-an per US$. Bulan Oktober, Rupiah anjlok lagi mencapai Rp 3.300-an per US$. Desember, Rupiah melemah terus. Ambang batas psikologis Rp 4.000/US$ ditabrak pada minggu pertama Desember. Pada akhir 1997, kurs sudah Rp 6.000/US$. Kemerosotan Rupiah tak tertahankan. Pertengahan Januari 1998, Rupiah anjlok sampai diperdagangkan pada kurs Rp 16.500/US$. Artinya, confidential crisis sudah memuncak.

Mekanisme Pasar Bukan Solusi
Masyarakat mulai gelisah. IMF turun tangan dan merekomendasikan anggaran pemerintah disusun secara ketat. Konsekuensinya banyak subsidi dipangkas, termasuk subsidi BBM dan Bulog. Dampaknya, harga-harga melonjak tinggi. Terjadi inflasi sembilan persen pada Januari. Bayangkan, inflasi dalam satu bulan sama dengan satu tahun pada situasi ekonomi normal! Semakin nyata bahwa krisis bukanlah bersifat jangka pendek. De-stabilitasi Rupiah juga bukan gejala sementara. Sebab selama masih ada ketidakpastian jangka panjan, pilihan untuk memegang valuta asing (valas) jelas dianggap lebih baik daripada memiliki kekayaan dalam bentuk Rupiah.

Sistem pasar bebas bukanlah sesuatu yang tanpa prasyarat. Salah satu prasyarat penting adalah asumsi bahwa masing-masing pelaku pasar, baik pembeli maupun penjual, sama-sama mengetahui informasi secara sempurna. Kalau ada distorsi sedikit saja, maka akan terjadi disekuilibrium. Kalau terjadi transaksi di mana ada unsur insider trading, salah satu pihak memiliki informasi lebih banyak dibandingkan yang lain, maka yang terbentuk adalah harga keseimbangan semu (pseude-equilibrium price). Mekanisme pasar diyakini sebagai solusi dari krisis yang melanda Indonesia.

Ketika Rupiah mengalami tekanan jual pada pertengahan Agustus 1997, Bank Indonesia justru melepaskan pita kurs intervensi. Ada keyakinan bahwa jatuhnya Rupiah adalah overshooting jangka pendek yang akan pulih dengan sendirinya dalam jangka panjang. Indikasi keyakinan soal ampuhnya mekanisme pasar, tampak antara lain pada hal-hal berikut. Pertama, desakan IMF terhadap demonopolisasi Bulog (Badan urusan Logistik). Artinya, harga sembilan bahan pokok (sembako) ditentukan oleh kekuatan demand dan supply di pasar. Padahal pasar dipenuhi pada spekulan, atau mereka yang suka ambil untung jangka pendek. Kedua, penolakan AS, IMF dan G-7 tentang implementasi CBS (Currency Board System) di Indonesia. Karena kemampuan Indonesia untuk menggunakan CBS memang sangat terbatas.

Kalau CBS gagal, dan pemerintah harus mendevaluasikan Rupiah, dicemaskan akan muncul kebijakan yang mengarah pada rezim devisa. Rezim devisa adalah lawan kata dari devisa bebas. Pada rezim devisa, tukar menukar devisa tidak bisa dilakukan secara bebas. Pertukaran devisa yang restriktif itu diyakini sebagai hambatan utama memasuki era libralisasi, yakni bebasnya aliran modal dan barang. Ketiga, penolakan IMF atas rencana pemerintah Indonesia mengenakan PPh (Pajang Penghasilan) atas pembelian valas sebesar 5 persen terhadap total transaksi. K

Kebijakan yang tertuang dalam SK Menkeu No. 185/KMK.04/1998 ini sedianya diberlakukan per-23 Maret 1998, akan tetapi langsung dibatalkan. Sebab pengenaan pajak terhadap transaksi valas merupakan indikasi yang mengarah pada rezim devisa. PPh terhadap transaksi valas memang menyerupai tarif impor terhadap produk ekspor mencanegara, yakni greenback, mata uang Dolar AS. Keempat, pelebaran ambang batas kurs intervensi serta pelepasan ambang batas kurs intervensi, merupakan kebijakan pro-pasar. Kebijakan ini didasari kepercayaan bahwa pasar akan mengoreksi berbagai anomaly dalam waktu singkat.

Kalau mau jujur, mekanisme pasar bukanlah solusi. Ia lebih merupakan gambaran ideal soal efisiensi dan demokratisasi ekonomi. Bagi negara berkembang yang belum berpengalaman dengan demokratisasi politik, mekanisme pasar bisa menjadi bumerang. Kasus Indonesia merupakan sebuah kegagalan pasar (market failure) yang paling serius, yakni kegagalan sistem nilai tukar bebas (free float exchange) yang dipakai Bank Sentral sejak 14 Agustus 1997. Menurut sistem ini, kurs devisa ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan di pasar valuta asing. Sejak awal dekade 1970-an, Indonesia menggunakan sistem kurs tetap (fixed rate exchange). Lantas berganti dengan sistem semi tetap (managed floating) sejak 1986.

Kurs Rupiah atas Dolar AS dibebaskan pada range tertentu. Batas-batas range ini sering disebut sebagai band (pita) kurs intervensi. Kalau kurs bergerak keluar dari range itu, Bank Indonesia harus melakukan intervensi untuk menggiring kurs agar memasuki wilayah yang bisa ditolerir. Konsekuensinya, BI harus memiliki cadangan devisa dalam jumlah yang cukup. Pada dasawarsa 70-an dan 80-an, pendapatan dari sector migas amat membantu ketercukupan cadangan devisa tersebut.

Lantas, mengapa mekanisme pasar dianggap gagal? Sebab ia lebih menekankan pada asumsi-asumsi yang menggurat perekonomian sebagai sebuah fenomena artificial. Dengan kata lain, asumsi-asumsi itu tidak realistic. Padahal, tanpa asumsi yang realistic, mekanisme pasar tetaplah sebuah gambaran yang utopis. Misalnya, asumsi soal transpransi informasi, yang menimbulkan asumsi turunan bahwa saluran-saluran informasi bekerja secara sehat dan kredibel di mata masyarakat.

Situasi ini tidak terjadi di Indonesia. Orang tidak percaya pada informasi yang didapat dari sumber-sumber resmi. Gosip dan rumor lebih kredibel di mata pelaku pasar. Akibatnya, sering terjadi rush di loket-loket bank atau money changer, hanya karena berkembangnya gossip tentang suatu hal yang sensitive. Sekedar catatan: karena kurs Rp/US$ yang berada di luar batas-batas kewajaran, banyak orang menduga bahwa pasar bersifat irrasional.

Pasar adalah sekumpulan orang yang memiliki kebutuhan dan daya beli. Jadi irrasionalitas dalam konteksnya dengan pasar valas adalah sikap tidak irasional dari orang-orang yang potensial untuk mengkonversikan Rupiah ke valas. Orang-orang ini bisa saja makelar (fund managers), saudagar akbar (konglomerat), atau ibu-ibu rumah tangga yang tertarik pada valas-valas flamboyant. Kalau mereka melakukan hal yang identik, yakni memborong valas atau memborong Rupiah, maka akan terjadi gelombang penarikan dana secara massif yang bisa menggoyang ekuilibrium atau keseimbangan nilai tukar.

Minggu keempat Maret 1998, Bank Indonesia memberlakukan kenaikan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Suku bunga tertinggi ditetakan untuk SBI jangka waktu 1 bulan, yakni 45 persen per tahun. Sedangkan yang terendah adalah 18 persen (SBI 12 bulan). Suku bunga SBI satu bulan lantas dinaikkan lagi menjadi 50 persen per-21 April 1998, dan 58 persen per-7 Mei 1998. Salah satu misi kenaikan suku bunga adalah pengendalian inflasi.
Catatan: menurut teori moneter, ada beberapa kategori JUB (Jumlah Uang Beredar). Uang beredar dalam pengertian yang paling sempit adalah C (currency), yaitu uang kertas dan logam yang ada di masyarakat dan potensial untuk menjadi alat tukar-menukar. Uang kertas dan logam yang ada di bank atau kantor-kantor kas Negara, tidak dapat dimasukkan dalam definisi ini. Uang beredar dalam pengertian sempir, dikenal luas sebagai M1 atau narrow money. Rumus: M1=C+DD. M1 adalah uang beredar, C adalah currency dan DD adalah demand deposit. Demand deposit atau uang giral mencakup saldo rekening Koran atau giro milik masyarakat umum yang disimpan di bank. Saldo rekening Koran atau giro milik pemerintah tak bisa dimasukkan dalam kategori ini. Sedangkan definisi uang beredar dalam arti luas adalah M2 (broad money). Rumus: M2=M1+TD+SD. TD adalah time deposits, atau deposito masyarakat yang punya jatuh tempo tertentu. Sedangkan SD adalah save deposits atau saldo tabungan masyarakat di bank-bank.

Pada minggu pertama Maret, pemerintah menetapkan batas maksimal suku bunga bank 150 persen terhadap suku bunga SBI. Dengan kebijakan tersebut, bank-bank bebas menaikkan suku bunganya sampai dengan 67,5 persen, atau 45 persen dikalikan 150 persen. Bank-bank pemerintah langsung menetapkan suku bunga deposito 1 bulan sebesar 67,5 persen. Kendati dua hari berikutnya, suku bunga setinggi itu langsung diturunkan menjadi 47,5 persen. Namun uang masyarakat sudah mengalir deras ke brankas bank-bank BUMN. Dari BDN saja, dana masyarakat terkumpul Rp 1,2 Triliun hanya dalam temnpo dua hari!

Secara garis besar, ada beberapa motif peningkatan suku bunga yang perlu digarisbawahi. Pertama, motif peredaman spekulasi valuta asing. Kedua, merangsang capital inflow dalam bentuk penempatan dana asing di perbankan domestik. Ketiga, motif pengendalian inflasi. Inflasi di Indonesia, khususnya pada dua bulan pertama tahun 1998, mencapai 19,64 persen, bukan disebabkan oleh kenaikan effective demand (permintaan efektif). Bagaimana mungkin inflasi disebabkan oleh naiknya permintaan efektif, kalau pendapatan masyarakat pada saat yang sama justru menurun. Kalau pun ada kenaikan permintaan, itu terjadi pada segelintir kalangan saja.

Sebagai catatan tambahan, Juli 1997, krisis moneter sudah merambah Thailand, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Spekulasi valas merupakan triggering factor menuju krisis tersebut. Kebijakan yang paling umum untuk mengatasi spekulasi valas adalah menaikkan suku bunga domestik. Intinya, bank sentrall harus menawarkan alternative keuntungan yang lebih baik, dibandingkan laba selisih kurs atau capital gain dari pembelian saham, agar dana asing jangka pendek dapat dipertahankan.

Krisis moneter sangat mempengaruhi suku bunga, khususnya jangka pendek (1 bulan). Per Maret 1998, suku bunga jangka pendek di Indonesia mencapai 67,5 persen pertahun. Bandingkan dengan Thailand yang hanya 24,50 persen, Korsel 23 persen, Filipina 15,81 persen, Malaysia 11,02 persen, Cina 9,18 persen, Taiwan 7,70 persen, India 7,33 persen, Hong Kong 6,57 persen dan Singapura 4,90 persen. Akhir Juli 1997, suku bunga tinggi sudah mulai terasa di Indonesia. Mula-mula pada Pasar Uang Antar Bank (PUAB) atau call money.

Pada situasi normal, suku bunga call money untuk periode semalam, karenanya lazim disebut overnite, berkisar 11-13 persen. Suku bunga call money di Jakarta, atau JIBOR (Jakarta Inter Bank Offered Rate) yang saat itu dijadikan sebagai indicator penentuan suku bunga deposito dan kredit perbankan, melonjak sampai 40-an persen. Memasuki Agustus 1997, likuiditas tambah ketat. Suku bunga overnite melonjak ratusan persen. BI kemudian memutuskan untuk menaikkan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Saat itu, penempatan dana dalam bentuk SBI dalam 1 bulan diberi bunga 30 persen/tahun. Setahun kemudian, tingkat bunga itu sudah meningkat dua kali lipat.
Depresi 1930: Pengalaman Sejarah
Hampir sepanjang tiga dasawarsa pertama abad ke 20 ekonomi dunia tumbuh pesat. Optimisme sangat besar juga terjadi di Indonesia (Hindia Belanda pada masa itu). Tetapi ternyata krisis datang secara tiba-tiba menjelang akhir 1929. Dan berlangsung selama bertahun-tahun. Biarpun sejak 1937 ada perbaikan, namun sebenarnya baru Perang Dunia II yang mengakhiri zaman depresi. Sejak mula perkebunan Indonesia, sebagai penghasil ekspor, sangat snsitif terhadap naik-turunnya pasaran dunia.

Pada abad 19, hasil ekspor yang terbesar adalah gula dan kopi, khususnya dari Jawa. Gula adalah laut tempat Pulau Jawa mengapung, demikian diistilahkan orang. Dialah soko guru kemakmuran ekonominya. Tetapi pada abad 20, dengan adanya Brazil yang mengembangkan kopi, Filipina serta Kuba yang mengembangkan perkebunan gula, dan dimajukannya pembuatan gula bit di Eropa, nilai gula sebagai komoditas ekspor merosot tajam. Ekspor gula kemudian jatuh sama sekali. Pun setelah depresi berakhir, gula tidak dapat mengembalikan kedudukanha lagi seperti sebelum 1929. Akibat krisis ekonomi dunia, habis juga peran gula sebagai komoditas ekspor Indonesia, bahkan sampai belakangan kini.

Depresi panjang akhirnya mengubah ekspor perkebunan Indonesia yang berasal dari abad ke 19. Dengan sendirinya struktur ekonomi ikut berubah. Pulau Jawa, sebagai penghasil bahan ekspor seperti gula, kopi, dan teh tidak berarti lagi dalam perdagangan dunia. Gula dan kopi yang sebelum 1929 merupakan 50 persen ekspor Indonesia, pada 1940 hanya menyumbang tujuh persen saja. Penghasil ekspor selanjutnya adalah daerah di luar Jawa. Pada abad ke 20 ada suatu hasil ekspor baru yang berkembang di Indonesia, yakni karet dan minyak.

Dengan majunya industri mobil, kedua bahan ini menjadi sangat penting. Permintaan karet dan minyak demikian meloncat, sehingga selain perkebunan dengan investasi besar berkembang pula karet rakyat di luar Jawa. Tapi hasil karet pun kemudian jatuh, dari f54 satu sheet pada 1929 menjadi 30,5 sen pada tahun berikutnya, 1930. Tahun 1931 malah merosot lagi menjadi 15 sen, bahkan sampai 8,5 sen pada tahun 1932. Baru 1933 nilai karet naik lagi menjadi 11 sen, dan naik lagi karena adanya persiapan Perang Dunia II.

Reaksi pertama rakyat yang mengusahakan ketika harga jatuh adalah memperbesar produksi. Mereka ingin mendapatkan jumlah uang yang sama seperti sebelum krisis. Tapi hal ini justru lebih menjatuhkan harga karet. Akhirnya pemerintah campur tangan, yakni dengan diadakannya perjanjian internasional dengan Negara lain baik menyangkut gula maupun karet. Hasilnya, setiap negara mendapat kuota gula atau karet. Setiap perkebunan mendapat bagian dari kuota ini. Pada awalnya pemerintah Hindia-Belanda merasa sukar untuk memberikan kuota pada pengusaha karet rakyat. Karena itu kemudian diadakan semacam pajak penjualan atas karet dengan tujuan membatasi produksi.

Pajak ini juga dimaksudkan sebagai penambah penghasilan Negara. Tapi, sejak awal, penarikan pajak atas karet rakyat ini sangat sukar dilakukan. Karena itu, beberapa waktu kemudian, setiap pengusaha karet rakyat diberi kuota, kecuali di Bengkalis. Di daerah ini, karena luasnya daerah pohon karet rakyat, rakyat tetap dikenakan pajak penjualan. Namun demikian pajak tidak bisa dibayar karena penghasilan rakyat dari karet sama sekali terhenti. Dengan kata lain, rakyat tidak memiliki daya beli. Keadaan ini telah menimbulkan penyerbuan dan perampokan terhadap gudang beras dan toko-toko di daerah Bengkalis.

Peristiwa itu hanya satu ilustrasi. Dengan penciutan tanah perkebunan dan ditutupnya pabrik gula, karet dan lain-lain maka sebagian besar penghasilan uang tunai penduduk hilang. Di lain pihak kewajiban mereka masih tetap tinggi. Pajak belum disesuaikan dengan kondisi akibat depresi ekonomi. Karena banyak petani tidak dapat membayar pajak tanah, maka tanah mereka diserahkan kembali pada lurah dan Negara. Beberapa tuan tanah kecil mungkin timbul pada masa itu. Di beberapa tempat lain, seperti di Sumatra, pajak uang kepada para sultan terpaksa direndahkan.

Kurangnya daya beli masyarakat tentu berakibat pada industri rakyat atau pertukangan rakyat. Satu demi satu perusahaan bangkrut. Industri batik, umumpanya, direduksi menjadi sepertiga dari sebelum 1929. Pemerintah Hindia-Belanda memang memberikan berbagai subsidi, baik kepada perusahaan Barat maupun pribumi, dan industrialisasi mulai berkembang. Tapi industrialisasi ini lebih padat modal, sehingga tidak memberikan banyak pekerjaan pada penduduk. Terhadap penduduk sendiri pemerintah kadang sampai harus campur tangan untuk menghindari kelaparan, yang timbul bukan karena kekurangan beras tetapi karena lemahnya daya beli. Di Indramayu, misalnya, pemerintah terpaksa mendistribusikan beras.

Keuangan negara pada zaman depresi ekonomi adalah yang paling sulit. Jatuhnya ekspor mengakibatkan diturunkannya impor, sedangkan sebagian besar penghasilan Negara berasal dari dua sumber ini. Selain itu pajak sukar masuk karena kurangnya penghasilan. Singkat kata, defisit anggaran pemerintah Hindia-Belanda selama zaman depresi membengkak, dan pemerintah hanya berpolitik untuk sebanyak mungkin memperoleh anggaran yang seimbang. Balans ini menyebabkan dipotongnya pengeluaran untuk kesejahteraan masyarakat.

Bahkan anggaran kesehatan rakyat dipotong sampai hanya tinggal seperenam dari sebelum krisis ekonomi. Padahal sejak 1901 pemerintah Hindia-Belanda melancarkan apa yang disebut Politik Etis, melalui irigasi, edukasi dan transmigrasi. Dalam krisis ekonomi program ini harus ditiadakan atau diperkecil sampai tidak berarti lagi. Pada akhirnya Negara colonial jadi kelihatan tak berguna. Ia tidak dapat membawa masyarakat kea bad modern dan harus mengingkari janji-janji Politik Etis-nya.

Pada awal tahun tiga puluhan keadaan ekonomi di Indonesia semakin memburuk karena krisis dunia tak reda-reda. Bagi rakyat zaman meleset (dari kata malaise) berarti pengurangan kesempatan kerja, pemotongan gaji, turunnya harga-hara hasil pertanian, rendahnya upah. Kesemuanya itu merupakan akibat olitik ekonomi yang pada satu pihak menjalankan penghematan secara besar-besaran dan di pihak lain hendak mempertahankan pendapatan ekspor terutama yang diperoleh dari hasil perkebunan, padahal nilai gulden yang dipertahankan mau tak mau mengurangi daya beli negara-negara pengimpor.

Untuk mempertahankan tingkat keuntungan maka penurunan upah dijalankan. Di samping itu di mana pengurangan pemecatan kaum buruh. Dalam ekonomi dualistis pihak ekonomi pertanian tradisionallah yang memperoleh tekanan paling berat, di samping itu ekonomi pertanian tradisional dapat berfungsi sebagai wadah pengaman di mana sebagian besar tenaga kerja kembali mencari nafkahnya pada waktu mulai tubuh banyak perkebunan rakyat, khususnya perkebunan karet.

Jelaslah bahwa kepentingan kaum perkebunan dijadikan dasar politik ekonomi pemerintah Hindia Belanda itu tidak lain karena hasilnya menjadi tulang punggung perekonomian pemerintah colonial. Golongan kepentingan itulah yang sangat berpengaruh, terutama golongan Vaderlandse Cluc (VC), partai yang hendak mempertahankan status quo, yang sikapnya sangat reaksioner terhadap gerakan nasional. VC tidak bersedia memberi konsesi apa pun oleh karena Negeri Belanda masih bertanggung jawab penuh atas jalannya pemerintahan di Hindia Belanda, lagi pula bangsa Indonesia dianggap belum masak untuk melakukan pemerintahan sendiri. Cita-cita seperti penentuan nasib sendiri, kemerdekaan dan demokrasi, kesemuanya itu hanyalah gagasan liar pemimpin-pemimpin fanatik yang ekstremis.

GJ de Graeff yang liberal tidak berdaya menghindari tekanan golongan konservatif, lebih-lebih GJ de Jonge dan Tjarda van Starkeborg-Stachouwer, yang keduanya memang mempunyai organisasi politik yang sama. Apabila pada 1936 ekonomi membaik sebagai akibat didevaluasikannya gilden, maka politik reaksioner tetap dipertahankan. Lebih-lebih menjelang krisis politik dunia serta pecahnya Perang Dunia II politik kolonial membeku, tidak ada kemampuan menyesuaikan diri ke perubahan zaman. Dari pihak gerakan nasionalis ada pelbagai usaha untuk menyesuaikan diri, antara lain dengan menjalankan politik kooperasi serta gerakan yang bersifat progresif-moderat.

Di negeri-negeri jajahan nasionalisme adalah suatu reaksi terhadap kolonialisme, reaksi yang berasal dai sistem eksploatasi yang selalu menimbulkan pertentangan kepentingan secara terus menerus. Penjajah melakukan tindakan-tindakan ekonomi dan politik untuik melindungi kepentingan ekonominya, sehingga motif ekonomi pada situasi kolonial menjadi faktor dominan untuk menentukan hubungan antara golongan-golongan sosial. Meskipun ideologi kolonial abad ke 20 menghapus istilah wingewest, tetapi kenyataan pemerintah kolonial tetap mempertahankan dan bahkan mengesahkan eksploatasi modal perseorangan. Kepentingan kaum kapitalis lebih mendapat prioritas daripada kepentingan rakyat jajahan. Pertentangan kepentingan menyebabkan kondisi hidup rakyat terbelakang, karena cara-cara produksi lama tidak mampu menghadapi kapitalisme kolonial yang mempunyai organisasi dan teknologi modern yang mampu mengubah keadaan ekonomi yang ada.

Kedudukan yang menguntungkan penjajah itu diperoleh melalui eksploatasi dan diskriminasi. Oleh karena itu, usaha-usaha kea rah emansipasi ekonomi selalu ditekan. Semua pengalaman yang mengecewakan sebagai akibat sistem sosial-ekonomi yang menghalangi usaha perekonomian bangsa Indonesia, mendorong timbulnya solidaritas. Solidaritas ini diwujudkan dalam bentuk reaksi yang diucapkan dan agitasi yang keras terhadap orang-orang asing. Gerakan ekonomi sejak Perang Dunia I terus menerus tumbuh sampai paca puncaknya pada pemberontakan komunis 1926. Selama periode ini antitesis antara pihak penjajah dan pihak terjajah menjadi makin tajam.

Di satu pihak kaum kapitalis besat kekayaannya makin bertimbun berjuta-juta, di pihak lain rakyat menderita Verelendung. Pemerintahan Gubernur Jenderal Fock yang liberal itu (1921-1926) mengadakan politik penghematan, mengadakan hak kekuasaan istimewa, serta mengadakan pembatasan terhadap kebebasan berkumpul dan berbicara, menaikkan pajak penduduk, sedang kaum kapitalis dibebaskan dari semua itu. Semuanya menunjukkan keadaan yang lebih mundur daripada politik yang dijalankan Gubernur Jenderal van Limburg Stirum (1916-1921), yang pada janji November-nya mengatakan akan mempercepat waktu perubahan pemerintah kolonial.

Situasi sosial-ekonomi yang makin buruk menyebabkan pergerakan itu menjadi lebih radikal dan revolusioner. Pemogokan pegawai-pegawai pegadaian pada 1922 dan pemogokan kaum buruh kereta api pada 1923 memanifestasikan kejengkelan-kejengkelan hati terhadap krisis sosial-ekonomi yang terpaksa dijalankan oleh rakyat. Aspek politik Pergerakan Nasional pada tahun-tahun itu menunjukkan perubahan ke arah anti-Belanda dan ke arah aliran nonkooperasi.

Diskriminasi di bidang politik ekonomi, seperti pembatasan-ebatasan dan penarikan pajak istimewa atas penghasilan karet rakyat atau peraturan-peraturan yang dikenakan terhadap pendirian pabrik gula penduduk pribumi, memperbesar pertentangan ekonomi dan menyebabkan kesadaran ekonomi di antara kaum nasionalis menjadi lebih besar. Modal kolonial menghalangi seiap usaha ke arah emansipasi ekonomi, sebab inti dari politik kolonial yang dijalankan oleh penanam-penanam modal adalah menjaga agar tanah jajahan tetap memberi keuntungan kepada negeri induk.


Demokrasi Terpimpin Hingga Orde Baru

Alam Demokrasi Terpimpin
Dua puluh sembilan tahun setelah resesi yang melanda Indonesia di masa kolonial Belanda, 1930-an, sejak pencanangan Demokrasi Terpimpin dan peluncuran bahan indoktrinasi yang terkenal dengan singkatan Manipol Usdek (Manifesto Politik dan UUD 45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) oleh Presiden Soekarno pada pidato kenengaraan 17 Agustus 1959, yang disusul dengan konsep Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis) yang dipaksakan untuk diterapkan pada seluruh serta setiap kegiatan bernegara dan bermasyarakat, maka Partai Komunis Indonesia yang sudah lama mengintai-ngintai segera memanfaatkan kesempatan emas itu.

Secara ideologis landasan filsafat Marxisme-Leninisme dan belakangan Maoisme mendapat angin buritan kencang atas keuntungan PKI serta secara politik praktis konsep Nasakom melapangkan dominasi di seluruh sector kehidupan. Semuanya ini adalah persiapan menuju mulusnya perebutan kekuasaan. Di bidang politik, PKI yang efisien, punya dana kuat bantuan dari Moskow-Peking dan makin lama makin besar keanggotaannya (3 juta di partai, 12 juta di organisasi massa) terus mendempet Presiden Soekarno untuk menafaatkan pembungkaman demokrasi dan pembrangusan ekspresi politik terhadap lawan-lawan tangguhnya.

Partai Masyumi dan PSI dibubarkan, dan belakangan Partai Murba. Lawan tangguh PKI yang sudah berpengalaman menumpas pemberontakan Madiun, dan ditakuti PKI tinggal lagi TNI-AD. Sementara itu penangkapan dan penahanan lawan politik berlangsung terus tanpa pengadilan. Hak Asasi Manusia bagaikan keset depan pintu tempat menggesekkan sepatu. Setelah merasa semakin kukuh PKI melakukan sendiri rangkaian terror dahsyatnya yang terus menerus di seluruh sector kehidupan.

Di mana-mana kelaparan yang membawa maut menyerang daerah-daerah tandus, kafilah pengemis berpakaian rombeng dan menyebar bau daki masuk kota beberapa hari lantas diusir lagi ke luar kota agar terhindar dari pandangan tamu-tamu undangan luar negeri. Pernah disebut angka 10.000 pengemis yang berkeliaran di jalanan kota Jakarta. Mereka lalu-lalang dengan mata kuyu, tidak menampak harapan. Beras, gula, garam, sabun, minyak kelapa dan minyak tanah hanya dapat diperoleh dengan antri panjang membelinya di toko atau warung, yang penyediaannya tidak pula teratur waktunya. Harga-harga senantiasa naik dan daya beli merosot terus. Uang yang beredar pada tahun 1960, dibandingkan dengan 1950, adalah 11 kali lipat. Tahun 1961 16 kali, 1962 32 kali, 1963 61 kali, 1964 146 kali. Dan puncaknya pada tahun 1965 mencapai 512 kali lipat. Inflasi makin menggila dan harga-harga naik saban hari. Jalan aspal berlubang-lubang dalam berbagai ukuran, batu-batunya lepas dan pasirnya dihanyutkan hujan. Bangunan-bangunan milik umum kusam dan muram tidak terpelihara.

Salah urus masalah sandang pangan, pembangunan ekonomi yang macet total dan inflasi besar mengantarkan kesengsaraan menyeluruh di masyarakat. Di daerah-daerah yang tandus, kelaparan membawa penyakit busung lapar dan kematian. PKI ternyata tidak membebaskan mereka dari kesengsaraan dengan amal yang kongkrit. Kemelaratan dan ketidakpuasan semacam ini justru dipelihara untuk diesksploatir oleh PKI yang senantiasa menyebut diri pembela rakyat kecil.

Rezim Orde Baru
Ditinjau dari sudut politik, persoalan utama yang dihadapi rezim Orde Baru ialah bagaimana menata dan membangun suatu sistem politik yang dapat diandalkan guna memungkinkan penataan pembangunan ekonomi dan bidang-bidang lainnya. Tindakan terpenting yang dilakukan rezim Orde Baru sejak 1966 ialah melakukan reorganisasi guna meminimalisasi konflik social dan memaksimalkan produktivitas ekonomi. Sebagian besdar pendukung Orde Baru sejak semula percaya bahwa masa depan Indonesia seharusnya bebas dari politik yang berdasarkan ideologi, mengingat keruntuhan Orde Lama dinilai akibat dari konflik ideologis yang tak berkesudahan.

Sistem politik rapuh lantaran ketidakmampuan menjaga kestabilan akibat adanya persaingan-persaingan dan pertentangan-pertentangan politik yang semakin tidak sehat. Pemusatan yang berlebihan pada politik dan kekuasaan menyebabkan perhatian terhadap aspek-aspek lain dari kehidupan masyarakat, menjadi terabaikan. Hasilnya, kondisi ekonomi sewaktu Orde Baru berakhir pada titik yang amat parah. Maka ditinjau dari segi politik, permasalahan pokok yang dihadapi rezim Orde Baru pada waktu kelahirannya ialah bagaimana menatat dan membangun suatu sistem politik yang dapat diandalkan, guna memungkinkan penataan pembangunan ekonomi dan bidang-bidang lainnya.

Penguasa rezim Orde Baru akhirnya berpendapat perlunya menunda proses reformasi menuju demokrasi demi memelihara stabilitas politik, atau mengorbankan politik demi pembangunan ekonomi atau mengorbankan politik demi pembangunan ekonomi. Para pendukung Orde Baru kala itu agaknya terpengaruhi oleh pola reori Lipset yang mengatakan bahwa demokrasi politik umumnya terjadi sesudah terciptanya keberhasilan pembangunan ekonomi. Berdasarkan penafsiran terhadap sejarah pertumbuhan demokrasi-demokrasi di Barat, Lipset berpendapat, kehidupan demokrasi liberal yang stabil berhasil dicapai oleh bangsa-bangsa yang sudah menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi.

Rezim Pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonominya ingin senantiasa memusatkan sumberdaya yang ada, serta mengatur distribusi dan penggunaannya. Faktor ini secara esensial membentuk kecenderungan perilaku yang sentralistik di kalangan elit nasional. Itu menjelaskan pula mengapa pada awal Rezim Orde Baru para teknokrat lebih menyukai kebijakan yang serba terpusat. Ada sedikit obsesi mengenai strategi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan melalui growth center dengan trickle down effect-nya. Agar pertumbuhan ekonomi dapat terwujud, para ekonom menyambut baik peranan tentara dalam rangka menciptakan stabilitas politik serta iklim yang menguntungkan bagi penanaman modal dan industrialisasi.

Melalui ideologi pertumbuhan yang dianut, rezim pemerintah Orde Baru memang aktif memberikan sejumlah insentif usaha dan fasilitas kemudahan kepada pengusaha nasional tertentu untuk meningkatkan kemampuannya. Negara Orde Baru telah menjadi aktok utama dalam menggerakkan perekonomian nasional, fungsi negara jelas terlihat lewat pemberian insentif, proteksi, monopoli dan berbagai campur tangan lainnya.

Dan terutama ialah kedekatan hubungan antara pengusaha dengan pengusaha Negara ini tak pelak telah menyuburkan motif kolusi di antara keduanya. Telah terjadi pertukaran sumber daya antara pejabat-pejabat penting pemerintahan dengan sejumlah individu atau kelompok yang strategis dalam masyarakat. Akibat lemahnya pengawasan, hubungan patrimonial negara-pengusaha dapat terus berlangsung, sehingga para pengusaha yang dilindungi terus mengalami peningkatan sementara rakyat kecil umumnya menjadi korban.

Mei 1998, terutama 12-15 Mei, merupakan hari-hari yang tidak mudah dilupakan bangsa Indonesia. Itulah puncak kegetiran yang harus dilalui bangsa ini setelah era pembangunan tiba-tiba berubah menjadi mimpi buruk. Saat itu krisis ekonomi yang melanda negeri ini sejak Juli 1997, mencapai titik kulminasi. Masyarakat yang sebelumnya terlena dengan keberhasilan pembangunan, benar-benar paniK. Insiden 12 Mei yang menwaskan empat mahasiswa Trisakti seakan-akan menjadi pemicu dari puncak kepanikan itu. Masyarakat mendadak seperti gelap mata. Mereka tidak bisa lagi membedakan baik dan buruk, halal dan haram. Tiba-tiba saja mereka menjadi orang yang sedang murka.

Semua hasil pembangunan dirusak. Barang-barang yang ada di took dan gudang dijarah. Beberapa di antara warga mendapat perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Jakarta, ibukota Negara, dibuat membara. Di mana-mana terlihat api menyala disertai asap hitam yang membubung tinggi ke udara. Kejadian yang menyesakkan pada 13-15 Mei itu, tidak hanya berhenti di situ. Perjalanan terus bergulir cepat, terutama ketika Presiden Soeharto keesokan harinya tiba kembali di tanah air setelah melakukan lawatan ke Mesir. Pergulatan politik terasa semakin meninggi. Gerakan mahasiswa semakin tidak bisa terbendung dan semakin menjadi-jadi, sejak mereka menguasai Gedung DPR/MPR RI.

Tekanan mahasiswa itu tidak hanya menggoyahkan wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam, tetapi juga ikut menggoyahkan Cendana, Bina Graha dan Istana Merdeka. Apalagi para mahasiswa itu didukung oleh elit-elit nonpartai politik, yang merasa lelah melihat sepak terjang para pejabat Orde Baru yang sudah melenceng dari niatan membangun bangsa dan Negara ini. Meski digoyang begitu kencang, tidak terbayangkan bahwa Soeharto, yang didukung militer begitu kuat, dengan cepat menyerah. Namun kenyataan itulah yang dialami. Hanya sepekan setelah kembali dari lawatan kenegaraan terakhirnya, Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya.

Ia menyerahkan sendiri tampuk pimpinan Negara kepada Wakil Presiden BJ Habibie di Istana Merdeka, tanpa didampingi Ketua DPR/MPR Harmoko. Mundurnya Soeharto setelah 32 tahun memegang tampuk pimpinan tertinggi di negeri ini, disambut penuh suka cita. Semua orang bergembira, era otokrasi sudah berakhir dan rakyat Indonesia memasuki era demokrasi. Peristiwa 21 Mei 1998 pukul 09.00 pagi merupakan peristiwa bersejarah. Itulah kali kedua bangsa ini mengalami sebuah pergantian Kepala Negara.

Berdasarkan proyeksi perkembangan perekonomian dunia di masa mendatang, belajar dari sejarah sejak sebagai sebuah pengalaman dimulai dengan era Depresi 1930, orde ekonomi morat-marit di masa Demokrasi Terpimpin hingga tumbangnya Orde Pembangunan atau Orde Baru, dengan kondisi moneter secara global yang tidak memiliki keseimbangan finansial (financial imbalances), ditambah kenaikan konsumsi dunia akan minyak bumi, Indonesia harus cukup dini menyiapkan penelitian dan analisisnya.

Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang mendapatkan dukungan rakyat, serta kebijakan yang berat untuk jangka pendek ini, tetapi bermanfaat di masa depan. Untuk itu perlu mempelajari perkembangan distorsi yang terjadi dalam bidang moneter global dan gejolak harga minyak serta pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi, baik nasional maupun internasional, semasa 30 tahun atau 3 dekade sebelum akhir abad ke 20 lalu. Generasi mendatang tidak boleh menganggap ringan jika gagal belajar dari pengalaman masa lalu. Tidak boleh menyerah begitu saja dan yakin bahwa dapat mengatur masyarakat dengan mengabaikan realitas ekonomi dan social di mana sedang bekerja atau mengabdi.

Agar pembangunan ekonomi Indonesia itu otentik, tidak cukup dengan sepenuhnya mematuhi secara ketat teori makro-ekonomi. Harus membangun suatu ekonomi yang mampu menahan beraneka guncangan, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam. Untuk mencapai hal tersebut, perlu perlu mengabdikan diri kepada kebijakan moneter dan fiskal yang sehat, mereformasi sistem perpajakan dan sistem hukum, serta kebijakan perburuhan.

Harus mengadakan pembenahan secara signifikan infrastruktur sosial dan pendidikan, sehingga generasi selanjutnya memperoleh pendidikan dan pemeliharaan kesehatan, yang mereka perlukan untuk berkompetisi dengan penuh semangat dalam perekonomian global. Di samping itu, perlu mengintegrasikan perekonomian Indonesia dengan perekonomian internasional secara lebih baik, sehingga memperoleh kembali kepercayaan dari komunitas investor internasional. Hanya dengan langkah-langkah seperti ini memiliki posisi lebih kuat untuk memperoleh kembali momentum yang terhilang dalam upaya pembangunan.

Dalam pembangunan ekonomi, masa lalu tidak hanya berlalu sia-sia, tetapi merupakan gudang pengalaman kolektif yang harus diingat, dianalisis dan dipelajari. Ringkasnya, pembangunan ekonomi adalah prosaes belajar dari sejarah, yang bertujuan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Tidaklah jujur apabila tidak menyesal jika secara ekonomis Indonesia tidak mampu melakukan transisi secara mulus kea rah pembangunan demokrasi modern. Namun, dengan melihat ulang masa sulit yang telah dilewati, secara jujur harus diakui bahwa telah membuat langkah-langkah besar, terutama dalam pembangunan politik.

Dalam keadaan demikian, meyakini kebenaran yang menjadi dasar pelajaran pembangunan ekonomi, serta meyakini kemampuan Indonesia untuk beranjak maju sesuai dengan tuntutan pembangunan.

AWAL TERBENTUKNYA MILITER DI KALIMANTAN BARAT

SENGKETA REPUBLIKEN—FEDERALIS DI KALBAR
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Peristiwa sejarah 27 Desember 1949 selain dari penyerahan kedaulatan dan menghadapi suasana tahun baru, mencatat pula awal masuknya TNI di Kalimantan Barat, walaupun baru beberapa orang perwira saja sebagai pendahulu, Mayor Suharsono dan pendamping-pendampingnya. Kehadiran perwira-perwira TNI itu bukannya secara tiba-tiba seperti jatuh dari langit, tanpa proses yang mendahuluinya. Tidak banyak orang yang mengetahui betapa anggota GAPI (Gabungan Perhimpunan Indonesia) dan Komite Nasional dalam pertemuan atau pun diskusi-diskusi mereka secara pribadi membayangkan kekhawatiran mereka terhadap masalah keamanan di masa depan, sesudah penyerahan kedaulatan.

TNI harus menjadi inti Angkatan Perang RIS (APRIS). Itu pendirian dasar pemerintah Republik, sepanjang Gapi dan Komite Nasional dapat mengikutinya. Itu jugalah yang diperjuangkan Gapi dan Komite Nasional. Jadi berlainan dari rencana Panglima tentara Belanda yang nampaknya mengandalkan tentara federal, sedangkan TNI masuk ke dalamnya hanya sebagai pelengkap setelah melalui seleksi.

Beberapa hari sebelum penyerahan kedaulatan Gapi mengirim surat kepada Badan Pemerintahan Daerah istimewa Kalimantan Barat (DIKB) mengenai hal itu, meskipun kalangan Gapi sendiri mengetahui pasti bahwa bukanlah pada lembaga pemerintah itu terletak kunci penyelesaian masalah. Surat itu bertanggal 12 Desember 1949 No 133/II (sebagaimana disiarkan Surat Kabar Borneo Barat, 13 Desember 1949 Edisi No 26)

Keberangkatan SH Marpaung ke Jakarta menjemput Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala dan Mayor Suharsono pada hari Minggu tanggal 25 Desember 1949 rupanya adalah untuk melaksanakan isi resolusi itu, terlepas dari ada atau tidak adanya tanggapan positif dari yang berkuasa, baik terhadap surat Gapi maupun terhadap resolusi Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB, kontra Dewan DIKB) itu.

Komando Subteritorial dan Pasukan Kalimantan Barat dalam pengumumannya No 1 tangal 2 Januari 1950 yang ditandatangani Mayor Suharsono, membuka kesempatan kepasa pasukan-pasukan gerilya dan lasykar di Pontianak dan sekitarnya untuk mendaftarkan diri berikut alat-alat senjatanya (sebagaimana diumumkan dalam Surat Kabar Utusan Rakyat Edisi No 74 tanggal 5 Januari 1950)

Ramailah markas komando itu dikunjungi mereka yang mendaftarkan diri memenuhi pengumuman itu, entah pasukan, entah lasykar. Bagaimana pun juga hal itu menunjukkan bahwa TNI memang benar-benar akan bertugas di Kalimantan barat, sesuatu yang memang diharapkan dan diperjuangkan dengan sekuat tenaga oleh Gapi dan secara lebih gigih tanpa kompromi oleh Komite Nasional.

Tanggal 4 Januari 1950, dibentuklah Panitia Pusat Penyambutan TNI dengan susunan sebagai berikut:
Ketua: dr LF Luhulima
Wakil ketua: SH Marpaung
Penulis: MK Indra Mahyudin
Bendahara: Ny K Hadis
Pembantu: Masyhur Rifai, AF Korak, dan Thio Kian Soen

Kabar angin menyebar bahwa Sultan Hamid II tidak menyetujui adanya TNI di Kalimantan Barat. Orang menjadi ragu-ragu lagi. Tetapi dalam keterangannya kepada para pemuka masyarakat tanggal 10 Januari 1950, Sultan Hamid II membantah kabar angin itu (diberitakan Utusan Rakyat edisi No 78 tanggal 10 Januari 1950). Itu tidak benar, katanya. Ia menginsyafi benar-benar bahwa TNI adalah inti tentara RIS yang akan dibentuk.

Kemudian orang dikejutkan dengan berita pembubaran Panitia Pusat penyambutan TNI. Dalam Pengumuman No 2 Tahun 1950 Panitia menerangkan bahwa pembubaran dilakukan setelah mengadakan rapat tertutup dengan Mayor Suharsono pada tanggal 9—10 Januari 1950 yang dalam pertemuan itu Komando Subteritorial dan Pasukan TNI Kalimantan barat menjelaskan kepada Panitia bahwa Sultan tidak menyetujui adanya TNI di Kalimantan barat. Berdasarkan itu maka kehadiran panitia Pusat penyambutan TNI dianggap tidak ada gunanya lagi dan dengan pengumuman itu dinyatakan bubar.

Reaksi keras Komite Nasional. Namun ada yang menafsirkan bahwa penolakan sultan itu sebagai bersifat temporer. Kehadiran para perwira TNI itu disetujui sekalipun terpaksa, suatu fait accompli. Kehadiran pasukan nanti dulu, menunggu reorganisasi dalam rangka pembentukan tentara RIS. Tidak ada alasan dari sudut keamanan mengapa pasukan TNI harus didatangkan juga, katanya.

Gapi dan Komite Nasional berpendapat kehadiran pasukan TNI sangat perlu, sekarang juga. Kekhawatiran tetap membayangi mereka sehubungan dengan rencana Panglima Tentara Belanda seperti yang disiarkan oleh kantor berita Aneta tentang pembentukan tentara federal. Di antara anggota Gapi dan Komite Nasional bukan tidak ada yang sudah matang dalam politik berkat pengalaman dalam berbagai organisasi, untuk tidak melihat apa yang ada di bawah permukaan di samping yang nampak di atas permukaan dengan mata telanjang. Lalu tercetuslah gagasan tentang adanya demonstrasi besar-besaran dan pemogokan di seluruh Kalimantan Barat.

Timbul lagi masalah baru, yaitu soal kepala Daerah. Tetapi persoalan itu sesungguhnya bukanlah suatu hal yang baru sama sekali untuk menambah banyaknya persoalan yang dihadapi pergerakan rakyat. Ia menjadi permasalahan baru ketika Sultan Hamid II diangkat sebagai menteri Negara dalam Kabinet RIS, suatu kedudukan yang, katanya, tak mungkin dirangkap dengan jabatan kepala Daerah.

Orang menginginkan dr Sudarso sebagai kepala Daerah. Suara-suara itu sudah ada sejak lama diperdengarkan. Pengamat yang netral mengulas bahwa motif yang mendorong para pendukung republik itu untuk mencalonkan dr Sudarso sebagai Kepala Daerah bukan terutama terletak karena kecakapannya melainkan karena pengorbanannya dalam perjuangan yang telah menjadi sebab ia pernah mendekam di penjara Cipinang, di samping jasa-jasanya di bidang sosial kemasyarakatan, lebih-lebih dalam hubungan profesinya sebagai dokter.

Komite Nasional mengadakan pertemuan mengenai soal itu di gedung PBI, 5 Januari 1950. diputuskan dengan suara bulat mencalonkan dr Sudarso sebagai kepala Daerah. Hal itu menjadi acara pertemuan mengingat Dewan DIKB akan bersidang tanggal 11 Januari 1950. Persoalan Kepala Daerah konon akan menjadi salah satu acara sidang.

Lalu ada keputusan yang lain lagi. Suatu protes keras diajukan kepada penguasa daerah berhubung dengan penangkapan tidak kurang dari 16 orang lagi di Ngabang pada penghujung tahun, 26 Desember 1949. Persoalan itu menambah bahan bakar lagi pada api perjuangan sehingga membuatnya lebih berkobar dan menyala-nyala.

Pada tanggal 6 Januari 1950 Gapi mengadakan rapat pengurus harian. Dibahas dalam rapat itu tentang gagasan mengadakan pemilihan umum untuk Dewan yang baru yang juga menjadi tuntutan pergerakan rakyat di samping boleh jadi juga memang menjadi rencana Pemerintah DIKB. Diputuskan menunjuk beberapa orang anggota untuk mempelajari peraturan dasar Dewan yang baru. Lalu pembubaran Gapi. Tiba saatnya untuk menyerahkan kelanjutan perjuangan sepenuhnya kepada Komite Nasional yang anggotanya sebagian besar adalah perorangan anggota Gapi juga, bukan perkumpulan-perkumpulan.

Dewan Daerah istimewa Kalimantan Barat memulai sidang pertamanya. Berkumpullah para wakil rakyat di kantor residen. Massa yang mendukung Komite Nasional mengadakan Demonstrasi Rakyat. Rakyat menghendaki dr Sudarso sebagai Kepala daerah. Kemudian dituntut supaya TNI tetap menjaga keamanan di Kalimantan Barat. Dengan rasa terharu Sultan Hamid II menanggapi semua tuntutan setelah meminta agar massa tenteram. Sultan menyampaikan terima kasih kepada rakyat yang telah datang berkumpul untuk menyatakan perasaan dan pendiriannya.

Terhadap pertanyaan apakah rakyat mengingini suatu Dewan dengan susunan demokratis, massa menjawab serempak: setuju 100 ersen. Maka juga Sultan berjanji bahwa Dewan dibubarkan dan akan diadakan pilihan langsung dari rakyat. Mengenai TNI, Sultan Hamid II telah meminta supaya staf yang ada tetap tinggal di kalimantan barat. Adapun Mayor Suharsono dikatakan tidak dapat tinggal lebih lama karena harus memenuhi perintah atasan untuk segera berangkat.

Di tengah-tengah gelora dan gemuruh teriakan massa rakyat, tampil Mayor dr Suharsono. Mayor TNI itu menyatakan bahwa ia harus berangkat karena begitulah bunyi perintah, meskipun rakyat menahannya. Keberangkatannya itu tidak mungkin ditawar-tawar lagi. Dalam suasana hiruk pikuk itu akhirnya diputuskan ketika itu juga menunjuk wakil rakyat untuk berangkat ke Jakarta bersama Mayor Suharsono buat berunding dengan pucuk pimpinan Angkatan perang RIS. Maka massa mempercayakan tugas itu kepada Uray Bawadi dan SH Marpaung. Sultan hamid II dalam tanggapannya menyatakan tidak keberatan. Demonstrasi pun bubar.

Tentang persoalan Kepala Daerah perkembangan lebih lanjut rupanya mengarah ke jurusan lain. Suatu hal yang sangat menggusarkan kalangan Komite Nasional dan pendukung-pendukungnya. Pada hari itu juga, seusai demonstrasi, Dewan melanjutkan sidangnya.

Sidang itu memutuskan memilih Masyhur Rifai sebagai ackting Kepala Daerah dengan suara 33 setuju, 3 balanko dan satu suara tidak sah. Itu terjadi karena Wakil kepala Daerah yang ada, Nieuwenhuysen, atas permintaan sendiri meletakkan jabatan. Sultan hamid II sendiri tidak jadi meletakkan jabatan seperti maksud semula, suatu pendirian yang memang sudah ditegaskan di hadapan para demonstran.

Maka terjadilah dua hal. Sultan tetap bertahan sebagai kepala Daerah sampai terbentuknya Dewan baru hasil pemilihan umum. Jabatan Kepala Daerah itu tetap terisi, tidak terjadi lowongan. Karenanya tertutup pintu bagi pencalonan dr Sudarso sebagai Kepala Daerah seperti yang dituntut para demonstran. Tetapi sebagai menteri Negara dalam Kabinet RIS ia tidak dapat bekerja penuh selaku Kepala Daerah, terlepas dari persoalan, apakah jabatan itu boleh dirangkap atau tidak.

Timbullah gagasan untuk mengadakan pemilihan umum baru. Di kalangan Komite Nasional bukan tidak ada yang mempunyai penilaian yang sama dengan apa yang nampak. Lalu ada berita bahwa bekas Kapten Westerling yang menamakan dirinya pemimpin satuan-satuan angkatan perang ratu Adil memajukan permintaan dengan surat kepada pemerintah Pasundan dan RIS supaya pasukannya diakui sebagai tentara resmi Pasundan.

Komisaris Tinggi Belanda, Dr Hirschfeld, pada malam tanggal 11 Januari 1950, jadi serempak dengan hari terjadinya demonstrasi besar-besaran itu, mengunjungi PM Hatta, menyampaikan pendirian pemerintah Belanda. Terhadap penegasan Komisaris Tinggi Belanda kepada PM Hatta tentang status bekas Kapten westerling itu, kalangan Komite Nasional menanggapinya dingin. Itu politik, katanya. Sekali lagi politik. Politik itu punya dua muka. Yang satu di atas permukaan, nampak. Yang lain di bawah permukaan, tidak nampak. Kecuali oleh mata orang yang arif.

Di kalangan Gapi dan Komite Nasional sudah lama orang melihatnya sekalipun baru merupakan gejala yang mengganggu di waktu malam di kala orang seharusnya tidur nyenyak, sekalipun mereka tidak menyatakan diri sebagai orang-orang yang arif.

PM Hatta dan rombongan, tiba pada hari yang direncanakan, 12 Januari 1950. betapa sibuknya Panitia Penyambutan dapat dibayangkan. Panitia itu diketuai Walikota Pontianak dengan anggota-anggota JC oevaang oeray, dr LF Luhulima, MK Indra Mahyudin, Ng Hong Tang, Vermeer, dan Soekotjo katim. Nampak juga Critchley anggota PBB untuk Indonesia yang telah tiba lebih dulu bersama Sultan Hamid di tengah-tengah para pejabat, anggota Dewan, dan undangan lainnya.

Tampil dari dalam rombongan orang banyak M Nazir Effendy, minta kesempatan bicara. Ia sudah lama tidak kelihatan di kota. Dengan suara keras ia minta perhatian PM Hatta tentang Dewan DIKB yang tidak refrensentatif, tidak demokratis. Bubarkan Dewan, adakan segera pemilihan, teriaknya. PM Hatta menjawab tenang, seperti biasanya pembewaannya. Kejadian yang sekonyong-konyong yang Panitia pun mungkin tidak menduganya, tidak membuat Hatta berubah wajah. Dengan singkat hatta menjelaskan tahap perkembangan hingga saat itu. “Kita baru saja merdeka”, katanya. “Banyak yang masih harus dikerjakan, dan sempurnakan. Dan itu semuanya memerlukan waktu, tidak mungkin sekali jadi”, kata Hatta. Lalu ia mengharapkan kesabaran, menunggu saatnya, termasuk juga pemilihan umum yang dituntut itu.

Petang harinya diselenggarakan rapat akbar di Lapangan Kebun Sayur, telah memberikan amanat Menteri Dalam Negeri Ide Anak Agung Gde Agung atas nama PM Hatta.

Esoknya, 14 Januari 1950, PM Hatta dan rombongan kembali ke Jakarta. Entah kenang-kenangan apa yang ia bawa. Sultan Hamid II berangkat bersama rombongan hari itu juga. Dalam kedudukannya sebagai menteri Negara tentulah banyak sekali tugas yang harus diselesaikan di ibukota.

Panitia Pusat Penyambutan TNI yang telah dibubarkan rupanya diaktifkan kembali dengan penggantian dan penambahan beberapa anggota. Demikian juga cabang-cabangnya. Malam itu, 15 Januari 1950, cabang kota mengadakan rapat gabungan dengan Panitia Pusat. Diperoleh berita bahwa besok, Senin, 16 Januari 1950, TNI yang diharap-harapkan itu akan tiba. Itu perlu dipersiapkan. Dan itulah yang menjadi acara pertemuan.

Apa yang diberitakan itu benar adanya karena besoknya, Senin, 16 Januari 1950, merapatlah di dermaga kapal KPM Kaimana membawa kurang lebih 200 orang anggota TNI di bawah pimpinan Mayor Firmansyah. Berbarislah pasukan itu dengan disaksikan massa yang mengelu-elukan. Rakyat memenuhi tepi jalan yang dialui sejak dari pelabuhan hingga ke tempat penampungan mereka.

Setelah berada di tempat, Komandan Komando Subteritorium Militer I Kalimantan Barat, Mayor Firmansyah, mengeluarkan pengumuman No 1 tanggal 18 januari 1950 yang menjelaskan beberapa hal. Dikatakan antara lain dalam pengumuman itu bahwa keamanan kini sepenuhnya di tangan TNI. Konsistensi KL/KNIL di Pontianak dan ketapang supaya tidak dianggap sebagai mengumpulkan kekuatan untuk maksud-maksud tertentu. Mereka sedang dalam proses pemulangan atau melebur ke dalam tentara RIS, bersama TNI. Segala prasangka, jika itu pernah ada, supaya dihindarkan. Akhirnya diserukan penggalangan segenap potensi dan kerjasama semua unsur untuk memelihara ketertiban dan keamanan dan melupakan hal-hal yang telah lalu.

Dengan pengumuman selanjutnya, Nomor 2 tanggal 19 Januari 1950, diulangi lagi tentang pendaftaran diri pasukan-pasukan gerilya dan lasykar-lasykar berikut alat senjatanya seperti yang telah diumumkan sebelumnya. Dalam rapat akbar hari Minggu, 22 Januari 1950 yang diselenggarakan oleh seksi penerangan panitia Pusat penyambutan TNI di Lapangan Kebun Sayur telah berbicara berturut-turut JC Oevaang Oeray dan Badan Pemerintahan dan kapten Saubari dari TNI.

Isi pidato sesuai dengan tema rapat akbar itu, memperkenalkan TNI kepada masyarakat, penjelasan tentang tugasnya dan upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk memelihara hubungan yang akrab. Pertemuan di gedung PBI pada malam tanggal 31 Januari 1950 di mana hadir juga masyarakat Belanda, para wakil organisasi dan pemuka masyarakat, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Kapten Saubari dalam memupuk saling pengertian semua pihak.

Masa antara 6 Juni 1949 sampai dengan 4 Februari 1950 dengan segala suka dan duka di dalamnya, merupakan masa kerja Gapi Pontianak dengan susunan pengurus menurut keadaan pada saat itu. Jangka waktu kurang lebih setahun itu dicatat sebagai periode terakhir kehadiran Gapi hingga saat bubarnya. Maka akhirnya, Gapi bubar pada akhir Februari 1950. rapat anggota tahunan itu merupakan rapat yang terakhir. Adapun Ikatan Gapi sebagai bangunan atas cabang-cabang Gapi dengan bubarnya Gapi Pontianak, Singkawang dan tempat-tempat lain, bubar pula dengan sendirinya.

Dengan Komite Nasional Kalimantan Barat sebagai satu-satunya wadah tempat berhimpun semua tenaga militan setelah bubarnya Gapi, tahap akhir perjuangan kini dimulai pula. Tujuan semula tidak pernah beranjak dari tempatnya, yaitu bubarnya Daerah Istimewa Kalimantan Barat, melebur ke dalam Negara Kesatuan RI. kelak perjuangan dilanjutkan dengan menuntut status Propinsi Otonom bagi Kalimantan Barat dalam lingkungan Negara Kesatuan RI. suatu perjuangan yang berat pula. Tetapi Komite Nasional berketetapan hati untuk meneruskannya, apa pun korban yang harus diberikan.

Awal kampanye mengenai itu dimulai dengan suatu rapat raksasa pada tanggal 4 Maret 1950 tetapi tidak jadi dilangsungkan karena dibubarkan polisi. Tindakan polisi itu yang boleh jadi semata-mata berdasarkan motif keamanan kiranya membawa akibat jauh. Komite Nasional mengeluarkan pengumuman Nomor 1 tanggal 7 Maret 1950. Isinya memprotes penguasa daerah yang telah menghalang-halangi rapat raksasa itu dengan kekuatan polisi. Maka untuk menguatkan protes, Komite Nasional mengumumkan pemogokan total di seluruh Kalimantan Barat mulai hari Senin tanggal 6 Maret 1950.

Pemogokan tidak akan dihentikan sebelum terdapat penyelesaian antara Komite Nasional Kalimantan Barat dan Dewan Kalimantan Barat. Tindakan pemerintah daerah tidak pula kepalang tanggung. Ketua KNKB SH Marpaung beserta anggotanya, antara lain M Nazir Effendy, Munzirin AS, AS Djampi, Burhan Ibrahim, Gusti Appandi Ranie ditangkap. Mereka dibawa ke Sungai Jawi Pontianak, dipenjarakan di sana.

Dari salah satu markas yang dirahasiakan, KNKB mengeluarkan pengumuman Nomor 2 tanggal 8 Maret 1950, menegaskan, bahwa pemogokan jalan terus, kecuali setelah adanya penjelasan dari Dewan Kalimantan Barat tentang tindakan kekerasan polisi, anggota pengurus KNKB SH Marpaung dan kawan-kawannya dibebaskan, dan Komisaris RIS datang ke Kalimantan Barat.

Pemogokan umum yang baru saja berlangsung 3 atau 4 hari mengakibatkan kelumpuhan pada beberapa sektor ekonomi. Penduduk Kota Pontianak yang menggantungkan hidupnya pada sistem distribusi terutama untuk bahan pokok, beras, mulai mengalami kesulitan sejak jaringan distribusi terputus. Tidak ada tenaga yang menggerakkannya. Orang-orang santai, berbincang-bincang tetapi menolak untuk bekerja. Pengangkutan macet. Buruh-buruh hingga ke para sopir solider dengan pemogokan.

Komite Nasional mengeluarkan pengumuman Nomor 4 tanggal 9 Maret 1950. Dalam pengumuman itu dinyatakan bahwa Komite Nssional akan mengusahakan pembagian beras 2 kg tiap jiwa dan menyerukan supaya rakyat tetap tenteram. Tetapi supaya diperhatikan bahwa pemogokan jalan terus. Seolah-olah KNKB mempunyai persediaan beras segudang!

Lalu dikeluarkan brosur tanggal 10 Maret 1950 yang di dalamnya KNKB menegaskan kembali pokok-pokok pendiriannya, yaitu menuntut Negara Kesatuan, penggabungan Kalimantan Barat ke dalam RI dengan mendapat hak otonomi yang seluas-luasnya, ackting Kepala Derah supaya menyerahkan mandatnya, dan sementara menunggu penggabungan ke dalam RI pucuk pimpinan daerah supaya dipegang oleh Komisaris RIS.

Kemudian apa yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Komisaris Umum RIS yang terdiri dari Mr Indra Kusuma dan M Soeparto, tiba di Pontianak Minggu 12 Maret 1950. tibanya Komisaris RIS membuka babak baru dalam kemelut yang terjadi antara KNKB dengan pemerintah daerah ke arah penyelesaian, memuskan atau tidak memuaskan. Di samping berunding dengan pemerintah Daerah, Komisaris RIS akan tatap muka juga dengan KNKB dan itu tidak mungkin dilakukan tanpa membebaskan Pengurus KNKB yang ditahan itu dari penjara. Maka itu pun terjadi.

Perundingan-perundingan dengan Komisaris RIS dikacaukan oleh kedatangan Komisi DPR yang hampir bersamaan. Misi DPR RIS terdiri dari Mr Lukman Wiriadinata, K Wardojo, otto Rondonuwu dan Manuaba. Pertemuan dengan komisi itu dilakukan di gedung PBI dalam bentuk tukar pikiran sambil KNKB menegaskan kembali pendiriannya. Belakangan ternyata, bahwa tugas Komisi DPR itu hanyalah semata-mata mencatat fakta-fakta, suatu komisi fact finding. Tidak lebih dari itu. Tetapi itu tidak dapat disalahkan karena begitulah rupanya bunyi mandat yang mereka bawa. Karena memangnya pula bukan perangkat eksekutif.

Komisaris RIS sebagai penengah antara dua pihak yang bersengketa tentu juga harus mempertimbangkan pendapat-pendapat pihak lain. Atau ia akan kehilangan fungsinya sebagai penengah. Akhirnya pada hari Jumat tanggal 17 Maret 1950 mulai terlihat adanya titik terang dan hari berikutnya Sabtu 18 Maret 1950 dengan Komisaris RIS sebagai penengah, tercapailah persetjuan antara KNKB dan pemerintah DIKB.

KNKB mengeluarkan pengumuman mengakhiri pemogokan hari itu, dipatuhi, dan keadaan pulih kembali.

Beberapa waktu kemudian, orang di kalimantan Barat mendengar siaran radio tentang terlibatnya Sultan hamid II dalam peristiwa Westerling. Sultan Hamid II ditangkap, katanya, atas perintah jaksa Agung. Itu terjadi pada 5 April 1950. Apa yang dikhawatirkan dulu oleh mereka yang mengumpulkan diri di sekeliling Gapi dan Komite Nasional, kiranya terjadi. Pengacauan terjadi di Bandung Jawa Barat dan di tempat-tempat lain. Tidak di Kalimantan Barat. Dan rencana di Jakarta, penyerbuan Dewan Menteri pada tanggal 24 Januari 1950, berkat lindungan Tuhan, tidak terjadi.

Jika tidak ada aksi-aksi rakyat apakah peristiwa yang serupa tidak akan terjadi pula di Kalimantan Barat? Demikian dalam hati para pemuka bertanya. Tetapi siapa pula yang akan menjawabnya, bisik mereka.

Sejak selesainya pemogokan, rupanya desakan-desakan rakyat agar Dewan bubar dan ackting Kepala Daerah menyerahkan mandatnya, tidak pernah kendor. Juga tidak setelah terbentuknya Badan pertimbangan sebagai salah satu upaya di masa transisi dan jalan tengah guna mengatasi konflik KNKB dan DIKB buat mengakhiri pemogokan. Dewan Pertimbangan itu yang lahir sesudah pemogokan umum, terdiri dari SH Marpaung, Uray Bawadi, A Mawardi Djafar, Mochtar Hadikoesoemo dan Adenan.

Hasil-hasil itu terlalu berharga untuk disia-siakan …

* Adaftasi Penulis dari romantika sejarah dari beberapa pelakunya di Kalbar, serupa M Yanis, SH Marpaung, Ibrahim Saleh, Achmad Noor dan M Nazir Effendy< semuanya telah almarhum