Sabtu, 12 September 2009

PROFIL DI ANTARA ULAMA BESAR PONTIANAK

Ismail al-Kalantani Mufti Pontianak Kharismatik
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Ulama wara yang dikenal luas sebagai Mufti Kesultanan Pontianak ini, dikenal dengan nama Ismail al-Kalantani Mufti Kesultanan Pontianak. Nama lengkapnya adalah Ismail bin Haji Abdul Majid bin Haji Abdul Qadir al-Kalantani. Dilahirkan di Kampung Labok, Macang, Kelantan. Mengenai tahun lahir dan wafatnya masih belum diperoleh data yang pasti dan tercatat secara resmi.
Ada pendapat menyebutkan bahwa Ismail Kelantan lahir pada 1293 Hijrah bersamaan 1876 Masehi. Sebuah sumber yang ditulis oleh Ismail Che' Daud menjelaskan pada catatannya bahwa ulama tersebut lahir pada awal 1300 Hijrah atau sekitar 1882 Masehi. Sedangkan mengenai wafatnya ada yang menyebutkan pada 1365 Hijrah atau bersamaan 1946 Masehi. Sedangkan penulis Ismail Che' Daud menyebut kemungkinan pada 1370 Hijrah atau dalam 1951 Masehi.
Ismail dan abangnya Muhammad Nuh, yang kemudian dikenal luas sebagai Haji Nuh Kaya, setelah memperoleh pendidikan dasar di Kelantan, melanjutkan pendidikan ke Mekah. Di Mekah, Ismail sempat mengikuti majelis pengajian Syeikh Ahmad al-Fathani, baik di rumah ulama besar itu maupun di Masjid al-Haram.
Ada pendapat menyebutkan Ismail Kelantan pulang ke Kelantan setelah berhaji pada 1325 Hijrah atau dalam 1908 Masehi, dan merupakan tahun wafatnya Syeikh Ahmad al-Fathani yang wafat 11 Zulhijjah 1325 Hijrah atau 18 Januari 1908 Masehi. Pendapat lain menuliskan Ismail tidak kembali ke Kelantan Fathani melainkan meneruskan pengajiannya kepada beberapa orang ulama besar Mekah, di antaranya kepada Saiyid Abdullah az-Zawawi (lahir 1266 Hijrah/1850 Masehi, wafat 1343 Hijrah/1924 Masehi), Syeikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah at-Tarmasi dan sejumlah ulama besar lainnya. Syeikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah at-Tarmasi berasal dari Termas (Jawa Timur) adalah seorang ulama besar Mazhab Syafii dan ahli dalam ilmu hadis. Ia mempunyai beberapa karangan yang ternama, antaranya Muhibah Zawin Nazhar sejumlah empat jilid.
Hubungan dekat Ismail Kelantan dengan Saiyid Abdullah az-Zawawi sejak ia belajar di Mekah, yang ketika itu Saiyid Abdullah az-Zawawi adalah seorang Mufti Mazhab Syafii di Mekah. Ketika pergolakan Wahhabi di Mekah, beberapa orang ulama tidak merasa aman tinggal di Mekah, termasuklah Saiyid Abdullah az-Zawawi. Haji Ismail Kelantan mengikuti sang gurunya Saiyid Abdullah az-Zawawi itu berhijrah dari Mekah ke Riau dan selanjutnya ke Pontianak.
Sewaktu Saiyid Abdullah az-Zawawi menjadi Mufti Kesultanan Pontianak, Ismail Kelantan terus bersama gurunya itu, belajar pelbagai bidang ilmu dengan tiada hentinya walau pun ilmu yang dikuasainya cukup banyak dan memadai. Dalam riwayat lain menyebut bahwa Ismail Kelantan pulang ke Kelantan lebih awal atau diperkirakan dalam 1325 Hijrah bersamaan 1908 Masehi, dan selanjutnya pergi ke Cam atau Kemboja.
Disebutkan bahwa Ismail Kelantan tidak sempat menamatkan ilmu falak yang dipelajarinya dari Syeikh Ahmad al-Fathani. Oleh itu setelah Syeikh Ahmad al-Fathani meninggal dunia, ia meneruskan pendidikan khusus tentang ilmu falak kepada Syeikh Muhammad Nur bin Muhammad bin Ismail al-Fathani. Ketika mempelajari ilmu falak kepada Syeikh Muhammad Nur al-Fathani, ia bersama Syeikh Haji Abu Bakar bin Haji Hasan Muar.
Tentang figur dan ketokohan Ismail Kelantan dalam ilmu falak dapat dibuktikan dalam karyanya dengan judul Pedoman Kesempurnaan Manusia. Mengutip cerita yang disitir Ustaz Abdur Rani Mahmud al-Yamani, semasa hidupnya saat sebagai Ketua Majlis Ulama Kalimantan Barat, bahwa Ismail Kelantan adalah orang pertama yang menyebarluaskan ilmu falak di Pontianak khususnya dan Kalimantan Barat umumnya.

MUFTI PONTIANAK
Selain bersama gurunya Saiyid Abdullah az-Zawawi di Pontianak, Ismail Kelantan pernah mengunjungi Syeikh Muhammad Yasin, seorang ulama yang berasal dari Kedah, yang tinggal di Kuala Secapah, Mempawah. Pada tahun kedatangan Ismail Kelantan ke Kuala Secapah, Mempawah itulah Syeikh Muhammad Yasin Kedah meninggal dunia. Ismail Kelantan juga mengunjungi Wan Nik, seorang ulama sufi yang berasal dari Patani. Ia ini juga menetap di Mempawah.
Dalam waktu yang relatif singkat, keulamaan Ismail Kelantan tersebar di sekitar Mempawah dan Pontianak. Oleh sebab itu Adam, seorang hartawan Bugis di Sungai Itik, Pontianak, yaitu seorang yang sangat haus akan ilmu pengetahuan, menjemput Ismail Kelantan untuk mengajar di rumahnya. Bukan itu saja, atas kehendak Adam dan Muminah binti Haji Muhammad Thahir, mereka menjodohkan anak perempuannya dengan Ismail Kelantan.
Perjodohan dengan anak Adam itu merupakan pernikahan Ismail Kelantan yang pertama di Pontianak. Detik-detik terakhir akan kepulangannya ke Kelantan, Ismail menikah lagi dengan Jamaliah yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Pernikahan kedua ini adalah atas kehendak dan perintah Sultan Syarif Muhammad al-Qadrie, Sultan Pontianak.
Dari sepucuk surat Ismail Kelantan kepada Syarif Muhammad bin Syarif Yusuf al-Qadrie, Sultan Pontianak, pada tarikh Pontianak 28 Februari 1924, dapatlah diketahui bahwa mulanya ia dilantik sebagai Naib Hakim di Rad Agama Pontianak sejak 12 Agustus 1920. Pada tarikh penulisan surat 28 Februari 1924, kedudukan Ismail Kelantan adalah sebagai Mufti di Kesultanan Pontianak.
Sewaktu Ismail Kelantan menjadi Mufti Kesultanan Pontianak, ada tiga orang ulama yang bernama Ismail. Dua orang lagi adalah Ismail bin Abdul Lathif yang lebih dikenali dengan Ismail Jabal dan Ismail bin Abdul Karim yang lebih dikenali sebagai Ismail Mundu. Ismail bin Abdul Lathif menjabat sebagai Adviseur Penasihat Rad Agama Kesultanan Pontianak. Dan Ismail bin Abdul Karim yang wafat Kamis, 15 Jumadilakhir 1376 Hijrah bersamaan 16 Januari 1957 adalah Mufti Kerajaan Kubu, sebuah kerajaan kecil di bawah naungan Kesultanan Pontianak.
Ketiga Ismail, atau tiga ulama tersebut sangat terkenal di dalam Kesultanan Pontianak. Bahkan namanya sangat dikenal di wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan lain di seantero Kalimantan atau Borneo. Ismail Kelantan pulang ke Kelantan sekitar 1937. Di Kota Bharu ia menjadi guru di Jami Merbau yang berstatus sebagai pendidikan tinggi Islam ketika itu. Murid-murid yang diterima di Jami Merbau adalah orang-orang yang telah mendapat pendidikan yang cukup memadai, yang datang dari seluruh Semenanjung dan Patani.
Selain mengajar di Jami Merbau, Ismail Kelantan juga menjadi guru dan imam di Istana Sultan Kelantan. Ismail Kelantan adalah hafiz al-Quran tiga puluh juz, fasih ketika berpidato sebagai seorang orator ulung dan fasih berkhutbah di atas mimbar. Kelebihannya itu pula dapat mempengaruhi dan membakar semangat pendengar. Dalam satu peristiwa keributan yang didalangi Bintang Tiga yang terjadi di Kota Bharu, Ismail Kelantan telah berpidato sehingga membakar semangat juang orang puak Melayu
Beberapa karya tulis yang ditinggalkannya, antara lain 1) Fatwa Daripada as-Saiyid Abdullah Ibnu Almarhum as-Saiyid Muhammad Shalih az-Zawawi Jawab Soal Dari Tanah Jawa, diselesaikan penulisan pada 25 Syawal 1330 Hijrah. Isinya mengenai ayat-ayat al-Quran dalam piring hitam. Diberi gantungan makna dalam bahasa Melayu dari karya asalnya yang ditulis dalam bahasa Arab, Rajab 1326 Hijrah. Dicetak dengan keinginan as-Saiyid Jafar bin Pangeran Syarif Abdur Rahman al-Qadri Pontianak. Dicetak di Mathba Haji Muhammad Said bin al-Marhum Haji Arsyad, No. 82 Arab Street Singapura, pada 25 Syawal 1330 Hijrah oleh Muhammad bin Haji Muhammad Sa'id, Basrah Street, No. 49 Singapura.
Karya berikutnya 2). Risalah Pada Bicara Jum'at dan Sembahyang Zhuhur Mu'adah, tanpa dinyatakan tahun selesai penulisan. Tarikh salinan 3 Rabiulawal 1345 Hijrah. Isinya pembahasan khilafiah mengenai sembahyang Jumat dan sembahyang Zuhur atau mu'adah.
3). Pedoman Kemuliaan Manusia, isinya membicarakan tentang berbagai ilmu, termasuk falakiyah. Cetakan yang pertama Mathba'ah al-Ma'arif, Kota Bharu, Kelantan. Taqriz atau pujian dari Tuan Guru Ahmad Mahir bin Haji Ismail Kemuning, Kadi Besar Negeri Kelantan yang ditulis pada 22 Januari 1938, Tuan Guru Nik Muhammad Adib bin Syeikh Muhammad Daud, Jawatan Tinggi Kadi Pelawat atau Pemeriksa Kadi-kadi Dalam Kelantan (ditulis pada 22 Nopember 1937), Tuan Guru Abdullah Tahir bin Ahmad, Guru Besar Ugama Dalam Kelantan dan Anggota Ulama Dalam Majlis Ugama Islam Kelantan yang ditulis 14 Zulkaedah 1356 Hijrah.
Sewaktu Ismail Kelantan pulang ke Kota Bharu, Kelantan, tiga orang anaknya dengan isteri pertama semuanya telah berumah tangga, ketiga-tiganya tidak ikut pulang ke Kelantan bersama ayah mereka. Anak-anaknya ada yang tinggal menetap di Parit Sungai Keluang, Peniti, Kecamatan Siantan, Kabupaten Pontianak. Anak pertamanya itu suaminya bernama Arif. Seorang anak Ismail Kelantan yang perempuan lainnya tinggal di Pontianak. Diyakini ketiga anak Ulama Ismail Kelantan melahirkan keturunan yang banyak di Pontianak atau pun telah berpindah ke tempat-tempat lainnya.
Dari sekian banyak murid Ulama Ismail Kelantan di Pontianak yang sangat terkemuka adalah Ustaz Abdur Rani Mahmud al-Yamani. Rani adalah ulama terkemuka yang semasa hidupnya menjadi tempat rujukan segala hal mengenai Islam bagi masyarakat umum dan pihak birokrasi di Kalimantan Barat.
Cerita-cerita yang dituturkan mengenai kelebihan atau keistimewaan Ulama Ismail Kelantan banyak dicatat Abdur Rani Mahmud semasa hidupnya. Menurut Abdur Rani Mahmud, salah satunya, Ismail Kelantan adalah orang pertama menyebarkan ilmu falak secara luas di Pontianak. Katanya dalam tulisnnya, ``Kemungkinan Haji Ismail Kelantan hafal Quran tiga puluh juz karena di mana saja beliau duduk, mulutnya sentiasa membaca ayat-ayat al-Quran. Tangannya senantiasa memegang tasbih. Kalau mengajar mata pelajaran apapun yang diajarkannya semuanya secara hafal walau pun kitab ada di depannya'', demikian tulis Abdur Rani Mahmud.

Abdul Rani Mahmud dan Keulamaannya
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Kesultanan Pontianak merupakan kesultanan termuda di Kalimantan Barat maupun kawasan Nusantara, bahkan di dunia internasional. Kesultanan ini dirintis dan didirikan oleh dinasti campuran antara Arab, Dayak, Melayu dan Bugis. Dikatakan termuda di dunia berdirinya, karena kesultanan yang berdiri pada 23 Oktober 1771 bersamaan 12 Rajab 1185 ini merupakan kesultanan yang terakhir dibangun dalam lintasan sejarah Kalimantan Barat. Dikatakan demikian, karena tidak ada kesultanan atau kerajaan lainnya, selain kesultanan ini, yang berdiri pada periode atau tarikh yang sama dengan atau lebih akhir maupun setelah tanggal kehadiran Kesultanan Pontianak.
Dari tahun ke tahun, daerah baru itu berubah jadi kawasan perdagangan. Enam tahun kemudian, Abdurrahman memproklamasikan berdirinya kerajaan Islam bernama Kesultanan Pontianak. Kerajaan Pontianak tumbuh dan berkembang melalui hubungan perkawinan, perang diplomasi sampai pada pelayaran dan perniagaan. Dari jaringan komunikasi itu timbullah proses integrasi di antara daerah-daerah dan unsur-unsur sosialnya dan menimbulkan aliran besar kultural yang membawa ideologi, sistem kepercayaan, sistem politik dan berbagai unsur kebudayaan lainnya. Kemudian supremasi politik dapat mencakup dalam kekuasaan dan sebaliknya penguasaan perdagangan dapat memperkuat kedudukan politik.
Perkenalan antar suku bangsa, terutama yang dilakukan para pendatang, memberi kemungkinan terbukanya komunikasi dalam pertukaran pengalamannya akan menjurus pada kesadaran tentang kesatuan dari suku bangsa seluruh tanah air. Para pedagang mendirikan perkampungan setelah mendapat izin dari sultan, sehingga banyak didirikan kampung yang berorientasi pada daerah atau negara dari pendatang tersebut berasal. Penduduk Pontianak secara tradisional yang berasal dari berbagai suku bangsa sejak lama melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan dan mampu mengembangkan diri dalam memajukan kegiatan perdagangan sehingga Pontianak tumbuh sebagai kota dagang.
Kesultanan Pontianak dikenal juga dengan nama Kesultanan Qadriah, mengingat peletak dasarnya dari dinasti Al Qadri. Pendiri kesultanan ini adalah Syarif Abdurrahman Al Qadri putra Sayyid Hussein Al Qadri atau Habib Hussein Al Qadri. Hussein (bin Habib Ahmad Al Qadri) adalah seorang ulama besar keturunan Sayyid dan penyiar agama Islam yang berasal dari kota kecil Trim Hadralmaut yang sekarang lebih dikenal dengan Yaman Selatan. Hussein adalah salah seorang penganut mazhab Syafii termasuk ulama tasawuf.
Keberhasilan Abdurrahman menemukan kawasan pemukiman yang sangat strategi dalam geografis yang aman dari bencana alam, tidak terlepas dari latar belakang budaya dan pendidikan non-formal ditambah dengan wawasan luas, pandangan strategis dan jiwa pionir yang dimilikinya. Tidaklah berlebihan kalau Abdurrahman disebut sebagai seorang yang ahli maritim dan ahli strategi.
Pontianak merupakan daerah yang strategis, membawa kemajuan dalam pelayaran dan perdagangan. Dengan kondisi yang demikian, kemudian banyak pedagang datang ke wilayah tersebut mengadakan hubungan dagang, seperti Bugis, Melayu, Cina, juga dari Sanggau, Sukadana, Landak, Sambas, Sebukit Rama dan hulu Kapuas. Dengan adanya jaminan Sultan Pontianak atas pelayaran dan perdagangan di kawasan Sungai Landak dan Sungai Kapuas Kecil, membuat lalu lintas perdagangan di Pontianak semakin ramai. Adanya jalur perdagangan yang dikuasai dan diatur oleh sultan sangat menguntungkan bagi kesultanan Pontianak.
Kota Pontianak dalam abad XIX tidak hanya merupakan pusat perdagangan. Tetapi juga menjadi pusat pemerintahan serta kemudahan niaga dan pelayaran. Merupakan faktor potensial munculnya perluasan kota. Faktor itu ditunjang pula fungsi Sungai Kapuas dan Landak sebagai jalan transportasi termudah yang menghubungkan daerah-daerah pedalaman sehingga muncul pemukiman-pemukiman yang letaknya di tepi sungai tersebut. Perkembangan Pontianak dengan sendirinya berjalan sejajar dengan kemajuan perdagangan, birokrasi, transportasi dan berbagai fasilitas pelayanan lainnya.
Pemukiman sultan dan keluarganya terdapat dalam Istana atau Keraton Qadriah, di luar keraton bermukim para kerabat kerajaan di wilayah Kampung Dalam Bugis dan Arab. Penataan penting lainnya dalam lingkungan kerajaan adalah bangunan Masjid Jami—di luar kompleks keraton—sebagai pusat pengembangan Islam, dan kompleks makam Sultan Pontianak yang terletak di pinggiran kota, Kelurahan Batu Layang sekarang.
Elemen yang turut membentuk struktur dan tata ruang Pontianak adalah pemukiman kaum pedagang yang letaknya di tepi Sungai Kapuas dan vertikal sebelah timur Keraton Qadriah, sebelumnya telah dibangun Kampung Bugis, Arab, Melayu dan Tambelan. Mereka membentuk perkampungan sendiri sesuai daerah asalnya. Kampung Banjar Serasan didirikan Haji Abdul Kahfi asal Banjarmasin pada 1846. Begitu pula didirikan Kampung Tambelan, Sampit, Saigon, Kamboja, Kuantan dan Bangka Belitung.
Di sekitar perkampungan pedagang didirikan pula Kampung Tambelan Sampit oleh kaum ulama. Dalam konteks penataan tersebut, keraton sebagai pusat kerajaan mempunyai hubungan erat dengan pedagang dan ulama, sehingga tercermin adanya jaminan keamanan bagi mereka. Faktor ini juga menyebabkan pedagang dan ulama termasuk dalam struktur sosial lebih tinggi dibanding golongan lainnya.
Dapat digambarkan bahwa kehidupan Kesultanan Pontianak mulai dari intra-muros dengan dikelilingi penduduk yang mengelompok membentuk mozaik, menurut kategori sosio-ekonomi dan sosio-kultural. Dalam lingkungan kerajaan terdapat Masjid Jami yang berfungsi majemuk, sosial dan keagamaan. Selanjutnya pemerintah kolonial Hindia Belanda mengembangkan Kota Pontianak di bagian selatan sesuai dengan kepentingannya. Pola tata ruang kota terbentuk unsur adanya Residentweg, Kantor Residentie dan benteng Fort du Bus terletak di seberang keraton yang dipisahkan oleh Sungai Kapuas untuk memisahkan sosio-kultural.
Di Kampung Tambelan sampit hidup sepasang suami istri Haji Mahmud bin Muhammad Arsyad dan Asiyah binti Husein. Kesehariannya hidup dengan sederhana. Mahmud lahir dan besar di kampung ini, leluhurnya yang menetap di Tambelan Sampit adalah para perantau samudera yang berasal dari Negeri Yaman di Hadramaut jazirah Arab. Bermula dengan leluhur bernama Ahmad bin Abdullah al-Yamani yang mengarungi samudera merantau ke Nusantara dengan mengawali muhibahnya menyinggahi Negeri Serambi Mekkah Aceh darussalam. Kemudian ia menuju utara Sumatera, di daerah pesisir kawasan itu di Pariaman.
Di negeri penghasil batubara itu, Ahmad berjodoh dengan gadis setempat. Buah pernikahan itu, turun temurun hingga tiga generasi berikutnya lahirlah seorang juriat yang belakangan dikenal sebagai Nakhoda Khidir. Khidirlah yang kemudian dianggap sebagai pelanjut sekaligus penebar asal muasal leluhur mereka yang pada akhirnya bertapak di Tambelan Sampit Pontianak.
Di kawasan Pontianak, Nakhoda Khidir ini mempersunting gadis setempat, seorang perempuan dari garis turunan sama yang bernama Secha Sadiyah binti Muhammad al-Yamani. Buah perjodohan keduanya dikaruniai seorang anak, Abdur Rahman. Rahman dalam hidupnya menikah dengan gadis setempat bernama Salamah yang menurunkan dua orang anak, Muhammad Arsuad dan Muhammad Ali.
Dalam tahun 1329 H, dua bersaudara Arsyad dan Ali menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Sekembali dari Makkah, Arsyad menikahi Aisyah binti Abdul Ghani, yang kemudian pasangan ini memperoleh lima orang anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Tiga anak lelaki mereka masing-masing Muhammad Makkah, Mahmud dan Umar. Makkah, si sulung hingga akhir hayatnya tidak dikaruniai keturunan, sedangkan Mahmud dikaruniai empat orang anak, masing-masing Abdul Rani, Sadiyah, Raudhah dan Jaurah. Sedangkan Umar dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Muhammad Yunus.
Adalah Abdul Rani putra sulung dari Mahmud, belakangan dikenal sebagai ulama besar Kalimantan Barat sebagai KH Syekh Abdul Rani Mahmud al-Yamani. Semasa kanak-kanak hingga usia belianya ia lebih dikenal oleh majlis taklimnya dengan sapaan Ustadz Derani. Ia dilahirkan seiring azan subuh menggema. Nama yang disandangnya baru diberikan kepada bayi mungil ini setelah berusia beberapa hari kemudian oleh kedua orang tuanya.
Di masa kanak-kanaknya, Derani telah menampakkan kesantunan. Ia tak seperti kebanyakan anak seusianya, ia jarang bermain-main. Sebaliknya waktunya banyak dihabiskan untuk mendapatkan pelajaran membaca dan menulis, terutama huruf al-Quran. Tentu sekali, Mahmud yang memberikan kesemua pelajaran itu kepadanya. Dengan demikian, Mahmud selain sebagai orang tua sekaligus juga sebagai guru bagi Derani kecil.
Selain pendidikan itu didapatkan dari ayahnya. Derani juga dituntun oleh sang kakek, Haji Muhammad Arsyad, termasuk pula pamannya sendiri Muhammad Makkah. Dari Makkah inilah Derani mendapatkan pengajaran mengenai pemikiran fiqh, tajjwid dan berbagai hal lainnya. Karena itu, sejak usia muda derani sudah nahu dalam bidang fiqh, dan ia pun fasih mendalami kitab serupa Tuhfa at-Athfaa (Ilmu Tajwid), Umm Barahiin (Ushuluddin), Safinah al Shalah, Safinah al Najah, al Ghayah wa at Taqrib, Dham, al Awam li al Jurjani dan lain sebagainya.
Di usia 12 tahun, selain telah fasih dengan ilmu Islam, orangtuanya memasukkan Derani ke sekolah umum, atau Sekolah Governemen di Pontianak. Masa sekolah di sekolah yang diawasi kolonial Belanda, 1923-1928, Derani mendapatkan tak sedikit pengetahuan umum, hingga ia dinyatakan lulus dari jenjang pendidikan tersebut.
Sementara pada pagi hari sibuk di sekolah gubernemen ini, pada sore harinya ia masih meneruskan untuk mendalami pelajaran agama Islam. Di malam harinya dimanfaatkan untuk mempelajari berbagai tradisi kesenian setempat yang berbau Islam, serupa maulid, barzanji, nazham, syarafal anam, hadrah masing-masing dengan gaya serta lagunya. Serta juga mempelajari japin dan gambus yang mengiringinya.
Menapak karir sebagai seorang pendidik, dimulai sejak 1939. dan profesi ini terus berlanjut, bahkan hingga usia senjanya kelak. Namun, sampai 1945, Abdul Rani menjadi guru pada Madrasah Al Raudhatul Islamiyah pada pagi dan siang hari. Sedangkan sore harinya ia tetap belajar di sekolah ini. Di sana ia menuntut ilmu pada seorang ul;ama terkemuka Kalimantan Barat, KHM Ali Usman Ketapang, sekalipun dari segi usia, Ali Usman jauh lebih muda dibanding Abdul Rani.
Oktober 1945, saat kaum republikein dan pemuda revolusioner di Pontianak bergelimang dengan perjuangan politis, Abdul Rani yang menjadi guru, menenmpati jabatannya sebagai Wakil Kepala Madrasah Al Raudhatul Islamiyan tersebut. Dan karena kemampuan profesinya dalam memimpin pula, sejak 1947 hingga 1950, Abdul Rani mengepalai madrasah itu.
Pada 1951 di saat awal pembentukan Kantor Urusan Agama Kabupaten Pontianak yang berkedudukan di Pontianak, Abdul Rani direkrut sebagai pegawai di sana oleh pimpinan kantor ini HM Akif. Pada kantor ini, Abdul Rani ditempatkan di Bagian Hukum Islam dalam struktural Kantor Urusan Agama Keresidenan Kalimantan Barat. Dan tentu saja, aktivitasnya sebagai guru agama Islam tetap ditekuninya. Itu berjalan pada malam hari.
Pada awal 1966, Abdul Rani mengajukan permohonan berhenti dengan hormat sebagai Pegawai negeri, di mana jabatan yang disandangnya ketika itu sebagai Kepala Bagian Kepenghuluan pada Kantor Uusan Agama Propinsi Kalimantan Barat. Itu dilakukannya karena Abdul Rani memandang tertutup kesempatan bagi dirinya untuk mengajar dan belajar dikarenakan kesibukan rutinitas jabatannya.
Akhirnya, dengan ketetapan hati dan istiqamah, dia pun menyatakan pengunduran dirinya itu. Lebih dari faktor yang ada ini, ia melihat kepentingan dan untuk kemaslahatan ummat jauh lebih penting, karenanya ia meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai.
Pasca normalnya kondisi ketatanegaraan Indonesia dengan kembalinya ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana rezim pemerintahan di bawah kendali Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi, seorang yang dikagumi Abdul Rani, ia menekuni dunia faedagogis. Ia sebagai salah seorang guru pada Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) pada 1951 sampai 1958. Dirinya merupakan salah seorang di antara pendiri sekolah itu. Untuk kurun selanjutnya, 1959-1962, ia menjabat sebagai Wakil Direktur SMIP tersebut.
Pada 1962, ia mulai mengajar pada Seklolah persiapan Institut Agama Islam Negeri (SPIAIN) di Pontianak, sebuah lembaga pendidikan formal yang kemudian menjadi Madrasah Aliyah negeri (MAN) Pontianak, sebuah sekolah yang juga dirintisnya. Pada 1965, di saat rupadaksa politik Indonesia memanas dengan ideologi Nasakom yang dipaksakan, Abdul rani tak bergeming dari kehidupan pendidikan dan pengajaran. Ia sampai pada ketika itu belum tertarik lagi untuk menerjuni dunia politik praktis. Meski, sampai saat itu dia dikenal sebagai sebagai seorang tokoh yang berwawasan Islam dan bersentuhan dengan dunia politik praktis dengan basis Islam Masyumi.
Karena itu pula, antara 1965 hingga 1968, Abdul Rani menjadi dosen pada Fakultas Talbiyah di Institut Agama Islam yang masih berstatus swasta. Cikal bakal STAIN ini pun dirintisnya pula bersama sejumlah pencinta pendidikan Islam lainnya di Pontianak.
Zaman berubah, rezim penguasa pun berganti. Pada 1966 merupakan awal kehadiran rezim pemerintaha Orde Baru, di mana penguasa di pusat menyeragamkan kehidupan berpolitik di tanah air. Dengan niat yang mulia, tentu saja dakwah lewat jalur yang dijalaninya ini, Abdul Rani menyanggupi saat dirinya direkrut untuk dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD GR) Kalimantan Barat dari unsur Karya Rohaniawan Muslim. Kelaknya, selama satu periode, 1966-1971, Abdul Rani duduk di dewan ini.
Selama bergelut di dunia politik, meski secara formal tak terikat pada salah satu partai politik praktis, namun selama lima tahun itu Abdul Rani tetap memperhatikan bidang pendidikan dan amal sosial yang menjadi latar belakangnya. Sejak 1968, di mana dirinya masih aktif di Dewan Legislatif Kalimantan Barat, Abdul rani menyempatkan waktunya sebagai Dosen Luar Biasa di Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cabang Pontianak.
Selama menekuni aktifitas yang dijalaninya, Abdul Rani menghasilkan sebuah karya monumental yang tetap dikenang dan dipergunakan sepanjang waktu. Itu adalah penyusunan Jadwal Waktu Sholat Sepanjang Masa untuk Kalimantan Barat. Belakangan karya besarnya itu, di samping sejumlah karya tulisan buah pemikirannya, telah memperoleh kekuatan hukum dengan terdaftar sebagai sebuah karya dengan Hak Cipta atas nama dirinya.
Sementara, karya-karyanya sebagian besar erat kaitannya dengan bidang Fiqh. Hal itu dikarenakan Abdul Rani sangat tertarik di bidang itu, tentu saja tanpa mengabaikan bidang keagamaan yang lainnya. Bidang Fiqh yang banyak dan luas didalamnia, adalah dengan mengkaji atau membaca kemudian mendalami Kitab-kitab Kuning atau Kitab Klasik yang erat hubungannya dengan Fiqh, apa yang didapatkannya kemudian disari dan diuraikannya ke dalam tulisan untuk seterusnya diajarkannya.
Abdul Rani rupanya mempunyai obsesi untuk terus mengembangkan pengetahuan. Ini setelah belajar di masa awal remajanya. Ia pun juga memilih belajar secara otodidak.
Sampai 1937, telah banyak organisasi Islam dibentuk, mulai dari SDI (SI), Muhammadiyah, NU sampai Jong Islamieten Bond (JIB). Tak terkecuali cabang-cabangnya di Kalimantan Barat, terutama di Pontianak. Keberadaan organisasi-organisasi Islam tersebut di satu sisi telah memperluas keterlibatan kaum muslim dalam pergerakan kebangsaan, tetapi, di sisi lain, pelbagai organisasi tersebut sering terjebak dalam pertentangan dan perbedaan paham sehingga memperlemah posisi umat Islam secara keseluruhan.
Menyadari bahwa bahaya keadaan ini, para tokoh Islam mulai menekankan pentingnya menyingkirkan perbedaan dan perlunya membina persatuan. KH Hasyim Asyari dalam Kongres NU di Kalimantan, 1935, memberi perhatian besar mengenai soal persatuan ini. Maka para tokoh organisasi Islam, seperti Mas Mansur dari Muhammadiyah, Mohammad Dachlan dan Wahab Chasbullah dari NU, dan W Wondoamiseno dari SI, yang semuanya berbasis di Surabaya, pada 21 September 1937 memprakarsai pembentukan wadah non-politik dengan nama jalis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bertujuan mendamaikan perbedaan dan pertikaian serta mewujudkan persatuan antarsesama umat Islam.
Pada saat itu, MIAI sebagai sebuah federasi non-politik, lebih banyak memberi perhatian pada isu-isu kegamaan, seperti terlihat dari kongres ke kongres. Karena kekecewaan panjang rakyat indonesia, termasuk di Pontianak Kalimantan Barat, terutama kalangan Islam, terhadap kolonialisme Belanda dan mungkin juga disebabkan ketidaktahuan mereka atas bahaya fasisme Jepang, rakyat Indonesia menaruh harapan besar kepada Jepang. Tapi ternyata sehari setelah penyerahan pemerintahan Belanda kepada jepang, pemerintah Jepang melarang semua organisasi dan rapat-rapat. Tak terkecuali di Pontianak, dan dirasakan serta dialami Abdul Rani.
Dengan demikian, MIAI, PSII, dan Partai Islam Indonesia (PII) di mana yang terakhir tempat Abdul rani bernaung, terpaksa dibubarkan pada Mei 1942. namun beberapa waktu kemudian kalangan Islam memperoleh tempat baik dalam kebijakan pemerintah Jepang. Di masa pendudukan militer Jepang di Kalimantan Barat, di mana pada 1944 Dai Nippon ini menghabisi satu generasi cendekia Kalimantan Barat, Abdul Rani dan segelintir pemuka Kalimantan Barat lain termasuk yang selamat dari maut itu. Bukan berarti tidak ada resiko. Abdul Rani di masa itu harus bergulat antara keyakinan dan tekanan fasis militer. Bersama dengan sejumlah tokoh lainnya, ia memilih aktif di Pemuda Muhammadiyah, sebuah organisasi yang bersuara keras menantang balatentara militer Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Kalimantan Barat yang telah kehilangan satu generasi terbaiknya selama masa pendudukan Jepang itu, segera dikuasai militer NICA yang membonceng Belanda. Dengan berbagai upaya, Belanda berupaya menguasai kembali Kalimantan Barat dan membentuknya sebagai Daerah Istimewa Kalimantan Barat, sebuah negara boneka di bawah pengaruh CO-NICA Belanda.
Menghadapi suasana politik demikian, para pemuda revolusioner dan kaum republikein di Pontianak, 1946, menghimpun diri ke dalam sebuah organisasi politik lokal, Gabungan Politik Indonesia (Gapi). Gapi bersifat non-kooperatif dan dengan tegas menantang NICA-Belanda, termasuk rezim pemerintah DIKB-nya. Abdul Rani terlibat di dalamnya, ia mewakili Perhimpunan Al Raudhatul Islamiyah, sebuah perhimpunan pemelihara dan penyantun madrasah.
Gapi sendiri menghadapi tekanan Belanda dan kaum kolaborator DIKB segera merubah haluan aktifitasnya. Setelah Gapi dibubarkan, 1947, dibentuklah Ishlah Baitil Maal, sebagai upaya mengalihkan perhatian dari ketegangan politik dewasa itu. Abdul Rani termasuk anggota pengurus di dalamnya bersama Ahmad Mawardi Djafar, Ibrahim Saleh, Muzani A Rani dan sejumlah kaum pergerakan dengan latar belakang Islam lainnya.
Ishlah Baitil Maal berjalan hingga 1949, di mana setelah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, lembaga ini membubarkan diri. Saat bersamaan, di Yogyakarta diselenggarakan Kongres Mulimin Indonesia yang dibuka ackting Presiden Indonesia Mr Assaat Sutan Mudo. Dari Kalimantan barat dihadiri utusan yang semula adalah para aktifis Ishlah Baitil Maal, antara lain Muzani A Rani, Yakob Mahmud, Ahmad Mawardi Djafar, Abdul Rani Mahmud dan beberapa tokoh lainnya. Pada saat kembali dari Yogyakarta inilah, Yakob Mahmud diberikan mandat untuk membentuk Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Di Pontianak, mandat pembentukan Masyumi itu segera diwujudkan Yakob mahmud, dengan merekrut sejumlah intelektual muda yang berpengaruh dan sehaluan. Di antaranya Muzani A Rani, Ya’ Umar Yasin, Ibrahim Saleh, Ahmad Mawardi Djafar serta Abdul Rani Mahmud sendiri. Saat itu, telah terbentuk Gerakan Pemuda Islam indonesia (GPII) yang dipimpin Ibrahim Saleh dan Ahmad Mawardi Djafar. Maka, Abdul Rani pun ditunjuk sebagai salah seorang unsur pengurus dan kemudian ditetapkan sebagai Ketua Majelis Syura Masyumi Kalimantan Barat.
Sebetulnya, Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta salah satu hasil terpentingnya adalah mencanangkan pembentukan masjid agung di semua kota di Indonesia. Namun, secara khusus Abdul Rani bersama rekan-rekannya yang menghadiri kongres tersebut, menangkap pula suatu peluang, untuk mendirikan atau membangun sebuah masjid raya di tengah Kota Pontianak. Itulah sebetulnya awal dirintisnya berdirinya bangunan megah Masjid Raya Mujahidin yang ada sekarang.
Keinginan membangun masjid ini dimulai dengan dibentuknya sebuah yayasan yang menaunginya. Maka, bersama-sama Ahmad Mawardi Djafar, Muzani A Rani dan sejumlah tokoh penting lainnya, dibentuklah sebuah yayasan dengan nama Yayasan Mujahidin. Pada ketika itu, Abdul Rani Mahmud termasuk salah seorang yang masih aktif di dalam kepengurusan wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat.
Sementara itu di saat bersamaan Abdul Rani juga duduk di dalam pucuk pimpinan Masyumi Kalimantan Barat bersama Ahmad Mawardi Djafar dan Muzani A Rani. Bagi Muhammadiyah apalagi bagi Masyumi, rangkap jabatan tidak menjadi persaoalan karena kelahiran Masyumi di antaranya berkat dukungan penuh Muhamamdiyah. Bagi Muhammadiyah, Masyumi bukan SI atau PSII atau PII yang pernah berseberangan dalam sejarah karena perbedaan sikap politik dalam mengjhadapi pemerintah kolonial di mana Muhammadiyah lebih memilih kooperatif sedang PSII mengambil langkah non-kooperatif. Keberadaan Muhammadiyah, tak terkecuali di Kalimantan Barat, menempuh kenyataan yang demikian.
Sangat mungkin ketika itu telah terbina sikap saling percaya di antara mereka.
Mulai 20 Desember 1949 sampai 6 September 1950 Indonesia berbentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 23 Agustus 1949. Negara RIS adalah federasi 15 negara kecil ciptaan Belanda seperti Negara Pasundan, negara Indonesia Timur, termasuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dan satu negara yang paling besar serta berpengaruh, yaitu Negara Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Pada saat negara Republik Indonesia, bagian dari RIS di Yogyakarta inilah, kehadiran Abdul Rani dan sejumlah utusan lainnya menghadiri Kongres Muslimin Indonesia tersebut.
Suasana politik pada 1950-an agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kalau sebelum tahun 1950, partai-partai yang terdiri dari pelbagai aliran dapat bekerja sama, misalnya kasus bersatunya PNI, Masyumi dan PKI dalam menolak perundingan Linggajati 15 Nopember 1946, maka hal itu tidak ditemukan lagi pada masa sesudahnya. Jangankan antara PKI dan Masyumi yang terus menjadi musuh berbuyutan, PNI-Masyumi juga semakin renggang. Bahkan, antarpartai Islam pun sering mengalami konflik. Ini diawali dengan keluarnya PSII dari Masyumi pada 1947. Demikian pula hubungan NU-Masyumi pasca 1950, mulai menghadapi persoalan serius.
Dapat dikatakan, termasuk kondisi politik di Kalimantan Barat yang dialami Abdul Rani, jika periode 1945-1950 adalah periode kesatuan dalam perjuangan, periode 1950-1955 adalah periode perebutan partai-partai dalam memperoleh kekuasaan. Pada tahun-tahun itu, kalangan NU yang memimpin Majelis Syura Masyumi mulai kecewa karena tidak lagi dilibatkan dalam pengambilan pelbagai keputusan penting partai, sehingga pertimbangan politik praktis lebih banyak daripada pertimbangan agama.
Pada masa-masa awal, Masyumi, ulama mendapat tempat mulia, tapi hal itu tidak lagi terjadi pasca 1950. Sebagaimana dikemukakan Idham Chalid setelah NU keluar dari Masyumi, para ulama sering tersinggung oleh ulah Masyumi yang memandang mereka sebelah mata. Akibat perasaan luka itulah, NU memutuskan keluar dari Masyumi. Kekecewaan mengenai pos menteri agama merupakan immediate cause penarikan NU dari Masyumi pada tanggal 5 April 1952 dan pembentukan sebagai partai politik. Demikian pula kenyataan yang ada di Kalimantan Barat.
Dengan perpecahan ini, Masyumi, meskipun di Kalimantan Barat sebagai pemenang kedua setelah Partai Dayak dalam pemilu 1955, Masyumi kolektif semakin tidak memiliki legitimasi untuk mengklaim satu-satunya partai Islam sebagaimana dicetuskan pada 1945. dengan demikian, polarisasi intern umat Islam semakin tak terelakkan. Menyaksikan kenyataan inilah, Abdul Rani sebagai aktifis Masyumi yang berlatar belakang Islam Tradisional, menyatakan non-aktif dari partainya, dan kemudian keluar dari Masyumi itu sendiri.
Apa yang dijadikan pertimbangannya keluar dari Masyumi, adalah hubungan antara Masyumi dan Muhammadiyah semakin solid, walaupun yang terakhir ini lebih berkonsentrasi pada pendidikan dan kegiatan sosial. Sedangkan, Abdul Rani merasakan dirinya lebih kental dengan garis kebijakan NU.
Dalam perkembangan selanjutnya, rezim pemerintah Orde Lama dengan politik Demokrasi Terpimpin-nya memaksa agar Masyumi membubarkan diri. Ketika itu, terjadi silang pendapat, di mana Masyumi Kalimantan Barat mengalami keterbelahan, sebagian menanggapi agar ultimatum Bung Karno membubarkan diri diikuti, dan sebagian melakukan penolakan. Ahmad Mawardi Djafar, M Ali Saidi, Asfia Mahyus termasuk yang bersuara keras menolak seruan itu.
Sementara itu, Abdul Rani memilih jalan tengah. Bung Karno menekankan perlunya mengubur partai-partai sambil menegaskan kembali perlunya Dewan Nasional yang akan dipimpinnya secara langsung. Sukarno memanggil para pemimpin partai, termasuk Masyumi untuk meminta pandangan mereka tentang gagasannya tersebut. Pada saat itu, Mohammad Natsir, Fakih Usman dan M Yunan Nasution, masing-masing ketua, wakil ketua III dan sekretaris umum Partai Masyumi, menyampaikan ketidaksetujuannya. Namun Sukarno terus bertindak.
Parlemen hasil pemilihan umum 1955 sampai Maret 1960 masih bekerja. Tetapi pada bulan itu, dibubarkan dan Presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Presiden tidak mengikutsertakan Masyumi. Malah karena beberapa tokoh utamanya pada 1958 membentuk Pemerintahan revolusioner republik Indonesia, Masyumi diminta membuktikan ketidakterlibatannya. Gagal dalam pembuktian itu, Bung Karno memerintahkan pembubarannya pada 17 Agustus 1960. Pada saat itu Prawoto Mangkusasmito menjabat sebagai ketuanya.
Abdul Rani adalah salah seorang tokoh utama Masyumi Kalimantan Barat yang memilih tak banyak terlibat praktis lagi di dalam politik Masyumi. Kepribadian Abdul Rani memang sederhana. Ia tidak banyak bicara. Dan akhirnya sampai pada keputusannya untuk keluar dari Masyumi. Meneruskan kiprah politiknya, pada 1962-1974 ia kembali ditetapkan sebagai Pengurus Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat, dan praktis duduk di dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang belakangan partai sebagai reinkarnasi Masyumi ini masuk jajaran Partai Persatuan Pembangunan. Di saat itu pula, 1978-1979, Abdul Rani duduk dalam Suriyah Jamiyah, selaku Wakil Ketua Nahdltul Ulama wilayah Kalimantan Barat.
Perjalanan karir Abdul Rani yang sarat dengan berbagai aktifitas itu menggambarkan kekayaan pengalaman yang dimilikinya, baik di bidang keagamaan maupun sosial

MUFTI ISMAIL MUNDU YANG LEGENDARIS
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Dari sebuah silsilah di Pontianak, Kalimantan Barat, menyatakan Haji Usman atau dikenal dengan Daeng Pagalak, datang ke Pontianak bersama seorang anaknya, Nakhoda Tuzu, dari negeri Bugis. Anak Haji Usman Daeng Pagalak ada enam orang. Anak yang ketiga bernama Haji Abdul Karim. Haji Abdul Karim memperoleh anak laki-laki empat orang. Anaknya yang sulung bernama Haji Ismail.
Ia ini oleh kalangan masyarakat luas lebih dikenal sebagai Mufti Haji Ismail Mundu atau Mufti Kubu. Anak Haji Abdul Karim bin Haji Usman yang kedua bernama Haji Umar. Anak Haji Umar bernama Haji Abdul Hamid. Anak Haji Abdul Hamid salah seorangnya adalah Ambok Pasir. Keturunan ini pada satu ketika dulu sangat terkenal di Singapura karena kerap menghadapi pertikaian dengan golongan samseng Cina di Singapura. Di zaman Jepang, Ambok Pasir adalah satu dari sejumlah besar cendekiawan Kalimantan Barat yang menjadi korban penyungkupan.
Disebutkan bahwa Haji Umar menikah sebanyak 12 kali. Dari pernikahannya Halimah Ragiak, ia memperoleh dua orang anak. Anaknya yang bernama Hajah Hafshah dinikahi Saiyid Ali bin Saiyid Abdullah az-Zawawi. Anak Saiyid Ali bin Saiyid Abdullah az-Zawawi yakni Saiyid Yusuf az-Zawawi pernah menjadi Mufti Kerajaan Terengganu, Malaysia.
Haji Ismail bin Haji Abdul Karim alias Haji Ismail Mundu memperoleh pendidikan awal dari kalangan ulama Bugis yang menetap di Kalimantan Barat. Kitab yang dipelajari adalah dalam bahasa Arab dan kitab tulisan Bugis dalam bahasa Bugis. Ia juga belajar dengan ulama Melayu yang menggunakan kata pengantar dalam bahasa Melayu. Pendidikan terakhir diraihnya di Mekah.
Baik sewaktu tinggal di Mekah maupun setelah pulang ke Kalimantan Barat, Haji Ismail bin Haji Abdul Karim selalu mendekati para ulama. Apabila berdampingan dengan ulama-ulama yang setaraf dengannya, atau bahkan yang lebih muda darinya, ia lebih suka mendengar apa yang dibicarakan orang. ia selalu mengelak dari sifat menonjolkan diri. Prinsipnya lebih baik diam daripada banyak bicara hanya menyalahkan orang lain. Ia lebih banyak berzikir daripada membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat.
Ilmu adalah nur (cahaya) kepada Haji Ismail. Ilmu adalah suatu yang semerbak mewangi. Cahaya dan wangian pasti akan lahir juga, kedua-duanya tiada kekal dalam pertapaannya. Oleh itu Haji Ismail Mundu walaupun ia tidak suka menonjolkan diri namun ia akan tetap menonjol, terangkat tinggi dengan sendirinya. Setelah ia pulang dari Mekah, ia dilantik menjadi Mufti di Kerajaan Kubu, salah satu kerajaan di Kalimantan Barat. Pada waktu yang bersamaan di Kesultanan Pontianak ada pula tiga tokoh ulama besar yang bernama Ismail. Dua orang lagi adalah Haji Ismail bin Abdul Lathif lebih dikenali dengan sebutan Haji Ismail Jabal sebagai Penasihat Agama Kesultanan Pontianak dan yang seorang lagi adalah Haji Ismail bin Abdul Majid yang berasal dari Kelantan. Haji Ismail bin Abdul Majid Kelantan kemudian dilantik sebagai Mufti Kesultanan Pontianak. Haji Ismail Kelantan adalah ulama yang termuda antara mereka.
Selain tiga orang ulama tersebut, pada masa yang sama, berdasarkan surat tarikh Pontianak, Kamis, 13 Februari 1936 M bersamaan 20 Zulhijjah 1354 H, tokoh-tokoh tertinggi yang menangani urusan Islam dalam Kesultanan Pontianak dan kerajaan-kerajaan lain di bawah pengawasannya ada yang dinamakan Seri Paduka Hakim yaitu Seri Paduka Yang Maha Mulia Duli Tuanku Sultan Saiyid asy-Syarif Muhammad al-Qadri. Di bawahnya ada Sekretaris Luar Biasa yang disandang oleh Paduka Pangeran Adi Pati Anom Seri Maharaja Syarif Osman al-Qadri.
Selain itu ada yang dinamakan Naibul Hakim yang disandang oleh Syarif Abdullah bin Ahmad Saqaf. Di bawahnya ada jawatan yang dinamakan Lid Tiga Orang. Ia disandang oleh Syarif Abdullah bin Ahmad Saqaf, Syarif Osman bin Pangeran Aria dan Syeikh Muhammad bin Abdullah Habsyi. Terakhir sekali dinamakan Adviseur Penasihat. Mereka yang menyandang kedudukan ini ada dua orang masing-masing Saiyid Muhammad bin Shalih bin Syihab dan Haji Ismail bin Haji Abdul Lathif. Memperhatikan susunan kedudukan ini Haji Ismail bin Haji Abdul Lathif adalah sahabat terdekat Haji Ismail bin Abdul Karim, Mufti Kubu, yang bukan dari kalangan Saiyid.
Haji Ismail bin Abdul Karim alias Haji Ismail Mundu wafat pada Kamis, 15 Jumadil Akhir 1376 H bersamaan 16 Januari 1957 M. sekalipun ia telah lama meninggal dunia, namun hingga tahun 1980-an atau bahkan sampai belakangan terakhir nama Haji Ismail Mundu masih sering disebut-sebut oleh masyarakat luas, bahkan hingga kalangan puak Melayu dan Bugis di Tanah Semenanjung Malaysia.
Mufti Haji Ismail Mundu adalah seorang ulama yang wara. Lapisan masyarakat luas manapun yang memerlukan dirinya untuk menyelesaikan sesuatu permasalahan, baik pribadi atau untuk kepentingan umum, semuanya dilayani olehnya dengan ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu. Kenyataannya, tidak ada masalah yang tak dapat diatasinya, walau masalah besar sekalipun. Haji Ismail Mundu mengutamakan anjuran agar seseorang bermasalah untuk terlebih dulu beristighfar, memohon ampunan Allah sebanyak mungkin atau dalam jumlah yang tertentu.
Sesudah itu ia menyuruh mereka beramal sendiri dengan amalan-amalan wirid yang disunnahkan Nabi Muhammad saw, para sahabat, para Wali Allah dan amalan para ulama. Apabila cukup syarat mengerjakan amal dan ikhlas hati, menurutnya pula, maka doa orang itu akan dikabulkan Allah dan semua masalah yang dihadapi akan dapat diatasi.
Di antara buah karya Haji Ismail bin Haji Abdul Karim yang dihasilkannya dan cukup mengemuka adalah Kumpulan Wirid, yang diselesaikan penulisannya pada 1 Muharam 1349 H. Uraiannya membahas wirid untuk keselamatan dunia dan akhirat. Dalam naskah tersebut dinyatakan apabila hendak beramal maka terlebih dulu perlu membaca al-Fatihah kepada Nabi Muhammad saw. Selanjutnya al-Fatihah kepada zuriat Nabi Muhammad saw. Hingga disebutkan pula untuk Habib Ahmad bin Isa al-Muhajir, dan Habib Muhammad bin Ali Ba Alawi. Naskah ini atau manuskrip aslinya diwarisi salah seorang muridnya, Haji Ahmad Tata Pantas, di Pontianak.
Karya lainnya adalah Kitab Mukhtashar ‘Aqaid, yang diselesaikan penulisannya di Teluk Pak Kedai, Jumat, pukul 5 senja hari, 18 Rejab 1351 H. Isinya merupakan pelajaran ilmu akidah untuk hafalan anak-anak, dicetak oleh Annashar & Co, di Pontianak, sebuah percetakan yang pernah dipimpin oleh Ismail Osman.
Selanjutnya karya berikutnya adalah Jadwal Hukmin Nikah atau Jadwal Nikah Soal-Jawab, yang diselesaikan penulisannya pada Selasa, 15 Muharam 1355 H. Buah karyanya ini dicetak oleh Kantor Tulis dan Toko Kitab as-Saiyid Ali Al-‘Aidrus, Kramat Nomor 38 Batavia Centrum. Tetapi pada mukadimah cetakan Mathba’ah al-Islamiyah, Victoria Street, Singapura, Mufti Haji Ismail Mundu menulis, “…Maka tatkala adalah tahun seribu tiga ratus lima puluh tujuh daripada hijrah Nabi... (1357 H/1938 M, Pen:) bergeraklah hati saya dan cenderunglah fikiran saya bahawa hendak memungut akan beberapa masalah soal jawab pada bicara hukum nikah....”
Risalah ini diberi kata pendahuluan oleh Muhammad Ahmad az-Zawawi, “Kata Akuan” oleh Mufti Kerajaan Johor ‘Alwi bin Thahir bin ‘Abdullah al-Haddad al-‘Alawi dan “Kata Pujian” oleh Ketua Kadi-Kadi Singapura, ‘Abbas bin Muhammad Thaha, Pejabat Qadhil Qudhah, Singapura, 7 Rabi’uts Tsani 1358 H. Uraian isinya disebut oleh Muhammad Ahmad az-Zawawi pada kata pendahuluannya yang bertindak selaku waris Mufti Haji Ismail Mundu, bahwa “… diterbitkan kitab ini supaya menjadi pedoman bagi sesiapa yang hendak mengetahui hukum-hukum agama dalam perkara nikah, talak, rujuk, fasakh, edah, dan lain-lain. Sekira-kira memberi faham dan faedah soal jawab dan jadual yang tersusun dengan peraturan yang mudah dengan tuturan bahasa Melayu, supaya diketahui dengan tiada guru buat dibaca oleh penuntut penuntut ilmu dan yang sudah kahwin. Dan juga bagi mereka yang akan kahwin laki-laki dan perempuan. Dan kitab ini telah ditashhihkan dan diakui oleh Tuan Mufti Kerajaan Johor dan pujian oleh Ketua Kadi-Kadi Singapura.”
Sungguhpun Risalah Jadwal Nikah Soal-Jawab merupakan risalah yang tak terlampau tebal, namun terdapat juga pemikiran ulama besar ini tentang kedudukan sosial masyarakat dikaitkan dengan hukum kufu. Pada zaman materialistik seperti sekarang ini tentu banyak dibicarakan tentang kesenjangan yang terjadi, hingga juga menyangkut masalah sosial dikaitkan dengan perjodohan seseorang.
Di dalam kitabnya itu, Haji Ismail Mundu menyatakan, “…Maka nyatalah daripadanya bahawasa kaya itu tiada ia dibilangkan daripada segala perkara kufu. Oleh kerana harta itu pergi datang, tiada mengambil kemegahan dengan dia segala mereka yang mempunyai perangai dan mempunyai mata hati. Maka oleh kerana inilah sekufu laki-laki yang papa dengan perempuan yang kaya.”
Di dalam kitab tipis itu, juga digariskannya, bahwa masyarakat umum kebanyakan hanya mengetahui dua jenis wali nikah, yaitu wali aqrab dan wali hakim, namun dalam risalah ini dibicarakan pula olehnya tentang ‘wali tahkim’. “Wali tahkim adalah tidak sama dengan wali hakim”, tegasnya. Mufti Haji Ismail Mundu menyebut “…Bahwa syarat harus bertahkim ada tiga perkara iaitu pertama, ketiadaan wali; kedua, ketiadaan hakim (maksudnya wali hakim, Pen) di negeri itu; dan ketiga, laki-laki yang dijadikan wali tahkim itu adil”.
Selanjutnya Mufti Haji Ismail Mundu menambah keterangannya bahwa “… Tiada wajib perempuan dan laki-laki yang berkehendak nikah itu hadir kedua-duanya di hadapan orang yang adil itu. Ini atas qaul Ibnu Hajar dalam Tuhfah....”

BELAJAR SUKSES FINANSIAL ALA ORANG TIONGHOA

SUKSES FINANSIAL ORANG TIONGHOA
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Ke Selatan Mencari Berkah

Penderitaan ternyata membentuk manusia menjadi lebih ulet. Alam yang angkuh dan musim yang kejam tak membuat manusia menyerah. Dari generasi ke negerasi manusia justru menjadi semakin tangguh. Lebih khusus lagi, orang Tionghoa dalam menghadapi cobaan baik di negeri Tiongkok yang serba berkekurangan pada suatu masa maupun di negeri rantau, pun tertempa menjadi makin ulet. Khusus tentang orang Tionghoa pada umumnya, dulu, katakanlah sebelum 1900-an, baik di dalam maupun di luar negeri Tiongkok, hidupnya pun tidak gampang. Di Tiongkok daratan yang mengenal 4 musim, kehidupan serba berkekurangan, teristimewa pada musim dingin.

Baik atau buruk, sepanjang awab 19, sistem politik di Tiongkok daratan tidak efektif, sebab tak sanggup menjangkau dan mengendalikan wilayah yang relatif sangat luas. Muncul banyak raja kecil yang lebih banyak yang bengis dan penindas daripada bijaksana serta pengayom. Rakyat miskin bertambah menderita. Orang Tiongkok Daratan dan pesisir Timur banyak yang memilih meninggalkan Tiongkok daripada bertahan meskipun hanya bisa mengandalkan sepasang kaki atau sebuah perahu kecil. Mereka lalu menyebar ke banyak wilayah, teristimewa ke Selatan Tiongkok.

Demikianlah kisahnya mengapa arus emigrasi keluar Tiongkok lebih banyak mengalir ke Selatan, yakni ke wilayayh tropis yang relatif beriklim lebi bersahabat dan kebetulan pada masa tersebut pun sedang membutuhkan banyak tenaga kerja serta tengah membuka diri, atau tidak menolak, terhadap arus kedatangan warga baru. Sudah tentu sebagai pendatang kaum imigran Tionghoa menjadi kelompok minoritas di antara penduduk lokal setempat. Posisi minoritas ini pada awalnya ternyata lebih menguntungkan daripada merugikan karena mereka menjadi bebas bergerak dan berikhtiar tanpa dicemburui.

Para imigran Tionghoa pertama kebanyakan adalah petualang yang memang juga tak memiliki apa-apa dan bukan siapa-siapa di negerinya. Jadi kalau di tanah rantau tidak menjadi siapa-siapa dan harus membanting tulang mencari sesuap nasi, bukanlah masalah besar. Pada konstelasi politik zaman itu yang relatif tidak rumit, kaum imigran Tionghoa tak banyak direcoki, meskipun sikap begini dari pemerintah setempat justru menempatkan imigran Tionghoa pada status yang serba tidak jelas. Mereka Cuma dianggap sebagai Orang Asing yang Menetap atau Warga Kelas Dua.

Posisi kaum imigran Tionghoa pada masa lalu ada pada sebuah point of no return, sehingga terpaksa berjuang menghadapi kemungkinan terburuk atau gugur, tetapi tidak bisa mundur. Bagi imigran Tionghoa menjadi minoritas dan akhirnya hidup sebagai pedagang adalah pilihan karena terpaksa sejak pertama. Karena perdagangan pada zaman akhir abad 19 atau awal 1900-an, abad 20, di wilayah Nusantara berkembang pesat, maka imigran Tionghoa yang memang menggeluti bidang ini menemukan momentum maju. Kian hari posisi mereka sebagai pedagang menjadi kian kuat dan penting. Status dan peran sebagai pedagang yang menguntungkan mendorong kaum imigran Tionghoa tumbuh menjadi kaya. Dan bagai efek bola salju, kekayaan mereka pun bertambah dengan cepat.

Kesengsaraan masa laumpau di tanah leluhur membuat orang Tionghoa di rantau pandai menemukan peluang sekecil apapun untuk diolah. Dari sejak berabad-abad lalu sampai zaman terjadinya eksodus warganya ke Asia Tenggara pada awal abad 19 kebudayaan, teristimewa dalam arti keterampilan, Tiongkok Daratan memang relatif lebih maju daripada bangsa lain. Dalam kasus Indonesia yang saat menerima para imigran Tionghoa sedang dijajah Belanda, kedatangan warga baru ini menciptakan satu lapis masyarakat tersendiri di tengah-tengah golongan elit yang terdiri atas bangsa Eropa dan penduduk asli Indonesia.

Indonesia merupakan negeri tropis yang tidak mengenal musim panas atau dingin sangat menguntungkan imigran Tionghoa yang pernah kepanasan dan kedinginan di negeri leluhur. Jika alam sudah bersahabat, mencari peluang untuk mempertahankan hidup sudah bukan perkara pelik. Apalagi di Indonesia.

Pada Dasarnya Way of Life

Jika membidik target orang Tionghoa, bukan berarti orang suku lain tidak bercita-cita menjadi kaya. Namun kenyataan ini menunjukkan bahwa orang Tionghoa memang dididik untuk mengejar kekayaan dan kemakmuran material, meskipun tidak sepenuhnya meninggalkan pemahaman kekayaan spiritual dan budipekerti. Tionghoa pada umumnya menyadari bahwa memiliki uang itu penting, walaupun tak mengabaikan artikulasi spiritual dan sosial.

Hampir segala sesuatu dipahami dapat diukur berdasarkan nilai uang. Bila orang Tionghoa berdoa meminta sesuatu, maka biasanya urutan pertamanya adalah meminta rezeki, baru kemudian kesehatan yang baik dan lain-lain. Dengan pedoman falsafah demikian, tak heran orang Tionghoa sukses dalam ukuran kebendaan yang memang mereka usahakan raih terlebih dahulu dalam semangat bersyukur dan berbagi.

Tak ada keberhasilan tanpa kerja keras. Ini falsafah yang berlaku bagi siapa saja, bukan apa yang eksklusif dianut orang Tionghoa. Perkaranya sekeras apa yang disebut kerja keras itu. Dalam hitungan satuan waktu orang yang bekerja keras juga bekerja lebih lama daripada orang lain. Rata-rata orang Tionghoa yang sukses bekerja lebih dari 8 jam sehari-semalam. Tak jarang mereka bekerja sampai larut malam dan mengurangi waktu istirahat atau rekreaksinya.

Orang Tionghoa setelah punya modal antara lain selalu membeli bahan lebih banyak sehingga memperoleh harga lebih murah. Dibekali keahlian dan pengalaman, biasanya orang Tionghoa pun dapat bekerja relatif rapi serta efisien. Semua ini pada gilirannya bisa menghasilkan laba lebih besar.

Orang Tionghoa suka bekerja guna mempersiapkan kebutuhan esok sekaligus pada hari ini, sehingga tidak berhenti bila belum mendapatkan hasil lebih untuk jatah besok. Esok mereka bekerja untuk keperluan luas, dan seterusnya. Mereka terbiasa memforsir diri sehingga mengabaikan waktu istirahat. Banyak lagi macam pekerjaan lain yang siap diterima Tionghoa apabila orang lain menolak mengerjakannya.

Perhatikan bahwa makanan pendamping, yang dimaksudkan sebagai lauk pauk, khas Tionghoa zaman dulu bercita rasa sangat asin, sangat asam, atau sangat manis. Selain bertujuan mengawetkan makanan, garam, asam atau gula berlebihan yang diolah ke dalam makanan tersebut sekaligus bertujuan mendukung falsafah hidup hemat, yaitu memaksa agar mencicipi makanan pendamping tersebut bersama nasi atau bubur sedikit demi sedikit. Bubur merupakan makanan andalan Tionghoa. Ternyata lahirnya bubur pun pada awalnya merupakan perwujudan upaya penghematan, yaitu memasak nasi dengan memperbanyak air.

Generasi dulu lebih pandai berhemat daripada generasi sekarang. Ini harus diakui. Tidak perlu mencari perbandingan jauh-jauh. Lihat saja kenyataan bahwa orang tua sendiri mempunyai pakaian yang jauh lebih sedikit daripada yang dimiliki anaknya kini. Padahal sebelum anaknya mandiri, merekalah yang mencari uang dan oleh karenanya berhak menggunakannya untuk apa saja sesuka mereka. Apa yang dipunyai hari ini adalah hasil berhemat kemarin. Menjadi kaya atau tidak pada akhirnya, orang Tionghoa tetap dididik agar berhemat, teristimewa berhemat demi diri sendiri dan keluarga. Logikanya, tak ada gunanya mencari lebih kalau kemudian juga berbelanja lebih. Mungkin lebih bijaksana bekerja sebentar dan makan sedikit daripada membanting tulang tetapi boros.

Bagi orang Tionghoa, berhemat pun bermakna memupuk modal demi membesarkan usaha. Tak heran banyak usaha orang Tionghoa cepat tumbuh. Terpujinya, setelah menjadi kaya pun banyak orang Tionghoa terbiasa hidup hemat, terlebih-lebih mereka yang pernah mengalami hidup susah. Begitulah. Jika suatu generasi tak berusaha berhemat, generasi berikutnya terpaksa berjuang lebih keras, dan sebaliknya, bila satu generasi telah berjuang keras, generasi berikutnya diharapkan terbantu serta tak perlu lagi berjuang mati-matian.

Dagang Jalan Hidup Tionghoa
* Kukuh Jadi Pedagang

Orang Tionghoa sering diangap sebagai Yahudi-nya Asia. Tidak bisa dimungkiri, dominasi ekonomi kaum Tionghoa di Asia Pasifik memang luar biasa. Kesuksesan orang Tionghoa berbisnis di berbagai pelosok dunia merupakan sebuah fenomena yang menakjubkan. Tak ada satu bangsapun di dunia ini yang mampu memulai usaha mencari nafkah kehidupan di berbagai negara lain dengan informasi dan modal yang sangat minim, pengetahuan dan pengalaman terbatas, tetapi kemudian secara bertahap mampu membangun kekuatan ekonomi yang tangguh dan sulit ditandingi oleh bangsa lain, kecuali para pedagang asal Tiongkok.

Generasi imigran Tionghoa pertama atau terdahulu, bahkan setelah agak lama sekalipun, mereka tetap menahan diri untuk menikmati hidup. Mereka tidak memanjakan tubuhnya. Umumnya orang Tionghoa tak terlalu suka membeli barang konsumtif secara kredit, sebab masih terasa malu bila membeli dengan cara berutang, dan tahu bahwa ia harus membayar lebih mahal jika tidak melunasi tunai. Entah nanti beberapa generasi ke depan lagi.

Jarang ada orang tua kalangan Tionghoa yang serta-merta mengabulkan permintaan anak-anaknya seketika. Setiap permintaan niscaya ditunda dan dialihkan dengan argumen klasik: di sini mahal, nanti beli di sana saja, besok! Inilah prinsip hakiki dari kebijakan menahan diri. Tunggu sampai besok apa yang dapat ditunda dibeli hari ini.

Orang Tionghoa kini mungkin sudah sedikit berbeda pandangan dengan generasi sebelumnya dalam soal mrenahan diri, tetapi pada hakikatnya menjadi modis bukan target terpenting yang disasar orang Tionghoa. Dalam sikap menahan diri ini adalah keterhindaran dari utang. Orang Tionghoa pada dasarnya dfapat menahan diri terhadap keinginan membeli sesuatu sampai ia mengumpulkan uang cukup untuk mendapatkan barang impiannya secara tunai dan pada harga termurah. Tidak menjadi soal benar bagi Tionghoa bahwa pada saat ia memperolehnya, suatu objek bukan model lagi.

Menjadi tauke (bos) kecil lebih baik daripada menjadi kuli besar. Adalah way of life yang dianut sebagian besar orang Tionghoa. Tak heran banyak orang Tionghoa memilih berdagang daripada makan gaji sebagai pegawai. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keyakinan suku bangsa lain yang malah berbondong-bondong mendaftar menjadi pegawai.

Berdagang memang lebih berisiko daripada makan gaji, tetapi kemungkinan untuk menjadi kaya dari berdagang pun lebih besar. Sebaliknya, hanya segelintir orang yang menjadi kaya dari hasil makan gaji dan dalam waktu lama pula, sedangkan dengan berdagang orang bisa menjadi kaya setiap saat

Orang Tionghoa generasi lama memilih berdagang juga karena have noting to lose sebab hanya mengandalkan modal dengkul. Pun banyak kalanya barang bisa dibyaar sesudah laku. Jika tidak laku barang hampir selalu bisa dikembalikan kepada tangan pertama. Dengan kemudahan begini siapapun seyogianya memilih berdagang daripada bekerja pada orang lain. Maka, pilihan menjadi pedagang bagi orang Tionghoa generasi terdahulu hampir merupakan suatu blessing in disguise, berkah tersamar. Berkah ini bertambah besar bila seseorang berhasil meraih untung besar, dan kemungkinan ini memang terjadi pada sebagian besar orang Tionghoa yang berdagang pada zaman dahulu serta sekarang.

Orang Tionghoa menyadari hakikat posisi dan masa depan cerah mereka sebagai pedagang antara lain juga tampak pada langkah-langkah yang mereka ambil setiap saat. Tionghoa seolah-olah terkooptasi pada nasibnya sebagai pedagang. Banyak Tionghoa yang tak betah bekerja makan gaji lama-lama, karena selalu tergoda berdagang sendiri. Orang Tionghoa yang sukses biasanya suka memberi derma, sebab percaya, semakin banyak memberi semakin banyak akan diberi oleh langit. Tak heran pengusaha Tionghoa kaya menyumbang dalam jumlah besar untuk tempat ibadah dan kegiatan sosial, karena merasa sudah dianugrahi rezeki berlimpah dan yakin akan menerima berlipat ganda kelak.

Walaupun sebagai pedagang orang Tionghoa terkesan harus berani mengambil keputusan-keputusan ekstrem, sesungguhnya, umumnya orang Tionghoa berdagang mengikuti kaidah konservatif. Dengan kata lain, pedagang Tionghoa sangat berhati-hati menjalankan usahanya. Kebiasaan bersikap berhati-hati ini ternyata lebih membawa dampak baik daripada efek jelek bagi orang Tionghoa.

Lazimnya, meskipun sebagai minoritas, orang Tionghoa yang secara legal telah diterima sebagai warga negara atau penduduk di suatu negara memiliki kewajiban dan hak yang setara dengan warga negara mayoritas. Namun dalam praktiknya warga minoritas menerima tekanan-tekanan. Hal ini sangat disadari orang Tionghoa, sehingga ada kalanya mereka terpaksa mencari perlindungan ekstra melalui satu atau lain cara, misalnya bersekutu dengan penguasa. Kemudian ternyata banyak Tionghoa yang terangkat karena bekerja sama dengan penguasa!

Never Say No To Your Customer

Normalnya orang Tionghoa memilih memegang barang daripada menyimpan uang. Orang Tionghoa tua-tua di Indonesia yang pernah mengalami trauma peristiwa Pemotongan Uang, dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, pada zaman pemerintahan Soekarno tak bosan-bosannya mengingatkan agar memilih menyimpan barang daripada uang. Lebih ekstrem lagi, orang Tionghoa terutama zaman dulu, mengawetkan makanan tertentu dengan teknologi pengasinan atau pemanisan, sehingga jarang terjadi kerugian karena barang atau makanan rusak. Umumnya orang Tionghoa minoritas di negara manapun senantiasa menghindari politik, tetapi secara sembunyi-sembunyi menguping tiap perubahan politik yang terjadi demi menjaga kemaslahatan usahanya.

Orang Tionghoa suka menabung dalam bentuk emas batangan yang mudah disimpan dan nilainya tidak pernah merosot serta dapat disembunyikan. Mudah disimpan karena emas batangan tidak berkarat, membusuk, atau menyusut. Sudah menjadi rahasia umum Tionghoa suka menanam emas di dalam rumahnya, yakni menguburkannya dalam tanah atau menyemennya di balik tembok.

Kaya tetapi berpura-pura tidak memiliki apa-apa bagi Tionghoa sangat penting diperankan, supaya terhindar dari sasaran perampokan atau pencurian. Jika perlu menabung dalam bentuk barang dagangan, orang Tionghoa lazimnya membangun gudang di lokasi berbeda-beda untuk memfasilitasi taktik ini.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa istri Tionghoa pandai menyimpan duit. Para istri Tionghoa ini benar-benar menyimpan duit dalam arti menabungkannya, bukan kemudian dipakai untuk merias diri atau bersenang-senang layaknya istri-istri suku lain yang juga rajin mengumpulkan duit tetapi dengan tujuan mewujudkan kepentingan pribadi. Tak kurang banyak istri Tionghoa yang tampil menyelamatkan kesulitan keuangan bisnis suami dengan hasil tabungan mereka.

Dalam memilih bentuk tabungan, orang Tionghoa mendahulukan faktor keamanan sehingga selalu memilih barang yang dapat disimpan sendiri atau investasi permanen, dalam bentuk gedung atau tanah misalnya, daripada menitipkan di bank. Seringkali pula tabungan diputar kembali sebagai modal, bukan dianggurkan sambil semata-mata mengharapkan bunga yang relatif kecil. Pada hakikatnya tanah sangat bermakna bagi setiap orang Tionghoa generasi sebelum menjadi warga negara merasa sangat beruntung bisa mendapatkan tanah sebagai imbalan pelunasan utang dari penduduk setempat. Dari tanahlah diperoleh kehidupan.

Keinginan mengupayakan kehidupan yang lebih baik bagi anak cucu mendorong orang untuk bekerja keras, demikian tekat kebanyakan orang Tionghoa yang membanting tulang habis-habisan. Banyak Tionghoa selama puluhan tahun mengirimkan uang kepada anak dan istrinya yang ia tinggalkan di Tiongkok setelah berhasil di tanah rantau, walalupun ia sendiri sudah berumah tangga lagi di tempat ia sekarang hidup mencari makan. Terbawa tafsir falsafah banyak anak banyak rezeki, Tionghoa suka punya banyak anak. Anak-anak tidak dianggap beban, melainkan amanat, titipan rezeki, bahkan pembantu setia masa depan. Lagipula sebagai kaum minoritas, memiliki banyak anak dinilai Tionghoa berpotensi pada waktunya nanti memperbaiki kedudukan sosialnya terhadap mayoritas.

Ada banyak contoh atau teladan lain yang membuktikan lebih nekat menerima tantangan dagang serta tak pernah merasa puas dengan apa yang telah dicapainya. Kecuali berkonsentrasi membesarkan usahanya, orang Tionghoa pun suka seruduk sana seruduk sini untuk mencoba peluang-peluang baru. Never say no to your customer! Pesan apapun dari pengusaha Tionghoa biasanya disanggupi, asal pemesan bersedia membayar.

Jika mau membeli satu kodi pakaian tapi tidak diperkenankan memilih masing-masing 5 potong dengan 4 warna, datanglah ke toko Tionghoa, dan calon pembeli akan diizinkan membeli 20 potong pakaian dalam warna apapun yang dimau. Orang Tionghoa percaya, ada harga ada barang. Jika dana terbatas, pedagang Tionghoa selalu bisa menawarkan barang lower-grade kepada pembeli. Buktinya pada pasar global pun barang Chung Kuo selalu lebih murah.

Jalan Tionghoa Menuju Kaya
* Konsolidasi Lingkaran Dalam

Penting, sesama unsur dalam satu lingkaran berinteraksi dan saling mendahulukan untuk menggalang langkah besar. Hakikat bersatu teguh bercerai runtuh memang berlaku universal. Lingkaran terdalam dalam interaksi hidup seseorang adalah orang tua, anak dan saudara kandungnya sendiri, kemudian kerabat dalam ikatan tali temali kekeluargaan, lantas sahabat-sahabat pada lingkaran berikutnya.

Lingkaran terluar dalam masyarakat Tionghoa, khususnya di luar Tiongkok Daratan, menjangkau semua orang yang masih punya ikatan emosional atas dasar kesamaan ras dan mempersatukan mereka menjadi energi besar terutama dalam memutar roda ekonomi dunia.

Orang Tionghoa, teristimewa mereka yang terdidik baik budi pekertinya, biasanya langsung tergugah membantu apabila mendengar ada saudara, misalnya sepupu atau bermarga keluarga sama terlebih-lebih saudara kandung yang lagi susah. Suku lain mungkin juga begitu, namun orang Tionghoa bersikap lebih intens dalam soal ini.

Rasa persaudaraan yang muncul atas sentimen kesamaan ras sesungguhnya tidak terela, dan terjadi bukan pada golongan Tionghoa saja, apalagi hanya demi tujuan mewujudkan persekutuan bisnis semata-mata, asalkan tidak dimanipulasi untuk menghina atau menindas ras lain. Masyarakat Tionghoa pun masih mengenal adat bersumpah menjadi saudara, yakni peristiwa pengukuhan niat dua orang Tionghoa bukan saudara kandung menjadi saudara sedarah.

Memang tak ada yang sempurna dalam hidup manusia. Tionghoa yang begitu mengandalkan seinergi inner circle-nya sekalipun tak jarang menghadapi kenyataan bahwa terlalu percaya kepada saudara sendiri bisa mencelakakan. Ada saja saudara yang tidak ragu-ragu melakukan praktik terhadap saudara pun tega curang. Tionghoa hari ini pada umumnya sudah lebih berwawasan.

Intinya, mereka memang masih mementingkan persaudaraa, tetapi juga membuka mata lebar-lebar. Terhadap saudaranya sendiri, Tionghoa kini juga waspada, meskipun tetap masih memberi kepercayaan lebih. Dan pada perusahaan Tionghoa, sudah banyak juga kesempatan yang diserahkan kepada orang lain atau luar yang bukan Tionghoa.

Generasi pertama yang meninggalkan Tiongkok konon naik perahu tanpa keyakinan akan keselamatan. Selama perjalanan korban berjatuhan. Dalam sebuah perahu yang berisi 10 orang, barangkali 6 tewas di laut. Keempat orang yang selamat sangat sentimental dan manusiawi jika kemudian saling bersumpah setia sebagai saudara. Kebersatuan warga Tionghoa uniknya terjadi lebih intens dan menonjol di rantau, sedangkan di Tiongkok daratan hubungan antar-sesama warga biasa-biasa saja. Sama dengan bangsa lain di dunia, orang Tionghoa pun terdiri atas banyak suku: Hok-Kian, Khek, Tio-Chiu, Kong-Hu, Hai-Nam, atau Hok-Cia yang masing-masing bersekutu atas dasar kesesuaian budaya, karakter serta bahasa.

Kesannya pada satu sisi orang Tionghoa hanya berdagang dengan sesama Tionghoa pada level tertentu. Seringkali pedagang yang satu bebas meminjam barang kepada pedagang lain apabila ia tak memiliki barang yang diminta pelanggannya. Hal ini jarang dilakukan suku bangsa pedagang lain. Alasan umum bahwa orang mendahulukan kelompok adalah karena di bawahnya dia mungkin bisa berlindung. Sebagai warga minoritas warga Tionghoa merasa membutuhkan perlindungan. Dan perlindungan apa lagi yang paling efektif serta gampang digalang, kecuali dari lingkungan sesama suku sendiri.

Menjunjung kepercayaan bagi orang Tionghoa sangat utama. Dalam soal menjaga kepercayaan orang Tionghoa, yang baik, boleh disebut melebihi kebanyakan suku lain. Kemudian kepercayaan dari orang ini bisa menjadi modal dalam berusaha. Sebagaimana orang Timur pada umunya, orang Tionghoa memelihara nilai pendidikan budi pekerti terpenting, yaitu menghormati orang tua. Tetapi dalam lingkaran budaya Tionghoa makna hakiki menghormati orang tua sangat diistimewakan. Bahkan sikap hormat tersebut keterusan hingga setelah orang tua meninggal dunia dalam bentuk, misalnya, memajang foto orang tua di rumah atau tempat kerja.

Orang tua dalam lingkungan Tionghoa selalu didahulukan dalam hal apapun. Secara tidak langsung kesadaran mendahulukan orang tua ini menciptakan harmoni. Kepemimpinan juga dengan sendirinya berjalan estafet alamiah dari satu generasi tua ke generasi lain yang lebih muda tanpa banyak menimbulkan luka atau huru-hara. Orang Tionghoa menghormati orang tua juga karena mereka percaya bahwa berkah diturunkan dari orang tua. Anak yang diberkati orang tuanya biasanya sukses, sedangkan anak durhaka akan malang seumur hidupnya.

Orang Tionghoa memikirkan kesejahteraan tanah kelahiran nenek-moyangnya lebih daripada suku bangsa lain. Hebatnya, Tionghoa yang telah sukses di perantauan sampai-sampai menyisihkan sebagian modalnya demi membangun sebuah usaha di tanah leluhur, supaya setidak-tidaknya dapat menciptakan lapangan kerja bagi penduduk sekitar. Sayangnya, gerakan cinta tanah leluhur ini sering ditafsirkan sebagai ketidaksetiaan warga Tionghoa kepada tanah air, padahal konsep tanah leluhur dan tanah tumpah darah berbeda, namun keduanya pantas dicintai tanpa perlu dipertentangkan atau disalahpahami.

Bila ada Tionghoa menanam modal di Tiongkok, percaya itu bukan semata-mata imbas sentimen cinta tanah leluhur, melainkan juga atas pertimbangan bisnis. Selanjutnya pola dagang mengelompok atau menyebar yang dilakukan Tionghoa akhirnya memetakan kota. Terbentuklah Chinatown di beberapa kota sebagai manifestasi taktik dagang Tionghoa. Umumnya Chinatown terletak di wilayah kota yang berdekatan dengan pusat pemerintahan dan kantor polisi supaya aman.

Gender di Balik Kesuksesan

Behind every succesful man, there is always a wonderful woman. Selalu ada seorang wanita luar biasa berdiri di belakang setiap pria sukses. Pernyataan dan kebenaran bijak ini berlaku pula dalam lingkungan Tionghoa. Wanita Tionghoa setia serta tegar menyokong usaha suami dan saudara-saudaranya. Wanita Tionghoa merasa wajib membantu usaha suami dan keluarga mencari uang. Perempuan Tionghoa biasanya memegang uang.

Pria Tionghoa yang menikah mendapatkan seorang istri dan seorang manajer keuangan sekaligus. Biasanya pula, seorang perempuan Tionghoa yang telah menikah pandai mengelola keuangan keluarga. Wanita Tionghoa yang sudah berkeluarga umumnya lebih mementingkan faktor ekonomi keluarga daripada hal-hal lain. Tidak apa-apa menghabiskan sebagian besar waktu sibuk menjaga toko atau mengurus pabrik.

Istri Tionghoa juga pantas menabung. Lazimnya istri Tionghoa memiliki tabungan terpisah atas namanya sendiri. Semua sudah diperhitungkan matang-matang. Bila usaha suami goyah dan tumbang, uang istri tidak ikut hilang. Tak jarang seorang suami bangkit kembali berusaha dengan dukungan modal hasil tabungan diam-diam istrinya. Ibu Tionghoa pun mempunyai peran signifikan dalam percaturan ekonomi keluarga.

Dengan pengalamannya seorang ibu, Tionghoa biasanya dapat mengontrol keuangan keluarganya sendiri dan keluarga anak-anaknya, supaya tidak terjadi pemborosan. Untuk apa mencari banyak uang, jika terjadi penghamburan di mana-mana. Sering terjadi, seorang ibu Tionghoa sembunyi-sembunyi menyokong anak perempuan dan menantunya dalam mengembangkan usaha terpisah dari usaha keluarga. Tak ada niat jahat di sini kecuali mencari uang lebih banyak melalui berbagai cara.

Perkawinan bagi Tionghoa umumnya, tidak semua, juga sekaligus merupakan suatu strategi dan kolaborasi ekonomi-sosial, selain penyempurnaan sepotong cinta melankolis. Tionghoa setuju bahwa cinta dan uang sama-sama penting.

Dagang Adalah (Ke)Hidup(an) Orang Tionghoa
* Mengapa Tionghoa Berdagang

Mengapa Tionghoa berdagang? Kalau siapa yang dimaksud dengan Tionghoa di sini adalah perantau, jawabnya karena posisi mereka dahulu sebagai minoritas dan pendatang illegal, tak banyak jenis mata pencaharian yang dapat mereka pilih. Modal yang ada Cuma pakaian yang melekat di badan. Mau beli tanah untuk bercocok tanam pun tidak punya uang dan tidak boleh atau tak berhak. Minus pendidikan pula. Maka mereka yang tanpa keahlian serta tak berotot, jatuh-jatuhnya jadi pedagang eceran.

Banyak orang mengaku lebih puas dan tenang jika berhubungan dagang dengan Tionghoa. Mereka bisa dipercaya, demikian jawaban yang paling sering didengar. Di luar kenyataan Bisa Dipercaya, ada beberapa perilaku dagang ala Tionghoa yang sangat spesifik. Cara dan langkah orang Tionghoa berdagang punya ciri khas, dan ini menjadi kunci sukses mereka bertahan dalam jangka waktu lama, bahkan bila menghadapi situasi tersulit sekalipun. Falsafah dagang yang dianut Tionghoa tidak berubah, hanya berbeda tipis dari generasi ke generasi.

Orang Tionghoa yang berdagang lazimnya menabung demi memupuk modal. Dari hasil menabung, usaha dapat dikembangkan tanpa perlu mengandalkan pinjaman dari luar. Memakai duit tabungan sendiri buat membesarkan usaha biasanya hampir pasti lebih berhasil daripada mencoba meningkatkan usaha sambil berspekulasi mempergunakan pinjaman bank.

Ini teori kuno yang masih manjur. Tionghoa yakin pada kemudahan yang bakal diperoleh atas kepemilikan modal nyata dan selalu menganggap bahwa modal perlu diperkuar bila ingin bertahan berdagang. Masyarakat pun lebih percaya kepada para pemilik modal besar.

Sebenarnya agak menyesatkan, menyimpulkan semua Tionghoa memulai usahanya hingga menjadi kaya tanpa modal awal alias berangkat dari nol. Generasi Tionghoa, khususnya perantauan, pertama barangkali memang benar-benar mencoba bangkit hanya dengan mengandalkan kemauan bekerja keras, namun generasi selanjutnya tidak semurni-murninya bermodal nihil. Satu generasi ke belakang dari sekarang, barangkali orang masih punya banyak peluang untuk memulai dagang tanpa modal, tetapi sekarang dan waktu yang akan datang, besar atau kecil, niscaya orang membutuhkan sejumlah modal untuk memulai usaha. Situasi berubah mengikuti perubahan zaman.

Realitis saja, zaman sekarang, semakin mustahil memulai usaha tanpa modal. Dalam bentuk apapun modal bukan sesuatu yang harus diingkari, sebab modal merupakan unsur bisnis hakiki terpenting yang tak dapat diabaikan, dikesampingkan, atau dilupakan. Saat menganalisis neraca pun orang mengamati dengan kritis sisi permodalan perusahaan. Di lingkungan Tionghoa, tak jarang pemodal paling bonafid dalam suatu keluarga besar maju berlaga untuk memenangkan sebuah tender besar terlebih dahulu. Kemudian tender baru dipecah untuk dibagi-bagikan pada sesama anggota keluarga yang lain.

Orang Tionghoa pun suka menanamkan kembali hampir seluruh labanya menjadi modal usaha untuk tahun berikutnya. Tak heran, melalui perilaku begini, modal usaha Tionghoa senantiasa bertambah besar, sehingga mereka dijuluki pemilik modal besar, padahal kenyataannya modal pengusaha Tionghoa sesungguhnya bertambah secara kumulatif (bukan sekaligus berlipat ganda dalam semalam) seraya dikawal falsafah: Timbunlah modal sebanyaknya yang kau mampu! Teristimewa zaman sekarang, modal merupakan unsur terpenting yang harus dimiliki mereka yang hendak membangun bisnis. Besar atau kecil, modal harus ada, kecuali kembali ke masa saat orang belum memakai sepatu …

Kiat Hilir-Hulu-Hilir

Orang tidak akan sukses berdagang kalau tidak bisa berhitung. Itu sebabnya mereka yang tidak pandai berhitung merugi bila memaksakan diri berdagang. Karena pandai berhitung pula orang Tionghoa kebanyakan memilih berdagang daripada makan gaji. Papan hitung yang dikenal sebagai sui-poa atau piring hirung atau sempoa bunyi pelesetannya menjadi bukti sejarah betapa getolnya Tionghoa berhitung.

Dalam soal menjumlah dan mengurang, di tangan ahlinya, sui-poa bahkan bisa mengalahkan kecepatan kalkulator elektronik. Bertolak belakang dengan Tionghoa yang pandai berhitung, di beberapa daerah penduduk masih banyak yang tidak tahu berhitung. Seorang Tionghoa yang buka toko di pedalaman bercerita, dagang di tempatnya enak sekali. Penduduk yang mau berbelanja akan menuangkan uangnya ke atas meja. Mereka tinggal mengambil berapa saja setelah mereka menunjuk barang-barang yang akan mereka beli.

Pada sisi lain, Tionghoa juga menghitung relasi antara kualitas dan kuantitas, serta selalu mendahulukan atau mengandalkan kuantitas. Barang buatan pabrik milik Tionghoa bisa lebih murah karena mereka berproduksi membuat barang bermutu menengah dalam jumlah sangat banyak dengan mesin-mesin yang lebih praktis.

Dan secara rasional Tionghoa juga berantisipasi mengambil untung lebih untuk berjaga-jaga serta untuk merespon risiko yang timbul akibat pergerakan nilai tukar mata uang. Pedagang Tionghoa selalu berusaha memelihara relasi, antara lain dengan menyanjung dan memenuhi segala kemauan pelanggan. Jarang ada Tionghoa yang menolak permintaan para pelanggan, walaupun ia sendiri tidak sependapat dengan mereka sebab sebagian permintaan tersebut merugikan dirinya atau menyusahkannya.

Dapat disimpulkan, bahwa pola perkembangan usaha Tionghoa itu beranjak dari hilir ke hulu tetapi kemudian menghilir lagi. Pabrik-pabrik besar lazimnya bakal membangun usaha distribusi sendiri (menghilir lagi) setelah mantap menguasai industri hulu. Menanjak ke hulu mungkin merupakan konsekuensi logis dari pengalaman buruk pedagang Tionghoa, antara lain menjadi korban diskriminasi pemerolehan bahan baku, sedangkan kesadaran akan pentingnya menguasai usaha hilir, boleh jadi, terbit dalam benak Tionghoa demi mengamankan kapasitas produksi pabrik di industri hulunya.

Menjiwai Sun Tzu

Telah disinggung di depan bahwa sistem kekerabatan dalam masyarakat Tionghoa relatif masih kuat, sehingga dalam konteks tabiat tidak putus asa dan tak mudah menyerah, sedikit atau banyak, inisiatif membantu sesama Tionghoa yang sedang terpuruk oleh anggota the inner circle pun selalu terbit. Apa yang terpenting adalah memelihara semangat bekerja.

Bantuan akan datang dari mana-mana. Demikianlah keyakinan warga Tionghoa. Dengan mengandalkan nama baik, bisnis bisa jadi lancar dan membesar. Dengan nama atau reputasi baik pula bisa menjadi referensi oleh banyak orang. Tionghoa jarang menyia-nyiakan kesempatan setelah ia meyakininya sebagai benar-benar suatu kesempatan. Wujud kesempatan yang datang bermacam-macam.

Diperlukan naluri bisnis untuk menyaringnya, termasuk mempelajari dengan saksama sumber kesempatan yang mampir. Pergolakan sejarah seringkali melahirkan kesempatan-kesempatan besar, terlepas dari persoalan bahwa situasi sosial politik sedang menghitam, memerah atau memutih. Tionghoa memang ditafsirkan tak pernah menolak kesempatan, namun dalam praktiknya Tionghoa sangat berhati-hati dalam memilih serta memanfaatkan kesempatan.

Mungkin tidak banyak Tionghoa membaca buku Sun Tzu berjudul Seni Perang, namun strategi yang diuraikan dalam buku tersebut dijiwai banyak Tionghoa. Sun Tzu adalah nama seorang panglima perang yang hidup di Tiongkok kira-kira 500 tahun sebelum Masehi, atau 2500-an tahun lalu. Buku Seni Perang yang ditulisnya terdiri atas 13 bab, membahas mulai dari perencanaan, perbekalan, taktik, strategi memenangkan perang, hingga pemanfaatan mata-mata.

Pada bagian lain Sun Tzu juga menulis, Semangat pasukan pada pagi hari adalah tinggi. Pada siang hari daya tahan pasukan mulai berkurang, dan menjelang sore pasukan sudah mebayangkan beristirahat di dalam kemah, sehingga semangatnya pun berada pada titik terendah. Hindarilah menyerang pada saat pasukan musuh sedang menyala-nyala, melainkan seranglah di waktu mereka lengah.

Umumnya Tionghoa tidak berlomba adu agresif dengan lawan bisnisnya, namun perlahan-lahan menyusun kekuatan dan mengumpulkan tenaga untuk kemudian baru unjuk gigi saat lawan kekurangan nafas. Sebagaimana kondisi hidup lain, kata memiliki aspek-aspek yang membuatnya tak berwujud sempurna. Kaya tetapi pelit, kaya tapi jahat, atau kaya tapi ini tapi itu mengungkapkan bahwa menjadi kaya bukan sekaligus berarti menjadi ideal dalam segala hal.

Tionghoa yang kaya pun menyandang berbagai karakter dan memiliki aneka perilaku yang sedikit atau banyak berhubungan dengan keberadaannya sebagai orang kaya. Kepercayaan, kebiasaan, tabiat, atau kelakuan yang timbul karena seorang Tionghoa belum, sedang, atau sudah kaya bisa bersifat positif konstruktif, negatif destruktif atau netral akomodatif.

Orang Tionghoa percaya bahwa dengan bebruat baik dan amal kekayaannya niscaya bertambah. Tionghoa kaya lazimnya melaksanakan amanat-amanat seperti menyenangkan orang tua atau mertua, membantu saudara, menjadi dermawan. Derma memang tidak langsung membuat pemberinya menjadi miskin atau penerimanya bertambah kaya. Berderma bagi Tionghoa lebih bermakna spiritual daripada kalkulasi material. Tionghoa percaya, semakin banyak seseorang memberi dengan ikhlas, semakin banyak pula ia bakal mendapatkan imbalan dari langit. Kenyataannya memang demikian.

Sebaliknya orang yang pelit memberi pun tidak bertambah kaya. Tionghoa kaya perlu belajar lebih banyak tentang lingkungan tempat ia berusaha serta mengenal lebih intens warga sekitar dengan siapa mereka setiap hari bergaul. Pamer memang sangat relatif, tetapi sebaiknya sesuaikan saja penampilan diri dengan tetangga yang dibandingkan dengannya termasuk kurang kaya.

Orang Tionghoa totok sangat menyukai warna merah, kecuali bila berhadapan dengan peristiwa dukacita. Merah melambangkan banyak hal, keberuntungan, kebahagiaan, kemakmuran, dan sukacita pada umumnya. Hong-Sui pengetahuan tentang tata letak rumah yang baik, atau dalam kata lain sering pula dinilai membawa keberuntungan dalam tradisi Tionghoa telah berkembang menjadi suatu sikap hidup atau kepercayaan.

Menghitung hari, dalam makna menentukan hari-baik bulan-baik untuk melakukan sesuatu. Meskipun Tionghoa modern beranggapan semua hari itu baik, namun sebagian besar masyarakat Tionghoa, baik modern maupun totok, masih enggan melanggar peringatan tentang adanya hari sial yang mesti dihindari, terutama dalam menempuh langkah-langkah besar termasuk bila membuka toko baru.

Arah Timur lebih disukai daripada arah mata angin lain karena dari Timur-lah matahari terbit. Timur dianggap arah yang baik dan membawa harapan sukses, bertolak belakang dengan Barat, arah matahari terbenam, yang diasosiasikan sebagai kemunduran atau sesuatu yang surut. Kanan dan kiri, lazimnya kanan menunjuk ke Timur dan kiri ke Barat, bila merentangkan tangan untuk memeragakan arah mata angin.

Mungkin ini sebabnya maka kanan dianggap lebih baik daripada kiri. Jumlah genap dipercaya lebih sempurna daripada ganjil. Ang-pao biasanya terdiri atas helai-helai uang yang jumlahnya genap. Jumlah buah yang dikirim sebagai hadiah juga sebaiknya genap.

Lambang keberuntungan replika kodok berkaki tiga yang sedang menggigit sekeping uang emas atau kucing belang dengan tangan melambai sering dijumpai berpajang di atas meja kasir. Keduanya menjadi contoh hewan yang dianggap membawa keberuntungan. Naga dan burung hong (peacock atau merak) menjadi lambang keagungan. Naga dianggap hewan yang paling unggul di antara segala jenis hewan, walaupun naga lebih merupakan hewan khayalan, sedangkan merak dikagumi karena keindahannya. Huruf Fuk atau rezeki sering diletakkan terbalik di belakang pintu agar terbaca fuk-tao yang selain berarti rezeki terbalik juga terlebih-lebih bermakna rezeki datang, sebab tao bisa pula berarti datang …

Sisi Lemah Gapai Sukses
* Liku-liku Lemah Binis

Kedudukan sosial orang Tionghoa di indonesia unik sebagaimana di tempat lain di dunia ini. Cara mereka berbisnis selalu menjadi sorotan di manapun mereka berada. Tapi di balik kesuksesan, mereka pun tak luput dari kelemahan yang kerap siap menghancurkan hasil jerih payah bertahun-tahun hanya dalam waktu yang singkat. Orang Tionghoa yang selalu dituduh tidak luwes bergaul dengan kelompok lain dan cenderung berinisiatif melindungi diri, sehingga membuat mereka terpaksa mengeluarkan biaya tambahan dalam berbisnis.

Kekuatan dan kelemahan senantiasa menjadi dua sisi sekeping mata uang. Tidak ada kekuatan, jika tidak mengetahui kelemahan. Dalam binis, kekuatan dan kelemahan yang timbul bisa bersifat umum. Kurang pandai mengatur pengeluaran, sehingga biaya-biaya membengkak, misalnya, menjadi kelemahan bisnis yang dikelola oleh siapa saja. Namun memang ada beberapa kelemahan spesifik yang lazimnya dilakukan suatu kelompok tertentu, termasuk Tionghoa.

Keengganan Tionghoa totok melakoni bisnis yang tidak melibatkan uang tunai, umpamanya, untuk ukuran bisnis zaman sekarang yang justru semakin menghindari transaksi tunai bisa menjadi kelemahan signifikan. Toko milik Tionghoa yang tidak mau menerima pembayaran dengan kartu kredit bisa banyak kehilangan peluang dan kalah bersaing dengan toko lain yang bersedia menerima kartu kredit, kartu debet, kartu discount dan sarana transaksi modern lain.

Kelemahan lain pebisnis Tionghoa yang cukup spesifik adalah tidak berpromosi. Kritik pantas pula dilontarkan terhadap orang Tionghoa yang melulu memikirkan bisnisnya, sehingga kadang-kadang melupakan kesehatan dan sama sekali tidak sempat menikmati hasil jerih payahnya. Spekulasi adalah salah satu trik berdagang yang lumayan sering diterapkan para pedagang, termasuk pedagang pada masa sekarang.

Tetapi tentu saja spekulasi harus dilakukan dengan berhati-hati dan sebaiknya para pebisnis sejati tidak terlalu mengandalkan spekulasi untuk memperoleh laba tinggi. Sudah pernah terjadi, pedagang yang dianggap menimbun barang, mengalami amuk massa dan barangnya dijarah. Citra pebinis yang melakukan spekulasi juga biasanya buruk.

Bagaimanapun juga, sikap orang Tionghoa yang memilih uang tunai masih tampak. Pembeli akan mendapat potongan harga jika membayar tunai kepada pedagang Tionghoa. Barangkali sikap ini terbit lantaran pengalaman pribadi, antara lain, sulit menagih utang, cek atau giro yang diterima ternyata kosong dananya, atau merasa rugi waktu. Padahal, seandainya pebisnis Tionghoa berani bersikap lebih longgar, banyak peluang bisnis lain yang dapat mereka garap dengan resiko wajar.

Pasar modal di Shanghai, meskipun disebut-sebut sebagai pasar modal paling besar untuk ukuran Tiongkok Daratan, ternyata bukan pasar modal yang dapat disebut dinamis untuk ukuran dunia. Kesimpulannya, orang Tionghoa memang pada hakikatnya tidak terbiasa berinvestasi tanpa mereka sendiri memegang duitnya. Pasar modal Hong Kong sedikit lebih hidup, sebab Hong Kong diperintah Inggris sekitar seratus tahun, sehingga budaya Eropa sedikit atau banyak mempengaruhi iklim bisnis di sini.

Kegemaran memegang uang tunai pebisnis Tionghoa ini juga dapat dirasakan dengan mengamati perkembangan bisnis eceran di Indonesia yang semakin marak dari waktu ke waktu. Pada sektor eceran atau retail inilai perputaran uang berlangsung dengan deras. Di sinilah orang Tionghoa senang berkecimpung. Pusat-pusat perbelanjaan yang dibangun di mana-mana, sekali lagi, membuktikan bahwa perdagangan yang melibatkan peredaran uang tunai menjadi fokus bisnis Tionghoa.

Andaikata pemodal Tionghoa tidak terlalu memandang berat pada uang dalam menjalankan bisnis, banyak sektor potensial lain yang sebenarnya layak digarap dan dapat menghasilkan laba berlimpah. Pertambangan, pertanian, perkebunan, atau teknologi tinggi merupakan sektor yang dihindari pemilik modal Tionghoa, padahal jika ditekuni dan tidak melulu melihat bisnis dari sisi keberadaan dan kehadiran uang tunai, sektor-sektor tersebut adalah kekuatan bisnis masa depan.

Uang tunai sebetulnya punya kekuatan tersendiri. Dengan menerima uang tunai, tiada kemungkinan terkecoh oleh orang yang kemudian ingkar membayar. Dengan memegang uang tunai juga praktis terhindar dari kemungkinan menjadi korban apabila ada transaksi yang dibatalkan. Uang tunai juga amat berperan apabila terjadi krisis, saat semua pihak menuntut pembayaran tunai atas semua transaksi.

Seyogianya perhentian itu penting. Itulah keseimbangan. Orang Tionghoa sebetulnya juga sudah sejak lama menyadari pentingnya berhenti setelah sekian lama bekerja keras, namun sering kali lupa melakukannya. Maka ibarat mesin, terjadilah over-hrated, terlalu panas. Senam pagi, rehat minum kopi, piknik keluarga, atau pekan olahraga keryawan, bagi pengusaha Tionghoa cuma membuang-buang waktu.

Padahal kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan menciptakan semacam selingan yang bermanfaat untuk penyegaran dan pada akhirnya dapat meningkatkan produktifitas dan kreatifitas. Otak yang tidak pernah dibiarkan beristirahat kecuali menghitung uang niscaya akan tumpul, sehingga bila diperlukan pada suatu saat, otak tersebut sudah tidak mampu berpikir secara cerdas.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengusaha Tionghoa suka mengumpul. Dari budaya ini muncullah Chinatown di beberapa kota besar dunia. Kawasan pecinan ini juga dapat diamati di kota-kota di Indonesia. Biasanya kawasan tempat berkumpulnya orang-orang Tionghoa ini kemudian berkembang menjadi sentra bisnis utama. Pada mulanya kebiasaan ini disinyalir merupakan kesengajaan dengan tujuan menggalang kekuatan guna mengamankan kelompok dan saling menjaga.

Dengan hidup berdagang berkumpul, warga Tionghoa mencari keamanan dan keselamatan. Bisnis Tionghoa berkembang tetapi hanya berpusat pada satu wilayah saja. Pengusaha Tionghoa normalnya kurang cepat melebarkan sayap (branch out) dibadingkan pengusaha lain. Hanya belakangan ini saja pebisnis Tionghoa membuka cabang usaha lebih luas. Itu pun masih terbatas dengan didirikannya cabang-cabang usaha yang lagi-lagi berlokasi di pecinan lagi, pecinan lagi sekalipun pada kota berbeda-beda.

Barangkali pengusaha Tionghoa masih ketakutan terhadap beberapa tragedi yang pernah melanda mereka pada masa silam. Di kota besar saja orang Tionghoa masih tergolong minoritas sehingga mudah ditindas, apalagi di kota-kota kecil atau desa, demikian ausmsinya. Jadi, orang Tionghoa seperti diingatkan, dan guna melindungi orang Tionghoa, pemerintah pernah mengeluarkan maklumat PP No 10 yang melarang orang Tionghoa berdagang di kota-kota kabupaten dan kecamatan. Tujuannya agar orang Tionghoa mengumpul di ibukota propinsi sehingga lebih mudah diawasi dan dilindungi.

Pengusaha Tionghoa umumnya masih kurang berani memanjakan pelanggan mereka dalam arti menyediakan fasilitas dan sarana. Selama para pesaing belum melakukan gebrakan, para pengusaha Tionghoa masih boleh tenang-tenang berdagang. Begitu pengusaha Barat masuk menyajikan cara-cara berdagang baru yang mengandalkan kenyamanan dan kemudahan yang bersandar pada teknologi. Kenyataan sudah membuktikan bahwa bisnis masa kini, tidak bisa tidak, menuntut tambahan modal untuk mengupayakan kehadiran sarana modern. Tengok saja toko-toko besar yang menyediakan fasilitas berbelanja mewah. Ke sanalah orang-orang menyemut.

Pengusaha Tionghoa umumnya juga kurang antuasias memanfaatkan sarana pendukung lain yang pada awalnya memang terkesan seperti menghabis-habiskan uang saja, namun sesungguhnya secara tidak langsung memberi manfaat besar terselubung. Pengusaha Tionghoa umumnya kurang memperhatikan merk dalam arti menciptakan dan memelihara merk dengan tujuan jangka panjang seperti go internasional.

Merk memang dijaga eksistensi dan kosistensinya dengan mempertahankan mutu barang yang dihasilkan, tetapi tidak diupayakan naik kelas atau naik gengsi. Umumnya perusahaan milik Tionghoa tidak berani tampil sesuai dengan kapasitas dan kredibilitasnya. Selalu ketakutan dianggap besar, khawatir inisiatif tampil dengan gagah justru berbalik manjdi bumerang, dimintai sumbangan melulu. Maka jika boleh memilih, perusahaan Tionghoa maupunya tampil low-profile asal high profit. Sebagai sebuah pilihan sikap, ini tentu sah-sah saja.

Tetapi apabila pengusaha Tionghoa mencoba tampil lebih berani dan menunjukkan kelasnya, masing-masing perusahaan seyogianya dapat pula menuai manfaat besar. Sebenarnya Indonesia termasuk salah satu negara yang produknya paling bersaing di dunia, asal para pengusahanya berani tampil ke depan dunia internasional untuk memperebutkan tender global. Pengusaha Tionghoa ada di segala sektor, mulai dari onderdil mobil hingga tekstil, mulai dari makanan kaleng sampai makanan ternak. Kendala menuju sukses lebih besar hanyalah soal keberanian tampil memperkenalkan diri.

Bagi banyak orang Tionghoa, masalahnya bukan soal berani atau tidak berani, melainkan tidak mau saja. Alasannya macam-macam, terutama khawatir menjadi sorotan dan menjadi repot. Sekarang memang sudah ada beberapa pengusaha Tionghoa yang tampil di media massa atau melayani wawancara, mengisahkan sukses dan lain-lain, namun sebagian besar pengusaha Tionghoa belum melihat public expose begini perlu dilakukan. Tampil di muka umum bagi pengusaha Tionghoa lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya.

Masih ada saja Tionghoa yang terkenang-kenang pada sukses beberapa konglomerat Tionghoa yang konon mulai bersinar karena diberi tender oleh penguasa pada masanya. Maka ada pengusaha Tionghoa yang senantiasa mengincar peluang seperti ini. Pokoknya berusaha menjalin persahabatan dengan penguasa, membantunya supaya ia dapat melanggengkan kekuasaannya, kemudian tinggal menadahkan tangan menampung kucuran tender yang nilainya sangat besar dan dapat dimanipulasi.

Begitulah sukses beberapa konglomerat Tionghoa disinyalir terjadi melalui pola seperti itu dan kisah-kisah mereka telanjur melegenda. Tidak kurang banyak pengusaha Tionghoa yang akhirnya terjerembab akibat salah berhitung dalam menjalin kerja sama dengan penguasa. Belum lagi disebut kerugian yang terjadi karena salah memprediksi posisi dan promosi seorang penguasa. Dikira segera memenangi kedudukan politik, ternyata kalah, maka umpan yang sudah dipasang lenyap tertelan gelombang.

Perilaku Keseharian Tionghoa Pedagang
* Sifat dan Tabiat

Bukan hanya pada orang Tionghoa saja, sifat serakah memang selalu menimbulkan akibat buruk bagi siapa saja yang memilikinya. Serakah artinya terus memburu sesuatu yang sesungguhnya tidak dibutuhkan lagi dengan perjuangan relatif ngotot. Benar, sulit mengukur untuk mengetahui di mana letak batas cukup itu dalam urusan mengumpulkan harta. Tetapi sulit bukan berarti tidak bisa. Sifat serakah menyebabkan orang Tionghoa berpikir spekulatif. Meskipun semua bisnis mengandung unsur spekulasi atau untung-untungan, keserakahan membuat spekulasi menjadi bias.

Spekulasi pada satu titik lantas berubah menjadi berisiko terlalu tinggi atau sama dengan berjudi, bahkan tak jarang cenderung dianggap perbuatan tercela. Spekulasi dalam arti menahan barang tertentu untuk menjualnya dengan harga jauh lebih tinggi saat pasar berkekurangan atau permintaan atas barang tersebut meroket sebenarnya taktik bisnis normal, namun jika menyangkut komoditas pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat, perbuatan ini bisa dianggap jahat.

Sampai hari ini, banyak pengusaha Tionghoa masih belum meluas wawasannya, kendatipun banyak di antara mereka memang tidak sepicik, sebutlah satu generasi lalu. Uang kontan masih menjadi segala-galanya. Jika berurusan dengan orang Tionghoa, uang pada tangan yang lebih berbicara dibandingkan dengan reputasi.

Biarpun usahanya maju, orang Tionghoa sering kali masih terlalu pelit mengeluarkan uang membenahi fasilitas bisnis mereka. Konsep berbelanja gaya pasar swalayan jelas bukan budaya orang Tionghoa yang senantiasa menjaga barang mereka dari sentuhan tangan-tangan usil. Ketika model super-market swalayan berkembang di Amerika, banyak pengusaha Tionghoa kaget dan memperkirakan bahwa toko seperti itu akan bangkrut karena kecurian. Baru setelah pasar-pasar swalayan yang membebaskan konsumen memilih dan mengambil barang mereka sendiri-sendiri ini tumbuh pesat, orang Tionghoa ikut terjun ke dalam bisnis yang sama.

Barangkali semua orang berpendapat sama, yaitu bahwa bekerja keras itu perilaku positif. Banyak orang menjawab, kerja keras, bila ditanya tentang rahasia sukses mereka. Tanpa kerja keras tidak ada orang yang bisa sukses. Kunci keberhasilan adalah kerja keras. Terlebih bagi orang Tionghoa yang terkenal ulet. Kerja keras menjadi syarat sukses yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Perhatikan saja, orang Tionghoa senantiasa membuka toko lebih lama. Bila orang lain membuka toko dari pukul 8 sampai pukul 17, enam hari dalam seminggu, orang Tionghoa membuku toko dari pukul 7 sampai pukul 18, tujuh hari dalam seminggu. Maka orang Tionghoa akhirnya menjadi lebih berhasil dibandingkan dengan pesaingnya, itu lantaran ia bekerja keras dan lebih lama.

Sepanjang Hari Sepanjang Malam

Selain mengurusi tokonya sepanjang hari, orang Tionghoa juga membenahi tokonya sepanjang malam, supaya keesokan hari toko dapat dibuka dngan kondisi layak. Orang Tionghoa tidak menambah pegawai untuk membantunya pada malam hari, sebab ingin berhemat. Dengan mengerjakan sebagian besar pekerjaan sendiri, orang Tionghoa memang dapat menekan biaya, sehingga laba usaha membengkak signifikan.

Mereka memforsir diri tetapi pada sisi lain lupa beristirahat dan tidak makan makanan bergizi. Akibatnya sering kali fatal. Tubuh hancur, walaupun kekayaan melimpah. Ketiadaan target ini menyebabkan orang Tionghoa membanting tulang hingga taraf maksimal. Andaikata mematok suatu target, niscaya ia dapat mengatur kesimbangan antara bekerja dan menikmati relaksasi.

Tionghoa lawan Tionghoa bukan tidak sering terjadi, yang seharusnya mereka saling mendukung. Orang bilang duit tidak mengenal persahabatan. Biasanya orang Tionghoa berseteru memang dalam soal bisnis, bukan mengenal hal-hal lain. Semakin lama persaingan ini semakin terasa, tak jarang terjadi pula antar-sesama perusahaan besar yang sama-sama dimiliki Tionghoa. Kontradiksinya, orang Tionghoa pada kesempatan lain juga dikenal sebagai golongan yang paling setia kawan.

Jadi, tergantung kesus perkasus. Keadaan kini sudah jauh berubah. Dahulu orang Tionghoa perantauan, apalagi yang sama-sama berasal dari satu kampung di Tiongkok Daratan, saling setia dan saling membantu supaya masing-masing bisa bertahan hidup dan sukses di tanah perantauan. Beberapa malah bersumpah menjadi saudara, memperkawinkan anak-anak antar sesama mereka, atau seorang yang sudah berhasil meminjamkan modal kepada sahabatnya agar ikut mulai berdagang. Melodrama seperti ini sekarang hampir tidak pernah ada lagi.

Berjuang Sendiri

Tionghoa hari ini lebih banyak berjuang sendiri-sendiri. Lebih jauh lagi, mereka pun sudah tidak segan-segan saling bersaing atau menggali kapak perang. Urusan duit tampaknya lebih penting daripada urusan persaudaraan dan tetek-bengeknya. Sesama pebisnis Tionghoa juga sudah tidak saling mendekatkan diri untuk bersatu atau lainnya. Sudah banyak pula pengusaha Tionghoa justru memilih sekutu bisnis mereka dari kalangan bukan Tionghoa, semata-mata dengan pertimbangan asal lebih menguntungkan.

Hal-hal yang tidak dipedulikan lagi itu sebetulnya pada dua-tiga generasi terdahulu pernah menjadi kekuatan pengusaha Tionghoa. Hanya karena berasal dari suku yang sama saja, umpamanya, pengusaha Tionghoa zaman dahulu sudah bisa saling tolong menolong atau seseorang membantu memodali seseorang sesama dukunya untuk memulai bisnis, walaupun keduanya tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Inilah sebabnya, dapat mengamati bahwa orang Tionghoa suku tertentu biasanya menekuni bisnis tertentu yang sama pula.

Pertimbangan semurni-murninya bisnis menjadi lebih penting daripada menunjang kewajiban moral membantu sesama Tionghoa. Dari kaca mata nasional, keadaan ini bisa dipandang sebagai gejala positif yang membawa kaum Tionghoa ke jenjang asimilasi lebih terpadu, tetapi dari kaca mata kebutuhan saling mendukung di antara sesama pengusaha Tionghoa sehingga lebih maju, tentu mengkhawatirkan dan merupakan kelemahan.

Pengusaha Tionghoa kini berpendapat bahwa langkah-langkah bisnis harus diambil berdasarkan perhitungan masuk akal. Persaingan antar-sesama pebisnis Tionghoa pun berlangsung semakin sengit. Seorang Tionghoa sudah tidak merasa ragu-ragu mematikan bisnis Tionghoa lain jika melalui jalan itu ia bisa lebih menguasai pasar.

Pertarungan sesama pebisnis Tionghoa bisa ibarat gajah melawan gajah, karena golongan Tionghoa dikenal sebagai pengusaha tangguh dan besar. Ibarat perang, sebaik-baiknya perang harus dilakukan demi mencapai tujuan lebih baik, sesungguhnya lebih baik lagi apabila perang tersebut tidak dilakukan. Kedua belah pihak yang bertempur pasti merugi, sementara hasilnya belum tentu membawa semua ke kehidupan lebih baik.
Tak ada yang lebih celaka daripada sesama saudara kandung yang bertikai memperebutkan harta. Hal ini terjadi di mana-mana, terjadi juga di keluarga Tionghoa. Orang yang menonton hanya bisa mengurut dada, tetapi memang tidak selamanya sesama saudara pasti selalu akur. Tidak jarang, perselisihan antar sesama saudara kandung ini berlangsung sedemikian sengit, sampai-sampai bisa saling menyerang layaknya terjadi antara dua musuh bebuyutan.

Sayangnya lagi, kadang-kadang orang tua sudah tidak dapat berbuat banyak mendamaikan anak-anaknya. Perseteruan sesama saudara kandung ini bukan mereda, melainkan semakin tajam. Kedua anak semakin terang-terangan memperebutkan perusahaan, kendatipun orang tua mereka masih berkuasa.

Karena saling mencurigai, sehingga perusahaan pun berjalan terseok-seok, jaauh dari profesionalisme, jauh dari modernisasi, sampai akhirnya kolaps, ketika ayah mereka kebetulan jatuh sakit dan tidak bisa menjadi penengah lagi. Andaikata saja mereka dapat saling mengalah dan bukan saling bersitegang mempertahankan pendapat masing-masing, barangkali bisa diambil jalan tengah yang menguntungkan semua pihak. Perusahaan harus melakukan investasi dan mengadopsi teknologi, ini sudah benar, tetapi investasi baru selalu berisiko, sehingga harus dikaji dengan seksama dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi keuangan perusahaan dan tidak bisa sekaligus.

Trauma (dan Warisan) Masa Lalu

Tragedi 13—15 Mei 1998 hanya salah satu episode kejadian yang mengambil korban kalangan Tionghoa. Sebelumnya, kekerasanm yang dialami Tionghoa, besar atau kecil, juga sudah beberapa kali terjadi, bahkan terjadi pula pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Itu sebabnya Tionghoa merasa memerlukan perlindungan. Apabila selama ini sebagian besar analisis menyimpulkan bahwa Tionghoa mengalami tekanan karena kecemburuan ekonomi golongan lain, ini dapat dimaklumi.

Setiap kali terjadi kekerasan terhadap Tionghoa, sejak dahulu sampai belakangan, itu melanda semua Tionghoa, baik kaya maupun miskin. Pada zaman penjajahan Belanda, tidak banyak Tionghoa yang kaya, atau Tionghoa miskin jauh lebih banyak dibandingkan dengan kaya, tetapi terjadi juga kekerasan terhadap warga Tionghoa. Maka terjadilah trauma itu. Trauma yang dialami Tionghoa adalah trauma sosial, yang justru timbul karena peran aktif mereka dalam bermasyarakat. Dengan kata lain, Tionghoa pada dasarnya senang bergaul sebab mereka mau berdagang. Bandingkan pengaruh Tionghoa dalam masyarakat Indonesia dengan Belanda yang menjajah selama 350 tahun. Belanda tidak meninggalkan bekas sosial yang berarti dibandingkan dengan Tionghoa.

Tionghoa juga menorehkan jejak-jejak sosial cukup dalam. Komunitas Tionghoa terbukti eksis di sini sampai hari ini. Namun karena trauma masa silam, Tionghoa senantiasa bersiap-siap melindungi diri dan kadang-kadang mengakibatkan ekses-ekses. Tionghoa kaya berusaha melindungi diri melalui berbagai cara dan upaya. Sentimen terhadap Tionghoa, baik Tionghoa yang pengusaha maupun bukan pengusaha, boleh disinyalir berasal dari langkah politik Belanda sebagai penjajah pada masa silam.

Selain golongan orang kulit putih dan orang Indonesia bukan Tionghoa atau lain-lain, Belanda sengaja menciptakan selapis golongan lain yang terdiri atas orang-orang bukan kulit putih dan bukan pula Indonesia, bukan Tionghoa, India, Arab, Jepang atau pendatang suku bangsa lain. Kebetulan jumlah orang Tionghoa adalah yang paling banyak dalam golongan ketiga ini, sehingga Tionghoa dimanfaatkan sebagai alat menjalankan peran tertentu. Tionghoa dikontrol Belanda supaya dapat dipersiapkan untuk menghadapi orang Indonesia bukan Tionghoa.

Di antara orang Tionghoa pada masa itu diangkat seorang mayor atau kapiten sebagai pemimpin kelompok. Mayor atau Kapiten Tionghoa ini mula-mula ditugaskan menjalankan peran kepemerintahan dan sosial seperti mendata dan mengutip pajak dari orang Tionghoa. Keberadaan golongan Tionghoa ini dan perannya lantas diarahkan Belanda untuk menjadi golongan sosial pembanding terhadap orang Indonesia bukan Tionghoa.

Golongan Tionghoa sering sengaja dipuji Belanda sebagai golongan yang lebih berhasil dengan tujuan membangkitkan sentimen golongan Indonesia bukan Tionghoa. Politik ini ternyata berhasil, dalam arti sesuai dengan niat Belanda yang pada zaman itu terkenal dengan intrik memecah-belahnya.

Akhirnya Tionghoa dipertentangkan dengan Indonesia bukan Tionghoa, sehingga Belanda dalam urusan ekonomi dan sosial luput menjadi lawan orang Indonesia bukan Tionghoa. Sejak itu dalam aspek sosial dan teristimewa ekonomi, golongan Tionghoa dan golongan Indonesia bukan Tionghoa menjadi kompetitor satu terhadap yang lain tanpa mereka sadari bahwa situasi ini sebenarnya hasil rekayasa Belanda untuk kepentingan sendiri.
Belanda terbukti tidak mencegah permusuhan kedua golongan ini, bahkan bila terjadi pertumpahan darah. Sangat disesalkan bahwa perseteruan kedua golongan ini berlangsung hingga belakangan, walaupun skala dan dimensinya sudah jauh berkurang. Kekesalan terhadap seorang Tionghoa yang bersalah masih mungkin meluas menjadi huru-hara, sehingga melahirkan trauma. Orang Tionghoa digambarkan terkesan terlalu eksklusif.

Sikap itu tidak serta merta muncul. Tentu ada latar belakangnya. Perlakuan diskriminatif yang acap dialami orang Tionghoa di Indonesia, bukan semata-mata karena orang Indonesia bersikap rasis atau cemburu terhadap kemajuan ekonomi orang Tionghoa. Bukan itu sebabnya. Seandainya orang Tionghoa memandang mereka sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, hendaknya duduk persoalan sebelumnya dikaji.

Agaknya jika di antara mereka merasa ada sikap diskriminatif dari bumiputera, pada hakekatnya juga merupakan sebab dan akibat dari kecelakaan sejarah mereka di masa lalu. Sejak dulu orang Tionghoa selalu memiliki orientasi sangat kuat ke negeri leluhurnya. Sikap ini menghalangi mereka untuk berasimilasi dengan masyarakat setempat. Kadang-kadang, chauvinisme di kalangan orang Tionghoa begitu tinggi sehingga sebagian dari mereka memandang bangsanya lebih bermartabat dari berbagai suku bangsa lain di Indonesia. Chauvinisme ini merupakan hambatan psikologis orang Tionghoa untuk berasimilasi dengan orang Indonesia.

Pada masa penjajahan, Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas. Pertama, Europeanean (Belanda). Kedua, Vremde Oosterlingen (Cina, Arab, India). Ketiga, Inlander (berbagai suku bangsa Bumiputera). Pada masa pemerintahan Orde Lama, Sukarno, juga membuat kebijakan yang diskriminatif. Sukarno mengeluarkan PP Nomor 10/1959 berupa pelarangan bagi perdagangan kecil eceran yang bersifat asing di luar ibukota propinsi dan kabupaten-kota. Dengan peraturan ini, masyarakat Tionghoa akhirnya mengumpul di satu wilayah saja.

Rezim Orde Baru, di mana masa ini tak kalah sengitnya. Berbagai perlakuan dan tindakan diskriminatif, termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Pemberlakukan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), bagi masyarakat Tionghoa, merupakan cara dan salah satu bentuk paling diskriminatif yang pernah dilakukan. Atas nama SBKRI, berbagai segi kehidupan, baik secara ekonomis atau politis terpasung. SBKRI juga dilanggengkan oleh kalangan tertentu, untuk mengeruk upeti dan mendapatkan uang. Berbagai pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) atau dokumen, selalu dikenakan biaya tinggi bagi masyarakat Tionghoa. Sejarah itulah yang membuat masyarakat Tionghoa jadi menutup diri dan eksklusif.

Sejarah tidak mungkin diubah. Memang Tionghoa perantauan di mana pun dianggap bukan penduduk asli, melainkan tetap pendatang, tak peduli sudah berapa generasi pun Tionghoa hidup di suatu wilayah. Jadi, sebagai tamu, tak ada yang dapat disarankan kepada Tionghoa kecuali bersikap rendah hati.

Gambaran lain berikut sebaiknya jangan diyakini sebagai hal negatif yang melibatkan semua orang Tionghoa, melainkan hendaknya dipahami sebagai tabiat orang per orang saja. Penjelasan ini tidak dibicarakan dai sisi moral. Berjudi, mabuk-mabukan, dan main perempuan jelas sikap kurang terpuji. Ada faktor sosial yang menempatkan judi, mabuk dan ketertarikan pada perempuan ini pada porsi lebih komprehensif.

Bermain kartu dengan mempertaruhkan sedikit uang agar lebih menarik dan dilakukan pada malam tahun baru, misalnya, jelas sama dengan berjudi, tetapi ada sisi lain yang perlu dipertimbangkan pula, antara lain bahwa kegiatan itu bukan untuk mencari untung, uang yang dipertaruhkan sangat kecil nilainya, dan dilakukan setahun sekali hanya untuk bersenang-senang. Kegemaran berjudi ini ada kalanya memang menyeret orang Tionghoa ke dalam masalah. Jika bukan masalah moral, hukum yang akan berbicara. Mabuk-mabukan di sini mencakup makna lebih luas daripada sekadar menegak minuman keras berlebihan.

Namun kali ini justru peran Tionghoa sebagai pedaang sangat disesalkan. Punya istri muda atau simpanan termasuk masalah yang sering menjerat Tionghoa. Bisnis mereka yang menjalin hubungan dengan banyak wanita biasanya berakhir kusut. Sementara itu ada saja Tionghoa yang tahu mengambil posisi di antara beberapa wanita, tetapi mereka tetap dinilai seharusnya bisa lebih berhasil lagi apabila tidak terlibat dengan banyak wanita. Punya istri lebih dari satu bagi orang Tionghoa sebenarnya bukan masalah besar, kecuali bagi Tionghoa yang memeluk agama tertentu.

Tetapi bagaimanapun juga di sini diingatkan bahwa memiliki seorang istri yang baik sudah lebih dari cukup. Masalahnya bukan banyak istri itu tidak baik, tetapi istri yang tidak baik bisa menggerogoti bisnis.

Rahasia dan Formula Bisnis Orang Tionghoa
* Rahasia Sukses

Di dunia ini tidak ada orang yang lebih kaya daripada orang Tionghoa. Begitu Ibn Batutah. Kalimat itu memang pantas dilayangkan karena kenyataannya orang Tionghoa-lah yang menguasai jalur perdagangan tak hanya di Asia. Tetapi juga seluruh dunia. Kedigdayaan ini seolah-olah mengatakan bahwa orang Tionghoa memang kaisar di bidang perdagangan. Namun, kerajaan ini tidak dibangun dalam sekejap. Tetapi dengan prinsip-prinsip perdagangan yang dianut orang Tionghoa selama ribuan tahun. Hal ini pula yang menjadikan mereka sebagai salah satu sumber ilmu perdagangan terpercaya karena kesuksesannya telah terbukti di dunia.

Jangan takut saat berjalan lambat. Tetapi takutlah ketika berdiam diri. Begitu peribahasa Tionghoa Kuno. Bekerja keras! Tulisan seperti itu artinya bekerja keras untuk berusaha. Kata itu ibarat kata keramat yang mendorong pedagang Tionghoa berhasil dalam binisnya. Jika dahulu bapaknya berjualan air di pinggir jalan, anaknya akan membuka restoran dan barangkali cucunya akan mendirikan pabrik yang memproduksi air dalam kemasan.

Perdagangan orang Tionghoa tidak banyak formalitas dan birokrasi. Mereka berusaha menjadikan kegiatan dagang ini semudah mungkin. Jika ingin lebih berhasil dari orang lain, maka tidak punya pilihan, kecuali bekerja dengan lebih keras dan rajin. Persepsi orang Tionghoa pada perdagangan adalah positif. Dunia dagang adalah dunia yang menjanjikan kesenangan, kemewahan dan kebahagiaan.

Pedagang yang jatuh akan merasa sakit. Tetapi rasa sakit itulah yang membuatnya bangkit kembali. Ajaran Konfusianisme sudah ditafsirkan kembali dan diberi napas baru sebagai pencetus semangat bagi orang Tionghoa agar melibatkan diri dalam perdagangan. Berdagang dapat dijadikan sebagai hobi, tetapi bukan untuk mengisi waktu luang. Keuntungan yang diperoleh sebaliknya tidak dibelanjakan. Keuntungan tersebut harus digunakan untuk menambah modal kerja dan melakukan investasi.

Dalam konsep bisnis orang Tionghoa uang digunakan untuk menghasilkan uang. Konsep perdagangan orang Tionghoa lebih berdasarkan para prinsip simbiosis, yaitu setiap pedagang saling melengkapi. Mengikuti konsep ini, jika ada pedagang yang menjual barang-barang kecil, pedagang lain akan menjual pakaian dan juga keperluan yang lain. Agar perdagangan barang-barang kecil itu bisa hidup, orang Tionghoa akan membuka restorang di kawasan yang berdekatan letaknya, dan semua bahan makanannya akan diperoleh dari toko-toko yang berada di sekitarnya. Dengan demikian, perdagangan di kawasan itu akan berkembang pesat karena sudah terwujud sikap saling membantu dan saling dukung yang kuat di kalangan pedagang.

Pedagang musiman bukan saja tidak dapat berkembang, melainkan juga akan menghadapi masalah modal dan likuiditas, ketersediaan dana yang siap dicairkan, untuk memulai kegiatan berdagangnya. Jangan mengeluh di hadapan pelanggan, apalagi menunjukkan emosi yang negatif. Pedagang Tionghoa membolehkan terjadinya tawar menawar.

Meskipun proses ini memakan waktu dan mengurangi keuntungan, hal ini dapat menggembirakan hati pelanggan. Orang Tionghoa dapat berdagang di kampung Melayu, tetapi orang Melayu belum tentu bisa berdagang di kawasan orang Tionghoa. Pedagang harus mengetahui bagaimana membedakan antara urusan pribadi dan kegiatan perdagangan. Keduanya tidak boleh dicampuradukkan. Pedagang harus bersikap terbuka dan berlapang dada apabila berhadapan dengan situasi yang sulit. Setelah itu barulah bisa mencari jalan keluar.

Bukan Hanya Sekadar Pintar

Sekadar pintar berdagang tidak memberikan hasil yang maksimal. Harus didukung dengan sikap agresif, berani, tahan banting, semangat dan rela berjuang untuk merebut segala peluang yang ada. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak menjadi sukses jika mereka tekun. Orang Tionghoa rela untuk bangun dini hari dan terus bekerja sampai malam hari. Apabila orang Tionghoa mengatakan akan berdagang, mereka biasanya tidak akan berpikir panjang untuk melakukannya.

Pengalaman dan kemahiran tidak penting karena hal itu dapat dipelajari kemudian. Kegagalan pertama tidak dapat melunturkan semangatnya. Sebaliknya, akan membuatnya lebih gigih. Kegagalan yang kedua dijadikannya pelajaran. Kegagalan ketiga menjadikannya lebih bijak. Kegagalan yang berikutnya menguji kesabaran dan ketabahannya. Apabila melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan. Harus menetapkan tujuan untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang. Budaya dagang orang Tionghoa mengutamakan hal penting seperti siapa cepat dia dapat.

Orang Tionghoa mengizinkan para pelanggannya membuat pilihan sendiri tanpa ada tekanan dari pemilik tempat. Pelanggan tetap diberikan kebebasan dan pelayanan yang istimewa dalam mendapatkan layanan yang ada. Pelanggan baru diiming-imingi dengan potongan harga dan kemudahan kredit. Dunia perdagangan penuh dengan persaingan keras dengan berbagai macam cara. Oleh karenanya, pedagang harus mempersiapkan dirinya dengan seni bela diri perdagangan untuk menghadapi serangan dalam bentuk apa pun dan kemungkinan yang akan datang.

Seni berdagang memerlukan kecermatan yang teliti dan tidak cukup jika mempelajari teorinya saja. Berdagang perlu praktik dan menuntut seseorang senantiasa bersikap fleksibel. Seni berdagang orang Tionghoa mengutamakan prinsip win-win. Pedagang harus bersikap rajin bekerja, ramah, dan menjadikan pelanggan mereka sebagai saudara atau paling tidak sebagai sahabat dekat. Pedagang harus memiliki daya tahan, mental dan jiwa yang kuat.

Cara Bisnis dan Keberhasilan

Tanpa mengalami kerugian, keuntungan tidak mungkin datang. Pedagang Tionghoa lebih suka mempekerjakan sanak keluarganya sendiri untuk membantu kegiatan perdagangan mereka. Bagi mereka, lebih baik menggaji orang yang sudah mereka kenal dan mempunyai pertalian saudara daripada mempekerjakan orang lain. Orang Tionghoa akan merasa rendah diri jika mereka gagal hidup mandiri dan hanya mendapat gaji sepanjang hidupnya.

Selagi seseorang itu bekerja dengan mendapat gaji, selama itulah dia tidak bisa menjadi kaya dan meningkatkan kedudukan sosialnya. Sebagian dari keuntungan harus disimpan untuk mengembangkan kegiatan perdagangan dan menghadapi kemungkinan apa pun yang di luar dugaan. Sebagian lagi digunakan untuk modal kerja. Kerugian jangka pendek merupakan jalan yang dilalui untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang. Pedagang Tionghoa mempunyai kode etik yang melarang penggunaan cara-cara kotor. Menjatuhkan perdagangan orang lain adalah perbuatan yang terkutuk.

Bagi masyarakat Tionghoa, pedagang dilihat mengganggu dan menjelek-jelekkan kegiatan perdagangan orang lain. Persaingan dibenarkan menurut nilai moral dan pertimbangan kemanusiaan. Pedagang yang tidak patuh dan tidak berpegang pada etika ini akan dikenakan hukuman. Pedagang tidak boleh terlalu kaku. Namun sebaliknya, perlu memperbolehkan proses tawar menawar. Meskipun kasih sayang dan sikap patuh tidak dapat dinilai dengan uang, kekayaan akan dapat memberikan kebahagiaan dan meningkatkan status sosial keluarga dalam masyarakat.

Beberapa faktor yang mendorong keberhasilan orang Tionghoa adalah kemiskinan, perasaan kurang aman, survival (kemampuan bertahan hidup) di tempat orang, tidak ada pilihan, dan ajaran falsafah yang didapat sejak kecil. Dalam sistem sosial orang Tionghoa, anak laki-laki adalah ahli waris keturunan. Salah satu cara menunjukkan penghormatan kepada kedua orangtua dan mengangkat martabat keluarga adalah menjadi kaya. Satu-satunya cara menjadi kaya adalag melalui kegiatan perdagangan.

Uang tidak pernah dijadikan sebagai penghalang. Asal ada kemauan di situ pasti ada jalan. Yang penting, harus berusaha, tabah dan sanggup menderita untuk hidup susah. Petuah untuk berhasil dalam bidang perdagangan adalah menjadi pedagang yang dapat dipercaya, mudah kalau berurusan, dan tidak banyak bicara. Untuk menjadi pedagang yang berhasil, mereka harus dapat memberikan dan mendapatkan keyakinan dari pelanggannya.

Pedagang Tionghoa tidak takut dan tidak pelit untuk mengeluarkan sedikit biaya asal mereka dapat menangkap dan memikat hati pelanggannya. Kesabaran itu memang pahit, tetapi biahnya sangat manis. Jika ketekunan digabungkan dengan tekad yang kuat dan diperkuat dengan kesabaran, niscaya akan menjadi aset yang cukup berharga bagi siapa saja yang ingin melibatkan dirinya dalam perdagangan. Orang Tionghoa cenderung memilih berdagang karena bidang ini tidak dibatasi oleh ruang, waktu, dan tempat. Selain bebas, kegiatan perdagangan juga menyediakan ruang yang luas bagi seseorang untuk mengembangkan kemampuannya.

Kebanyakan usahawan Tionghoa yang sukses bekerja sekurang-kurangnya 18 jam sehari. Di mana ada air, di situ ada orang Tionghoa. Orang Tionghoa bisa membuka restoran di negara Kenya dan menjalankan perdagangan ritel di Papua Nugini yang sebagian besar penduduknya masih primitif. Beberapa ciri yang menunjukkan seseorang itu memiliki bakat berdagang: mukanya bulat dan manis dipandang, badan berisi, dahi cerah dan luas serta begitu bergairah terhadap uang.

Emas yang tersembunyi hanya dapat dikeluarkan jika seseorang itu berusaha mencari dan menggalinya. Usahawan dan pedagang sejati tidak pernah menjadikan tempat sebagai alasan untuk tidak berdagang. Dalam bidang perdagangan tidak ada istilah rasa sakit. Yang ada adalah bangkit dan jangan takut pada sesuatu yang pahit rasanya. Orang Tionghoa tidak suka mencari-cari alasan. Mereka berusaha menghilangkan alasan apa pun dan menjauhkan diri dari pendapat-pendapat yang tidak membantu mereka.

Pandai atau tidaknya seorang pedagang hanya dapat diketahui setelah dia berhasil mengatasi segala rintangan yang dihadapi dalam perdagangan yang berisiko tinggi. Sekali melangkah, mereka akan terus melangkah. Tidak ada kata mundur. Orang Tionghoa percaya, nasib buruk dapat diubah. Sial dan malang dapat dibuang dan digantikan dengan nasib yang baik. Pemikiran dan pemahaman orang Tionghoa dipengaruhi oleh alam sekitarnya. Alam dapat dikatakan memegang peranan yang penting dalam menentukan keberhasilan seseorang dalam perdagangan.

Pada Akhirnya untuk Sejahtera
* Pemikiran dan Jaringan Bisnis

Masalah adalah batu loncatan dan bukan penghalang untuk sebuah keberhasilan. Pedagang tidak harus cerdik dan memiliki otak yang cerdas. Yang diperlukan adalah keberanian untuk menghadapi tantangan apa pun yang akan datang. Penting bagi pedagang untuk memiliki pemikiran yang dinamis karena dapat membantu mereka melihat dunia perdagangan secara menyeluruh dan tidak terbatas dalam lingkungan sekitar. Kedinamisan dalam masyarakat Tionghoa berkaitan erat dengan cara berpikir pedagang Tionghoa yang fleksibel. Orang Tionghoa mudah beradaptasi menyesuaikan dengan perubahan iklim ekonomi dan perilaku pasar.

Semakin besar angpau yang diberikan, semakin banyak keuntungan yang akan masuk. Begitu adat kebiasaan bisnis orang Tionghoa. Pedagang Tionghoa biasanya tutup buku pada setiap akhir tahun. Suatu perdagangan dikatakan berhasil jika pada akhir tahun itu mencatat keuntungan. Para pedagang Tionghoa akan menyelesaikan utang tiga hari menjelang tahun baru. Dimulainya kegiatan perdagangan pada Tahun Baru selalu dimulai dengan membakar petasan. Tujuannya adalah untuk mengusir nasib yang tidak baik dan semangat jahat.

Pedagang tidak boleh mengatakan sesuatu yang tidak baik ketika memulai babak baru perdagangannya. Tarian singa atau barongsai dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan dan rezeki yang berlimpah. Waktu yang paling baik untuk mengadakan perayaan adalah tengah hari atau menjelang sore. Orang Tionghoa tidak dianjurkan mengadakan perayaan pada malam hari. Bunga yang putih tidak sesuai untuk perayaan karena dianggap sebagai pertanda berkabung.

Orang Tionghoa mempunyai pantangan agar tidak memberikan hadiah berupa jam, gunting dan benda yang tajam kepada pedagang. Untuk mendapatkan ikan yang besar, harus menyediakan umpan dan alat pancing yang baik. Tempat harus mudah dikunjungi, dihubungi dan dicari.

Lokasi perdagangan harus menghadap jalan besar dan tidak terhalang oleh pohon, bukit, atau bangunan tinggi yang lain. Harus ada aliran angin yang masuk ke dalam tempat. Jika tidak, akan menyebabkan kesimbangan elemen yin dan yang terganggu. Cahaya di dalam tempat harus cukup dan jangan dibiarkan dalam keadaan yang gelap dan suram. Feng shui yang sesuai akan menyebabkan mereka yang masuk ke dalam tempat tersebut akan merasa riang dan bersemangat. Feng shui yang buruk akan menyebabkan orang yang berada dalam tempat tersebut lesu dan kehilangan semangat. Pintu masuk ke dalam tempat tersebut harus dibiarkan terbentang luas. Jalan masuk harus lebar. Jika pintu masuk sempit, akan menyebabkan uang yang mengalir masuk juga sempit.

Warna memainkan peranan yang penting dalam membantu memajukan perdagangan mereka. Sebab itu, orang Tionghoa suka memilih warna terang dan cerah sebagai latar belakang tempat perdagangan mereka. Lokasi perdagangan yang dianggap baik adalah yang memiliki kemudahan memarkir kendaraan, pengangkutan umum, dan tidak jauh dari pusat administrasi pemerintahan.

Tak Lepas dari Feng Shui

Fakta menarik, feng shui bukanlah kepercayaan yang bersifat omong kosong belaka sebagaimana yang dipahami. Hal ini tidak ada kaitannya dengan takhayul ataupun mitos. Feng shui adalah suatu jenis ilmu sains dan geografi yang digunakan oleh orang Tionghoa untuk mencari tanah tempat membangun perdagangan dan membangun kediaman yang sesuai.

Impian hanya tinggal impian jika pedagang terus bertahan di batas bawah dan tidak mau melakukan perubahan paradigma pada sikap dan tindakan. Orang Tionghoa merealisasikan impiannya dengan menyusun strategi bagaimana untuk memperbaiki kedudukan dan masa depannya. Risiko dan kerugian dalam perdagangan dapat diperkecil jika pedagang memiliki strategi menggunakan modal kerja dengan tertib. Pedagang tidak boleh mengikuti apa yang ada dalam kepalanya saja. Sebaliknya, mereka harus mengikuti perilaku, minat, dan kecenderungan orang banyak serta tren pasar.

Ikatan yang kuat memungkinkan mereka memonopolisetiap aspek perdagangan yang berkaitan dengan bidang ritel. Dominasi orang Tionghoa dalam perdagangan ritel sulit untuk ditandingi karena mereka sudah membentuk satu jaringan dan asosiasi perdagangan yang mantap. Para pedagang Tionghoa lebih suka mencari titik temu daripada membesar-besarkan perbedaan yang ada di antara mereka. Perbuatan menjatuhkan perdagangan orang lain dianggap sebagai tindakan yang tidak etis dan menyalahi peraturan. Sekali namanya sudah rusak, selamanya orang tidak akan memercayainya lagi.

Tinggalkan orang Tionghoa di mana saja, mereka akan dapat hidup dan menciptakan peluang dagang. Pengalaman dan rasa kurang aman menjadi salah satu pendorong utama keberhasilan orang Tionghoa dalam perdagangan. Mempelajari teori terlebih dahulu kemudian baru mempraktikkannya tidak akan menjadikan seseorang itu pedagang yang berhasil. Konsep berdagang bagi orang Tionghoa adalah bekerja sendiri. Dengan bekerja sendiri, seseorang dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya.

Pedagang harus memiliki daya tahan dan semangat juang yang tinggi. Mereka tidak mudah takluk pada keadaan, tetapi berusaha membuat keadaan tunduk pada kehendak mereka. Modal bukan penentu utama untuk berhasil atau setidaknya sebuah perdagangan. Kadang kala modal yang sedikit diiringi dengan pengetahuan seluk beluk perdagangan yang mantap dapat membuat pedagang berhasil.

Ciri-ciri penting pedagang Tionghoa, antara lain sabar, tidak mudah putus asa, pandai merebut peluang, memiliki kehumasan yang baik, berpandangan jauh, berpegang pada janji, berusaha meyakinkan pelanggan selama menjalankan usaha dagang, memiliki daya tahan dan semangat juang yang tinggi dan tidak suka menunggu karena peluang tidak pernah menunggu mereka.

Sikap dan Politik Bisnis

Masyarakat lain makan untuk hidup, tetapi orang Tionghoa hidup untuk makan. Tidak menjadi masalah jika pedagang tidak pandai membaca dan menulis. Yang penting bisa menghitung dan mengurus uang. Menjadi tauke dan memiliki perdagangan sendiri selalu menjadi idaman orang Tionghoa. Tidak ada yang lebih memuaskan hati dan memberikan motivasi kepada pedagang selain menjadi bos bagi diri sendiri dan orang lain.

Mereka yang sudah memiliki tekad untuk berdagang tidak perlu membuang waktu membuat perencanaan yang rapi, memikirkan risiko, dan mempertimbangkan untung rugi. Yang diperlukan adalah tindakan nyata setelah memikirkan strategi dagang yang terbaik. Pedagang dan usahawan tidak perlu takut dengan masalah karena masalah sebenarnya memberikan motivasi agar menjadi lebih kuat dan mampu. Dalam politik bisnis orang Tionghoa, jika ingin mencari rekan bisnis, carilah orang yang dapat dipercaya. Teman dekat belum tentu menjamin bahwa dia akan setia dan tidak akan mengkhianati temannya.

Untuk berhasil, pedagangharus memiliki daya tahan yang luar biasa, selalu siap menghadapi kemungkinan apa saja, dan jangan sekali-kali berserah daripada nasib untuk masa depan perdagangannya. Orang Tionghoa mengedepankan kejujuran, kemampuan, cepat dan berpegang pada janji dalam perdagangan. Jangan sekali-kali membuat pelanggan marah dan kecewa. Hati pelanggan harus dijaga. Bagi pedagang Tionghoa image terletak pada layanan dan pelayanan yang diberikan. Mereka tidak begitu mementingkan gaya dan cara berpakaian.

Perjalanan seribu batu dimulai dengan langkah pertama. Keberhasilan orang Tionghoa bukan disebabkan karena keahlian mereka dalam bidang perdagangan melainkan hasil kerja keras, kesungguhan, keberanian, keyakinan, perencanaan, keringat dan air mata serta pengorbanan yang turut melibatkan seluruh anggota keluarga.

Agresif tetapi konservatif selalu menjadi pegangan para pedagang Tionghoa. Orientasi dagang orang Tionghoa adalah kejujuran dan keikhlasan sebagai dasar keberhasilan yang terpenting, memiliki cita-cita tinggi dan impian untuk membangun kerajaan perdagangan, tidak mudah puas dengan keuntungan dan keberhasilan yang diperoleh, tidak boleh bersikap terburu-buru, harus berani mengambil resiko, dan tahu kapan waktunya maju dan kapan mundur.

Semakin banyak derma dan sumbangan yang dikeluarkan, semakin banyak keuntungan yang akan masuk ke dalam kantong. Orang Tionghoa rela menebalkan muka, menahan caci maki orang, dan hidup sederhana. Setiap sen yang diperoleh dari keringatnya sendiri digunakan dengan hati-hati. Uang dapat berkembang biak menjadi uang jika digunakan atau diinvestasikan kembali.

Agar keuntungan terus bertambah, sebagian dari keuntungan harus disalurkan kepada mereka yang memerlukan. Fakta singkatnya, dalam perdagangan harus ada nilai kemanusiaan, elemen kebaikan, dan tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Pedagang bukanlah tuan dari masyarakat. Pedagang adalah hamba yang melayani masyarakatnya.

Berdagang dan Berwawasan

Kesulitan, kepedihan, dan keletihan tidak pernah melemahkan pedagang yang berwawasan. Pedagang yang memiliki wawasan dapat melihat hal yang tersirat di balik sesuatu yang tersurat. Jawaban “cukup makan” yang sering dilontarkan pedagang Tionghoa membawa berbagai makna dan tafsiran. Cukup makan di sini berarti perdagangan itu menguntungkan. Susah cari makan berarti perdagangan itu menghadapi persaingan yang sengit.

Orang Tionghoa pandai berdagang bukan karena mereka terlahir sebagai bangsa Tionghoa. Orang Tionghoa terdiri dari berbagai suku dengan etnis, budaya, dialek, pekerjaan dan tempat tinggal yang tidak sama. Ada Hailam, Hokerin, Khek atau Hakka, Kantonese, Teochew, Foochow, Hockchew dan sebagainya. Setiap suku etnis Tionghoa memiliki kepandaian dagangnya tersendiri yang menjadi identitas mereka secara turun temurun.

Perdagangan itu menjadi warisan kebanggan dan simbol kekuasaan mereka dalam bidang ekonomi. Suku etnis Hailam misalnya, sering dihubungkan dengan warung kopi dan makanan nasi ayam. Orang Teochew dihubungkan dengan perdagangan menjual logam dan menangkap ikan. Orang Kantonese didapati banyak terlibat dalam pembangunan, sementara orang Hakkien dalam perdagangan ritel dan pakaian.

Berlian hanya akan berharga setelah digosok dan diubah dari bentuk aslinya. Dalam perdagangan, ada waktunya muncul dan tenggelam. Jika tenggelam, harus muncul kembali, jika jatuh harus bangun dengan kekuatan baru. Orang yang berdagang tidak boleh cerewet dan jika bisa, harus berusaha mempermudah urusan.