Sabtu, 12 September 2009

PROFIL DI ANTARA ULAMA BESAR PONTIANAK

Ismail al-Kalantani Mufti Pontianak Kharismatik
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Ulama wara yang dikenal luas sebagai Mufti Kesultanan Pontianak ini, dikenal dengan nama Ismail al-Kalantani Mufti Kesultanan Pontianak. Nama lengkapnya adalah Ismail bin Haji Abdul Majid bin Haji Abdul Qadir al-Kalantani. Dilahirkan di Kampung Labok, Macang, Kelantan. Mengenai tahun lahir dan wafatnya masih belum diperoleh data yang pasti dan tercatat secara resmi.
Ada pendapat menyebutkan bahwa Ismail Kelantan lahir pada 1293 Hijrah bersamaan 1876 Masehi. Sebuah sumber yang ditulis oleh Ismail Che' Daud menjelaskan pada catatannya bahwa ulama tersebut lahir pada awal 1300 Hijrah atau sekitar 1882 Masehi. Sedangkan mengenai wafatnya ada yang menyebutkan pada 1365 Hijrah atau bersamaan 1946 Masehi. Sedangkan penulis Ismail Che' Daud menyebut kemungkinan pada 1370 Hijrah atau dalam 1951 Masehi.
Ismail dan abangnya Muhammad Nuh, yang kemudian dikenal luas sebagai Haji Nuh Kaya, setelah memperoleh pendidikan dasar di Kelantan, melanjutkan pendidikan ke Mekah. Di Mekah, Ismail sempat mengikuti majelis pengajian Syeikh Ahmad al-Fathani, baik di rumah ulama besar itu maupun di Masjid al-Haram.
Ada pendapat menyebutkan Ismail Kelantan pulang ke Kelantan setelah berhaji pada 1325 Hijrah atau dalam 1908 Masehi, dan merupakan tahun wafatnya Syeikh Ahmad al-Fathani yang wafat 11 Zulhijjah 1325 Hijrah atau 18 Januari 1908 Masehi. Pendapat lain menuliskan Ismail tidak kembali ke Kelantan Fathani melainkan meneruskan pengajiannya kepada beberapa orang ulama besar Mekah, di antaranya kepada Saiyid Abdullah az-Zawawi (lahir 1266 Hijrah/1850 Masehi, wafat 1343 Hijrah/1924 Masehi), Syeikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah at-Tarmasi dan sejumlah ulama besar lainnya. Syeikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah at-Tarmasi berasal dari Termas (Jawa Timur) adalah seorang ulama besar Mazhab Syafii dan ahli dalam ilmu hadis. Ia mempunyai beberapa karangan yang ternama, antaranya Muhibah Zawin Nazhar sejumlah empat jilid.
Hubungan dekat Ismail Kelantan dengan Saiyid Abdullah az-Zawawi sejak ia belajar di Mekah, yang ketika itu Saiyid Abdullah az-Zawawi adalah seorang Mufti Mazhab Syafii di Mekah. Ketika pergolakan Wahhabi di Mekah, beberapa orang ulama tidak merasa aman tinggal di Mekah, termasuklah Saiyid Abdullah az-Zawawi. Haji Ismail Kelantan mengikuti sang gurunya Saiyid Abdullah az-Zawawi itu berhijrah dari Mekah ke Riau dan selanjutnya ke Pontianak.
Sewaktu Saiyid Abdullah az-Zawawi menjadi Mufti Kesultanan Pontianak, Ismail Kelantan terus bersama gurunya itu, belajar pelbagai bidang ilmu dengan tiada hentinya walau pun ilmu yang dikuasainya cukup banyak dan memadai. Dalam riwayat lain menyebut bahwa Ismail Kelantan pulang ke Kelantan lebih awal atau diperkirakan dalam 1325 Hijrah bersamaan 1908 Masehi, dan selanjutnya pergi ke Cam atau Kemboja.
Disebutkan bahwa Ismail Kelantan tidak sempat menamatkan ilmu falak yang dipelajarinya dari Syeikh Ahmad al-Fathani. Oleh itu setelah Syeikh Ahmad al-Fathani meninggal dunia, ia meneruskan pendidikan khusus tentang ilmu falak kepada Syeikh Muhammad Nur bin Muhammad bin Ismail al-Fathani. Ketika mempelajari ilmu falak kepada Syeikh Muhammad Nur al-Fathani, ia bersama Syeikh Haji Abu Bakar bin Haji Hasan Muar.
Tentang figur dan ketokohan Ismail Kelantan dalam ilmu falak dapat dibuktikan dalam karyanya dengan judul Pedoman Kesempurnaan Manusia. Mengutip cerita yang disitir Ustaz Abdur Rani Mahmud al-Yamani, semasa hidupnya saat sebagai Ketua Majlis Ulama Kalimantan Barat, bahwa Ismail Kelantan adalah orang pertama yang menyebarluaskan ilmu falak di Pontianak khususnya dan Kalimantan Barat umumnya.

MUFTI PONTIANAK
Selain bersama gurunya Saiyid Abdullah az-Zawawi di Pontianak, Ismail Kelantan pernah mengunjungi Syeikh Muhammad Yasin, seorang ulama yang berasal dari Kedah, yang tinggal di Kuala Secapah, Mempawah. Pada tahun kedatangan Ismail Kelantan ke Kuala Secapah, Mempawah itulah Syeikh Muhammad Yasin Kedah meninggal dunia. Ismail Kelantan juga mengunjungi Wan Nik, seorang ulama sufi yang berasal dari Patani. Ia ini juga menetap di Mempawah.
Dalam waktu yang relatif singkat, keulamaan Ismail Kelantan tersebar di sekitar Mempawah dan Pontianak. Oleh sebab itu Adam, seorang hartawan Bugis di Sungai Itik, Pontianak, yaitu seorang yang sangat haus akan ilmu pengetahuan, menjemput Ismail Kelantan untuk mengajar di rumahnya. Bukan itu saja, atas kehendak Adam dan Muminah binti Haji Muhammad Thahir, mereka menjodohkan anak perempuannya dengan Ismail Kelantan.
Perjodohan dengan anak Adam itu merupakan pernikahan Ismail Kelantan yang pertama di Pontianak. Detik-detik terakhir akan kepulangannya ke Kelantan, Ismail menikah lagi dengan Jamaliah yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Pernikahan kedua ini adalah atas kehendak dan perintah Sultan Syarif Muhammad al-Qadrie, Sultan Pontianak.
Dari sepucuk surat Ismail Kelantan kepada Syarif Muhammad bin Syarif Yusuf al-Qadrie, Sultan Pontianak, pada tarikh Pontianak 28 Februari 1924, dapatlah diketahui bahwa mulanya ia dilantik sebagai Naib Hakim di Rad Agama Pontianak sejak 12 Agustus 1920. Pada tarikh penulisan surat 28 Februari 1924, kedudukan Ismail Kelantan adalah sebagai Mufti di Kesultanan Pontianak.
Sewaktu Ismail Kelantan menjadi Mufti Kesultanan Pontianak, ada tiga orang ulama yang bernama Ismail. Dua orang lagi adalah Ismail bin Abdul Lathif yang lebih dikenali dengan Ismail Jabal dan Ismail bin Abdul Karim yang lebih dikenali sebagai Ismail Mundu. Ismail bin Abdul Lathif menjabat sebagai Adviseur Penasihat Rad Agama Kesultanan Pontianak. Dan Ismail bin Abdul Karim yang wafat Kamis, 15 Jumadilakhir 1376 Hijrah bersamaan 16 Januari 1957 adalah Mufti Kerajaan Kubu, sebuah kerajaan kecil di bawah naungan Kesultanan Pontianak.
Ketiga Ismail, atau tiga ulama tersebut sangat terkenal di dalam Kesultanan Pontianak. Bahkan namanya sangat dikenal di wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan lain di seantero Kalimantan atau Borneo. Ismail Kelantan pulang ke Kelantan sekitar 1937. Di Kota Bharu ia menjadi guru di Jami Merbau yang berstatus sebagai pendidikan tinggi Islam ketika itu. Murid-murid yang diterima di Jami Merbau adalah orang-orang yang telah mendapat pendidikan yang cukup memadai, yang datang dari seluruh Semenanjung dan Patani.
Selain mengajar di Jami Merbau, Ismail Kelantan juga menjadi guru dan imam di Istana Sultan Kelantan. Ismail Kelantan adalah hafiz al-Quran tiga puluh juz, fasih ketika berpidato sebagai seorang orator ulung dan fasih berkhutbah di atas mimbar. Kelebihannya itu pula dapat mempengaruhi dan membakar semangat pendengar. Dalam satu peristiwa keributan yang didalangi Bintang Tiga yang terjadi di Kota Bharu, Ismail Kelantan telah berpidato sehingga membakar semangat juang orang puak Melayu
Beberapa karya tulis yang ditinggalkannya, antara lain 1) Fatwa Daripada as-Saiyid Abdullah Ibnu Almarhum as-Saiyid Muhammad Shalih az-Zawawi Jawab Soal Dari Tanah Jawa, diselesaikan penulisan pada 25 Syawal 1330 Hijrah. Isinya mengenai ayat-ayat al-Quran dalam piring hitam. Diberi gantungan makna dalam bahasa Melayu dari karya asalnya yang ditulis dalam bahasa Arab, Rajab 1326 Hijrah. Dicetak dengan keinginan as-Saiyid Jafar bin Pangeran Syarif Abdur Rahman al-Qadri Pontianak. Dicetak di Mathba Haji Muhammad Said bin al-Marhum Haji Arsyad, No. 82 Arab Street Singapura, pada 25 Syawal 1330 Hijrah oleh Muhammad bin Haji Muhammad Sa'id, Basrah Street, No. 49 Singapura.
Karya berikutnya 2). Risalah Pada Bicara Jum'at dan Sembahyang Zhuhur Mu'adah, tanpa dinyatakan tahun selesai penulisan. Tarikh salinan 3 Rabiulawal 1345 Hijrah. Isinya pembahasan khilafiah mengenai sembahyang Jumat dan sembahyang Zuhur atau mu'adah.
3). Pedoman Kemuliaan Manusia, isinya membicarakan tentang berbagai ilmu, termasuk falakiyah. Cetakan yang pertama Mathba'ah al-Ma'arif, Kota Bharu, Kelantan. Taqriz atau pujian dari Tuan Guru Ahmad Mahir bin Haji Ismail Kemuning, Kadi Besar Negeri Kelantan yang ditulis pada 22 Januari 1938, Tuan Guru Nik Muhammad Adib bin Syeikh Muhammad Daud, Jawatan Tinggi Kadi Pelawat atau Pemeriksa Kadi-kadi Dalam Kelantan (ditulis pada 22 Nopember 1937), Tuan Guru Abdullah Tahir bin Ahmad, Guru Besar Ugama Dalam Kelantan dan Anggota Ulama Dalam Majlis Ugama Islam Kelantan yang ditulis 14 Zulkaedah 1356 Hijrah.
Sewaktu Ismail Kelantan pulang ke Kota Bharu, Kelantan, tiga orang anaknya dengan isteri pertama semuanya telah berumah tangga, ketiga-tiganya tidak ikut pulang ke Kelantan bersama ayah mereka. Anak-anaknya ada yang tinggal menetap di Parit Sungai Keluang, Peniti, Kecamatan Siantan, Kabupaten Pontianak. Anak pertamanya itu suaminya bernama Arif. Seorang anak Ismail Kelantan yang perempuan lainnya tinggal di Pontianak. Diyakini ketiga anak Ulama Ismail Kelantan melahirkan keturunan yang banyak di Pontianak atau pun telah berpindah ke tempat-tempat lainnya.
Dari sekian banyak murid Ulama Ismail Kelantan di Pontianak yang sangat terkemuka adalah Ustaz Abdur Rani Mahmud al-Yamani. Rani adalah ulama terkemuka yang semasa hidupnya menjadi tempat rujukan segala hal mengenai Islam bagi masyarakat umum dan pihak birokrasi di Kalimantan Barat.
Cerita-cerita yang dituturkan mengenai kelebihan atau keistimewaan Ulama Ismail Kelantan banyak dicatat Abdur Rani Mahmud semasa hidupnya. Menurut Abdur Rani Mahmud, salah satunya, Ismail Kelantan adalah orang pertama menyebarkan ilmu falak secara luas di Pontianak. Katanya dalam tulisnnya, ``Kemungkinan Haji Ismail Kelantan hafal Quran tiga puluh juz karena di mana saja beliau duduk, mulutnya sentiasa membaca ayat-ayat al-Quran. Tangannya senantiasa memegang tasbih. Kalau mengajar mata pelajaran apapun yang diajarkannya semuanya secara hafal walau pun kitab ada di depannya'', demikian tulis Abdur Rani Mahmud.

Abdul Rani Mahmud dan Keulamaannya
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Kesultanan Pontianak merupakan kesultanan termuda di Kalimantan Barat maupun kawasan Nusantara, bahkan di dunia internasional. Kesultanan ini dirintis dan didirikan oleh dinasti campuran antara Arab, Dayak, Melayu dan Bugis. Dikatakan termuda di dunia berdirinya, karena kesultanan yang berdiri pada 23 Oktober 1771 bersamaan 12 Rajab 1185 ini merupakan kesultanan yang terakhir dibangun dalam lintasan sejarah Kalimantan Barat. Dikatakan demikian, karena tidak ada kesultanan atau kerajaan lainnya, selain kesultanan ini, yang berdiri pada periode atau tarikh yang sama dengan atau lebih akhir maupun setelah tanggal kehadiran Kesultanan Pontianak.
Dari tahun ke tahun, daerah baru itu berubah jadi kawasan perdagangan. Enam tahun kemudian, Abdurrahman memproklamasikan berdirinya kerajaan Islam bernama Kesultanan Pontianak. Kerajaan Pontianak tumbuh dan berkembang melalui hubungan perkawinan, perang diplomasi sampai pada pelayaran dan perniagaan. Dari jaringan komunikasi itu timbullah proses integrasi di antara daerah-daerah dan unsur-unsur sosialnya dan menimbulkan aliran besar kultural yang membawa ideologi, sistem kepercayaan, sistem politik dan berbagai unsur kebudayaan lainnya. Kemudian supremasi politik dapat mencakup dalam kekuasaan dan sebaliknya penguasaan perdagangan dapat memperkuat kedudukan politik.
Perkenalan antar suku bangsa, terutama yang dilakukan para pendatang, memberi kemungkinan terbukanya komunikasi dalam pertukaran pengalamannya akan menjurus pada kesadaran tentang kesatuan dari suku bangsa seluruh tanah air. Para pedagang mendirikan perkampungan setelah mendapat izin dari sultan, sehingga banyak didirikan kampung yang berorientasi pada daerah atau negara dari pendatang tersebut berasal. Penduduk Pontianak secara tradisional yang berasal dari berbagai suku bangsa sejak lama melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan dan mampu mengembangkan diri dalam memajukan kegiatan perdagangan sehingga Pontianak tumbuh sebagai kota dagang.
Kesultanan Pontianak dikenal juga dengan nama Kesultanan Qadriah, mengingat peletak dasarnya dari dinasti Al Qadri. Pendiri kesultanan ini adalah Syarif Abdurrahman Al Qadri putra Sayyid Hussein Al Qadri atau Habib Hussein Al Qadri. Hussein (bin Habib Ahmad Al Qadri) adalah seorang ulama besar keturunan Sayyid dan penyiar agama Islam yang berasal dari kota kecil Trim Hadralmaut yang sekarang lebih dikenal dengan Yaman Selatan. Hussein adalah salah seorang penganut mazhab Syafii termasuk ulama tasawuf.
Keberhasilan Abdurrahman menemukan kawasan pemukiman yang sangat strategi dalam geografis yang aman dari bencana alam, tidak terlepas dari latar belakang budaya dan pendidikan non-formal ditambah dengan wawasan luas, pandangan strategis dan jiwa pionir yang dimilikinya. Tidaklah berlebihan kalau Abdurrahman disebut sebagai seorang yang ahli maritim dan ahli strategi.
Pontianak merupakan daerah yang strategis, membawa kemajuan dalam pelayaran dan perdagangan. Dengan kondisi yang demikian, kemudian banyak pedagang datang ke wilayah tersebut mengadakan hubungan dagang, seperti Bugis, Melayu, Cina, juga dari Sanggau, Sukadana, Landak, Sambas, Sebukit Rama dan hulu Kapuas. Dengan adanya jaminan Sultan Pontianak atas pelayaran dan perdagangan di kawasan Sungai Landak dan Sungai Kapuas Kecil, membuat lalu lintas perdagangan di Pontianak semakin ramai. Adanya jalur perdagangan yang dikuasai dan diatur oleh sultan sangat menguntungkan bagi kesultanan Pontianak.
Kota Pontianak dalam abad XIX tidak hanya merupakan pusat perdagangan. Tetapi juga menjadi pusat pemerintahan serta kemudahan niaga dan pelayaran. Merupakan faktor potensial munculnya perluasan kota. Faktor itu ditunjang pula fungsi Sungai Kapuas dan Landak sebagai jalan transportasi termudah yang menghubungkan daerah-daerah pedalaman sehingga muncul pemukiman-pemukiman yang letaknya di tepi sungai tersebut. Perkembangan Pontianak dengan sendirinya berjalan sejajar dengan kemajuan perdagangan, birokrasi, transportasi dan berbagai fasilitas pelayanan lainnya.
Pemukiman sultan dan keluarganya terdapat dalam Istana atau Keraton Qadriah, di luar keraton bermukim para kerabat kerajaan di wilayah Kampung Dalam Bugis dan Arab. Penataan penting lainnya dalam lingkungan kerajaan adalah bangunan Masjid Jami—di luar kompleks keraton—sebagai pusat pengembangan Islam, dan kompleks makam Sultan Pontianak yang terletak di pinggiran kota, Kelurahan Batu Layang sekarang.
Elemen yang turut membentuk struktur dan tata ruang Pontianak adalah pemukiman kaum pedagang yang letaknya di tepi Sungai Kapuas dan vertikal sebelah timur Keraton Qadriah, sebelumnya telah dibangun Kampung Bugis, Arab, Melayu dan Tambelan. Mereka membentuk perkampungan sendiri sesuai daerah asalnya. Kampung Banjar Serasan didirikan Haji Abdul Kahfi asal Banjarmasin pada 1846. Begitu pula didirikan Kampung Tambelan, Sampit, Saigon, Kamboja, Kuantan dan Bangka Belitung.
Di sekitar perkampungan pedagang didirikan pula Kampung Tambelan Sampit oleh kaum ulama. Dalam konteks penataan tersebut, keraton sebagai pusat kerajaan mempunyai hubungan erat dengan pedagang dan ulama, sehingga tercermin adanya jaminan keamanan bagi mereka. Faktor ini juga menyebabkan pedagang dan ulama termasuk dalam struktur sosial lebih tinggi dibanding golongan lainnya.
Dapat digambarkan bahwa kehidupan Kesultanan Pontianak mulai dari intra-muros dengan dikelilingi penduduk yang mengelompok membentuk mozaik, menurut kategori sosio-ekonomi dan sosio-kultural. Dalam lingkungan kerajaan terdapat Masjid Jami yang berfungsi majemuk, sosial dan keagamaan. Selanjutnya pemerintah kolonial Hindia Belanda mengembangkan Kota Pontianak di bagian selatan sesuai dengan kepentingannya. Pola tata ruang kota terbentuk unsur adanya Residentweg, Kantor Residentie dan benteng Fort du Bus terletak di seberang keraton yang dipisahkan oleh Sungai Kapuas untuk memisahkan sosio-kultural.
Di Kampung Tambelan sampit hidup sepasang suami istri Haji Mahmud bin Muhammad Arsyad dan Asiyah binti Husein. Kesehariannya hidup dengan sederhana. Mahmud lahir dan besar di kampung ini, leluhurnya yang menetap di Tambelan Sampit adalah para perantau samudera yang berasal dari Negeri Yaman di Hadramaut jazirah Arab. Bermula dengan leluhur bernama Ahmad bin Abdullah al-Yamani yang mengarungi samudera merantau ke Nusantara dengan mengawali muhibahnya menyinggahi Negeri Serambi Mekkah Aceh darussalam. Kemudian ia menuju utara Sumatera, di daerah pesisir kawasan itu di Pariaman.
Di negeri penghasil batubara itu, Ahmad berjodoh dengan gadis setempat. Buah pernikahan itu, turun temurun hingga tiga generasi berikutnya lahirlah seorang juriat yang belakangan dikenal sebagai Nakhoda Khidir. Khidirlah yang kemudian dianggap sebagai pelanjut sekaligus penebar asal muasal leluhur mereka yang pada akhirnya bertapak di Tambelan Sampit Pontianak.
Di kawasan Pontianak, Nakhoda Khidir ini mempersunting gadis setempat, seorang perempuan dari garis turunan sama yang bernama Secha Sadiyah binti Muhammad al-Yamani. Buah perjodohan keduanya dikaruniai seorang anak, Abdur Rahman. Rahman dalam hidupnya menikah dengan gadis setempat bernama Salamah yang menurunkan dua orang anak, Muhammad Arsuad dan Muhammad Ali.
Dalam tahun 1329 H, dua bersaudara Arsyad dan Ali menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Sekembali dari Makkah, Arsyad menikahi Aisyah binti Abdul Ghani, yang kemudian pasangan ini memperoleh lima orang anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Tiga anak lelaki mereka masing-masing Muhammad Makkah, Mahmud dan Umar. Makkah, si sulung hingga akhir hayatnya tidak dikaruniai keturunan, sedangkan Mahmud dikaruniai empat orang anak, masing-masing Abdul Rani, Sadiyah, Raudhah dan Jaurah. Sedangkan Umar dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Muhammad Yunus.
Adalah Abdul Rani putra sulung dari Mahmud, belakangan dikenal sebagai ulama besar Kalimantan Barat sebagai KH Syekh Abdul Rani Mahmud al-Yamani. Semasa kanak-kanak hingga usia belianya ia lebih dikenal oleh majlis taklimnya dengan sapaan Ustadz Derani. Ia dilahirkan seiring azan subuh menggema. Nama yang disandangnya baru diberikan kepada bayi mungil ini setelah berusia beberapa hari kemudian oleh kedua orang tuanya.
Di masa kanak-kanaknya, Derani telah menampakkan kesantunan. Ia tak seperti kebanyakan anak seusianya, ia jarang bermain-main. Sebaliknya waktunya banyak dihabiskan untuk mendapatkan pelajaran membaca dan menulis, terutama huruf al-Quran. Tentu sekali, Mahmud yang memberikan kesemua pelajaran itu kepadanya. Dengan demikian, Mahmud selain sebagai orang tua sekaligus juga sebagai guru bagi Derani kecil.
Selain pendidikan itu didapatkan dari ayahnya. Derani juga dituntun oleh sang kakek, Haji Muhammad Arsyad, termasuk pula pamannya sendiri Muhammad Makkah. Dari Makkah inilah Derani mendapatkan pengajaran mengenai pemikiran fiqh, tajjwid dan berbagai hal lainnya. Karena itu, sejak usia muda derani sudah nahu dalam bidang fiqh, dan ia pun fasih mendalami kitab serupa Tuhfa at-Athfaa (Ilmu Tajwid), Umm Barahiin (Ushuluddin), Safinah al Shalah, Safinah al Najah, al Ghayah wa at Taqrib, Dham, al Awam li al Jurjani dan lain sebagainya.
Di usia 12 tahun, selain telah fasih dengan ilmu Islam, orangtuanya memasukkan Derani ke sekolah umum, atau Sekolah Governemen di Pontianak. Masa sekolah di sekolah yang diawasi kolonial Belanda, 1923-1928, Derani mendapatkan tak sedikit pengetahuan umum, hingga ia dinyatakan lulus dari jenjang pendidikan tersebut.
Sementara pada pagi hari sibuk di sekolah gubernemen ini, pada sore harinya ia masih meneruskan untuk mendalami pelajaran agama Islam. Di malam harinya dimanfaatkan untuk mempelajari berbagai tradisi kesenian setempat yang berbau Islam, serupa maulid, barzanji, nazham, syarafal anam, hadrah masing-masing dengan gaya serta lagunya. Serta juga mempelajari japin dan gambus yang mengiringinya.
Menapak karir sebagai seorang pendidik, dimulai sejak 1939. dan profesi ini terus berlanjut, bahkan hingga usia senjanya kelak. Namun, sampai 1945, Abdul Rani menjadi guru pada Madrasah Al Raudhatul Islamiyah pada pagi dan siang hari. Sedangkan sore harinya ia tetap belajar di sekolah ini. Di sana ia menuntut ilmu pada seorang ul;ama terkemuka Kalimantan Barat, KHM Ali Usman Ketapang, sekalipun dari segi usia, Ali Usman jauh lebih muda dibanding Abdul Rani.
Oktober 1945, saat kaum republikein dan pemuda revolusioner di Pontianak bergelimang dengan perjuangan politis, Abdul Rani yang menjadi guru, menenmpati jabatannya sebagai Wakil Kepala Madrasah Al Raudhatul Islamiyan tersebut. Dan karena kemampuan profesinya dalam memimpin pula, sejak 1947 hingga 1950, Abdul Rani mengepalai madrasah itu.
Pada 1951 di saat awal pembentukan Kantor Urusan Agama Kabupaten Pontianak yang berkedudukan di Pontianak, Abdul Rani direkrut sebagai pegawai di sana oleh pimpinan kantor ini HM Akif. Pada kantor ini, Abdul Rani ditempatkan di Bagian Hukum Islam dalam struktural Kantor Urusan Agama Keresidenan Kalimantan Barat. Dan tentu saja, aktivitasnya sebagai guru agama Islam tetap ditekuninya. Itu berjalan pada malam hari.
Pada awal 1966, Abdul Rani mengajukan permohonan berhenti dengan hormat sebagai Pegawai negeri, di mana jabatan yang disandangnya ketika itu sebagai Kepala Bagian Kepenghuluan pada Kantor Uusan Agama Propinsi Kalimantan Barat. Itu dilakukannya karena Abdul Rani memandang tertutup kesempatan bagi dirinya untuk mengajar dan belajar dikarenakan kesibukan rutinitas jabatannya.
Akhirnya, dengan ketetapan hati dan istiqamah, dia pun menyatakan pengunduran dirinya itu. Lebih dari faktor yang ada ini, ia melihat kepentingan dan untuk kemaslahatan ummat jauh lebih penting, karenanya ia meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai.
Pasca normalnya kondisi ketatanegaraan Indonesia dengan kembalinya ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana rezim pemerintahan di bawah kendali Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi, seorang yang dikagumi Abdul Rani, ia menekuni dunia faedagogis. Ia sebagai salah seorang guru pada Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) pada 1951 sampai 1958. Dirinya merupakan salah seorang di antara pendiri sekolah itu. Untuk kurun selanjutnya, 1959-1962, ia menjabat sebagai Wakil Direktur SMIP tersebut.
Pada 1962, ia mulai mengajar pada Seklolah persiapan Institut Agama Islam Negeri (SPIAIN) di Pontianak, sebuah lembaga pendidikan formal yang kemudian menjadi Madrasah Aliyah negeri (MAN) Pontianak, sebuah sekolah yang juga dirintisnya. Pada 1965, di saat rupadaksa politik Indonesia memanas dengan ideologi Nasakom yang dipaksakan, Abdul rani tak bergeming dari kehidupan pendidikan dan pengajaran. Ia sampai pada ketika itu belum tertarik lagi untuk menerjuni dunia politik praktis. Meski, sampai saat itu dia dikenal sebagai sebagai seorang tokoh yang berwawasan Islam dan bersentuhan dengan dunia politik praktis dengan basis Islam Masyumi.
Karena itu pula, antara 1965 hingga 1968, Abdul Rani menjadi dosen pada Fakultas Talbiyah di Institut Agama Islam yang masih berstatus swasta. Cikal bakal STAIN ini pun dirintisnya pula bersama sejumlah pencinta pendidikan Islam lainnya di Pontianak.
Zaman berubah, rezim penguasa pun berganti. Pada 1966 merupakan awal kehadiran rezim pemerintaha Orde Baru, di mana penguasa di pusat menyeragamkan kehidupan berpolitik di tanah air. Dengan niat yang mulia, tentu saja dakwah lewat jalur yang dijalaninya ini, Abdul Rani menyanggupi saat dirinya direkrut untuk dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD GR) Kalimantan Barat dari unsur Karya Rohaniawan Muslim. Kelaknya, selama satu periode, 1966-1971, Abdul Rani duduk di dewan ini.
Selama bergelut di dunia politik, meski secara formal tak terikat pada salah satu partai politik praktis, namun selama lima tahun itu Abdul Rani tetap memperhatikan bidang pendidikan dan amal sosial yang menjadi latar belakangnya. Sejak 1968, di mana dirinya masih aktif di Dewan Legislatif Kalimantan Barat, Abdul rani menyempatkan waktunya sebagai Dosen Luar Biasa di Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cabang Pontianak.
Selama menekuni aktifitas yang dijalaninya, Abdul Rani menghasilkan sebuah karya monumental yang tetap dikenang dan dipergunakan sepanjang waktu. Itu adalah penyusunan Jadwal Waktu Sholat Sepanjang Masa untuk Kalimantan Barat. Belakangan karya besarnya itu, di samping sejumlah karya tulisan buah pemikirannya, telah memperoleh kekuatan hukum dengan terdaftar sebagai sebuah karya dengan Hak Cipta atas nama dirinya.
Sementara, karya-karyanya sebagian besar erat kaitannya dengan bidang Fiqh. Hal itu dikarenakan Abdul Rani sangat tertarik di bidang itu, tentu saja tanpa mengabaikan bidang keagamaan yang lainnya. Bidang Fiqh yang banyak dan luas didalamnia, adalah dengan mengkaji atau membaca kemudian mendalami Kitab-kitab Kuning atau Kitab Klasik yang erat hubungannya dengan Fiqh, apa yang didapatkannya kemudian disari dan diuraikannya ke dalam tulisan untuk seterusnya diajarkannya.
Abdul Rani rupanya mempunyai obsesi untuk terus mengembangkan pengetahuan. Ini setelah belajar di masa awal remajanya. Ia pun juga memilih belajar secara otodidak.
Sampai 1937, telah banyak organisasi Islam dibentuk, mulai dari SDI (SI), Muhammadiyah, NU sampai Jong Islamieten Bond (JIB). Tak terkecuali cabang-cabangnya di Kalimantan Barat, terutama di Pontianak. Keberadaan organisasi-organisasi Islam tersebut di satu sisi telah memperluas keterlibatan kaum muslim dalam pergerakan kebangsaan, tetapi, di sisi lain, pelbagai organisasi tersebut sering terjebak dalam pertentangan dan perbedaan paham sehingga memperlemah posisi umat Islam secara keseluruhan.
Menyadari bahwa bahaya keadaan ini, para tokoh Islam mulai menekankan pentingnya menyingkirkan perbedaan dan perlunya membina persatuan. KH Hasyim Asyari dalam Kongres NU di Kalimantan, 1935, memberi perhatian besar mengenai soal persatuan ini. Maka para tokoh organisasi Islam, seperti Mas Mansur dari Muhammadiyah, Mohammad Dachlan dan Wahab Chasbullah dari NU, dan W Wondoamiseno dari SI, yang semuanya berbasis di Surabaya, pada 21 September 1937 memprakarsai pembentukan wadah non-politik dengan nama jalis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bertujuan mendamaikan perbedaan dan pertikaian serta mewujudkan persatuan antarsesama umat Islam.
Pada saat itu, MIAI sebagai sebuah federasi non-politik, lebih banyak memberi perhatian pada isu-isu kegamaan, seperti terlihat dari kongres ke kongres. Karena kekecewaan panjang rakyat indonesia, termasuk di Pontianak Kalimantan Barat, terutama kalangan Islam, terhadap kolonialisme Belanda dan mungkin juga disebabkan ketidaktahuan mereka atas bahaya fasisme Jepang, rakyat Indonesia menaruh harapan besar kepada Jepang. Tapi ternyata sehari setelah penyerahan pemerintahan Belanda kepada jepang, pemerintah Jepang melarang semua organisasi dan rapat-rapat. Tak terkecuali di Pontianak, dan dirasakan serta dialami Abdul Rani.
Dengan demikian, MIAI, PSII, dan Partai Islam Indonesia (PII) di mana yang terakhir tempat Abdul rani bernaung, terpaksa dibubarkan pada Mei 1942. namun beberapa waktu kemudian kalangan Islam memperoleh tempat baik dalam kebijakan pemerintah Jepang. Di masa pendudukan militer Jepang di Kalimantan Barat, di mana pada 1944 Dai Nippon ini menghabisi satu generasi cendekia Kalimantan Barat, Abdul Rani dan segelintir pemuka Kalimantan Barat lain termasuk yang selamat dari maut itu. Bukan berarti tidak ada resiko. Abdul Rani di masa itu harus bergulat antara keyakinan dan tekanan fasis militer. Bersama dengan sejumlah tokoh lainnya, ia memilih aktif di Pemuda Muhammadiyah, sebuah organisasi yang bersuara keras menantang balatentara militer Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Kalimantan Barat yang telah kehilangan satu generasi terbaiknya selama masa pendudukan Jepang itu, segera dikuasai militer NICA yang membonceng Belanda. Dengan berbagai upaya, Belanda berupaya menguasai kembali Kalimantan Barat dan membentuknya sebagai Daerah Istimewa Kalimantan Barat, sebuah negara boneka di bawah pengaruh CO-NICA Belanda.
Menghadapi suasana politik demikian, para pemuda revolusioner dan kaum republikein di Pontianak, 1946, menghimpun diri ke dalam sebuah organisasi politik lokal, Gabungan Politik Indonesia (Gapi). Gapi bersifat non-kooperatif dan dengan tegas menantang NICA-Belanda, termasuk rezim pemerintah DIKB-nya. Abdul Rani terlibat di dalamnya, ia mewakili Perhimpunan Al Raudhatul Islamiyah, sebuah perhimpunan pemelihara dan penyantun madrasah.
Gapi sendiri menghadapi tekanan Belanda dan kaum kolaborator DIKB segera merubah haluan aktifitasnya. Setelah Gapi dibubarkan, 1947, dibentuklah Ishlah Baitil Maal, sebagai upaya mengalihkan perhatian dari ketegangan politik dewasa itu. Abdul Rani termasuk anggota pengurus di dalamnya bersama Ahmad Mawardi Djafar, Ibrahim Saleh, Muzani A Rani dan sejumlah kaum pergerakan dengan latar belakang Islam lainnya.
Ishlah Baitil Maal berjalan hingga 1949, di mana setelah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, lembaga ini membubarkan diri. Saat bersamaan, di Yogyakarta diselenggarakan Kongres Mulimin Indonesia yang dibuka ackting Presiden Indonesia Mr Assaat Sutan Mudo. Dari Kalimantan barat dihadiri utusan yang semula adalah para aktifis Ishlah Baitil Maal, antara lain Muzani A Rani, Yakob Mahmud, Ahmad Mawardi Djafar, Abdul Rani Mahmud dan beberapa tokoh lainnya. Pada saat kembali dari Yogyakarta inilah, Yakob Mahmud diberikan mandat untuk membentuk Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Di Pontianak, mandat pembentukan Masyumi itu segera diwujudkan Yakob mahmud, dengan merekrut sejumlah intelektual muda yang berpengaruh dan sehaluan. Di antaranya Muzani A Rani, Ya’ Umar Yasin, Ibrahim Saleh, Ahmad Mawardi Djafar serta Abdul Rani Mahmud sendiri. Saat itu, telah terbentuk Gerakan Pemuda Islam indonesia (GPII) yang dipimpin Ibrahim Saleh dan Ahmad Mawardi Djafar. Maka, Abdul Rani pun ditunjuk sebagai salah seorang unsur pengurus dan kemudian ditetapkan sebagai Ketua Majelis Syura Masyumi Kalimantan Barat.
Sebetulnya, Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta salah satu hasil terpentingnya adalah mencanangkan pembentukan masjid agung di semua kota di Indonesia. Namun, secara khusus Abdul Rani bersama rekan-rekannya yang menghadiri kongres tersebut, menangkap pula suatu peluang, untuk mendirikan atau membangun sebuah masjid raya di tengah Kota Pontianak. Itulah sebetulnya awal dirintisnya berdirinya bangunan megah Masjid Raya Mujahidin yang ada sekarang.
Keinginan membangun masjid ini dimulai dengan dibentuknya sebuah yayasan yang menaunginya. Maka, bersama-sama Ahmad Mawardi Djafar, Muzani A Rani dan sejumlah tokoh penting lainnya, dibentuklah sebuah yayasan dengan nama Yayasan Mujahidin. Pada ketika itu, Abdul Rani Mahmud termasuk salah seorang yang masih aktif di dalam kepengurusan wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat.
Sementara itu di saat bersamaan Abdul Rani juga duduk di dalam pucuk pimpinan Masyumi Kalimantan Barat bersama Ahmad Mawardi Djafar dan Muzani A Rani. Bagi Muhammadiyah apalagi bagi Masyumi, rangkap jabatan tidak menjadi persaoalan karena kelahiran Masyumi di antaranya berkat dukungan penuh Muhamamdiyah. Bagi Muhammadiyah, Masyumi bukan SI atau PSII atau PII yang pernah berseberangan dalam sejarah karena perbedaan sikap politik dalam mengjhadapi pemerintah kolonial di mana Muhammadiyah lebih memilih kooperatif sedang PSII mengambil langkah non-kooperatif. Keberadaan Muhammadiyah, tak terkecuali di Kalimantan Barat, menempuh kenyataan yang demikian.
Sangat mungkin ketika itu telah terbina sikap saling percaya di antara mereka.
Mulai 20 Desember 1949 sampai 6 September 1950 Indonesia berbentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 23 Agustus 1949. Negara RIS adalah federasi 15 negara kecil ciptaan Belanda seperti Negara Pasundan, negara Indonesia Timur, termasuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dan satu negara yang paling besar serta berpengaruh, yaitu Negara Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Pada saat negara Republik Indonesia, bagian dari RIS di Yogyakarta inilah, kehadiran Abdul Rani dan sejumlah utusan lainnya menghadiri Kongres Muslimin Indonesia tersebut.
Suasana politik pada 1950-an agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kalau sebelum tahun 1950, partai-partai yang terdiri dari pelbagai aliran dapat bekerja sama, misalnya kasus bersatunya PNI, Masyumi dan PKI dalam menolak perundingan Linggajati 15 Nopember 1946, maka hal itu tidak ditemukan lagi pada masa sesudahnya. Jangankan antara PKI dan Masyumi yang terus menjadi musuh berbuyutan, PNI-Masyumi juga semakin renggang. Bahkan, antarpartai Islam pun sering mengalami konflik. Ini diawali dengan keluarnya PSII dari Masyumi pada 1947. Demikian pula hubungan NU-Masyumi pasca 1950, mulai menghadapi persoalan serius.
Dapat dikatakan, termasuk kondisi politik di Kalimantan Barat yang dialami Abdul Rani, jika periode 1945-1950 adalah periode kesatuan dalam perjuangan, periode 1950-1955 adalah periode perebutan partai-partai dalam memperoleh kekuasaan. Pada tahun-tahun itu, kalangan NU yang memimpin Majelis Syura Masyumi mulai kecewa karena tidak lagi dilibatkan dalam pengambilan pelbagai keputusan penting partai, sehingga pertimbangan politik praktis lebih banyak daripada pertimbangan agama.
Pada masa-masa awal, Masyumi, ulama mendapat tempat mulia, tapi hal itu tidak lagi terjadi pasca 1950. Sebagaimana dikemukakan Idham Chalid setelah NU keluar dari Masyumi, para ulama sering tersinggung oleh ulah Masyumi yang memandang mereka sebelah mata. Akibat perasaan luka itulah, NU memutuskan keluar dari Masyumi. Kekecewaan mengenai pos menteri agama merupakan immediate cause penarikan NU dari Masyumi pada tanggal 5 April 1952 dan pembentukan sebagai partai politik. Demikian pula kenyataan yang ada di Kalimantan Barat.
Dengan perpecahan ini, Masyumi, meskipun di Kalimantan Barat sebagai pemenang kedua setelah Partai Dayak dalam pemilu 1955, Masyumi kolektif semakin tidak memiliki legitimasi untuk mengklaim satu-satunya partai Islam sebagaimana dicetuskan pada 1945. dengan demikian, polarisasi intern umat Islam semakin tak terelakkan. Menyaksikan kenyataan inilah, Abdul Rani sebagai aktifis Masyumi yang berlatar belakang Islam Tradisional, menyatakan non-aktif dari partainya, dan kemudian keluar dari Masyumi itu sendiri.
Apa yang dijadikan pertimbangannya keluar dari Masyumi, adalah hubungan antara Masyumi dan Muhammadiyah semakin solid, walaupun yang terakhir ini lebih berkonsentrasi pada pendidikan dan kegiatan sosial. Sedangkan, Abdul Rani merasakan dirinya lebih kental dengan garis kebijakan NU.
Dalam perkembangan selanjutnya, rezim pemerintah Orde Lama dengan politik Demokrasi Terpimpin-nya memaksa agar Masyumi membubarkan diri. Ketika itu, terjadi silang pendapat, di mana Masyumi Kalimantan Barat mengalami keterbelahan, sebagian menanggapi agar ultimatum Bung Karno membubarkan diri diikuti, dan sebagian melakukan penolakan. Ahmad Mawardi Djafar, M Ali Saidi, Asfia Mahyus termasuk yang bersuara keras menolak seruan itu.
Sementara itu, Abdul Rani memilih jalan tengah. Bung Karno menekankan perlunya mengubur partai-partai sambil menegaskan kembali perlunya Dewan Nasional yang akan dipimpinnya secara langsung. Sukarno memanggil para pemimpin partai, termasuk Masyumi untuk meminta pandangan mereka tentang gagasannya tersebut. Pada saat itu, Mohammad Natsir, Fakih Usman dan M Yunan Nasution, masing-masing ketua, wakil ketua III dan sekretaris umum Partai Masyumi, menyampaikan ketidaksetujuannya. Namun Sukarno terus bertindak.
Parlemen hasil pemilihan umum 1955 sampai Maret 1960 masih bekerja. Tetapi pada bulan itu, dibubarkan dan Presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Presiden tidak mengikutsertakan Masyumi. Malah karena beberapa tokoh utamanya pada 1958 membentuk Pemerintahan revolusioner republik Indonesia, Masyumi diminta membuktikan ketidakterlibatannya. Gagal dalam pembuktian itu, Bung Karno memerintahkan pembubarannya pada 17 Agustus 1960. Pada saat itu Prawoto Mangkusasmito menjabat sebagai ketuanya.
Abdul Rani adalah salah seorang tokoh utama Masyumi Kalimantan Barat yang memilih tak banyak terlibat praktis lagi di dalam politik Masyumi. Kepribadian Abdul Rani memang sederhana. Ia tidak banyak bicara. Dan akhirnya sampai pada keputusannya untuk keluar dari Masyumi. Meneruskan kiprah politiknya, pada 1962-1974 ia kembali ditetapkan sebagai Pengurus Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat, dan praktis duduk di dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang belakangan partai sebagai reinkarnasi Masyumi ini masuk jajaran Partai Persatuan Pembangunan. Di saat itu pula, 1978-1979, Abdul Rani duduk dalam Suriyah Jamiyah, selaku Wakil Ketua Nahdltul Ulama wilayah Kalimantan Barat.
Perjalanan karir Abdul Rani yang sarat dengan berbagai aktifitas itu menggambarkan kekayaan pengalaman yang dimilikinya, baik di bidang keagamaan maupun sosial

MUFTI ISMAIL MUNDU YANG LEGENDARIS
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Dari sebuah silsilah di Pontianak, Kalimantan Barat, menyatakan Haji Usman atau dikenal dengan Daeng Pagalak, datang ke Pontianak bersama seorang anaknya, Nakhoda Tuzu, dari negeri Bugis. Anak Haji Usman Daeng Pagalak ada enam orang. Anak yang ketiga bernama Haji Abdul Karim. Haji Abdul Karim memperoleh anak laki-laki empat orang. Anaknya yang sulung bernama Haji Ismail.
Ia ini oleh kalangan masyarakat luas lebih dikenal sebagai Mufti Haji Ismail Mundu atau Mufti Kubu. Anak Haji Abdul Karim bin Haji Usman yang kedua bernama Haji Umar. Anak Haji Umar bernama Haji Abdul Hamid. Anak Haji Abdul Hamid salah seorangnya adalah Ambok Pasir. Keturunan ini pada satu ketika dulu sangat terkenal di Singapura karena kerap menghadapi pertikaian dengan golongan samseng Cina di Singapura. Di zaman Jepang, Ambok Pasir adalah satu dari sejumlah besar cendekiawan Kalimantan Barat yang menjadi korban penyungkupan.
Disebutkan bahwa Haji Umar menikah sebanyak 12 kali. Dari pernikahannya Halimah Ragiak, ia memperoleh dua orang anak. Anaknya yang bernama Hajah Hafshah dinikahi Saiyid Ali bin Saiyid Abdullah az-Zawawi. Anak Saiyid Ali bin Saiyid Abdullah az-Zawawi yakni Saiyid Yusuf az-Zawawi pernah menjadi Mufti Kerajaan Terengganu, Malaysia.
Haji Ismail bin Haji Abdul Karim alias Haji Ismail Mundu memperoleh pendidikan awal dari kalangan ulama Bugis yang menetap di Kalimantan Barat. Kitab yang dipelajari adalah dalam bahasa Arab dan kitab tulisan Bugis dalam bahasa Bugis. Ia juga belajar dengan ulama Melayu yang menggunakan kata pengantar dalam bahasa Melayu. Pendidikan terakhir diraihnya di Mekah.
Baik sewaktu tinggal di Mekah maupun setelah pulang ke Kalimantan Barat, Haji Ismail bin Haji Abdul Karim selalu mendekati para ulama. Apabila berdampingan dengan ulama-ulama yang setaraf dengannya, atau bahkan yang lebih muda darinya, ia lebih suka mendengar apa yang dibicarakan orang. ia selalu mengelak dari sifat menonjolkan diri. Prinsipnya lebih baik diam daripada banyak bicara hanya menyalahkan orang lain. Ia lebih banyak berzikir daripada membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat.
Ilmu adalah nur (cahaya) kepada Haji Ismail. Ilmu adalah suatu yang semerbak mewangi. Cahaya dan wangian pasti akan lahir juga, kedua-duanya tiada kekal dalam pertapaannya. Oleh itu Haji Ismail Mundu walaupun ia tidak suka menonjolkan diri namun ia akan tetap menonjol, terangkat tinggi dengan sendirinya. Setelah ia pulang dari Mekah, ia dilantik menjadi Mufti di Kerajaan Kubu, salah satu kerajaan di Kalimantan Barat. Pada waktu yang bersamaan di Kesultanan Pontianak ada pula tiga tokoh ulama besar yang bernama Ismail. Dua orang lagi adalah Haji Ismail bin Abdul Lathif lebih dikenali dengan sebutan Haji Ismail Jabal sebagai Penasihat Agama Kesultanan Pontianak dan yang seorang lagi adalah Haji Ismail bin Abdul Majid yang berasal dari Kelantan. Haji Ismail bin Abdul Majid Kelantan kemudian dilantik sebagai Mufti Kesultanan Pontianak. Haji Ismail Kelantan adalah ulama yang termuda antara mereka.
Selain tiga orang ulama tersebut, pada masa yang sama, berdasarkan surat tarikh Pontianak, Kamis, 13 Februari 1936 M bersamaan 20 Zulhijjah 1354 H, tokoh-tokoh tertinggi yang menangani urusan Islam dalam Kesultanan Pontianak dan kerajaan-kerajaan lain di bawah pengawasannya ada yang dinamakan Seri Paduka Hakim yaitu Seri Paduka Yang Maha Mulia Duli Tuanku Sultan Saiyid asy-Syarif Muhammad al-Qadri. Di bawahnya ada Sekretaris Luar Biasa yang disandang oleh Paduka Pangeran Adi Pati Anom Seri Maharaja Syarif Osman al-Qadri.
Selain itu ada yang dinamakan Naibul Hakim yang disandang oleh Syarif Abdullah bin Ahmad Saqaf. Di bawahnya ada jawatan yang dinamakan Lid Tiga Orang. Ia disandang oleh Syarif Abdullah bin Ahmad Saqaf, Syarif Osman bin Pangeran Aria dan Syeikh Muhammad bin Abdullah Habsyi. Terakhir sekali dinamakan Adviseur Penasihat. Mereka yang menyandang kedudukan ini ada dua orang masing-masing Saiyid Muhammad bin Shalih bin Syihab dan Haji Ismail bin Haji Abdul Lathif. Memperhatikan susunan kedudukan ini Haji Ismail bin Haji Abdul Lathif adalah sahabat terdekat Haji Ismail bin Abdul Karim, Mufti Kubu, yang bukan dari kalangan Saiyid.
Haji Ismail bin Abdul Karim alias Haji Ismail Mundu wafat pada Kamis, 15 Jumadil Akhir 1376 H bersamaan 16 Januari 1957 M. sekalipun ia telah lama meninggal dunia, namun hingga tahun 1980-an atau bahkan sampai belakangan terakhir nama Haji Ismail Mundu masih sering disebut-sebut oleh masyarakat luas, bahkan hingga kalangan puak Melayu dan Bugis di Tanah Semenanjung Malaysia.
Mufti Haji Ismail Mundu adalah seorang ulama yang wara. Lapisan masyarakat luas manapun yang memerlukan dirinya untuk menyelesaikan sesuatu permasalahan, baik pribadi atau untuk kepentingan umum, semuanya dilayani olehnya dengan ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu. Kenyataannya, tidak ada masalah yang tak dapat diatasinya, walau masalah besar sekalipun. Haji Ismail Mundu mengutamakan anjuran agar seseorang bermasalah untuk terlebih dulu beristighfar, memohon ampunan Allah sebanyak mungkin atau dalam jumlah yang tertentu.
Sesudah itu ia menyuruh mereka beramal sendiri dengan amalan-amalan wirid yang disunnahkan Nabi Muhammad saw, para sahabat, para Wali Allah dan amalan para ulama. Apabila cukup syarat mengerjakan amal dan ikhlas hati, menurutnya pula, maka doa orang itu akan dikabulkan Allah dan semua masalah yang dihadapi akan dapat diatasi.
Di antara buah karya Haji Ismail bin Haji Abdul Karim yang dihasilkannya dan cukup mengemuka adalah Kumpulan Wirid, yang diselesaikan penulisannya pada 1 Muharam 1349 H. Uraiannya membahas wirid untuk keselamatan dunia dan akhirat. Dalam naskah tersebut dinyatakan apabila hendak beramal maka terlebih dulu perlu membaca al-Fatihah kepada Nabi Muhammad saw. Selanjutnya al-Fatihah kepada zuriat Nabi Muhammad saw. Hingga disebutkan pula untuk Habib Ahmad bin Isa al-Muhajir, dan Habib Muhammad bin Ali Ba Alawi. Naskah ini atau manuskrip aslinya diwarisi salah seorang muridnya, Haji Ahmad Tata Pantas, di Pontianak.
Karya lainnya adalah Kitab Mukhtashar ‘Aqaid, yang diselesaikan penulisannya di Teluk Pak Kedai, Jumat, pukul 5 senja hari, 18 Rejab 1351 H. Isinya merupakan pelajaran ilmu akidah untuk hafalan anak-anak, dicetak oleh Annashar & Co, di Pontianak, sebuah percetakan yang pernah dipimpin oleh Ismail Osman.
Selanjutnya karya berikutnya adalah Jadwal Hukmin Nikah atau Jadwal Nikah Soal-Jawab, yang diselesaikan penulisannya pada Selasa, 15 Muharam 1355 H. Buah karyanya ini dicetak oleh Kantor Tulis dan Toko Kitab as-Saiyid Ali Al-‘Aidrus, Kramat Nomor 38 Batavia Centrum. Tetapi pada mukadimah cetakan Mathba’ah al-Islamiyah, Victoria Street, Singapura, Mufti Haji Ismail Mundu menulis, “…Maka tatkala adalah tahun seribu tiga ratus lima puluh tujuh daripada hijrah Nabi... (1357 H/1938 M, Pen:) bergeraklah hati saya dan cenderunglah fikiran saya bahawa hendak memungut akan beberapa masalah soal jawab pada bicara hukum nikah....”
Risalah ini diberi kata pendahuluan oleh Muhammad Ahmad az-Zawawi, “Kata Akuan” oleh Mufti Kerajaan Johor ‘Alwi bin Thahir bin ‘Abdullah al-Haddad al-‘Alawi dan “Kata Pujian” oleh Ketua Kadi-Kadi Singapura, ‘Abbas bin Muhammad Thaha, Pejabat Qadhil Qudhah, Singapura, 7 Rabi’uts Tsani 1358 H. Uraian isinya disebut oleh Muhammad Ahmad az-Zawawi pada kata pendahuluannya yang bertindak selaku waris Mufti Haji Ismail Mundu, bahwa “… diterbitkan kitab ini supaya menjadi pedoman bagi sesiapa yang hendak mengetahui hukum-hukum agama dalam perkara nikah, talak, rujuk, fasakh, edah, dan lain-lain. Sekira-kira memberi faham dan faedah soal jawab dan jadual yang tersusun dengan peraturan yang mudah dengan tuturan bahasa Melayu, supaya diketahui dengan tiada guru buat dibaca oleh penuntut penuntut ilmu dan yang sudah kahwin. Dan juga bagi mereka yang akan kahwin laki-laki dan perempuan. Dan kitab ini telah ditashhihkan dan diakui oleh Tuan Mufti Kerajaan Johor dan pujian oleh Ketua Kadi-Kadi Singapura.”
Sungguhpun Risalah Jadwal Nikah Soal-Jawab merupakan risalah yang tak terlampau tebal, namun terdapat juga pemikiran ulama besar ini tentang kedudukan sosial masyarakat dikaitkan dengan hukum kufu. Pada zaman materialistik seperti sekarang ini tentu banyak dibicarakan tentang kesenjangan yang terjadi, hingga juga menyangkut masalah sosial dikaitkan dengan perjodohan seseorang.
Di dalam kitabnya itu, Haji Ismail Mundu menyatakan, “…Maka nyatalah daripadanya bahawasa kaya itu tiada ia dibilangkan daripada segala perkara kufu. Oleh kerana harta itu pergi datang, tiada mengambil kemegahan dengan dia segala mereka yang mempunyai perangai dan mempunyai mata hati. Maka oleh kerana inilah sekufu laki-laki yang papa dengan perempuan yang kaya.”
Di dalam kitab tipis itu, juga digariskannya, bahwa masyarakat umum kebanyakan hanya mengetahui dua jenis wali nikah, yaitu wali aqrab dan wali hakim, namun dalam risalah ini dibicarakan pula olehnya tentang ‘wali tahkim’. “Wali tahkim adalah tidak sama dengan wali hakim”, tegasnya. Mufti Haji Ismail Mundu menyebut “…Bahwa syarat harus bertahkim ada tiga perkara iaitu pertama, ketiadaan wali; kedua, ketiadaan hakim (maksudnya wali hakim, Pen) di negeri itu; dan ketiga, laki-laki yang dijadikan wali tahkim itu adil”.
Selanjutnya Mufti Haji Ismail Mundu menambah keterangannya bahwa “… Tiada wajib perempuan dan laki-laki yang berkehendak nikah itu hadir kedua-duanya di hadapan orang yang adil itu. Ini atas qaul Ibnu Hajar dalam Tuhfah....”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar