MEMAHAMI KEPRIBADIAN ORANG JAWA
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Untuk dapat memahami orang Jawa, orang harus mempelajari orang Jawa itu sendiri dan dari sudut budaya pertanian dan militer. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipungkiri sangat berpengaruh dalam membentuk karakter orang Jawa dari masa kecilnya sampai ia meraih puncak kehidupan ataupun karirnya. Yang disebut orang Jawa adalah mereka yang berbahasa ibu bahasa Jawa dan yang nenek moyangnya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang Jawa pada umumnya membagi diri mereka ke dalam tiga kelompok sosial: wong cilik atau kaum miskin di mana sebagian besar dari mereka petani, yang sebagian dari mereka hidup di kota dengan mengandalkan pendapatan minimum, priyayi yaitu para birokrat dan cendekiawan, dan kelompok bangsawan atau ndara.
Orang Jawa tradisional sangat percaya pada kekuatan-kekuatan spiritual dan ritual keagamaan. Sebelum panen, melakukan perjalanan jauh, setelah menerima promosi dan pada setiap kesempatan, orang Jawa akan menyerahkan sesajen ketika menginginkan dan menerima kebahagiaan kosmik. Mereka akan berkonsultasi dengan kitab primbon untuk memilih waktu dan tempat yang terbaik untuk melaksanakan acara-acara penting. Bahkan para raja, ratu, atau petinggi yang berasal dari Jawa tidak akan merasa senang melakukan perubahan yang tidak sesuai dengan apa yang sudah ditentukan oleh primbon.
Orang Jawa juga percaya bahwa legenda memainkan peran penting dalam mendidik dan mengembangkan pikiran anak muda. Pementasan wayang dengan cerita yang diambil dari cerita-cerita epik Hindu Ramayana dan Mahabharata menyampaikan nilai-nilai pemandu kehidupan kepada penontonnya. Mempelajari wayang merupakan hal yang penting apabila ingin memahami orang Jawa secara lebih mendalam.
Bagi seorang Jawa, seorang pemimpin harus alus atau berbudi halus, elegan, bertutur-kata lembut, sopan, mudah beradaptasi dan sensitif, dengan kekuatan dari dalam sehingga mampu memberi perintah secara tidak langsung dan sopan, yang di permukaan tampak seperti merendahkan diri. Emosi-emosi seperti kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, kemarahan, penyerahan, harapan dan rasa kasihan tidak seharusnya diperlihatkan di depan umum.
Ketegangan pribadi dan sosial, konflik dan konfrontasi dengan sangat hati-hati akan dihindari oleh orang Jawa yang menganggap kerukunan atau keharmonisan sebagai sifat yang sangat penting. Hidup dalam harmoni berarti hidup dalam permufakatan, dalam kedamaian dan ketenangan tanpa konflik dan pertentangan atau bersatu agar masyarakat dapat saling tolong menolong satu sama lain.
Orang Jawa kelihatannya tidak dapat membayangkan konsep alam semesta tanpa adanya Yang Maha Kuasa. Meskipun sejumlah orang tertentu menganut atau terpengaruh oleh Hinayana, kebanyakan orang memerlukan adanya akar dari mana asalnya, sehingga timbullah pengakuan mereka terhadap sesuatu yang bersifat kedewaan. Unsur-unsur pandangan hidup tradisional Jawa yang sudah terpengaruh oleh kebudayaan India tercermin perbedaannya, dalam berbagai macam struktur sosial.
Di satu pihak, orang Jawa mengakui hubungan antara status seseorangdengan tugasnya dan kewajiban orang dari berbagai status sosialnya. Di pihak lain mengatakan bahwa orang bebas melakukan apa yang diinginkan, tetapi harus bertanggung jawab pada akibat perbuatannya, sama dengan kebudayaan Jawa yang mengakui bahwa penderitaan adalah konsekuensi dari perbuatan sendiri.
Hampir setiap orang Jawa percaya pada karma karena mereka punya konsep yang berbunyi, sapa nandur ngundhuh wohe kang tinandur. Ini berarti, orang yang menanam biji atau benih akan menuai hasil tanamannya. Pengertian karma orang Jawa didasarkan pada perbuatan sendiri dan perbuatan orang yang menurunkannya. Perubahan kelakuan seseorang dan perbedaan lingkungan hidup dapat mengubah karma seseorang karena apa yang dilakukannya selama hidupnya akan menentukannya, meskipun sispa orang itu, turunan siapa dia, juga harus dipertimbangkan. Paduan pandangan hidup orang Jawa ini dan sisa-sisa dari pengaruh tradisi kebudayaan India lainnya diperagakan dalam lakon-lakon pertunjukkan wayang kulit.
Wayang ini adalah salah satu bentuk drama dan teater yang paling rumit dan halus, yang secara terus menerus dikembangkan oleh satu generasi dan diteruskan oleh generasi berikutnya.
Pandangan wayang terhadap hidup seperti yang digambarkan melalui cerita-cerita wayang, adalah pandangan yang merupakan paduan unsur lokal dan unsur pinjaman. Sebagai misal, orang Jawa percaya bahwa para ksatrya, misalnya Arjuna, lahir sebagai orang Jawa. Tempat-tempat seperti Kurusetra, medan perang yang terkenal itu, dan Mahameru, tempat kediaman para dewa, keduanya terletak di tanah Jawa. Adegan istana dalam suatu lakon menampilkan denah dan suatu kraton Jawa pada abad XIX yang sesungguhnya dengan tepat.
Ada beberapa ratus cerita wayang kulit yang disebut lakon. Lakon ini terbagi menjadi empat siklus, yang setiap siklusnya berputar di sekitar sekelompok tokoh tertentu yang tersendiri. Pertama, siklus animistik dari legenda prasejarah tentang dewa, danawa atau raksasa. Siklus ini terdiri dari tujuh lakon. Ini mengungkapkan kepercayaan animistik seperti yang diceritakan dalam lakon Ruwatan misalnya. Pementasan ini bertujuan meruwat Bathara Kala. Kedua, siklus Arjuna Sasrabahu, terdiri dari lima lakon. Yang ketiga, siklus Rama. Ada delapan belas lakon di dalam siklus Rama ini.
Yang keempat adalah siklus Pendawa yang mencakup sejumlah seratus empat puluh tujuh cerita. Kalau digabungkan, cerita di dalam keempat siklus itu merupakan khazanah dramatis kuna atau purwa. Oleh karena itu, wayang kulit juga terkenal dengan nama wayang purwa. Lakon dalam siklus Pendawa jauh lebih banyak dibandingkan dengan cerita dlam siklus lainnya. Cerita dalam siklus Pendawa menjadi inti dari khazanah lakon wayang kulit. Bagan yang diberikan menunjukkan bahwa siklus Pendawa, dan berakhir dengan generasi Parikesit yang katanya ayah dari raja pertama yang secara historis memerintah Jawa.
Para Pendawa dan para Kurawa serta guru mereka, Durna, penasihat Pendawa, Kresna sepupu Pendawa sendiri, serta para punakawan Pendawa dan tokoh wayang lainnya, menetapkan seara formal cita-cita orang Jawa dalam pembentukan watak dan strategi untuk menjalani hidup mereka. Cerita wayang utama yang disebut lakon pokok, bagian dari siklus Pendawa, jumlahnya lima puluh tiga. Cerita-cerita ini berlatar belakang epik India yang disebut Mahabharata. Sebagai tambahan, ada banyak episode yang dikenal sebagai lakon carangan dan sempalan yang direkayasa oleh dalang. Lakon carangan dan sempalan ini adalah bagian cerita wayang yang paling penting dan populer di antara orang Jawa.
Pada pokoknya lakon ini menceritakan Pendawa yang sedang berkuasa di kerajaan Amarta dan para punakawannya. Sembilan puluh empat dari 147 cerita dalam siklus Pendawa termasuk kategori cerita carangan dan sempalan. Di antara lakon carangan dan sempalan ini, sebagian mencurahkan perhatian pada perbuatan dan petualangan para punakawan: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Meskipun pada satu pihak Semar seorang abdi, orang Jawa juga yakin bahwa dia dewa mangejawantah atau yang menjelma berupa manusia, dan lebih kuat dari raja para dewa. Justru karena dia punya kekuatan dan peringkat seperti itu, aneh rasanya kalau kewajibannya, bertindak sebagai pembantu. Semar dapat melaksanakan kewajibannya paling efektif kalau dia berperan seperti itu.
Adalah jelas, bagi masyarakat Jawa, wayang memiliki tempat istimewa, bukan saja sebagai hiburan tetapi juga sebagai cermin kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa seperti tercermin dalam cerita-cerita wayang merupakan campuran dari berbagai mitos serta dongeng Jawa, dan epik India. Dengan demikian, secara historis Jawa sebenarnya memiliki hubungan dengan berbagai bangsa dari banyak negara lain, terutama India dan Cina sejak awal era Masehi, bahkan jauh sebelum Masehi.
Bentuk wayang yang paling populer di Jawa adalah wayang kulit, di mana dipakai wayang-wayang yang terukir indah dari kulit dan lakon-laoknnya dimabil dari lingkaran klasik wayang purwa. Wayang-wayang itu digerakkan oleh seorang dalang di depan layar putih yang disinari blencong atau lampu, sehingga bayanganwayang-wayang itu dilemparkan pada layar. Para penonton duduk di kedua sisi layar, jadi mereka bisa memilih apakah mau melihat bayang-bayang atau boneka-boneka berwarna sendiri.
Lakon-lakon wayang purwa diambil dari empat siklus yang bahannnya sebagian besar berasal dari India, mitos-mitos masa permulaan kosmos yang mengenai dewa, raksasa, dan manusia pada permulaan zaman. Siklus Arjuna Sasrabahu yang memuat pendahuluan epos Ramayana. Siklus Ramayana, dan siklus Mahabharata. Di kalangan Jawa siklus Mahabharata-lah yang paling populer.
Pertunjukan wayang purwa diadakan pada pelbagai kesempatan sosial atau kerumahtangaan untuk menjamin agar segala sesuatu berjalan dengan baik dan untuk mencegah pelbagai bahaya, begitu pula pada hari-hari besar kehidupan. Dalam wayang, penonton bertemu dengan sejumlah besar pribadi yang beraneka macam. Ada dewa dan ada brahmana, ada ksatrya, raksasa (buta) dan punakawan. Kebanyakan berpihak pada salah satu dari dua kamp yang saling berperang. Dalam Ramayana, kamp Rama melawan kamp Rahwana, dalam Mahabharata kelima kakak beradik Pendawa dan kawan-kawannnya melawan ke 99 kaka beradik Kurawa. Setiap pangkat mempunyai norma-norma kelakuannya sendiri, tetapi masing-masing wayang pun mempunyai nasibnya sendiri yang ditentukan oleh para dewa.
Apabila setiap wayang memenuhi tugasnya, tatanan seluruh alam semesta dan masyarakat terpelihara. Pada wayang-wayang itu, pada tindakan dan nasib masing-masing, orang Jawa dapat memahami makna kehidupan. Di sinilah, terjadi proses penyerapan budaya (akulturasi) asing.
Minggu, 13 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar