Minggu, 13 September 2009

WAYANG DAN MODEL HIDUP ORANG JAWA

Wayang dan Model Hidup Jawa
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Salah satu ciri khas wayang ialah bahwa lakon-lakon itu penuh dengan masalah yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan moral. Begitu misalnya Salya mendengar bahwa mempelainya yang tercinta, Satyawati, adalah anak raksasa Bagaspati. Padahal menurut tata krama ksatrya, seorang ksatrya tidak boleh berkeluarga dengan raksasa. Perkawinan hanya bisa berlangsung apabila Bagaspati dibunuh sebelumnya. Demi kebahagiaan anaknya Bagaspati sendiri menyuruh Salya untuk membunuhnya.

Salya mengetahui bahwa dengan demikian pun ia melanggar kode etika ksatrya. Ia membunuh Bagaspati yang sebelum meninggal mengutuk Salya agar mati dengan cara kekerasan. Sebagaimana dikatakan problema moral kisah ini menimbulkan banyak pertanyaan yang sulit dijawab bagi para penonton atau banyak pihak. Apakah Satyawati seharusnya berpihak pada ayahnya? Apabila Bagaspati mau mengorbankan diri, mengapa ia mengutuk Salya? Siapa sebetulnya ksatrya yang sebenarnya?

Suatu konflik prinsipil muncul dalam Ramayana maupun Mahabharata. Dalam Ramayana, Kumbakarna dan Wibisana tidak menyetujui kelakuan kaka mereka, Rahwana, yang telah menculik Sinta, istri Rama. Namun mereka menarik kesimpulan yang berbeda-beda. Wibisana yang lebih muda merasa berkewajiban untuk berjuang di pihak keadilan, oleh karena itu ia menyeberang ke balatentara Rama. Rupa-rupa sikapnya itu dinilai sebagai tepat, ia dianggap seorang ksatrya utama. Sedangkan Kumbakarna merasa berkewajiban untuk tetap setia terhadap kakak dan rajanya yang jahat itu dan untuk membela tanah air, walaupun diketahuinya bahwa Rama merupakan penjelmaan Wisnu dan oleh karena itu akan menang dalam perang.

Ia memakai pakaian putih seperti pada upacara kematian dan memasuki medan perang di mana ia tewas sesudah bertempur dengan hebat. Rupa lahiriah Kumbakarna adalah bagaikan raksasa yang sangat menjijikkan, berbeda dengan Wibisana yang berupa halus, namun ia termasuk wayang yang paling dicintai dan tragika kematiannya sangat mengharukan. Siapakah yang benar, Wibisana atau Kumbakarna?

Konflik yang sama terdapat juga dalam perang Bratayuda yang merupakan puncak epos Mahabharata, walaupun tidak begitu menonjol. Orang yang bersangkutan di sini adalah Sanjaya dan Karna. Adipati Karna sebenarnya kakak seibu dengan Arjuna, tetapi karena Prabu Suyudana, raja para Kurawa, memberi Kerajaan Awangga kepadanya, Karna merasa berhutang budi, dan ia berpihak pada para Kurawa yang akan tewas semua. Kresna, sahabat dan penasehat agung para Pendawa dan penjelmaan Wisnu, mencoba untuk menyakini Karna agar memihak pada pihak Pendawa. Namun berdasarkan hutang budinya yang luhur. Sedangkan Sanjaya memihak pada Pendawa berdasarkan keyakinannya bahwa ksatrya yang baik harus membela yang baik dan benar. Sanjaya dan Karna membela prinsip-prinsip yang berlawanan. Dua-duanya mati dalam perang besar.

Masalahnya bukan bagaimana seharusnya konflik antara dua prinsip itu dipecahkan. Melainkan yang harus dipertanyakan ialah manakah kerangka acuan konflik ini dalam etika Jawa. Dengan kata lain, apakah dalam etika Jawa konflik ini dapat dipecahkan secara prinsipil dan bukan hanya secara praktis. Untuk itu harus melihat dengan lebih teliti pertentangan antara Pendawa dan Kurawa, kedua belah faksi Mahabharata yang saling bermusuhan.

Dalam siklus Ramayana di Jawa tidak begitu sering diperlihatkan, dan secara etis nampaknya lebih sederhana, tidak dapat diragukan bahwa Rama sebagai penjelmaan Wisnu merupakan pihak yang baik yang menderita ketidakadilan, sedangkan Rahwana merupakan penjelmaan kejahatan moral dan kecuali itu ia bersalah karena membajak Sinta. Namun pandangan dunia Jawa lebih ditentukan oleh Mahabharata. Pertentangan antara dua-duanya sendiri tidak sedemikian pasti.

Walaupun dalam Mahabharata para Pendawa adalah pihak yang uhur dan para Kurawa di pihak yang tidak baik, namun mereka tidak boleh begitu saja diidentifikasikan dengan yang baik dan yang jahat. Para Kurawa tidak dikritik seakan-akan mereka itu seluruhnya salah. namun para Kurawa kurang dapat membawa diri sebagai ksatrya yang baik dan hal itu merupakan pertanda yang buruk, mereka itu rakus dan haus kuasa, tak dapat mengontrol diri dan kasar dalam pergaulan, mereka nampaknya buta terhadap alamat-alamat nasib.

Namun sebagaimana diperlihatkan, para Pendawa pun tidak di atas segala kritik. Prabu Yudhistira, Pendawa yang tertua, menguasai diri secara sempurna, mahir bersemadi dan berbudi luhur sehingga darahnya putih, tetapi ia tidak dapat menolak sesuatu dan karena menerima tantangan untuk main dadu, mencelakakan diri dan adik-adiknya. Bima, saudara kedua Pendawa yang menakutkan, yang menyobek-nyobek tubuh lawan-lawannya dengan kuku keramatnya, Pancanaka, adalah lurus hatinya, setia, sederhana, dan jujur, tetapi sekaligus kasar dan haus darah, dan justru karena sifat-sifat itu kadang-kadang membawa masalah bagi saudara-saudaranya.

Arjuna, saudara Pendawa yang paling dicintai, adalah seorang ksatrya yang tidak dapat dikalahkan, pelindung mereka yang lemah, halus seperti seorang putri, tetapi tidak mengenal belas kasihan dan bersedia membunuh tanpa ragu-ragu berdasarkan kesadaran akan kewajibannya. Kresna, sahabat kuasa para Pendawa dan penjelmaan Wisnu, bersedia untuk menipu dan untuk melanggar etika perjuangan ksatrya apabila itu perlu demi kemenangan para Pendawa, tipuan terhadap Durna, pemukulan paha Suyudana oleh Bima, dan lain sebagainya. Karena itu sesuai dengan kehendak para dewa untuk menghancurkan para Kurawa, dan karena dia sendiri seorang dewa dan riwayat hidupnya berakhir secara mengerikan.

Suatu kelakuan yang di pihak Kurawa akan dinilai sebagai tanda kepalsuan, misalnya apabila mereka mengutus Bima untuk mencari air hidup dengan maksud untuk membinasakannya, diterima dari Kresna apabila menguntungkan para Pendawa. Timbangan moral dalam Mahabharata berat sebelah ke pihak Pendawa. Walaupun kesetiaan Karna terhadap para Kurawa diangap suatu sikap yang luhur, namun kelangsungan ceritera mengizinkan kesimpulan bahwa akhirnya Sanjaya-lah dan Wibisana yang bertindak tepat.

Karena para Pendawa yang akan menolak setiap bantuan yang secara moral tidak dapat dibenarkan menerima bantuan Sanjaya, maka Sanjaya, dan bukan Karna, yang dibenarkan. Para Pendawa rupa-rupanya diberi keleluasaan yang lebih besar dalam memilih cara-cara untuk mencapai kemenangan daripada para Kurawa, artinya, ada lebih banyak yang diizinkan kepada mereka, itu pun hanya berdasarkan fakta bahwa merekalah Pendawa yang telah ditentukan oleh para dewa untuk menang.

Kenyataan ini dapat dimengerti dalam kerangka etika Jawa karena tidak diproyeksikan pada latar belakang suatu etika prinsip-prinsip mutlak, melainkan dipahami dalam rangka takdir, penentuan para dewa terhadap nasib manusia. Dengan demikian setiap pihak mempunyai tempat dan tugasnya yang khas dalam keseluruhan dan dengan demikian juga mempunyai etikanya sendiri yang ditentukan baginya oleh pangkat dan nasib pribadinya. Oleh karena itu memang jelas bahwa kelakuan para Pendawa dinilai dengan lebih simpatik daripada kelakuan para Kurawa.

Namun bukan hanya ketidakseimbangan dalam penilaian terhadap para Pendawa dan Kurawa yang membantu untuk memahami kerangka pendekatan etika Jawa, melainkan juga pluralitas peranan moral berbeda-beda yang nampak dalam wayang. Setiap wayang mempunyai aturan hidupnya sendiri, dan apa yang diizinkan bagi yang satu belum tentu boleh bagi yang lain.

Setiap wayang sepenuhnya diterima sebagai bagian dunia wayang yang sendiri merupakan model bagi cara hidup Jawa. Sejak kecil orang Jawa memiliki sejumlah besar kemungkinan identifikasi moral daripadanya ia bisa memilih suatu model yang cocok yang dapat diharapkan akan juga diterima dalam masyarakat. Itu tidak berarti bahwa semua model itu pantas dikagumi. Tetapi justru karena lakon-lakon itu penuh variasi moral, maka figur-figur yang pantas ditegur pun menemukan tempat dalam keseluruhan. Maka dalam alam Jawa yang tidak baik pun mempunyai tempatnya.

Bahwa yang kurang baik pun memperoleh tempatnya dalam masyarakat Jawa kelihatan dengan paling jelas dalam Mahabharata yang tidak dapat berjalan tanpa para Kurawa. Ketegangan Mahabharata, seluruh dinamikanya, berdasarkan adanya polaritas antara Pendawa dan Kurawa. Dua-duanya perlu untuk menjamin stabilitas, jadi, keselarasan keseluruhan. Berbeda dengan Ramayana yang bersifat lebih monistik maka Mahabharata sebenarnya tidak bertujuan untuk menghapus Kurawa dan mendirikan masyarakat perdamaian tanpa mereka.

Bukan dalam arti sederhana bahwa tanpa Kurawa tidak ada lawan yang bisa diperangi. Dalam rangka Mahabharata terdapat amat banyak lakon carangan. Lakon carangan, lakon cabang, adalah lakon yang ditambah pada lakon-lakon pokok yang memuat inti ceritera Mahabharata. Dari 149 lakon yang dicatat, 117 berupa carangan. Dalam lakon-lakon carangan pun muncul wayang-wayang Mahabharata, namun laokn itu tidak mengenai Perang Bratayuda, penutup dramatis Mahabharata.

Konflik antara Pendawa dan Kurawa mundur ke latar belakang. Kebanyakan lakon carangan mengambil tempatnya dalam satu tahun di mana para Pendawa menikmati kekuasaan di Amarta, dengan tidak banyak diganggu-ganggu oleh saudara-saudara Kurawa dari Astina, sedangkan seluruh siklus Mahabharata menjangkau enam generasi! Sebenarnya lakon-lakon yang menyenangkan ini, di mana para Pendawa mengalami macam-macam avontir, juga bisa dimainkan sesudah perang Bratayuda berakhir, namun untuk saat itu tidak ada lakon carangan satu pun. Seakan-akan seluruh vitalitas para Pendawa pun habis dengan penghancuran Kurawa.

Sebaliknya lakon-lakon tentang Bratayuda Jayabinganun, perang besar antara Pendawa dan Kurawa yang menentukan, di mana para Kurawa dihancurkan, dianggap angker dan membahayakan. Lakon-lakon itu hanya jarang dimainkan, dan hanya sesudah diadakan pelbagai persiapan karena bisa mengakibatkan malapetaka-malapetaka sosial dan kosmis. Sebagaimana diketahui, pada akhir kisah Mahabharata, sesudah semua 99 Kurawa mati, para Pendawa menarik diri ke gunung para dewa, Mahameru, dalam perjalanan itu mereka semua meninggal karena kehabisan tenaga, kecuali Yudhistira.

Dengan berakhirnya perang besar para Pendawa pun kehilangan segala daya hidupnya. Tak ada lakon satu pun yang merayakan kemenangan mereka, dengan kata lain, sesudah para Pendawa menghancurkan para Kurawa, mereka sendiri pun habis.

Jadi yang baik tak mungkin ada tanpa ada yang buruk, yang kanan tanpa yang kiri, Kurawa adalah pihak kiri karena di layar wayang-wayang mereka dipasang di sebelah kiri dalang. Dalam hubungan ini menarik perhatian bahwa dalam suatu tulisan dari abad XV, Korawasrama, para Kurawa sesudah berakhirnya perang Bratayuda dihidupkan kembali dan peperangan dimulai lagi, karena bagaimana mungkin dunia dapat teratur dengan baik apabila tidak ada lagi Kurawa dan Pendawa. Merekalah isi dunia. Pandangan tentang keniscayaan polaritas itu mempunyai suatu korespondensi dalam filsafat politik Jawa. Di dalamnya zaman-zaman kekacauan, zaman edan, dan zaman-zaman perdamaian, zaman emas, di bawah seorang raja adil, ratu adil, saling bergantian tanpa habis-habisan.

Kalau kematian para Kurawa termasuk adegan-adegan yang mengharukan, maka fungsi utama para raksasa ialah agar pada akhir suatu pertempuran yang menyenangkan mereka bisa dihabiskan. Fakta yang mengherankan, nama seperti Cakil atau Terong hanya mencirikan bentuk lahiriah mereka, bentuk-bentuk yang sama muncul dalam lakon-lakon yang berbeda dengan nama-nama yang berbeda pula, mereka ini tidak mempunyai kerajaan tertentu dan tidak mempunyai daftar nenek-moyang dan keturunan.

Rupa-rupanya figur raksasa itu, seperti seluruh jenis lakon carangan, diadakan untuk sedikit membelokkan perhatian dari tragika Mahabharata yang gelap. Dengan menciptakan raksasa sebagai makhluk dari seberang yang bukan manusiawi, jadi tidak termasuk dunia Jawa dan dengan demikian juga tidak termasuk kebudayaan manusia, diciptakan figur-figur yang mempunyai fungsi untuk memperlihatkan keunggulan manusia Jawa, seakan-akan melalui pengontrasan.

Barangkali yang dimaksud itu juga suatu pembersihan simbolis ruangan kebudayaan manusia dari kekuatan-kekuatan kaotis alam yang buas. Sebagai figur-figur yang tidak manusiawi raksasa-raksasa itu juga tidak bisa menjadi model identifikasi bagi orang Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar