Wayang dan Kepribadian Luhur Orang Jawa
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Saudara tertua dari Pendawa Lima adalah Prabu Yudistira. Dia merupakan tipe murni dari seorang raja yang baik. Darah di dalam nadinya berwarna putih. Dia tidak pernah membentak-bentak karena marah, tidak pernah bertengkar, dan tidak pernah menolak permintaan seseorang bagaimanapun sederhananya. Waktunya dipergunakan untuk meditasi dan menambah kebijaksanaan. Tidak seperti pahlawan-pahlawan yang lainnya, yang ciri utamanya adalah senjata, pusaka suci (jimat). Yudistira adalah kalimasada yang misterius, sebuah naskah suci yang mengandung rahasia agama dan rahasia alam. Di atas segalanya, dia merupakan cendekiawan yang tidak berpamrih, yang memerintah kerajaannya dengan keadilan yang sempurna dan keluhuran budi.
Tanpa mengenakan perhiasan yang berlebihan, kepala yang agak condong dengan penuh perasaan mawas diri, serta raut muka yang aristokratis itu, orang segera mengenali gambaran ideal seorang Pandita Ratu, yang tanpa pamrih.
Wrekudara (Bima) adalah pahlawan perang yang paling ditakuti, yang bisa menimbulkan kerusakan hebat dengan memakai tongkat pemukulnya (gada) dan kukunya yang luar biasa (kuku pancanaka). Dia tidak mau naik kereta perang, dan berjalan melintasi hutan dan padang pasir serta gunung dan lautan tanpa kesulitan. Dia tidak suka pamer perhiasan. Dia tidak pernah mengangguk hormat pada siapa pun. Bahkan dngan dewa-dewa sekalipun dia menggunakan bahasa ngoko, yaitu bentuk bahasa Jawa yang digunakan terhadap lapisan sosial yang lebih rendah.
Dengan sifatnya yang tanpa ampun terhadap musuh-musuhnya, dengan badannya yang besar, kekar berbulu lebat, otot-otot yang menonjol, dengan mata yang melotot dan suara yang menggelegar, dia merupakan perwujudan yang sangat kontras dengan abangnya. Meskipun demikian, kejujurannya yang tak tergoyahkan, kesetiaannya, ketabahannya, dan keahliannnya berperang membuatnya menjadi salah seorang dari tokoh-tokoh yang paling dikagumi dalam wayang.
Arjuna, seorang pahlawan perang yang tangguh di medan laga, meskipun badannya ramping dan cantik seperti seorang gadis, hatinya lembut tetapi keinginannya keras, seorang pahlawan yang para istrinya dan gundik-gundiknya tak terkirakan banyaknya, tetapi yang mampu menguasai diri sendii dari nafsu yang paling ekstrem sekalipun, seorang satrya yang mempunyai perasaan yang mendalam terhadap kesetiaan keluarga, tetapi yang mampu mengharuskan dirinya untuk membunuh abang tirinya sendiri.
Dia inilah, bagi generasi Jawa yang lebih tua, yang merupakan intisari dari manusia yang utuh. Bertentangan dengan Yudistira, dengan senang hati dia menyesuaikan diri dengan lingkungan duniawi. Petualangan asmaranya tak pernah berhenti menggembirakan hati orang Jawa, tetapi di pihak lain dia merupakan gambaran yang sangat berbeda dengan Don Juan. Begitu menonjol kecantikan serta keindahan tubuhnya, sehingga para putri raja dan dayang-dayang bersedia menyerahkan diri mereka dengan segera. Mereka inilah yang beruntung, bukan Arjuna. Dan berlawanan dengan Wrekudara, dia menggambarkan keagungan badan dan kelembutan hati, yang telah begitu tinggi dihargai oleh generasi-generasi Jawa.
Kresna dan kakanya Baladewa adalah sepupu terdekat Pendawa. Kresna adalah Dewa yang mengejawantahkan inkarnasi dari Wisnu yang Agung. Dia adalah seorang politikus yang ulung, diplomat dan ahli strategi perang yang ulung. Sebegitu jauh, di kalangan intelektual di pihak Pendawa, Kresna-lah yang pada akhirnya memungkinkan kemenangan mereka. Di lain pihak, dia adalah seorang perencana yang tidak pernah bimbang untuk melanggar peraturan bila dirasanya perlu. Meskipun seorang satrya, beruangkali dia mengabaikan nilai-nilai yang kurang penting dari kelas satrya. Hanya tugas untuk melaksanakan keinginan dewa-dewa dan nasibnya sendiri yang menuntut darma baktinya.
Dia menjadi sinis apabila Yudistira bersungguh-sungguh, menjadi berkelakar dan sarkatis apabila Wrekudara bersikeras, menjadi keras dan kaku apabila Arjuna menunjukkan kelemahan. Dalam perjuangan yang lama antara Kurawa dan Pendawa, kedua belah pihak melakukan kianat dan kelicikan. Tetapi hanya Kresna-lah yang selalu mendapatkan persetujuan, karena tujuannya sesuai dengan keinginan dewa-dewa untuk menghancurkan Kurawa dan karena dia sendiri berasal dari dewa. Hal-hal inilah yang membuat tindakannya menjadi pantas.
Saudara Kresna, Prabu Baladewa, Raja Mandura, memihak Kurawa meskipun dengan caranya sendiri, merupakan tokoh yang tidak kalah hebatnya. Dengan antusiasme yang besar dan tiba-tiba, dengan kesetiaan yang mendalam, berani, berwatak keras, terus terang, dan bodoh, dia sangat berlawanan dengan Kresna, yang memang selalu membohongi dan memperdayakannya. Tetapi pada akhir perang saudara itu, ketika semua pahlawan, termasuk Kresna sendiri sudah meninggal dan hilang, Baladewa-lah yang ditinggal sendiri untuk menjaga dan mendidik Parikesit, seorang cucu Arjuna yang masih bayi yang akan menjadi nenek moyang raja-raja di Jawa.
Meskipun dalam setiap hal menyamai Arjuna, baik dalam kesempurnaan badani, kahlian berperang, maupun perasaan moralnya, dia, Karna, mati di tangan Arjuna karena dewa-dewa sudah menghendakinya begitu. Ketika masih bayi yang baru dilahirkan, ditinggalkan oleh ibunya, Dewi Kunti Nalibrata, yang kemudian juga melahirkan Pendawa.
Seorang pengendara kereta perang biasa telah mengasuhnya. Akhirnya Kurawa, yang sedang mencari seorang pendekar untuk melawan Pendawa, mengambilnya dan mendidiknya, menghormatinya dan akhirnya mengangkatnya menjadi adipati di Ngawangga. Sebaliknya, Pendawa, dengan sangat menghargai keberaniannya, mengejeknya karena asal usulnya yang rendah dan menolaknya. Di kemudian hari, ketika diketahui bahwa dia sesungguhnya saudara tua Yudistira, perasaan kehormatan satryanya mengatakan bahwa perasaan tidak berterima kasih kepada raja Kurawa akan lebih memalukan daripada bertempur melawan keluarganya sendiri. Meskipun dia jelas mengetahui bahwa Prabu Suyudana, atasannya, telah berulangkali melanggar kode satrya, dia tidak mau meninggalkannya.
Serupa dengan Karna dalam pandangan dan moralitasnya, Raden Kumbakarna, pahlawan Ramayana, juga mati dalam mempertahankan seorang raja yang ternyata telah menjelekkan kedudukannya. Dia tahu bahwa dia akan mati terpotong-potong. Meskipun demikian, tidak seperti adiknya Raden Wibisana, yang menyeberang ke pihak Rama dan keadilan, dia menolak untuk meninggalkan abangnya, Prabu Dasamuka (Rahwana), di saat-saat yang genting.
Perbedaan utama antara Karna dan Kumbakarna adalah bentuk badannya. Kumbakarna merupakan raksasa yang paling besar di antara bentuk wayang, dialah yang terbesar, kadang-kadang bahkan sampai satu setengah meter tingginya. Bila dilihat, dia adalah jenis raksasa yang menakutkan dalam bentuknya yang ekstrem, dengan raut muka berwarna merah yang mengerikan, hidung bulat besar, mata menonjol, badan gemukm dan penuh bulu dan taring seperti serigala. Hal tersebut adalah tanda-tanda jasmaniah yang oleh orang Jawa diangap menjijikkan.
Walaupun demikian, Kumbakarna adalah salah satu tokoh wayang yang paling dicintai dan merupakan contoh terbaik dari kesucian dan keagungan batiniah, yang berlawanan dengn apa yang tampak secara lahiriah. Kurawa juga merupakan sebuah kelompok yang beraneka ragam, tetapi ada dua tokoh yang menonjol dan perlu diperhatikan. Mereka adalah Dahyang Durna dan Prabu Suyudana.
Durna adalah seorang Brahmana, duku dan guru. Sewaktu mereka masih kecil, baik Kurawa maupun Pendawa belajar seni berperang darinya, dan sampai pada saat terakhir dia masih mempunyai kasih sayang yang mendalam terhadap murid terkasihnya, Arjuna, meskipun di dalam perang saudara mereka berdiri dalam barisan yang bertentangan. Dalam wayang, sekarang ini terdapat kecenderungan untuk menggambarkannya sebagai seorang tokoh yang setengah jahat dan setengah lucu, tetapi hal ini bukanlah pandangan lama dan tradisional. Dia merupakan musuh Kresna, dengan dewa-dewa yang menentangnya dan tanpa kesucian seperti Kresna. Sebagai tanda dari keahliannnya yang luar biasa mendapatkan seorang bidadari surga, Dewi Wilutama, sebagai istrinya, dengan istrinya ini dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang dicintainya, bernama Bambang Aswatama.
Di dalam perjuangan yang sudah berlangsung lama antara Kurawa dan Pendawa, dia mengimbangi akal Kresna dengan akal pula, perangkap perang dengan perangkap perang pula. Dia juga berdiri di luar kode satrya, mengikuti moral Machiavelli yang juga menurut Kresna. Dalam Bratayuda Jayabinangun, ketika akhirnya dia turun ke gelanggang, kekuatannya masih begitu besar sehingga Pendawa dan bala tentaranya berbalik dan lari. Arjuna sendiri menolak untuk berhadapan dengan gurunya yang sekarang sudah tua dan timpang. Sebagai usaha yang terakhir, Kresna memerintahkan kepada Wrekudara untuk membunuh seekor gajah yang kebetulan bernama sama dengan putra Durna.
Dalam suasana kemenangan yang dibuat-buat, Pendawa berteriak: Aswatama sudah mati, Aswatama sudah mati. Di dalam kebinbangan karena sedih, Durna berpaling kepada Yudistira yang diketahuinya tidak pernah berbohong, sambil bertanya apakah hal itu benar. Di bawah tekanan yang semena-mena oleh Kresna, dengan berat Yudistira mengiyakan setengah kebenaran itu.
Sesudah yakin, brahmana tua itu berdiam diri, tidak bergerak, di tengah-tengah berkecamuknya api peperangan. Tidak seorang pun berani mendekatinya di dalam kepedihannnya dan kekecewaannya, sampai Drestajumena yang garang menyerbu dan memukul kepalanya. Semua merasa bahwa suatu tindakan yang kejam dan tidak beriman telah dilakukan dan hukuman balasan akan dilaksanakan. Baik Kurawa maupun Pendawa bersatu untuk menyelenggarakan upacara yang lengkap.
Sebagai saudara tertua dari 99 Kurawa bersaudara, Suyudana, dia adalah raja di Ngastina, sebuah ibukota Jawa kuno yang menurut mitologi, paling kuat dan megah. Dia adalah seorang raja besar tetapi ditakdirkan untuk menghancurkan dirinya sendiri dan keluarganya. Meskipun congkak dan mudah terombang-ambing oleh para penasihatnya, dia merupakan seorang lawan bagi Pendawa yang harus diperhitungkan. Memang, tanpa dia Pendawa tidak akan menjadi Pendawa.
Dewa-dewa telah menghukum Ngastina jauh sebelum dia lahir. Sepertinya, Suyudana secara tak terelakkan telah terseret oleh nasibnya ke dalam jalan yang fatal, yang membawa Kurawa ke dalam kehancurannya. Pada malam terahir Bratayuda, dari pembesar-pembesar Kurawa, hanya dia sendirilah yang masih hidup. Dalam tendanya dia bersemadi dan merenungkan hal-hal yang telah terjadi. Apakah gunanya melanjutkan pertumpahan darah, hanya sejumlah kecil hamba-hamba yang setia yang masih hidup.
Dia berpikir, kenapa tidak menyerah saja. Tetapi, bagaimanapun dia adalah seorang satrya dan seorang raja yang besar. Ratusan ribu orang telah meninggal karena setia kepadanya. Sekarang datang gilirannnya untuk mati bagi mereka. Ketika fajar tiba, dia maju perang melawan Wrekudara yang menakutkan. Kedua belah pihak memandang dengan tertegun ketika keduanya terlibat dalam perkelahian yang hebat. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Wrekudara lebih kuat, tetapi Suyudana lebih berhati-hati dan lincah.
Untuk kali yang terakhir, Kresna campur tangan untuk mengubah keseimbangan tadi. Meskipun hal itu sangat bertentangan dengan peraturan satrya tentang perang seorang lawan seorang, dia memberitahu Wrekudara untuk menghantam paha Suyudana yang terbuka. Karena perasaan putus asa, Wrekudara mematuhinya, dan Suyudana, yang telah bertempur dengan gagah berani, jatuh lemas dengan perasaan sedih, menjadi korban yang tidak mampu memberikan perlawanan terhadap tangan-tangan musuhnya yang kejam.
Lakon yang menggambarkan matinya Suyudana sampai saat inipun jarang dipertunjukkan di Jawa, karena bencana dan tragedi yang meliputinya begitu besar. Jatuhnya kerajaan-kerajaan Jawa yang besar serta penghancuran yang begitu menyedihkan terhadap penguasanya yang gagah perkasa, tampaknya meramalkan peristiwa-peristiwa yang tak terduga dan bencana-bencana yang timbul saat ini.
Wanita dalam dunia wayang tidak begitu beraneka ragam dalam tipologi mereka dibanding dengan pria. Tetapi ada kontras-kontras menonjol. Salah satu yang paling sering ditonjolkan oleh orang Jawa adalah kontras di antara istri-istri utama Arjuna, yaitu antara Dewi Sumbadra dan Dewi Srikandi.
Sumbadra adalah seorang putri sejati, agung, lembut agak tertutup, sangat setia, dan patuh kepada suaminya. Dia merupakan tipe ideal wanita aristokrat Jawa. Srikandi justru memiliki sifat yang berlawanan dengan Sumbadra. Banyak bicara, berkemauan keras, berhati riang, gemar berburu, seorang pemanah ulung, dia selalu siap berdebat dengan Arjuna atau menantang perang seorang satrya yang lewat. Dia senang berkelana di Jawa, untuk mencari suaminya yang selalu menghilang, atau mencari pengalaman bagi dirinya sendiri. Di dalam Mahabharata asli India, sesungguhnya Srikandi adalah seorang pria yang telah menjadi wanita. Di Jawa tidak begitu, tetapi mungkin wataknya yang bersifat pria berasal dari sumber yang telah lama terlupakan ini.
Bagi orang Jawa, Srikandi merupakan tipe seorang wanita aktif yang terhormat, penuh tenaga (energik), suka bertengkar, murah hati, dan mudah bergaul. Di antara dirinya dan Sumbadra tidak ada rasa cemburu, tetai suatu kasih sayang yang mendalam dan penuh pengertian, meskipun orang mendapat kesan bahwa Srikandi kadang-kadang sedikit tidak sabar dengan kewanitaan Sumbadra yang berlebih-lebihan apabila ada kesulitan. Sebaliknya mungkin Sumbadra merasa bahwa Srikandi seringkali tidak bertindak seperti layaknya seorang wanita yang mulia.
Semar, adalah tokoh yang berasal dari kelas punakawan. Semar adalah seorang yang paling mulia dari para punakawan, merupakan tokoh yang paling dicintai dalam semua wayang, seorang yang dikasihi, baik oleh orang muda maupun oleh orang tua. Hal ini sebagian disebabkan karena Semar, meskipun hanya seorang hamba yang hina dan lucu, adalah dewa yang paling kuasa, sehingga Siwa dan Batara Guru, kadang-kadang harus menyerah kepadanya.
Selain itu, justru karena dia seorang badut, seorang yang berasal dari kalangan rakyat, di mana aturan-aturan tentang sikap satrya tidak berlaku, kehadirannya merupakan suatu kritik terhadap seluruh nilai-nilai satrya. Alasan lain adalah karena Semar mempunyai bentuk badan yang tidak sesuai dengan tipe satrya. Badannya sangat gemuk, dengan dada yang berat dan pantat yang sangat besar, memakai perhiasan seperti seorang wanita, walaupun pakaiannya adalah pakaian pria, tetapi wajahnya bukan pria maupun wanita.
Dia merupakan sumber kebijaksanaan tertinggi, meskipun hal ini hanya tercermin sepintas lalu dari lelucon-lelucon yang lembut. Setiap orang yang pernah melihat sebuah pertunjukkan wayang Jawa, tentu ingat akan adanya rasa hormat serta kasih sayang penontotn yang mendalam kepada semar ketika dia keluar.
Betari Durga adalah dewi kekerasan, kegelapan, dan kematian. Dia tinggal di Setragandamayu, di mana dia memerintah para setan, demit, dan roh-roh jahat lainnya. Dalam lakon, dia selalu dihubungkan dengan faksi Kurawa dan tanpa henti-hentinya merencanakan penghancuran terhadap Pendawa. Sebagian besar Dewa, bahkan suaminya, Batara Guru, tidak mampu menghalangi kehendaknya. Hanya Semar-lah yang mampu membuat terornya tak berdaya. Batara Narada adalah saudara tua Batara Guru dan penasihat utamanya sekaligus menjadi agen rahasianya. Seperti halnya Semar, bentuknya yang aneh dihubungkan dengan kekuatan supranatural yang sangat besar. Seperti juga Semar, dia menyembunyikan kearifan dan kelembutannya yang agung di balik suaranya yang keras dan menggetarkan. Narada melaksanakan perintah-perintah Batar Guru, tetapi secara umum berusaha keras untuk menafsirkan perintah-perintah itu dengan maksud untuk mendukung Pendawa.
Ketika ibu Pendawa, Dewi Kunti, masih merupakan seorang perawan yang belum menikah, dia dinodai Batara Surya dan akhirnya melahirkan bayi Karna. Sang ibu segera membuang anak itu setelah lahir, tetapi Batara Surya selalu mencintai dan mengawasi putranya. Batara Surya adalah Dewa Matahari, sumber dan pemberi kehidupan. Dia membagi posisi Karna yang ambigu dalam pelbagai lakon.
Ketika Kresna, yang dimusuhi oleh pasukan Kurawa selama negosiasi-negosiasi terakhir sebelum pecahnya perang Bratayuda, menampakkan pengejawantahannya sebagai Penghancur Dunia dan mengancam untuk membumihanguskan Ngastina, Surya-lah yang menenangkannya, dan membujuknya untuk kembali ke bentuk manusianya. Karena Karna berperang untuk Kurawa, Batara Surya juga selalu dikaitkan dengan kelompok Kurawa.
Sang Hyang Bayu adalah putra Batara Guru dan Dewa Angin. Dia adalah ayah dari dua protagonis yang sangat kuat dalam lakon, Raden Wrekudara dan Kera Putih, Hanoman. Sebagai tanda lahir dari hubungan kekeluargaan mereka, ketiga fugur ini adalah tokoh-tokoh dalam wayang yang memiliki kuku-jari panjang tajam dan kuat (Pancanaka) dan memakai sarung poleng magis, di mana warna-warna merah, putih, hitam dan kuning merupakan simbolisasi dari empat dewa tertinggi, yaitu Brahma, Guru (Syiwa), Wisnu, dan Surya. Sebagai ayah Wrekudara, Bayu selalu berpihak pada Pendawa.
Prabu Matswapati, raja sepuh kerajaan Wirata, bertindak sebagai guru dan pelindung Pendawa. Walaupun saudarinya, Dewi Durgandini, adalah nenek buyut Kurawa dan Pendawa sekaligus, dia tetap memberikan putra Arjuna dan cicitnya sendiri kepada putrinya, Dewi Utari, dalam pernikahan dengan Raden Abimanyu. Dari penyatuan inilah Parikesit lahir, yang kemudian menjadi cikal bakal raja-raja Jawa zaman dahulu. Di istana Wirata itulah Pendawa memperoleh perlindungan ketika mereka ditimpa musibah. Matswapati sendiri membantu Pendawa membangun istana Ngamarta yang megah. Dan akhirnya seluruh putranya yang berjumlah tiga orang: Seta, Utara dan Wratsangka, bertempur dan mati untuk Pendawa dalam Perang terakhir.
Begawan Abyasa adalah kakek Kurawa dan Pendawa. Dia adalah raja pertama Ngastina, tetapi di usia setengah baya dia meninggalkan tahtanya dan mengabdikan diri untuk melakukan meditasi keagamaan dan menghindari keramaian duniawi. Selama terjadi Perang Bratayuda, dia muncul kembali untuk menasihati dan memberi bimbingan kepada Pendawa. Ketika perang telah mengakibatkan banjir darah di kedua pihak, Abyasa-lah yang secara personal melakukan pelbagai ritual penyucian secara khidmat
Negarawan senior Ngastina yang sangat disayangi dan dihormati, Resi Bhisma, baik oleh Pendawa maupun Kurawa. Walaupun dia sangat menentang kebijakan-kebijakan Suyudana, dia tetap berpihak pada Kurawa dan memimpin pasukan Kurawa pada permulaan perang Bratayuda dan membunuh ketiga putra Matswapati dengan tangannya sendiri. Sebagai seorang pemuda, dia bersumpah untuk tetap menjadi wadat (selibat) sepanjang hidupnya. Ketika Dewi Ambalika ingin menikahinya, sambil bercanda Bhisma mengacungkan panah dan busurnya. Tanpa sengaja, jarinya terpeleset dan panah menembus jantung Ambalika. Hantu Ambalika ingin membalas dendam dan pada Perang terakhir, Bhisma mati di tangan Srikandi, istri ksatria Arjuna, yang merupakan reinkarnasi Dewi Ambalika.
Prabu Drupada adalah Raja Cempalareja dan sekutu dekat Pendawa. Dua putrinya, Drupadi dan Srikandi, masing-masing menikah dengan Yudistira dan Arjuna. Ada permusuhan lama antara Drupada dan Dahyang Durna. Karena Drupada-lah maka brahmana tua itu lumpuh dan tak berdaya. Dendam (vendetta) itulah yang menyebabkan terjadinya perang Bratayuda ketika putra Drupada, Drestajumena, kembali melakukan kesalahan setelah perang terakhir dengan membunuh Drestajumena, Srikandi, dan cucu Drupada, Pancawala, ketika mereka tengah tidur.
Satu-satunya anak Dahyang Durna dengan bidadari Dewi Wilutama adalah Bambang Aswatama. Dia adalah salah satu di antara anggota generasi muda Kurawa yang paling kuat dan paling penting, tetapi para dewa telah menakdirkan bahwa dia tidak akan mati di medan perang. Dia ditakdirkan untuk melaksanakan dendam ayahnya terhadap Cempalareja dan melakukan balas dendam terhadap Pendawa.
Aswatama mewarisi sifat jahat dan sinis ayahnya. Dia terus menerus memperingatkan Suyudana bahwa permaisurinya, Dewi Banowati, akan melawannya, tetapi sang raja selalu menolak untuk mendengarkan apa yang dianggapnya sebagai fitnah yang tak berdasar. Pada malam setelah berakhirnya Bratayuda, dia menyelinap ke kamp Pendawa dan melakukan balas dendam dengan menusuk Banowati ketika tengah terlelap tidur, dia juga membunuh Drestajumena, Srikandi, dan Pancawala. Namun, ketika dia hendak membunuh cucu Arjuna, bayi Parikesit, dia tidak berhasil melakukannya.
Dewi Banowati adalah putri termuda dari Prabu Salya dan permaisuri Suyudana di Ngastina. Sifat sombongnya dicirikan dengan hidungnya yang mancung dan senyumnya yang sinis. Sebelum dia memutuskan menikah dengan Suyudana, diam-diam dia menjalin hubungan cinta dengan Arjuna. Menurut beberapa versi, affair mereka tetap berjalan setelah Banowati menikah, dan Banowati-lah yang dijadikan alat untuk membongkar rahasia-rahasia militer Ngastina kepada musuh-musuhnya. Setelah Suyudana meninggal, Arjuna menikahinya. Namun kebahagiaan mereka hanya berlangsung semalam, karena Aswatama, putra Durna, yang menyelinap ke kamp Pendawa, membunuhnya sewaktu dia tengah terlelap tidur. Banowati adalah figur yang ambigu karena, meskipun dia membantu Pendawa, tetapi dia melakukannya dengan cara mengkhianati suaminya yang sah.
Raden Lesmana Mandrakumara adalah satu-satunya putra Suyudana dengan Bonawati, dan dialah satu-satunya pewaris tahta Ngastina. Beberapa lakon menceritakan upaya-upaya Prabu Suyudana mencarikan jodoh (istri) untuk Lesmana. Namun, selalu saja salah satu dari keluarga Pendawa yang lebih atraktif berencana untuk menarik atau merebut mempelai wanita yang diinginkan, sehingga Kurawa pergi dengan tangan kosong.
Kesulitan-kesulitan Suyudana diakhiri dengan kenyataan bahwa Lesmana adalah pengecut, tidak berguna, lemah, dan bertangan lembut. Dia dianggap sebagai gudang tawa (laughing-stock), bahkan di Ngastina, putra mahkota yang pemikirannya hanya terfokus pada masalah makanan dan perempuan. Lesmana dibunuh pada awal Perang Bratayuda oleh putra Arjuna, Abimanyu.
Biasanya Patih Arya Sangkuni diangap sebagai jenius jahat dari golongan Kurawa, kesetiaan kepada rajanya merupakan satu wataknya yang menyelamatkan. Sebagai menantu Drestarata dan paman Suyudana, dia menjabat sebagai Perdana Menteri Ngastina, yang dengan memandang kemenakan laki-lakinya yang kurang pengalaman, dia sepenuhnya memanfaatkan kondisi tersebut. Pelbagai tipu muslihat licik yang menyebabkan Pendawa banyak mengalami kerugian dan penderitaan semuanya berasal dari rencana orang tua yang licik ini.
Dia mengalami penderitaan yang dahsyat pada akhir perang Bratayuda, setelah rahangnya dicabik-cabik oleh kuku-kuku Wrekudara yang sangat tajam.
Saudara kedua dari 99 Kurawa bersaudara, Raden Dursasana, dianggap sebagai, setelah Sangkuni anggota Kurawa yang paling tidak menyenangkan. Banyak omong, sombong, keras, dan jahat, tetapi dia sangat menghormati saudara tuanya, Suyudana, dan banyak berkorban untuk kepentingan kerabatnya. Di medan laga, dia adalah seorang pejuang yang berani, dan hanya Wrekudara yang bisa menghilanglah yang mampu menghancurkannya. Dia memiliki peran yang sangat penting, karena di setiap titik waktu lakon, Dursasana dan Sangkuni-lah yang mendorong sebuah tindakan menjadi sebuah klimaks baru. Setiap kali penyelesaian yang mungkin muncul, maka kedua orang inilah yang akan memastikan kegagalannya.
Raden Jayadrata adalah seorang pejuang Kurawa yang sangat kuat. Ada banyak misteri mengenai asal usulnya. Cerita yang berkembang adalah bahwa ketika Wrekudara dilahirkan, ari-ari yang membelitnya dibuang. Seorang zuhud tua, Begawan Sapwani, memungutnya, mendoakannya, dan mengubahnya menjadi seorang anak laki-laki, yang kemudian tumbuh dewasa dengan nama Jayadrata. Kemiripan keluarga dengan Wrekudara dan putra Wrekudara, Raden Gatutkaca, sudah terkeal sejak awal. Ketika Jayadrata telah dewasa, dia dibujuk untuk datang ke Ngastina oleh Sangkuni yang licin, yang melihat adanya kebutuhan untuk memperoleh sekutu semacam ini guna melawan Pendawa. Di sana, Jayadrata diberi jabatan tinggi dan saudari Suyudana, Dewi Dursilowati, sebagai istrinya.
Hal inilah yang menyebabkan dia sangat terikat dengan Kurawa. Dalam perang Bratayuda dialah yang membunuh Abimanyu muda, dan akhirnya dia sendiri dibunuh oleh Arjuna. Jayadrata memiliki karakter yang jujur, setia, terbuka, semacam Gatutkaca di antara Kurawa.
Salah satu di antara pemimpin muda terkemuka dari Kurawa, adalah Raden Burisrawa. Dia adalah putra tertua Prabu Salya dan banyak ditakuti karena ukuran badannya yang meraksasa serta sifatnya yang keras dan tak terkendali. Dia jatuh cinta mati-matian dengan Sumbadra, istri Arjuna, dan banyak lakon yang membahas upaya-upayanya untuk memiliki Sumbadra. Dia bersumpah untuk tidak pernah melihat wanita lain jika dia tidak memilikinya, dan pada akhirnya dia mati tanpa istri dan anak.
Raden Nangkula dan Raden Sadewa adalah kembar, yang terkemuka dari Pendawa. Ibu mereka bukanlah Kunti, tetapi saudari Prabu Salya, Madrim. Secara umum disebutkan, mereka mengasumsikan peran yang sangat subordinat sebagai pengikut dan utusan saudara-saudara mereka yang lain, tanpa menunjukkan dengan jelas karakteristik-karakteristik partikular di samping ciri-ciri normal dari satrya muda yang berperilaku baik. Dalam perang Bratayuda, misi mereka adalah berusaha menemukan rahasia ilmu menghilang dari paman mereka, Salya.
Raden Setyaki, sebagai sepupu pertama dari Pendawa dan Prabu Kresna, adalah salah satu pendukung kelompok Pendawa. Dia biasanya bertindak sebagai teman dan orang kepercayaan Kresna. Dialah yang menggabungkan Dewi Dwarawati dalam misi diplomatik terakhirnya ke Ngastina. Dia sangat kuat, tanpa mengabaikan ukuran tubhnya yang kecil, dan demikian sering dirujuk sebagai Si Kerdil Wrekudara atau Bima Kunting. Dalam perang Bratayuda sendiri, dia bertempur dengan raksasa Buriswara dan diselamatkan dari kematian oleh kelihaian Kresna. Dia diangap oleh orang Jawa sebagai tipe satrya yang terbuka, berani, dan kecil.
Raden Abimanyu (Angkawijaya) adalah putra Arjuna dengan Sumbadra dan merupakan satu-satunya pewaris Arjuna yang sah, karena Srikandi tidak mempunyai anak. Abimanyu sendiri tidak memiliki anak dari perkawinannya dengan putri Kresna, Dewi Sitisundari, tetapi dengan Utari, putri Wirata, Parikesit dilahirkan untuk meneruskan garis keturunan Pendawa memasuki zaman historis.
Abimanyu adalah epitom dari ketampanan, kebaikan, dan kejantanan, tetapi dia tetap seorang satrya pemberani, sangat menghormati yang lebih tua dan selalu menuruti perintah-peintah mereka. Lakon yang menggambarkan kematiannya dianggap oleh orang Jawa sebagai kisah yang paling pedih dari seri-seri Bratayuda. Bukan hanya karena Abimanyu menderita nasib yang sangat mengenaskan di medan perang, tetapi jandanya yang masih muda, Sitisundari, melakukan bunuh diri di kobaran api pada saat dilakukan pembakaran mayat suaminya.
Adalah putra Wrekudara dengan seorang raksasai, Dewi Arimbi, Raden Gatotkaca, menguasai kerajaan para raksasa yang baik di Pringgandani, tetapi dia selalu siap bertindak sebagai agen yang tunduk pada Pendawa dengan setia dan tanpa ragu-ragu. Sifatnya yang khas adalah kemampuannya terbang. Sifatnya yang romantis terhadap Dewi Pregiwa merupakan subjek dari salah satu lakon yang paling termasyhur dari semuanya. Dalam Bratayuda dia adalah figur utama terakhir yang mati membela Pendawa, dikalahkan oleh pamannya, Adipati Karna, setelah dia terbang tinggi di atas tentara Kurawa.
Togok, menurut cerita, adalah saudara tua Semar, dan biasanya dia bertindak sebagai punakawan bagi faksi Kurawa. Seperti halnya Semar, dia kekal, dan bentuknya yang aneh dan fantastik mengungkapkan asal-usulnya yang bersifat supranatural. Dari segi karakter, dia tidak memiliki kearifan dan kelembutan seperti Semar. Sifatnya lebih kasar dan lebih sinis. Karena tuan-tuannya selalu dibunuh oleh Pendawa dan anak-anaknya, Togog selalu muncul dalam rombongan raja yang berbeda. Sehingga dia menjadi prototipe yang terkenal mengenai pelayan yang tidak setia dan mata duitan.
Gareng, punakawan Pendawa yang kedua, pada umumnya dianggap sebagai putra tertua Semar. Dia adalah si kerdil yang cacat, dengan lengan yang bengkok dan terputus-putus, dia juga memiliki kelainan pada kakinya. Dia mengkhususkan dirinya pada permainan kata-kata dan insinuasi yang lihai ketimbang dalam dagelan yang kasar. Seperti halnya Semar dan Petruk, dia benar-benar abadi dan menemani setiap generasi keluarga Pendawa dalam perjalanan dan petualangan mereka yang tak terhitung jumlahnya.
Petruk adalah punakawan ketiga di pihak Pendawa dan sering dianggap sebagai putra kedua Semar. Dia terkemuka karena tubuhnya yang kurus, dan mulutnya yang sangat besar dan banyak makan, serta hidung yang panjang dan melit. Kesukaan-kesukaan khususnya, dan biasanya tentang audiensi, adalah gurauan-gurauan praktis dan kelakar kasar komik. Namun, ketika dipanggil untuk sebuah keperluan, dia bisa menjadi seorang pejuang yang mengagumkan, karena secara total tak mengindahkan moral.
Punakawan Pendawa yang ke empat, Bagong, dahulu jarang muncul dengan Gareng dan Petruk. Pola tradisional adalah bahwa Semar, Gareng dan Petruk sangat populer di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara dua Semar dan Bagong merupakan favorit khusus di daerah Banyumas dan Jawa Barat. Sekarang, mereka sering ditunjukkan berempat bersama-sama. Bagong memiliki ciri khusus sebagai punakawan yang memiliki kelainan, kepala gundul, burut, perut yang buncit, dan sebenarnya tidak memiliki hidung.
Karakteristiknya yang khas adalah suara yang sangat dalam dan kebodohannnya yang kelewat batas, biasanya mengambil bentuk kesalahpahaman terus menerus terhadap apa yang dikatakan oleh majikannya atau para pengikut punakawannya.
Cangik adalah seorang pelayan perempuan penggembira favorit, pada umumnya dia melayani Sumbadra atau beberapa putri yang lain. Dengan mengabaikan bentuk tubuhnya yang kurus, dada kerut, dan sifat-sifatnya yang sangat aneh, dia sangat suka berpura-pura dan sombong, seperti sisir yang selalu dia bawa serta dengan perasaan bangga. Suaranya tinggi, nyaring, dan melengking, seolah dia tidak punya gigi. Limbuk adalah putri Cangik, juga pelayan perempuan penggembira. Walaupun penampilannya sangat berbeda dngan ibunya, dia tidak memiliki rasa superior tertentu seperti yang dimiliki ibunya. Dia juga selalu membawa sisir di manapun dia berada. Suaranya keras, rendah, dan sangat mengharukan.
Buta Cakil adalah antagonis favorit Arjuna dan beberapa anaknya dalam lakon-lakon yang kurang serius. Setiap kali dia dibunuh, dia akan muncul lagi dalam cerita yang lain. Dia sangat terkenal karena kepala flat-nya, matanya yang selalu berkedip, dan gigi yang menonjol seperti tanduk. Tidak seperti buta yang lain, dia berukuran kecil. Kenyataannya, tubuhnya itulah, yang merupakan bagian dari seorang satrya dan hanya kepalanya yang aneh itulah yang mengungkapkan asal-usulnya sebagai buta.
Raksasa Terung, Buta Terong, dinamakan demikian karena hidungnya sangat mirip dengan buah terung. Dia adalah buta antagonis normal bagi pahlawan-pahlawan yang lebih besar, seperti Wrekudara, sementara Cakil adalah musuh yang cocok bagi satrya yang lebih kecil danlebih elegan. Buta Terong tidak memiliki peran yang pasti dalam lakon, tetapi biasanya muncul untuk menguji keberanian dan kecakapan militer Pendawa.
Garuda adalah sebuah nama generis untuk seekor elang mitologis. Ada sejumlah karakter yang berbeda dalam lakon-lakon yang menggambarkan wayang ini, yang paling terkemuka adalah Jatayu dalam Ramayana dan Wilmuka, kuda tunggangan putra tertua Prabu Kresna, Prabu Boma, dalam Mahabharata. Dalam satu hal, wayang ini merepresentasikan seekor burung yang sangat berani, setia dan terhormat, di sisi lain, dia adalah makhluk yang biasanya diasumsikan dengan kecemburuan dan kedengkian.
Jurumeya adalah sejenis setan. Tidak bisa dihancurkan, roh jahat, yang menjadi pelayan di istana Betari Durga di Setragandamayu. Betari Durga biasanya mengirim Jurumeya dan pengikut-pengikutnya untuk membingungkan, menyiksa, dan menakut-nakuti Pendawa, dan biasanya mereka berhasil. Pendawa memerlukan kekuatan khusus dari Semar untuk menolak kekuatan-kekuatan roh jahat itu. Brahala, adalah nama yang diberikan kepada Kresna ketika dia mengenakan sifat manifestasi penghancur dunianya, triwikrama.
Minggu, 13 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar