Wayang dan Pemahaman Diri
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Pandangan dunia Jawa, bukanlah suatu pandangan dunia dengan ciri-ciri dan batas-batas yang pasti, melainkan suatu penghayatan yang terungkap dalam pelbagai lapisan masyarakat dalam wujud-wujud dan dengan nada yang berbeda-beda. Ciri umum pandangan dunia Jawa di mana semua keyakinan deskriptif tentang realitas sejauh merupakan suatu kesatuan daripadanya manusia memberi suatu struktur yang bermakna kepada alam pengalamannya. Yang khas bagi pandangan dunia Jawa ialah bahwa realitas tidak dibagi dalam pelbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan bahwa realitas dilihatsebagai suatu kesatuan menyeluruh.
Alam adikodrati bagi orang Jawa bukanlah realitas yang dibedakan dengan tajam, yaitu dunia, masyarakat yang relatif berdiri sendiri dan masing-masing mempunyai hukumnya sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan pengalaman. Pada hakekatnya orang Jawa tidak membedakan antara sikap-sikap religius dan bukan religius, dan interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam, sebagaimana juga sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevansi sosial. Antara pekerjaan, interaksi, dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki.
Pandangan dunia, sebagaimana dicerminkan dari pewayangan, bagi orang Jawa bukan suatu pengertian yang abstrak, melainkan berfungsi sebagai sarana dalam usahanya untuk berhasil dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan. Pada orang Jawa, berbeda sekali dengan orang luar Jawa. Tolok ukur arti pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu ketenangan, ketenteraman, dan keseimbangan batin.
Maka, pandangan dunia dan kelakuan dalam dunia tidak dapat dipisahkan seluruhnya. Keyakinan-keyakinan deskriptif orang Jawa terasa benar sejauh membantu dia untuk mencapai keadaan batin itu tadi. Bagi orang Jawa pula suatu pandangan dunia dapat diterima semakin semua unsur-unsurnya mewujudkan suatu kesatuan pengalaman yang harmonis, semakin unsur-unsur itu cocok satu sama lain, dan kecocokan itu merupakan suatu kategori psikologis yang menyatakan diri dalam tidak adanya ketegangan dan gangguan batin.
Semua unsur itu berada dalam suatu kesinambungan yang koheren, dengan batas-batas di antaranya yang tidak jelas. Dalam lingkaran pertama pandangan dunia Jawa, dunia luar dihayati sebagai lingkungan kehidupan individu yang homogen di dalamnya ia menjamin keselamatannya dengan menempatkan diri dalam keselarasan terhadap dunia itu. Dunia itu terlebih-lebih adalah dunia petani, tetapi juga pada umumnya dunia orang sederhana yang jika pun tingal di kota besar biasanya masih mempunyai hubungan erat ke daerah. Ciri-ciri pandangan dunia ini, ialah penghayatan terhadap masyarakat, alam, dan alam adikodrati sebagai kesatuan yang tak terpecah-belah. Dari kelakuan yang tepat terhadap kesatuan itu tergantung keselamatan manusia.
Dalam wayang nampak jelas, apa yang berlaku bagi semua kekuatan alam universum Jawa, berlaku istimewa bagi kekuasaan politik, kekuasaan politik adalah ungkapan realitas numinus. Individu-individu yang berkuasa dianggap penuh kekuatan batin, dalam arti baik atau buruk. Kekuasaan politik, yang sejak ribuan tahun merupakan suatu realitas yang terasa sampai ke desa-desa Jawa, bagi orang Jawa merupakan pemusatan tenaga kosmis paling padat yang meresapi segala-galanya.
Bagi orang Jawa kekuasaan menurut hakikatnya bersifat homogen, bersifat satu dan sama saja di mana pun ia menampakkan diri. Bentuk-bentuk kekuasaan yang dibedakan dalam kesadaran luar, dalam paham Jawa hanya merupakan ungkapan realitas yang sama, berasal dari sumber yang sama, dan berkualitas sama. Semua bentuk kekuasaan berdasarkan partisipasi pada kekuatan yang satu yang meresapi seluruh kosmos ini. Individu-individu atau kelompok yang memperoleh kekuasaan dapat dibayangkan sebagai wadah yang memuat sebagian dari fluidum kekuatan kosmis itu.
Dalam wayang pula, pada latar belakang paham kekuasaan itu raja atau ratu dapat dimengerti sebagai orang yang memusatkan suatu takaran kekuatan kosmis yang besar dalam dirinya sendiri, sebagai orang yang saksi sesakti-saktinya. Bisa dibayangkan, sebagai pintu air yang menampung selurub air sungai dan bagi tanah yang lebih rendah merupakan satu-satunya sumber air dan kesuburan. Atau sebagai lensa pembakar yang memusatkan cahaya matahari dan mengarahkannya ke bawah. Kesakten sang raja diukur pada besar-kecilnya monopoli kekuasaan yang dipegangnya. Kekuasaannya semakin besar semakin luas wilayah kekuasaannya dan semakin eksklusif segala kekuatan dalam kerajaannya berasal dari padanya.
Dari lakon Mahabharata dan Ramayana, tergambarkan, seorang penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk menuruti hawa napsunya pribadi, mengumpulkan kekayaan dan mencari hidup yang enak-enak saja, tetapi juga yang mulai menindas bawahan-bawahannya, menghisap mereka serta berlaku secara sewenang-wenang. Pendek kata, seorang penguasa yang menyalahgunakan monopoli kekuasaan total yang menurut filsafat politik Jawa dimilikinya demi keuntungan pribadi, dengan demikian mempersiapkan keruntuhannnya sendiri. Ia memboroskan energi batin, menjadi kasar dan semakin tergantung dari luar.
Begitu misalnya Rahwana yang sedemikian sakti sehinga para Dewa pun gemetar, dalam Ramayana dapat dikalahkan oleh Rama, karena ia menuruti hawa napsunya dan menculik istri Rama, Sinta. Jadi bahaya terbesar bagi kedudukan penguasa tidak datang dari luar melainkan dari batin penguasa sendiri. Kekuatan-kekuatan dari luar tidak dapat berbuat apa-apa selama ia dapat memusatkan segala energi kosmis dalam dirinya sendiri, tetapi ia kehilangan kekebalannya apabila ia membiarkan kekuatannya menguap dengan mengejar kepentingan-kepentingan egoisnya.
Bagi rakyat Jawa kraton itu bukan hanya suatu pusat politik dan budaya. Kraton merupakan pusat keramat kerajaan. Kraton adalah tempat raja bersemayam, dan raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketenteraman, keadilan, dan kesuburan. Paham itu terungkap dengan sangat jelas dalam gelar para penguasa keempat kerajaan di Jawa Tengah hasil perpecahan Kerajaan Mataram Islam tiga abad lalu. Kedua penguasa Yogyakarta menyebut diri Hamengku Buwono, yang memangku jagad raya, dan Paku Alam, para penguasa Surakarta bernama Paku Buwana, paku jagad raya, dan Mangkunagara, yang memangku negara.
Paham kekuasaan Jawa membawa akibat bahwa raja harus mempertahankan monopoli kekuasaan mutlak karena hanya dengan demikian nampak bagi seluruh masyarakat bahwa raja tetap menampung seluruh kekuasaan kosmis yang bergiat dalam kerajaannya. Oleh karena itu dalam daerah kekuasaannya raja tidak dapat membiarkan wilayah-wilayah yang semi-otonom. Itulah sebabnya di Pulau Jawa tidak mungkin terbentuk bangsawan-bangsawan daerah sejati. Itu pun menjelaskan mengapa agama Islam, khususnya ulama-ulamanya yang militan, dengan tekanan pada kesamaan semua manusia di hadapan Allah, dipandang dengan curiga oleh para penguasa. Karena di sini muncul tuntutan otonomi yang tidak dapat diintegrasikan ke dalam konsepsi Jawa.
Keruntuhan suatu kerajaan terjadi apabila raja karena pamrih dan korupsinya membiarkan kekuatan kosmisnya menghilang. Lalu kelihatan bahwa kepadatan kekuasaan raja dalam wilayah kerajaannya semakin berkurang. Vacuum di pusat akan dimanfaatkan oleh pangeran-pangeran daerah untuk membangun pusat-pusat yang merupakan tantangan terhadap monopoli kekuasaan raja. Apabila raja tidak berhasil untuk menumpas ancaman itu pada waktunya maka kerajaan akan hancur karena dalam sistem Jawa tidak terdapat kemungkinan suatu akomodasi feodal permanen.
Jadi, engan mengikuti seksama pewayangan, dalam paham kekuasaan Jawa tertanam motivasi-motivasi kuat bagi penguasa untuk berusaha menjadi seorang penguasa yang baik, yang adil dan dicintai oleh rakyatnya, yang mempertahankan negaranya dalam keadaan tenteram dan sejahtera, dan untuk mencegah situasi di mana ia terpaksa mempergunakan tindakan kekerasan. Karena justru keadaan semacam itu baginya merupakan bukti kepada dirinya sendiri dan kepada rakyat bahwa ia betul-betul berkuasa, maka ia berada di bawah tekanan psikologis untuk melakukan segala apa yang diharapkan dari seorang raja yang baik. Apabila ia menyalahgunakan kekuasaannya untuk memuaskan napsu-napsunya dan kepentingan-kepentingan egois sempitnya sendiri, maka kenyataan itu bukan hanya bagi rakyatnya, melainkan bagi kesadarannya sendiri, kecuali ia sudah sama sekali silau dengan dirinya sendiri, merupakan alamat bahwa kehancuran sudah mendekat.
Apa yang secara khusus berlaku bagi penguasa, yaitu bahwa ia merupakan wadah kekuatan ilahi, menurut mistik Jawa sebenarnya berlaku bagi setiap orang. Karena pada dasar keakuannya setiap manusia manungal dengan dasar ilahi dari mana ia berasal. Menyadari kenyataan itu adalah usaha utama mistik Jawa. Itulah yang menjadi pusat perhatian kepustakaan Jawa klasik abad XVII sampai dengan XIX, dan fakta-fakta bahwa usaha itu sekarang telah menjadi cita-cita tertinggi aliran-aliran kebatinan modern di kota dan di daerah membuktikan betapa usaha itu masih hidup dalam kebudayaan Jawa. Dalam usaha untuk mencapai kesatuan antara keakuan dan dasar ilahi, pandangan dunia Jawa mencapai dimensinya yang paling mendalam.
Lapisan terdalam realitas itu tidak bersaing dengan perwujudan-perwujudan pandangan dunia Jawa, melainkan baru membuka dimensi mereka yang sebenarnya. Pandangan ini terutama terdapat dalam lingkungan kaum priyayi di kota, tetapi tidak terbatas pada mereka. Juga orang yang sangat sederhana di kota dan di daerah dalam mengatur kehidupannya berpartisipasi pada dimensi ini.
Walaupun pandangan dunia itu juga merupakan sebuah teori, yang terungkap dalam gerak dan lakon wayang, namun teori itu sama sekali bermaksud praktis. Yang dicari bukan spekulasi demi spekulasi itu sendiri, melainkan spekulasi merupakan sarana yang membuka makna dan kepenuhan kehidupan. Sebuah lakon wayang yang paling terkenal dan sampai hari ini dalam pandangan banyak orang Jawa memuat intisari kebijaksanaan Jawa, yaitu kisah Dewaruci.
Isi kisah itu ialah bagaimana Bima, saudara kedua dari lima kakak beradik Pendawa dalam ceritera Mahabharata, menemukan air kehidupan. Dalam rangka persiapan perang agung Bratayuda lawan-lawan Pendawan, para Kurawa, berusaa untuk menyingkirkan Bima. Demi tujuan itu Durna, bekas guru Bima dan sekarang pembimbing spirituil para Kurawa, memerintahkan Bima untuk mencari air hidup yang terdapat dalam dua Candradimuka di sebuah hutan yang jauh.
Tanpa menghiraukan bahaya-bahaya serta peringatan-peringatan kakak-adiknya yang mencurigai perintah itu, Bima berangkat. Sampai di tujuan ia membongkar pohon-pohon serta merusak seluruh hutan untuk mencari air itu. Dengan demikian ia menimbulkan kemarahan dua orang raksasa yang tinggal di situ. Sesudah suatu perkelahian hebat Bima berhasil membunuh kedua-duanya, dengan demikian ia sekaligus membatalkan kutukan yang sudah ditimpakan atas mereka oleh Batara Guru.
Mereka kembali ke wujud mereka yang sebenarnya sebagai dewa Indra dan Bayu dan dengan rasa terima kasih memberi tahu kepada Bima bahwa air itu tidak dapat diketemukan dalam hutan ini. Bima kembali kepada Durna yang sekarang menjelaskan bahwa air itu terdapat di dasar samudera. Walaupun Bima sendiri mulai curiga namun ia tetap bertekad mencari air hidup itu meskipun harus dibayar dengan nyawanya. Ratapan kakak-adiknya tidak dihiraukan. Ia berangkat lagi. Perjalanannya panjang, sampai di pinggir samudera ia menceburkan diri penuh keberanian ke dalam gelombang-gelombang yang menggemuruh. Sampai ke tengah laut yang dalam ia diserang oleh naga raksasa Nemburnawa. Tetapi disobek-sobek Bima dengan kuku keramat Pancanaka. Bima merasa lelah dan membiarkan diri didorong kesana kemari oleh ombak-ombak samudera. Keadaan menjadi amat sepi.
Pada saat itu tiba-tiba muncul wujud kecil yang persis mirip dengan Bima sendiri. Wujud itu memperkenalkan diri sebagai Dewaruci, sebagai penjelmaan yang Maha Kuasa sendiri. Ia mengajak Bima untuk memasuki batinnya melalui telinga kirinya. Walaupun Bima merasa ragu-ragu namun ia taat. Tanpa kesulitan ia memasukkan tubuhnya yang besar ke dalam batin Dewaruci. Semula ia menemukan diri dalam kekosongan tanpa batas dan kehilangan segala orientasi. Namun sesudah beberapa saat ia melihat kembali matahari, tanah, gunung dan laut.
Ia mengerti bahwa dalam tubuh kecil Dewaruci seluruh alam termuat secara terbalik, jagad walikan. Ia melihat empat warna, tiga daripadanya, yaitu kuning, merah dan hitam, melambangkan nafsu-nafsu yang berbahaya yang harus dijauhi, sedangkan warna keempat, putih, melambangkan ketenangan hati. Ia melihat boneka gading kecil yang melambangkan Pramana, prinsip hidup ilahi yang berada di dalam dirinya sendiri serta memberi hidup.
Bima menyadari bahwa hakikatnya yang paling mendalam manunggal dengan yang Ilahi. Sebuah kilat berwarna delapan membuka realitas terdalam baginya, yaitu bahwa segala-galanya adalah satu dengan dasar yang Ilahi. Dalam kesadaran itu Bima mencapai kesatuan hamba dan Tuhan, kesatuan manusia dan yang Ilahi, dua-duanya adalah satu tak terpisahkan.
Dengan mencapai dimensi realitas hidup yang terdalam Bima menjadi penguasa atas seluruh bumi, seluruh alam semesta tertampung olehnya, tidak ada lagi yang bisa dipelajari, dalam kehidupannya ia telah mati dan ia hidup dalam kematiannya. Dengan kekuatan yang tak terkalahkan Bima meningalkan Dewaruci. Dalam ketenteraman batin ia pulang kepada kakak-adiknya yang sangat gembira. Dengan seksama ia menyembunyikan apa yang telah terjadi padanya sambil memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditugaskan kepadanya.
Minggu, 13 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar