Wayang dan Isyarat Sangkan-Paran
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Sebagaimana kulit memuat kacang, begitu kisah Dewaruci memuat inti kebijaksanaan mistik Jawa, yaitu pengertian bahwa manusia harus sampai kepada sumber air hidupnya apabila ia mau mencapai kesempurnaan dan dengan demikian sampai pada realitasnya yang paling mendalam. Sumber air itu tidak diketemukan dalam alam luar, melainkan dalam diri manusia sendiri, sebagaimana dilambangkan oleh Dewaruci yang kecil dan mirip dengan Bima.
Kemiripan Dewaruci dengan Bima menunjukkan bahwa Dewaruci sebenarnya bukan sesuatu yang asing, melainkan batin Bima sendiri. Kekerdilannnya melambangkan kenyataan bahwa semula alam batin nampak tanpa arti dibandingkan dengan alam luar. Kedewaan Dewaruci melambangkan apa yang segera akan dimengerti Bima, yaitu bahwa ia pada dasar eksistensinya yang paling mendalam.
Paham sangkan-paran merupakan inti spekulasi mistik Jawa. Sangkan-paran hanya dapat tercapai apabila dijadikan tujuan satu-satunya dan apabila manusia bersedia untuk melawan segala godaan alam luar danbahkan mempertaruhkan nyawanya sebagaimana dilakukan Bima. Manusia semacam itu telah mati bagi alam luar dan mencapai hidup yang benar dalam mistik Jawa disebut kesatuan antara mati sajroning urip, mati dalam hidup, dan urip sajroning mati, hidup dalam mati.
Namun, ia tetap harus melakukan kewajiban-kewajibannya dalam dunia yang ditentukan oleh nasib. Pandangan dunia Jawa bertolak dari suatu distingsi antara dua segi fundamental realitas, yaitu segi lahir dan segi batin. Kedua segi itu bersatu dalam manusia. Sebagai makhluk alam manusia merupakan makhluk jasmani, ia memiliki dimensi lahir dan mengerti orang lain pertama-tama melalui lahirnya. Tetapi di belakang lahirnya itu terselubunglah segi batinnya. Lahir manusia terdiri atas tindakan-tindakan, gerakan-gerakan, omongannya, dan sebagainya. Batin menyatakan diri dalam kehidupan kesadaran subyektif.
Kesadaran bahwa batin adalah kenyataan yang sebenarnya terungkap dalam spekulasi tentang makrokosmos, jagad gedhe, dan mikrokosmos, jagad cilik. Dengan makrokosmos dalam mistik Jawa dimaksud alam lahir, dengan mikrokosmos dimaksud jagad manusia yang tidak boleh diidentifikasikan dengan tubuh dalam arti umum, jadi dengan tubuh yang dilawankan dengan jiwa, pembagian tubuh jiwa itu asing bagi orang Jawa, dalam paham Jawa manusia dipandang sebagai realitas yang pada intinya bersifat batin, yang melahirkan atau mengeksterioritasikan diri melalui tahap-tahap atau lingkaran-lingkaran konsentris.
Individulitas masing-masing orang bukanlah sesuatu yang tetap melainkan termasuk realitas sementara. Demikianlah dalam batin terbukalah dasar Ilahi sebagai realitas manusia yang sebenarnya. Pengertian tentang kesatuan Ilahi dan manusia dalam mistik Jawa merupakan puncak kemajuan rohani. Dalam pengertian itu kesatuan antara Ilahi dan manusia yang sebelumnya seakan-akan tertutup dan belum operasional, diaktualisasikan. Istilah klasik untuk itu dalam mistik Jawa adalah persatuan hamba dan Tuhan, pamore, manungaling, jumbuhing kawula Gusti. Persatuan itulah tujuan mistik Jawa. Isi kawruh mistik adalah kesatuan antara keakuan dan Yang Ilahi.
Bagi orang Jawa teori tidak merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Itu berlaku juga bagi spekulasi mistik. Spekulasi itu pun akhirnya hanya dijalankan sejauh merupakan praksis kehidupan yang bermakna. Dari spekulasi orang Jawa menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana ia sebaiknya mengatur hidupnya. Namun hal itu jangan difahami secara instrumentalistik. Usaha mistik bukanlah suatu alat untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang kemudian bisa dilepaskan dari alat itu dan dipakai demi tujuan-tujuan lain. Misalnya untuk memperoleh pengertian-pengertian tertentu tentang manusia dan realitas yang kemudian dapat berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan etika.
Pewayangan mengajarkan, bahwa praksis sangkan-paran menjawab pertanyaan bagaimana manusia berhadapan dengan hakikatnya yang sebenarnya, memberi wujud yang paling bermakna pada kehidupannya. Sesuai dengan dimensi ganda eksistensinya manusia seharusnya berusaha ke dua arah untuk mencapai hubungan yang tepat terhadap alam lahir, dan untuk semakin menyelam batinnya. Untuk belajar menguasai napsu-napsunya manusia hendaknya berusaha dalam dua arah. Pertama ia hendaknya selalu berusaha untuk menumpulkan dorongan-dorongan hati dan kecondongan-kecondongan naluriah. Oleh karena itu manusia hendaknya selalu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan batin dan untuk menunjukkan diri selalu tenang, halus, terkontrol, rasional, dan berkepala dingin. Tujuannya adalah untuk mencapai keadaan kestabilan batin gembira yang permanen.
Oleh karena itu orang Jawa berusaha untuk mencegah munculnya emosi-emosi kuat dalam dirinya. Memperlihatkan perasaan-perasaan spontan dianggap kurang pantas. Perasaan-perasaan kuat, seperti gembira, sedih, kecewa, marah, putus asa, harapan-harapan, atau rasa belas-kasihan sebaiknya disembunyikan. Dari pewayangan menasihatkan, emosi-emosi kuat dapat menghasilkan frustrasi-frustrasi berat, melepaskan perasaanperasaan agresif yang biasanya dikontrol dengan seksama, atau mengakibatkan represi-represi yang serius dan oleh karena itu sedapat-dapatnya harus dicegah, manusia hendaknya jangan membiarkan keadaan batin dikacaukan oleh perasaan-perasaan yang terlalu intensif. Di sini dapat disebut anggapan Jawa bahwa emosi-emosi mendadak, khususnya perasaan kekecewaan, gela, dan kaget, berbahaya bagi keselamatan.
Dalam praktek sehari-hari orang Jawa mewujudkan kelakuan sosialnya menurut aturan-aturan kesopanan, tatakrama. Tatakrama pergaulan sopan menentukan bentuk hubungan antara manusia, menetapkan gerakan-gerakan dan bahasa mana yang harus dipergunakan untuk mengungkapkan sikap hormat yang masing-masing perlu. Dalam pandangan Jawa, manusia dibedakan dari binatang karena ia tahu aturan. Orang Jawa terdidik dengan keteraturan, dengan aturan, kalangan priyayi memaksudkannya dengan formalitas membawakan diri, pengendalian ekspresi, dan disiplin diri sebagai jasmani, kesadaran yang konstan tentang diri sendiri sebagai obyek persepsi orang lain dan karenanya wajib menampilkan gambaran yang menyenangkan dan alus. Spontanitas atau gerak-gerik dan percakapan alamiah hanya cocok bagi mereka yang belum Jawa, orang gila, berpikiran pendek, dan anak-anak.
Bagi orang Jawa alam adalah wilayah yang dibabad untuk memperoleh tanah yang memberi berkat bagi manusia. Hutan yang belum dibuka adalah tempat roh-roh dan binatang-binatang buas dan oleh karena itu bukan tempat bagi manusia. Baru sebagai tempat yang telah dibudayakan alam menjadi lingkungan hidup manusia.
Rasa adalah paham religius. Karena melalui rasa di dasar keakuan sekaligus terbuka kenyataan numinus. Dalam rasa keakuan mengalami dan melaksanakan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Dalam rasa sifat numinus realitas seluruhnya membuka diri. Maka rasa itu sekaligus berarti eling, ingat akan asal usul sendiri, Yang Ilahi. Dalam rasa orang Jawa mencapai kawruh sangkan-paraning dumadi, pengertian tentang asal dan tujuan segala makhluk.
Oleh karena itu, belajar dari pewayangan, untuk memasuki batin orang harus terus menerus memperluas rasa. Rasa dalam arti inderawi membuat orang peka terhadap lingkungan fisik. Dalam rasa orang merasakan bagaimana perkembangan hubungan dengan orang lain. Semakin peka rasa semakin terbukalah hakekat kenyataan yang sebenarnya. Usaha untuk memperdalam rasa jangan dipahami sebagai semacam penambahan pengertian langkah demi langkah di mana unsur kognitif demi unsur kognitif ditumpukkan. Melainkan yang dimaksud adalah suatu kesadaran yang semakin mendalam, seakan-akan daun-daun pengertian yang sementara gugur satu demi satu sampai tercapai dasar dan hakekat keakuan yang sesungguhnya.
Rasa adalah tolok ukur pragmatis terhadap arti segala usaa mistik orang Jawa. Rasa membawa maksudnya dalam dirinya sendiri, rasa adalah keadaan yang puas tenang, ketenteraman batin (tenterem ing manah), dan ketiadaan ketegangan, keadaan mana merupakan paham Jawa mengenai penghayatan yang dalam pengertian lain disebut kebahagiaan.