Minggu, 04 Oktober 2009

JEJAK SEJARAH KERAJAAN LANDAK (VI)

LANDAK DI MASA PENDUDUKAN JEPANG
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Hanya sekitar tiga minggu sesudah Jepang menyerang pangkalan Armada Pasifik Amerika di Pearl Harbor 8 Desember 1941, pada tanggal 19 Desember untuk pertama kalinya pesawat-pesawat Jepang menjamah wilayah Indonesia yang ketika itu masih bernama Hindia Belanda. Balatentara Jepang mulai menduduki Kalimantan Barat melalui Pontianak sebetulnya sejak hari Jumat, tanggal 19 Desember 1941 pukul 10.00.

Pesawat tempurnya sejumlah sembilan pesawat, menderu-deru mengagetkan masyarakat di saat sebagian besar kaum muslimin tengah melaksanakan sholat Jumat. Ternyata kesembilan pesawat itu, masing-masing jenis A6M2 Zero yang bertolak dari pangkalan Davao di Mindanao Selatan yang baru ditinggalkan pasukan Amerika, menjatuhkan bom dari udara, seketika itu pula bumi Pontianak merekah, nyawa manusia meregang.

Pesawat-pesawat itu sekitar pukul 11.00 tiba di sekitar Kota Pontianak. Keheningan menjelang dilaksanakannya sholat Jumat bagi kaum muslimin saat itu pun sontak pecah dan meledak ketika kesembilan Zero pimpinan Letnan Toshitada Kawazoe menukik dari langit dan menyerang kawasan kota ini. Tujuan semula adalah membumi hanguskan pertahanan tentara Belanda, khususnya kawasan tangsi militer. Namun ternyata, kesembilan pesawat udara Jepang itu telah salah sasaran. Kontan saja kawasan kota bumi hangus dan terbakar.

Tak sedikit korban bergelimpangan, Kampung Bali, Parit Besar dan jajaran Kampung Melayu porak poranda luluh lantak dibinasakan dalam waktu seketika. Peristiwa ini dikenal luas kemudian dengan nama Peristiwa Bom Sembilan atau disebut juga dengan Peristiwa Kapal Terbang Sembilan. Serangan atas Pontianak dan sekitarnya itu didahului sebuah pesawat pengintai C5M2, juga buatan Mitsubishi, satuan pesawat Zero terbang dari Sarawak ke arah Pontianak di Kalimantan Barat.

Hanya membutuhkan waktu sedikitnya sepekan setelah kejadian itu, disusul dengan pemboman kedua dan ketiga, yakni tanggal 22 dan 27 Desember 1941, selanjutnya balatentara udara Jepang berhasil menguasai Pangkalan Udara Singkawang II, yang dibangun Belanda sebelum peperangan berkecamuk. Pemboman itu telah menyebabkan korban berjatuhan dan menimbulkan panik yang luar biasa, terutama di kalangan tentara Belanda.

Sesuai strategi serangan gurita yang mencengkeram dengan beberapa belalainya sekaligus, terakhir Sabtu, 27 Desember 1941, pesawat Jepang kembali menyerang Kota Pontianak, dan keesokan harinya menyerang Tarakan di Kalimantan Timur. Dalam serangan terakhir di Pontianak ini, pesawat pemburu Belanda dari jenis Brewster Buffalo 339 mencoba melakukan perlawanan. Namun usaha itu sia-sia belaka.

Sementara armada Angkatan Laut Dai Nippon mendarat di peraiaran pantai utara Kalimantan Barat, di Pemangkat lewat Tanjung Kodok pada tanggal 22 Januari 1942, sedikitnya berjumlah 3.000 orang, mereka berasal dari Sarawak yang merupakan kesatuan tempur dari Pasukan ke-29. Pendaratan itu tidak mendapat hadangan dari tentara Belanda yang sudah kocar-kacir, meski sempat bertahan di kawasan Gunung Pendering 45 Kilometer arah timur Singkawang. Dan hampir dalam waktu bersamaan di tempat terpisah, pendaratan itu terjadi pula di Ketapang.

Serangan udara yang dilakukan balatentara Dai Nippon terhadap Kota Pontianak ini telah membuka aksi-aksi udara Jepang di wilayah Hindia Belanda yang luas. Strategi invasi Jepang ke Hindia Belanda adalah melalui barat dan timur. Dari arah timur ini pula Angkatan Laut atau Kaigun atau dikenal juga dengan sebutan Jangkar memegang kendali. Pesawat dari Satuan Udara 3-Kokutai itu memang merupakan bagian dari kekuatan udara Kaigun Jepang yang dibentuk April 1941.

Mula-mula sebagai kesatuan pengebom berpangkalan di darat, kemudian diubah menjadi kesatuan pengebom berpangkalan di darat, kemudian diubah lagi menjadi kesatuan tempur yang berintikan pesawat Mitsubishi A6M2 Zero yang baru, Zero model lama A5M4 serta pesawat buru-intai C5M2. Strategi Kaigun Jepang adalah menguasai Indonesia bagian timur dari basis invasinya dari Filipinan Selatan, mengarah ke Pontianak, lalu Tarakan, Balikpapan, Manado kemudian Kendari. Dan seterusnya ke Makassar dan terakhir Bali.

Pendaratan besar terjadi 22 Januari 1942. Pihak pemerintah Hindia Belanda masih berusaha untuk menggagalkan serangan udara Jepang. Namun, dalam seketika saja, Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan Belanda. Tapi sebelum tindakan itu dilakukan pihak militer Jepang, Belanda yang sudah punya perhitungan lain, yaitu membumihanguskan beberapa kota sebelum ditinggalkan, seperti Sambas, Mempawah dan Landak Ngabang.

Dalam perkembangan yang begitu cepat, terjadi pendaratan tentara Jepang di Pemangkat, muara Sungai Kapuas, Singkawang dan Ketapang yang hampir bersamaan waktunya, pada 22 Januari 1942. Setelah Pemangkat dan Singkawang direbut dan dukuasai, dari sini balatentara Jepang membagi dua kekuatan pasukan militernya. Sebagian bergerak ke arah selatan untuk bergabung dengan pasukan yang telah mendarat lebih dahulu di muara Sungai Kapuas, di mana bagian ini kemudian merebut dan menguasai Kota Pontianak sepenuhnya sejak 2 Februari 1942. Dan bagian keduanya, bergerak ke arah timur dengan tujuan merebut pangkalan udara di Sanggau Ledo atau Singkawang II. Kelaknya, setelah pangkalan udara ini direbut, lumpuhlah kekuatan udara Belanda, bahkan seluruh kekuatan militer dan kekuasaannya di Kalimantan Barat.
Tentara Belanda yang diperkuat sedikit pasukan KNIL-nya yang ada di Pontianak, sebagian melarikan diri ke Ngabang di arah timur kota ini. Pada waktu itu Kota Ngabang sendiri telah diduduki Jepang, meski pasukan Jepang yang ada belum dalam jumlah memadai. Untuk menghindari pertempuran dengan Jepang, pasukan Belanda meneruskan pelariannya ke Sanggau Kapuas untuk seterusnya ke Melawi dan Kotabaru Sintang, setelah melihat dari dekat kekuatan Jepang yang ada. Namun, sebelum melarikan diri, mereka terlebih dahulu menghancurkan jembatan Ngabang yang terkenal besar dan megah di atas Sungai Landak dengan dinamit. Jembatan ini sendiri saat diledakkan belum setahun peresmiannya oleh Gezagghebber van Landak, AB Fabber, dalam bulan Juli 1941. Dalam gerak cepat menuju Pontianak, pasukan ke-29 balatentara Dai Nippon yang berasal dari Sarawak berhasil menangkap lima orang pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda di Mempawah. Seorang di antaranya, Controleur van Mempawah Appel langsung dipancung kepalanya. Seda orang lainnya ditawan ke Pontianak.

Setibanya di Pontianak, dua orang tawanan yang merupakan pegawai bank pemerintah Hindia Belanda mengalami nasib yang sama serupa Controleur Appel, disaksikan massa rakyat di pelabuhan Theng Seng Hie di tepi Sungai Kapuas yang tidak berapa jauh dari Gedung Jacobson van den Berg, menemui ajalnya di ujung sabetan samurai balatentara Jepang. Sedangkan Dr AJ. Knibbe Controleur van Pontianak ditawan dan di kamp militer bekas KMK Belanda dan mendapat penyiksaan berat.

Semulanya kedatangan balatentara Jepang mendapat sambutan hangat dari kebanyakan rakyat. Seakan kehadiran mereka membawa sebuah harapan baru untuk mewujudkan cita-cita lama yang terpendam, yaitu hasyrat untuk bebas dari segala bentuk penindasan.

Namun kenyataan, pendaratan Jepang yang belakangan mengaku diri mereka sebagai Saudara Tua tak lebih dari penindasan pula. Tak sedikit wanita, terutama gadis remaja lebih-lebih lagi dari kalangan Tionghoa yang memilih bunuh diri ketimbang dijadikan pemuas nafsu birahi balatentara tersebut.

Perampokan, yang dikenal dengan sebutan ketika itu penggedoran disertai dengan penganiayaan, nyaris menjadi pemandangan mata sehari-harinya. Lagi pula, sasaran empuk utama perburuan harta adalah toko dan gudang milik masyarakat Tionghoa. Sementara juga, wabah kelaparan mulai menjalar, dan dalam waktu sesingkat itu pula, wabah penyakit sebagai akibat kurang makanan, menjalar di mana-mana.

Kelaparan, mengawali derita dan kesengsaraan, menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Masyarakat umum, termasuklah orang-orang Jepang sendiri memperkenalkan zaman itu dengan sebutan Zaman Cap Kapak.

Zaman ini disebut demikian, dimulaikan oleh serdadu Jepang awalnya. Pintu-pintu gudang persediaan yang tak sempat dimusnahkan Belanda, digedor dengan kapak. Kemudian, tak pelak lagi adalah merampas seisi yang ada di dalam gudang. Makin hari penghidupan rakyat kian rapuh. Ketertekanan semakin tak terelakkan. Sekalipun Jepang mulanya bersikap baik hati, namun kenyataan selanjutnya, Jepang tak ambil peduli.

Para permulaan pendudukan balatentara Jepang di daerah ini, yaitu di masa singkat Angkatan Darat (Rikugun), tata perekonomian tidak mengalami gangguan yang begitu berarti. Rikugun memperbolehkan aktifitas perekonomian pasar. Bahkan pasukan ini seakan membiarkan tindakan massal rakyat yang dikenal dengan nama Zaman Cap Kapak. Sebaliknya, sejak berkuasanya Kaigun, kenyataan itu menjadi suatu impian dan sirna.

Hubungan lalu lintas baik melalui jalur darat maupun sungai khususnya, tidak dapat berlangsung. Hal itu terancam ketidakadaan bahan bakar minyak. Motor-motor tradisional atau Motor Bandong yang menjadi sarana transportasi sungai di daerah ini, khususnya yang menghubungkan kota-kota di sepanjang aliran Sungai Kapuas, Landak, Sekayam, Pawan dan Melawi tidak dapat dioperasikan. Demikian pula perhubungan darat, khususnya yang menghubungkan Pontianak dengan Mempawah, Ngabang, Bengkayang, Pemangkat, Singkawang hingga Sambas, seluruhnya mengalami lumpuh total. Sarana transportasi itu hanya boleh bergerak apabila atas perintah pemerintah Jepang. Dengan sendirinya, krisis ekonomi menjelma, rakyat menjadi korban menderita kelaparan.

Pada masa ini tata perkonomian Kalimantan Barat menjadi morat-marit. Rakyat berusaha sendiri-sendiri untuk memenuhi kebutuhan sekedar untuk dapat mempertahankan hidup mereka. Sama sekali tidak ada usaha untuk melakukan aktifitas perekonomian pasar. Sementara itu, rakyat dari pehuluan dan pedalaman dikerahkan militer Jepang untuk melakukan romusha atau kerja paksa. Selama bekerja paksa, mereka tidak diberi makan, dan tak ada jaminan untuk bertahan hidup, sementara di pehuluan dan pedalaman semakin sedikit mereka yang menggarap ladang.

Daerah-daerah tersebut mengalami kekurangan tenaga karena diwajibkan dan dikirim pemerintah Jepang ke luar daerah untuk menjalani romusha, antara lain di Sungai Durian Pontianak. Secara sistematis romusha atau kerja paksa adalah untuk kepentingan militer Jepang, terus ditingkatkan dengan mengerahkan puluhan ribu rakyat baik tua maupun muda. Akibatnya tak sedikit korban yang berjatuhan. Sementara, berbagai tindakan kekerasan dan bentuk-bentuk penindasan terjadi di berbagai pelosok daerah ini. didampingi secuil orang yang berkolaborasi dengannya, militer Jepang melakukan pengumpulan harta benda rakyat secara paksa. Pengadaan ketersediaan bahan pokok untuk pasukannya harus selalu terjamin. Kehidupan rakyat semakin tidak menentu. Apabila seseorang tidak bersikap menghormati, tidak bersikap menyembah pada waktu militer Jepang lewat, orang tersebut akan dipukul atau disiksa dengan bengis dan kejam.

Pada saat kedatangan Jepang, menggantikan posisi Belanda sebagai penguasa, sekaligus penjajah, di Kalimantan Barat saat itu terdapat 13 badan, perkumpulan pemuda atau pun semi-partai politik lokal, yang dengan sendirinya masing-masing memiliki pengaruh cukup kuat di kalangan rakyat. Namun, dengan tak mengenyampingkan keseluruhannya, dua di antaranya, yaitu Pemuda Muhammadiyah dan Kepanduan Suryawirawan milik Partai Indonesia Raya (Parindra), disusul kemudian Persatuan Anak Borneo (PAB) merupakan yang terkemuka.

Seterusnya di masa kekuasaan Saudara Tua ini, di Kalimantan Barat umumnya hanya terdapat organisasi pemuda yang berupa organisasi musik dan olahraga. Itu pun dalam aktifitasnya diawasi dengan sangat ketat. Dan kenyataan lain, pemerintahan yang ada waktu itu dapat dikategorikan dua macam, masing-masing pemerintahan yang diadakan oleh Jepang, dan pemerintahan tradisional yang ditunjang oleh adat istiadat dan hukum adat lokal.

Pada tanggal 2 Februari 1942 Kota Pontianak resmi mulai diduduki dan dikuasai oleh Angkatan Darat (Rikugun) balatentara Jepang. Dan praktis, sejak itu pula Kalimantan Barat berada di bawah kekuasaan Saudara Tua dari Negeri Matahari Terbit itu. Kekuasaan itu memang berlangsung singkat, setelah pertengahan Juli 1942, Rikugun atau Angkatan Darat yang dikenal juga dengan sebutan Bintang, ditarik dan digantikan oleh Angkatan Laut. Praktis, sejak pertengahan Juli 1942 Kalimantan Barat berada di bawah kekuasaan dan pengaruh Angkatan Laut (Kaigun) atau dikenal dengan sebutan Jangkar yang berada di bawah kekuasaan Armada Selatan II. Armada Selatan II ini memegang kekuasaan di kawasan Indonesia Timur dan Kalimantan yang berpusat di Makassar.
Dalam struktur pemerintahan, sejak kekuasaan Jepang yang dikendalikan Angkatan Laut (Kaigun), pemerintahan Kalimantan Barat dikendalikan Minsebu. Sebelum ini, Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (S-1855/2) merupakan peraturan dasar ketatanegaraan pemerintahan Hindia Belanda semula tidak mengenal desentralisasi. Hindia Belanda adalah suatu gecentraliseerd geregeerd land atau wilayah yang diperintah secara sentralistis. Pada pemerintahan yang demikian ini dijalankan pula dekonsentrasi, yaitu tugas pemerintahan dilimpahkan dari aparatur pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat pusat yang lebih rendah tingkatnya secara hierarkis. Menurut reglement tersebut terbagi dalam daerah-daerah administrative gewest, kemudian disebut residentie, yang masing-masing selanjutnya terbagi dalam afdeeling, district dan onderdistrict.

Kalimantan Barat secara resmi sebagai salah satu daerah Syu atau di zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda dikenal dengan Keresidenan. Syuu merupakan daerah tingkat teratas yang mempunyai pemerintahan sendiri sebagai suatu kesatuan dalam masa pemerintahan militer Jepang. Syuu membawahkan Ken dan Si dalam lingkungan wilayahnya. Tokubetu Si mempunyai kedudukan yang lebih kurang sama seperti Syuu, karena itu tidak berada di bawah sesuatu Syuu, melainkan langsung di bawah Gunseikan. Masing-masing daerah itu diangkat seorang kepala daerahnya, atau masing-masing Syuutyookan, Tokubetu Sityoo, Kentyoo dan Sityoo. Si menyelenggarakan segala urusan pemerintahan dalam lingkungan wilayahnya. Urusan pemerintahan umum yang dalam Stadsgemeente dulu diurus oleh regent dan pejabat-pejabat bawahannya, di masa pemerintahan militer Jepang ini dipegang oleh Sityoo.

Sedangkan Ken sama dengan daerah Regentschap. Ken terbagi atas Bunken, selanjutnya Bunken terdiri dari Gun, dan Gun terbagi atas Son. Bunken sama dengan Sub Regentschap, sedangkan Gun sama dengan Distrik dan daerah Son sama dengan Onder Distrik. Di dalam Syu, Ken, Gun dan Son, masing-masing dikepalai Syun (Residen), Ken Kanrikan (Swapara), Guntyoo (Wedana), Fuku Guntyoo (Camat) dan Sontyoo (Kepala Kampung) Secara efektif, struktur pemerintahan ala Jepang tersebut berlaku di Kalimantan Barat mulai berlaku sejak Agustus 1942.

Setiap Syu atau suatu daerah yang merupakan pembantuan kegubernuran (Minseifu) ditempatkan pula sejumlah perwira yang menyandang pangkat tertinggi. Di Kalimantan Barat ditempatkan pula perwira tertinggi dengan pangkat Letnan Kolonel. Pada tiap Syu didukung oleh komandan-komandan setempat, di samping bertugas untuk memulihkan keamanan dan ketertiban, mereka diberikan kewenangan untuk memecat para pegawai peninggalan kekuasaan Belanda di samping menyusun dan membentuk pemerintahan setempat. Komandan Teritorial Kaigun (Angkatan Laut) di Kalimantan barat dijabat oleh Letnan Kolonel Yamakawa.

Seorang yang memimpin Jawatan Kepolisian (Keibitai) disebut Keisatsukuco. Kekuasaannya tidak seluas kekuasaan Polisi Militer atau Kenpetai, yang mengendalikan semua kegiatan pengawasan dan tindakan refresif atau apapun yang terjadi di daerah ini.

Pemerintahan Balatentara Jepang yang berkuasa di Indonesia 1942-1945 pada umumnya tetap meneruskan politik desentralisasi Hindia Belanda. Tetapi, pembentukan daerah dihubungkan dengan siasat militer untuk menghadapi pelbagai kemungkinan dalam masa perang itu. Sebagai daerah yang diangap terpenting ialah Syuu, termasuk Tokubetu Sid an Kooti, yang diharapkan dapat berdiri sendiri-sendiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri, terutama pangan, apabila sampai terputusnya hubungannya dengan daerah lain.

Dalam perkembangan kemudian, para pemuda dan tokoh politisi lokal tidaklah patah arang atau kehabisan semangat dengan monopoli kekuasaan dan tindakan yang dilakukan Jepang. Dengan mengadakan pendekatan satu dengan lainnya, mereka pun mufakat untuk mengadakan gerakan terselubung, yang dikesankan seakan bekerjasama dengan pihak Jepang. Maka, lahirlah sebuah perkumpulan yang direstui Syuuzityo Minseibu, (Residen) Kalimantan Barat, dan mendapat dukungan sejumlah perwira berpengaruh bangsa Jepang, yaitu organisasi Nissinkai.

Di dalam organisasi kamunflase politis ini terdapat sejumlah nama dan berpengaruh penting di antaranya Raden Pandji Mohammad Dzubier Noto Soedjono, mantan Komisaris Parindra, serta sejumlah nama penting lainnya serupa Gusti Sulung Lelanang, dokter Roebini, Ya’ Mohamad Sabran, dan sebagainya.

Melalui Nissinkai pula, sejumlah pemuda penuh militansi ini melakukan sebuah perundingan yang tentu sekali sangat rahasia sifatnya. Dengan begitu, Nissinkai menjelma sebagai sebuah organisasi yang bergerak di bawah tanah memotori pergerakan rakyat Kalimatan Barat.

Gerakan rahasia ini, selain membonceng fasilitas dari Jepang (yang diberikan untuk Nissinkai) juga mengadakan pendekatan dengan berbagai kalangan berpengaruh. Dan tak tertinggal, keterlibatan para konglomerat lokal dari kalangan Tionghoa khusususnya yang bersimpati, memberikan dukungan material. Tersebut nama-nama penting di antara kalangan ini seperti Ng Nyiap Sun, yang belakangan mendapat posisi selaku bendahara pergerakan dari gerakan untuk menghadapi Jepang di daerah ini.

Sejak itu, di beberapa tempat di Kalimantan Barat terjadi gerakan-gerakan yang oleh Jepang dikatakan sebagai huru–hara. Para pemuda yang mulanya mendapat didikan semi-militer, melalui Seinendan, Keibodan dan Heiho, serta merta berbalik melawan balatentara pendudukan Dai Nippon. Akibat dari yang mereka lakukan bukannya tak ada resiko yang harus diterima. Buntutnya, pada tanggal 14 April 1943, Syuutizityo pun mengadakan rapat kerja pertama. Hadir 12 penguasa lokal, di mana terdapat dua orang sultan atau dokoh dan sepuluh orang penembahan atau raja ketika itu, serta sejumlah orang tertentu. Rapat ini disebutkan untuk membahas masalah huru-hara yang tengah dan terus terjadi secara gencar di berbagai daerah di bawah masing-masing kekuasaan para penguasa otonom lokal tersebut.

Pertemuan 14 April 1943 itu, nyata hanyalah siasat Jepang belaka untuk mengetahui sejauhmana pengaruh para penguasa lokal serta pengaruh orang-orang tertentu yang dulunya para pemimpin pergerakan di daerah ini. Menyusul beberapa waktu kemudian, pada 23 April 1943, para raja atau panembahan dan sultan di Kalimantan Barat mulai ditangkap di masing-masing tempat mereka.

Begitupun dengan sejumlah orang yang dianggap berpengaruh. Mereka ini mulai diamankan menurut cara dan gaya penguasa Jepang. Berita penangkapan yang belakangan diperkenalkan dengan sebutan penyungkupan itu segera bukan menjadi rahasia umum. Namun, tak ada seorang pun yang berani untuk melakukan pengusutan sedetilnya mengenai masalah tersebut, mengingat begitu kejam dan kejinya perlakuan pihak penyungkup terhadap para korbannya.

Setelah didahului penangkapan pertama, 23 April 1943, disusul kemudian penangkapan berikutnya pada tanggal 24 Mei 1944, setahun kemudian. Penangkapan berdasarkan penanggalan kalender itu adalah dalam sekala besar, namun sedari penangkapan pertama sampai juga melintasi tanggal tersebut, penangkapan terus saja berlangsung terhadap perorangan.

Penangkapan yang terjadi pada tanggal 24 Mei 1944, dilakukan saat dimulainya Konferensi Kerja Nissinkai di Gedung Medan Sepakat di Pontianak (di Jalan Jendral Urip Sumohardjo sekarang). Tanpa ada pengecualian, seluruh peserta yang hadir ketika itu ditangkap dan digiring satu persatu menuju kamp tahanan yang sudah dipersiapkan.
Tak sampai di situ. Balatentara Jepang juga menciduk orang-orang yang dianggap berbahaya bagi mereka. Sekalipun keseharian mereka menampakkan sikap bersahabat dengan kalangan rakyat, namun mereka terus mendatangi dan mengambil satu persatu orang-orang yang sudah masuk daftar yang harus diamankan. Malam dan dinihari khususnya, di saat tengah tidur pulas, maka di saat itu pula penangkapan dilaksanakan, dengan tidak diberikan ampun ataupun sedikit kesempatan untuk menyelamatkan diri bagi calon korbannya. Selain itu, penangkapan juga dilakukan di saat calon korban tengah melakukan aktifitas rutin keseharian mereka.

Begitulah akhirnya. Rakyat bertanya-tanya kepada sesamanya dengan cara yang ada pada diri mereka pula, akhirnya mendapat sedikit jawaban, jawaban yang belum sepenuhnya tuntas, mengenai nasib sejumlah orang yang diculik atau disungkup. Dalam terbitan edisi 1 Sitigatu 2064 atau 1 Juli 1944, Surat Kabar edisi Kalimanatan Barat, Borneo Sinbun di halaman terdepannya memberitakan sebuah perkara yang berlangsung. Berita yang mengejutkan dan menyentakkan pembacanya, kalangan terbatas di daerah ini, yaitu memberitakan tentang Eksekusi Mati terhadap para tawanan yang dianggap akan melawan Pemerintahan Jepang di daerah ini. Menurut media Borneo Sinbun tersebut, telah ditangkap sejumlah orang berpengaruh di daerah ini, di mana mereka terhimpun di dalam 13 organisasi yang mulanya telah diberangus pemerintah Jepang. Dan mereka itu, telah dijatuhi hukuman mati (ekskusi) pada tanggal 28 Juni 1944 secara missal. Masih menurut versi koran itu, bahwa disebutkan ada 48 nama (terbatas) yang menjalani eksekusi tersebut, mengingat mereka ini adalah (di antara) orang-orang yang berpengaruh di tengah- tengah rakyat dan dituduh sebagai otak penggerak huru-hara yang selama ini terjadi.

Menjadi jelas kini bahwa mereka dijatuhi hukuman mati pada tanggal 28 Rokugatu 2604 atau 28 Juni 1944. Berita dari koran propaganda pemerintah pendudukan meliter Jepang di Pontianak itu walaupun mengejutkan, tetapi memberikan penjelesan kepada keluarga, anak dan handai taulan khususnya para korban tentang apa yang sebetulnya telah terjadi. Hal itu dengan sendirinya mengundang lagi dugaan dan tanda tanya yang belum terjawab.

Namun pun demikian, bertanya dalam soal itu seperti orang yang nyinyir bukannya tidak mengandung bahaya. Maka yang memungkinkan untuk lebih amannya bagi rakyat ketika itu adalah berdiam diri sambil menanti kejelasan lebih lanjut. Itulah yang dipilih kebanyakan masyarakat di dalam masa tersebut.

Mereka yang dikatakan pimpinan komplotan, mereka adalah gambaran dari masyarakat yang mejemuk. Jika diperinci menurut golongan, kepentingan apakah yang menjadikan sebagai pendorong mereka sehingga mereka merencanakan suatu pemberontakan. Dan andai kata komplotan yang dituduhkan itu benar-benar ada, sekurang-kurangnya ada lima golongan.

Golongan pertama; katakanlah para Dokoh (Raja atau Panembahan atau Sultan) termasuk di dalam golongan ini. Semasa hidupnya, mereka untuk wilayahnya masing-masing adalah kepala pemerintahan yang banyak atau sedikit mempunyai hak-hak otonomi. Mereka ini dahulu disebut Zelfbestuurders. Jepang kemudian menyebutnya Dokoh, mungkin mereka merasa kehilangan hak-hak itu semenjak kedatangan Jepang.

Golongan kedua; Noto Soedjono (Raden Pandji Mohammad Dzubier Notosoedjono) dan rekan-rekannya yang sehaluan, utamanya sebagai aktifis Parindra. Cita-cita mereka adalah kemerdekaan dan Persatuan Indonesia. Di zaman Belanda atas anjuran Parindra didirikan Gabungan Politk Indonesia atau GAPI. Badan ini sebagai gabungan partai-partai politik yang dimaksudkan sebagai wadah pemersatu untuk gerakan dan perjuangan mencapai kemerdekaan, dengan lebih dahulu menuntut Indonesia Berparlemen.
Golongan ketiga; termasuk di dalam golongan ini para pengusaha, baik besar maupun kecil. Di waktu yang lampau mereka memiliki peranan penting sebagai kunci dalam kehidupan roda perekonomian, peranan mereka cukup menentukan. Kebanyakan mereka di dalam kelompok ini adalah para konglomerat lokal khususnya dari kalangan Tionghoa.

Golongan keempat; golongan ini dapat dimasukkan pegawai-pegawai dan para pejabat. Tidak dapat disangkal bahwa di antara mereka ada yang masih memimpikan zaman dahulu, sebagian lagi harus dicatat sebagai pendukung gerakan politik Parindra, sekalipun dengan jalan diam-diam.

Golongan kelima; dalam golongan ini terdiri dari masyarakat umum yang terbagi-bagi di antara golongan pertama, kedua, ketiga dan keempat.

Borneo Sinbun adalah satu-satunya media masa milik pemerintah pendudukan Jepang di Kalimantan Barat selama kurun 1943 hingga 1945. Koran ini menjadi corong resmi pemerintahan fasis militer Jepang saat menduduki dan berkuasa di daerah ini. Koran ini, menurut keterangan kemudian, diterbitkan tiga kali dalam seminggu, yang wilayah edarnya di Kalimantan. Khusus untuk wilayah Kalimantan Barat dinamakan Borneo Sinbun edisi Borneo Barat. Di Pontianak, koran ini cukup dikenal.

JEJAK SEJARAH KERAJAAN LANDAK (VI)

PERGERAKAN NASIONAL Dl DAERAH LANDAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Semangat merdeka yang telah tertanam di dalam jiwa bangsa Indonesia yang semula dilakukan melalui perjuangan fisik bersenjata sebagaimana dirintis melalui pergolakan yang dipimpin Ratu Mas Adi dilanjutkan Gusti Kandut Muhammad Taberi Pangeran Wiranatakusuma hingga pergolakan berskala besar di bawah pimpinan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma (1912-14), kerap mengatami kegagaian. Dan seluruh rangkaian pergolakan itu, dinamakan pihak kolonial Belanda sebagai pemberontakan, dapat dengan mudah dipatahkan. Hal itu mengingat ketidakseimbangan dalam hal persenjataan khususnya serta belum menyeluruhnya gerakan dilakukan.

Sejatan dengan situasi dan kondisi yang demikian itulah, bentuk dan sifat pergolakan rakyat LandaK mulai dialihkan kepada gerakan yang menjurus ke sifat politik, sosial dan non tisik atau tidak lagi secara bersenjata.

Menjelang akhir abad XIX, para pemuda di daerah Landak, mulai banyak yang mendapat pendidikan cukup tinggi. Mereka merupakan tokoh-tokoh yang mulai mengecap pendidikan modem yang pertama di daerah Landak. Hal itu terjadi, bukanlah karena kemurahan hati dan sifat baik Belanda. Kolonial terpaksa memberikan pendidikan bagi para pemuda karena suahl kepentingan penjajah itu sendiri. Belanda memerlukan tenaga terdidik yang diharapkan kelaknya bisa digaji lebih rendah daripada tenaga orang-orang Belanda sendiri. Belanda ingin menjadikan negeri jajahan mereka, termasuk Landak yang kaya akan potensi alam berupa intan dan emas serta hasil alam lainnya sebagai pasaran industri mereka.

Ternyata tindakan Belanda itu belakangan menjadi semacam bumerang atau senjata makan tuan bagi mereka sendiri. Dari hati para pemuda terpelajar, itulah tercetus kainginan untuk membangkitkan rasa kebangsaan di kalangan rakyat. Serikat-serikatserta partai-partai pun mulai bermunculan. Tujuan mereka hampirsama, demikian pula dengan organ isasi-organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan.

Di Kalimantan Barat, sejak tahun 1914, beberapa bulan setelah padamnya pergolakan bersenjata yang dipimpin Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma, di Landak Ngabang, untuk pertama kalinya berdiri cabang dari Serikat Islam (Sl), yang sekaligus merupakan organisasi pertama berdiri di Kalimantan Barat.

Melatarbelakangi hadirnya cabang Sl di daerah Landak Ngabang dikarenakan penindasan imperialis yang bukan hanya dirasakan oleh para saudagar intan dan emas saJa di daerah Landak yang terkenal dengan komoditi tersebut, terutama adanya monopoli Befanda dalam perdagangan, di kalangart pemuda dan pemuka masyarakatnya telah memikirkan sudah saatn^'a suatu perikatan, mengingat setiap pergolakan bersenjata selalu dapat dengan mudah dipatahkan.

Dalam suasana dan situasi berpikir yang demikianlah sehingga kehadiran Sl dapat dengan mudah diterima oleh lapisan masyarkat di Landak. Terlebih dengan missi yang diperkenalkan sebagai usaha untuk mengangkat harkat hidup rakyat yang tertindas. Terbentuk dan berdirinya Sl Cabang Ngabang dalam tahun 1914 selanjutnya menetapkan sebuah kepengurusan yang terdiri dari:

Presiden (Ketua) : Ibrahim H. Rahmad
Sekretaris : H. Umar
Bendahara : H. Nasri
Komisaris : 1 H.Abdulkadir
2.H.M. Yusuf
3.H.M.Amin
4.Mohammad Hambal

Selanjutnya untuk propaganda Sl di dalam kehidupan masyarakat pedalaman dan pehuluan daerah Landak, para pemudanya secara aktif membawa missi Sl. Hal itu dilakukan oleh intelektual yang pada umumnya mereka berprofesi sebagai guru, di antaranya seperti Achmad Sood Achmad, Mohammad Sohor, Gusti Situt Mahmud, Achmad Marzuk dan Mohammad Hambal Achmad.

Tahun 1919 pemerintah kolonial Belanda melalui Residen Kalimantan Barat, membekukan seluruh aktifitas St di daerah ini. Hal itu dengan dalih untuk membendung pengaruh pergolakan yang dilakukan rakyat di Cimareme, Garut, Jawa Barat maupun di Toli-Toli. Akibattekanan tersebut, Sl cabang Ngabang yang berusia mendekati lima tahun, sejak 1919 mengalami kevakuman. Selanjutnya oleh para tokoh pemuda dari kalangan Sl di daerah Ngabang, aktifias mereka dialihkan dengan dipusatkan pada kegiatan pemberantasan buta huruf, khususnya bagi rakyat pedalaman dan pehuluan sekaligus mempropagandakan upaya untuk menghadapi imperialis Belanda secara politis.

Tahun 1923 setelah beberapa tahun, sejak 1919 mengalami kevakuman pergerakan politis, kembali dibentuk sebuah organisasi kamuflase sebagai kelanjutan dari Sl. Organisasi ini diberi nama Serikat Rakyat yang dirintis dan dibentuk oleh Gusti Sulung Leianang. Gusti Sulung Leianang sendiri adalah aktifis Sl sejak di bangku sekolah di Batavia dalam tahun 1917. Dalam rnenghadirkan Sl dengan nuansa baru dengan nama SR, Gusti Sulung Leianang yang berasal dari Ngabang melanjutkan seluruh bentuk, sifat dan aktifitas Sl sebelumnya. Maka dengan mudah kehadiran SR diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.

Serikat Rakyat yang dibentuk oleh Gusti Sulung Leianang ini berbeda dengan SR yang berhaluan komunis, yaitu pecahan dari Sl di Semarang. SR versi Gusti Sulung hanyalah organisasi kamuflase untuk menampung keberadaan aktifis Sl serta menyalurkan perjuangan dan pergerakan mereka melalui wadah Ini. Karena aktifitas itu pula, selanjutnya Gusti Sulung Leianang mendapat kecaman dan tekanan dari pihak kolonial Belanda-

Untuk mematahkan laju pergerakan politis rakyat Landakyang dipandang membahayakan bagi kolonia! Belanda, berdasarkan Besluit Gubernur Jendral Acd De Graeff tanggal 1 April 1927 Nomor 3, sejumlah sepuluh orang tokoh pergerakan dan aktifitas SR di Kalimantan Barat, di mana tujuh di antaranya dari Landak Ngabang, diputuskan untuk diinternir' atau diasingkan ke Boven Digul. Kesepuluh tokoh itu masing-masing H.A. Rais HA Rachman, dari Parit Mayor Pontianak, Gusti Mohamad Hamzah dari Teluk Melano dan Djeranding Abdurrachman dari Melapi Putussibau. Sedangkan tujuh tokoh pergerakan dari Landak Ngabang masing-masing Gusti Sulung Lelanang, Gusti Situt Machmud, Gusti Djohan Idrus, Achmad Sood Achmad, Achmad Marzuki, Mohammad Sohor, dan Mohammad Hambal Achmad..

Gusti Sulung Lelanang dan kawan-kawannya dikirim ke Boven Digul yang terkenal sebagai kamp konsentrasi dan sarang nyamuk malaria di Asia ketika itu pada pertengahan April 1927 dengan menggunakan Kapal Rough dari Pelabuhan Pontianak. Semenjak tahun 1927 mereka resmi sebagai orang intemiran dan dengan sendirinya pergolakan politis yang muncul sejak tahun 1914, kembali dapat dipadamkan tahun 1927.

Hampir selama sepuluh tahun, hingga tahun 1936, sepeninggal tokoh-tokoh pergerakan yang diasingkan tersebut, oleh Belanda daerah Kalimantan Barat dinyatakan aman dari gerakan dan kecaman-kecaman politik. Dengan perkataan lain, selama sepuluh tahun rakyat Landak khususnya tidak melakukan gerakan apa-apayang bermuatan politis, termasuk juga vakumnya keberadaan organisasi politik.



PERJUANGAN POLITIS RAKYAT LANDAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Tanah merah dan Boven Digul di Irian, menjadi semacam ijazah bagi para tokoh pergerakan, termasuk mereka yang diasingkan ke tempat ini dan berasai dan daerah Landak Ngabang. Kedua tempat ini memitiki arti yang khusus dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Di tempat inilah diasingkannya para tokoh yang menganut prinsip nonkooperasi dengan pemerintah kolonial Belanda.

Setelah mendekam di Boven Digul sejaktahun 1927, selama kurang lebih sebelas tahun, dalam tahun 1938, besluit pengasingan terhadap diri Gusti Sulung Leianang mendapat pencabutan. Dengan demikian, ia (dan kawan-kawannya yang lain termasuk yang telah lebih dulu dicabut besluitnya) dibebaskan dari pengasingan dan diperkenankan untuk kembali ke daerah asalnya di Kalimantan Barat.

Hampir selama sepuluh tahun, 1926-36, sepeninggal tokoh-tokoh pergerakan militan di Kalimantan Barat, Belanda menyatakan daerah ini aman dari gerakan dan kecaman politik, khususnya dari daerah Landak yang terkesan sebagai pusat pergerakan rakyat di Kalimantan Barat.

Permulaan tahun 1937, Partai Indonesia Raya (Parindra) mulai tumbuh dan berkembang di Kalimantan Barat. Dalam waktu relatif singkat, organ isasi politik ini telah berdiri pula cabangnya di Landak Ngabang dalam tahun tersebut. Para pemuda memilih aktif di dalam organisasi ini serta aktif di dalam gerakan kepanduan Suryawirawan.

Tumbuh dan berkembangnya Parindra ini, kembali mendapat perhatian dari residen Kalimantan Barat. Perhatian yang dimaksudkan bukan untuk mendukung gerakan politis Parindra, melainkan bagaimana untuk mengimbangi organisasi ini agar tidak merasuk di dalam segenap lapisan rakyat, terutama yang dulunya aktif di dalam Sarekat Islam ataupun di dalam Sarekat Rakyat. Dengan melakukan pendekatan kepada kalangan terpelajar lainnya, kalangan bangsawan dan tokoh-tokoh pengusaha lokaf, pihak Belanda mendorong dan merestui kehadiran sebuah organ isasi yang bersifat lokal dan kedaerahan, maka dalam tahun 1937 itu pula di Pontianak berdiri sebuah organisasi dengan nama Persatuan Anak Borneo atau dikenal luas sebagai PAB.

Kehadiran PAB, termasuk cabangnya di daerah Landak, sepenuhnya ditunjang oleh pernerintah Belanda, lebih bersifat kedaerahan. Belanda berusaha menjadikan PAB sebagai aiatnya untuk menerapkan politik De Vide Et Impera. Kondisi yang demikian merupakan upaya untuk menghambat laju perkembangan Parindra yang belum setahun usianya namun memiliki pengaruh besar di kalangan rakyat.

Dengan kembalinya Gusti Sulung Leianang ke Pontianak dari pengasingannya di Boven Digul, segera dilakukan suatu upaya agar PAB tak terkontaminasi oleh upaya pihak Belanda tersebut. Maka dengan suatu pendekatan politis yang dilakukan tokoh-tokoh pergerakan Parindra, yang pada kebanyakannya berasal dari Landak Ngabang, di antaranya Gusti Sulung Leianang, Ya' Mohammad Sabran (bin Ya’ Aij Kimas Tanjung) dan sejumlah tokoh politik lainnya, akhimya antara PAB dan Parindra terjalin suatu kerjasama atau ikatan.

Jalinan yang erat antara kedua organisasi pofitik dan semi politik (PAB) tersebut, kemudian melaksanakan upaya-upaya aktif kembali mendorong rakyat Kalimantan Barat untuk mengantarkan kemerdekaan bangsanya secara kolektif. Berbagai upaya ditempuh di dalam organisasi ini, terutama dalam pendidikan rakyat. Di Ngabang melalui organisasi itu didirikan sekolah antara lain Overgang School dan juga Inheemse Nederlandshe School yang masing-masing tenaga pengajarnya adalah tokoh-tokoh pergerakan penuh militansi dari kalangan pergerakan Parindra yang dimotori Gusti Sulung Leianang dan Ya' M Sabran.
Perjalanan pergerakan politik Parindra di Landak Ngabang ternyata mendapat sambutan dari seluruh lapisan rakyat. SeJak kehadirannya tahun 1937, organisasi ini tumbuh dan berkembang dengan pesatnya, bahkan diakui, keberadaan Parindra di| Kalimantan Barat, berpusat di Landak Ngabang, sekalipun pimpinan wilayahnya berkedudukan di Pontianak. Peranan penting yang dimainkan oleh para politisi dari daerah ini, telah memberikan warna tersendiri kepada organisasi politik tersebut.

Dalam mempropagandakan kemerdekaan, tokoh-tokoh Parindra tidak hanya melalui organisasi yang monoton, namun juga dengan melakukan propaganda kamuflase lewat pementasan sandiwara, menerbitkan surat kabar serta pendekatan kepada rakyat dari pesisir hingga pehuluan dan pedalaman.

Seterusnya, disaat tengah aktifnya organisasi ini melancarkan ! propaganda kemerdekaan, Jepang melakukan invansi militernya. Kalimantan Barat, merupakan suatu daerah yang paling awal 'berhasil dikuasai setelah terlebih dahulu pada kurun awal penghujung 1941 menduduki Kota Pontianak. Dalam waktu yang relatif pendek, Landak Ngabang pun kemudian segera dikuasai pihak Jepang.

Semua organisasi pergerakan pemuda, terlebih yang memiliki pengaruh besarserupa Parindra dan PAB, dibubarkan. Tokoh-tokoh pergerakan di Landak Ngabang yang sudah kehilangan wadah, tidak kehabisan upaya. Mulai tahun 1942, sejak dikuasainya daerah ini dan praktis dibubarkannya seluruh organisasi yang ada, para tokoh pergerakan meneruskan aktifitas mereka dengan membina generasi muda melalui wadah kesenian, yaitu mementaskan sandiwara sebagai propaganda lanjut perjuangan kemerdekaan.

Di masa pendudukan militer Jepang di Kalimantan Barat inilah, tak sedikit rakyat yang menjadi korban keganasan facis militer balatentara pendudukan Dai Nippon, termasuk para tokoh pergerakan politik. Demikian pula nasib yang dialami oleh orang-orang yang dipandang penting dan berpengaruh di daerah Landak. Satu persatu mereka diculik, kemudian dihilanglenyapkan dengan ketidakjelasan nasib yang dialaminya kemudian.

Sejak dilakukannya penyungkupan oleh balatentara Jepang terhadap para tokoh, penguasa otonom lokal, kalangan politisi, pemuda dan orang berpengaruh lainnya di daerah Landak, maka seluruh rangkaian aktifitas rakyat praktis terhenti. Tahun 1942-1945, di Kalimantan Barat, ribuan orang telah dibantal oleh balatentara Jepang. Di antara para korban tersebut, dari Landak Ngabang termasuklah Panembahan Kerajaan Landak Gusti Abdulhamid Azis.

JEJAK SEJARAH KERAJAAN LANDAK (V)

PERGOLAKAN RAKYAT LANDAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Belanda di dalam mefaksanakan politik penjajahannya, berpedoman pada garis politik yang ditanamkan oleh Coen salah seorang pengikut Calvinis dan penganut ajaran Machiavelli dengan titik tolak ekspansi menuju kepada Recht Van Verovering dan kontrak-kontrak yang menghasilkan Recht Van Monopoli. Dengan demikian, perluasan kolonialisme Belanda didasarkan pada Historische Recht terus diberlakukan.

Selama berada di bawah penjajahan kolonial Belanda, berkali-kali terjadi pergolakan yang dilakukan rakyat kerajaan Landak di mana pemberontakan yang paling awal dipimpin Ratu Adi Achmad Kesuma putera dari Pangeran Mangkubumi Gusti IsmaJI Raja Haji Isya. Pergolakan Ratu Adi Achmad Kesuma ini sangat terkenal dan turun temurun menjadi buah bibir rakyat Landak.

Demikian pula halnya dengan pergolakan rakyat Landak dan Menyuke yang digerakkan oleh Wakil Penembahan Gusti Kandut Muhammad Taberi Pangeran Wira Natakesuma, yang pada kesudahannya, sebagaimana pergolakan sebelumnya. perlawanan itu dapat dengan mudah dtpatahkan. Gusti Kandut sendiri setelah tertebih dahulu diberhentikan sebagai wakil raja kemudian dihukum pengasingan ke Bogor, Jawa Barat.

Di masa Kerajaan Landak diperintah oleh Panembahan Gusti Machmud Akamuddin (1844 - 47), sebuah permufakatan antara Gouvernement Van Nederlandsch Indie dengan Kerajaan Landak pada tanggal 31 Mei 1845 dilangsungkan.

Pemufakatan ini ternyata berlanjut di masa pemerintahan Panembahan Ratu Adi Kesuma Amaruddin (1847-74) tanggal 17 Juli 1859 yang membuahkan suatu Kontrak Panjang. Maka berdasarkan itu pula mulai saat itu di Ngabang ditempatkan seorang pegawai pemerintah berkebangsaan Belanda selak Europeesch Bestuursambtenaar. Dan kemudian, di masa pemerintahan wakii panembahan Pangeran Mangkubumi Gus Bujang Isman Tajuddin (1901- 22) kembali Belanda menyodorka sebuah Politiek Contract pada tanggal 8 Oktober 1909. Semaki jelas, dari kontrak pertama sampai kontrak 1909 itu, secar berangsur-angsur kolonial Belanda kian mempersempit ruan gerak dan kekuasaan Kerajaan Landak.

Dalam perjanjian tahun 1909 itu, antara lain ditegaskan bahwa administrasi Kerajaan Landak dikendaiikan langsung olel pemerintah Hindia Belanda yang dalam hal itu dikuasakan kepadi Gezaghebber atau Controleur. Sedangkan jabatan menteri d dalam pemerintahan kerajaan Landak dihapuskan, seba( gantinya diangkat sejumlah kepala Onderdistrk atau juga kepi Distrik. Dengan demikian, panembahan hanya berfungsi sebaf pengawas.

Selain itu, menyangkut Apanage dihapuskan pula dan sebai gantinya diberlakukan Belaasting yang harus dibayar rakyat Landak dalam bentuk uang. Di samping membayar befasting, rakyat Landak diwajibkan melakukan rod's atau Heeredienst selama 20 hari daiam setahun, sedangkan untuk hasil hutan Kerajaan Landak diberlakukan sebesar 10 persen. Di luar hal itu, juga ditegaskan, bahwa hukum adat digantikan dengan sistem Landraad serta perjanjian adat antara turun temurun Raden Abdulkahar dan Arya Kanuhanjaya dihapuskan.

Dalam suasana yang serba tak enak dan kacau, di mana penderitaan rakyat kian bertambah berat dengan diberlakukannya kondisi tersebut, mulai terjadi perpecahan di lingkungan Kerajaan Landak.

Dengan dibantu Ya' Bujang Wedana Jaya Kusuma dan beberapa orang kepercayaannya, di antaranya Panglima Ganti, Panglima Bida, Panglima Daud dan Panglima Anggui yang merupakan perpaduan antara Landak dan Menyuke, Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma yang di waktu itu sebagai seorang menteri kerajaan, tampil ke depan untuk memimpin pergolakan rakyat Landak dan Menyuke.

Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma adalah salah seorang putera dari Panembahan Gusti Abdulmajid dan merupakan saudara dari Panembahan Gusti Abdul Azis Majid. Secara diam-diam Pangeran Natakusuma mengorganisir suatu perlawanan bersenjata terhadap Belanda. Dikirimnyalah sejenis tongkat komando isyarat peperangan secara adat yang dinamakan dengan Damak.

Pengiriman damak tanda peperangan ini mendapat sambutai hangat dari rakyat, bermula dari rakyat di daerah Menyuke yarn selanjutnya meluas ke segenap pelosokwilayah kerajaan Landak Peristiwa itu terjadi dalam tahun 1912 yang oleh kolonial Beland; dinamakan dengan Onlusten.

Menghadapi pergolakan rakyat Landak di bawah pimpinan Gusl Abdurrani Pangeran Natakusuma ini, Belanda cukup kewalahan Tak berhasil mematahkan perlawanan yang terus berkecamul mendekati dua tahun itu, akhirnya didatangkan bala bantuan dengai persenjataan lengkap dan tak seimbang yang ada pada rakya Landak. Dengan kapal perang kecil Kahar, kedatangan pasukal Belanda dari Pontianak langsung menuju ke Ngabang dar mengepung Istana Pedalaman dan dalam suatu muslihat berhasi menangkap Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma.

Selanjutnya pasukan ini bersama Gusti Abdurrani yang tertawan memudiki Sungai Landak menuju Munggu, bekas pusa kerajaan yang dijadikan basis pertahanan rakyat. Slasat BelandE dengan membawa Pangeran Natakusuma, untuk menunjukkar kepada rakyat Landak bahwa perdamaian sudah tercapai Pangeran Natakusuma pada kesempatan itu berdiri di haluan kapa Kahar memberikan isyarat dengan tangannya supaya perlawanar diteruskan. Tetapi kurang dimengerti oleh pengikutnya. Tal terdengartembakan, keadaan sunyi senyap.

Akhirnya perlawanan sejak 1912 itu berhasil dipatahkan pads tahun 1914. Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma kemudiar dibawa ke Pontianak. Keputusan pengadllan pemerintah kolonia Belanda di Batavia memutuskan Gusti Abdurrani Pangerar Natakusuma diasingkan seumur hidup. Sementara itu Ya' Bujang Wedana Jayakusuma dibuang ke Bogor, Panglima Ganti mendapal hukuman 20 tahun penjara sebagai Orang Rantai di Aceh, Panglima Daud sebelum tertangkap berhasil meloloskan diri ke Sirian Sewawak dan hingga akhir hayatnya menjadi ulama di sana. Sedangkan dua panglima perang lainnya, Bida dan Anggui telah melenyapkan diri tak ada kabar beritanya sebelum pergolakan dipatahkan.

Dalam pengasingannya di Bengkulu, Gusti Abdurrani tidal pernah menerima bantuan keuangan dari pemerintah kolonia Belanda- Untuk mengatasi kehidupannyadan keluarganya selaras di pengasingan, ia harus bekerja keras mencari nafkah sendiri. Dalam pengasingan itu turut serta dua orang istrinya masing-masing Encik Hajijah dan Nyemas Ahim serta beberapa orang anaknya, di antaranya Gusti Muhammad Affandi dan Utin Halimah Asmara.

Selama dalam pengasingan, sejak 1914 itu pula Gusti Abdurrani dan keluarganya beberpa kali pindah tempat tinggal. Mulanya di Malboro, kemudian Pasar Bengkulen, kemudian di Sungai Itam, Kuala Bengkulu dan terakhir kali di Kampung Kelawi, Di sinilah, dalam tahun 1920, setelah hampir enam tahun sebagai orang pengasingan, Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma meningga! dunia. Semula dimakamkan di sini dan oleh masyarakat Bengkulu menamakan makamnya sebagai Pusara Raja Borneo, selanjutnya dalam tahun 1981, atas upaya Pemda Kalbar dan pihak keiuarganya, kerangka Gusti Abdurrani dimakamkan kembali di tanah kelahirannya di Ngabang. Seterusnya, dalam tahun 1999, Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma oleh Pemerintah Rl dianugerahi tanda kehormatan berupa Bintang Mahaputra Nararia.

JEJAK SEJARAH KERAJAAN LANDAK (IV)

RATU MAS ZAINTAN DAN INTAN KOBI
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Guna usaha menyatukan Nusantara dan sekaliyus 1 menghalau kolonial Belanda. Sultan Agung I Anyokrokusumo dari Mataram dalam tahun 1622, mengirim pasukannya untuk menghancurkan Keraiaan Matan. Pasukan Mataram ini di bawah pimpinan Bupati Kendal Adipati Bahurekso. Bagi Mataram, menaklukkan Matan, sebagai sebudh keraiaan sekutu Surabaya, berarti melumpuhkan Surabaya yang merupakan saingannya sekaligus tandingan yang tangguh.

Matan merupakan gudang logistikyang setiap saatnyaselalu menyediakan kebutuhan pangan bagi Surabaya. Ketika Matan diserang oleh Mataram, ketika itu kendali pemerintahan dan kekuasaan berada di tangan Ratu Sukadana yang semulanya bernama Ratu Mas Zaintan, Ratu Sukadana atau Ratu Mas Zaintan adalah janda dari Penembahan Giri Kesuma, Ratu Sukadana merupakan putri dari Pangeran Purba Jayakesuma, salah seorang raja di Keraiaan Landak.

Kedudukan Ratu Sukadana di atas tahta kerajaan Matan merupakan pelanjut pemerintahan Giri Kesuma, sekaligus selaku wali dari putera mahkota Giri Mustika yang nantinya bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin yang ketika itu masih belum dewasa. Ratu Sukadana pada ketika itu terjun memimpin langsung perlawanan Matan terhadap Mataram, namun pada kesudahannya ratu yang cantik jelita dan penuh dengan sifat kefeminimannya di kala damai dan merupakan seorang amazone di medan perang, akhirnya bersama pasukan Matan menyerah kalah.

Kerajaan Matan sebagai sebuah kerajaan Maritim yang bergerakdi bidang perniagaan, menghadapi serangantakterduga dari Mataram tersebut sekalipun telah bertahan habis-habisan,
Salah satu meriam pusaka bekas Kerajaan Landak di sisi kanan pinlu masuk bekas keraton Kerajaan Landak atau rumah dalam di Desa Raja Ngabang. terpaksa harus menerima kekalahan yang merupakan kenyataan pahit. Ratu Sukadana Mas Zaintan akhirnya secara terhormat ditawan dan dibawa ke Mataram, untuk kemudian diasingkan ke sebuah tempat di dekat Yogyakarta yang bernama Pingit.

Palladium Intan Kubi pusaka Kerajaan Landak yang diwariskan kepada Ratu Sukadana secara tersembunyi ikut terbawa oleh ratu tersebut di dalam pengasingannya. Hingga kemudian sewaktu ratu telah lanjut usia itu meninggal dunia, maka atas perkenan Sultan Agung Anyokrokusumo, jenazahnya dibawa kembali untuk dimakamkan di Matan. Dan secara rahasia pula, pusaka kerajaan Landak, intan kubi berhasil dibawa serta sejak saat itu pula nama intan kubi diganti menjadi Intan Danau Raja.

Di masa Ratu Sukadana masih memerintah, terkesan Kerajaan Landak dan Kerajaan Matan berada dalam satu tangan pemerintahan, mengingat antara keduanya selaku panembahan di tempat yang berbeda, adalah sebagai saudara kandung, di mana Ratu Sukadana Mas Zaintan panembahan kerajaan Matan adalah adik kandung dari Pangeran Anom Jayakesuma raja kerajaan Landak ketika itu.

Beberapa waktu setelah mangkatnya Ratu Sukadana, Matan yang telah diperintah Sultan Muhammad Zainuddin putra dari Sultan Muhammad Syafiuddin yang semula dikenal dengan nama Panembahan Giri Mustika, menyerbu Kerajaan Landak. Dalam penyerbuan itu, selain intan pusaka Kerajaan landak yakni intan danau raja dirampas kembali oleh Matan, Kerajaan Landak pun dapat ditaklukkan. Bahkan, Pangeran Anom Jayakesuma beserta permaisuri serta sejumlah menteri kerajaan Landak ikut tertawan dan dibawa ke Matan.
Untuk menebus kekalahan ini, Kerajaan Landak melalui putri Pangeran Anom Jayakesuma, yakni Puteri Ratu Mas Adi yang menyamar sebagai seorang perjaka dengan nama samaran Raden Panji Wijaya meminta bantuan kepada Kerajaan Banten. Perutusan yang menghadap Sultan Banten Abulmahasim Muhammad Zainul Abidin ini juga mempersembahkan dua butir intan dari tanah Landak yang salah satunya seberat 54 karat.

Sultan Abulmahasim Muhammad Zainul Abidin (1690-1703) mengabulkan permintaan bantuan dari kerajaan Landak tersebut dan mengirimkan pasukannya sebanyak 75 pencalang yang dipimpin pemuda belia bernama Adipati Natakesuma.

Di samping itu, VOC dengan tujuan utamanya untuk mematahkan saingan mereka EIC Inggris yang bercokol di Matan, turut membantu Kerajaan Landak dengan mengirimkan 4 kapal perang beserta tentaranya, masing-masing De Faam, De Bij, De Arend, dan Three Boom, berikut delapan pencalang di bawah pimpinan Bevelhebber Roelof Goen dan Onder Bevelhebber Jacop Klasszoon, dan penyerbuan terhadap Matan ini berlangsung dalam tahun 1699 beberapa bulan setelah kekalahan Kerajaan Landak.

Matan yang dipimpin Sultan Muhammad Zainuddin tidak dapat bertahan, ini disebabkan tak sedikitnya pasukan yang melakukan penyerangan, ditambah dengan perlengkapan perang yang jauh tidak seimbang dengan yang ada. Selain hal tersebut, faktor lain yang mempercepat kekalahan Matan, di mana ketika itu antara Sultan Zainuddin dan saudara tirinya Pangeran Agung tengah terjadi upaya kudeta.

Meski Matan telah dikalahkan, namun EIC Inggris masih berupaya mempertahankan diri dan melanjutkan pertempuran menghadapi Belanda, sekalipun pada kesudahannya Belanda berada di pihak yang menang. Namun pun begitu, Bevelhebbci Roelof Goens mengalami cidera parah yang akhirnya merenggu jiwanya.

Sekalipun Kerajaan Landak telah mengungguli Matan, dan dengan sendirinya Matan dijadikan taklukan dan Banten yang kemudian mengambil kesempatan baik untuk memperluas kekuasaannya. Dan sejak itu pula, kerajaan Landak berada di bawah Vazal atau taklukan Kerajaan Banten, demikian pula hatnya dengan kerajaan Matan.

Pada akhirnya, antara kerajaan Landak dan Kerajaan Matan mengadakan perdamaian dan menjalin kembali hubungan kekeluargaan. Dua meriam yang belakangan dikenai dengan nama Meriam Munggu merupakan peninggalan pusaka tanda perdamaian itu.

Sepasang meriam yang ditempatkan di Lawang Kutaraja di punggung bukit di bekas pusat pemerintahan kerajaan Landak di Ayu Munggu, kemudian keduanya masing-masing diberi nama Kiai Kasumi dan Ratu Kesturi.

Meriam-meriam ini terbuat dari besi yang masing-masing memiliki berat serendahnya 2 ton, terletak di atas tanah perbukitan. Meski sampai saat ini usianya di atas dua abad, namun tidak mengalami perkaratan serta juga tak tertimbun tanah sekitarnya.

INTERVENSI KOLONIAL BELANDA
Dengan berdirinya Kesultanan Pontianak (1771-72) di delta muara Sungai Landak pada pertemuannya dengan Sungai Kapuas, kota-kotadi pehuluan kedua sungai tersebut yang sejak semula memasarkan hasil buminya serta sebaliknya membeli keperiuan mereka di Mempawah dan Matan, menjadi terganggu. Hal ini disebabkan, semuajenis komoditi yang melewati aliran sungai tersebut harus dipasarkan di bandar pelabuhan dagang Kesultanan Pontianak.

Kerajaan Landak dalam hal itu merasa sangat dirugikan, sebab selain perdagangan intan dan emasnya mengalami kemunduran, juga sepanjang aliran Sungai Landak merupakan witayah kekuasaannya. Untukmenengarai keadaan itu, Kerajaan Landak membawa persoalan tersebut kepada Kesultanan Banten yang sejak berhasil mengalahkan Matan diakui sebagai sekutunya. Sementara bagi Banten sendiri, Landak merupakan taklukannya secara tidak langsung, sebagai imbalan atas bantuan untuk menuntut balas terhadap Matan.

Banten sendiri yang semakin rapuh kekuasaannya akibat tekanan dari pihak Belanda dengan VOC-nya, tak bisa berbuat banyak. Kemudian menyerahkan persoalan Landak tersebut kepada Nederlandsche Oost Indische Compagnie. Dan pihak Belanda tidak menyia-nyiakan hal itu, selanjutnya mempengaruhi Banten terhadap kekuasaannya terhadap Kerajaan Landak. Maka pada tanggal 26 Maret 1778 bertempat di Benteng Diamant Banten, berlangsunglah sebuah perjanjian penyerahan Landak dan Matan oleh Sultan Abul Mafah'ir Muhammad Aliuddin Sultan Banten kepada VOC. Sejak saat tersebut, resmilah Kerajaan Landak dan Kerajaan Matan yang kemudian dikenal menjadi Sukadana berada di bawah kekuasaan Belanda.

Setelah perjanjian penyerahan Kerajaan Landak (dan Matan) kepada Betanda oleh Banten, dikirimlah oleh pemerintah kolonial Belanda utusannya yang diwakili Nicolas Kloek disertai dua kapal perang kecil. Sementara itu, Sultan Pontianak Syarif Abdurrachman Alakadrie tanpa sepengetahuan Kloek mengutus pula putranya, Syarif Kasim Alakadrie ke Batavia untuk menghubungi Hooge Regering atau Pemerintah Tinggi. Pada pertemuan tingkat Pemerintah Tinggi pada tanggal 6 November 1778, diputuskan untuk meminjamkan tanah atau Erfelijk Leen dan mengakui Syarif Abdurrachman Alkadrie sebagai Sultan Pontianak dan Sesango (Sanggau). Laporan yang disampaikan Kloek tidak digubris sama sekali, bahkan selanjutnya dipanggil pulang ke Batavia dan sebagai gantinya ditunjuk Resident Rembang Willem Adriaan Palm dengan jabatan Commissaris.
Atas nama GouverneurGeneraal Reijnierde Klerkdan Raaden Van Nederlandsch Indie Willem Adriaan Palm tefah mengakui resmi Syarif Abdurrachman Alkadrie sebagai Sultan Pontianak dan Sanggau, dan sebaliknya Sultan Pontianak mengakui meminjam tanah Erfelijk Leen yang dituangkan dalam Investiture 5 Juli 1779.

Selanjutnya, dengan didampingi Syarif Kasim Alkadrie, Willem Adriaan Palm pada tanggal 7 JUL11779 berkunjung ke Ngabang untuk menemui Pangeran Sanca Nata Muda (1768-98) mengenai peresmian penyerahan kerajaan tersebut dari Banten kepada Belanda.

Beberapa waktu kemudian, pada 12 Agustus 1886 bersamaan dengan 12 Zulkaidah 1303, ditandatangani perjanjian perbatasan antara Landak dan Pontianak, pihak Landak diwakili Wakil Panembahan Kerajaan Landak Haji Gusti Kandut Muhammad Taberi Pangeran Wiranata Kusuma (1875- 90) dan Pontianak oleh Sultan Syarif Yusuf Alkadrie (1872 - 95) dengan saksi di pihak Landak Ya' Dimbul Bin Pangeran Suta dan saksi di pihak Pontianak, masing-masing Syarif Jafar Alkadrie Pangeran Bendahara, Syarif Muhammad Bin Harun Alkadrie dan Pangeran Syarif Ali Alkadrie. Naskah ini ditandatangani di hadapan Resident Westerafdeeling Van Borneo dan dua orang kontroleur, masing-masing Kontroleur Van Landak dan Mandor.

Dengan tindakan yang dilakukan Belanda tersebut, imperialis Belanda tidaklah berarti akan melindungi kepentingan Keraiaan Landak untuk selama dan seterusnya, namun hanya untuk waktu sementara. Hubungan antara imperialis Belanda dan Kerajaan Landak merupakan hubungan yarig hanya didasari suatu interes tertentu, dan pada suatu kondisi yang dianggap sebagai jajahan.

Dengan sendirinya pula, Kerajaan Landak mulai dicengkram oleh kekuasaan kolonial Belanda. Secara politik kekuasaan Belanda terhadap Kerajaan Landak itu berlangsung sejak tahun 1790 dengan adanya intervensi di dalam peperangan antara Landak dan Matan. Dan penguasaan itu lebih dipertegas lagi sejairi adanya Lange Contract tahun 1859 dan selanjutnya menjadi Niew Lange Contract atau Kontrak Panjang Yang Diperbaharui pada tanggal5Juli 1883.

Kesemua itu kian memperkecil dan mempersempit gerak Kerajaan Landak, terlebih dengan diberlakukannya perjanjian perbatasan antara Pontianak dan Landak tanggal 12 Agustus 1886.

JEJAK SEJARAH KERAJAAN LANDAK (III)

REALITAS SOSIO-AGAMA: MENJADI MELAYU LANDAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Sebelum agama-agama datang, penduduk Nusantara mempunyai kepercayaan bahwa bukan hanya manusia yang berjiwa. Tumbuh-tumbuhan dan hewan pun berjiwa. Mereka juga mempercayai dan menyembah arwah orang yang sudah meninggal karena ada anggapan bahwa orang yang sudah meninggal mempunyai pengaruh yang kuat dan langsung terhadap orang-orang yang masih idup. Hal itu disebabkan karena alam sekeliling, serta masalah hidup dan mati.

Penduduk Nusantara mempercayai kekuatan segenap benda yang ada di sekelilingnya, mulai dari sungai yang mengalir, air bah, matahari, dan tempat-tempat yang menyeramkan, seperti pohon besar, dan gunung-gunung yang tinggi. Kepercayaan inilah yang disebut dinamisme. Orang-orang tua yang mengerti hal-hal tersebut, dapat menjawab segala hal yang dipertanyakan. Dan, setelah orang-orang tua itu meninggal, mereka mempertanyakan apa arti hidup dan mati yang dipercayai ada di luar badan kasar, dan mempertanyakan apa yang harus diperbuat pada badan kasar yang sudah mati.

Dengan kata lain, mereka percaya pada arwah nenek moyoangnya. Kepercayaan ini dinamakan animisme. Selain itu, timbul pula kepercayaan bahwa orang tua yang telah meninggal dunia itu menjadi jadi-jadian. Dengan kata lain, mereka percaya akan hubungan antara manusia dengan nenek moyang jelmaan. Kepercayaan ini dinamakan totemisme. Dinamisme, animisme, dan totemisme dalam banyak hal senafas dengan pandangan Hindu dan Buddha yang belakangan masuk ke Indonesia.

Sebelum Islam datang di Indonesia pada abad ke 7, telah terdapat negara-negara yang bercorak Hindu. Di Sumatera terdapat Kerajaan Sriwijaya dan melayu, di Jawa terdapat Kerajaan Majapahit yang terkemuka, di Sunda terdapat Kerajaan Pajajaran dan di Kalimantan terdapat Kutai. Pada umumnya, perekonomian kerajaan-kerajaan tersebut tergantung pada perdagangan laut, seperti juga kerajaan-kerajaan di Selat Malaka, utara Sumatera serta timur Kalimantan. Sedangkan kerajaan di Jawa, dimulai Singhasari, Kediri kemudian Majapahit, perekonomiannya tergantung pada pertanian.

Kepastian tentang kapan agama Hindu dan Buddha masuk ke Nusantara (baca: Indonesia) tidak diketahui secara pasti. Namun, setelah adanya penelitian, ternyata pada tahun 400 M telah ada kerajaan bercorak Hindu di Kalimantan (Timur), yaitu Kutai, dengan rajanya Mulawarman. Dan, pada abad ke 5, di Jawa Barat telah ada pula kerajaan Hindu bernama Tarumanegara, dengan rajanya Purnawarman. Boleh dikatam pengaruh Hindu telah ada pasca abad ke 2 M. keberadaan agama Hindu dan Buddha, dalam perkembangannya di Nusantara, berjalan bersama-sama. Sehingga teoritis orang sangat sukar membedakan Shiwa dengan Buddha yang disembah dalam agama Hindu dan Buddha.

Dalam rentang waktu tujuh abad, dari abad ke 13 sampai akhir abad ke 19, proses masuk dan berkembangnya Islam (khususnya di Jawa) mengalami dialog pergumulan budaya yang panjang. Tak terkecuali pengaruh ini kentara melarut dalam Kerajaan Landak, yang cikal-bakal awal pertumbuh-kembangannya merupakan hegemoni dari kerajaan Jawa itu sendiri.

Proses awal pengembangan Islam di daerah ini (baca: Landa atau Landak) dilakukan secara adaptasi dengan pendekatan kebudayaan, yaitu menggunakan lambang-lambang budaya lokal sebagai media penyampaian Islam kepada masyarakat setempat. Pola dakwahnya dilakukan memakai dua jalur. Jalur pertama menggunakan lambang-lambang dan lembaga budaya. Jalur kedua, melalui lembaga kekuasaan atau lingkungan keraton (pusat pemerintahan Keratuan atau Keraton).
Penyebaran Islam yang dilakukan, di daerah Kerajaan Landak (khususnya di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Munggu, yang dulunya bernama Ayu) langsung ke daerah-daerah pedesaan (pehuluan dan pedalaman, khususnya di sepanjang Daerah Aliran Sungai Landak) dengan menggunakan metode akulturasi dan sinkretisasi. Sebagai misal suasana yang demikian, saat itu Islam tidak hanya menjnakkan sasarannya, tetapi juga harus menjinakkan dirinya. Dari penjinakkan yang demikian, lahirlah Islam dengan corak tersendiri, yang disebut sebagai Islam yang cenderung sebagai budaya (di sinilah kemudian adat istiadat dan tradisi budaya masyarakat Landak mengurat mengakar dengan sangat kental dan kuatnya).

Corak Islam yang demikian merupakan sinkretisasi antara Islam (tasawuf) dan kepercayaan Hindu, di mana Islam sebagai anutan, namun dalam menjalankan kewajiban ritual, diimbuhi pula dengan apa yang dinamakan adat istiadat turun temurun. (Dalam masyarakat lokal setempat, antara lain dikenal apa yang dinamakan dengan tradisi Antar Tumpang ataupun juga berbagai bentuk kenduri atau hajatan dan selamatan, di antaranya Robok-robok dan Selamatan Tolak Bala bulan Syafar, ataupun juga tradisi Ruwah).

Masyarakat Landak yang dalam proses awal persemaian Islam dan perpaduan tradisi Hindu (Jawa) dan akulturasi-sinkretisasi itulah kemudian menjelma sebagai masyarakat majemuk yang dinamakan sebagai masyarakat Melayu Landak. Masyarakat adat ini tak lain sebagai penjelmaan dari suatu komunitas pra-Melayu Landak, yaitu masyarakat Hindu (Jawa) dan masyarakat asal (asli setempat) yang kental dengan perpaduan animisme-dinamisme dan totemisme yang belakangan dikenal dengan masyarakat Dayak.

Perpaduan keduanya itulah, yang khususnya mengislam, yang kemudian menjelma atau menjadi sebagai masyarakat Melayu Landak. (Gambaran khususnya, sehingga ada yang menjadi Melayu Landak turun temurun sebagai perpaduan tersebut, di mana Raden Abdul Kahar (nama setelah memeluk Islam, sebelumnya dikenal dengan nama Raja Adipati Karang Tanjung Tua Raden Is(wara)Mahayana atau Raden Ismahayana) adalah pemula pemeluk Islam dan pendahulu sebagai orang Melayu Landak, yang lahir dari rahim seorang ibu kandung, yakni Dara Hitam (putri asli suku Dayak dari Kampung Kurnia daerah Sepangok kawasan Tanjung Selimpat, yang turun temurunnya adalah penganut kental keyakinan animisme-dinamisme-totemisme) dan orang tua laki-lakinya yaitu Raja Pulang Pali VII (seorang Jawa yang sejak pendahulunya di Singhasari adalah penganut Hindu Jawa). Sedangkan saudara sekandungan dari Abdul Kahar sendiri, yakni putra dari Dara Hitam dengan suaminya Ria Sinir, yang dikenal dengan nama Ria Kanu (Aria Kanuhanjaya) secara khusus turun temurun mewarisi akar tradisi-budayanya yang dikenal sebagai masyarakat adat Dayak, khususnya di daerah Menyuke).

Corak Islam yang tidak murni tersebut mengalami akulturasi dengan kebudayaan Jawa dan sinkretisasi dengan kepercayaan pra-Islam atau Hindu. Tradisi Hindu tidak dikikis habis. Padahal dalam beberapa hal tradisi tersebut bertentangan dengan paham monoteisme yang dibawa Islam. Apa yang dilakukan oleh para penyebar Islam (yang di Jawa dikenal dengan sebutan para wali), agaknya merupakan keharusan dan pilihan yang terbaik. Tanpa berbuat demikian, kemungkinan sekali (kebudayaan) Islam tidak akan menemukan tempatnya di Nusantara. Karena itulah, tradisi Hindu dan pengaruh anismisme-dinamisme-totemisme tidak dikikis habis. Meski tak seluruhnya, dalam tradisi adat-budaya Melayu Landak, hal itu masih hidup dan terasakan sekali, meski kenyataannya di dalam beberapa (bahkan banyak) hal, tradisi tersebut bertentangan dengan paham monoteisme yang dibawa Islam.

Masyarakat Melayu Landak pada umumnya menggunakan upacara selamatan dalam berbagai peristiwa, seperti kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian, pindah rumah, panen dan banyak hal. Bentuk lain sinkretisme adalah kepercayaan kepada jimat yang dianut masih tak sedikit orang Melayu Landak. Jimat ini berupa benda-benda yang amat sederhana yang dianggap mempunyai kekuatan ghaib. Orang yang memiliki jimat cenderung tergantung padanya, meskipun mempercayai dan (nyata) memeluk Islam.

Metode dakwah yang menggunakan akulturasi dan sinkretisasi seperti itu memang cepat menarik simpati masyarakat pada waktu itu. Namun, di tahap awal itu pula, secara kualitatif, intensitas beribadah mereka masih kurang mantap. Bahkan di saat awal pertumbuhan itu, akibat dari praktek ajaran Islam yang tidak utuh dan tidak murni ini, aaran tersebut dinilai tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam arti tidak memberi manfaat seperti yang dijanjikan oleh Islam kepada pemeluknya, rahmatan lil alamin.

Dalam rangkaian perkembangan agama Islam di Kalimantan Barat kemudian, dari kerajaan Landak memulai rintisan itu. Seteiah wafatnya Raden Abdulkahar, maka sifih berganti turun temurunnya menduduki tahta pemerintahan kerajaan Landak, hingga tahta kerajaan diduduki oleh Raden Kesuma Agung Muda (1703-1709) ibukota kerajaan yang setelah Ningrat Batur (1290-1470) berkedudukan di Ayu Munggu (1470-1703) dialihkannya ke sebuah tempat yang belakangan bernama Bandong. Sebelumnya, letak ibukota di Ayu Munggu itulah yang menjadi titik sentral bagi perdagangan laut Kalimantan, di mana bandar pelabuhan perdagangan Kerajaan Islam Landak yang memperdagangkan intan dan emas, terletak pada punggung bukit di pinggiran pertemuan sungai-sungai besar, sungai Landak atau semula dikenal dengan nama Tenganap dan sungai Menyuke. Besarnya sungai Tenganap itulah yang kerap disebut sebagai Sungai Tenganap tengah melanda yang belakangan menjadi sungai Melanda atau sungai membesar, dan alih-alih akhirnya dikenal sebagai Sungai Landa dan dalam diaiek lokal masyarakatnya kemudian menjelma turun temurun menjadi Sungai Landak.

JEJAK SEJARAH KERAJAAN LANDAK (II)

KERAJAAN ISLAM LANDAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Raden Abdulkahar yang semulanya bernama Raden Iswaramahayana atau Raden Ismahayana dehgan gelarnya Raja Adipati Karang Tanjung (Tua) kemudian menikah dengan putri dari Patih Wira Denta yang bernama Putri Limbai Sari yang belakangan kemudian bergeiar Ratu Permaisuri Sari Ayu. Dari perkawinan inilah kemudian menurunkan turun temurun yang secara silih berganti memerintah di Kerajaan Landak.

Gezaghebber Later dalam Standard Memorie Van Onderafdeeling Landak tahun 1919 antara lain menulis : "Het rijk Angrat Batoer ging aldus de traditie teniet onder den zevender Raja Poeloeng Pale wiens zoon, Abdoelkahar, geboren uit de dajaksche vrow Dara Hitam, dochter van hot dajaksche vrouw Dara Hitam, dochter van het dajaksche hoofd van Sepangok, een zeer voornaam stamhofd, her rijk Landak stische en daarvoor als hoofdplaats koos de reeds bestaande vestiging Ajou, gelegenaan de samen vioeiing der Landak en Menjoeke rivieren, weike plaats nu den naam Moenggoe kreeg. Deze Abdoelkahar was de stamver van het huidige vorstengeslacht..."

Ibukota kerajaan Landak di Ayu atau Munggu didirikan oleh Raden Abdulkahar (Raja Adipati Karang Tanjung (Tua) dalam tahun 1470. Semula ibukota Kerajaan Landak berpusat di Ningrat Batur, Sepatah tahun 1290 (belakangan dikenal sebagai Tembawang Ambator). Kerajaan Landak meliputi Sungai Landak berikut cabang-cabangnya dengan luas daerah 8.300 Km2. Sungai Landak sebagai anak sungai Kapuas memiliki panjang 395 Km berhulu di Gunung Niut dan bersumber dari Danau Raut. Di kaki gunung terdapat air terjun Melanggar dengan ketinggian 20 meter dan lebar 30 meter.

Secara geografis sesuai dengan namanya, Kerajaan Landak meliputi suatu wilayah yang luas, terhampar sepanjang aiiran Sungai Landak dan cabang-cabangnya yang bermula dari muara sampai ke hulu. Bumi Kerajaan Landak mengandung benda-benda tambang di antaranya intan dan emas. Sepanjang daerah aliran Sungai Landak, atau seluas wilayah kekuasaan kerajaan ini, merupakan sebuah areal intan dan emas di Nusa Tanjungpura atau Pulau Kalimantan.

Dari kondisi alam yang demikianlah, sehingga Nusa Tanjungpura, di mana Kerajaan Landak menjadi titik sentral terpenting urat nadi kehidupan perekonomian dagang dan sebagai bandar pefabuhan perniagaan yang terpenting di pulau ini, tercipta sebutan sebagai Nusa Kalimantan atau Pulau Kalimantan.

Nama Kalimantan sebagai nama kemudian untuk Nusa Tanjungpura berasal dari kekayaan alam berupa hasil tambang intan dan emas dari daerah aliran Sungai Landak. Dengan sendirinya, nama Kalimantan mengandung suatu pengertian intan dan emas. Komoditi dari Kerajaan Landak ini pula yang mengantarkan Nusa Tanjungpura dikenal sebagai sebuah Nusa Mukapramuka atau pulau yang terkemuka atau terkenal, teristimewa bagi Kerajaan Majapahit.

Ini semua tidak lepas dari hasil utama yang diproduksi oleh Kerajaan Landak melalui intan dan emasnya. Untuk menyimpulkan suatu pengertian, bahwa nama Kalimantan tercipta dan berasal dari komoditi terbesar pulau ini yaitu intan dan emas, terutama dari Landak, di mana sepanjang kali atau sungai, kaya akan potensi hasil tambangnya berupa emas dan intan. Dalam suatu pengertian kemudian, tersebut sebutan kali emas dan intan sehingga menjelma menjadi Kalimantan.

Sebagai lumbung emas dan intan tersebut, dengan sendirinya Kerajan Landak menempatkan diri pada suatu posisi sentral dan penting bagi dunia perdagangan laut. Kerajaan Landak dikunjungi tidak hanya untuk perdagangan, namun juga dalam suatu perkembangan budayanya.

Dalam hal ini selanjutnya, menjadikan Kerajaan Landak mengalami transisi budaya. Di mana animisme Kerajaan landak mendapat pengaruh yang kuat, sejak awal berdirinya dengan ibukota Ningrat Batur, Sepatah (1290 -1470) terus menjalin hubungan dengan kerajaan luar.

Semakin pesatnya hasil perdagangan intan dan emas dari Kerajaan Landak, sehingga para pedagang dari Semenanjung Malaka, Sumatra dan Jawa yang kemudian telah memeluk agama Islam dalam abad XIV, sehingga para pedagang mengadakan hubungan dengan kerajaan ini. Dari hubungan ini pula selanjutnya agama Islam meluas di Kerajaan Landak dan kemudian kerajaan ini menjelma sebagai Kerajaan Islam (tertua) di Kalimantan Barat.

Kerajaan Landak dikatakan sebagai kerajaan Islam tertua di Kalimantan (Barat), hal ini mengingat, titik utama perekonomian Nusa Tanjungpura ketika itu adanya di Landak. Sedangkan jalur perdagangan, merupakan salah satu proses pengislaman di pulau ini. Dan sebagai daerah tujuan utama perniagaan dengan hasil intan dan emas yapg terbesar, sehingga juga dari sepanjang daerah aliran sungai atau Kali Landak mengilhami nama Kalimantan.

Dengan demikian, sejak tahun 1470-72, Islam mulai masuk dan tersebar di Kerajaan Landak. Hal ini menandai juga berislamnya raja Kerajaan Landak yang kemudian bergelar Raden Abdulkahar beserta rakyatnya.

JEJAK SEJARAH KERAJAAN LANDAK (I)

PERTUMBUHAN SEJARAH KERAJAAN HINDU LANDAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Sejarah Kerajaan Landak sebelum abad XIV, kurang diketahui dengan pasti. Akan tetapi sejak pertengahan abad tersebut, wilayah itu mulai dikenal. Secara resmi nama Kerajaan Landak (disebut juga Landa) muncul sejak kerajaan ini disebut-sebut dalam kitab pujasastra Nagara Kretagama pada tahun 1365 yang ditulis Mpu Prapanca di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Rajasanegara) yang bertahta di Majapahit. Dalam naskah Prapanca itu, ada bab yang menceritakan tentang kerajaan-kerajaan di Tanjungpuri ataupun Tanjungpura atau juga Tanjungnagara yang kesemuanya itu nama lain dari Pulau Kalimantan di masa silam. Kerajaan-kerajaan di Nusa Tanjungpura yang dituliskan Prapanca itu seluruhnya sebanyak 21 kerajaan, yang setiap tahunnya membayar upeti kepada raja Majapahit. Dari 21 kerajaan itu, delapan belas di antaranya terdapat di Kalimantan Indonesia, masing-masing Kapuhas, Katingan, Sampit, Landa (Landak), Kutalingga, Kutawaringin, Sambas, Lawai, Kadangdangan, Kalka, Saludung, Selat, Pasir, Baritu, Sawaku, Tabalung, Tanjungkute dan Malano.

Dalam tahun 1275 Raja Kertanegara di Kerajaan Singasari bermaksud mengembangkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Tengah. Pengiriman pasukannya ke sana dikenal dengan nama Pamalayu yang berlangsung sampai tahun 1292. Pasukan Singasari dalam ekspedisi Pamalayu kembali ke Singasari (Jawadwipa), Raja Kertanegara teiah wafat. Dan kerajaan Singasari saat tersebut berada di ambang keruntuhan.

Seorang bangsawan dari kerajaan tersebut telah membelokkan salah satu kapalyang dipimpinnya ke kawasan Nusa Tanjungpura atau Pulau Kalimantan bersama pengikutnya. Mereka ini semua tersertakan di dalam ekspedisi Pamalayu, semula menyinggahi Padang Tikar kemudian menelusuri aliran Sungai Landak Kecil dan akhirnya ke daerah Sekilap (sekarang) sebagai tempat pilihan untuk menetap. Daerah inilah yang kemudian dikenal dengan nama Ningrat Batur, atau sekarang dikenal sebagai Anggrat Bator atau Tembawang Ambator.

Selanjutnya, turun temurun bangsawan dari Singasari yang kemudian dikenal sebagai Ratu Sang Nata Pulang Pali I memerintah di Kerajaan Landak hingga pemerintahan Ratu Sang Nata Raja Pulang Pali VII. Raja terakhir Kerajaan Landak dengan ibukota di Ningrat Batur adalah Raden Kusuma Sumantri Indra Ningrat dengan nama abhiseka Ratu Bra Wijaya Angkawijaya Sang Nata Pulang Pali VII, ternyata juga telah meninggalkan kisah-kisah yang melegenda di tengah masyarakat Landak secara turun temurun.

Pada abad ke 11, Nusantara terbagi menjadi dua: Nusantara Barat dengan pusat di Sumatera Selatan di bawah kekuasaan Sriwijaya. Dan Nusantara Timur dengan pusat di Jawa Timur di bawah kekuasaan Airlangga. Kedua kerajaan besar ini sepakat untuk tidak saling menyerang. Pada saat itu, Nusantara menjadi salah satu kekuatan global, karena kedua kekuasaan raksasa tersebut, Sriwijaya dan Airlangga, dapat menjadikan Nusantara sebagai pusat ekonomi regional. Perdagangan membawa kekayaan, dan kekayaan memberi peluang untuk maju dan berkembang dengan lebih baik dan lebih cepat. Airlangga adalah raja terbesar pada abad ke 11. Sebelum mangkat, ia melihat bahwa kedua anaknya kurang cakap untuk menggantikannya, menakhodai sebuah kerajaan raksasa. Selain itu, ia takut kedua anaknya saling berebut kekuasaan. Ia pun memutuskan membagi kerajaan menjadi dua. Di sebelah Timur adalah Kerajaan Jenggala, dan di Barat berdiri Kerajaan Panjalu. Namun, perebutan kekuasaan tetap tak terelakkan. Jenggala tidak terdengar lagi, dengan kemungkinan terbesar diakuisisi oleh Panjalu.

Panjalu kemudian lebih dikenal dengan Daha atau Kediri. Raja yang paling dikenal adalah Jayabaya. Bukan saja karena di bawahnya Kediri berhasil melakukan ekspansi sampai ke Jambi Sumetera Tengah, melainkan juga karena kecintaannya kepada sastra. Ketenaran Jayabaya yang tertinggi adalah ramalannya, yang ditafsir oleh pujangga Mataram Islam, Ronggowarsito, sebagai ramalan masa depan Nusantara. Ramalan yang disebut sebagai Eruchakra yang mengandung sifat Ratu Adil. Di bawah Kediri adalah sebuah kadipaten kecil bernama Tumapel. Sang penguasa, Akuwu Tunggul Ametung, digantikan oleh Ken Arok, seorang yang hidup dengan begitu banyak dongeng dan mitos di belakangnya. Ia merebut istri sang akuwu, Ken Dedes, karena melihat adanya cahaya kemuliaan di pangkuannya, yang konon simbol bahwa yang akan dilahirkannya adalah mereka yang akan menguasai jagad raya. Perseteruan Ken Arok versus Tunggul Ametung banyak dikisahkan, termasuk yang paling dramatis, menjadi tonggak kerangka pergulatan politik masa lalu. Perebutan kekuasaan, di mana sang penguasa dijatuhkan oleh pesaingnya, namun yang dihukum adalah orang lain. Sementara sang pesaing justru menjadi pahlawan.

Di bawah Ken Arok, Tumapel berkembang menjadi Singhasari. Arok menjadi raja yang malah mengalahkan Kediri. Kekuasaan Singhasari meluas, jauh lebih luas daripada Kediri. Dengan naiknya Arok, tanpa latar belakang kebangsawanan, maka jalur kekuasaan, atau trah, raja-raja Jawa yang berasal dari Sanjaya dan Syailendra putus sudah. Dedes ketika diambil Arok, sudah hamil dari Ametung. Anaknya, Anusapati, kemudian menghabisi Arok. Anusapati akhirnya dibunuh juga oleh Tohjaya, anak Arok dari Ken Umang. Tohjaya mati dalam sebuah pemberontakan militer pada tahun 1248. Ia tidak punya penerus. Penggantinya adalah Wishnuwardana, anak Anusapati. Wishnuwardana mengangkat anaknya menjadi raja sebelum ia mangkat. Barangkali, ia menginginkan anaknya dapat menjadi raja, dan ia masih dapat memberi nasihat apabila diperlukan.

Kertanegara adalah raja pertama yang mengintrodusir sistem politik yang lebih modern. Kertanegara adalah raja yang punya pandangan politik ekspansionis. Ia mengadakan Operasi Pamalayu untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatera. Misi tersebut bukan saja tidak berhasil. Namun ketika kembali, Singhasari sudah tidak ada. Di bawah Kertanegara, kekuasaan Singhasari meluas dari hanya Jawa ke Bali, sebagian Kalimantan. Kalimantan Barat dalam hal ini, khususnya Landa atau Landak yang berpusat di Sekilap.

Terbentuknya Landak, tak terlepas dari Operasi Pamalayu itu sendiri. Kertanegara adalah juga raja yang tidak mau berada di bawah kekuasaan Tiongkok. Tatkala utusan dikirim ke Singhasari, sebelah telinga dari sang utusan dipotong. Menghamburlah kemarahan Kerajaan Tiongkok. Namun, yang menghancurkan Singhasari bukanlah Tiongkok, melainkan Kediri. Ketika itu, Kediri hanyalah daerah jajahan Singhasari di bawah Adipati Jayakatwang. Kertanegara memang tidak pernah mengira akan diseterui oleh Jayakatwang, karena anak Jayakatwang menjadi salah satu perwira kepercayaan Kertanegara. Kediri bersekutu dengan Sumenep, pimpinan Adipati Wiraraja, menyerang Singhasari dari utara dan selatan. Kekuatan Singhasari difokuskan ke utara, dipimpin oleh Wijaya, menantu Kertanegara, bersama Adharaja, anak Jayakatwang. Sementara serangan terbesar justru berasal dari selatan.

Hal yang menarik, jatuhnya Singhasari sangat mudah. Pasalnya, pada saat itu seluruh istana sedang mengadakan upacara Tantrayana, sebuah aliran dari Buddha. Singhasari jatuh. Adharaja mengikuti ayahnya ke Kediri. Pusat kerajaan yang disegani itu pun pindah ke Kediri. Raden Wijaya menyeberang ke Madura, menemui pamannya Wiraraja, sekutu Jayakatwang. Wijaya dinasihati oleh Wiraraja agar menghamba saja ke Kediri. Ia tidak dihabisi, malah justru diberi hadiah tanah di daerah Tarik. Di tanah itu ia membangun sebuah perdikan. Namun, hadiah yang diberikan Jayakatwang tidak menghapus dendam Wijaya. Tentara Yiongkok yang sampai di Jawa untuk menghukum Kertanegara (yang sudah dihabisi lebih dahulu oleh Kediri) dimanfaatkan oleh Wijaya untuk menghabisi Kediri. Kediri hancur, Jayakatwang gugur. Selanjutnya, dalam waktu singkat Wijaya menghabisi tentara Tiongkok yang sedang mabuk dan menghalau sebagian mereka kembali ke laut lepas, menuju daratan Tiongkok.

Tinggallah Wijaya menjadi satu-satunya penguasa tersisa di tanah Jawa. Ia mendirikan kerajaan di atas tanah yang diberikan Jayakatwang kepadanya. Majapahit, demikian nama kerajaan itu, kelak menjadi legenda hidup di Nusantara. Wijaya adalah anak Lembu Tal. Tal adalah anak Mahisa Champaka. Champaka adalah anak dari Arok dan Dedes. Arok seperti tidak salah pilih, keturunannya akan menjadi penguasa jagad raya Nusantara. Itu terjadi dengan Majapahit.

Pada tahun 1294 Majapahit diproklamirkan oleh Wijaya yang kemudian bergelar Kertarajasa. Majapahit melanjutkan tradisi politik Singhasari. Kertarajasa diganti oleh anaknya, Jayanegara. Jayanegara tak berputera ketika mangkat. Ia digantikan anak perempuan saudara perempuannya, Tribuana Tunggadewi. Seorang wanita memimpin Majapahit. Pada saat itulah (Gajah) Mada diangkat menjadi Menteri Utama, atau Mahapatih. Tribuana mangkat dan digantikan Hayam Wuruk, anaknya, yang kemudian bergelar Rajasanagara.

Majapahit berada pada zaman keemasan di bawah Hayam Wuruk. Tentu saja, tidak lepas dari sang Mahapatih yang amat melegenda, yang bahkan mengalahkan segala nama raja Jawa yang ada pada zamannya, Gadjah Mada. Majapahit berhasil menaklukkan hampir seluruh Nusantara. Bahkan, kawasan Malaysia (sekarang) pun berada di bawah kekuasaan Majapahit. Pasca Gadjah Mada, Majapahit seperti menggelincir dari puncak bukit. Perpecahan demi perpecahan terjadi. Tahun 1478, pada abad ke 15, Majapahit jatuh dan tidak bangkit kembali. Ia mampu bertahan 100 tahun sejak meninggalnya Sang Mahapatih, hanya karena sang Mahapatih telah meletakkan dasar-dasar manajemen kenegaraan yang baik. Meski, pada akhirnya, sistem saja tidak cukup, ia memerlukan person, pribadi, memerlukan (dan yang jauh lebih penting lagi) pemimpin.

Zaman Majapahit negeri-negeri di kawasan Nusantara, tak terkecuali Landak, mengalami kemajuan pesat, khususnya dalam hal perdagangan. Satu hal yang menjadi latar belakanganya adalah keamanan pelayaran laut. Kemuduran Majapahit tidak dapat diingkari dari munculnya pelabuhan-pelabuhan baru yang tidak kalah kuat, yakni Malaka, khususnya. Islam yang dibawa melalui jalur perdagangan dari Arab, ke India, hingga Tiongkok, membangun kekuatan ekonomi baru, dan dengan perlahan namun pasti. Era kerajaan Islam menjadi warna aristokrasi Nusantara 500 tahun yang lalu, demikian pula halnya dengan Landak.

Kerajaan Landak meliputi daerah sepanjang aliran Sungai Landak berikut cabang-cabangnya. Sungai Landak memiliki panjang sekitar 390 Km dan merupakan anak dari Sungai Kapuas, berhulu di Gunung Niut dan bersumber air dari Danau Raut. Di sepanjang Sungai Landak dan daerah aiiran sungainya terdapat intan dan emas. Intan terbesar yang pernah ditemukan dari kerajaan ini dikenal dengan nama Intan Kubi (intan ubi) yang belakangan kemudian dikenal sebagai Intan Danau Raja memiliki berat 367 karat, di mana 1 karat sama dengan 200 miligram. Palladium Intan Kubi atau Intan Danau Raja diketemukan oleh Kiayi Jaya Laga di masa pemerintahan Raja Sanca Nata Kesuma Tua (1714-1764). Pencarian intan dan emas di daerah ini dilakukan oleh rakyat dengan mendulang di Sungai Landak atau dengan cara tradisional.

AWAL PERTUMBUHAN KERAJAAN LANDAK
Raden Kusuma Sumantri Indra Ningrat dengan nama abhiseka Ratu Bra Wijaya Angkawijaya Sang Nata Pulang Pali VII mempunyai kegemaran berburu, termasuk menjala ikan. Suatu ketika sewaktu sedang asyik menjala ditemukanlah sebuah mundam berisi rambut yang terhanyut dari pehuluan. Raja Kerajaan Landak ini langsung jatuh cinta pada si pemilik rambut yang belum diketahui pasti tersebut. Suatu hari bersama rombongannya dari ibukota kerajaan di Ningrat Batur, ia memudiki Sungai Landak guna mencari si pemilik rambut. Di sisi lain, sebetulnya perjalanan ini sangat erat kaitannya dalam mengawasi langsung pendulangan intan dan penambangan emas di sepanjang aliran Sungai Landak, yang merupakan hasil komoditi terpenting dari kerajaan ini.

Didapat berita bahwa si pemilik rambut adalah seorang gadis jelita anak dari seorang Dukun Belian seorang paranormal terkemuka yang sangat ahli dalam pengobatan tradisional yang bemama Patih Tegak Temula di Kampung Kurnia Tanjung Selimpat daerah Sepangok. Kedatangan Raja Pulang Pali VII (beserta pengikutnya) yang berpura-pura sakit, akhirnya berhasil memboyong sang gadis jelita ke istana Ningrat Batur di Sekilap Sepatah. Ternyata kemudian, cinta raja yang membara mendapat sambutan cukup mesra. Dan belakangan atas restu Patih Tegak Temula, dinikahkanlah putrinya tersebut dengan Raja Pulang Pali VII. Pesta perkawinan yang sangat meriah dilangsungkan di ibukota Landak di Ningrat Batur, dan sekaligus pada ketika itu puteri dari Tanjung Selimpat tersebut dinobatkan sebagai Ratu Permaisuri. Selang beberapa bulan setelah pernikahan itu, ayah Sang Permaisuri yaitu Patih Tegak Temula bermaksud hendak menjenguk putrinya di istana Ningrat Batur. Tapi nasib malang menimpa dirinya, di dalam perjalanan menuju daerah Sepatah ia telah dikayau (head hunting) oleh orang-orang Biaju dari daerah Kapuas Hulu sekarang.

Mendengar berita duka ini Ratu Permaisuri yang ketika itu telah dalam keadaan hamil, sangat terpukul oleh kesedthan. la larut dengan termenung dan menangis dari hari ke hari. Raja, sang suami tercinta, akhirnya berjanji akan menuntut balas atas kematian mertuanya dengan selekasnya mengambil tengkorak kepala ayah ratu permaisuri yang telah berada di tangan pada pembunuh, tengkorak Patih Tegak Temula tersebut disimpan di Taju Tarus di daerah Biaju.
Sebatang pohon merbau besar yang tegak lurus di pinggiran kota daiam wilayah Ningrat Batur dipilih untuk membuat bahtera atau jung. Rakyat Kerajaan Landak dikerahkan siang dan malam untuk pekerjaan tersebut. Namun, telah beberapa hari pekerjaan itu dilakukan, berlangsung dengan sia-sia. Pohon raksasa tak mampu ditumbangkan. Setiap hari menjelang malam pohon tersebut hanya berhasil dikampak sebagian batangnya. esok paginya telah bertaut kembali dan jadilah pohon besar tersebut utuh seperti semula. Siang ditebang malamnya pulih kembali utuh seperti semula. Melihat kenyataan itu. Raja Pulang Pali VII nyaris berputus asa. Namun semangat menyenangkan hati sang istri membuat ia tak habis-habisnya berikhtiar.

Dengan ilham yang dirasa cukup cemerlang, diadakanlah suatu sayembara dengan iming-iming hadiah yang cukup menarik banyak orang. Tentu sa]a tak sedikit rakyat yang datang untuk ikut ambil bagian dalam sayembara ini. Seorang pemuda penduduk setempat yang belakangan dikenal dengan nama Arya Siner (Ria Sinir) putra dari Arya Jambi dari Kampung Jering, Menyuke, kemudian berhasil memenangkan sayembara kerajaan itu.

Ria Siner adalah seorang pemuda yang memiliki Magico Historia yang berasal dari keturunan Jubata dengan memiliki kekuatan dan kesaktian yang tinggi. Setelah melakukan upacara tradisional yang dikenal dengan nama Berimah, persembahan sesajen kepada Jubata, dengan mempergunakan sebilah beliung timah, batang angker tersebut dapat ditumbangkan. Lalu rencana semula dilanjutkan di bawah pimpinan pemuda perkasa ini, yang dalam waktu relatif singka selesaitah pembuatan kapal jung yang dikehendaki raja. Hasilnya adalah sebuah sarana pelayaran yang amat memadai dan memuaskan. Sementara itu pemuda Ria Siner setelah menerima hadiah yang dijanjikan, ia pun segera bermohon diri untuk kembali ke kampung halamannya di Jering, Menyuke.

PUTERI DARI TANJUNG SELIMPAT
Ternyata upaya peluncuran pertama bahtera atau kapal jung milik Raja Pulang Pali VII tidak semulus sebagaimana diharapkan. Menyadari bahaya kegagalan dari ekspedisi yang akan ditaksanakan, sang raja pun memerintahkan untuk memanggil kembali pemuda Ria Siner yang temyata belum berapa lama menjejakkan kaki di kampung halamannya di Jering, Menyuke. Tak hanya bertugas sebagai pawang peluncuran, bahkan pemuda ini pun diberi kehormatan untuk jadi pimpinan ekspedisi yang bergengsi itu. Sebagai iming-iming hadiahnya, raja berkenan akan menyerahkan salah seorang istrinya kelak bilamana misi itu berhasil. Saat itu, termasuk putrid dari Sepangok Kurni tanjung Selimpat, Ratu Pulang Pali VII memiliki enam orang istri.

Untuk peluncuran bahtera ke air diperlukan tujuh orang wanita yang tengah hamil sulung untuk dijadikan bantalan bahtera. Semula raja ragu-ragu, sebab menyangkut keselamatan jiwa manusia. Tetapi atas desakan para menteri permintaan tersebut terpaksa akhirnya dikabulkan. Dengan disaksikan seluruh warga Kutaraja Negeri Landak pusat kerajaan di Ningrat Batur, Sepatah, bahtera pun berhasil diluncurkan dengan tidak mencederai ketujuh wanita hamil sulung tersebut. Maka perjalanan itu membawa sejumlah prajurit kerajaan, peralatan perang, mata uang emas, lempengan-lempengan emas dan perak. Inilah ekspedisi besar-besaran dengan bahtera dari kayu merbau yang telah ditumbangkan oleh pemuda Ria Siner.

Setelah menempuh terpaan angin dan badai, melintasi sungai dan laut, sampailah rombongan Kerajaan Landak di perkampungan orang-orang Biaju di daerah perbatasan hulu Kapuas dengan Kalimantan Tengah sekarang. Kampung itu letaknya di tepi aliran sebuah sungai, dipagari dengan pohon tangkur atau tuba air di mana batang pohon ini apabila tersentuh kulit, maka kulit akan terbakar.

Secara sembunyi-sembunyi di malam hari uang emas beserta sejumlah lempengan emas dan perak, oleh prajurit Kerajaan Landak ditebarkan pada pagar kubu perkampungan tersebut. Esok paginya, sewaktu menemukan benda-benda logam berharga tersebut, penduduk Biaju saling berebutan. Pagar tuba air segera mereka tebasi, dibuang ke sungai. Mereka tidak terpikir akan kemungkinan datangnya bahaya yang mengancam. Ekspedisi dari Kerajaan Landak yang siap siaga bersembunyi menunggu di hilir sungai, setelah menyaksikan banyak ikan mati berhanyutan, mereka dapat memastikan bahwa pagar tuba air yang mengendala telah dibabat. Penyerangan pun diatur dengan cepat.

Kebolehan pemuda Ria Siner terbukti kembali. la dan prajurit Kerajaan Landak berhasil menyandera kepala suku Bia|u tanpa melalui proses pertumpahan darah yang mengerikan. Sebagai pimpinan ia telah bisa menangkap situasi lawan. melumpuhkannya lantas membawa tengkorak Patih Tegak Temula sebagaimana yang dijadikan missi penyerangan mereka. Baik raja maupun permaisuri yang sebelumnya menjanjikan hadiah atas keberhasilan itu mendadak khawatir. Secara jujur akhirnya permaisuri dari Tanjung Selimpat, Kurnia Sepangok mengakui bahwa pemuda Ria Siner dulunya pernah menaruh hati terhadap dirinya. Maka peristiwa yang dibayangkan adalah sebuah lingkaran bak buah simalakama.

Namun Janji tetaplah janji. Keputusan akan dikonkritkan kelak setelah kejadian yang mendebarkan itu digelar di balairung istana kerajaan Landak di Ningrat Batur. Semua istri raja Ratu Sang Nata Pulang Pali VII yang enam orang, termasuk seorang gadis istana yang sengaja dirias persis permaisuri dari Tanjung Selimpat, duduk berjejer dengan daya tarik masing-masing.

Permaisuri dari Tanjung Selimpat didandan secara kamuflase mirip abdi istana, hitam legam, kotor berdaki dan menyebar bau busuk. Konon, karena itulah maka kemudian sang permaisuri diperkenalkan dengan sebutan Puteri Dara Hitam atau Dara Itam. Tentang siapa nama sebenarnya wanita dari Kurnia Sepangok Tanjung Selimpat ini, tak pernah disebut-sebut atau kurang jelas diketahui. Karena itu ada yang menyebutnya sebagai Puteri Tanjung Selimpat.

Saat berhadapan dengan kenyataan demikian, mendadak pemuda Ria Siner tumpul kepekaannya. Mungkin mantera atau jampi-jampi yang diucapkan permaisuri Dara Hitam dan sang suami Raja Pulang Pali VII agar dirinya selamat dari pilihan itulah penyebabnya. Dalam kondisi lemah begitu sang pemuda yang hendak memiliki mantan puteri yang dicintainya itu, bermantera. Lalu menggunakan panduan seekor kunang-kunang yang konon diciptakannya dari gagang sehelai daun sirih, berhasillah ia menembus kabut penyamaran Puteri Dara Hitam. Betapa terkejutnya Raja Pulang Pali VII tatkala pemuda itu memilih sang permaisuri kesayangannya, melewati penyamaran yang cukup sempurna. Dengan masih berniat menggagalkan pilihan tersebut iapun sengaja menciptakan dialog yang amat diplomatis.

Dialog antara mereka cukup panjang dan melelahkan. Namun, hasilnya tak bergeming. Sang puteri tetap jadi pilihan, sehingga akhirnya raja mengakui itulah sebetulnya permaisuri dari Tanjung Selimpat yang amat dicintainya. Dengan kekalahan yang menderitakan hatinya itu, raja Pulang Pali VII berhasil mempertahankan prinsip sebagai seorang raja, memegang prinsip terhormat, biar langit runtuh janji harus ditepati.

RADEN ISMAHAYANA ADIPATI KARANG TANJUNG TUA
Setelah mengakui kekalahannya, saat melepas Puteri Dara Hitam atau Putri Tanjung Selimpat ke tangan pemuda Arya (Ria) Siner, sang Raja Pulang Pali VII memberikan amanat. Arya Siner dan Dara Hitam baru bofeh menikah apabila Dara Hitam telah melahirkan anak. Apabila anak yang dilahirkan kelak laki-laki, agar diberi nama Raden Iswaramahayana, kepada Arya Siner diperkenankan untuk membangun pemukiman dalam wilayah KeraJaan Landak, dan sebagian dari rakyat ibu kota Ningrat Batur di bawah pimpinan Patih Wira Denta diperkenankan bermigrasi mengikuti rombongan Arya Siner dan Dara Hitam.

Sukar digambarkan betapa mengharukannya adegan perpisahan itu. Baik raja maupun permaisuri tentu tak begitu mudah menghapus cintanya kepada diri masing-masing. Hal ini pun membuat massa terbelah-belah. Di suatu sisi mengagumi keperkasaan Arya Siner. Di sisi yang lain memandang pemuda itu tega dan sampai hati memisahkan dari kecintaannya.

Sejak saat itu pula, Raja Pulang Pali VII menceraikan permaisumya yang berasal dari Tanjung Selimpat, Sepangok. Dari rahim Dara Hitam buah perjodohannya dengan Raja Pulang Pali VII beberapa waktu kemudian lahirlah seorang bayi laki-laki. Sesuai pesan dari ayah sang bayi, maka bayi laki-laki tersebut diberi nama Raden Iswaramahayana.

Pilihan untuk membangun pemukiman bagi Arya Siner dan Dara Hitam yang disertai para pengikutnya ternyata jauh di daerah pedalaman, bukan pantai. Mereka pada umumnya berjiwa petani dan kurang memiliki semangat pelaut, mereka lebih mengutamakan kepentingan agraris daripada maritim.

Beberapa bulan setelah bayinya lahir, Dara Hitam melangsungkan perkawinannya dengan Arya Siner. Dari perkawinan ini pula nantinya lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Arya Kanuhanjaya (Ria Kanu) yang nantinya sebagai pembuat turun temurun bagi masyarakat Dayak di Menyuke tempat asal ayahnya Arya Siner.

Beberapa waktu kemudian, ketika usianya telah meningkat dewasa Raden Iswaramahayana oleh ayahnya Raja Pulang Pali VII dinobatkan sebagai penggantinya untuk mewarisi Kerajaan Landak. Setelah Raja Pulang Pali VII mangkat di Ningrat Batur, maka naik tahtalah Raden Iswaramahayana. Di atas tahta kerajaan, ia kemudian bergelar RajaAdipati KarangTanjung (Tua).
Dengan jiwa maritim yang dimiliki, Raja Adipati Karang Tanjung mengalihkan pusat pemerintahan Kerajaan Landak dari Ningrat Batur. Pilihan untuk membangun ibukota yang baru, ternyata jauh dari pusat semula di Ningrat Batur. Pilihan tersebut ditetapkan pada sebuah lokasi kaki bukit.

Kota didirikan di suatu tempat bernama Ayu, terletak di muara Sungai Menyuke anak percabangan Sungai Landak atau Sungai Tenganap, persis pada pertemuannya dengan Sungai Landak. Setelah berkembang menjadi ibukota Kerajaan Landak kemudian Kota Raja Ayu ini lebih dikenal namanya sebagai Munggu.

Ditilik dari situasi dan kondisi dewasa itu, pilihan Ayu atau Munggu sebagai ibukota kerajaan Landak adalah cukup tepat, selain merupakan pertemuan antara dua aliran sungai, Menyuke dan Landak (Tenganap) , juga merupakan pertemuan atau pusat komunikasi dan transportasi dari ibukota ke pedalaman dan sebaliknya. Tambahan pula di sekitar Munggu, hampir di seluruh daerah aliran Sungai Landak banyak terdapat intan dan emas. Benda tambang ini menyebabkan Landak menjadi termasyhur, baik di Nusantara maupun di dunia internasional.

Dari sinilah selanjutnya terjadi asimilasi perkawinan yang menyebabkan masyarakat di Kerajaan Landak menjadi Orang Laut atau Suku Melayu, sedangkan saudaranya yang memilih lokasi pedalaman, mengingat jiwa perambahan hutan alam dan pertanian yang mereka kuasai, dalam perkembangan selanjutnya dinamakan, Orang Darat.

Antara Raja Adipati Karang Tanjung (Tua) (Raden Iswaramahayana) dan keluarga dari turun temurun ibunya, dengan perkawinan Dara Hitam dan Arya Siner menjalin ikatan persaudaraan yang kuat. Mereka yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Landak di bawah pimpinan Adipati Karang Tanjung Tua menyebut turun temurun perkawinan Dara Hitam dan Arya Siner sebagai Orang Darat, sebaliknya mereka ini menamakan turun temurun perkawinan Dara Hitam dan Raja Pulang Pali VII sebagai Orang Laut.

Mengutip tulisan Gusti Sulung Lelanang (1942) berjudul Indoek Lontar Keradjaan Landak (dengan bahasa asli dari tulisan tersebut), dengan diberikan notasi penjelasan khusus oleh penulis ditandai dengan kalimat di dalam tanda kurung atau (…), di mana mengenai garis besar (sejarah) turun temurun masyarakat Melayu Landak (khususnya, Orang Laut) diuraikan sebagai berikut:

“…Adapun sebagai pangkal sejarah Kerajaan Landak, yaitu dari Raden Kusuma Sumantri Indra Ningrat (Ratu Bra Wijaya Angka Wijaya) yang mendirikan Kerajaan Hindu di Angrat Batur (Ningrat Batur atau Batu Ningrat yang belakangan ini dikenal sebagai daerah tembawang Ambator) dan bergelar (Ratu) Sang Nata Pulang Pali (I) tujuh keturunan (hingga Pulang Pali terakhir atau Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Ratu (Sang Nata) Pulang pali VII beristrikan “Dara Hitam” (putrid dari Patih tegak Temula dari Kurnia Sepangok Tanjung Selimpat) dan berputrakan Raden Ismahayana (Iswaramahayana). Adapun Raden Ismahayanan, adalah raja (pertama) Kerajaan Landak yang mula-mula memeluk agama Islam pada akhir abad XIV dan mendirikan ibunegeri (pusat pemerintahan) Kerajaan Landak di (Ayu) Munggu”.

“Raden Ismahayana ketika sudah beragama Islam lalu berganti dengan nama (Raden) Abdulkahar dan bergelar (Raja) (Adi)pati Karang tanjung (Tua). Raja-raja tanah Landak yang memerintah diturunkan dari tiga orang raja, yang berasal dari satu (garis) keturunan, (masing-masing) (Ratu) Sang Nata Pulang Pali (I sampai VII) (di mana Pulang Pali VII) berputrakan Raden Ismahayana (delapan orang raja), dari Raden Tjili Tedung (tiga orang raja) dan dari Raden Tjili Pahang (16 orang raja). Oleh itu nyatalah di sini bahwa Kerajaan Landak dari Raden Kasuma (Kusuma) Sumantri Indra Ningrat (Ratu sang Nata Pulang Pali I) sampai Sri Paduka Tuanku Panembahan Abdul Hamid (di mana buku Indoek Lontar Keradjaan Landak ini ditulis, 1942, di saat Panembahan Gusti Abdul Hamid memerintah sebagai raja atau Panembahan Kerajaan Landak) sudah diperintah dari satu turunan yang turun temurun yaitu jumlahnya 27 orang raja (berdasarkan catatan yang dibuat Gusti Sulung Lelanang)”.

“Sepanjang riwayat Raden Kasuma Sumantri Indra Ningrat itu adalah putra yang tertua dari ratu Brawijaya Angkawijaya yang bergelar ratu Paseban Condong, yang berahta memerintah Kerajaan Majapahit yang didirikan pada tahun 1294-1478. (Gusti Sulung Lelanang mengasumsikan Kerajaan Landak sebagai bagian dari Majapahit, untuk menunjukkan kebesaran yang sama. Meski dalam penelusuran kemudian, ternyata Kerajaan Landak berdiri dalam waktu hamper bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit, hanya kemudian, Landak menjadi vazal Majapahit)”.

“Berhubung dengan penykit pirai atau tulang Raden Kasuma Sumantri Indra Ningrat pergi membawa nasib, dengan bekal sebuah keris pusaka, yang bernama keris Selimbayo, ialah keris Ratu Brawijaya Angkawijaya sebagai melarikan diri dari Majapahit (Jawa) bersama-sama dengan pengiringnya dengan lanting sehingga sampai ke Pulau Kalimantan (Barat). Banyak tempat-tempat yang disinggahi lanting Raden Kasuma, seperti Padang Tikar yaitu di sepanjang pantai, dan menghiburkan hati singgah mandi, tetapi disebabkan penyakitnya itu sembuh karena dikipas dan dijilat segala ikan-ikan seperti patin, bengah, kelabau gagak, kuyungan dan ikan baung burai. Begitu pula binatang daratan seperti kijang dan binatang malang yang semua itu menjilat dan sebagai obat yang menyebabkan sembuhnya Raden Kasuma dari penyakit pirai”.

“Semenjak itulah Raden Kasuma atau nenek moyang segala raja dan kaum bangsawan Kasuma Ismahayana, sudah bersumpah serta melarang anak cucu dan turunannya tiada dibolehkan memakan daging dan ikan-ikan yang tersebut. Setelah Raden Kasuma sembuh dari penyakitnya itu dan merasa kuasa untuk meneruskan perjalanannya, lalu menitahkan pengiringnya masuk mudik ke Kuala Sungai Temila batang air Sungai Landak, yang kemudian lalu mendirikan Negeri Anggrat Batur yang menjadi ibu negeri Kerajaan Landak yang pertama”.

“Adapun asal keturunan raja-raja dan kaum bangsawan Kerajaan Landak, yaitu asal dari Ratu Brawijaya Angkawijaya, yang menjadi raja pada Kerajaan Majapahit di tanah Jawa, yang didirikan pada (tahun) 1294-1478. Ratu Brawijaya Angkawijaya berputrakan Raden Kasuma Sumantri Indra Ningrat, yang mendirikan kerajaan di tanah Landak dan ibu negerinya yaitu Angrat Batur, dengan bergelar Ratu Sang Nata Pulang Pali I. (Adapun) Ratu Sang Nata Pulang Pali VII beristrikan “Dara Hitam” dan berputrakan Raden Ismahayana (Raden Abdul Kahar). Raden Ismahayana adalah raja Kerajaan Landak yang mula-mula memeluk agama Islam dalam akhir abad XIV, dan lalu berganti nama yaitu Abdul Kahar, yang beristrikan Nyi Limbai Sari yang bergelar Raden Ayu (bergelar Ratu Sari Ayu putri dari Patih Wira Denta) dan berputrakan dua orang: Raden Tjili Tedung dan Raden Tjili Pahang. Sekalian raja-raja dan kaum bangsawan Kerajaan Landak ini ada(lah) keturunan dari dua orang Raden Tjili inilah adanya”.

Mengenai Ria Kanuhanjaya (Ria Kanu), Gusti Sulung Lelanang menjelaskan secara rinci: “…Dara Hitam istrinya Ratu Sang Nata Pulang Pali VII, tidak saja sebagai ibu yang menurunkan segala raja-raja dan kaum bangsawan Kasuma Ismah, karena Dara Hitam (juga) ada menjadi ibu dari Raden Ismahayana, tetapi kemudian kawin lagi dengan Ria Siner (Aria Sinir) dan mendapat putra yang dinamai Ria Kanuhanjaya. Setelah Raden Ismahayana menjadi raja dan memeluk agama Islam serta berganti nama Abdul Kahar, kemudian antara Raden Ismahayana dengan Ria Kanuhanjaya, yaitu dengan bantuan kebijaksanaan Nyi Limbai Sari ialah istri Raden Ismahayana, yang sudah menjadi raja dalam tujuh hatri, sudah didapat perdamaian dengan Sumpah Buang Batu yang mengandung perjanjian dua belas perkara, yakni Bernikah atau Kawin Pengantin, Tepung Tawar Bunting (Hamil), Guring ke Lapit (Kelahiran Bayi), Berayun, Bergunting Rambut, Turun ke Air, Masuk Laminan, Bersunat (Khitanan), Membuat Rumah, Membuat Negeri, Membela Negeri (Peperangan), dan Kematian”.

“Ria Kanuhanjaya berjanji akan membantu Raden Ismahayana untuk memenuhi syarat-syarat adat istiadat Perjanjian Dua Belas Perkara tersebut, sampai kepada anak cucu masing-masing antara kedua belah pihak”. “…Perjanjian itu tidak saja diucapkan dengan mulut tetapi dikunci dengan Sumpah Buang Batu di muara Manyukai (muara Sungai Menyuke). Pada Ria Kanuhanjaya yang menyebut diri Paca Laut (Melayu) salah Dayak mati dan Dayak salah Dayak mati. Raden Ismahayana seorang ksatria yang bijaksana dan mengenal keadilan serta kebenaran mengetahui, bahwa sumpah saudaranya seibu itu salah lalu ditegurnya”. “…kemudian dari pada itu lalu Ria Kanuhanjaya dan kaumnya terjun ke dalam sungai akan mencari batu yang sudah dibuang itu. Setelah batu tiada dapat dicari, maka kata Ria Kanuhanjaya, “Ya, apa boleh buat, sudah kehendak Jubata dan terpaksa kami Dayak mengaku Sumpah Buang Batu ini dan tetap setia pada segala perjanjian-perjanjiannya”. “Hai adinda Aria, setia pada janji itu adalah kemuliaan manusia dan mahkota sekalian kesatria dalam dunia ini”, kata Raden Ismahayana. Demi selesai Sumpah Buang Batu, Ria Kanuhanjaya lalu bermohon pulang ke kampungnya di jering (Banyukai) dan menjadi kepala bangsa Dayak, sampai pada turunan anak cucunya. Demikian pula Raden Ismahayana setelah Ria Kanuhanjaya bermohon pulang, dengan diiringkan istrinya Raden Sari Ayu serta perdana menterinya dan hamba rakyatnya, lalu berangkat ke istananya di Munggu”.

“Setelah beberapa lamanya raja Raden Ismahayana (Raden Abdul Kahar) (Raja) Dipati Karang Tanjung Tua pemerintahan raja yang ke delapan dalam Kerajaan Landak di Munggu, kemudian ketika wafat lalu digantikan oleh putra mahkotanya Raden Tjili tedung, menjadi raja dengan bergelar Raja Dipati Karang tedung, yaitu pemerintahan raja yang ke sembilan dari Kerajaan Landak. Semasa Raja Dipati Karang tedung mangkat dan meninggalkan seorang putra yang masih kecil, dan oleh sebab itu Raden Tjili Pahang Tua naik di atas tahta kerajaan dengan bergelar Raja Dipati Karang sari Tua, yaitu pemerintahan raja yang ke sepuluh dari Kerajaan Landak”.

“Beberapa lamanya Raja Dipati Karang Sari Tua memerintah Kerajaan Landak, kemudian ketika wafat lalu digantikan oleh Pangeran Mangkubumi, adapun Pangeran Mangkubumi adalah putranya almarhum (Raja) Dipati Karang Tedung (Raden Tjili Tedung) raja ke sembilan. Selama Pangeran Mangkubumi memerintah Kerajaan Landak, ada berputra dua orang, (masing-masing) Pangeran Purba Jaya Kusuma dan ratu Mas Landak yang bersuamikan Raden Temenggung Naya Kusuma. Ketika Pangeran Mangkubumi mangkat, maka Pangeran Purba Jaya Kusuma masih kecil dan menggantikan menjadi raja yaitu Raden Kusuma Agung dengan bergelar Pangeran Kusuma Agung (Tua). Adapun Pangeran Kusuma Agung adalah putra Raja Dipati Karang Sari (Tua)”.

“Setelah berakhir pemerintahan Pangeran Kusuma Agung (Tua) dan ketika wafat lalu digantikan oleh putranya yang bergelar Pangeran Kusuma Agung (Muda). Dalam pemerintahan Pangeran Kusuma Agung (Muda), ibu negeri Kerajaan Landak telah dipindahkannya ke Bandong …”

Selanjutnya, turun temurun bangsawan dari tanah Jawa dari Singhasari yang kemudian dikenal sebagai Ratu Sang Nata Pulang Pali I, pangeran dimaksudkan tadi, adalah Raden Kasuma atau Kusuma Sumantri Indra Ningrat Ratu Angka Wijaya Bra Wijaya, memerintah di Kerajaan Landa atau Landak. Ia telah menciptakan suatu dinasti yang memerintah hingga sirnanya masa keemasan Landak Hindu di masa Ratu Sang Nata Pulang Pali VII antara 1292 hingga 1472. atau selama dua abad lebih. Cikal bakal Kerajaan Landak ini, ternyata juga telah meninggalkan kisah-kisah yang melegenda di tengah masyarakat Landak turun temurun. Dan awal pertumbuh-kembangannya terjadi dengan adanya suatu jalinan asimilasi antara peletak dasar berdirinya kerajaan ini yang berasal dari tanah Jawa dengan masyarakat yang memang sudah terlebih dahulu bertapak di di kawasan itu, yaitu mereka yang belakangan dikenal sebagai masyarakat Dayak yang pada ketika silam dikenal sebagai Orang Darat.

Asimilasi dan interaksi antara pendatang dari Singhasari (Jawa) yang membawa pengaruh Hindu yang terjadi dengan masyarakat (orang Darat atau masyarakat Dayak) setempat yang teguh dengan keyakinan animisme-dinamisme dan totemismenya, kemudian menjadi penduduk Negeri Landak Tua. Penduduk Negeri Landak Tua inilah yang setelah mendapat pengaruh Islam, menerima dan memeluknya serta mendalami ajarannya belakangan dikenal sebagai Orang Melayu. Inilah yang menjadi Melayu Landak turun temurun.

*) Di bawah pemerintahan Raja Adipati Karang Tanjung Tua (1472-1542), agama Islam berkembang dengan pesatnya di wilayah Kerajaan Landak. Raja Kerajaan Landak sendiri beserta rakyatnya kemudian memeluk agama Islam. Dan raja sendiri kemudian berganti nama menjadi Raden Abdulkahar.