PERGERAKAN NASIONAL Dl DAERAH LANDAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Semangat merdeka yang telah tertanam di dalam jiwa bangsa Indonesia yang semula dilakukan melalui perjuangan fisik bersenjata sebagaimana dirintis melalui pergolakan yang dipimpin Ratu Mas Adi dilanjutkan Gusti Kandut Muhammad Taberi Pangeran Wiranatakusuma hingga pergolakan berskala besar di bawah pimpinan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma (1912-14), kerap mengatami kegagaian. Dan seluruh rangkaian pergolakan itu, dinamakan pihak kolonial Belanda sebagai pemberontakan, dapat dengan mudah dipatahkan. Hal itu mengingat ketidakseimbangan dalam hal persenjataan khususnya serta belum menyeluruhnya gerakan dilakukan.
Sejatan dengan situasi dan kondisi yang demikian itulah, bentuk dan sifat pergolakan rakyat LandaK mulai dialihkan kepada gerakan yang menjurus ke sifat politik, sosial dan non tisik atau tidak lagi secara bersenjata.
Menjelang akhir abad XIX, para pemuda di daerah Landak, mulai banyak yang mendapat pendidikan cukup tinggi. Mereka merupakan tokoh-tokoh yang mulai mengecap pendidikan modem yang pertama di daerah Landak. Hal itu terjadi, bukanlah karena kemurahan hati dan sifat baik Belanda. Kolonial terpaksa memberikan pendidikan bagi para pemuda karena suahl kepentingan penjajah itu sendiri. Belanda memerlukan tenaga terdidik yang diharapkan kelaknya bisa digaji lebih rendah daripada tenaga orang-orang Belanda sendiri. Belanda ingin menjadikan negeri jajahan mereka, termasuk Landak yang kaya akan potensi alam berupa intan dan emas serta hasil alam lainnya sebagai pasaran industri mereka.
Ternyata tindakan Belanda itu belakangan menjadi semacam bumerang atau senjata makan tuan bagi mereka sendiri. Dari hati para pemuda terpelajar, itulah tercetus kainginan untuk membangkitkan rasa kebangsaan di kalangan rakyat. Serikat-serikatserta partai-partai pun mulai bermunculan. Tujuan mereka hampirsama, demikian pula dengan organ isasi-organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan.
Di Kalimantan Barat, sejak tahun 1914, beberapa bulan setelah padamnya pergolakan bersenjata yang dipimpin Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma, di Landak Ngabang, untuk pertama kalinya berdiri cabang dari Serikat Islam (Sl), yang sekaligus merupakan organisasi pertama berdiri di Kalimantan Barat.
Melatarbelakangi hadirnya cabang Sl di daerah Landak Ngabang dikarenakan penindasan imperialis yang bukan hanya dirasakan oleh para saudagar intan dan emas saJa di daerah Landak yang terkenal dengan komoditi tersebut, terutama adanya monopoli Befanda dalam perdagangan, di kalangart pemuda dan pemuka masyarakatnya telah memikirkan sudah saatn^'a suatu perikatan, mengingat setiap pergolakan bersenjata selalu dapat dengan mudah dipatahkan.
Dalam suasana dan situasi berpikir yang demikianlah sehingga kehadiran Sl dapat dengan mudah diterima oleh lapisan masyarkat di Landak. Terlebih dengan missi yang diperkenalkan sebagai usaha untuk mengangkat harkat hidup rakyat yang tertindas. Terbentuk dan berdirinya Sl Cabang Ngabang dalam tahun 1914 selanjutnya menetapkan sebuah kepengurusan yang terdiri dari:
Presiden (Ketua) : Ibrahim H. Rahmad
Sekretaris : H. Umar
Bendahara : H. Nasri
Komisaris : 1 H.Abdulkadir
2.H.M. Yusuf
3.H.M.Amin
4.Mohammad Hambal
Selanjutnya untuk propaganda Sl di dalam kehidupan masyarakat pedalaman dan pehuluan daerah Landak, para pemudanya secara aktif membawa missi Sl. Hal itu dilakukan oleh intelektual yang pada umumnya mereka berprofesi sebagai guru, di antaranya seperti Achmad Sood Achmad, Mohammad Sohor, Gusti Situt Mahmud, Achmad Marzuk dan Mohammad Hambal Achmad.
Tahun 1919 pemerintah kolonial Belanda melalui Residen Kalimantan Barat, membekukan seluruh aktifitas St di daerah ini. Hal itu dengan dalih untuk membendung pengaruh pergolakan yang dilakukan rakyat di Cimareme, Garut, Jawa Barat maupun di Toli-Toli. Akibattekanan tersebut, Sl cabang Ngabang yang berusia mendekati lima tahun, sejak 1919 mengalami kevakuman. Selanjutnya oleh para tokoh pemuda dari kalangan Sl di daerah Ngabang, aktifias mereka dialihkan dengan dipusatkan pada kegiatan pemberantasan buta huruf, khususnya bagi rakyat pedalaman dan pehuluan sekaligus mempropagandakan upaya untuk menghadapi imperialis Belanda secara politis.
Tahun 1923 setelah beberapa tahun, sejak 1919 mengalami kevakuman pergerakan politis, kembali dibentuk sebuah organisasi kamuflase sebagai kelanjutan dari Sl. Organisasi ini diberi nama Serikat Rakyat yang dirintis dan dibentuk oleh Gusti Sulung Leianang. Gusti Sulung Leianang sendiri adalah aktifis Sl sejak di bangku sekolah di Batavia dalam tahun 1917. Dalam rnenghadirkan Sl dengan nuansa baru dengan nama SR, Gusti Sulung Leianang yang berasal dari Ngabang melanjutkan seluruh bentuk, sifat dan aktifitas Sl sebelumnya. Maka dengan mudah kehadiran SR diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Serikat Rakyat yang dibentuk oleh Gusti Sulung Leianang ini berbeda dengan SR yang berhaluan komunis, yaitu pecahan dari Sl di Semarang. SR versi Gusti Sulung hanyalah organisasi kamuflase untuk menampung keberadaan aktifis Sl serta menyalurkan perjuangan dan pergerakan mereka melalui wadah Ini. Karena aktifitas itu pula, selanjutnya Gusti Sulung Leianang mendapat kecaman dan tekanan dari pihak kolonial Belanda-
Untuk mematahkan laju pergerakan politis rakyat Landakyang dipandang membahayakan bagi kolonia! Belanda, berdasarkan Besluit Gubernur Jendral Acd De Graeff tanggal 1 April 1927 Nomor 3, sejumlah sepuluh orang tokoh pergerakan dan aktifitas SR di Kalimantan Barat, di mana tujuh di antaranya dari Landak Ngabang, diputuskan untuk diinternir' atau diasingkan ke Boven Digul. Kesepuluh tokoh itu masing-masing H.A. Rais HA Rachman, dari Parit Mayor Pontianak, Gusti Mohamad Hamzah dari Teluk Melano dan Djeranding Abdurrachman dari Melapi Putussibau. Sedangkan tujuh tokoh pergerakan dari Landak Ngabang masing-masing Gusti Sulung Lelanang, Gusti Situt Machmud, Gusti Djohan Idrus, Achmad Sood Achmad, Achmad Marzuki, Mohammad Sohor, dan Mohammad Hambal Achmad..
Gusti Sulung Lelanang dan kawan-kawannya dikirim ke Boven Digul yang terkenal sebagai kamp konsentrasi dan sarang nyamuk malaria di Asia ketika itu pada pertengahan April 1927 dengan menggunakan Kapal Rough dari Pelabuhan Pontianak. Semenjak tahun 1927 mereka resmi sebagai orang intemiran dan dengan sendirinya pergolakan politis yang muncul sejak tahun 1914, kembali dapat dipadamkan tahun 1927.
Hampir selama sepuluh tahun, hingga tahun 1936, sepeninggal tokoh-tokoh pergerakan yang diasingkan tersebut, oleh Belanda daerah Kalimantan Barat dinyatakan aman dari gerakan dan kecaman-kecaman politik. Dengan perkataan lain, selama sepuluh tahun rakyat Landak khususnya tidak melakukan gerakan apa-apayang bermuatan politis, termasuk juga vakumnya keberadaan organisasi politik.
PERJUANGAN POLITIS RAKYAT LANDAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Tanah merah dan Boven Digul di Irian, menjadi semacam ijazah bagi para tokoh pergerakan, termasuk mereka yang diasingkan ke tempat ini dan berasai dan daerah Landak Ngabang. Kedua tempat ini memitiki arti yang khusus dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Di tempat inilah diasingkannya para tokoh yang menganut prinsip nonkooperasi dengan pemerintah kolonial Belanda.
Setelah mendekam di Boven Digul sejaktahun 1927, selama kurang lebih sebelas tahun, dalam tahun 1938, besluit pengasingan terhadap diri Gusti Sulung Leianang mendapat pencabutan. Dengan demikian, ia (dan kawan-kawannya yang lain termasuk yang telah lebih dulu dicabut besluitnya) dibebaskan dari pengasingan dan diperkenankan untuk kembali ke daerah asalnya di Kalimantan Barat.
Hampir selama sepuluh tahun, 1926-36, sepeninggal tokoh-tokoh pergerakan militan di Kalimantan Barat, Belanda menyatakan daerah ini aman dari gerakan dan kecaman politik, khususnya dari daerah Landak yang terkesan sebagai pusat pergerakan rakyat di Kalimantan Barat.
Permulaan tahun 1937, Partai Indonesia Raya (Parindra) mulai tumbuh dan berkembang di Kalimantan Barat. Dalam waktu relatif singkat, organ isasi politik ini telah berdiri pula cabangnya di Landak Ngabang dalam tahun tersebut. Para pemuda memilih aktif di dalam organisasi ini serta aktif di dalam gerakan kepanduan Suryawirawan.
Tumbuh dan berkembangnya Parindra ini, kembali mendapat perhatian dari residen Kalimantan Barat. Perhatian yang dimaksudkan bukan untuk mendukung gerakan politis Parindra, melainkan bagaimana untuk mengimbangi organisasi ini agar tidak merasuk di dalam segenap lapisan rakyat, terutama yang dulunya aktif di dalam Sarekat Islam ataupun di dalam Sarekat Rakyat. Dengan melakukan pendekatan kepada kalangan terpelajar lainnya, kalangan bangsawan dan tokoh-tokoh pengusaha lokaf, pihak Belanda mendorong dan merestui kehadiran sebuah organ isasi yang bersifat lokal dan kedaerahan, maka dalam tahun 1937 itu pula di Pontianak berdiri sebuah organisasi dengan nama Persatuan Anak Borneo atau dikenal luas sebagai PAB.
Kehadiran PAB, termasuk cabangnya di daerah Landak, sepenuhnya ditunjang oleh pernerintah Belanda, lebih bersifat kedaerahan. Belanda berusaha menjadikan PAB sebagai aiatnya untuk menerapkan politik De Vide Et Impera. Kondisi yang demikian merupakan upaya untuk menghambat laju perkembangan Parindra yang belum setahun usianya namun memiliki pengaruh besar di kalangan rakyat.
Dengan kembalinya Gusti Sulung Leianang ke Pontianak dari pengasingannya di Boven Digul, segera dilakukan suatu upaya agar PAB tak terkontaminasi oleh upaya pihak Belanda tersebut. Maka dengan suatu pendekatan politis yang dilakukan tokoh-tokoh pergerakan Parindra, yang pada kebanyakannya berasal dari Landak Ngabang, di antaranya Gusti Sulung Leianang, Ya' Mohammad Sabran (bin Ya’ Aij Kimas Tanjung) dan sejumlah tokoh politik lainnya, akhimya antara PAB dan Parindra terjalin suatu kerjasama atau ikatan.
Jalinan yang erat antara kedua organisasi pofitik dan semi politik (PAB) tersebut, kemudian melaksanakan upaya-upaya aktif kembali mendorong rakyat Kalimantan Barat untuk mengantarkan kemerdekaan bangsanya secara kolektif. Berbagai upaya ditempuh di dalam organisasi ini, terutama dalam pendidikan rakyat. Di Ngabang melalui organisasi itu didirikan sekolah antara lain Overgang School dan juga Inheemse Nederlandshe School yang masing-masing tenaga pengajarnya adalah tokoh-tokoh pergerakan penuh militansi dari kalangan pergerakan Parindra yang dimotori Gusti Sulung Leianang dan Ya' M Sabran.
Perjalanan pergerakan politik Parindra di Landak Ngabang ternyata mendapat sambutan dari seluruh lapisan rakyat. SeJak kehadirannya tahun 1937, organisasi ini tumbuh dan berkembang dengan pesatnya, bahkan diakui, keberadaan Parindra di| Kalimantan Barat, berpusat di Landak Ngabang, sekalipun pimpinan wilayahnya berkedudukan di Pontianak. Peranan penting yang dimainkan oleh para politisi dari daerah ini, telah memberikan warna tersendiri kepada organisasi politik tersebut.
Dalam mempropagandakan kemerdekaan, tokoh-tokoh Parindra tidak hanya melalui organisasi yang monoton, namun juga dengan melakukan propaganda kamuflase lewat pementasan sandiwara, menerbitkan surat kabar serta pendekatan kepada rakyat dari pesisir hingga pehuluan dan pedalaman.
Seterusnya, disaat tengah aktifnya organisasi ini melancarkan ! propaganda kemerdekaan, Jepang melakukan invansi militernya. Kalimantan Barat, merupakan suatu daerah yang paling awal 'berhasil dikuasai setelah terlebih dahulu pada kurun awal penghujung 1941 menduduki Kota Pontianak. Dalam waktu yang relatif pendek, Landak Ngabang pun kemudian segera dikuasai pihak Jepang.
Semua organisasi pergerakan pemuda, terlebih yang memiliki pengaruh besarserupa Parindra dan PAB, dibubarkan. Tokoh-tokoh pergerakan di Landak Ngabang yang sudah kehilangan wadah, tidak kehabisan upaya. Mulai tahun 1942, sejak dikuasainya daerah ini dan praktis dibubarkannya seluruh organisasi yang ada, para tokoh pergerakan meneruskan aktifitas mereka dengan membina generasi muda melalui wadah kesenian, yaitu mementaskan sandiwara sebagai propaganda lanjut perjuangan kemerdekaan.
Di masa pendudukan militer Jepang di Kalimantan Barat inilah, tak sedikit rakyat yang menjadi korban keganasan facis militer balatentara pendudukan Dai Nippon, termasuk para tokoh pergerakan politik. Demikian pula nasib yang dialami oleh orang-orang yang dipandang penting dan berpengaruh di daerah Landak. Satu persatu mereka diculik, kemudian dihilanglenyapkan dengan ketidakjelasan nasib yang dialaminya kemudian.
Sejak dilakukannya penyungkupan oleh balatentara Jepang terhadap para tokoh, penguasa otonom lokal, kalangan politisi, pemuda dan orang berpengaruh lainnya di daerah Landak, maka seluruh rangkaian aktifitas rakyat praktis terhenti. Tahun 1942-1945, di Kalimantan Barat, ribuan orang telah dibantal oleh balatentara Jepang. Di antara para korban tersebut, dari Landak Ngabang termasuklah Panembahan Kerajaan Landak Gusti Abdulhamid Azis.
Minggu, 04 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar