Minggu, 04 Oktober 2009

JEJAK SEJARAH KERAJAAN LANDAK (V)

PERGOLAKAN RAKYAT LANDAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Belanda di dalam mefaksanakan politik penjajahannya, berpedoman pada garis politik yang ditanamkan oleh Coen salah seorang pengikut Calvinis dan penganut ajaran Machiavelli dengan titik tolak ekspansi menuju kepada Recht Van Verovering dan kontrak-kontrak yang menghasilkan Recht Van Monopoli. Dengan demikian, perluasan kolonialisme Belanda didasarkan pada Historische Recht terus diberlakukan.

Selama berada di bawah penjajahan kolonial Belanda, berkali-kali terjadi pergolakan yang dilakukan rakyat kerajaan Landak di mana pemberontakan yang paling awal dipimpin Ratu Adi Achmad Kesuma putera dari Pangeran Mangkubumi Gusti IsmaJI Raja Haji Isya. Pergolakan Ratu Adi Achmad Kesuma ini sangat terkenal dan turun temurun menjadi buah bibir rakyat Landak.

Demikian pula halnya dengan pergolakan rakyat Landak dan Menyuke yang digerakkan oleh Wakil Penembahan Gusti Kandut Muhammad Taberi Pangeran Wira Natakesuma, yang pada kesudahannya, sebagaimana pergolakan sebelumnya. perlawanan itu dapat dengan mudah dtpatahkan. Gusti Kandut sendiri setelah tertebih dahulu diberhentikan sebagai wakil raja kemudian dihukum pengasingan ke Bogor, Jawa Barat.

Di masa Kerajaan Landak diperintah oleh Panembahan Gusti Machmud Akamuddin (1844 - 47), sebuah permufakatan antara Gouvernement Van Nederlandsch Indie dengan Kerajaan Landak pada tanggal 31 Mei 1845 dilangsungkan.

Pemufakatan ini ternyata berlanjut di masa pemerintahan Panembahan Ratu Adi Kesuma Amaruddin (1847-74) tanggal 17 Juli 1859 yang membuahkan suatu Kontrak Panjang. Maka berdasarkan itu pula mulai saat itu di Ngabang ditempatkan seorang pegawai pemerintah berkebangsaan Belanda selak Europeesch Bestuursambtenaar. Dan kemudian, di masa pemerintahan wakii panembahan Pangeran Mangkubumi Gus Bujang Isman Tajuddin (1901- 22) kembali Belanda menyodorka sebuah Politiek Contract pada tanggal 8 Oktober 1909. Semaki jelas, dari kontrak pertama sampai kontrak 1909 itu, secar berangsur-angsur kolonial Belanda kian mempersempit ruan gerak dan kekuasaan Kerajaan Landak.

Dalam perjanjian tahun 1909 itu, antara lain ditegaskan bahwa administrasi Kerajaan Landak dikendaiikan langsung olel pemerintah Hindia Belanda yang dalam hal itu dikuasakan kepadi Gezaghebber atau Controleur. Sedangkan jabatan menteri d dalam pemerintahan kerajaan Landak dihapuskan, seba( gantinya diangkat sejumlah kepala Onderdistrk atau juga kepi Distrik. Dengan demikian, panembahan hanya berfungsi sebaf pengawas.

Selain itu, menyangkut Apanage dihapuskan pula dan sebai gantinya diberlakukan Belaasting yang harus dibayar rakyat Landak dalam bentuk uang. Di samping membayar befasting, rakyat Landak diwajibkan melakukan rod's atau Heeredienst selama 20 hari daiam setahun, sedangkan untuk hasil hutan Kerajaan Landak diberlakukan sebesar 10 persen. Di luar hal itu, juga ditegaskan, bahwa hukum adat digantikan dengan sistem Landraad serta perjanjian adat antara turun temurun Raden Abdulkahar dan Arya Kanuhanjaya dihapuskan.

Dalam suasana yang serba tak enak dan kacau, di mana penderitaan rakyat kian bertambah berat dengan diberlakukannya kondisi tersebut, mulai terjadi perpecahan di lingkungan Kerajaan Landak.

Dengan dibantu Ya' Bujang Wedana Jaya Kusuma dan beberapa orang kepercayaannya, di antaranya Panglima Ganti, Panglima Bida, Panglima Daud dan Panglima Anggui yang merupakan perpaduan antara Landak dan Menyuke, Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma yang di waktu itu sebagai seorang menteri kerajaan, tampil ke depan untuk memimpin pergolakan rakyat Landak dan Menyuke.

Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma adalah salah seorang putera dari Panembahan Gusti Abdulmajid dan merupakan saudara dari Panembahan Gusti Abdul Azis Majid. Secara diam-diam Pangeran Natakusuma mengorganisir suatu perlawanan bersenjata terhadap Belanda. Dikirimnyalah sejenis tongkat komando isyarat peperangan secara adat yang dinamakan dengan Damak.

Pengiriman damak tanda peperangan ini mendapat sambutai hangat dari rakyat, bermula dari rakyat di daerah Menyuke yarn selanjutnya meluas ke segenap pelosokwilayah kerajaan Landak Peristiwa itu terjadi dalam tahun 1912 yang oleh kolonial Beland; dinamakan dengan Onlusten.

Menghadapi pergolakan rakyat Landak di bawah pimpinan Gusl Abdurrani Pangeran Natakusuma ini, Belanda cukup kewalahan Tak berhasil mematahkan perlawanan yang terus berkecamul mendekati dua tahun itu, akhirnya didatangkan bala bantuan dengai persenjataan lengkap dan tak seimbang yang ada pada rakya Landak. Dengan kapal perang kecil Kahar, kedatangan pasukal Belanda dari Pontianak langsung menuju ke Ngabang dar mengepung Istana Pedalaman dan dalam suatu muslihat berhasi menangkap Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma.

Selanjutnya pasukan ini bersama Gusti Abdurrani yang tertawan memudiki Sungai Landak menuju Munggu, bekas pusa kerajaan yang dijadikan basis pertahanan rakyat. Slasat BelandE dengan membawa Pangeran Natakusuma, untuk menunjukkar kepada rakyat Landak bahwa perdamaian sudah tercapai Pangeran Natakusuma pada kesempatan itu berdiri di haluan kapa Kahar memberikan isyarat dengan tangannya supaya perlawanar diteruskan. Tetapi kurang dimengerti oleh pengikutnya. Tal terdengartembakan, keadaan sunyi senyap.

Akhirnya perlawanan sejak 1912 itu berhasil dipatahkan pads tahun 1914. Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma kemudiar dibawa ke Pontianak. Keputusan pengadllan pemerintah kolonia Belanda di Batavia memutuskan Gusti Abdurrani Pangerar Natakusuma diasingkan seumur hidup. Sementara itu Ya' Bujang Wedana Jayakusuma dibuang ke Bogor, Panglima Ganti mendapal hukuman 20 tahun penjara sebagai Orang Rantai di Aceh, Panglima Daud sebelum tertangkap berhasil meloloskan diri ke Sirian Sewawak dan hingga akhir hayatnya menjadi ulama di sana. Sedangkan dua panglima perang lainnya, Bida dan Anggui telah melenyapkan diri tak ada kabar beritanya sebelum pergolakan dipatahkan.

Dalam pengasingannya di Bengkulu, Gusti Abdurrani tidal pernah menerima bantuan keuangan dari pemerintah kolonia Belanda- Untuk mengatasi kehidupannyadan keluarganya selaras di pengasingan, ia harus bekerja keras mencari nafkah sendiri. Dalam pengasingan itu turut serta dua orang istrinya masing-masing Encik Hajijah dan Nyemas Ahim serta beberapa orang anaknya, di antaranya Gusti Muhammad Affandi dan Utin Halimah Asmara.

Selama dalam pengasingan, sejak 1914 itu pula Gusti Abdurrani dan keluarganya beberpa kali pindah tempat tinggal. Mulanya di Malboro, kemudian Pasar Bengkulen, kemudian di Sungai Itam, Kuala Bengkulu dan terakhir kali di Kampung Kelawi, Di sinilah, dalam tahun 1920, setelah hampir enam tahun sebagai orang pengasingan, Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma meningga! dunia. Semula dimakamkan di sini dan oleh masyarakat Bengkulu menamakan makamnya sebagai Pusara Raja Borneo, selanjutnya dalam tahun 1981, atas upaya Pemda Kalbar dan pihak keiuarganya, kerangka Gusti Abdurrani dimakamkan kembali di tanah kelahirannya di Ngabang. Seterusnya, dalam tahun 1999, Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma oleh Pemerintah Rl dianugerahi tanda kehormatan berupa Bintang Mahaputra Nararia.