Minggu, 04 Oktober 2009

JEJAK SEJARAH KERAJAAN LANDAK (IV)

RATU MAS ZAINTAN DAN INTAN KOBI
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Guna usaha menyatukan Nusantara dan sekaliyus 1 menghalau kolonial Belanda. Sultan Agung I Anyokrokusumo dari Mataram dalam tahun 1622, mengirim pasukannya untuk menghancurkan Keraiaan Matan. Pasukan Mataram ini di bawah pimpinan Bupati Kendal Adipati Bahurekso. Bagi Mataram, menaklukkan Matan, sebagai sebudh keraiaan sekutu Surabaya, berarti melumpuhkan Surabaya yang merupakan saingannya sekaligus tandingan yang tangguh.

Matan merupakan gudang logistikyang setiap saatnyaselalu menyediakan kebutuhan pangan bagi Surabaya. Ketika Matan diserang oleh Mataram, ketika itu kendali pemerintahan dan kekuasaan berada di tangan Ratu Sukadana yang semulanya bernama Ratu Mas Zaintan, Ratu Sukadana atau Ratu Mas Zaintan adalah janda dari Penembahan Giri Kesuma, Ratu Sukadana merupakan putri dari Pangeran Purba Jayakesuma, salah seorang raja di Keraiaan Landak.

Kedudukan Ratu Sukadana di atas tahta kerajaan Matan merupakan pelanjut pemerintahan Giri Kesuma, sekaligus selaku wali dari putera mahkota Giri Mustika yang nantinya bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin yang ketika itu masih belum dewasa. Ratu Sukadana pada ketika itu terjun memimpin langsung perlawanan Matan terhadap Mataram, namun pada kesudahannya ratu yang cantik jelita dan penuh dengan sifat kefeminimannya di kala damai dan merupakan seorang amazone di medan perang, akhirnya bersama pasukan Matan menyerah kalah.

Kerajaan Matan sebagai sebuah kerajaan Maritim yang bergerakdi bidang perniagaan, menghadapi serangantakterduga dari Mataram tersebut sekalipun telah bertahan habis-habisan,
Salah satu meriam pusaka bekas Kerajaan Landak di sisi kanan pinlu masuk bekas keraton Kerajaan Landak atau rumah dalam di Desa Raja Ngabang. terpaksa harus menerima kekalahan yang merupakan kenyataan pahit. Ratu Sukadana Mas Zaintan akhirnya secara terhormat ditawan dan dibawa ke Mataram, untuk kemudian diasingkan ke sebuah tempat di dekat Yogyakarta yang bernama Pingit.

Palladium Intan Kubi pusaka Kerajaan Landak yang diwariskan kepada Ratu Sukadana secara tersembunyi ikut terbawa oleh ratu tersebut di dalam pengasingannya. Hingga kemudian sewaktu ratu telah lanjut usia itu meninggal dunia, maka atas perkenan Sultan Agung Anyokrokusumo, jenazahnya dibawa kembali untuk dimakamkan di Matan. Dan secara rahasia pula, pusaka kerajaan Landak, intan kubi berhasil dibawa serta sejak saat itu pula nama intan kubi diganti menjadi Intan Danau Raja.

Di masa Ratu Sukadana masih memerintah, terkesan Kerajaan Landak dan Kerajaan Matan berada dalam satu tangan pemerintahan, mengingat antara keduanya selaku panembahan di tempat yang berbeda, adalah sebagai saudara kandung, di mana Ratu Sukadana Mas Zaintan panembahan kerajaan Matan adalah adik kandung dari Pangeran Anom Jayakesuma raja kerajaan Landak ketika itu.

Beberapa waktu setelah mangkatnya Ratu Sukadana, Matan yang telah diperintah Sultan Muhammad Zainuddin putra dari Sultan Muhammad Syafiuddin yang semula dikenal dengan nama Panembahan Giri Mustika, menyerbu Kerajaan Landak. Dalam penyerbuan itu, selain intan pusaka Kerajaan landak yakni intan danau raja dirampas kembali oleh Matan, Kerajaan Landak pun dapat ditaklukkan. Bahkan, Pangeran Anom Jayakesuma beserta permaisuri serta sejumlah menteri kerajaan Landak ikut tertawan dan dibawa ke Matan.
Untuk menebus kekalahan ini, Kerajaan Landak melalui putri Pangeran Anom Jayakesuma, yakni Puteri Ratu Mas Adi yang menyamar sebagai seorang perjaka dengan nama samaran Raden Panji Wijaya meminta bantuan kepada Kerajaan Banten. Perutusan yang menghadap Sultan Banten Abulmahasim Muhammad Zainul Abidin ini juga mempersembahkan dua butir intan dari tanah Landak yang salah satunya seberat 54 karat.

Sultan Abulmahasim Muhammad Zainul Abidin (1690-1703) mengabulkan permintaan bantuan dari kerajaan Landak tersebut dan mengirimkan pasukannya sebanyak 75 pencalang yang dipimpin pemuda belia bernama Adipati Natakesuma.

Di samping itu, VOC dengan tujuan utamanya untuk mematahkan saingan mereka EIC Inggris yang bercokol di Matan, turut membantu Kerajaan Landak dengan mengirimkan 4 kapal perang beserta tentaranya, masing-masing De Faam, De Bij, De Arend, dan Three Boom, berikut delapan pencalang di bawah pimpinan Bevelhebber Roelof Goen dan Onder Bevelhebber Jacop Klasszoon, dan penyerbuan terhadap Matan ini berlangsung dalam tahun 1699 beberapa bulan setelah kekalahan Kerajaan Landak.

Matan yang dipimpin Sultan Muhammad Zainuddin tidak dapat bertahan, ini disebabkan tak sedikitnya pasukan yang melakukan penyerangan, ditambah dengan perlengkapan perang yang jauh tidak seimbang dengan yang ada. Selain hal tersebut, faktor lain yang mempercepat kekalahan Matan, di mana ketika itu antara Sultan Zainuddin dan saudara tirinya Pangeran Agung tengah terjadi upaya kudeta.

Meski Matan telah dikalahkan, namun EIC Inggris masih berupaya mempertahankan diri dan melanjutkan pertempuran menghadapi Belanda, sekalipun pada kesudahannya Belanda berada di pihak yang menang. Namun pun begitu, Bevelhebbci Roelof Goens mengalami cidera parah yang akhirnya merenggu jiwanya.

Sekalipun Kerajaan Landak telah mengungguli Matan, dan dengan sendirinya Matan dijadikan taklukan dan Banten yang kemudian mengambil kesempatan baik untuk memperluas kekuasaannya. Dan sejak itu pula, kerajaan Landak berada di bawah Vazal atau taklukan Kerajaan Banten, demikian pula hatnya dengan kerajaan Matan.

Pada akhirnya, antara kerajaan Landak dan Kerajaan Matan mengadakan perdamaian dan menjalin kembali hubungan kekeluargaan. Dua meriam yang belakangan dikenai dengan nama Meriam Munggu merupakan peninggalan pusaka tanda perdamaian itu.

Sepasang meriam yang ditempatkan di Lawang Kutaraja di punggung bukit di bekas pusat pemerintahan kerajaan Landak di Ayu Munggu, kemudian keduanya masing-masing diberi nama Kiai Kasumi dan Ratu Kesturi.

Meriam-meriam ini terbuat dari besi yang masing-masing memiliki berat serendahnya 2 ton, terletak di atas tanah perbukitan. Meski sampai saat ini usianya di atas dua abad, namun tidak mengalami perkaratan serta juga tak tertimbun tanah sekitarnya.

INTERVENSI KOLONIAL BELANDA
Dengan berdirinya Kesultanan Pontianak (1771-72) di delta muara Sungai Landak pada pertemuannya dengan Sungai Kapuas, kota-kotadi pehuluan kedua sungai tersebut yang sejak semula memasarkan hasil buminya serta sebaliknya membeli keperiuan mereka di Mempawah dan Matan, menjadi terganggu. Hal ini disebabkan, semuajenis komoditi yang melewati aliran sungai tersebut harus dipasarkan di bandar pelabuhan dagang Kesultanan Pontianak.

Kerajaan Landak dalam hal itu merasa sangat dirugikan, sebab selain perdagangan intan dan emasnya mengalami kemunduran, juga sepanjang aliran Sungai Landak merupakan witayah kekuasaannya. Untukmenengarai keadaan itu, Kerajaan Landak membawa persoalan tersebut kepada Kesultanan Banten yang sejak berhasil mengalahkan Matan diakui sebagai sekutunya. Sementara bagi Banten sendiri, Landak merupakan taklukannya secara tidak langsung, sebagai imbalan atas bantuan untuk menuntut balas terhadap Matan.

Banten sendiri yang semakin rapuh kekuasaannya akibat tekanan dari pihak Belanda dengan VOC-nya, tak bisa berbuat banyak. Kemudian menyerahkan persoalan Landak tersebut kepada Nederlandsche Oost Indische Compagnie. Dan pihak Belanda tidak menyia-nyiakan hal itu, selanjutnya mempengaruhi Banten terhadap kekuasaannya terhadap Kerajaan Landak. Maka pada tanggal 26 Maret 1778 bertempat di Benteng Diamant Banten, berlangsunglah sebuah perjanjian penyerahan Landak dan Matan oleh Sultan Abul Mafah'ir Muhammad Aliuddin Sultan Banten kepada VOC. Sejak saat tersebut, resmilah Kerajaan Landak dan Kerajaan Matan yang kemudian dikenal menjadi Sukadana berada di bawah kekuasaan Belanda.

Setelah perjanjian penyerahan Kerajaan Landak (dan Matan) kepada Betanda oleh Banten, dikirimlah oleh pemerintah kolonial Belanda utusannya yang diwakili Nicolas Kloek disertai dua kapal perang kecil. Sementara itu, Sultan Pontianak Syarif Abdurrachman Alakadrie tanpa sepengetahuan Kloek mengutus pula putranya, Syarif Kasim Alakadrie ke Batavia untuk menghubungi Hooge Regering atau Pemerintah Tinggi. Pada pertemuan tingkat Pemerintah Tinggi pada tanggal 6 November 1778, diputuskan untuk meminjamkan tanah atau Erfelijk Leen dan mengakui Syarif Abdurrachman Alkadrie sebagai Sultan Pontianak dan Sesango (Sanggau). Laporan yang disampaikan Kloek tidak digubris sama sekali, bahkan selanjutnya dipanggil pulang ke Batavia dan sebagai gantinya ditunjuk Resident Rembang Willem Adriaan Palm dengan jabatan Commissaris.
Atas nama GouverneurGeneraal Reijnierde Klerkdan Raaden Van Nederlandsch Indie Willem Adriaan Palm tefah mengakui resmi Syarif Abdurrachman Alkadrie sebagai Sultan Pontianak dan Sanggau, dan sebaliknya Sultan Pontianak mengakui meminjam tanah Erfelijk Leen yang dituangkan dalam Investiture 5 Juli 1779.

Selanjutnya, dengan didampingi Syarif Kasim Alkadrie, Willem Adriaan Palm pada tanggal 7 JUL11779 berkunjung ke Ngabang untuk menemui Pangeran Sanca Nata Muda (1768-98) mengenai peresmian penyerahan kerajaan tersebut dari Banten kepada Belanda.

Beberapa waktu kemudian, pada 12 Agustus 1886 bersamaan dengan 12 Zulkaidah 1303, ditandatangani perjanjian perbatasan antara Landak dan Pontianak, pihak Landak diwakili Wakil Panembahan Kerajaan Landak Haji Gusti Kandut Muhammad Taberi Pangeran Wiranata Kusuma (1875- 90) dan Pontianak oleh Sultan Syarif Yusuf Alkadrie (1872 - 95) dengan saksi di pihak Landak Ya' Dimbul Bin Pangeran Suta dan saksi di pihak Pontianak, masing-masing Syarif Jafar Alkadrie Pangeran Bendahara, Syarif Muhammad Bin Harun Alkadrie dan Pangeran Syarif Ali Alkadrie. Naskah ini ditandatangani di hadapan Resident Westerafdeeling Van Borneo dan dua orang kontroleur, masing-masing Kontroleur Van Landak dan Mandor.

Dengan tindakan yang dilakukan Belanda tersebut, imperialis Belanda tidaklah berarti akan melindungi kepentingan Keraiaan Landak untuk selama dan seterusnya, namun hanya untuk waktu sementara. Hubungan antara imperialis Belanda dan Kerajaan Landak merupakan hubungan yarig hanya didasari suatu interes tertentu, dan pada suatu kondisi yang dianggap sebagai jajahan.

Dengan sendirinya pula, Kerajaan Landak mulai dicengkram oleh kekuasaan kolonial Belanda. Secara politik kekuasaan Belanda terhadap Kerajaan Landak itu berlangsung sejak tahun 1790 dengan adanya intervensi di dalam peperangan antara Landak dan Matan. Dan penguasaan itu lebih dipertegas lagi sejairi adanya Lange Contract tahun 1859 dan selanjutnya menjadi Niew Lange Contract atau Kontrak Panjang Yang Diperbaharui pada tanggal5Juli 1883.

Kesemua itu kian memperkecil dan mempersempit gerak Kerajaan Landak, terlebih dengan diberlakukannya perjanjian perbatasan antara Pontianak dan Landak tanggal 12 Agustus 1886.