REALITAS SOSIO-AGAMA: MENJADI MELAYU LANDAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Sebelum agama-agama datang, penduduk Nusantara mempunyai kepercayaan bahwa bukan hanya manusia yang berjiwa. Tumbuh-tumbuhan dan hewan pun berjiwa. Mereka juga mempercayai dan menyembah arwah orang yang sudah meninggal karena ada anggapan bahwa orang yang sudah meninggal mempunyai pengaruh yang kuat dan langsung terhadap orang-orang yang masih idup. Hal itu disebabkan karena alam sekeliling, serta masalah hidup dan mati.
Penduduk Nusantara mempercayai kekuatan segenap benda yang ada di sekelilingnya, mulai dari sungai yang mengalir, air bah, matahari, dan tempat-tempat yang menyeramkan, seperti pohon besar, dan gunung-gunung yang tinggi. Kepercayaan inilah yang disebut dinamisme. Orang-orang tua yang mengerti hal-hal tersebut, dapat menjawab segala hal yang dipertanyakan. Dan, setelah orang-orang tua itu meninggal, mereka mempertanyakan apa arti hidup dan mati yang dipercayai ada di luar badan kasar, dan mempertanyakan apa yang harus diperbuat pada badan kasar yang sudah mati.
Dengan kata lain, mereka percaya pada arwah nenek moyoangnya. Kepercayaan ini dinamakan animisme. Selain itu, timbul pula kepercayaan bahwa orang tua yang telah meninggal dunia itu menjadi jadi-jadian. Dengan kata lain, mereka percaya akan hubungan antara manusia dengan nenek moyang jelmaan. Kepercayaan ini dinamakan totemisme. Dinamisme, animisme, dan totemisme dalam banyak hal senafas dengan pandangan Hindu dan Buddha yang belakangan masuk ke Indonesia.
Sebelum Islam datang di Indonesia pada abad ke 7, telah terdapat negara-negara yang bercorak Hindu. Di Sumatera terdapat Kerajaan Sriwijaya dan melayu, di Jawa terdapat Kerajaan Majapahit yang terkemuka, di Sunda terdapat Kerajaan Pajajaran dan di Kalimantan terdapat Kutai. Pada umumnya, perekonomian kerajaan-kerajaan tersebut tergantung pada perdagangan laut, seperti juga kerajaan-kerajaan di Selat Malaka, utara Sumatera serta timur Kalimantan. Sedangkan kerajaan di Jawa, dimulai Singhasari, Kediri kemudian Majapahit, perekonomiannya tergantung pada pertanian.
Kepastian tentang kapan agama Hindu dan Buddha masuk ke Nusantara (baca: Indonesia) tidak diketahui secara pasti. Namun, setelah adanya penelitian, ternyata pada tahun 400 M telah ada kerajaan bercorak Hindu di Kalimantan (Timur), yaitu Kutai, dengan rajanya Mulawarman. Dan, pada abad ke 5, di Jawa Barat telah ada pula kerajaan Hindu bernama Tarumanegara, dengan rajanya Purnawarman. Boleh dikatam pengaruh Hindu telah ada pasca abad ke 2 M. keberadaan agama Hindu dan Buddha, dalam perkembangannya di Nusantara, berjalan bersama-sama. Sehingga teoritis orang sangat sukar membedakan Shiwa dengan Buddha yang disembah dalam agama Hindu dan Buddha.
Dalam rentang waktu tujuh abad, dari abad ke 13 sampai akhir abad ke 19, proses masuk dan berkembangnya Islam (khususnya di Jawa) mengalami dialog pergumulan budaya yang panjang. Tak terkecuali pengaruh ini kentara melarut dalam Kerajaan Landak, yang cikal-bakal awal pertumbuh-kembangannya merupakan hegemoni dari kerajaan Jawa itu sendiri.
Proses awal pengembangan Islam di daerah ini (baca: Landa atau Landak) dilakukan secara adaptasi dengan pendekatan kebudayaan, yaitu menggunakan lambang-lambang budaya lokal sebagai media penyampaian Islam kepada masyarakat setempat. Pola dakwahnya dilakukan memakai dua jalur. Jalur pertama menggunakan lambang-lambang dan lembaga budaya. Jalur kedua, melalui lembaga kekuasaan atau lingkungan keraton (pusat pemerintahan Keratuan atau Keraton).
Penyebaran Islam yang dilakukan, di daerah Kerajaan Landak (khususnya di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Munggu, yang dulunya bernama Ayu) langsung ke daerah-daerah pedesaan (pehuluan dan pedalaman, khususnya di sepanjang Daerah Aliran Sungai Landak) dengan menggunakan metode akulturasi dan sinkretisasi. Sebagai misal suasana yang demikian, saat itu Islam tidak hanya menjnakkan sasarannya, tetapi juga harus menjinakkan dirinya. Dari penjinakkan yang demikian, lahirlah Islam dengan corak tersendiri, yang disebut sebagai Islam yang cenderung sebagai budaya (di sinilah kemudian adat istiadat dan tradisi budaya masyarakat Landak mengurat mengakar dengan sangat kental dan kuatnya).
Corak Islam yang demikian merupakan sinkretisasi antara Islam (tasawuf) dan kepercayaan Hindu, di mana Islam sebagai anutan, namun dalam menjalankan kewajiban ritual, diimbuhi pula dengan apa yang dinamakan adat istiadat turun temurun. (Dalam masyarakat lokal setempat, antara lain dikenal apa yang dinamakan dengan tradisi Antar Tumpang ataupun juga berbagai bentuk kenduri atau hajatan dan selamatan, di antaranya Robok-robok dan Selamatan Tolak Bala bulan Syafar, ataupun juga tradisi Ruwah).
Masyarakat Landak yang dalam proses awal persemaian Islam dan perpaduan tradisi Hindu (Jawa) dan akulturasi-sinkretisasi itulah kemudian menjelma sebagai masyarakat majemuk yang dinamakan sebagai masyarakat Melayu Landak. Masyarakat adat ini tak lain sebagai penjelmaan dari suatu komunitas pra-Melayu Landak, yaitu masyarakat Hindu (Jawa) dan masyarakat asal (asli setempat) yang kental dengan perpaduan animisme-dinamisme dan totemisme yang belakangan dikenal dengan masyarakat Dayak.
Perpaduan keduanya itulah, yang khususnya mengislam, yang kemudian menjelma atau menjadi sebagai masyarakat Melayu Landak. (Gambaran khususnya, sehingga ada yang menjadi Melayu Landak turun temurun sebagai perpaduan tersebut, di mana Raden Abdul Kahar (nama setelah memeluk Islam, sebelumnya dikenal dengan nama Raja Adipati Karang Tanjung Tua Raden Is(wara)Mahayana atau Raden Ismahayana) adalah pemula pemeluk Islam dan pendahulu sebagai orang Melayu Landak, yang lahir dari rahim seorang ibu kandung, yakni Dara Hitam (putri asli suku Dayak dari Kampung Kurnia daerah Sepangok kawasan Tanjung Selimpat, yang turun temurunnya adalah penganut kental keyakinan animisme-dinamisme-totemisme) dan orang tua laki-lakinya yaitu Raja Pulang Pali VII (seorang Jawa yang sejak pendahulunya di Singhasari adalah penganut Hindu Jawa). Sedangkan saudara sekandungan dari Abdul Kahar sendiri, yakni putra dari Dara Hitam dengan suaminya Ria Sinir, yang dikenal dengan nama Ria Kanu (Aria Kanuhanjaya) secara khusus turun temurun mewarisi akar tradisi-budayanya yang dikenal sebagai masyarakat adat Dayak, khususnya di daerah Menyuke).
Corak Islam yang tidak murni tersebut mengalami akulturasi dengan kebudayaan Jawa dan sinkretisasi dengan kepercayaan pra-Islam atau Hindu. Tradisi Hindu tidak dikikis habis. Padahal dalam beberapa hal tradisi tersebut bertentangan dengan paham monoteisme yang dibawa Islam. Apa yang dilakukan oleh para penyebar Islam (yang di Jawa dikenal dengan sebutan para wali), agaknya merupakan keharusan dan pilihan yang terbaik. Tanpa berbuat demikian, kemungkinan sekali (kebudayaan) Islam tidak akan menemukan tempatnya di Nusantara. Karena itulah, tradisi Hindu dan pengaruh anismisme-dinamisme-totemisme tidak dikikis habis. Meski tak seluruhnya, dalam tradisi adat-budaya Melayu Landak, hal itu masih hidup dan terasakan sekali, meski kenyataannya di dalam beberapa (bahkan banyak) hal, tradisi tersebut bertentangan dengan paham monoteisme yang dibawa Islam.
Masyarakat Melayu Landak pada umumnya menggunakan upacara selamatan dalam berbagai peristiwa, seperti kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian, pindah rumah, panen dan banyak hal. Bentuk lain sinkretisme adalah kepercayaan kepada jimat yang dianut masih tak sedikit orang Melayu Landak. Jimat ini berupa benda-benda yang amat sederhana yang dianggap mempunyai kekuatan ghaib. Orang yang memiliki jimat cenderung tergantung padanya, meskipun mempercayai dan (nyata) memeluk Islam.
Metode dakwah yang menggunakan akulturasi dan sinkretisasi seperti itu memang cepat menarik simpati masyarakat pada waktu itu. Namun, di tahap awal itu pula, secara kualitatif, intensitas beribadah mereka masih kurang mantap. Bahkan di saat awal pertumbuhan itu, akibat dari praktek ajaran Islam yang tidak utuh dan tidak murni ini, aaran tersebut dinilai tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam arti tidak memberi manfaat seperti yang dijanjikan oleh Islam kepada pemeluknya, rahmatan lil alamin.
Dalam rangkaian perkembangan agama Islam di Kalimantan Barat kemudian, dari kerajaan Landak memulai rintisan itu. Seteiah wafatnya Raden Abdulkahar, maka sifih berganti turun temurunnya menduduki tahta pemerintahan kerajaan Landak, hingga tahta kerajaan diduduki oleh Raden Kesuma Agung Muda (1703-1709) ibukota kerajaan yang setelah Ningrat Batur (1290-1470) berkedudukan di Ayu Munggu (1470-1703) dialihkannya ke sebuah tempat yang belakangan bernama Bandong. Sebelumnya, letak ibukota di Ayu Munggu itulah yang menjadi titik sentral bagi perdagangan laut Kalimantan, di mana bandar pelabuhan perdagangan Kerajaan Islam Landak yang memperdagangkan intan dan emas, terletak pada punggung bukit di pinggiran pertemuan sungai-sungai besar, sungai Landak atau semula dikenal dengan nama Tenganap dan sungai Menyuke. Besarnya sungai Tenganap itulah yang kerap disebut sebagai Sungai Tenganap tengah melanda yang belakangan menjadi sungai Melanda atau sungai membesar, dan alih-alih akhirnya dikenal sebagai Sungai Landa dan dalam diaiek lokal masyarakatnya kemudian menjelma turun temurun menjadi Sungai Landak.