Minggu, 04 Oktober 2009

JEJAK SEJARAH KERAJAAN LANDAK (VI)

LANDAK DI MASA PENDUDUKAN JEPANG
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Hanya sekitar tiga minggu sesudah Jepang menyerang pangkalan Armada Pasifik Amerika di Pearl Harbor 8 Desember 1941, pada tanggal 19 Desember untuk pertama kalinya pesawat-pesawat Jepang menjamah wilayah Indonesia yang ketika itu masih bernama Hindia Belanda. Balatentara Jepang mulai menduduki Kalimantan Barat melalui Pontianak sebetulnya sejak hari Jumat, tanggal 19 Desember 1941 pukul 10.00.

Pesawat tempurnya sejumlah sembilan pesawat, menderu-deru mengagetkan masyarakat di saat sebagian besar kaum muslimin tengah melaksanakan sholat Jumat. Ternyata kesembilan pesawat itu, masing-masing jenis A6M2 Zero yang bertolak dari pangkalan Davao di Mindanao Selatan yang baru ditinggalkan pasukan Amerika, menjatuhkan bom dari udara, seketika itu pula bumi Pontianak merekah, nyawa manusia meregang.

Pesawat-pesawat itu sekitar pukul 11.00 tiba di sekitar Kota Pontianak. Keheningan menjelang dilaksanakannya sholat Jumat bagi kaum muslimin saat itu pun sontak pecah dan meledak ketika kesembilan Zero pimpinan Letnan Toshitada Kawazoe menukik dari langit dan menyerang kawasan kota ini. Tujuan semula adalah membumi hanguskan pertahanan tentara Belanda, khususnya kawasan tangsi militer. Namun ternyata, kesembilan pesawat udara Jepang itu telah salah sasaran. Kontan saja kawasan kota bumi hangus dan terbakar.

Tak sedikit korban bergelimpangan, Kampung Bali, Parit Besar dan jajaran Kampung Melayu porak poranda luluh lantak dibinasakan dalam waktu seketika. Peristiwa ini dikenal luas kemudian dengan nama Peristiwa Bom Sembilan atau disebut juga dengan Peristiwa Kapal Terbang Sembilan. Serangan atas Pontianak dan sekitarnya itu didahului sebuah pesawat pengintai C5M2, juga buatan Mitsubishi, satuan pesawat Zero terbang dari Sarawak ke arah Pontianak di Kalimantan Barat.

Hanya membutuhkan waktu sedikitnya sepekan setelah kejadian itu, disusul dengan pemboman kedua dan ketiga, yakni tanggal 22 dan 27 Desember 1941, selanjutnya balatentara udara Jepang berhasil menguasai Pangkalan Udara Singkawang II, yang dibangun Belanda sebelum peperangan berkecamuk. Pemboman itu telah menyebabkan korban berjatuhan dan menimbulkan panik yang luar biasa, terutama di kalangan tentara Belanda.

Sesuai strategi serangan gurita yang mencengkeram dengan beberapa belalainya sekaligus, terakhir Sabtu, 27 Desember 1941, pesawat Jepang kembali menyerang Kota Pontianak, dan keesokan harinya menyerang Tarakan di Kalimantan Timur. Dalam serangan terakhir di Pontianak ini, pesawat pemburu Belanda dari jenis Brewster Buffalo 339 mencoba melakukan perlawanan. Namun usaha itu sia-sia belaka.

Sementara armada Angkatan Laut Dai Nippon mendarat di peraiaran pantai utara Kalimantan Barat, di Pemangkat lewat Tanjung Kodok pada tanggal 22 Januari 1942, sedikitnya berjumlah 3.000 orang, mereka berasal dari Sarawak yang merupakan kesatuan tempur dari Pasukan ke-29. Pendaratan itu tidak mendapat hadangan dari tentara Belanda yang sudah kocar-kacir, meski sempat bertahan di kawasan Gunung Pendering 45 Kilometer arah timur Singkawang. Dan hampir dalam waktu bersamaan di tempat terpisah, pendaratan itu terjadi pula di Ketapang.

Serangan udara yang dilakukan balatentara Dai Nippon terhadap Kota Pontianak ini telah membuka aksi-aksi udara Jepang di wilayah Hindia Belanda yang luas. Strategi invasi Jepang ke Hindia Belanda adalah melalui barat dan timur. Dari arah timur ini pula Angkatan Laut atau Kaigun atau dikenal juga dengan sebutan Jangkar memegang kendali. Pesawat dari Satuan Udara 3-Kokutai itu memang merupakan bagian dari kekuatan udara Kaigun Jepang yang dibentuk April 1941.

Mula-mula sebagai kesatuan pengebom berpangkalan di darat, kemudian diubah menjadi kesatuan pengebom berpangkalan di darat, kemudian diubah lagi menjadi kesatuan tempur yang berintikan pesawat Mitsubishi A6M2 Zero yang baru, Zero model lama A5M4 serta pesawat buru-intai C5M2. Strategi Kaigun Jepang adalah menguasai Indonesia bagian timur dari basis invasinya dari Filipinan Selatan, mengarah ke Pontianak, lalu Tarakan, Balikpapan, Manado kemudian Kendari. Dan seterusnya ke Makassar dan terakhir Bali.

Pendaratan besar terjadi 22 Januari 1942. Pihak pemerintah Hindia Belanda masih berusaha untuk menggagalkan serangan udara Jepang. Namun, dalam seketika saja, Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan Belanda. Tapi sebelum tindakan itu dilakukan pihak militer Jepang, Belanda yang sudah punya perhitungan lain, yaitu membumihanguskan beberapa kota sebelum ditinggalkan, seperti Sambas, Mempawah dan Landak Ngabang.

Dalam perkembangan yang begitu cepat, terjadi pendaratan tentara Jepang di Pemangkat, muara Sungai Kapuas, Singkawang dan Ketapang yang hampir bersamaan waktunya, pada 22 Januari 1942. Setelah Pemangkat dan Singkawang direbut dan dukuasai, dari sini balatentara Jepang membagi dua kekuatan pasukan militernya. Sebagian bergerak ke arah selatan untuk bergabung dengan pasukan yang telah mendarat lebih dahulu di muara Sungai Kapuas, di mana bagian ini kemudian merebut dan menguasai Kota Pontianak sepenuhnya sejak 2 Februari 1942. Dan bagian keduanya, bergerak ke arah timur dengan tujuan merebut pangkalan udara di Sanggau Ledo atau Singkawang II. Kelaknya, setelah pangkalan udara ini direbut, lumpuhlah kekuatan udara Belanda, bahkan seluruh kekuatan militer dan kekuasaannya di Kalimantan Barat.
Tentara Belanda yang diperkuat sedikit pasukan KNIL-nya yang ada di Pontianak, sebagian melarikan diri ke Ngabang di arah timur kota ini. Pada waktu itu Kota Ngabang sendiri telah diduduki Jepang, meski pasukan Jepang yang ada belum dalam jumlah memadai. Untuk menghindari pertempuran dengan Jepang, pasukan Belanda meneruskan pelariannya ke Sanggau Kapuas untuk seterusnya ke Melawi dan Kotabaru Sintang, setelah melihat dari dekat kekuatan Jepang yang ada. Namun, sebelum melarikan diri, mereka terlebih dahulu menghancurkan jembatan Ngabang yang terkenal besar dan megah di atas Sungai Landak dengan dinamit. Jembatan ini sendiri saat diledakkan belum setahun peresmiannya oleh Gezagghebber van Landak, AB Fabber, dalam bulan Juli 1941. Dalam gerak cepat menuju Pontianak, pasukan ke-29 balatentara Dai Nippon yang berasal dari Sarawak berhasil menangkap lima orang pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda di Mempawah. Seorang di antaranya, Controleur van Mempawah Appel langsung dipancung kepalanya. Seda orang lainnya ditawan ke Pontianak.

Setibanya di Pontianak, dua orang tawanan yang merupakan pegawai bank pemerintah Hindia Belanda mengalami nasib yang sama serupa Controleur Appel, disaksikan massa rakyat di pelabuhan Theng Seng Hie di tepi Sungai Kapuas yang tidak berapa jauh dari Gedung Jacobson van den Berg, menemui ajalnya di ujung sabetan samurai balatentara Jepang. Sedangkan Dr AJ. Knibbe Controleur van Pontianak ditawan dan di kamp militer bekas KMK Belanda dan mendapat penyiksaan berat.

Semulanya kedatangan balatentara Jepang mendapat sambutan hangat dari kebanyakan rakyat. Seakan kehadiran mereka membawa sebuah harapan baru untuk mewujudkan cita-cita lama yang terpendam, yaitu hasyrat untuk bebas dari segala bentuk penindasan.

Namun kenyataan, pendaratan Jepang yang belakangan mengaku diri mereka sebagai Saudara Tua tak lebih dari penindasan pula. Tak sedikit wanita, terutama gadis remaja lebih-lebih lagi dari kalangan Tionghoa yang memilih bunuh diri ketimbang dijadikan pemuas nafsu birahi balatentara tersebut.

Perampokan, yang dikenal dengan sebutan ketika itu penggedoran disertai dengan penganiayaan, nyaris menjadi pemandangan mata sehari-harinya. Lagi pula, sasaran empuk utama perburuan harta adalah toko dan gudang milik masyarakat Tionghoa. Sementara juga, wabah kelaparan mulai menjalar, dan dalam waktu sesingkat itu pula, wabah penyakit sebagai akibat kurang makanan, menjalar di mana-mana.

Kelaparan, mengawali derita dan kesengsaraan, menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Masyarakat umum, termasuklah orang-orang Jepang sendiri memperkenalkan zaman itu dengan sebutan Zaman Cap Kapak.

Zaman ini disebut demikian, dimulaikan oleh serdadu Jepang awalnya. Pintu-pintu gudang persediaan yang tak sempat dimusnahkan Belanda, digedor dengan kapak. Kemudian, tak pelak lagi adalah merampas seisi yang ada di dalam gudang. Makin hari penghidupan rakyat kian rapuh. Ketertekanan semakin tak terelakkan. Sekalipun Jepang mulanya bersikap baik hati, namun kenyataan selanjutnya, Jepang tak ambil peduli.

Para permulaan pendudukan balatentara Jepang di daerah ini, yaitu di masa singkat Angkatan Darat (Rikugun), tata perekonomian tidak mengalami gangguan yang begitu berarti. Rikugun memperbolehkan aktifitas perekonomian pasar. Bahkan pasukan ini seakan membiarkan tindakan massal rakyat yang dikenal dengan nama Zaman Cap Kapak. Sebaliknya, sejak berkuasanya Kaigun, kenyataan itu menjadi suatu impian dan sirna.

Hubungan lalu lintas baik melalui jalur darat maupun sungai khususnya, tidak dapat berlangsung. Hal itu terancam ketidakadaan bahan bakar minyak. Motor-motor tradisional atau Motor Bandong yang menjadi sarana transportasi sungai di daerah ini, khususnya yang menghubungkan kota-kota di sepanjang aliran Sungai Kapuas, Landak, Sekayam, Pawan dan Melawi tidak dapat dioperasikan. Demikian pula perhubungan darat, khususnya yang menghubungkan Pontianak dengan Mempawah, Ngabang, Bengkayang, Pemangkat, Singkawang hingga Sambas, seluruhnya mengalami lumpuh total. Sarana transportasi itu hanya boleh bergerak apabila atas perintah pemerintah Jepang. Dengan sendirinya, krisis ekonomi menjelma, rakyat menjadi korban menderita kelaparan.

Pada masa ini tata perkonomian Kalimantan Barat menjadi morat-marit. Rakyat berusaha sendiri-sendiri untuk memenuhi kebutuhan sekedar untuk dapat mempertahankan hidup mereka. Sama sekali tidak ada usaha untuk melakukan aktifitas perekonomian pasar. Sementara itu, rakyat dari pehuluan dan pedalaman dikerahkan militer Jepang untuk melakukan romusha atau kerja paksa. Selama bekerja paksa, mereka tidak diberi makan, dan tak ada jaminan untuk bertahan hidup, sementara di pehuluan dan pedalaman semakin sedikit mereka yang menggarap ladang.

Daerah-daerah tersebut mengalami kekurangan tenaga karena diwajibkan dan dikirim pemerintah Jepang ke luar daerah untuk menjalani romusha, antara lain di Sungai Durian Pontianak. Secara sistematis romusha atau kerja paksa adalah untuk kepentingan militer Jepang, terus ditingkatkan dengan mengerahkan puluhan ribu rakyat baik tua maupun muda. Akibatnya tak sedikit korban yang berjatuhan. Sementara, berbagai tindakan kekerasan dan bentuk-bentuk penindasan terjadi di berbagai pelosok daerah ini. didampingi secuil orang yang berkolaborasi dengannya, militer Jepang melakukan pengumpulan harta benda rakyat secara paksa. Pengadaan ketersediaan bahan pokok untuk pasukannya harus selalu terjamin. Kehidupan rakyat semakin tidak menentu. Apabila seseorang tidak bersikap menghormati, tidak bersikap menyembah pada waktu militer Jepang lewat, orang tersebut akan dipukul atau disiksa dengan bengis dan kejam.

Pada saat kedatangan Jepang, menggantikan posisi Belanda sebagai penguasa, sekaligus penjajah, di Kalimantan Barat saat itu terdapat 13 badan, perkumpulan pemuda atau pun semi-partai politik lokal, yang dengan sendirinya masing-masing memiliki pengaruh cukup kuat di kalangan rakyat. Namun, dengan tak mengenyampingkan keseluruhannya, dua di antaranya, yaitu Pemuda Muhammadiyah dan Kepanduan Suryawirawan milik Partai Indonesia Raya (Parindra), disusul kemudian Persatuan Anak Borneo (PAB) merupakan yang terkemuka.

Seterusnya di masa kekuasaan Saudara Tua ini, di Kalimantan Barat umumnya hanya terdapat organisasi pemuda yang berupa organisasi musik dan olahraga. Itu pun dalam aktifitasnya diawasi dengan sangat ketat. Dan kenyataan lain, pemerintahan yang ada waktu itu dapat dikategorikan dua macam, masing-masing pemerintahan yang diadakan oleh Jepang, dan pemerintahan tradisional yang ditunjang oleh adat istiadat dan hukum adat lokal.

Pada tanggal 2 Februari 1942 Kota Pontianak resmi mulai diduduki dan dikuasai oleh Angkatan Darat (Rikugun) balatentara Jepang. Dan praktis, sejak itu pula Kalimantan Barat berada di bawah kekuasaan Saudara Tua dari Negeri Matahari Terbit itu. Kekuasaan itu memang berlangsung singkat, setelah pertengahan Juli 1942, Rikugun atau Angkatan Darat yang dikenal juga dengan sebutan Bintang, ditarik dan digantikan oleh Angkatan Laut. Praktis, sejak pertengahan Juli 1942 Kalimantan Barat berada di bawah kekuasaan dan pengaruh Angkatan Laut (Kaigun) atau dikenal dengan sebutan Jangkar yang berada di bawah kekuasaan Armada Selatan II. Armada Selatan II ini memegang kekuasaan di kawasan Indonesia Timur dan Kalimantan yang berpusat di Makassar.
Dalam struktur pemerintahan, sejak kekuasaan Jepang yang dikendalikan Angkatan Laut (Kaigun), pemerintahan Kalimantan Barat dikendalikan Minsebu. Sebelum ini, Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (S-1855/2) merupakan peraturan dasar ketatanegaraan pemerintahan Hindia Belanda semula tidak mengenal desentralisasi. Hindia Belanda adalah suatu gecentraliseerd geregeerd land atau wilayah yang diperintah secara sentralistis. Pada pemerintahan yang demikian ini dijalankan pula dekonsentrasi, yaitu tugas pemerintahan dilimpahkan dari aparatur pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat pusat yang lebih rendah tingkatnya secara hierarkis. Menurut reglement tersebut terbagi dalam daerah-daerah administrative gewest, kemudian disebut residentie, yang masing-masing selanjutnya terbagi dalam afdeeling, district dan onderdistrict.

Kalimantan Barat secara resmi sebagai salah satu daerah Syu atau di zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda dikenal dengan Keresidenan. Syuu merupakan daerah tingkat teratas yang mempunyai pemerintahan sendiri sebagai suatu kesatuan dalam masa pemerintahan militer Jepang. Syuu membawahkan Ken dan Si dalam lingkungan wilayahnya. Tokubetu Si mempunyai kedudukan yang lebih kurang sama seperti Syuu, karena itu tidak berada di bawah sesuatu Syuu, melainkan langsung di bawah Gunseikan. Masing-masing daerah itu diangkat seorang kepala daerahnya, atau masing-masing Syuutyookan, Tokubetu Sityoo, Kentyoo dan Sityoo. Si menyelenggarakan segala urusan pemerintahan dalam lingkungan wilayahnya. Urusan pemerintahan umum yang dalam Stadsgemeente dulu diurus oleh regent dan pejabat-pejabat bawahannya, di masa pemerintahan militer Jepang ini dipegang oleh Sityoo.

Sedangkan Ken sama dengan daerah Regentschap. Ken terbagi atas Bunken, selanjutnya Bunken terdiri dari Gun, dan Gun terbagi atas Son. Bunken sama dengan Sub Regentschap, sedangkan Gun sama dengan Distrik dan daerah Son sama dengan Onder Distrik. Di dalam Syu, Ken, Gun dan Son, masing-masing dikepalai Syun (Residen), Ken Kanrikan (Swapara), Guntyoo (Wedana), Fuku Guntyoo (Camat) dan Sontyoo (Kepala Kampung) Secara efektif, struktur pemerintahan ala Jepang tersebut berlaku di Kalimantan Barat mulai berlaku sejak Agustus 1942.

Setiap Syu atau suatu daerah yang merupakan pembantuan kegubernuran (Minseifu) ditempatkan pula sejumlah perwira yang menyandang pangkat tertinggi. Di Kalimantan Barat ditempatkan pula perwira tertinggi dengan pangkat Letnan Kolonel. Pada tiap Syu didukung oleh komandan-komandan setempat, di samping bertugas untuk memulihkan keamanan dan ketertiban, mereka diberikan kewenangan untuk memecat para pegawai peninggalan kekuasaan Belanda di samping menyusun dan membentuk pemerintahan setempat. Komandan Teritorial Kaigun (Angkatan Laut) di Kalimantan barat dijabat oleh Letnan Kolonel Yamakawa.

Seorang yang memimpin Jawatan Kepolisian (Keibitai) disebut Keisatsukuco. Kekuasaannya tidak seluas kekuasaan Polisi Militer atau Kenpetai, yang mengendalikan semua kegiatan pengawasan dan tindakan refresif atau apapun yang terjadi di daerah ini.

Pemerintahan Balatentara Jepang yang berkuasa di Indonesia 1942-1945 pada umumnya tetap meneruskan politik desentralisasi Hindia Belanda. Tetapi, pembentukan daerah dihubungkan dengan siasat militer untuk menghadapi pelbagai kemungkinan dalam masa perang itu. Sebagai daerah yang diangap terpenting ialah Syuu, termasuk Tokubetu Sid an Kooti, yang diharapkan dapat berdiri sendiri-sendiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri, terutama pangan, apabila sampai terputusnya hubungannya dengan daerah lain.

Dalam perkembangan kemudian, para pemuda dan tokoh politisi lokal tidaklah patah arang atau kehabisan semangat dengan monopoli kekuasaan dan tindakan yang dilakukan Jepang. Dengan mengadakan pendekatan satu dengan lainnya, mereka pun mufakat untuk mengadakan gerakan terselubung, yang dikesankan seakan bekerjasama dengan pihak Jepang. Maka, lahirlah sebuah perkumpulan yang direstui Syuuzityo Minseibu, (Residen) Kalimantan Barat, dan mendapat dukungan sejumlah perwira berpengaruh bangsa Jepang, yaitu organisasi Nissinkai.

Di dalam organisasi kamunflase politis ini terdapat sejumlah nama dan berpengaruh penting di antaranya Raden Pandji Mohammad Dzubier Noto Soedjono, mantan Komisaris Parindra, serta sejumlah nama penting lainnya serupa Gusti Sulung Lelanang, dokter Roebini, Ya’ Mohamad Sabran, dan sebagainya.

Melalui Nissinkai pula, sejumlah pemuda penuh militansi ini melakukan sebuah perundingan yang tentu sekali sangat rahasia sifatnya. Dengan begitu, Nissinkai menjelma sebagai sebuah organisasi yang bergerak di bawah tanah memotori pergerakan rakyat Kalimatan Barat.

Gerakan rahasia ini, selain membonceng fasilitas dari Jepang (yang diberikan untuk Nissinkai) juga mengadakan pendekatan dengan berbagai kalangan berpengaruh. Dan tak tertinggal, keterlibatan para konglomerat lokal dari kalangan Tionghoa khusususnya yang bersimpati, memberikan dukungan material. Tersebut nama-nama penting di antara kalangan ini seperti Ng Nyiap Sun, yang belakangan mendapat posisi selaku bendahara pergerakan dari gerakan untuk menghadapi Jepang di daerah ini.

Sejak itu, di beberapa tempat di Kalimantan Barat terjadi gerakan-gerakan yang oleh Jepang dikatakan sebagai huru–hara. Para pemuda yang mulanya mendapat didikan semi-militer, melalui Seinendan, Keibodan dan Heiho, serta merta berbalik melawan balatentara pendudukan Dai Nippon. Akibat dari yang mereka lakukan bukannya tak ada resiko yang harus diterima. Buntutnya, pada tanggal 14 April 1943, Syuutizityo pun mengadakan rapat kerja pertama. Hadir 12 penguasa lokal, di mana terdapat dua orang sultan atau dokoh dan sepuluh orang penembahan atau raja ketika itu, serta sejumlah orang tertentu. Rapat ini disebutkan untuk membahas masalah huru-hara yang tengah dan terus terjadi secara gencar di berbagai daerah di bawah masing-masing kekuasaan para penguasa otonom lokal tersebut.

Pertemuan 14 April 1943 itu, nyata hanyalah siasat Jepang belaka untuk mengetahui sejauhmana pengaruh para penguasa lokal serta pengaruh orang-orang tertentu yang dulunya para pemimpin pergerakan di daerah ini. Menyusul beberapa waktu kemudian, pada 23 April 1943, para raja atau panembahan dan sultan di Kalimantan Barat mulai ditangkap di masing-masing tempat mereka.

Begitupun dengan sejumlah orang yang dianggap berpengaruh. Mereka ini mulai diamankan menurut cara dan gaya penguasa Jepang. Berita penangkapan yang belakangan diperkenalkan dengan sebutan penyungkupan itu segera bukan menjadi rahasia umum. Namun, tak ada seorang pun yang berani untuk melakukan pengusutan sedetilnya mengenai masalah tersebut, mengingat begitu kejam dan kejinya perlakuan pihak penyungkup terhadap para korbannya.

Setelah didahului penangkapan pertama, 23 April 1943, disusul kemudian penangkapan berikutnya pada tanggal 24 Mei 1944, setahun kemudian. Penangkapan berdasarkan penanggalan kalender itu adalah dalam sekala besar, namun sedari penangkapan pertama sampai juga melintasi tanggal tersebut, penangkapan terus saja berlangsung terhadap perorangan.

Penangkapan yang terjadi pada tanggal 24 Mei 1944, dilakukan saat dimulainya Konferensi Kerja Nissinkai di Gedung Medan Sepakat di Pontianak (di Jalan Jendral Urip Sumohardjo sekarang). Tanpa ada pengecualian, seluruh peserta yang hadir ketika itu ditangkap dan digiring satu persatu menuju kamp tahanan yang sudah dipersiapkan.
Tak sampai di situ. Balatentara Jepang juga menciduk orang-orang yang dianggap berbahaya bagi mereka. Sekalipun keseharian mereka menampakkan sikap bersahabat dengan kalangan rakyat, namun mereka terus mendatangi dan mengambil satu persatu orang-orang yang sudah masuk daftar yang harus diamankan. Malam dan dinihari khususnya, di saat tengah tidur pulas, maka di saat itu pula penangkapan dilaksanakan, dengan tidak diberikan ampun ataupun sedikit kesempatan untuk menyelamatkan diri bagi calon korbannya. Selain itu, penangkapan juga dilakukan di saat calon korban tengah melakukan aktifitas rutin keseharian mereka.

Begitulah akhirnya. Rakyat bertanya-tanya kepada sesamanya dengan cara yang ada pada diri mereka pula, akhirnya mendapat sedikit jawaban, jawaban yang belum sepenuhnya tuntas, mengenai nasib sejumlah orang yang diculik atau disungkup. Dalam terbitan edisi 1 Sitigatu 2064 atau 1 Juli 1944, Surat Kabar edisi Kalimanatan Barat, Borneo Sinbun di halaman terdepannya memberitakan sebuah perkara yang berlangsung. Berita yang mengejutkan dan menyentakkan pembacanya, kalangan terbatas di daerah ini, yaitu memberitakan tentang Eksekusi Mati terhadap para tawanan yang dianggap akan melawan Pemerintahan Jepang di daerah ini. Menurut media Borneo Sinbun tersebut, telah ditangkap sejumlah orang berpengaruh di daerah ini, di mana mereka terhimpun di dalam 13 organisasi yang mulanya telah diberangus pemerintah Jepang. Dan mereka itu, telah dijatuhi hukuman mati (ekskusi) pada tanggal 28 Juni 1944 secara missal. Masih menurut versi koran itu, bahwa disebutkan ada 48 nama (terbatas) yang menjalani eksekusi tersebut, mengingat mereka ini adalah (di antara) orang-orang yang berpengaruh di tengah- tengah rakyat dan dituduh sebagai otak penggerak huru-hara yang selama ini terjadi.

Menjadi jelas kini bahwa mereka dijatuhi hukuman mati pada tanggal 28 Rokugatu 2604 atau 28 Juni 1944. Berita dari koran propaganda pemerintah pendudukan meliter Jepang di Pontianak itu walaupun mengejutkan, tetapi memberikan penjelesan kepada keluarga, anak dan handai taulan khususnya para korban tentang apa yang sebetulnya telah terjadi. Hal itu dengan sendirinya mengundang lagi dugaan dan tanda tanya yang belum terjawab.

Namun pun demikian, bertanya dalam soal itu seperti orang yang nyinyir bukannya tidak mengandung bahaya. Maka yang memungkinkan untuk lebih amannya bagi rakyat ketika itu adalah berdiam diri sambil menanti kejelasan lebih lanjut. Itulah yang dipilih kebanyakan masyarakat di dalam masa tersebut.

Mereka yang dikatakan pimpinan komplotan, mereka adalah gambaran dari masyarakat yang mejemuk. Jika diperinci menurut golongan, kepentingan apakah yang menjadikan sebagai pendorong mereka sehingga mereka merencanakan suatu pemberontakan. Dan andai kata komplotan yang dituduhkan itu benar-benar ada, sekurang-kurangnya ada lima golongan.

Golongan pertama; katakanlah para Dokoh (Raja atau Panembahan atau Sultan) termasuk di dalam golongan ini. Semasa hidupnya, mereka untuk wilayahnya masing-masing adalah kepala pemerintahan yang banyak atau sedikit mempunyai hak-hak otonomi. Mereka ini dahulu disebut Zelfbestuurders. Jepang kemudian menyebutnya Dokoh, mungkin mereka merasa kehilangan hak-hak itu semenjak kedatangan Jepang.

Golongan kedua; Noto Soedjono (Raden Pandji Mohammad Dzubier Notosoedjono) dan rekan-rekannya yang sehaluan, utamanya sebagai aktifis Parindra. Cita-cita mereka adalah kemerdekaan dan Persatuan Indonesia. Di zaman Belanda atas anjuran Parindra didirikan Gabungan Politk Indonesia atau GAPI. Badan ini sebagai gabungan partai-partai politik yang dimaksudkan sebagai wadah pemersatu untuk gerakan dan perjuangan mencapai kemerdekaan, dengan lebih dahulu menuntut Indonesia Berparlemen.
Golongan ketiga; termasuk di dalam golongan ini para pengusaha, baik besar maupun kecil. Di waktu yang lampau mereka memiliki peranan penting sebagai kunci dalam kehidupan roda perekonomian, peranan mereka cukup menentukan. Kebanyakan mereka di dalam kelompok ini adalah para konglomerat lokal khususnya dari kalangan Tionghoa.

Golongan keempat; golongan ini dapat dimasukkan pegawai-pegawai dan para pejabat. Tidak dapat disangkal bahwa di antara mereka ada yang masih memimpikan zaman dahulu, sebagian lagi harus dicatat sebagai pendukung gerakan politik Parindra, sekalipun dengan jalan diam-diam.

Golongan kelima; dalam golongan ini terdiri dari masyarakat umum yang terbagi-bagi di antara golongan pertama, kedua, ketiga dan keempat.

Borneo Sinbun adalah satu-satunya media masa milik pemerintah pendudukan Jepang di Kalimantan Barat selama kurun 1943 hingga 1945. Koran ini menjadi corong resmi pemerintahan fasis militer Jepang saat menduduki dan berkuasa di daerah ini. Koran ini, menurut keterangan kemudian, diterbitkan tiga kali dalam seminggu, yang wilayah edarnya di Kalimantan. Khusus untuk wilayah Kalimantan Barat dinamakan Borneo Sinbun edisi Borneo Barat. Di Pontianak, koran ini cukup dikenal.