Minggu, 04 Oktober 2009

JEJAK SEJARAH KERAJAAN LANDAK (I)

PERTUMBUHAN SEJARAH KERAJAAN HINDU LANDAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Sejarah Kerajaan Landak sebelum abad XIV, kurang diketahui dengan pasti. Akan tetapi sejak pertengahan abad tersebut, wilayah itu mulai dikenal. Secara resmi nama Kerajaan Landak (disebut juga Landa) muncul sejak kerajaan ini disebut-sebut dalam kitab pujasastra Nagara Kretagama pada tahun 1365 yang ditulis Mpu Prapanca di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Rajasanegara) yang bertahta di Majapahit. Dalam naskah Prapanca itu, ada bab yang menceritakan tentang kerajaan-kerajaan di Tanjungpuri ataupun Tanjungpura atau juga Tanjungnagara yang kesemuanya itu nama lain dari Pulau Kalimantan di masa silam. Kerajaan-kerajaan di Nusa Tanjungpura yang dituliskan Prapanca itu seluruhnya sebanyak 21 kerajaan, yang setiap tahunnya membayar upeti kepada raja Majapahit. Dari 21 kerajaan itu, delapan belas di antaranya terdapat di Kalimantan Indonesia, masing-masing Kapuhas, Katingan, Sampit, Landa (Landak), Kutalingga, Kutawaringin, Sambas, Lawai, Kadangdangan, Kalka, Saludung, Selat, Pasir, Baritu, Sawaku, Tabalung, Tanjungkute dan Malano.

Dalam tahun 1275 Raja Kertanegara di Kerajaan Singasari bermaksud mengembangkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Tengah. Pengiriman pasukannya ke sana dikenal dengan nama Pamalayu yang berlangsung sampai tahun 1292. Pasukan Singasari dalam ekspedisi Pamalayu kembali ke Singasari (Jawadwipa), Raja Kertanegara teiah wafat. Dan kerajaan Singasari saat tersebut berada di ambang keruntuhan.

Seorang bangsawan dari kerajaan tersebut telah membelokkan salah satu kapalyang dipimpinnya ke kawasan Nusa Tanjungpura atau Pulau Kalimantan bersama pengikutnya. Mereka ini semua tersertakan di dalam ekspedisi Pamalayu, semula menyinggahi Padang Tikar kemudian menelusuri aliran Sungai Landak Kecil dan akhirnya ke daerah Sekilap (sekarang) sebagai tempat pilihan untuk menetap. Daerah inilah yang kemudian dikenal dengan nama Ningrat Batur, atau sekarang dikenal sebagai Anggrat Bator atau Tembawang Ambator.

Selanjutnya, turun temurun bangsawan dari Singasari yang kemudian dikenal sebagai Ratu Sang Nata Pulang Pali I memerintah di Kerajaan Landak hingga pemerintahan Ratu Sang Nata Raja Pulang Pali VII. Raja terakhir Kerajaan Landak dengan ibukota di Ningrat Batur adalah Raden Kusuma Sumantri Indra Ningrat dengan nama abhiseka Ratu Bra Wijaya Angkawijaya Sang Nata Pulang Pali VII, ternyata juga telah meninggalkan kisah-kisah yang melegenda di tengah masyarakat Landak secara turun temurun.

Pada abad ke 11, Nusantara terbagi menjadi dua: Nusantara Barat dengan pusat di Sumatera Selatan di bawah kekuasaan Sriwijaya. Dan Nusantara Timur dengan pusat di Jawa Timur di bawah kekuasaan Airlangga. Kedua kerajaan besar ini sepakat untuk tidak saling menyerang. Pada saat itu, Nusantara menjadi salah satu kekuatan global, karena kedua kekuasaan raksasa tersebut, Sriwijaya dan Airlangga, dapat menjadikan Nusantara sebagai pusat ekonomi regional. Perdagangan membawa kekayaan, dan kekayaan memberi peluang untuk maju dan berkembang dengan lebih baik dan lebih cepat. Airlangga adalah raja terbesar pada abad ke 11. Sebelum mangkat, ia melihat bahwa kedua anaknya kurang cakap untuk menggantikannya, menakhodai sebuah kerajaan raksasa. Selain itu, ia takut kedua anaknya saling berebut kekuasaan. Ia pun memutuskan membagi kerajaan menjadi dua. Di sebelah Timur adalah Kerajaan Jenggala, dan di Barat berdiri Kerajaan Panjalu. Namun, perebutan kekuasaan tetap tak terelakkan. Jenggala tidak terdengar lagi, dengan kemungkinan terbesar diakuisisi oleh Panjalu.

Panjalu kemudian lebih dikenal dengan Daha atau Kediri. Raja yang paling dikenal adalah Jayabaya. Bukan saja karena di bawahnya Kediri berhasil melakukan ekspansi sampai ke Jambi Sumetera Tengah, melainkan juga karena kecintaannya kepada sastra. Ketenaran Jayabaya yang tertinggi adalah ramalannya, yang ditafsir oleh pujangga Mataram Islam, Ronggowarsito, sebagai ramalan masa depan Nusantara. Ramalan yang disebut sebagai Eruchakra yang mengandung sifat Ratu Adil. Di bawah Kediri adalah sebuah kadipaten kecil bernama Tumapel. Sang penguasa, Akuwu Tunggul Ametung, digantikan oleh Ken Arok, seorang yang hidup dengan begitu banyak dongeng dan mitos di belakangnya. Ia merebut istri sang akuwu, Ken Dedes, karena melihat adanya cahaya kemuliaan di pangkuannya, yang konon simbol bahwa yang akan dilahirkannya adalah mereka yang akan menguasai jagad raya. Perseteruan Ken Arok versus Tunggul Ametung banyak dikisahkan, termasuk yang paling dramatis, menjadi tonggak kerangka pergulatan politik masa lalu. Perebutan kekuasaan, di mana sang penguasa dijatuhkan oleh pesaingnya, namun yang dihukum adalah orang lain. Sementara sang pesaing justru menjadi pahlawan.

Di bawah Ken Arok, Tumapel berkembang menjadi Singhasari. Arok menjadi raja yang malah mengalahkan Kediri. Kekuasaan Singhasari meluas, jauh lebih luas daripada Kediri. Dengan naiknya Arok, tanpa latar belakang kebangsawanan, maka jalur kekuasaan, atau trah, raja-raja Jawa yang berasal dari Sanjaya dan Syailendra putus sudah. Dedes ketika diambil Arok, sudah hamil dari Ametung. Anaknya, Anusapati, kemudian menghabisi Arok. Anusapati akhirnya dibunuh juga oleh Tohjaya, anak Arok dari Ken Umang. Tohjaya mati dalam sebuah pemberontakan militer pada tahun 1248. Ia tidak punya penerus. Penggantinya adalah Wishnuwardana, anak Anusapati. Wishnuwardana mengangkat anaknya menjadi raja sebelum ia mangkat. Barangkali, ia menginginkan anaknya dapat menjadi raja, dan ia masih dapat memberi nasihat apabila diperlukan.

Kertanegara adalah raja pertama yang mengintrodusir sistem politik yang lebih modern. Kertanegara adalah raja yang punya pandangan politik ekspansionis. Ia mengadakan Operasi Pamalayu untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatera. Misi tersebut bukan saja tidak berhasil. Namun ketika kembali, Singhasari sudah tidak ada. Di bawah Kertanegara, kekuasaan Singhasari meluas dari hanya Jawa ke Bali, sebagian Kalimantan. Kalimantan Barat dalam hal ini, khususnya Landa atau Landak yang berpusat di Sekilap.

Terbentuknya Landak, tak terlepas dari Operasi Pamalayu itu sendiri. Kertanegara adalah juga raja yang tidak mau berada di bawah kekuasaan Tiongkok. Tatkala utusan dikirim ke Singhasari, sebelah telinga dari sang utusan dipotong. Menghamburlah kemarahan Kerajaan Tiongkok. Namun, yang menghancurkan Singhasari bukanlah Tiongkok, melainkan Kediri. Ketika itu, Kediri hanyalah daerah jajahan Singhasari di bawah Adipati Jayakatwang. Kertanegara memang tidak pernah mengira akan diseterui oleh Jayakatwang, karena anak Jayakatwang menjadi salah satu perwira kepercayaan Kertanegara. Kediri bersekutu dengan Sumenep, pimpinan Adipati Wiraraja, menyerang Singhasari dari utara dan selatan. Kekuatan Singhasari difokuskan ke utara, dipimpin oleh Wijaya, menantu Kertanegara, bersama Adharaja, anak Jayakatwang. Sementara serangan terbesar justru berasal dari selatan.

Hal yang menarik, jatuhnya Singhasari sangat mudah. Pasalnya, pada saat itu seluruh istana sedang mengadakan upacara Tantrayana, sebuah aliran dari Buddha. Singhasari jatuh. Adharaja mengikuti ayahnya ke Kediri. Pusat kerajaan yang disegani itu pun pindah ke Kediri. Raden Wijaya menyeberang ke Madura, menemui pamannya Wiraraja, sekutu Jayakatwang. Wijaya dinasihati oleh Wiraraja agar menghamba saja ke Kediri. Ia tidak dihabisi, malah justru diberi hadiah tanah di daerah Tarik. Di tanah itu ia membangun sebuah perdikan. Namun, hadiah yang diberikan Jayakatwang tidak menghapus dendam Wijaya. Tentara Yiongkok yang sampai di Jawa untuk menghukum Kertanegara (yang sudah dihabisi lebih dahulu oleh Kediri) dimanfaatkan oleh Wijaya untuk menghabisi Kediri. Kediri hancur, Jayakatwang gugur. Selanjutnya, dalam waktu singkat Wijaya menghabisi tentara Tiongkok yang sedang mabuk dan menghalau sebagian mereka kembali ke laut lepas, menuju daratan Tiongkok.

Tinggallah Wijaya menjadi satu-satunya penguasa tersisa di tanah Jawa. Ia mendirikan kerajaan di atas tanah yang diberikan Jayakatwang kepadanya. Majapahit, demikian nama kerajaan itu, kelak menjadi legenda hidup di Nusantara. Wijaya adalah anak Lembu Tal. Tal adalah anak Mahisa Champaka. Champaka adalah anak dari Arok dan Dedes. Arok seperti tidak salah pilih, keturunannya akan menjadi penguasa jagad raya Nusantara. Itu terjadi dengan Majapahit.

Pada tahun 1294 Majapahit diproklamirkan oleh Wijaya yang kemudian bergelar Kertarajasa. Majapahit melanjutkan tradisi politik Singhasari. Kertarajasa diganti oleh anaknya, Jayanegara. Jayanegara tak berputera ketika mangkat. Ia digantikan anak perempuan saudara perempuannya, Tribuana Tunggadewi. Seorang wanita memimpin Majapahit. Pada saat itulah (Gajah) Mada diangkat menjadi Menteri Utama, atau Mahapatih. Tribuana mangkat dan digantikan Hayam Wuruk, anaknya, yang kemudian bergelar Rajasanagara.

Majapahit berada pada zaman keemasan di bawah Hayam Wuruk. Tentu saja, tidak lepas dari sang Mahapatih yang amat melegenda, yang bahkan mengalahkan segala nama raja Jawa yang ada pada zamannya, Gadjah Mada. Majapahit berhasil menaklukkan hampir seluruh Nusantara. Bahkan, kawasan Malaysia (sekarang) pun berada di bawah kekuasaan Majapahit. Pasca Gadjah Mada, Majapahit seperti menggelincir dari puncak bukit. Perpecahan demi perpecahan terjadi. Tahun 1478, pada abad ke 15, Majapahit jatuh dan tidak bangkit kembali. Ia mampu bertahan 100 tahun sejak meninggalnya Sang Mahapatih, hanya karena sang Mahapatih telah meletakkan dasar-dasar manajemen kenegaraan yang baik. Meski, pada akhirnya, sistem saja tidak cukup, ia memerlukan person, pribadi, memerlukan (dan yang jauh lebih penting lagi) pemimpin.

Zaman Majapahit negeri-negeri di kawasan Nusantara, tak terkecuali Landak, mengalami kemajuan pesat, khususnya dalam hal perdagangan. Satu hal yang menjadi latar belakanganya adalah keamanan pelayaran laut. Kemuduran Majapahit tidak dapat diingkari dari munculnya pelabuhan-pelabuhan baru yang tidak kalah kuat, yakni Malaka, khususnya. Islam yang dibawa melalui jalur perdagangan dari Arab, ke India, hingga Tiongkok, membangun kekuatan ekonomi baru, dan dengan perlahan namun pasti. Era kerajaan Islam menjadi warna aristokrasi Nusantara 500 tahun yang lalu, demikian pula halnya dengan Landak.

Kerajaan Landak meliputi daerah sepanjang aliran Sungai Landak berikut cabang-cabangnya. Sungai Landak memiliki panjang sekitar 390 Km dan merupakan anak dari Sungai Kapuas, berhulu di Gunung Niut dan bersumber air dari Danau Raut. Di sepanjang Sungai Landak dan daerah aiiran sungainya terdapat intan dan emas. Intan terbesar yang pernah ditemukan dari kerajaan ini dikenal dengan nama Intan Kubi (intan ubi) yang belakangan kemudian dikenal sebagai Intan Danau Raja memiliki berat 367 karat, di mana 1 karat sama dengan 200 miligram. Palladium Intan Kubi atau Intan Danau Raja diketemukan oleh Kiayi Jaya Laga di masa pemerintahan Raja Sanca Nata Kesuma Tua (1714-1764). Pencarian intan dan emas di daerah ini dilakukan oleh rakyat dengan mendulang di Sungai Landak atau dengan cara tradisional.

AWAL PERTUMBUHAN KERAJAAN LANDAK
Raden Kusuma Sumantri Indra Ningrat dengan nama abhiseka Ratu Bra Wijaya Angkawijaya Sang Nata Pulang Pali VII mempunyai kegemaran berburu, termasuk menjala ikan. Suatu ketika sewaktu sedang asyik menjala ditemukanlah sebuah mundam berisi rambut yang terhanyut dari pehuluan. Raja Kerajaan Landak ini langsung jatuh cinta pada si pemilik rambut yang belum diketahui pasti tersebut. Suatu hari bersama rombongannya dari ibukota kerajaan di Ningrat Batur, ia memudiki Sungai Landak guna mencari si pemilik rambut. Di sisi lain, sebetulnya perjalanan ini sangat erat kaitannya dalam mengawasi langsung pendulangan intan dan penambangan emas di sepanjang aliran Sungai Landak, yang merupakan hasil komoditi terpenting dari kerajaan ini.

Didapat berita bahwa si pemilik rambut adalah seorang gadis jelita anak dari seorang Dukun Belian seorang paranormal terkemuka yang sangat ahli dalam pengobatan tradisional yang bemama Patih Tegak Temula di Kampung Kurnia Tanjung Selimpat daerah Sepangok. Kedatangan Raja Pulang Pali VII (beserta pengikutnya) yang berpura-pura sakit, akhirnya berhasil memboyong sang gadis jelita ke istana Ningrat Batur di Sekilap Sepatah. Ternyata kemudian, cinta raja yang membara mendapat sambutan cukup mesra. Dan belakangan atas restu Patih Tegak Temula, dinikahkanlah putrinya tersebut dengan Raja Pulang Pali VII. Pesta perkawinan yang sangat meriah dilangsungkan di ibukota Landak di Ningrat Batur, dan sekaligus pada ketika itu puteri dari Tanjung Selimpat tersebut dinobatkan sebagai Ratu Permaisuri. Selang beberapa bulan setelah pernikahan itu, ayah Sang Permaisuri yaitu Patih Tegak Temula bermaksud hendak menjenguk putrinya di istana Ningrat Batur. Tapi nasib malang menimpa dirinya, di dalam perjalanan menuju daerah Sepatah ia telah dikayau (head hunting) oleh orang-orang Biaju dari daerah Kapuas Hulu sekarang.

Mendengar berita duka ini Ratu Permaisuri yang ketika itu telah dalam keadaan hamil, sangat terpukul oleh kesedthan. la larut dengan termenung dan menangis dari hari ke hari. Raja, sang suami tercinta, akhirnya berjanji akan menuntut balas atas kematian mertuanya dengan selekasnya mengambil tengkorak kepala ayah ratu permaisuri yang telah berada di tangan pada pembunuh, tengkorak Patih Tegak Temula tersebut disimpan di Taju Tarus di daerah Biaju.
Sebatang pohon merbau besar yang tegak lurus di pinggiran kota daiam wilayah Ningrat Batur dipilih untuk membuat bahtera atau jung. Rakyat Kerajaan Landak dikerahkan siang dan malam untuk pekerjaan tersebut. Namun, telah beberapa hari pekerjaan itu dilakukan, berlangsung dengan sia-sia. Pohon raksasa tak mampu ditumbangkan. Setiap hari menjelang malam pohon tersebut hanya berhasil dikampak sebagian batangnya. esok paginya telah bertaut kembali dan jadilah pohon besar tersebut utuh seperti semula. Siang ditebang malamnya pulih kembali utuh seperti semula. Melihat kenyataan itu. Raja Pulang Pali VII nyaris berputus asa. Namun semangat menyenangkan hati sang istri membuat ia tak habis-habisnya berikhtiar.

Dengan ilham yang dirasa cukup cemerlang, diadakanlah suatu sayembara dengan iming-iming hadiah yang cukup menarik banyak orang. Tentu sa]a tak sedikit rakyat yang datang untuk ikut ambil bagian dalam sayembara ini. Seorang pemuda penduduk setempat yang belakangan dikenal dengan nama Arya Siner (Ria Sinir) putra dari Arya Jambi dari Kampung Jering, Menyuke, kemudian berhasil memenangkan sayembara kerajaan itu.

Ria Siner adalah seorang pemuda yang memiliki Magico Historia yang berasal dari keturunan Jubata dengan memiliki kekuatan dan kesaktian yang tinggi. Setelah melakukan upacara tradisional yang dikenal dengan nama Berimah, persembahan sesajen kepada Jubata, dengan mempergunakan sebilah beliung timah, batang angker tersebut dapat ditumbangkan. Lalu rencana semula dilanjutkan di bawah pimpinan pemuda perkasa ini, yang dalam waktu relatif singka selesaitah pembuatan kapal jung yang dikehendaki raja. Hasilnya adalah sebuah sarana pelayaran yang amat memadai dan memuaskan. Sementara itu pemuda Ria Siner setelah menerima hadiah yang dijanjikan, ia pun segera bermohon diri untuk kembali ke kampung halamannya di Jering, Menyuke.

PUTERI DARI TANJUNG SELIMPAT
Ternyata upaya peluncuran pertama bahtera atau kapal jung milik Raja Pulang Pali VII tidak semulus sebagaimana diharapkan. Menyadari bahaya kegagalan dari ekspedisi yang akan ditaksanakan, sang raja pun memerintahkan untuk memanggil kembali pemuda Ria Siner yang temyata belum berapa lama menjejakkan kaki di kampung halamannya di Jering, Menyuke. Tak hanya bertugas sebagai pawang peluncuran, bahkan pemuda ini pun diberi kehormatan untuk jadi pimpinan ekspedisi yang bergengsi itu. Sebagai iming-iming hadiahnya, raja berkenan akan menyerahkan salah seorang istrinya kelak bilamana misi itu berhasil. Saat itu, termasuk putrid dari Sepangok Kurni tanjung Selimpat, Ratu Pulang Pali VII memiliki enam orang istri.

Untuk peluncuran bahtera ke air diperlukan tujuh orang wanita yang tengah hamil sulung untuk dijadikan bantalan bahtera. Semula raja ragu-ragu, sebab menyangkut keselamatan jiwa manusia. Tetapi atas desakan para menteri permintaan tersebut terpaksa akhirnya dikabulkan. Dengan disaksikan seluruh warga Kutaraja Negeri Landak pusat kerajaan di Ningrat Batur, Sepatah, bahtera pun berhasil diluncurkan dengan tidak mencederai ketujuh wanita hamil sulung tersebut. Maka perjalanan itu membawa sejumlah prajurit kerajaan, peralatan perang, mata uang emas, lempengan-lempengan emas dan perak. Inilah ekspedisi besar-besaran dengan bahtera dari kayu merbau yang telah ditumbangkan oleh pemuda Ria Siner.

Setelah menempuh terpaan angin dan badai, melintasi sungai dan laut, sampailah rombongan Kerajaan Landak di perkampungan orang-orang Biaju di daerah perbatasan hulu Kapuas dengan Kalimantan Tengah sekarang. Kampung itu letaknya di tepi aliran sebuah sungai, dipagari dengan pohon tangkur atau tuba air di mana batang pohon ini apabila tersentuh kulit, maka kulit akan terbakar.

Secara sembunyi-sembunyi di malam hari uang emas beserta sejumlah lempengan emas dan perak, oleh prajurit Kerajaan Landak ditebarkan pada pagar kubu perkampungan tersebut. Esok paginya, sewaktu menemukan benda-benda logam berharga tersebut, penduduk Biaju saling berebutan. Pagar tuba air segera mereka tebasi, dibuang ke sungai. Mereka tidak terpikir akan kemungkinan datangnya bahaya yang mengancam. Ekspedisi dari Kerajaan Landak yang siap siaga bersembunyi menunggu di hilir sungai, setelah menyaksikan banyak ikan mati berhanyutan, mereka dapat memastikan bahwa pagar tuba air yang mengendala telah dibabat. Penyerangan pun diatur dengan cepat.

Kebolehan pemuda Ria Siner terbukti kembali. la dan prajurit Kerajaan Landak berhasil menyandera kepala suku Bia|u tanpa melalui proses pertumpahan darah yang mengerikan. Sebagai pimpinan ia telah bisa menangkap situasi lawan. melumpuhkannya lantas membawa tengkorak Patih Tegak Temula sebagaimana yang dijadikan missi penyerangan mereka. Baik raja maupun permaisuri yang sebelumnya menjanjikan hadiah atas keberhasilan itu mendadak khawatir. Secara jujur akhirnya permaisuri dari Tanjung Selimpat, Kurnia Sepangok mengakui bahwa pemuda Ria Siner dulunya pernah menaruh hati terhadap dirinya. Maka peristiwa yang dibayangkan adalah sebuah lingkaran bak buah simalakama.

Namun Janji tetaplah janji. Keputusan akan dikonkritkan kelak setelah kejadian yang mendebarkan itu digelar di balairung istana kerajaan Landak di Ningrat Batur. Semua istri raja Ratu Sang Nata Pulang Pali VII yang enam orang, termasuk seorang gadis istana yang sengaja dirias persis permaisuri dari Tanjung Selimpat, duduk berjejer dengan daya tarik masing-masing.

Permaisuri dari Tanjung Selimpat didandan secara kamuflase mirip abdi istana, hitam legam, kotor berdaki dan menyebar bau busuk. Konon, karena itulah maka kemudian sang permaisuri diperkenalkan dengan sebutan Puteri Dara Hitam atau Dara Itam. Tentang siapa nama sebenarnya wanita dari Kurnia Sepangok Tanjung Selimpat ini, tak pernah disebut-sebut atau kurang jelas diketahui. Karena itu ada yang menyebutnya sebagai Puteri Tanjung Selimpat.

Saat berhadapan dengan kenyataan demikian, mendadak pemuda Ria Siner tumpul kepekaannya. Mungkin mantera atau jampi-jampi yang diucapkan permaisuri Dara Hitam dan sang suami Raja Pulang Pali VII agar dirinya selamat dari pilihan itulah penyebabnya. Dalam kondisi lemah begitu sang pemuda yang hendak memiliki mantan puteri yang dicintainya itu, bermantera. Lalu menggunakan panduan seekor kunang-kunang yang konon diciptakannya dari gagang sehelai daun sirih, berhasillah ia menembus kabut penyamaran Puteri Dara Hitam. Betapa terkejutnya Raja Pulang Pali VII tatkala pemuda itu memilih sang permaisuri kesayangannya, melewati penyamaran yang cukup sempurna. Dengan masih berniat menggagalkan pilihan tersebut iapun sengaja menciptakan dialog yang amat diplomatis.

Dialog antara mereka cukup panjang dan melelahkan. Namun, hasilnya tak bergeming. Sang puteri tetap jadi pilihan, sehingga akhirnya raja mengakui itulah sebetulnya permaisuri dari Tanjung Selimpat yang amat dicintainya. Dengan kekalahan yang menderitakan hatinya itu, raja Pulang Pali VII berhasil mempertahankan prinsip sebagai seorang raja, memegang prinsip terhormat, biar langit runtuh janji harus ditepati.

RADEN ISMAHAYANA ADIPATI KARANG TANJUNG TUA
Setelah mengakui kekalahannya, saat melepas Puteri Dara Hitam atau Putri Tanjung Selimpat ke tangan pemuda Arya (Ria) Siner, sang Raja Pulang Pali VII memberikan amanat. Arya Siner dan Dara Hitam baru bofeh menikah apabila Dara Hitam telah melahirkan anak. Apabila anak yang dilahirkan kelak laki-laki, agar diberi nama Raden Iswaramahayana, kepada Arya Siner diperkenankan untuk membangun pemukiman dalam wilayah KeraJaan Landak, dan sebagian dari rakyat ibu kota Ningrat Batur di bawah pimpinan Patih Wira Denta diperkenankan bermigrasi mengikuti rombongan Arya Siner dan Dara Hitam.

Sukar digambarkan betapa mengharukannya adegan perpisahan itu. Baik raja maupun permaisuri tentu tak begitu mudah menghapus cintanya kepada diri masing-masing. Hal ini pun membuat massa terbelah-belah. Di suatu sisi mengagumi keperkasaan Arya Siner. Di sisi yang lain memandang pemuda itu tega dan sampai hati memisahkan dari kecintaannya.

Sejak saat itu pula, Raja Pulang Pali VII menceraikan permaisumya yang berasal dari Tanjung Selimpat, Sepangok. Dari rahim Dara Hitam buah perjodohannya dengan Raja Pulang Pali VII beberapa waktu kemudian lahirlah seorang bayi laki-laki. Sesuai pesan dari ayah sang bayi, maka bayi laki-laki tersebut diberi nama Raden Iswaramahayana.

Pilihan untuk membangun pemukiman bagi Arya Siner dan Dara Hitam yang disertai para pengikutnya ternyata jauh di daerah pedalaman, bukan pantai. Mereka pada umumnya berjiwa petani dan kurang memiliki semangat pelaut, mereka lebih mengutamakan kepentingan agraris daripada maritim.

Beberapa bulan setelah bayinya lahir, Dara Hitam melangsungkan perkawinannya dengan Arya Siner. Dari perkawinan ini pula nantinya lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Arya Kanuhanjaya (Ria Kanu) yang nantinya sebagai pembuat turun temurun bagi masyarakat Dayak di Menyuke tempat asal ayahnya Arya Siner.

Beberapa waktu kemudian, ketika usianya telah meningkat dewasa Raden Iswaramahayana oleh ayahnya Raja Pulang Pali VII dinobatkan sebagai penggantinya untuk mewarisi Kerajaan Landak. Setelah Raja Pulang Pali VII mangkat di Ningrat Batur, maka naik tahtalah Raden Iswaramahayana. Di atas tahta kerajaan, ia kemudian bergelar RajaAdipati KarangTanjung (Tua).
Dengan jiwa maritim yang dimiliki, Raja Adipati Karang Tanjung mengalihkan pusat pemerintahan Kerajaan Landak dari Ningrat Batur. Pilihan untuk membangun ibukota yang baru, ternyata jauh dari pusat semula di Ningrat Batur. Pilihan tersebut ditetapkan pada sebuah lokasi kaki bukit.

Kota didirikan di suatu tempat bernama Ayu, terletak di muara Sungai Menyuke anak percabangan Sungai Landak atau Sungai Tenganap, persis pada pertemuannya dengan Sungai Landak. Setelah berkembang menjadi ibukota Kerajaan Landak kemudian Kota Raja Ayu ini lebih dikenal namanya sebagai Munggu.

Ditilik dari situasi dan kondisi dewasa itu, pilihan Ayu atau Munggu sebagai ibukota kerajaan Landak adalah cukup tepat, selain merupakan pertemuan antara dua aliran sungai, Menyuke dan Landak (Tenganap) , juga merupakan pertemuan atau pusat komunikasi dan transportasi dari ibukota ke pedalaman dan sebaliknya. Tambahan pula di sekitar Munggu, hampir di seluruh daerah aliran Sungai Landak banyak terdapat intan dan emas. Benda tambang ini menyebabkan Landak menjadi termasyhur, baik di Nusantara maupun di dunia internasional.

Dari sinilah selanjutnya terjadi asimilasi perkawinan yang menyebabkan masyarakat di Kerajaan Landak menjadi Orang Laut atau Suku Melayu, sedangkan saudaranya yang memilih lokasi pedalaman, mengingat jiwa perambahan hutan alam dan pertanian yang mereka kuasai, dalam perkembangan selanjutnya dinamakan, Orang Darat.

Antara Raja Adipati Karang Tanjung (Tua) (Raden Iswaramahayana) dan keluarga dari turun temurun ibunya, dengan perkawinan Dara Hitam dan Arya Siner menjalin ikatan persaudaraan yang kuat. Mereka yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Landak di bawah pimpinan Adipati Karang Tanjung Tua menyebut turun temurun perkawinan Dara Hitam dan Arya Siner sebagai Orang Darat, sebaliknya mereka ini menamakan turun temurun perkawinan Dara Hitam dan Raja Pulang Pali VII sebagai Orang Laut.

Mengutip tulisan Gusti Sulung Lelanang (1942) berjudul Indoek Lontar Keradjaan Landak (dengan bahasa asli dari tulisan tersebut), dengan diberikan notasi penjelasan khusus oleh penulis ditandai dengan kalimat di dalam tanda kurung atau (…), di mana mengenai garis besar (sejarah) turun temurun masyarakat Melayu Landak (khususnya, Orang Laut) diuraikan sebagai berikut:

“…Adapun sebagai pangkal sejarah Kerajaan Landak, yaitu dari Raden Kusuma Sumantri Indra Ningrat (Ratu Bra Wijaya Angka Wijaya) yang mendirikan Kerajaan Hindu di Angrat Batur (Ningrat Batur atau Batu Ningrat yang belakangan ini dikenal sebagai daerah tembawang Ambator) dan bergelar (Ratu) Sang Nata Pulang Pali (I) tujuh keturunan (hingga Pulang Pali terakhir atau Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Ratu (Sang Nata) Pulang pali VII beristrikan “Dara Hitam” (putrid dari Patih tegak Temula dari Kurnia Sepangok Tanjung Selimpat) dan berputrakan Raden Ismahayana (Iswaramahayana). Adapun Raden Ismahayanan, adalah raja (pertama) Kerajaan Landak yang mula-mula memeluk agama Islam pada akhir abad XIV dan mendirikan ibunegeri (pusat pemerintahan) Kerajaan Landak di (Ayu) Munggu”.

“Raden Ismahayana ketika sudah beragama Islam lalu berganti dengan nama (Raden) Abdulkahar dan bergelar (Raja) (Adi)pati Karang tanjung (Tua). Raja-raja tanah Landak yang memerintah diturunkan dari tiga orang raja, yang berasal dari satu (garis) keturunan, (masing-masing) (Ratu) Sang Nata Pulang Pali (I sampai VII) (di mana Pulang Pali VII) berputrakan Raden Ismahayana (delapan orang raja), dari Raden Tjili Tedung (tiga orang raja) dan dari Raden Tjili Pahang (16 orang raja). Oleh itu nyatalah di sini bahwa Kerajaan Landak dari Raden Kasuma (Kusuma) Sumantri Indra Ningrat (Ratu sang Nata Pulang Pali I) sampai Sri Paduka Tuanku Panembahan Abdul Hamid (di mana buku Indoek Lontar Keradjaan Landak ini ditulis, 1942, di saat Panembahan Gusti Abdul Hamid memerintah sebagai raja atau Panembahan Kerajaan Landak) sudah diperintah dari satu turunan yang turun temurun yaitu jumlahnya 27 orang raja (berdasarkan catatan yang dibuat Gusti Sulung Lelanang)”.

“Sepanjang riwayat Raden Kasuma Sumantri Indra Ningrat itu adalah putra yang tertua dari ratu Brawijaya Angkawijaya yang bergelar ratu Paseban Condong, yang berahta memerintah Kerajaan Majapahit yang didirikan pada tahun 1294-1478. (Gusti Sulung Lelanang mengasumsikan Kerajaan Landak sebagai bagian dari Majapahit, untuk menunjukkan kebesaran yang sama. Meski dalam penelusuran kemudian, ternyata Kerajaan Landak berdiri dalam waktu hamper bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit, hanya kemudian, Landak menjadi vazal Majapahit)”.

“Berhubung dengan penykit pirai atau tulang Raden Kasuma Sumantri Indra Ningrat pergi membawa nasib, dengan bekal sebuah keris pusaka, yang bernama keris Selimbayo, ialah keris Ratu Brawijaya Angkawijaya sebagai melarikan diri dari Majapahit (Jawa) bersama-sama dengan pengiringnya dengan lanting sehingga sampai ke Pulau Kalimantan (Barat). Banyak tempat-tempat yang disinggahi lanting Raden Kasuma, seperti Padang Tikar yaitu di sepanjang pantai, dan menghiburkan hati singgah mandi, tetapi disebabkan penyakitnya itu sembuh karena dikipas dan dijilat segala ikan-ikan seperti patin, bengah, kelabau gagak, kuyungan dan ikan baung burai. Begitu pula binatang daratan seperti kijang dan binatang malang yang semua itu menjilat dan sebagai obat yang menyebabkan sembuhnya Raden Kasuma dari penyakit pirai”.

“Semenjak itulah Raden Kasuma atau nenek moyang segala raja dan kaum bangsawan Kasuma Ismahayana, sudah bersumpah serta melarang anak cucu dan turunannya tiada dibolehkan memakan daging dan ikan-ikan yang tersebut. Setelah Raden Kasuma sembuh dari penyakitnya itu dan merasa kuasa untuk meneruskan perjalanannya, lalu menitahkan pengiringnya masuk mudik ke Kuala Sungai Temila batang air Sungai Landak, yang kemudian lalu mendirikan Negeri Anggrat Batur yang menjadi ibu negeri Kerajaan Landak yang pertama”.

“Adapun asal keturunan raja-raja dan kaum bangsawan Kerajaan Landak, yaitu asal dari Ratu Brawijaya Angkawijaya, yang menjadi raja pada Kerajaan Majapahit di tanah Jawa, yang didirikan pada (tahun) 1294-1478. Ratu Brawijaya Angkawijaya berputrakan Raden Kasuma Sumantri Indra Ningrat, yang mendirikan kerajaan di tanah Landak dan ibu negerinya yaitu Angrat Batur, dengan bergelar Ratu Sang Nata Pulang Pali I. (Adapun) Ratu Sang Nata Pulang Pali VII beristrikan “Dara Hitam” dan berputrakan Raden Ismahayana (Raden Abdul Kahar). Raden Ismahayana adalah raja Kerajaan Landak yang mula-mula memeluk agama Islam dalam akhir abad XIV, dan lalu berganti nama yaitu Abdul Kahar, yang beristrikan Nyi Limbai Sari yang bergelar Raden Ayu (bergelar Ratu Sari Ayu putri dari Patih Wira Denta) dan berputrakan dua orang: Raden Tjili Tedung dan Raden Tjili Pahang. Sekalian raja-raja dan kaum bangsawan Kerajaan Landak ini ada(lah) keturunan dari dua orang Raden Tjili inilah adanya”.

Mengenai Ria Kanuhanjaya (Ria Kanu), Gusti Sulung Lelanang menjelaskan secara rinci: “…Dara Hitam istrinya Ratu Sang Nata Pulang Pali VII, tidak saja sebagai ibu yang menurunkan segala raja-raja dan kaum bangsawan Kasuma Ismah, karena Dara Hitam (juga) ada menjadi ibu dari Raden Ismahayana, tetapi kemudian kawin lagi dengan Ria Siner (Aria Sinir) dan mendapat putra yang dinamai Ria Kanuhanjaya. Setelah Raden Ismahayana menjadi raja dan memeluk agama Islam serta berganti nama Abdul Kahar, kemudian antara Raden Ismahayana dengan Ria Kanuhanjaya, yaitu dengan bantuan kebijaksanaan Nyi Limbai Sari ialah istri Raden Ismahayana, yang sudah menjadi raja dalam tujuh hatri, sudah didapat perdamaian dengan Sumpah Buang Batu yang mengandung perjanjian dua belas perkara, yakni Bernikah atau Kawin Pengantin, Tepung Tawar Bunting (Hamil), Guring ke Lapit (Kelahiran Bayi), Berayun, Bergunting Rambut, Turun ke Air, Masuk Laminan, Bersunat (Khitanan), Membuat Rumah, Membuat Negeri, Membela Negeri (Peperangan), dan Kematian”.

“Ria Kanuhanjaya berjanji akan membantu Raden Ismahayana untuk memenuhi syarat-syarat adat istiadat Perjanjian Dua Belas Perkara tersebut, sampai kepada anak cucu masing-masing antara kedua belah pihak”. “…Perjanjian itu tidak saja diucapkan dengan mulut tetapi dikunci dengan Sumpah Buang Batu di muara Manyukai (muara Sungai Menyuke). Pada Ria Kanuhanjaya yang menyebut diri Paca Laut (Melayu) salah Dayak mati dan Dayak salah Dayak mati. Raden Ismahayana seorang ksatria yang bijaksana dan mengenal keadilan serta kebenaran mengetahui, bahwa sumpah saudaranya seibu itu salah lalu ditegurnya”. “…kemudian dari pada itu lalu Ria Kanuhanjaya dan kaumnya terjun ke dalam sungai akan mencari batu yang sudah dibuang itu. Setelah batu tiada dapat dicari, maka kata Ria Kanuhanjaya, “Ya, apa boleh buat, sudah kehendak Jubata dan terpaksa kami Dayak mengaku Sumpah Buang Batu ini dan tetap setia pada segala perjanjian-perjanjiannya”. “Hai adinda Aria, setia pada janji itu adalah kemuliaan manusia dan mahkota sekalian kesatria dalam dunia ini”, kata Raden Ismahayana. Demi selesai Sumpah Buang Batu, Ria Kanuhanjaya lalu bermohon pulang ke kampungnya di jering (Banyukai) dan menjadi kepala bangsa Dayak, sampai pada turunan anak cucunya. Demikian pula Raden Ismahayana setelah Ria Kanuhanjaya bermohon pulang, dengan diiringkan istrinya Raden Sari Ayu serta perdana menterinya dan hamba rakyatnya, lalu berangkat ke istananya di Munggu”.

“Setelah beberapa lamanya raja Raden Ismahayana (Raden Abdul Kahar) (Raja) Dipati Karang Tanjung Tua pemerintahan raja yang ke delapan dalam Kerajaan Landak di Munggu, kemudian ketika wafat lalu digantikan oleh putra mahkotanya Raden Tjili tedung, menjadi raja dengan bergelar Raja Dipati Karang tedung, yaitu pemerintahan raja yang ke sembilan dari Kerajaan Landak. Semasa Raja Dipati Karang tedung mangkat dan meninggalkan seorang putra yang masih kecil, dan oleh sebab itu Raden Tjili Pahang Tua naik di atas tahta kerajaan dengan bergelar Raja Dipati Karang sari Tua, yaitu pemerintahan raja yang ke sepuluh dari Kerajaan Landak”.

“Beberapa lamanya Raja Dipati Karang Sari Tua memerintah Kerajaan Landak, kemudian ketika wafat lalu digantikan oleh Pangeran Mangkubumi, adapun Pangeran Mangkubumi adalah putranya almarhum (Raja) Dipati Karang Tedung (Raden Tjili Tedung) raja ke sembilan. Selama Pangeran Mangkubumi memerintah Kerajaan Landak, ada berputra dua orang, (masing-masing) Pangeran Purba Jaya Kusuma dan ratu Mas Landak yang bersuamikan Raden Temenggung Naya Kusuma. Ketika Pangeran Mangkubumi mangkat, maka Pangeran Purba Jaya Kusuma masih kecil dan menggantikan menjadi raja yaitu Raden Kusuma Agung dengan bergelar Pangeran Kusuma Agung (Tua). Adapun Pangeran Kusuma Agung adalah putra Raja Dipati Karang Sari (Tua)”.

“Setelah berakhir pemerintahan Pangeran Kusuma Agung (Tua) dan ketika wafat lalu digantikan oleh putranya yang bergelar Pangeran Kusuma Agung (Muda). Dalam pemerintahan Pangeran Kusuma Agung (Muda), ibu negeri Kerajaan Landak telah dipindahkannya ke Bandong …”

Selanjutnya, turun temurun bangsawan dari tanah Jawa dari Singhasari yang kemudian dikenal sebagai Ratu Sang Nata Pulang Pali I, pangeran dimaksudkan tadi, adalah Raden Kasuma atau Kusuma Sumantri Indra Ningrat Ratu Angka Wijaya Bra Wijaya, memerintah di Kerajaan Landa atau Landak. Ia telah menciptakan suatu dinasti yang memerintah hingga sirnanya masa keemasan Landak Hindu di masa Ratu Sang Nata Pulang Pali VII antara 1292 hingga 1472. atau selama dua abad lebih. Cikal bakal Kerajaan Landak ini, ternyata juga telah meninggalkan kisah-kisah yang melegenda di tengah masyarakat Landak turun temurun. Dan awal pertumbuh-kembangannya terjadi dengan adanya suatu jalinan asimilasi antara peletak dasar berdirinya kerajaan ini yang berasal dari tanah Jawa dengan masyarakat yang memang sudah terlebih dahulu bertapak di di kawasan itu, yaitu mereka yang belakangan dikenal sebagai masyarakat Dayak yang pada ketika silam dikenal sebagai Orang Darat.

Asimilasi dan interaksi antara pendatang dari Singhasari (Jawa) yang membawa pengaruh Hindu yang terjadi dengan masyarakat (orang Darat atau masyarakat Dayak) setempat yang teguh dengan keyakinan animisme-dinamisme dan totemismenya, kemudian menjadi penduduk Negeri Landak Tua. Penduduk Negeri Landak Tua inilah yang setelah mendapat pengaruh Islam, menerima dan memeluknya serta mendalami ajarannya belakangan dikenal sebagai Orang Melayu. Inilah yang menjadi Melayu Landak turun temurun.

*) Di bawah pemerintahan Raja Adipati Karang Tanjung Tua (1472-1542), agama Islam berkembang dengan pesatnya di wilayah Kerajaan Landak. Raja Kerajaan Landak sendiri beserta rakyatnya kemudian memeluk agama Islam. Dan raja sendiri kemudian berganti nama menjadi Raden Abdulkahar.