Semar dan Manunggaling Kawula—Gusti
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Para dalang Jawa menyebut Semar beserta ajarannya pusaka amarta, nama kerajaan para Pendawa. Di samping itu Amarta juga berarti tidak dapat mati atau abadi. Dengan demikian, semar pusaka amarta, dapat juga berarti Semar pusaka abadi. Berkat makin terkenalnya Semar yang belum pernah tergantikan oleh dewa lain, dia kemudian digabungkan dengan punakawan lainnya dan muncul di dalam wayanag. Mungkin sekali bahwa wayang dagelan yang dimasukkan ke dalam kumpulan wayang pada abad XVI, mengacu pada penggabungan punakawan itu. Satuan lima baru, dengan demikian, terbentuk. Satuan ini terdiri dari empat punakawan dan Arjuna lelananging jagad, manusia dunia ini.
Semar di antara mereka berlima adalah guru, sesepuh dan pemimpin mereka. Dalam hubungannya dengan Arjuna, Semar juga pelayan. Pelayan dapat disamakan artinya dengan pembantu, tetapi pembantu dapat dianggap bantuan yang bersifat abstrak. Karena Arjuna ini inkarnaasi Wisnu, dan Wisnu adalah salah satu Dewa Panca Kusika, Semar dapat merupakan pembantu abstraknya yang berbentuk ajaran.
Arjuna dan Semar bersama-sama dapat melambangkan satuan yang berupa manusia, dengan Arjuna sebagai pribadinya, dan Semar sebagai pikiran dan kesadarannnya. Tidak dapatnya berpisah antara Arjuna dan para punakawan terutama Semar, mungkin melambangkan konsep orang Jawa manunggaling kawula Gusti. Penting untuk diperhatikan, kalau ajaran Semar dinyatakan oleh dalang sebagai pusaka, semacam peninggalan keramat. Dengan demikian pengertian ini membuat Semar sendiri merupakan pusaka.
Ajarannya seperti yang dipertunjukkan di dalam cerita Wahyu Tejamaya, adalah mengenai raja yang mengikuti dharma dengan menyerahkan diri atau pasrah pada ajaran itu. Dengan cara ini raja dapat mengejarkan rakyatnya dengan memberi contoh menurut dharma. Karena dharma meliputi hukum alam, pada kenyataannya, raja menjadi penengah di antara pemerintah bersama seluruh masyarakat di satu pihak, dan alam gaib di pihak lain.
Sudah menjadi kebiasaan, kalau raja, untuk meyakinkan kewajiban ini minta nasihat guru atau sejumlah guru yang mendapat kepercayaan raja. Di dalam Wahyu Tejamaya, guru tersebut adalah Semar. Disebutkan, meskipun raja memegang kekuasaan tertinggi di atas rakyatnya, dia harus selalu ingat bahwa dia satu-satunya penghubung, yang sangat berpengaruh di antara kerajaannya dan dunia atau kekuatan gaib. Dia tidak dapat lepas dari salah satu dari mereka, dan tidak bisa berselisih dengan mereka juga. Nama yang dipakai atau dipilih oleh Sultan Yogyakarta yang pertama mencerminkan kewajiban yang disadari karena kedudukannya yang penting itu.
Sebagai pangeran, dia diberi gelar Mangkubumi, yang artinya memangku dunia ini. Tetapi, sebagai sultan atau raja, dia memakai gelar Hamengku Buwono, orang yang melindungi alam semesta. Nama ini memberi tanda kewajiban raja yang utama, yaitu menyatukan kerajaannya dengan alam semesta dengan perantaraan dirinya. Dengan tekanan pada kewajiban utama ini, pertimbangan terpenting kenegaraan ada pada tercapainya persatuan antara kawula atau rakyat dan rajanya, atau manunggaling kawula Gusti.
Dalam aspek mistiknya, konsep ini bermakna persatuan antara manusia dengan alam gaib, dan juga persatuan antara manusia dengan penciptanya. Konsep persatuan yang harus dicapai dan merupakan kewajiban utama raja ini, disertai dengan adanya nilai-nilai sosial yang diikuti para kawula. Tujuan utama dalam hidup para kawula, adalah tercapainya persatuan tersebut. Pada tingkat perseorangan, seseorang dapat bersatu dengan kekuatan alam gaib atau kosmik, dengan menyerahkan diri atau pasrah pada ajaran seorang guru, tetapi untuk pemerintahan atau kerajaan dan masyarakat seluruhnya, satu-satunya perantara adalah raja.
Ada dua versi utama yang menceritakan asal usul Semar. Yang pertama mengatakan bahwa surga (langit) dan bumi dikuasai oleh Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Wenang berputra satu bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal memperistri Dewi Rekatawati, putri kepiting raksasa yang bernama Rekatama. Pada suatu hari Dewi Rekatawati bertelur dan seketika itu telur itu terbang ke langit ke hadapan Sang Hyang Wenang. Setiba di hadapan Sang Hyang Wenang, terlur tersebut menetas sendiri, dan terwujudlah tiga makhluk antropomorfis yang muncul dari kulit telur, dinamai Tejamantri, lalu tampaklah Ismaya yang berasal dari putih telur dan Manikmaya terjadi dari kuning telur itu.
Pada suatu hari, tibalah waktunya mereka bertiga berbicaram yang akibatnya mereka bertengkar mempermasalahkan siapa yang akan menggantikan ayah mereka kelak, sebagai penguasa. Manikmaya menyarankan diadakannya pertandingan menelan gunung dan memuntahkannya kembali. Tejamantri, sebagai yang tertua, melakukannya dulu, tetapi gagal. Kemudian Ismaya, dia dapat menelannya, tetapi tidak berhasil memuntahkannya kembali. Insiden ini menyebabkan terjadinya gara-gara atau bencana.
Sang Hyang Wenang segera datang dan mengambil keputusan. Ia mengatakan bahwa pada waktunya, Manikmaya akan menjadi raja para dewa, penguasa surga di Kahyangan. Dia juga akan mempunyai keturunan yang menjadi penduduk bumi. Sedangkan Ismaya dan Tejamantri, mereka harus turun ke bumi untuk memelihara keturunan Manikmaya. Keduanya hanya boleh menghadap Sang Hyang Wenang kalau Manikmaya bertindak tidak adil. Sejak itu Sang Hyang Wenang mengganti nama mereka. Manikmaya menjadi Batara Guru, nama Tejamantri diubah menjadi Togog, sedangkan Ismaya dinamakan Semar.
Karena sebuah gunung pernah ditelannya, bentuk tubuh Semar menjadi besar, gemuk dan bundar. Proporsi tubuhnya sedemikian rupa sehingga tampak seperti orang cebol.
Versi kedua menyebutkan bahwa alam semesta muncul sebagai sesuatu yang tercipta sekaligus. Diceritakan bahwa sebutir telur yang dipegang Sang Hyang Wenang menetas dengan sendirinya, dan tampaklah langit, bumi dan cahaya atau teja, serta dua makhluk anthropomorphis, Manik dan Maya. Kalau versi pertama dan kedua dibandingkan, ada persamaannya. Ismaya dari versi pertama dan Maya dari versi kedua, terjadi dari putih telur, dan keduanya bertugas memelihara bumi. Manikmaya dan Manik merupakan transformasi dari kuning telur, dan keduanya menjadi raja para dewa di surga. Dalam kedua versi itu Manikmaya dan Manik menjadi Batara Guru, yang keturunannya tersebar di surga dan di bumi, sedangkan Ismaya dan Maya dinamakan Semar dan dijadikan pelindung bumi atau dunia. Jelaslah di sini bahwa Semar merupakan tokoh dominan di alam semesta dan sebagai pelindung bumi, erat hubungannya dengan penduduk bumi.
Di Jawa, seperti yang telah diungkapkan sebelum ini, orang percaya bahwa Semar adalah keturunan dari satu dewa dalam mitos yang paling berkuasa. Penting sekali untuk diketahui bagaimana pengertian orang Jawa mengenai dewa-dewa dalam wayang. Dewa-dewa ini digambarkan sebagai manusia, kelebihannya, dewa ini mempunyai kekuasaan tertentu yang luar biasa, dan tinggal di kahyangan di puncak-puncak gunung. Dewa-dewa ini dapat terbang. Mereka dapat dihubungi dengan jalan meditasi atau semedi, atau dengan mendaki gunung kosmik. Dewa dapat berbicara dengan manusia dan berwujud seperti manusia juga. Dewa-dewa ini juga terpengaruh oleh gara-gara.
Gara-gara yang mengisi babak kedua dari pertunjukan wayang, menggambarkan bencana alam yang disebabkan oleh tindakan para dewa yang menyimpang dari ketentuan dan kewajiban yang seharusnya dipenuhinya, dan oleh berbagai tindakan manusia yang kurang bertanggung jawab. Termasuk dalam tindakan ini misalnya bertapa terlalu khusuk dan lama, merusak dengan jalan perang. Bermacam-macam tindakan dewa yang merusak ini, dalam wayang sering dilakukan waktu dewa itu mengalami penjelmaan wujud dan menjadi tokoh lain, dan waktu perintah yang tidak adil diberikan olehnya kepada manusia atau dewa lainnya. Sebab lain dari gara-gara adalah terjadinya bencana alam yang sesungguhnya secara tiba-tiba, misalnya adanya gempa bumi, letusan gunung api, banjir sebagai akibat dari badai atau pasang naik yang disertai gelombang besar dan dahsyat serta angin ribut.
Selama gara-gara berlangsung, biasanya tokoh wayang danawa keluar, danawa yang sesungguhnya atau raksasa penjelmaan dari makhluk lainnya. Banyak orang dan binatang yang menderita dan mati, dan hutan pun mengalami kerusakan. Semuanya menjadi kabur bahkan tidak kelihatan karena kegelapan. Tiap orang sedih dan menjadi bingung. Para dewa dan raja mencoba mencari jalan untuk memecahkan persoalan sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk mencapai ketenangan. Waktu keadaan yang kacau akhirnya berhenti, dan langit menjadi terang, Semar dan punakawan yang lain muncul dan diminta oleh tuannya untuk membantu mengembalikan ketenteraman umum dan membangun dunia kembali.
Di dalam kebudayaan Jawa berbagai masalah dipandang sebagai akibat dari kekacauan dunia meskipun dengan skala kecil. Pemecahan soal ini ialah usaha mengatasi kekacauan ini dan mewujudkan kembalinya situasi yang stabil, tenteram dan aman. Di dalam wayang, kekacauan kosmik diatasi oleh Semar. Dalam kehidupan sehari-hari, ritual seperti slametan, upacaa makan bersama dan embagian berkat sesudah makanan tertentu dihidangkan dan disertai doa Islam diadakan, sebagai daya upaya untuk mengembalikan keseimbangan dan keselarasan di dunia, serta menghilangkan penyakit dan mendatangkan kesejahteraan.
Pertunjukkan wayang dapat diadakan untuk menyertai slametan dalam peristiwa khusus dan cerita wayang tertentu menjadi keharusan supaya tujuan slametan untuk melindungi mereka yang diberi upacara slametan itu tercapai.