Baratayuda Jayabinangun
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Selama beberapa tahun, Prabu Abyasa memerintah kerajaan besar Ngastina dalam keadilan, kedamaian dan kemakmuran. Namun, sang raja sebenarnya memiliki penderitaan tersendiri. Ketiga putranya secara tragis cacat. Yang tertua, Drestarata, buta, yang kedua, Pandu, adalah seorang albino, sementara yang ketiga, Widura, lumpuh. Pada suatu saat, akhirnya sang raja yang sudah tua memutuskan untuk menyepi dan menghabiskan sisa hidupnya dalam meditasi religius dan asketisme.
Karena kebutaannya, Drestarata tidak bisa menggantikan ayahnya, sehingga Abyasa menunjuk Pandu sebagai penguasa Ngastina, dengan pemahaman bahwa tahta nantinya akan diberikan kepada keturunan Drestarata. Namun demikian, ada banyak orang yang merasa bahwa Pandu, setelah dia menjadi raja, berhak untuk menunjuk penggantinya sendiri. Inilah awal mula dari permusuhan sengit antara putra-putra Drestarata (Kurawa) dan putra-putra Pandu (Pendawa), yang pada akhirnya bermuara para Perang Terakhir, Bratayuda Jayabinangun.
Kurawa terdiri dari 99 orang anak lelaki dan satu perempuan, Dewi Dursilowati, dilahirkan untuk Drestarata oleh istrinya, Gendari. Yang tertua adalah Kurupati, yang pada akhirnya menjadi raja Ngastina. Kemudian menyusul Dursasana yang keras, Citraksa, Citraksi, baru kemudian yang lainnya. Ketika mereka telah dewasa, anak-anak Drestarata melakukan kontrak dengan dua aliansi dinastik yang sangat penting. Kurupati menikahi Dewi Banowati, putri Raja Mandraka yang termasyhur, Prabu Salya, dan kekuasaan Dursilowati diberikan kepada pangeran yang sangat kuat dan dihormati, Raden Jayadrata.
Pendawa, berjumlah lima orang, semuanya laki-laki. Tiga orang yang tertua, Yudistira, Wrekudara, dan Arjuna, adalah putra-putra Pandu dari istri pertama, Dewi Kunti Nalibrata. Dua yang termuda, Nagkula dan Sadewa, adalah saudara kembar yang dilahirkan istri kedua Pandu, Dewi Madrim, saudari Prabu Salya. Walaupun Pandu tampak sebagai mereka, tetapi sebenarnya dia adalah seorang laki-laki impoten, dan anak-anak itu semuanya adalah titisan Dewa: Yudistira oleh Batara Darma, Wrekudara oleh Sang Hyang Bayu, Arjuna oleh Batara Endra, dan si kembar oleh dua Aswis.
Seperti halnya Kurawa, Pendawa muda memperoleh sekutu yang penting melalui perkawinan. Yudistira dan Arjuna masing-masing menikahi Dewi Drupadi dan Dewi Srikandi, putri-putri dari Prabu Drupada dari Cempalareja, dan saudara-saudara Raden Drestajumena. Istri Arjuna yang lain, Dewi Sumbadra, bukan hanya sepupu pertamanya sendiri, tetapi juga saudari dari Prabu Kresna, penguasa Dwatawati yang sangat kuat.
Kini, sebelum pernikahannya dengan Pandu, Dewi Kunti telah memiliki seorang anak dengan Batara Surya, Dewa Matahari. Ayahnya, karena malu oleh kehamilan putrinya yang belum waktunya, meletakkan anak yang baru lahir itu dalam sebuah tong dan menghanyutkannya ke sungai. Anak itu, seorang anak laki-laki, diselamatkan oleh seorang penunggang kereta sederhana dan diberi nama Karna.
Ketika dia sudah menjadi seorang pemuda, keterampilan perangnya, sifat aristokratiknya, dan kemuliaan karakternya menarik mata Kurupati. Dengan mengharapkan dukungan untuk melanjutkan persaingannya dengan putra-putra Pandu, saudara tertua Kurawa itu memberi semangat dan menjadikan Karna muda sebagai teman, walaupun belum banyak mengetahui siapa dia sebenarnya. Itulah sebabnya mengapa putra pertama Kunti bergabung dengan pihak musuh bebuyutan anak-anaknya yang lebih muda.
Pandu sendiri tidak memerintah terlalu lama di Ngastina. Dia meninggal ketika Kurawa dan pendawa masih kanak-kanak. Drestarata, setelah melewati masa pergantian, menjadi raja hingga dia dewasa. Baik Kurawa maupun Pendawa dibesarkan bersama di Ngastina di bawah pengawasan Dahyang Durna, brahmana yang sangat arif, dan Resi Bhisma yang sudah tua. Ketidakmampuan Drestarata membuatnya menjadi raja yang tidak lebih dari sekadar namanya, karena sebenarnya kekuasaan yang efektif dikendalikan oleh saudara ipar Drestarata dan yang menjadi Perdana Mentri, Sangkuni, yang licik.
Sejak awal, saudara-saudara sepupu ini terus melakukan persaingan yang sengit, yang mencapai klimaksnya ketika Drestarata memutuskan untuk mendukung putranya Kurupati, yang kemudian diangkat menjadi Prabu Suyudana. Pendawa merasa tidak adil, sementara Kurawa, dengan mengabaikan jumlah mereka, mereka khawatir bahwa posisi mereka tidak akan pernah aman selama saudara-saudara sepupu mereka yang lebih diberkati dan didukung Dwa tetap hidup untuk mengancam mereka. Cinta, demikian juga politik, menjadi sumber perjuangan. Suyudana merasa terhina karena istrinya tergoda oleh Arjuna, pangeran Jawa yang tak tertandingi. Sebenarnya, bahkan setelah menikah dengan Raja Ngastina yang baru itu pun, Dewi Banowati tetap menjalin hubungan dengan Arjuna, dan hubungan mereka tetap berjalan.
Bagaimanapun, Perdana Mentri Sangkuni, yang merasa takut dengan posisinya sendiri dan menjadi kesayangan para kemenakannya, atau insting bawaan mengenai kesalahpimpinannya, menyalakan persaingan yang membara di antara saudara sepupu itu hingga akhirnya terjadi konflik terbuka. Dengan memanfaatkan kegelisahan Suyudana, dia membujuknya untuk mengundang Pendawa lima dan ibunya, Kunti, guna menghadiri sebuah konferensi resmi, berpura-pura untuk mendiskusikan persoalan pembagian kerajaan menjadi dua, separo untuk Yudistira dan saudara-saudaranya dan separo lainnya untuk Kurawa.
Dengan tanpa mencurigai akal bulus Sangkuni, Pendawa datang dan ditempatkan dalam sebuah paviliun yang indah, terutama yang dibangun dengan bahan antiai. Setelah dilakukan perjamuan yang mewah dan ramah, Pendawa menuju tempat peristirahatan itu, semuanya kecuali Wrekudara yang awas. Kinin datanglah paman mereka yang pincang, Widura, memperingatkan para kemenakannya akan kecurangan Kurawa dan menasihati mereka untuk mengikuti civet putih.
Segera setelah itu orang-orang suruhan Sangkuni membakar paviliun, berusaha menjebak Pendawa yang tengah terlelap tidur dalam holocaust. Namun, Dewi Kunti dan lima puranya, dipimpin oleh Wrekudara, menemukan sebuah civet putih misterius yang tiba-tiba ada di hadapan mereka dan menghindarkan mereka dari kematian dengan mengikutinya ke jalan bawah tanah dan akhirnya, setelah melakukan perjalanan panjang, mereka tiba di sebuah tempat terpencil, hutan yang sangat jauh.
Dalam ketakutan akan kehidupan mereka, Pendawa sekarang datang ke istana Prabu Matswapati, Raja Wirata, di mana, dengan menyamar, mereka mencari pekerjaan. Yudistira menjadi seorang brahmana yang terpelajar, Wrekudara menjadi seorang tukang daging, Arjuna menjadi seorang guru tari kasim dan si kembar menjadi pasukan. Walaupun Kurawa mencari ke mana-mana, mereka tidak bisa menemukan jejak Pendawa. Pada akhirnya, bahaya itu berlalu dan rahasia tentang identitas mereka diketahui oleh Matswapati.
Dengan bantuan Matswapati dan sepupu serta saudara ipar Arjuna, Prabu Kresna, Pendawa membuka wilayah hitan luas di mana mereka pertama kalinya memperoleh tempat perlindungan dan di sanalah nantinya mereka membangun sebuah istana yang megah yang mereka namakan Ngamarta. Kini Yudistira sudah mengenakan mahkota raja, dan sebuah masa kemenangan dan kemakmuran tiba. Dari segala penjuru, seluruh masyarakat datang untuk mencari perlindungan di bawah kekuasaan yang bijak dan manusiawi dari Pendawa yang penuh kasih.
Namun, persaingan dengan Kurawa tetap berlanjut. Pendawa tidak pernah melepaskan klaim-klaim mereka dan Kurawa tidak pernah kehilangan rasa khawatir mereka terhadap Pendawa. Untuk itu, Kurawa menambah pasukan dengan putra raksasa Prabu Salya, Raden Buriswara, yang jatuh cinta pada Dewi Sumbadra, berumpah bahwa jika dia tidak bisa menikahinya, maka dia tidak akan menyentuh perempuan lain. Oleh karena Sumbadra telah menjadi istri Arjuna dan telah melahirkan seorang anak, Raden Abimanyu, maka hanya kematian Arjunalah yang bisa memenuhi tujuan Burisrawa.
Kemajuan dan kemasyhuran Ngamarta yang terus berkembang telah membuat hati Suyudana terbakar. Dan sekali lagi dia meminta nasihat kepada pamannya, Sangkuni. Perdana Menteri yang licik untuk menyarankan agar dia mengundang Pendawa untuk pesta perdamaian dan di sana dia akan mengajak Yudistira bermain dadu. Inilah kelemahan tunggal raja Ngamarta, dan keahlian khusus Sangkuni. Sekali lagi Pendawa jatuh dalam jebakan yang telah dipersiapkan untuk mereka. Mereka menghadiri pesta itu dan Yudistira setuju bermain dadu dengan Sangkuni, walaupun saudara-saudaranya sudah memperingatkannya akan bahaya tersebut.
Setelah waktu berlalu, Yudistira segera mengalami banyak kekalahan dan kehilangan seluruh harta miliknya kemudian kerajaannya, dan kemudian kemerdekaannya sendiri, dan akhirnya saudara-saudaranya dan bahkan istrinya, Dewi Drupadi. Pendawa sangat terpukul dengan musibah yang menimpa mereka. Kurawa sangat senang, dan Dursasana bangkit untuk memeluk Drupadi, sambil merobek-robek gaunnya dan melepaskan ikat ramputnya. Diterpa oleh kemarahan yang luar biasa, Drupadi mengingatkan Kurawa bahwa, setelah menyerahkan kebebasannya sendiri, suaminya tidak akan bisa lagi memimpin dirinya dan saudara-saudaranya secara legal, sehingga dia atau Pendawa yang lain akan membiarkan pakaiannya yang robek dan rambutnya yang tergerai hingga datang saatnya dia untuk membasuh rambutnya yang panjang dengan darah Dursasana.
Wrekudara juga mengutuk Kurawa dan berjanji bahwa suatu hari dia akan mencincang Dursasana dengan kuku-kukunya dan mencabik-cabik mulut Sangkuni. Kemudian Pendawa pergi dalam kebisuan, melepaskan segala sesuatu yang mereka miliki. Suyudana tidak berusaha untuk mencegah mereka, dia bingung dengan peristiwa luar biasa yang baru saja terjadi.
Sekali lagi Pendawa tidak memiliki apa-apa. Sekali lagi mereka dipaksa untuk berkelana dalam kemiskinan melalui hutan-hutan dan gunung-gunung, dengan selalu ditemani oleh para pengikutnya yang setia, punakawan, Semar, Gareng dan Petruk. Setaip saat mereka ditimpa keputusasaan, semangat mereka dibangkitkan oleh kelucuan Petruk dan Gareng serta harapan mereka tumbuh karena nasihat Semar yang sangat bijak.
Beberapa tahun telah berlalu, hingga Pendawa, dengan bantuan Kresna dan Matswapati, sekali lagi mampu menghimpun kekuatan. Untuk mempererat aliansi antara Pendawa dan Wirata, saudara tertua dan yang paling dicintai Arjuna, Raden Abimanyu, dipanggil dan dinikahkan dengan putri Matswapati, Dewi Utari. Pada saat pernikahan, diramalkan bahwa anak mereka akhirnya akan memerintah seluruh Jawa dengan kedamaian dan kemakmuran dan pada akhirnya akan menurunkan garis keturunan raja-raja Jawa. Dan kini, para Dewa telah mulai memberikan tanda-tanda bahwa perang terakhir, Bratayuda Jayabinangun, akan segera terjadi. Pendawa memutuskan untuk mengirim Kresna ke Kurawa untuk melakukan upaya terakhir mengakhiri permusuhan dengan membujuk Suyudana untuk menyerahkan separo kerajaannya.
Prabu Kresna datang ke Ngastina hanya ditemani oleh sepupunya dan temannya, Raden Setyaki, yang selain itu juga dikenal sebagai si kerdil Wrekudara (Bima Kunting). Sementara itu, Dahyang Durna dan Patih Arya Sengkuni sudah memperingatkan Suyudana agar dia tidak mengharapkan kemenangan mutlak dalam Bratayuda kecuali jika dia bisa menghancurkan Kresna sebelum perang dimulai. Dengan berbagai keraguan dan kebimbangan dalam hatinya, Suyudana bersiap-siap melakukan penyerangan terhadap Kresna dan Setyaki, walaupun sebenarnya mereka datang dengan bendera perdamaian. Konferensi itu dibuka dengan cukup damai, tetapi di sisi lain, tidak ada pihak yang mau memenuhi tuntutan dari pihak lawan. Kemudian setelah Kresna pergi beristirahat, Dursasana memerintahkan penjaga istana untuk menyerangnya.
Karena geram dengan serangan yang curang itu, Kresna, yang merupakan inkarnasi dari Dewa Wisnu, tiba-tiba berubah menjadi wujudnya yang sangat mengerikan, wujudnya sebagai penghancur, raksasa Twikrama yang setinggi gunung dengan seribu tangan dan sepuluh ribu lengan dan kaki. Dengan suaranya yang sangat dahsyat dan bagaikana halilintar, fundasi istana Ngastina goyang. Dalam jeritan kepanikan yang luar biasa, Kurawa mencari tempat perlindungan yang bisa mereka peroleh. Namun tidak ada seorang pun yang bisa menghindari kerusakan yang sangat cepat itu sehingga para dewa, yang ada dalam diri ayah Karna, Batara Surya, tiba-tiba muncul untuk memperingatkan Kresna bahwa dia dilarang untuk menumpahkan darah Kurawa.
Kurawa telah ditakdirkan untuk binasa bukan di tangan Kresna, tetapi di tangan Pendawa. Kutukan Drupadi harus terlaksana. Dengan titah para dewa, peran Kresna harus dibatasi untuk hanya bertindak sebagai penasihat Pendawa. Kata-kata Dewa Matahari telah mempengaruhi mereka. Kresna mengembalikan bentuknya yang semula. Dia pergi untuk meninggalkan ibu Pendawa, Dewi Kunti, yang tetap berada di Ngastina, dan berjanji untuk menyampaikan berkatnya kepada anak-anaknya. Di sanalah dia bertentangan dengan Setyaki yang setia Wirata, yang bermaksud melaporkan kegagalan misinya.
Sementara itu, Karna telah dipanggil oleh ibunya, yang meminta dengan sangat untuk meninggalkan Kurawa dan bergabung dengan saudara-saudaranya di Wirata. Namun dia tetap menolak, dengan mengingatkan ibunya bahwa dia telah meninggalkan Karna ketika masih bayi. Dengan melakukan tindakan yang kejam ini, Kunti telah mengorbankan klaim-klaim kecintaan dan ketaatan Karna kepadanya. Dia yang telah membuat dia seperti sekarang ini, menjadi satrya terkenal di Ngastina. Namun demikian, dia mengaku malu dengan serangan curang yang dilakukan Suyudana kepada Kresna dan ramalannya akan kehancuran Ngastina. Dia berjanji pada ibunya bahwa dia tidak akan bertempur dengan saudara-saudaranya yang lain, kecuali Aruna.
Oleh karenanya, dengan mengabaikan siapa yang menang dalam duel yang menentukan itu, Kunti masih akan tetap memiliki lima putra yang tetap hidup. Di jalan dia bertemu dengan Kresna, dan untuk sesaat kedua pengendara kereta itu berdiri berhadapan. Seperti Kunti, Kresna juga mencoba untuk membujuk Karna agar mengubah pikirannya dan membela pihak Pendawa, tetapi tetap tidak berhasil. Mereka kemudian berpisah dengan damai, dan masing-masing melanjutkan perjalanan sendiri.
Ketika Kresna telah memceriterakan apa yang terjadi di Ngastina, keputusan yang diambil adalah mereka harus maju ke medan perang. Pendawa sekarang mengumpulkan sekutu-sekutunya bersama di Wirata. Di samping lima saudara mereka sendiri, para pahlawan yang berkumpul di antaranya Prabu Kresna dari Dwaratawi, putranya, Raden Samba, dan Perdana Mentri, Udawa, Prabu Matswapati dari Wirata dan tiga putranya, Prabu Drupada dari Cempalareja dan putranya, Raden Drestajumena, ahli waris Arjuna, Raden Abimanyu, dan putra Wrekudara, Raden Gatutkaca, dan banyak lagi yang lainnya. Setelah seluruh persiapan sudah dilakukan, tentara Pendawa berjalan kaki menuju medan perang, sebuah tanah datar yang amat luas yang kemudian dikenal sebagai Tegal Kurusetra, Ladang Penguburan Kurawa.
Di Ngastina sudah dilakukan penyambutan di Wirata. Prabu Suyudana juga kini sudah mengumpulkan teman-teman dan sekutu-sekutunya. Di antara mereka adalah mertuanya sendiri, Prabu Salya, dengan pasukan perang Mandraka, saudara iparnya, Raden Jayadrata, Raden Burisrawa, Dahyang Durna, Resi Bhisma, Adipati Karna, dan banyak lagi yang lain. Sebuah permohonan juga dikirimkan kepada saudara Kresna yang bisa menghilang, Prabu Baladewa dari Mandura, yang istrinya juga merupakan saudara perempuan Prabu Salya, dan yang biasanya membela pihak Kurawa.
Namun Kresna sudah meramalkan bahaya ini. Setelah mengetahui bahwa jika Baladewa bertempur untuk Kurawa semuanya akan kalah, dia membujuk saudaranya untuk melakukan persiapan mendalam dalam pertempuran itu, dengan mempromosikannya bahwa dia akan dibangkitkan ketika Bratayuda sudah dimulai. Sebenarnya, dia hanya bermaksud untuk mengambilnya jika pada akhirnya Kurawa harus dihancurkan. Oleh karenanya, misi Kurawa ke Mandura tidak berhasil. Kini kedua tentara itu sudah berhadapan satu sama lain di sebuah padang yang sangat luas. Setelah dilakukannya ritus-ritus kekhidmatan dan pujaan, peperangan pun dimulai.
Pada hari pertama, Resi Bhisma memimpin pasukan Kurawa menuju kemenangan. Tiga putra Matswapati, Seta, Utara dan Wraysangka, semuanya binasa di tangannya, dan Suyudana menjadi sangat senang. Ketika kegelapan turun, Kresna memperingatkan Pendawa yang sangat sedih bahwa ketika dia masih muda Resi Bhisma secara tidak sengaja membunuh Dewi Ambalika, yang mencintainya. Kini Ambalika telah berinkarnasi dalam istri pejuang Arjuna, Srikandi, dan hanya Srikandi sendirilah yang bisa membunuh Bhisma. Gagasan ini disetujui oleh para pemimpin Pendawa sehingga pada hari berikutnya Srikandi-lah yang memimpin pasukan ke medan perang.
Pada hari kedua, seperti yang diramalkan Kresna, Bhisma bertemu dengan Srikandi dan menyadari bahwa ajalnya sudah tiba. Tanpa perlawanan, dia mengizinkan dirinya untuk ditembus oleh panah Srikandi. Setelah dia tergeletak mati, perang pun berhenti, dan kedua belah pihak bersama-sama menghormati sang pahlawan itu untuk mengharap berkahnya. Dengan napas terakhirnya, dia meramalkan kemenangan di pihak Pendawa dan kekalahan di pihak Kurawa.
Pada hari ketiga, Durna yang cerdik membujuk dua ksatrya Pendawa yang paling kuat, Arjuna dan Wrekudara, untuk bertempur satu lawan satu di tempat yang jauh dari medan perang itu dengan dua sekutu Suyudana lebih kecil. Rencana Durna adalah untuk mengambil keuntungan dari ketiadaan mereka guna melancarkan serangan yang mematikan. Yang maju ke medan perang kini adalah putra Arjuna, Abimanyu. Setelah memimpin serangan balik, dia berhasil membunuh putra dan pewaris tunggal Suyudana, Raden Lesmana Mandrakumara. Namun, kekurang-pengalamannya adalah kelemahannya. Kurawa berpura-pura memberikan tempat dan menarik dia ke tengah medan pertempuran.
Di sana dia dikepung, dihujani panah, dan akhirnya meninggal di tangan Raden Jayadrata. Ketika Semar yang setia membawa berita itu pada Arjuna, sang ayah hampir kehilangan kesadarannya, dia berjalan ke sana kemari tak tentu arah di medan perang sambil memanggil-manggil putranya, tanpa memikirkan bahaya. Namun, akhirnya Kresna berhasil menyadarkan dia dari kesedihan itu untuk memikirkan balas dendam, dan dia bersumpah untuk menghancurkan Jayadrata sebelum matahari terbenam atau dia sendiri yang akan melakukan upacara pembakaran mayat untuk dirinya bersama jenazah putranya tergeletak.
Sumpah ini segera tersebar ke kamp Kurawa. Atas nasihat Sangkuni, Jayadrata disembunyikan di tempat yang tidak bisa ditemukan oleh siapa pun. Hari yang panjang berlalu sementara Arjuna tetap memburu Jayadrata tanpa hasil apa pun. Setelah matahari condong ke barat, dia sudah bersiap-siap untuk menanggung kepedihan, rasa malu, dan keputusasaan. Namun, kini Kresna menggunakan senjata magisnya, Cakra, untuk membuat langit menjadi gelap sehingga nampaknya hari benar-benar sudah malam. Kurawa tertipu dan Jayadrata kini muncul dari tempat persembunyiannya untuk menyaksikan kematian Arjuna di atas api. Tiba-tiba Cakra ditarik, dan dalam sinaran cahaya merah matahari panah Arjuna melesat tak terhindarkan hingga menembus leher Jayadrata.
Pada hari keempat, Raden Buriswara ditantang oleh Raden Setyaki. Pertempuran berlangsung sengit antara kedua pahlawan kecil itu, dia nyaris mati ketika sepupunya Kresna turut campur, dengan mendorong Arjuna untuk memanah Burisrawa dari belakang. Arjuna menolak, dengan mengatakan bahwa hal ini bertentangan dengan sikap satrya bila dia harus berperang dengan cara ini. Tanpa rasa kaget, Kresna kembali memberikan nasihat. Dia memegang sehelai rambut di antara Arjuna dan Burisrawa dan meminta Arjuna untuk membelahnya dengan sebatang anak panah. Arjuna langsung setuju untuk mencobanya, dan berhasil membelah helai rambut itu. Namun, anak panah itu mesat dan terus menghujam ke dada Burisrawa. Dengan sangat malu, Arjuna selama satu hari menarik diri dari pertempuran.
Tempatnya diambil alih oleh putra Wrekudara yang bersayap, Raden Gatotkaca, yang kini memimpin Pendawa melawan pasukan Kurawa di bawah pimpinan Adipati Karna. Pertempuran sengit segera berlangsung, di mana Karna akhirnya terpaksa menggunakan panah magisnya, Kiai konta, untuk membunuh Gatotkaca. Kurawa sangat senang dengan kematian Gatotkaca. Namun, ini adalah kemenangan mereka yang terakhir.
Hari ke lima merupakan klimaks dari perang besar tersebut. Karena Arjuna dan Karna akhirnya berhadapan satu lawan satu. Prabu Salya adalah charioteer Karna, Prabu Kresna-nya Arjuna. Kedua pahlawan itu mulanya sama-sama ragy, tetapi Kresna mengingatkan Arjuna akan kewajibannya sebagai satrya dan kematian Gatotkaca pada hari sebelumnya di tangan Karna. Kemudian perang pun cimulai, dan dalam waktu yang lama keduanya sama-sama belum mendapatkan kemenangan, benar-benar sebuah perang yang melelahkan. Kemudian, setelah melihat kesempatan yang baik, Karna meluncurkan panahnya yang paling mematikan. Namun Salya, yang merasa terhina karena dipaksa untuk bertindak sebagai charioteer anak tirinya dan dalam hatinya berpihak pada Pendawa, tiba-tiba merengsek dan mendorong kudanya. Oleh karenanya, panah itu melesat mengenai rambut Arjuna, bukan kepalanya. Kemudian Arjuna menarik panah magisnya, Pasopati, dan Karna jatuh tersungkur mati.
Pada hari ke enam, Durna yang sudah uzur memimpin Kurawa menuju pertempuran menggantikan tempat Karna. Arjuna menolak untuk bertempur melawan gurunya sendiri, dan Pendawa yang lain tidak mau bertempur melawan seni-seni magis sang brahmana tua. Hanya setelah Kresna menyuruh Wrekudara untuk membunuh gajah yang memiliki nama sama dengan putra Durna, Bambang Aswatama, dan Yudistira dibujuk untuk meyakinkan orang tua itu bahwa sesungguhnya putranya telah mati, sehingga memungkinkan bagi pihaknya untuk menang pada hari itu. Tertegun dalam kebisuan yang mendalam, sang brahmana yang bisa menghilang itu sudah menjadi mangsa drestajumena, yang menghantam kepalanya tanpa dia bisa bertahan dan memberikan perlawanan. Dari jauh, Aswatama menyaksikan apa yang terjadi dan bersumpah dia akan membalas dendam.
Pada hari ke tujuh, Prabu Salya membimbing Kurawa menuju kemenangan kontemporer dengan senjatanya yang tak terkalahkan. Candrabirawa. Pasukan Pendawa tercekam dalam kepanikan, dan menderita banyak kekalahan. Kurawa berharap bisa menang tanpa diduga. Namun, ketika kegelapan mulai merayap, Kresna mengirim si kembar, Nangkula dan Sadewa, putra-putra dari putri tercinta Salya, Madrim, untuk mencari rahasia kekuatan Salya. Prabu Salya, yang tidak pernah mendukung tindakan Suyudana, tetapi bergabung dengannya karena kesetiaan keluarga, menceritakan pada anak-anak muda itu bahwa dia hanya bisa ditaklukkan oleh seorang raja yang darahnya berwarna putih.
Pada hari ke delapan, Yudistira, manusia yang paling jujur, memimpin Pendawa menuju peperangan, walaupun dia tidak pernah mengangkat tangan untuk melakukan kekerasan selama hidupnya. Dia tidak membawa senjata penghancur, tetapi hanya membawa pusakanya, naskah cusi Kalimasada. Kini, kekuatan Candrabirawa telah bisa dihancurkan. Hantu Begawan bagaspati, pertama raseksa yang telah dibunuh Salya setelah menikahi putrinya, Dewi Setyawati, muncul di udara, melayang-layang di atas medan perang. Setelah meneriakkan pembalasan dendam, hantu itu lenyap di balik tubuh Yudistira. Tiba-tiba dia berubah menjadi seorang satrya yang berbahaya dan langsung merobohkan Salya dengan panah magis Arjuna, Pasopati.
Pada hari ke sembilan, rasa sakit Drupadi terbalaskan. Wrekudara bertemu dengan Dursasana, dan setelah pertempuran yang mematikan, akhirnya dia berhasil merobohkan sepupunya itu dengan kukunya yang dahsyat, Pancanaka. Drupadi muncul di medan perang dan membasuh rambutnya yang panjang dengan darah Dursasana yang sudah mati. Sangkuni kemudian maju, tetapi dia tidak bertahan lama karena amukan raksasa Wrekudara yang mencabik-cabik tubuhnya dan rahangnya.
Pada hari ke sepuluh yang merupakan hari terakhir, Suyudana ditinggalkan sendiri untuk melakukan perang tanding dengan Wrekudara. Demikian besar keberanian dan kekuatannya sehingga Wrekudara tidak bisa menang hingga Kresna memerintahkannya untuk menyerang pada Suyudana. Kemudian, raja agung Ngastina itu tersungkur ke tanah tak berdaya, tanpa daya dia akhirnya menjadi korban kuku Pancanaka. Dan sekarang, Baladewa tersadar dari trance-nya karena petir pertempuran itu dan buru-buru menuju Tegal Kurusetra pada saat itu juga untuk menyaksikan akhir riwayat Suyudana.
Dia sangat menyalahkan Kresna karena ketidakjujurannya dan karena caranya yang tidak terhormat yang telah mengakibatkan kekalahan di pihak Kurawa. Tanpa bergerak, Kresna menjawab bahwa dia hanya melakukan kehendak Yang Maha Kuasa. Dengan perasaan sedih, Pendawa kini mendekati kota Ngastina yang hancur. Di pintu gerbang, mereka menemukan Gendari, ibu Kurawa, tertekan dalam kesedihan yang sangat mendalam. Seluruh anaknya yang berjumlah seratus orang, tidak satu pun yang masih hidup. Dalam keputusasaannya, dia berpaling pada Kresna dan menyalahkan Kresna dan mengutuknya. Dia meramalkan bahwa Kresna sendiri akan kehilangan seluruh putranya dan setelah itu dia akan mati menderita, sendiri, ditembus oleh anak panah penebang kayu di hutan yang sangat jauh dan terpencil.
Pendawa sekarang sudah beristirahat. Namun, putra Durna, Aswatama, yang telah melarikan diri dari medan perang, kembali menyelinap ke Ngastina pada malam hari untuk melakukan balas dendam. Setelah mereka, Pendawa, terlelap tidur, dia membunuh Raden Drestajumena, Dewi Srikandi, putra Drupadi, Raden Pancawala, dan janda Suyudana, Banowati yang tengah berbahagia menikmati kembali cinta pertamanya, Arjuna, setelah kematian suaminya. Dia juga berupaya membunuh Parikesit, cucu Arjuna yang masih kecil, tetapi bayi itu telah tidur bersama mengenakan Pasopati di kakinya. Karena terkejut oleh orang yang masuk dengan tiba-tiba pada tengah malam, bayi itu terbangun. Panah Pasopati, yang sudah melesat, lolos melewati punggungnya, dan Aswatama terluka pundaknya.
Fajar tiba, dan pembunuhan pada malam hari pun diketahui. Karena terkejut, Pendawa memutuskan untuk berpisah. Kresna kembali ke Dwarawati dengan setyaki dan Udawa. Baladewa ditinggal untuk membimbing dan mengasuh Parikesit muda, yang suatu hari nanti akan menguasai Ngastina yang baru. Lima bersaudara, ditemani Drupadi dan pengikutnya yang setia, mulai mendaki Gunung Mahameru. Namun, karena berat oleh darah yang telah ditumpahkan, kekuatan mereka berkurang setelah mereka mendekati gunung suci itu menuju surga.
Satu demi satu mereka tersungkur dalam perjalanan, pertama Drupadi, kemudian Sadewa, Nangkula, Arjuna, dan akhirnya Wrekudara. Hanya Yudistira yang suci yang mencapai gerbang surga. Di sana dia diundang masuk, sendiri, tetapi dia menolak selama istrinya, saudara-saudaranya, dan pengikutnya dibiarkan tetap di luar. Para dewa akhirnya berubah pikiran, dan seluruh rombongan itu memasuki wilayah bintang gemintang, tugas mereka di atas bumi sekarang setidaknya sudah terpenuhi.