Lakon Ramayana
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Sudah bertahun-tahun terjadi permusuhan yang sengit antara Prabu Dasarata, raja Ngayodya, dan raksasa Prabu Dasamuka, penguasa kerajaan pulau Ngalengka. Dua kali kedua raja itu terlibat dalam persaingan cinta, pertama memperebutkan Dewi Raguwati, dan kedua memperebutkan Dewi Kekaji.
Pada saat itu, muncullah generasi baru di dua ibukota kerajaan tersebut. Di Ngalengka, istri Dasamuka, seorang bidadari, melahirkan seorang bayi perempuan ketika suaminya tidak ada. Adik Dasamuka, Raden Wibisana, mengambil bayi itu, meletakkannya dalam sebuah keranjang, dan menghanyutkannya di sebuah sungai besar yang mengalir menuju laut. Akhirnya, bayi itu ditemukan oleh Raja negeri tetangga Mantili, yang mengangkat bayi itu sebagai anaknya sendiri dan memberinya nama Dewi Sinta. Untuk mencegah agar Dasamuka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Wibisana menciptakan seorang anak laki-laki dari awan yang gelap, memberinya nama Megananda atau Indrajit, dan menyerahkannya kepada Dasamuka sebagai putranya.
Sementara itu, di Ngayodya, Dewi Ranguwati melahirkan dua orang bayi laki-laki, Rama dan Lesmana. Tidak lama setelah itu Dewi Kekaji memberi putra ketiga kepada Dasarata, yang diberi nama Raden Barata. Ketika anak-anak itu tumbuh dewasa, ada berita yang tersiar bahwa Raja Mantili akan mengadakan sayembara untuk mencari menanti bagi putrinya yang cantik, Dewi Sinta. Rama memutuskan untuk ikut sayembara itu dan ia berhasil dengan gemilang, kemudian membawa Sinta ke Ngayodya sebagai istrinya.
Segera setelah itu, Dasarata, yang merasa bahwa ajalnya sudah dekat, menyampaikan maksudnya untuk menyerahkan kekuasaan kepada putra tertuanya, Rama. Namun Dewi Kekaji, cemburu karena anaknya sendiri, Barata, mulai meracuni pikiran orang tua itu akan mengubah calon penggantinya. Rama dengan tegas menolak untuk menentang kehendak yang salah dari Kekaji dan oleh karenanya dia keluar dari istana, diikuti oleh Sinta dan Lesmana yang setia.
Setelah mengingatkan Dasarata akan janjinya dahulu bahwa Kekaji masih memiliki keinginan yang akan dikabulkan oleh Dasarata betapa pun mahalnya, sekarang Dewi Kekaji memaksa suaminya untuk menjadikan Barata sebagai pewarisnya. Barata sendiri menolak untuk melaksanakan rencana ibunya dan membuat ibunya kecewa. Ketika Dasarata meningal, tidak lama setelah itu, Barata mengikuti Rama menuju hutan dengan harapan untuk membujuk Rama agar bersedia kembali ke Ngayodya dan menduduki tahta kerajaan. Namun, semua usahanya sia-sia belaka. Karena kelelahan, Barat tertidur di tempat peristirahatannya, dan di tengah malam Rama, Sinta dan Lesmana lenyap tanpa meninggalkan jejak. Dengan perasaan sedih, Barata kembali, dan akhirnya dia setuju untuk duduk sebagai raja di Ngayodya hingga saat Rama pulang nanti.
Sementara itu, rombongan Rama menemukan sebuah tempat peristirahatan di sebuah pertapaan yang terpencil, jauh di kedalaman hutan. Di tempat ini, suatu hari adik perempuan Dasamuka, Dewi Sarpakenaka, melewati tempat ini dan jatuh secara tiba-tiba dan tanpa sengaja jatuh cinta kepada Lesmana yang pertapa dan selibat.
Karena marah dengan rengekannya terus menerus, akhirnya Lesmana memotong hidung dan telinganya. Dengan kemarahan yang amat sangat, Sarpakenaka kembali ke Ngalengka dan mengadukan kepada saudaranya bahwa dia telah dihina secara semena-mena oleh putra-putra Dasarata. Dasamuka kini melihat kesempatan untuk membalas dendamnya pada putra-putra musuh lamanya. Menanggapi laporan Sarpakenaka mengenai apa yang telah dia lihat, Dasamuka mengirim suami Sarpakenaka, orang kepercayaannya Marica, untuk menggoda Dewi Sinta dengan cara mengubah dirinya menjadi seekor rusa emas.
Tipuan itu ternyata berhasil. Setelah melihat binatang yang cantik itu, Sinta langsung meminta Rama menangkap binatang itu untuknya. Marica kemudian menarik Rama semakin masuk ke dalam hutan belantara. Setelah beberapa saat, karena gelisah oleh Rama yang tidak juga muncul, Sinta memaksa Lesmana untuk pergi mencarinya, walaupun Rama sudah melarang keras adiknya meninggalkan Sinta sendirian tanpa dijaga siapa pun.
Karena desakan Sinta, akhirnya dengan berat hati Lesmana pergi. Kini, Dasamuka muncul dalam bentuk seorang pertapa yang bijak dan tua, dan dengan mudah dia bisa menghancurkan lingkaran magis pelindung yang dipasang Rama untuk Sinta. Setelah memegang tangannya, Raja Raksasa itu segera membawanya terbang menuju Ngalengka. Elang garuda, Jatayu, setelah melihat apa yang terjadi, melesat terbang untuk menyelamatkan Sinta. Namun, dia bukanlah tandingan Dasamuka dan akhirnya dia jatuh ke bumi dan terluka berat.
Raden Rama, sementara itu, karena kesal oleh ketidakmampuannya menangkap rusa emas yang sangat molek itu, memanahnya dengan anak panahnya yang mematikan. Dia sangat terkejut dan sedih, karena tiba-tiba binatang yang sekarat itu berubah wujud menjadi raksasa. Marica, setelah terluka dan mati kembali ke wujud aslinya. Diliput oleh kecemasan dan kebingungan, Rama buru-buru kembali ke pertapaan. Di perjalanan dia bertemu Lesmana, dan bersama-sama kedua saudara itu menemukan bahwa Sinta telah lenyap dari tempat itu. Diliput oleh keputusasaan yang mendalam, mereka segera menemukan Jatayu, yang menceritakan pada mereka identitas penculik Sinta.
Dalam perjalanan mereka menuju Ngalengka, kedua saudara itu pertama kali menemui Kera Putih, Hanoman, putra Dewa Angin, Batara Guru, yang telah dikirim oleh Penguasa Langit, Batar Guru, untuk memberi pertolongan pada mereka. Pertama dia, Hanoman, menyarankan mereka, Rama dan Lesmana, untuk mencari sekutu guna perjuangan mereka melawan Dasamuka. Segera mereka pergi ke Krajaan Kera, di mana tengah terjadi persaingan sengit untuk memperebutkan tahta antara Sugriwa dan Subali. Atas nasihat Hanoman, Rama datang menyelamatkan Sugriwa dengan memanah dada Subali. Sebagai tanda terima kasih, Sugriwa setuju untuk bergabung menyelamatkan Sinta dan membawa asukan kera bersamanya.
Akhirnya Rama mencapai sungai perbatasan yang memisahkan pula Ngalengka dan negerinya. Dia kemudian memutuskan untuk mengirim Hanoman terlebih dahulu guna memata-matai pulau itu. Dengan lompatan hebat Kera Putih itu menyeberangi air, dan segera mendapatkan dirinya sudah berada di sebuah taman indah di mana Sinta ditawan oleh dasamuka. Karena Raja Raksasa itu masih mengharapkan Sinta bersedia menjadi pendampingnya. Dia benar-benar tidak menyadari bahwa sebenarnya Sinta adalah putrinya sendiri.
Hanoman memanjat sebatang pohon yang tinggi, dan segera dia mengawasi Sinta yang tengah bercakap-cakap dengan penjaga dan temannya, Dewi Trijata, putri Wibisana yang setia. Setelah dengan diam-diam menyelinap ke taman, Hanoman mendekati dua wanita itu, bantuan Trijata, dia ditunjukkan ke tempat Sinta. Dia mengatakan pada Sinta bahwa pertolongan akan segera datang dan dia memberikan cincin Rama pada Sinta sebagai tanda cinta dan kepercayaan Rama. Sinta akhirnya memberikan cincinnya sendiri pada kera itu untuk dibawa kembali pada suaminya.
Dalam perjalanan pulang, nasib sial menimpa Hanoman. Dia ditangkap oleh Putra Mahkota Ngalengka yang kuat, Raden Indrajit, dan atas peruntah Dasamuka, dia dihukum mati dibakar hidup-hidup sebagay mata-mata. Pada titik waktu itu, Raden Wibisana dan saudara Dasamuka yang lain, Raden Kumbakarna, turut campur dengan cara mendesak Sang Raja untuk mengembalikan Sinta kepada suaminya dan melepaskan Kera Putih itu sebelum semuanya terlambat.
Perdana Menteri kepercayaan Dasamuka, Prahasta, mendukung nasihat mereka. Namun, semuanya tidak berhasil, marah karena merasa ditentang, Dasamuka memerintahkan mereka untuk memilih antara dirinya dan Rama. Selama dia masih hidup, dia tidak akan menyerahkan putri Mantili yang cantik itu. Dengan berat hati, Wibisana akhirnya menyatakan bahwa dia tidak akan bisa menerima penculikan Sinta yang tidak sah dan juga tidak akan menjadi bagian dari kematian kejam yang direncanakan terhadap Hanoman.
Dia sangat percaya bahwa keadilan harus ditempatkan di atas kesetiaan keluarga. Dasamuka mengizinkan dia untuk pergi, dan Wibisana langsung bergabung dengan Rama. Kumbakarna dan Prahasta membuat keputusan yang bertentangan. Sementara mereka tidak setuju dengan perbuatan Dasamuka dan memperingatkan bahwa para Dewa pasti akan mendukung Rama, mereka merasakan dalam hati bahwa mereka tidak bisa meninggalkan raja mereka bahkan bila perlu, mereka bersedia mati demi raja.
Inilah bukti dari pengorbanan mereka yang tulus yang seringkali menyebabkan Dasamuka gentar, tetapi janjinya untuk melakukan balas dendam, keinginannya untuk memiliki Sinta, dan hasutan-hasutan dari Sarpakenaka, yang mengingatkannya akan penghinaan-penghinaan Sinta dan kematian Marica yang setia, memperkuat tekadnya untuk melanjutkan pertarungan itu. Kumbakarna segera mengungsi ke puncak gunung, di mana dia larut dalam trance religius yang dalam, sambil mengumpulkan kekuatannya untuk menghadapi perang.
Ekor Hanoman kemudian dipotong oleh jagal Dasamuka. Namun, dengan mengerahkan seluruh kekuatan supranaturalnya, Kera Putih itu berhasil melepaskan ikatannya, terbang tinggi di udara, dan melintasi istana Ngalengka yang gemerlapan, sambil menyemburkan api ke puncak atap istana itu dengan ekornya yang menyala. Setelah dia melomat sekali lagi, dia sudah sampai di hadapan Rama dan Lesmana, dan dia menuturkan kisah mengenai misinya tadi. Setelah mengetahui bahwa Sinta masih hidup dan tidak dianiaya oleh Dasamuka, Rama memutuskan untuk perang. Dengan bantuan pasukan kera Sugriwa, yang menjadi jembatan hidup menyeberangi sungai, dia melintasi Ngalengka, tanpa menghiraukan banyaknya jumlah pasukan yang dikirim Dasamuka untuk melawannya.
Kini, perjuangan yang menentukan telah terbuka. Selama berhari-hari, perang berlangsung tanpa hasil apa pun. Kemudian gelombang pun mulai berbalik. Pertama Sarpakenaka, kemudian Prahasta yang setia, menyerah. Dalam keputusasaan, Dasamuka memanggil Kumbakarna. Namun pahlawan raksasa itu terlalu sibuk dengan meditasi sehingga tidak mudah dibangunkan, bahwa para utusan yang datang kepadanya tidak bisa melewati pembatas yang dia ciptakan.
Akhirnya, Indrajit berhasil membangunkannya. Kumbakarna kemudian bangun, mengenakan pakaian putih karena dia merasakan kematiannya sudah dekat, kemudian meningalkan pesan kepada istri dan anaknya, dan pergi ke medan perang. Tidak ada seorang pun yang bisa bertahan dengan kekuatan Kumbakarna yang luar biasa. Sugriwa tersungkur ke tanah setengah mati. Pasukan keranya terinjak ribuan jumlahnya setiap kali raksasa itu melangkahkan kakinya dan setiap kibasan tangannya.
Hanoman sendiri sangat sulit memegang kedua kakinya. Ketika Sugriwa dan Hanoman sudah terjepit dan Kumbakarna berada di ujung kemenangan itulah Lesmana datang membantu si Kera Putih dan menghujamkan panahnya ke jantung Kumbakarna. Dia tersungkur ke tanah, dan pada saat itulah seolah-olah Gunung Dunia, Mahameru runtuh dari langit menimpa bumi.
Pada hari berikutnya, Indrajit keluar untuk menuntut balas atas kematian pamannya. Demikian besar kekatan magisnya, sehingga sekali lagi pasukan Rama dibuat panik. Lesmana pergi menemuinya dan sekali serang saja dia menemui ajalnya. Hanoman sendiri terbukti tak berdaya menghadapinya. Kemudian Wibisana, yang menciptakan Indrajit, menceritakan pada Rama mengenai asal-usul Indrajit dan bagaimana cara menghancurkannya. Rama kemudian melepaskan anak panahnya yang paling sakti, dan Indrajit yang luar biasa itu lenyap menjadi awan yang gelap, yang dengan cepat menutupi seluruh langit dan menutupi matahari. Medan perang itu laksana malam yang gulita dan tentara musuh benar-benar dibuat kebingungan.
Prabu Dasamuka kini sendiri. Namun demikian, dia telah ditakdirkan untuk melakukan perjuangan panjang. Ketika fajar tiba, dia keluar bersama sisa-sisa tentaranya. Sementara itu, Lesmana dan Sugriwa telah kembali hidup setelah Rama menyentuh luka mereka yang berdarah dengan Bunga Kehidupan Wijayakusuma. Setidaknya, Rama dan Dasamuka bertemu dalam pertempuran satu lawan satu. Namun, masing-masing tidak bisa mengalahkan yang lain. Berulang-ulang Rama berhasil memisahkan kepala Dasamuka dari badannya dengan panah apinya, tetapi setiap kali kepalanya terpisah, Dasamuka mampu menyatukannya kembali.
Kemudian Hanoman datang untuk menyelematkan. Setelah Rama sekali lagi berhasil memenggal kepada Prabu Dasamuka, kera putih itu mendaki puncak gunung dan meletakkan kepala Dasamuka di atas puncaknya yang tanpa kepala, kemudian menguburnya sehingga kepala itu tidak akan pernah bisa kembali ke tempatnya. Namun demikian, kemampuan magis yang dimiliki Raja Ngamarta itu tidak bisa mati seluruhnya. Pada saat-saat kemarahannya, tubuhnya masih bangkit dan hingga saat ini, masih menghembuskan napasnya kemurkaannya dari dalam gunung dalam bentuk awan hitam dan debu panas.
Perang itu sekarang benar-benar berakhir. Kerajaan Ngalengka telah jatuh. Sinta dan Trijata berhasil diselamatkan dari istana yang terbakar. Namun, suasana di sana penuh dengan kesedihan bagi mereka yang kalah. Wibisana benar-benar sangat bersedih dengan kematian Kumbakarna setelah dia membakar mayatnya. Kemudian dia meminta untuk mengikuti yang lain dalam perjalanan pulang, tetapi Rama menunjuknya sebagai Raja Ngalengka yang baru dan memintanya untuk tetap tinggal di sana dan membangun kembali kerajaan yang sudah hancur itu. Sugriwa kemudian pergi ke kerajaannya sendiri, ditemani oleh sisa tentaranya.
Rama dan Sinta akhirnya bersatu kembali setelah perpisahan yang panjang. Bersama-sama Lesmana dan Hanoman, mereka kembali ke Ngayodya, di mana Barata datang menyambut mereka dan menyerahkan istana yang megah itu pada Rama, yang segera dinobatkan sebagai ahli waris Dasarata yang sebenarnya.
Namun Sinta yang malang masih harus merasakan satu cobaan lagi. Dalam perjalanannya kembali ke Ngayodya, dia diombang-ambingkan oleh kecurigaan. Mungkinkah setelah sekian tahun di istana Ngalengka Dasamuka tidak pernah menyentuhnya? Untuk membuktikan kesuciannya, Sinta meminta dipersiapkan tungku yang besar dan kemudian dinyalakan, kemudian di naik dengan khidmat. Nyala api padam di hadapannya, dan dia keluar dengan berseri-seri dan tak terbakar sedikit pun. Akhirnya Sinta kembali bersama suaminya dan mereka berdua bersama memerintah Ngayodya dengan penuh kebahagiaan dan kedamaian.