Minggu, 13 September 2009

MENJADI PRIBADI ALA WAYANG JAWA

Belajar Menjadi Pribadi dari Kepribadian Wayang
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Beberapa kali penulis ditanya, mengapa tertarik dengan fenomena pementasan wayang, dan mendalami makna pewayangan itu sendiri, saat tak banyak orang non-Jawa ke arah itu. Pertanyaan itu, semakin mengemuka, manakala penulis memperoleh kesempatan membaca berbagai epos tempo doeloe menyangkut budaya luhur Jawa. Dalam pandangan penulis, bahwa orang atau tepatnya masyarakat Jawa percaya bahwa legenda memainkan peran penting dalam mendidik dan mengembangkan pikiran ataupun kepribadian dalam hidup, khususnya bagi generasi muda. Dengan pementasan wayang di mana cerita yang diambil dari cerita-cerita epik besar India Ramayana dan Mahabharata khususnya, menyampaikan nilai-nilai pemandu kehidupan kepada masyarakat luas.

Diyakini, mempelajari wayang merupakan hal yang penting apabila ingin memahami orang Jawa secara lebih mendalam. Bagi seorang Jawa, seorang pemimpin harus alus atau berbudi halus, elegan, bertutur-kata lembut, sopan, mudah beradaptasi dan sensitif, dengan kekuatan dari dalam sehingga mampu memberi perintah secara tidak langsung dan sopan, yang di permukaan tampak seperti merendahkan diri. Emosi-emosi seperti kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, kemarahan, penyerahan, harapan dan rasa kasihan tidak seharusnya diperlihatkan di depan umum.

Ketegangan pribadi dan sosial, konflik dan konfrontasi dengan sangat hati-hati akan dihindari oleh orang Jawa yang menganggap kerukunan atau keharmonisan sebagai sifat yang sangat penting. Hidup dalam harmoni berarti hidup dalam permufakatan, dalam kedamaian dan ketenangan tanpa konflik dan pertentangan atau bersatu agar masyarakat dapat saling tolong menolong satu sama lain.

Paduan pandangan hidup orang Jawa ini dan sisa-sisa dari pengaruh tradisi kebudayaan India lainnya diperagakan dalam lakon-lakon pertunjukkan wayang kulit. Wayang adalah salah satu bentuk drama dan teater yang paling rumit dan halus, yang secara terus menerus dikembangkan oleh satu generasi dan diteruskan oleh generasi berikutnya.

Pandangan wayang terhadap hidup seperti yang digambarkan melalui cerita-cerita wayang, adalah pandangan yang merupakan paduan unsur lokal dan unsur pinjaman. Sebagai misal, orang Jawa percaya bahwa para ksatrya, misalnya Arjuna, lahir sebagai orang Jawa. Tempat-tempat seperti Kurusetra, medan perang yang terkenal itu, dan Mahameru, tempat kediaman para dewa, keduanya terletak di tanah Jawa. Adegan istana dalam suatu lakon menampilkan denah dan suatu kraton Jawa pada abad XIX yang sesungguhnya dengan tepat.

Kini, wayang sendiri sedang mengalami perubahan dari suatu bentuk pendidikan moral ke suatu bentuk hiburan. Dengan cara-cara yang berbeda, pengaruh nasionalisme dan peradaban asing menjadi semakin nyata. Di antara tanda-tanda yang menunjukkan ke arah ini, antara lain timbulnya kecenderungan untuk memahami wayang hanya sebagai representasi perselisihan antara yang baik dan yang jahat, dengan semakin mengabaikan nilai-nilai estetis dan moralnya yang kompleks. Terkesan “kita” adalah Pendawa, sedang “mereka” adalah Kurawa, dan sebagai konsekuensinya adalah timbulnya kekerasan dan penyederhanaan.

Sudah barang tentu dalam tradisi kebudayaan lama banyak hal yang tidak disukai dan dicela. Sebagian karena suatu kebetulan historis atau mungkin sebagian lagi karena adanya kesadaran yang mendalam terhadap saling hubungan yang kompleks dari eksistensi manusia, maka peradaban tradisional Jawa mengembangkan suatu gaya etika, moralitas, dan filsafat yang dinyatakan dengan baik dalam wayang, yang dapat memberikan perasaan harga diri dan kehormatan kepada setiap manusia, serta menyokong dan mengesahkan suatu toleransi yang tidak bisa lain kecuali dihormati orang dengan mendalam.

Pertunjukkan wayang biasanya diadakan pada waktu ada selamatan, untuk merayakan peristiwa penting,misalnya, kelahiran, sunatan, perkawinan dan nazar yang pernah dijanjikan. Selamatan atau slametan sebagai sarana pencegah hal yang tidak diinginkan, biasanya tidak disertai pertunjukan wayang, kecuali ruwatan atau bersih desa. Ada juga slametan berkala yang kadang-kadang disertai pertunjukan wayang. Ada slametan misalnya untuk mengganti nama seseorang, dan untuk memperkuat perkawinan. Kalau orang yang bersangkutan ingin dan mampu mengadakan pertunjukan wayang, ini dianggap cocok masanya kalau perayaannya disertai wayang.

Wayang dapat berarti boneka atau tokoh dalam suatu drama dan yang utama diasosiasikan dengan teater boneka wayang. Ini tergantung pada bahan yang dipakai untuk membuat boneka itu. Orang dapat membedakan bahannya, kalau itu dibuat dari kulit, namanya wayang kulit, kalau boneka itu dari kayu, disebut wayang golek. Wayang kulit yang pipih, kebanyakan diukir dan dicat secara artistik. Wayang kulit ini digerakkan di depan lampu sedemikian rupa sehingga bayangannya jatuh pada kelir yang dibuat dari kain putih. Boneka wayang ini kalau ditempelkan di kelir oleh seorang dalang, bentuk garis-garisnya tampak nyata menembus kelir.

Biasanya wayang kulit dipertunjukkan di waktu malam. Oleh karena itu diperlukan lampu yang disebut blencong. Kalau pertunjukan wayang diadakan di waktu siang, lampu tidak selalu dipakai. Wayang kulit terdapat di seluruh Jawa dan Bali, teristimewa di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Ada juga wayang di Madura, Kalimantan, Sumatra dan daerah lain yang pernah menjadi pemukiman orang Jawa dan Bali.

Pertunjukkan wayang kulit terbagi menjadi tiga babak, dan selanjutnya masing-masing dibagi lagi menjadi adegan-adegan. Dalam babak pertama, adegan pembukaan secara khas yang bertempat di balairung suatu istana raja, di mana terjadinya suatu krisis dilaporkan. Adegan kedua dalam babak pertama menggambarkan istana musuh. Babak kedua terdiri dari serangkaian adegan yang disebut adegan wana menggambarkan kejadian di hutan. Adegan-adegan dalam bagian kedua ini meliputi perang tanding, pertermuan pahlawan dengan orang bijaksana dan selingan yang berupa dagelan. Babak ketiga mempertunjukkan adegan perang di mana pertempuran terakhir yang menentukan terjadi. Dalam siklus Pendawa, Pendawa dapat mengalahkan musuhnya dalam perang ini.

Pertunjukkan wayang diawali dengan talu, yaitu masa persiapan berupa permainan serangkaian gendhing yang dibarengi musik gamelan. Biasanya pada waktu ini penonton berdatangan dan masing-masing mencari tempat yang enak untuk menonton. Dalang pun pada umumnya sudah siap menghidangkan suatu cerita yang akan dipentaskan. Sesudah dalang duduk di dekat kelir, dua menempatkan gunungan atau kayon di tengah kelir, tanda bahwa sebentar lagi drama wayang akan dimulai.

Adegan pembukaan yang disebut jejer dari babak pertama memperkenalkan pada penonton kejayaan suatu kerajaan, rajanya dan tokoh-tokoh yang bekerja dekat dengan raja itu. Jejer, biasanya lebih lama dari adegan yang lain. Adegan-adegan wayang kulit yang utama, mempunyai nama-nama tradisional tertentu yang distandarkan. Adegan satandar tersebut meliputi jejer, kedhatonan, gapuran, paseban, njawi, jejer sabrangan, jejer pandhita, adegan wana, serta adegang perang. Adegan penutup, disebut tancep kayon. Biasanya adegan-adegan itu mengambil latar belakang tempat di Jawa. Jika melibatkan istana asing, dalang akan menjelaskan dalam janturannya atau introduksinya.

Pertunjukan wayang kulit disertai musik gamelan dan vokal Jawa. Musik dalam pertunjukan wayang mengungkapkan perasaan yang menguasai situasi waktu itu dan kemudian juga mengubahnya menurut perkembangan situasi cerita. Musik juga memberi tanda kepada pemain gamelan selama pertunjukan, yang dapat disertai wangsalan, ketokan cempala di kotak kayu atau pada kepyak, atau dengan melagukan bagian tembang yang cocok. Dalang biasanya juga ahli dalam teknik vokal. Kualitas suara dipebadakan untuk mengenal tipe tokoh wayang yang banyak variasinya.

Oleh karena itu dalang harus pandai sekali dalam menirukan segala macam suara, sehingga melalui suara-suara itu dia dapat membedakan berpuluh-puluh tokoh wayang dalam satu lakon, yang dimainkan dalam setiap pertunjukkan. Pemberian warna suara yang berbeda pada semua tokoh wayang ini sebenarnya juga memudahkan pekerjaan dalang.

Ditampilkannya tokoh wayang tergantung pada lakon wayangnya. Ada kira-kira empat puluh atau lima puluh tokoh diperlukan untuk mementaskan satu cerita wayang. Di dalam lakon siklus Pendawa, Pendawa dan para punakawan selalu hadir. Keluarga Kurawa, Kresna dan Abyasa, seorang pertapa, dan para dewa juga tampil. Lamanya mereka tampil tergantung pada tekanan ceritanya. Malihan atau pergantian rupa satu tokoh menjadi tokoh lain itu biasa dalam seni wayang kulit. Sebagai misal, dalam suatu cerita contohnya, dewa berganti rupa menjadi seorang pertapa, dan di dalam cerita lain, seorang punakawan berubah menjadi seorang raja, dan sebagainya.

Hal lain yang menunjukkan rasa dan alam pikiran tokoh dalam wayang adalah warna. Warna muka dan badan boneka wayang disebut wanda. Tokoh utama tertentu mempunyai warna atau kombinasi warna lebih dari satu macam. Sebagai contoh, Semar mempunyai wanda emas dan hitam wanda emas Semar dipakai dalam adegan yang tenang, karena mukanya kelihatan tersenyum dan menyenangkan. Wanda hitamnya menunjukkan muka dengan mata yang menyempit dan dagu yang terangkat ke depan. Ini menggambarkan Semar dengan perasaan marah.

Dalam wayang kemarahan juga berarti kekuatan. Jadi warna emas berarti harga diri dan ketenangan, sedangkan warna hitam menunjukkan kemarahan sekaligus kekuatan. Merah menggambarkan kegeraman, putih melambangkan kesucian. Penggambaran wanda sebgian dibuat dengan berbagai ukuran dalam hal tebalnya kaki, tangan dan badannya boneka wayang, tingginya bahu, miringnya kepala, dan tatahan bagian-bagian mukanya. Ini maksudnya bentuk wayang berbeda-beda dan rumit, tergantung pada umur dan perasaan yang menyangkut tokoh utama.

Tokoh-tokoh utama diperkenalkan oleh dalang pada perkenalan cerita yang disertai suluk untuk mengungkapkan sifat dan perbuatan tokoh tersebut menurut konsep tradisional yang biasanya sudah diketahui oleh para penontonnya. Namun demikian, waktu dalang mengungkapkan, ternyata ada sifat-sifat tersembunyi dan kekurangan atau cela pada tokoh-tokoh ini, yang berkaitan dengan tugas dan kewajibannya. Kalau sifat-sifat ini tidak diterangkan dalam narasi pembukaan, mungkin juga akan muncul pada waktu pembeberan lakon itu.

Ini kelihatannya dilakukan dalang supaya penonton memperhatikan tindakan tokoh-tokoh dalam cerita itu sehingga mereka mendapat keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Seringkali terjadi, di tengah-tengah pertunjukan wayang, gunungan atau kayon diletakkan di tengah kelir tetapi selalu miring ke kiri atau ke kanan tergantung pada gaya yang diajarkan pada dalangnya, atau tergantung pada maksud tersendiri. Dalam lakon-lakon tertentu ada adegan-adegan yang hanya kadang-kadang muncul. Muncul atau tidaknya adegan tersebut ditentukan oleh dalangnya. Adegan tersebut adalah adegan pasarean, adegan suralaya, adegan kreta. Adegan-adegan tersebut mungkin dimasukkan dalam cerita yang dipertunjukkan karena sifat atau tujuan dari lakonnya.

Kini, wayang sendiri sedang mengalami perubahan dari suatu bentuk pendidikan moral ke suatu bentuk hiburan. Dengan cara-cara yang berbeda, pengaruh nasionalisme dan peradaban asing menjadi semakin nyata. Di antara tanda-tanda yang menunjukkan ke arah ini, antara laintimbulnya kecenderungan untuk memahami wayang hanya sebagai representasi perselisihan antara yang baik dan yang jahat, dengan semakin mengabaikan nilai-nilai estetis dan moralnya yang kompleks. Terkesan “kita” adalah Pendawa, sedang “mereka” adalah Kurawa, dan sebagai konsekuensinya adalah timbulnya kekerasan dan penyederhanaan.

Bukanlah semata-mata karena nostalgia jika di sini telah dilakukan usaha untuk membicarakan persoalan toleransi Jawa. Karena suatu keyakinan instingtif, dalam semua masyarakat manusia, toleransi merupakan suatu hal yang sangat peka terutama toleransi yang bukan hanya pengabaian atau sikap masa bosoh terhadap ketidaksesuaian yang tidak mengancam ataupun menyangkut kehidupan, tetapi berasal dari suatu respek murni terhadap keanekaragaman manusia serta kepribadian manusia sebagaimana adanya.

Sudah barang tentu dalam tradisi kebudayaan lama banyak hal yang tidak disukai dan dicela. Sebagian karena suatu kebetulan historis atau mungkin sebagian lagi karena adanya kesadaran yang mendalam terhadap saling hubungan yang kompleks dari eksistensi manusia, maka peradaban tradisional Jawa mengembangkan suatu gaya etika, moralitas, dan filsafat yang dinyatakan dengan baik dalam wayang, yang dapat memberikan perasaan harga diri dan kehormatan kepada setiap manusia, serta menyokong dan mengesahkan suatu toleransi yang tidak bisa lain kecuali dihormati orang dengan mendalam.

Di dalam dunia politik, ada dua kecenderungan yang tampak menonjol. Kemampuan berdiplomasi dan kecerdikan Kresna, yang di dalam wayang tradisional merupakan suatu kelebihan yang berasal dari dewa serta tuuan utamanya untuk melaksanakan kehendak para dewa, telah menjadi semakin terpisah dari keduanya, dan berubah menjadi suatu pembenaran terhadap suatu yang kejam dan tidak berakar, serta kesenangan dalam intrik dan kelicikan politik.

Keserasian antara Kumbakarna dan Wibisana pun telah semakin berbalik. Sementara generasi tua berpendapat bahwa kedua pahlawan itu mengagumkan, tetapi Wibisana lebih luhur karena dia memiliki sifat kemanusiaan dan keadilan di atas kesetiaan dan rasa terima kasihnya terhadap keluarga, banyak orang Jawa dewasa ini merasa kurang senang dengan adanya pengontrasan tersebut, meluasnya perasaan nasionalisme telah membuat perginya Wibisana meninggalkan tanah airnya demi kemanusiaan dan ukuran keadilan yang supranasional.

Suatu hal yang membingungkan dan bahkan mencurigakan. Pandangan Kumbakarna, yang pada umumnya bisa dinamakan benar atau salah, tetap tanah airku, lebih mudah diterima dalam suasana saat belakangan terakhir ini, dan sebagai akibatnya, prestise raksasa yang baik hati ini kini lebih menonjol ketimbang gengsi adiknya.

Dari pohon kebudayaan Jawa, daun-daunnya sudah mulai berguguran satu persatu. Persoalannya kini adalah, apakah akar-akarnya bisa memberi makan daun-daun dan bunga-bunga baru untuk musim semi yang akan datang. Apakah tradisi mampu bertahan, sementara basis sosialnya telah musnah? Dapatkah bantuan institusional dan struktural baru dikembangkan bagi toleransi Jawa seperti yang bisa dilihat pada generasi-generasi tua?