Minggu, 13 September 2009

FAMILY BUSINESS TALENT

FAMILY BUSINESS TALENT
Apa yang HARUS—dan TIDAK HARUS—Dilakukan dalam Mengelola Perusahaan Keluarga
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Perusahaan keluarga merupakan suatu fenomena tersendiri dalam dunia bisnis. Selain jumlahnya banyak, perusahaan keluarga juga mempunyai andil yang signifikan bagi pendapatan negara, di negara maju seperti Amerika Serikat maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Maka, sudah sepantasnyalah pengelolaan perusahaan keluarga dan isu-isu yang menyertainya dipahami dan dibahas secara mendalam.

Sejumlah pakar mengakui, referensi mengenai perusahaan keluarga di Indonesia, sangatlah terbatas. Apalagi yang disusun secara serius dan didukung oleh survei lapangan, serta diramu dengan pengalaman nyata dalam menangani perusahaan keluarga. Padahal peran perusahaan keluarga bagi ekonomi negara, seperti halnya yang terjadi di banyak negara lain di dunia, teramat besar. Tak terkecuali Indonesia tentunya.

Dalam konteks perusahaan keluarga, masalahnya menjadi kompleks karena perusahaan keluarga sebenarnya merupakan pertemuan antara dua institusi yang memiliki nilai, norma, dan prinsip yang berbeda, yaitu institusi keluarga dan institusi bisnis. Fungsi utama dari keluarga adalah untuk menumbuhkan rasa kepedulian dan kasih sayang di antara para anggotanya.

Hubungan sosial dalam keluarga dibentuk untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya. Sedangkan fungsi utama dalam bisnis adalah menghasilkan barang dan jasa melalui pembagian tugas yang terorganisasi, sedangkan hubungan sosial dalam bisnis didasarkan pada norma-norma dan prinsip-prinsip yang memfasilitasi proses yang produktif.

Perbedaan nilai, norma, dan prinsip antara institusi keluarga dan bisnis ini dapat menimbulkan konflik, yang bila tidak mampu dikelola dengan baik dapat mengakibatkan terganggunya hubungan antar anggota keluarga dan terhambatnya pencapaian tujuan bisnis perusahaan.

Jadi, di samping isu-isu yang berkaitan dengan organisasi seperti disebutkan di atas, perusahaan keluarga juga menghadapi isu-isu yang berhubungan dengan hubungan antar anggota keluarga. Mengingat pentingnya peranan perusahaan keluarga bagi perekonomian di banyak negara, baik di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) maupun di negara berkembang seperti Indonesia, maka hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan perusahaan keluarga dan isu-isu yang menyertainya seperti yang disebutkan sebelum ini, sangat penting untuk dipahami dan dibahas secara mendalam oleh para pemimpin perusahaan keluarga dan juga generasi penerusnya.

I. Menguak Perusahaan Keluarga

Perusahaan keluarga juga mempunyai andil yang cukup signifikan bagi pendapatan negara. Di Amerika Serikat saat ini terdapat 24 juta perusahaan keluarga. 90% dari 15 juta perusahaan besar adalah perusahaan yang didominasi oleh kelompok-kelompok keluarga. Sepertiga dari 500 perusahaan kaya di Amerika dimiliki dan dikendalikan oleh keluarga. Sebesar 40% dari GNP atau 59% dari GDP AS diperoleh dari perusahaan keluarga.

Terdapat dua jenis perusahaan keluarga. Pertama adalah Family Owned Enterprise (FOE), dan yang kedua adalah Family Business Enterprise (FBE). Family Owned Enterprise (FOE) adalah perusahaan yang dimiliki oleh keluarga, tetapi ndikelola oleh eksekutif profesional yang berasal dari luar lingkaran keluarga. Family Business Enterprise (FBE) yaitu perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh anggota keluarga pendirinya.

Suatu perusahaan dinamakan perusahaan keluarga apabila terdiri dari dua atau lebih anggota keluarga yang mengawasi keuangan perusahaan (John L Ward dan Craiq E Aronoff, 2002). Suatu organisasi dinamakan perusahaan keluarga apabila paling sedikit ada keterlibatan dua generasi dalam keluarga itu dan mereka mempengaruhi kebijakan perusahaan (Robert G Donnelley, 2002). Survei dari Family Business Review (2003) menunjukkan sebanyak 71% perusahaan keluarga di Australia dimiliki oleh generasi pertama, 20% oleh generasi kedua, dan hanya 9% dimiliki oleh generasi ketiga.

Di AS hanya 28% perusahaan keluarga yang mempunyai perencanaan suksesi, selebihnya hanya merupakan warisan. Karakteristik perusahaan keluarga: 1. keterlibatan anggota keluarga 2. lingkungan pembelajaran yang saling berbagi 3. tingginya saling keterandalan 4. kekuatan emosi 5. kurang formal 6. kepemimpinan ganda. Sejak kecil anak-anak sudah dimagangkan. Karena keterlibatannya tinggi, komitmennya terhadap bisnis juga tinggi. Komitmen menjadi lebih tinggi bagi generasi penerus karena kemauan ayahnya atau orangtuanya agar meneruskan bisnisnya.

Anggota keluarga sudah belajar sejak kecil. Bisnis selalu menjadi topik pembicaraan dalam setiap pertemuan keluarga. Setiap anggota keluarga yang bekerja dalam perusahaan dapat saling mengandalkan karena adanya rasa saling percaya. Karyawan perusahaan keluarga dianggap sebagai bagian dari keluarga. Para manajer perusahaan keluarga menggunakan pendekatan pribadi dan memberikan kepercayaan kepada para karyawan. Kecintaan pemilik perusahaan pada pekerjaan dan bisnisnya mengakibatkan ia sering terlibat dalam kegiatan operasional perusahaan sehari-hari.

Intervensi pihak keluarga terhadap kepemimpinan perusahaan tetap tinggi meskipun sudah ada eksekutif profesional, yang dapat membingungkan anak buah. Keuntungan perusahaan keluarga: kemandirian tinggi, budaya perusahaan, reinvestasi profit sesuai kesepakatan, pelatihan dan pengetahuan bisnis, dan birokrasi yang kecil. Kerugian-kerugian perusahaan keluarga adalah organisasi yang membingungkan, adanya sindrom anak manja, toleransi terhadap inkompetensi, konflik keluarga, terjadinya milking the business, akses terbatas di pasar finansial, dan ketidakseimbangan antara kontribusi dan kompensasi.

Kekuatan atau kelemahan perusahaan bergantung kepada batasan-batasan antara bisnis dan keluarga, efektivitas sistem, serta adaptabilitas dan pembelajaran yang dihalangi atau didorong. Infrastruktur dalam perusahaan keluarga memungkinkan terciptanya suasana informal yang apabila dikelola dengan baik dapat menumbuhkembangkan kreativitas.

Anggota keluarga paling tidak memainkan empat peran, yaitu peran bisnis dan keluarga, di mana masing-masing peran ini terdapat peran tugas dan peran emosional. Kepemimpinan generasi pertama adalah pendiri yang memiliki jiwa kewirausahaan. Kepemimpinan pada generasi berikutnya kepemimpinan berkembang ke arah gaya profesional. Anggota keluarga memiliki sistem keyakinan dan nilai-nilai yang sama, menjelaskan siapa diri mereka, apa cita-cita mereka, serta warisan apa yang ingin mereka tinggalkan.

Sering terjadi informalitas perusahaan keluarga menghasilkan adaptasi yang lebih cepat terhadap kondisi pasar. Perencanaan suksesi yang buruk adalah salah satu penyebab utama perusahaan keluarga tidak mampu bertahan. Kompleksitas perusahaan keluarga dapat memperkaya tujuan dan peran bisnis maupun keluarga, namun di lain pihak dapat menimbulkan benturan antara nilai-nilai bisnis dan keluarga.

Sebuah perusahaan keluarga terdiri dari tiga sistem yang terpisah, namun saling melengkapi, yaitu sistem bisnis, sistem keluarga, dan sistem kepemilikan atau pengelolaan. Perkembangan perusahaan keluarga di Indonesia dimulai dari close-circle family atau immediate family. Pada perkembangan berikutnya, generasi kedua dan extended family mulai masuk. Di negara-negara yang lebih maju, survey menunjukkan bahwa sebagian besar pendiri perusahaan keluarga tidak menginginkan keturunannya bekerja di perusahaan tersebut. Sementara itu yang terjadi di Indonesia trendnya justru sebaliknya.

II. Siklus Hidup Perusahaan keluarga

Pada saat perusahaan memasuki masa maturity dan stable, peran professional diperlukan guna peningkatan kinerja. Siklus hidup perusahaan menurut Ichak Adizes 91989), yakni courtship, infancy, go—go, adolscence, prime, maturity, aristocracy, early bureaucracy, bureaucracy, dan death. Dalam tahapan, pendiri atau pemilik perusahaan menginformasikan dan mewujudkan idenya dalam bisnis. Perusahaan pada tahap ini menghadapi masalah-masalah seperti kurang terjaminnya cash flow, belum terjaminnya pasar, dan sebagainya.

Dalam tahap go—go perusahaan telah mengatasi negative cash flow, pendapatan meningkat, mencari kesempatan-kesempatan baru, adanya founder trap, sistem administrasi diperlukan guna menghindari founder trap. Founder trap terjadi manakala pendiri menganggap hanya pemilik dan keluarganyalah yang dapat bekerja dengan baik. Konsekuensinya adalah keengganan memberikan kepercayaan kepada profesional untuk menjalankan perusahaan.

Dalam tahap adolescence, perusahaan bergeser dari ciri kepemilikan tradisional (traditional ownership) ke arah manajemen profesional karena fokusnya pada penataan sistem dan prosedur. Dalam tahap adolescence, visi dan misi pendiri harus tetap ditularkan, tetapi pengelolaan diserahkan kepada eksekutif profesional. Dalam tahap adolescence, perusahaan perlu membuat lebih banyak peraturan sebagai bagian dari sistem yang harus diikuti, namun jangan sampai peraturan yang dibuat merugikan perusahaan. Peraturan akan berbahaya jika tidak dilandasi sistem yang kuat.

Karakteristik dasar perusahaan keluarga pada tahap adolescence ini adalah mulainya pemimpin mendelegasikan wewenangnya kepada bawahannya. Pendiri perlu menentukan saat yang tepat untuk memasukkan manajemen profesional dan memiliki dewan komisaris yang bukan sekedar lambang. Pada tahap prime hingga stable, perusahaan perlu tetap dalam kontrol yang memadai guna mencegah penurunan kinerja. Pada tahap aristocracy, perusahaan harus melakukan organizational development seiring dengan pertumbuhan organisasi.

Struktur yang kuat akan memungkinkan bisnis maju dan stabil serta tidak lagi tergantung pada pemilik. Jika perusahaan sudah menjadi go—go organization, sementara pendirinya tidak menyiapkan beberapa hal penting, maka bila pemimpin meninggalkan perusahaan, perusahaan terancam bubar. Pemilik harus mempersiapkan sistem administrasi dan prosedur agar perusahaan tidak terlalu terikat dengan pendiri atau pemiliknya. Di Wal Mart, bentuk keterlibatan anggota keluarga hanyalah sebagai pemegang saham. Jika anggota keluarga memiliki kompetensi, barulah ia diminta bergabung. Di IBM, peralihan dari keluarga ke profesional baru terjadi pada generasi ketiga. Sedangkan Ford kembali dipegang keluarga pada generasi kelima. Perusahaan yang tidak membaca situasi dan tidak mau berubah akan mati, yang identik dengan birokrasi yang stagnan, lamban dan sulit berubah.

Untuk mencapai stabilitas, perusahaan keluarga harus menyerahkan manajemen kepada orang yang kompeten, yang diberi wewenang serta didukung oleh dewan komisaris yang mapan. Pada saat perusahaan sudah memasuki tahap go—go dan adolescence, maka jika pemilik atau pendiri tidak bisa menahan keinginan untuk ikut campur dalam operasional perusahaan, ia akan terbebani sendiri. Dia seperti mau memberikan kekuasaan tetapi tidak mau kehilangan kendali.

Kalau sebuah perusahaan keluarga memiliki visi untuk menjadi perusahaan kelas dunia, namun sikap, perilaku, dan kebijakan pendiri tidak mencerminkan adanya usaha ke arah ini, maka perusahaan telah salah arah.

III. Perubahan Pasar dan Dinamika Persaingan

Lingkungan bisnis berubah dengan sangat cepat yang ditandai dengan turbulensi dan hyper-competition. Perubahan yang sangat cepat perlu disikapi perusahaan keluarga secara arif, mengingat salah satu karakteristiknya adalah sukar untuk melakukan perubahan. Customer satisfaction saja tidak cukup, tetapi harus diikuti dengan program customer care untuk mencapai customer loyalty. Jika perusahaan tidak mampu melakukan adaptasi terhadap kondisi persaingan global yang semakin keras, maka perusahaan menghadapi ancaman hilangnya daya saing. Dalam menghadapi situasi seperti ini perusahaan memerlukan orang-orang yang mempunyai mindset global.

Terdapat lima paradigma baru di lingkungan internal perusahaan keluarga. Pertama, karyawan mempunyai pandangan yang berbeda dengan pendiri. Kedua, meningkatnya isu-isu yang berkaitan dengan perburuhan. Ketiga, meningkatnya tingkat profesionalisme keluarga. Keempat, tuntutan kompensasi yang adil dan sama. Dan kelima, lebih transparannya sistem remunerasi, sumber daya manusia, dan organisasi.

Salah satu keinginan mendirikan perusahaan adalah untuk kesejahteraan pendiri dan anak cucunya. Banyak perusahaan keluarga yang bersedia melakukan investasi jangka panjang demi tercapainya tujuan itu. Perusahaan keluarga sangat mementingkan reputasi dan citra di dalam komunitasnya. Bisnis mensyaratkan kompetensi, kepemimpinan, dan manajemen agar perubahan makin maju dan mampu menghadapi tantangan. Selain itu, dibutuhkan pula kemampuan organisasi yang bagus, modal yang cukup, layanan terbaik, dan infrastruktur yang memadai.

Keluarga lebih berorientasi ke dalam (inward looking). Sementara bisnis lebih berorientasi ke luar (outward looking). Dengan demikian, tidak mudah menggabungkan dua sistem ini menjadi paduan serasi dan menguntungkan. Dalam menjalankan perusahaan keluarga, idealnya ada kesetimbangan antara bisnis dan keluarga. Kenyataannya sering terjadi keluarga lebih dominan dibanding bisnis. Akibatnya perusahaan keluarga cenderung konservatif dan menolak perubahan.

Bila perusahaan keluarga memiliki prinsip “Apa yang baik bagi perusahaan akan baik bagi keluarga”, ikatan emosional yang sangat kuat dalam keluarga dapat berkontribusi terhadap budaya perusahaan. Hubungan kekeluargaan yang sifatnya permanen menjadi bibit loyalitas dalam perusahaan. Loyalitas karyawan non keluarga juga harus diapresiasi dengan mengkondisikan mereka sebagai bagian dari keluarga. Kecenderungan keluarga yang baik bagi kelangsungan perusahaan keluarga adalah kecenderungan melihat keluar dan berorientasi ke jangka panjang. Ketertutupan terhadap informasi mengakibatkan rendahnya moral karyawan, kinerja yang di bawah standar, sehingga mengakibatkan karyawan yang berpotensi dan berkinerja baik meninggalkan perusahaan. Hal ini juga dapat menimbulkan konflik di antara anggota keluarga.

Untuk menghilangkan sifat ketertutupannya, pemilik perusahaan keluarga perlu membuat rencana bisnis strategis, menjadi seorang pendengar yang baik, menciptakan evaluasi kinerja dua arah termasuk bagi anggota keluarga, serta mendorong komunikasi yang terbuka di antara anggota keluarga. Perencanaan mendorong komitmen anggota keluarga membantu menilai rate of reinvestment, dan menjamin kas perusahaan. Proses perencanaan akan meningkatkan pengetahuan bisnis bagi keluarga dan perusahaan serta menjadi sarana pelatihan yang penting bagi anak-anak pemilik perusahaan sebagai pemimpin masa depan. Proses-proses perencanaan membantu seluruh manajer dan anggota keluarga membangun pemahaman bersama mengenal dunia di mana perusahaan beroperasi.

Keengganan pemilik perusahaan keluarga dengan sistem tertutup membuat perencanaan strategis disebabkan adanya keharusan membuka data-data rahasia serta mengungkap praktek-praktek manajemen yang kurang baik dan juga masalah-masalah keluarga. Perencanaan strategis juga dianggap membatasi keahlian dan fleksibilitas dan mensyaratkan adanya pembagian dalam proses pengambilan keputusan. Dalam sebuah perusahaan keluarga, awal yang ideal untuk memulai proses perencanaan adalah keluarga itu sendiri. Langkah pertama adalah membangun komitmen bisnis bagi keluarga serta membuat perencanaan guna mewujudkan komitmen tersebut. Perusahaan yang ingin berhasil harus menyisihkan sejumlah dana untuk diinvestasikan kembali bagi kelanjutan pertumbuhan di masa depan.

Perusahaan keluarga dapat mempertimbangkan keunikan dan keunggulan yang dimilikinya untuk mengidentifikasi alternatif-alternatif bisnis, memasuki wilayah geografis baru, meningkatkan kualitas layanan, merekrut manajer yang kuat untuk meningkatkan penjualan dan memperbaiki produktivitas, dan sebagainya. Nilai-nilai keluarga pada gilirannya akan mempengaruhi strategi bisnis dan pendekatan terhadap perencanaan strategis.

IV. Merumuskan Visi dan Misi

Visi akan menjaga harmoni dan tradisi keluarga. Visi juga berguna untuk menghindari konflik dan menetapkan arah masa depan perusahaan serta memberikan gambaran masa depan yang lebih baik. Visi juga mengembangkan pandangan jangka panjang dan membantu perencanaan suksesi. Menurut hasil survei terhadap perusahaan-perusahaan keluarga kelas menengah atas di Indonesia, hanya 42,3% perusahaan keluarga di Indonesia yang mempunyai visi, sedangkan 57,7% tidak memilikinya.

Visi menggambarkan apa yang mampu dicapai organisasi dalam suatu waktu tertentu di masa depan. Sebuah visi haruslah bersifat menarik, menantang, dan dapat dipercaya. Visi yang efektif adalah yang mampu memberikan inspirasi, sehingga dapat mendorong karyawan untuk melakukan yang terbaik. Visi dan misi adalah titik awal untuk rencana strategis, tujuan, dan metrik. Key Performance Indicator (KPI) akan mengukur sampai di mana kemajuan yang dicapai dalam usaha pencapaian tujuan yang mengalir dari visi. Visi dan misi yang bagus bukan hanya disusun dan diformulasikan saja, tetapi harus dikomunikasikan dan “dibagi”.

Tugas yang pertama dari seorang pemimpin adalah membuat program visioning dan mampu mengutarakan visi dan misinya. Jika organisasinya sudah besar dan tumbuh dengan cepat, maka harus diformulasikan dengan baik, sehingga dapat dimengerti dengan mudah oleh semua anggota organisasi. Visi dan misi ini adalah arah (direction), tetapi goal dan objectives adalah we are talking about destination.

Mulai dari visi dan misi, berturut-turut menetapkan goal dan objectives, dan menyusun strategi, dan kemudian dituangkan ke dalam planning yang memuat program dan aktivitasnya. Setelah itu adalah menyusun struktur organisasi. Structure follow strategy. Setelah struktur terbentuk, langkah berikutnya adalah menyusun program corporate culture. Visi adalah sebuah gambaran mengenai tujuan dan cita-cita di masa depan yang harus dimiliki organisasi sebelum disusun rencana bagaimana mencapainya. Visi tidak menerangkan secara spesifik mengenai cara-cara yang digunakan untuk mencapai cita-cita tersebut.

Di dalam organisasi tidak ada yang bisa menggerakkan lebih kuat daripada a vision with it shared. Dan inilah sesungguhnya tugas pemimpin bagaimana agar mimpinya itu dapat menjadi shared vision. Shared vision dapat menggerakkan “orang sebagai pribadi” atau “bagian dari massa”. Padahal mungkin mereka tidak mengenal secara pribadi pemimpinnya, karena ada satu persamaan visi. Jika situasi shared vision sudah tercapai, tanpa perlu permintaan anggota organisasi akan bersedia.

Visi merupakan semacam jembatan yang menghubungkan masa sekarang dengan masa depan. Tetapi gambaran ideal saja tidaklah cukup, karena visi itu harus merupakan suatu image yang hidup, sehingga ada aspek motivasi bagi anggota organisasinya. Visi harus menstimulasi orang agar mempunyai angan-angan. Pernyataan visi harus didasarkan pada hasil terbaik yang mungkin dapat dicapai di masa depan.

Kesalahan yang sering muncul adalah banyak yang merumuskan visi terjebak kepada pernyataan destinasi. Sehingga tumpang tindih dengan goal and objectives. Visi hanya berbicara mengenai arah saja. Visi yang gagah diharapkan akan memberi kebanggaan dan keyakinan kepada anggota organisasi dan memberi motivasi untuk meraihnya. Memilih dan mengartikulasikan visi yang benar adalah pekerjaan yang sulit dan merupakan ujian yang sebenarnya dari seorang pemimpin besar

V. Mengelola Perusahaan Keluarga

Ada empat fase pertumbuhan perusahaan keluarga, yaitu fase pengembangan (developing phase), fase pengelolaan (managing phase), fase transformasi (transformation phase), dan fase mempertahankan (sustaining phase). Pada fase pengembangan, yang berperan sebagai motor penggerak bisnis utama adalah pendiri dan anggota keluarganya. Pada fase pengelolaan, ada tujuh isu penting yang muncul, yaitu konflik nilai, suksesi, struktur organisasi, kompensasi, kompetensi, revenue distribution, dan alignment.

Untuk anggota keluarga perlu menetapkan peran, yaitu memutuskan siapa mengerjakan apa, dan jika peran-peran itu berubah, akan berdampak pada bisnis dan keluarga. Isu-isu dalam suksesi antara lain adalah rencana suksesi yang tidak jelas dan konflik antara calon-calon pengganti. Struktur organisasi berkaitan dengan penempatan anggota keluarga dalam struktur organisasi serta kompetensi yang diperlukan bila ingin bergabung dengan perusahaan.

Isu kompensasi berkaitan dengan keadilan (fairness) antara kompensasi bagi keluarga dan bukan keluarga serta besar kecilnya kompensasi itu sendiri. Kompensasi untuk anggota keluarga menjadi lebih rumit lagi, selain karena posisinya yang sangat dekat dengan pengambil keputusan, juga dipengaruhi oleh jejaring sosialnya. Kunci sukses perusahaan keluarga salah satunya adalah kemampuan mengelola kompetensi yang beragam antara pemilik, manajer, karyawan, dan anggota keluarga serta mengatasi konflik yang terjadi pada saat memilih anggota-anggota keluarga dan orang-orang kompeten untuk menjalankan perusahaan.

Berdasarkan hasil survey, perusahaan-perusahaan keluarga di Indonesia melakukan sendiri aktivitas peningkatan kompetensi, dengan menempuh beberapa cara. Isu pembagian pendapatan (revenue distribution) adalah mengenai keadilan distribusi pendapatan di antara anggota-anggota keluarga. Bagaimana membagi persentase keuntungan yang harus dikembalikan kepada perusahaan, untuk pengembangan perusahaan, dan bagaimana membagi pendapatan kepada keluarga.

Dalam fase transformasi harus dimasukkan unsur-unsur profesionalisme ke dalam perusahaan, peran baru bagi keluarga, pemantauan dan pengendalian, pengembangan organisasi, serta aset pribadi dan perusahaan. Perusahaan keluarga yang sukses dan langgeng selalu meletakkan dasar yang kuat dengan melakukan transformasi menuju perusahaan yang berpijak pada sistem dan SDM yang profesional. Terdapat empat macam struktur perusahaan keluarga, yaitu kepemilikan tunggal (sole proprietoship), perkosngian umum (general partnership), perkongsian terbatas (limited partnetship), dan perusahaan (corporation).

Adapun struktur perusahaan keluarda yang dipilih, sebaiknya disesuaikan dengan tujuan bisnis dan tujuan keluarga. Perlu pula dipertimbangkan adanya kesempatan meningkatkan modal dan fleksibilitas bagi perubahan struktur organisasi sesuai dengan perkembangan zaman. Hasil survei mengenai pengelolaan keuangan perusahaan keluarga menunjukkan bahwa posisi keuangan mayoritas diduduki oleh anggota keluarga. Hal itu membuktikan bahwa perusahaan keluarga dalam aspek keuangan masih cenderung konservatif.

Dalam perkembangan bisnisnya, perusahaan membutuhkan banyak dana yang dapat diperoleh dari anggota keluarga lainnya, teman-teman, pinjaman dari bank dan institusi keuangan, serta venture capital lainnya. Namun, sebagian besar perusahaan keluarga menggunakan Bank Overdraft/Loans. Pemilik perusahaan keluarga harus mengkomunikasikan kepada anak-anak mereka mengenai kebutuhan dana berkaitan dengan masa pensiun mereka. Mereka juga harus menjelaskan mengenai masalah kompensasi, dividen, dan sumber kekayaan lainnya. Idealnya, pendiri perusahaan telah membentuk ekspektasi kompensasi bagi generasi muda pada saat mereka mulai memasuki bisnis.

Anggota keluarga yang bukan pemimpin perusahaan jarang menghargai beban emosional yang khas dari pemimpin. Ini mendorong perusahaan keluarga yang dipimpin oleh generasi ketiga mengadopsi rencana kompensasi yang rasional, terbuka, dan profesional. Menempatkan kebutuhan pribadi di atas kinerja perusahaan dalam menetapkan kompensasi bisa mengakibatkan ketegangan, permusuhan, dan konflik. Sebaliknya, hanya mendasarkan pada kontribusi pekerjaan secara ketat juga dapat menimbulkan masalah.

Sistem kompensasi modern dapat dibedakan ke dalam dua kategori, ekstrinsik dan intrinsik. Ekstrinsik mencakup apa yang secara tradisional selama ini lazim dianggap sebagai kompensasi, baik imbalan langsung maupun tak langsung. Intrinsik mencakup kesempatan berprestasi, tanggung jawab yang menantang, kesempatan mengembangkan diri, penghargaan terhadap diri, peluang untuk tumbuh baik dalam pengaruh maupun pengakuan.
Tidak ada formula kompensasi tungal untuk setiap perusahaan keluarga. Setiap perusahaan harus mendesain sendiri sistem kompensasinya untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan perusahaan dan keluarga dalam pengertian luas. Konflik dalam perusahaan keluarga terjadi manakala dua orang atau kelompok atau lebih dalam keluarga mempunyai ide, pandangan, argumentasi, persepsi, dan pendapat yang berlawanan sehingga mereka saling menyalahkan yang berakibat pada perusahaan.

Konflik dalam perusahaan keluarga dikelompokkan menjadi tiga, yaitu konflik antara kepentingan bisnis dan kepentingan keluarga, konflik antar anggota keluarga, dan konflik antara keluarga dan karyawan. Konflik dalam keluarga dapat dirangkum dalam empat hal, yaitu konflik tujuan, gaya hidup dan kerja, konflik menyangkut kendali perusahaan, dan leaving the nest (meninggalkan rumah). Anggota keluarga yang terjun di perusahaan dituntut profesional dengan kompetensi kuat sebanding dengan tuntutan perusahaan pada karyawan atau profesional yang direkrut.

Mempertahankan harmoni memang penting, namun yang tak kalah pentingnya adalah konflik dan perubahan untuk perkembangan diri, hubungan keluarga, dan perusahaan. Lima strategi utama pengelolaan konflik yaitu persaingan, penghindaran, kolaborasi, kompromi dan akomodasi. Salah satu cara untuk menghindari konflik yang berdampak negatif adalah membatasi peran setiap anggota keluarga yang bekerja bersama, yaitu who does what. Komunikasi terbuka di antara seluruh anggota keluarga dan dengan pihak luar perlu dipertahankan.

Perlu adanya kejujuran anggota keluarga dalam mengelola bisnis, termasuk mengenai masalah-masalah yang timbul, harapan-harapan, dan rencana-rencana di masa datang. Perusahaan keluarga merupakan pertemuan antara institusi keluarga dan institusi bisnis, nilai, norma, dan prinsip yang berbeda dan unik. Nilai-nilai, norma-norma, dan prinsip-prinsip yang tidak sebangun antara keluarga dan bisnis ini mengurangi kemampuan sang pendiri mengelola perusahaan secara efektif. Ini sering menjadi titik awal jatuhnya perusahaan, yang biasanya terjadi saat pendiri meninggalkan perusahaan.

Anggota keluarga sering meminta dipekerjakan dalam perusahaan tanpa mempertimbangkan kompetensi yang dimiliki karena mereka merasa berhak menjadi bagian di dalamnya. Bila ini dilakukan secara berlebihan dapat membahayakan perusahaan. Norma dominan dari fairness dalam konteks keluarga adalah kewajiban moral orang tua memenuhi kebutuhan anak-anaknya serta memberikan bagian yang sama dalam hal sumber daya dan peluang. Sedangkan norma fairness dalam perusahaan berdasarkan pada konsep merit di mana tingkat reward ditentukan oleh kompetensi dan kontribusi karyawan guna tercapainya tujuan perusahaan.

Konsep appraisal dalam keluarga sulit karena status individu dalam keluarga ditentukan lebih oleh “siapa dia” daripada oleh “apa yang telah ia lakukan”. Sedangkan dalam appraisal perusahaan disesuaikan dengan persyaratan sebuah sistem yang fungsi-fungsi utamanya adalah produktivitas. Dari sudut pandang keluarga, pelatihan terhadap anggota keluarga berfokus pada “apa yang terbaik baginya”, sedangkan dari sudut pandang perusahaan, pelatihan harus menekankan pada learning experience yang akan meningl\katkan kemampuan individu untuk mencapai tujuan organisasi.

Untuk mengatasi kontradiksi antara nilai-nilai, norma-norma dan prinsip-prinsip keluarga dan bisnis, perlu adanya pemisahan antara manajemen dan kepemilikan, yang mencakup penelusuran terhadap keluarga yang bekerja dalam perusahaan dari perspektif kepemilikan dan manajemen. Pemilik hanya boleh menerima anggota keluarga atas dasar bisnis, memiliki keahlian yang diperlukan agar dapat berkinerja efektif. Pemberian reward kepada anggota keluarga yang bekerja di perusahaan yang hanya boleh berdasarkan prinsip-prinsip bisnis.

Evaluasi terhadap anggota keluarga yang bekerja di perusahaan hanya boleh didasarkan pada profesionalisme, dan mencakup opini dari para bawahannya, rekan kerja, dan supervisor, bukan hanya dari pendiri. Adalah penting untuk secara eksplisit merencanakan karir dan jalur pelatihan bagi keluarga dalam perusahaan, yang harus disesuaikan dengan tujuan organisasi secara keseluruhan.

VI. Kepemimpinan Perusahaan Keluarga

Karakteristik family business yang umumnya dikehendaki untuk dipimpin oleh orang dalam, utamanya anggota keluarga. Karakter ini secara umum bertumpu pada peran keluarga dalam sebuah perusahaan keluarga, yakni memanfaatkan dan mengawasi sumber-sumber daya yang tersedia, menentukan tingkat spesialisasi dan integritas, memfasilitasi komunikasi dan koordinasi, serta mengatur kewenangan dan kepercayaan, termasuk menentukan siapa pemegang tampuk pimpinan perusahaan.

Perusahaan keluarga tidak bisa terlepas dari situasi psikologis pendiri, visi dan ambisinya. Perusahaan yang terbentuk merupakan manifestasi dari faktor-faktor personal sang pendiri. Setiap perusahaan keluarga, dimulai dari seorang pendiri yang bukan hanya andal dalam menyusun konsep bisnis namun juga kemauan dan persistensi untuk mengimplementasikan konsep tersebut.

Sebagian pengusaha enggan untuk mengikuti arahan dari para ahli dan professional yang sebenarnya dibutuhkan dalam menjalankan perusahaan. Yang paling penting, banyak dari mereka enggan berurusan dengan otoritas dan situasi yang terstruktur, yang membuat mereka mengambil kesimpulan bahwa mereka dapat mengatasi semuanya sendiri. Kepribadian yang selalu dimiliki oleh para pendiri perusahaan adalah adanya kebutuhan untuk pengendalian. Mereka merasa kesulitan bekerja dalam situasi yang terstruktur, kecuali tentu saja bila mereka sendiri yang menciptakan struktur tersebut.

Kecenderungan untuk bersikap curiga terhadap orang lain berhubungan erat dengan kebutuhan untuk mengendalikan. Perilaku ini memiliki sisi positif: Ini membuat orang waspada terhadap pesaing, supplier, pelanggan, atau tindakan pemerintah yang mempengaruhi perkembangan industri. Namun hal yang dapat menyebabkan pengusaha kehilangan sense of proportion. Ada beberapa kriteria pemimpin perusahaan keluarga yang dikelompokkan menjadi Ace Man (Acceptable, Charismatic, Energetic, Managing, Achieving, Networking).

Setiap aktivitas lobi mengandung dua hal: bagaimana mengadakan kontak, dan bagaimana menenamkan pengaruh. Keterampilan melobi dengan demikian tergantung pada kemampuan mengolah keduanya, mengadakan kontak dan menanamkan pengaruh, untuk dikemas dalam satu kesatuan utuh yang tak berorientasi pada hasil jangka pendek semata, tetapi juga jangka panjang. Intuisi, fleksibilitas dan sensitivitas dalam mengelola situasi merupakan elemen-elemen pendukung kesuksesan melobi.

Di perusahaan keluarga, dewan direksi bertindak sebagai penghubung antara keluarga dan manajemen senior. Hal ini berarti dewan direksi bisa terlibat dalam menjembatani isu-isu kepemilikan, investasi atau karir yang muncul akibat tumpang tindihnya sistem bisnis dan keluarga. Dewan direksi dapat memainkan peranan penting dalam keputusan-keputusan suksesi manajemen dan memberikan saran tentang calon yang memiliki keterampilan dan bakat yang dibutuhkan untuk mengelola bisnis di masa depan.

Berdasarkan penelitian, ternyata konsep kebersamaan dalam keluarga tetap dipegang oleh sebagian besar perusahaan keluarga (74%) dalam pengambilan keputusan dan kebijakan strategis. Kebersamaan ini ditunjukkan oleh mekanisme keputusan kolektif dalam pengambilan kebijakan strategis oleh anggota keluarga yang duduk dalam kepemimpinan perusahaan. Dalam mayoritas perusahaan (82%), pemimpin perusahaan yang bukan anggota keluarga akan meminta persetujuan dari anggota keluarga yang memimpin. Posisi anggota keluarga yang duduk dalam kepemimpinan perusahaan memegang peran yang sedemikian penting sehingga kalangan profesional harus berkonsultasi dengan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan.

Seorang pemimpin, dengan pendekatan quantum leadership, akan memberi dampak dan energi yang sangat besar kepada organisasi dan seluruh anggotanya. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengartikulasikan sebuah visi yang realistik, kredibel, memacu semangat dan akhirnya menggerakkan pengikutnya untuk mencapai tujuan. Inti konsep quantum leadership adalah konsep kepemimpinan yang berorientasi pada masa depan dengan komitmen untuk dapat “melihat dan bermimpi”, “mengubah”, serta “menggerakkan”.

Pemimpin “melihat dan bermimpi” apabila ia berada di depan para pengikutnya. Pemimpin “mengubah” pada saat ia berada di tengah-tengah para pengikutnya. Sedang pemimpin “menggerakkan” pengikutnya pada saat ia berada di belakang para pengikutnya, memotivasi mereka. Dalam konsep quantum leadership, terdapat lima kekuatan besar yang menjadi pendukung penerapan konsep ini yaitu visi, strategi, komitmen, aksi, dan sensitivitas.

Pemimpin yang baik akan membimbing pengikutnya sehingga mereka mampu, paling tidak, menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Pemimpin yang baik akan membimbing anak buahnya dengan rasa hormat, cinta, dan penuh perhatian. Seorang Quantum Leader pertama kali harus berpikir mengenai arah yang ditempuh untuk mencapai visi, kemudian memperkirakan beberapa “jauh” impian itu harus dicapai dan barulah melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Terdapat lima komponen penting yang harus diperhatikan dalam visionary supervision, yaitu dream achievement, strategic comprehension, process and result orientation, systematic analysis, dan constructive anticipation.

Sikap yang profesional antara lain memotivasi tinggi, berorientasi pada proses dan hasil, mampu memisahkan kehidupan personal dengan kehidupan kerja, dan menunjukkan hasil kerja yang optimal. Menggerakkan dorongan dari dalam dengan berlandaskan pada prinsip memotivasi organisasi diri sendiri (motivation self organization) didukung oleh sikap percaya. Pemimpin memberikan kepercayaan penuh kepada organisasi dan anggota organisasi untuk berkembang sehingga masing-masing akan mencapai prestasinya sendiri-sendiri yang tentu saja mendukung bagi pencapaian prestasi organisasi. “A good leader is also a good follower”. Tanpa ada dukungan dari follower, mustahil leader akan berhasil.

Antara quantum leadership dan quantum followership adalah satu kesatuan yang utuh. Inti konsep quantum followership ada tiga hal, yaitu kesatuan gerak, kecepatan tindakan, dan keberanian menerima tantangan. Lima komponen pendukung tersebut adalah strategi, komitmen, sensitivitas, koordinasi, dan partisipasi. Etikqa dalam pengertian umum pada dasarnya adalah standar atau moral yang menyangkut benar atau salah atau baik dan buruk. Sedangkan dalam kerangka konsep etika bisnis terdapat pengertian etika perusahaan, etika kerja dan etika perororangan.

Dalam perannya sebagai career maker, quantum leader bertindak sebagai talent developer, value creator, value disseminator, dan integrator. Tanggung jawab quantum leader dan follower yaitu tanggung jawab terhadap organisasi, tanggung awab terhadap personal atau individu dalam organisasi, tanggung jawab terhadap etika dan sosial, dan tanggung jawab terhadap pembangunan dan jaringan.

VII. Transformasi Perusahaan Keluarga

Faktor yang harus dipersiapkan dalam rangka transformasi organisasi adalah lingkungan, pertumbuhan usaha, masuknya eksekutif profesional, dan suksesi. Ketika perusahaan keluarga sudah melibatkan banyak orang dan mulai merekrut para profesional, maka perubahan sudah pasti akan terjadi. Tantangan dalam transformasi perusahaan keluarga adalah konflik antara nilai-nilai keluarga dan bisnis, persaingan dan dukungan, kontinuitas dan transisi, dan resistensi.

Hubungan di dalam keluarga berlangsung hingga jangka waktu yang lama, begitu pula di perusahaan keluarga. Sebaliknya, dalam budaya bisnis, hubungan itu terjaga selama seseorang memenuhi persyaratan atau kriteria. Kalau tidak sesuai, tentu hubungan kerja bisa diputus. Dalam fase pertumbuhan, seorang pemilik atau pendiri harus mempunyai keberanian untuk melakukan transisi guna menjadi lebih baik karena inti transisi adalah untuk mencegah terjadinya penurunan. Jack Welch menyadari saat yang paling tepat melakukan transformasi adalah saat perusahaan sedang berkembang.

Resistensi terhadap perubahan ini terjadi pada individu maupun organisasi. Dari sisi indivisu, baik anggota keluarga maupun bukan anggota keluarga, akan menimbulkan ketidakpastian. Resistensi terhadap perubahan seringkali disebabkan oleh rasa takut kehilangan kompetensi yang dimiliki (loss of acquired competence) dan hilangnya hubungan keluarga yang sudah mapan (loss of estabilished family relation).

Visi (vision) mencerminkan mimpi dari pendiri atau pemilik perusahaan saat ini. Pernyataan misi memfokuskan perhatian pada tujuan, apa yang akan dilakukan dengan keberadaan organisasi. Pernyataan nilai memperkenalkan cara organisasi mencapai misi. Strategic objectives dapat didefinisikan sebagai hasil spesifik yang ingin dituju oleh perusahaan untuk dapat mencapai misi yang telah dicanangkan.

Penetapan strategic objective harus realistis, menantang, terukur, konsisten, dan jelas. Strategi menjelaskan arah organisasi untuk mencapai misi. Strategi (strategies) menetapkan bagaimana strategic objectives dapat dicapai. Key Duccess Factors mengindikasikan area dari kinerja perusahaan yang vital bagi pencapaian misi organisasi yang sukses. Standrd of excellence merupakan ketentuan organisasi yang harus dimiliki sehingga perusahaan dapat mencapai kesempurnaan layanan kepada pelanggan.

Transformational balance scorecard akan mendeteksi sampai sejauh mana aspek-aspek di atas dicapai dan diterapkan oleh organisasi, dibandingkan dengan standard of excellence yang telah ditetapkan. Balanced scorecard adalah sebuah perangkat strategis (strategic toois) untuk mengevaluasi kinerja perusahaan terhadap sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam perkembangannya, konsep ini berkembang dari sekedar pengukuran kinerja menjadi suatu konsep Performance Management terintegrasi.

Konsep transformational balanced scorecard lebih sesuai untuk situasi, budaya dan lingkungan bisnis Indonesia. Konsep ini mempergunakan lima perspektif pengukuran kinerja yang terdiri dari SDM, sistem dan organisasi, operasi, pelanggan dan finansial. Maka dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa dasar kinerja organisasi yang unggul dimulai dari kinerja individu/karyawan yang unggul pula.

Semakin strategis suatu aktivitas dalam perusahaan keluarga, maka otoritas yang diberikan pada profesional non keluarga semakin rendah. Profesionalisme akan mendukung proses transformasi karena prasyarat-prasyarat yang ada di dalamnya mewajibkan orang di dalam organisasi untuk bertindak secara profesional. Isu kesenjangan profesional bisa terjadi antar generasi. Isu kesenjangan itu, harus dijembatani sehingga tidak menimbulkan masalah yang akan menghambat proses transformasi.

Para profesional menyediakan sumber informasi, keahlian, dan pengalaman yang belum ada di perusahaan keluarga. Mereka juga mendukung akuntabilitas dalam manajemen. Anggota dewan direksi yang berasal dari luar lingkaran keluarga (outside direcktor) yang aktif dan efektif adalah sumber daya yang apling berharga bagi perusahaan keluarga. Mereka akan memperbaiki strategi perusahaan serta lebih menjamin kontinuitas operasional perusahaan.

Outside Director dapat membantu menghilangkan ketakutan akan proses transisi yang tidak mulus dengan memberikan komitmen dan momentum untuk mundurnya generasi tua dan mulainya generasi muda mengambilalih kendali perusahaan. Mereka masuk terutama karena keahlian dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh anggota keluarga. Keluarga sebaliknya menyadari dan mendukung bahwa posisi-posisi kunci harus ada yang diserahkan kepada orang lain yang lebih kompeten, dan menyiapkan resolusi konflik yang mungkin terjadi.

Harus diciptakan situasi atau sarana yang mendukung masuknya profesional, membuat sistematika atau metodologi untuk memotivasi sehingga peran-peran sebagai profesional dalam mengadopsi proses perubahan akan mudah dijalankan. Perusahaan keluarga harus mengetahui untuk apa transformasi dilakukan dan harus memastikan bahwa perubahan itu direncanakan.

Kadang-kadang perubahan terjadi terlalu cepat sampai pada suatu titik di mana tidak ada titik untuk kembali. Bisnis yang sudah sedemikian kompleks sulit untuk ditangani, sehingga perusahaan bukannya semakin berkembang tetapi justru merusak diri (self-destructing).

VIII. Mengelola Perubahan

Tidak heran jika reaksi yang muncul pertamakali saat menanggapi adanya ide perubahan dan terjadinya perubahan itu sendiri adalah kecemasan dan keengganan. Manajemen perubahan merupakan langkah nyata yang diambil untuk dapat menguasai perubahan secara efektif sehingga didapatkan manfaat sebesa-besarnya dengan resiko sekecil-kecilnya.

Dalam manajemen perubahan terkandung impelementasi perubahan melalui visi yang jelas, kepemimpinan yang efektif, perencanaan yang matang, dukungan yang cukup, komunikasi yang jelas dan terarah, edukasi yang memberdayakan, stabilisasi perubahan melalui pengelolaan terhadap resistensi dan pengawasan.

Sebagai sebuah proses, perubahan memiliki kaidah yang harus dicermati. Kaidah pertama adalah Law of Native. Perubahan yang dilakukan harus melibatkan seluruh organisasi. Kaidah kedua adalah Law of Chaos. Sesuatu yang harus disadari, bahwa dalam setiap perubahan pasti timbul kekacauan. Berikutnya adalah Law of Eden. Kegiatan perubahan membutuhkan peran teladan positif yang memiliki kompetensi dan komitmen tinggi.

Tahap pertama adalah persiapan perubahan, ketika perusahaan melakukan evalusasi mendalam mengenai kondisi internal dan eksternal. Tahap kedua adalah implementasi, yang harus disertai kemantapan dan kecepatan untuk mendorong dimulainya aktifitas perubahan. Tahap terakhir adalah pengelolaan hasil perubahan. Bagaimana mempersiapkan seluruh sumber daya perusahaan untuk memanfaatkan hasil perubahan.

Ketiga tahap dalam proses perubahan terkait erat dan keberhasilan proses perubahan memerlukan hasil optimal dari ketiga tahap secara keseluruhan. Berdasarkan responnya, perubahan terbagi menjadi perubahan proaktif (mencakup anticipated change dan opportunity-based change) dan perubahan reaktif. Berdasarkan paradigmanya perubahan (terutama perubahan terencana) dapat dibedakan ke dalam perubahan evolutif dan perubahan revolutif.

Incremental change adalah perubahan yang terjadi dalam sebuah sistem dan menyesuaikan dengan sistem dan aturan yang sekarang telah ada. Fundamental change melibatkan perubahan dalam aturan dari sistem, dan kemudian dalam sistem itu sendiri. Strategi perubahan yang baik harus menyediakan ruang untuk langkah-langkah perbaikan bertahap dan memungkinkan untuk melakukan evaluasi di setiap milestone.. spirit perubahan meliputi kepemimpinan yang efektif dan visi perubahan yang jelas.

Seorang pemimpin, dengan pendekatan Quantum Leadership, akan memberi dampak dan energi yang sangat besar kepada organisasi dan seluruh anggotanya melalui penguasaan terhadap perubahan. Dalam menjalani perubahan yang penuh tantangan, rasa antusias perlu dihadirkan dari awal perencanaan proses perubahan dan memainkan peran yang sangat penting. Dalam kondisi yang dianggap “mapan” juga terdapat potensi destruksi yang harus dicermati. Keberanian untuk mendobrak kemapanan benar-benar dibutuhkan dan perlu diimplementasikan.

Keyakinan diri perlu ditumbuhkan, agar di dalam diri para pengikut tidak terdapat keraguan dalam melangkah, karena merasa memiliki seorang pemimpin yang handal dan memiliki kredibilitas yang tidak diragukan. Landasan utama manajemen perubahan adalah kesiapan untuk berubah. Setiap anggota keluarga yang mengelola perusahaan keluarga perlu menyadari pentingnya perubahan. Kegagalan secara dini mengakibatkan suatu perubahan menjadi prematur, sedangkan kegagalan di tahap akhir menjadikan hasil perubahan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Kesiapan terhadap perubahan dapat diukur melalui pendekatan terhadap persepsi anggota organisasi yang terlibat dalam perubahan, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Persepsi yang meliputi perlunya perubahan, kesiapan emotif, kapabilitas menghadapi perubahan dan kemauan mereka untuk berubah. Arahan mencerminkan ekspektasi dan penentuan skala prioritas secara jelas dan tidak berbias. Komunikasi yang tepat dan transparan sangat dibutuhkan untuk “menjual: perubahan. Rencana perubahan itu sendiri juga harus sejalan dengan rencana lain dalam organisasi, dan tidak menyimpang terlalu jauh dari budaya organisasi yang dimiliki.

Kesiapan berubah (change readiness) berfokus terhadap dua hal, yaitu kompetensi yang mendukung perubahan dan komitmen untuk berubah. Isedangkan komunikasi diharapkan memenuhi 4C, yaitu content, context, contact, dan control. Perubahan memerlukan kondisi yang kondusif. Tanpa kondisi yang kondusif tidak heran jika perubahan yang dicanangkan berujung pada kegagalan. Secara umum, kondisi yang diperlukan untuk kesuksesan perubahanantara lain berupa sumber daya yang memadai, fokus dari segi waktu, pengambilan keputusanyang jelas, kepemimpinan yang efektif, dan tahapan proses perubahan yang jelas.

Mengingat dinamikanya, respon terhadap perubahan dapat bermacam-macam bentuknya. Berdasarkan responnya, dapat digolongkan ke dalam lima tipe. Inovator, eraly adapter, early majority, late majority dan laggard. Seandainya pihak yang tidak menginginkan terjadinya perubahan tetap bersikukuh dengan apa yang sungguh ada, maka jalan tengah yang diperlukan adalah mengupayakan kolaborasi diantara kedua belah pihak.

Selain komitmen, juga diperlukan kesamaan visi, mau dibawa ke mana perubahan ini. Kesamaan visi ini akan menunjang operasionalisasi pengelolaan perubahan, termasuk bagaimana perubahan dijalankan agar mendatangkan hasil seperti yang diharapkan. Dengan demikian, mutlak diperlukan kepemimpinan yang efektif.

Berdasarkan tingkat resistensinya dapat dipilih strategi yang sesuai untuk mengelola resistensi. Berikut urutan strategi mengelola resistensi, dimulai dari vresistensi yang paling lemah: menjalin komunikasi dan edukasi, mengajak berpartisipasi, memfasilitasi dan mendukung, melakukan melakukan negosiasi, melakukan manipulasi dan kooptasi, serta melakukan paksaan. Efentivitas komunikasi bukan ditentukan oleh pesan yang disampaikan, tapi diukur dari sejauh mana si penerima memahami pesan yang disampaikan. Periksa apakah pemahaman mereka sudah sesuai dengan yang diinginkan.

Ada sementara pihak yang mendapatkan cukup informasi dan memiliki kompetensi yang memadai tetapi resistensi terhadap perubahan karena berpersepsi bahwa arah (isi) dari perubahan atau bagaimana (proses) perubahan tersebut dirancang dan diimplementasikan tidak tepat. Untuk kelompok ini, resistensi dapat dikelola dengan mengajak mereka berpartisipasi.

IX. Intervensi Organisasional

Melalui perangkat yang memungkinkan setiap orang untuk mengetahui kemajuan dari perubahan misalnya, pihak yang semula resisten dapat saja mempertimbangkan kembali sikapnya. Negosiasi ke atas dimaksudkan sebagai negosiasi kepada manajemen puncak manajemen puncak sebagai pengambil kebijakan tertinggi untuk secara all out mendukung perubahan. Salah satunya dengan mengganti dan atau memindahkan orang kunci yang berpengaruh bagi kelompok resisten. Cara lain dalam memanipulasi adalah dengan memecah kohesivitas kelompok yang resisten dengan cara pecah belah dan kuasai (devide et impera).

Intervensi diartikan sebagai program terobosan atau serangkaian tindakan terstruktur yang secara hati-hati disusun untuk merubah kelompok yang diekspos dari status quo menuju status baru yang lebih baik. Ketiga jalur intervensi tersebut adalah intervensi organisasi, intervensi budaya, dan intervensi mindset. Tindakan koersif dilakukan jika strategi lain sudah tidak mempan, padahal perubahan sudah tidak dapat ditawar lagi. Tidak ada pilihan lain bagi pihak yang resisten selain ikut atau keluar dari organisasi.

Aset-aset yang bersifat intangible yang berupa konsep, kompetensi, dan koneksi terbentuk dengan baik dalam organisasi yang sukses. Jika hal ini berakar secara mendalam dalam sebuah organisasi, perubahan akan berlangsung secara sangat alami, sehingga resistensi yang dialami biasanya rendah. Intervensi organisasional dimaksudkan sebagai pengembangan organisasi dalam tugas, kompleksitas pekerjaan, dan pengelolaan orang-orang dalam organisasi untuk mendukung kesuksesan perubahan.

Intervensi organisasional dilakukan melalui intergrasi dan penyelarasan perubahan dengan strategi, proses bisnis, dan desain organisasi sehingga terindentifikasi kapabilitas organisasi dalam mengelola perubahan. Intervensi kultural dimaksudkan sebagai promosi tata nilai dan perilaku yang diharapkan dan penguatan spirit yang mendukung perubahan.

Nilai-nilai yang teridentifikasi diselaraskan dengan strategi dan lingkungan bisnis, nilai-nilai mana yang dibutuhkan, relevan, dan mendukung. Lingkungan bisnis mempengaruhi perusahaan dalam mencapai tujuannya yang dituangkan dalam strategi karena setiap pasar menuntut karakteristik perilaku organisasi yang berbeda. Proses dimana seseorang menimbang-nimbang, menerima, menghayati mampu mempraktekkan nilai dan perilaku baru dalam hidupnya dikenal sebagai proses internalisasi.

Budaya organisasi lebih memberikan perhatian pada himpunan nilai, perasaan, sikap, harapan, dan mindset dari orang-orang dalam skala organisasi sedangkan mindset lebih dalam skala yang lebih kecil (individual atau sekumpulan individu). Dengan kata lain budaya merupakan mindset kolektif dari keseluruhan anggota organisasi. Berdasarkan karakteristiknya, target dari transformasi mindset dapat dibedakan menjadi dua kelompok, pemimpin dan karyawan.

Meskipun pemimpin sudah memiliki mindset yang tepat, tetapi jika di sisi lain tidak diimbangi oleh mindset yang seiring dari critical mass dalam organisasi maka proses transformasi tidak akan berjalan sesuai harapan. Dalam rangka intervensi mindset, banyak perangkat dapat diaplikasikan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi organisasi. Antara lain pembelajaran, coaching, pemberdayaan, riset aksi, dan yang relatif baru berkembang belakangan ini adalah appreciative inquiry.

Pembelajaran (learning) lebih dari sekedar pelatihan (training) karena selain pelatihan, pembelajaran mencakup juga perolehan informasi, komunikasi, kolaborasi, dukungan kerja, serta berbagi pengetahuan. Pembelajaran penting untuk memecahkan ketidakmenentuan pada diri sendiri dan lingkungan melalui peningkatan ilmu pengetahuan, keterampilan, nilai, dan lain-lain. Namun semua tujuan tersebut bermuara pada satu tujuan pokok, yaitu pemberdayaan diri.

Organisasi yang secara intens menggunakan proses pembelajaran (dalam kapasitas untuk belajar, beradaptasi dan berubah) pada level individu, kelompok, dan sistem untuk secara kontinyu mentransformasikan organisasi ke arah yang lebih memuaskan para pemangku kepentingan.

Karakteristik organisasi pembelajaran di antaranya adanya shared vision, terbuka terhadap perubahan, komunikasi berjalan dengan baik (vertikal & horisontal), adanya kultur pembelajaran (learninh culture), dan berlangsungnya sharing knowledge. Sementara riset aksi (action research) adalah inquiry atau riset yang kemudian menjadi dasar untuk menyusun kegiatan aksi dalam konteks upaya-upaya yang berfokus pada peningkatan kualitas dari organisasi dan kinerjanya.

X. Pasca Transformasi Perusahaan Keluarga

Pasca transformasi di perusahaan keluarga penting untuk dibicarakan, bukan hanya pada proses perubahannya melainkan juga bagaimana membuatnya menjadi kondisi terkini. Minat dan kepentingan keluarga dalam perusahaan mencakup enam unsur, yaitu wealth, growth, longterm investment, reputation in community, harmony in the family, dan minimized changes.

Pelibatan anggota keluarga dalam perusahaan, baik minat dan kepentingan dalam manajemen maupun sebagai pemilik menuntut peran aktif dari yang bersangkutan. Peran penting yang harus dimainkan oleh anggota keluarga adalah menjadi agent of change. Di dalam perusahaan keluarga, komunikasi yang berjalan terbagi dalam dua lapisan, lapisan keluarga dan lapisan perusahaan. Di kedua lapisan ini komunikasinya cenderung mempunyai karakteristik berbeda. Anggota keluarga tidak boleh tidak harus bisa berperan sebagai communicator yang bisa bermain di “ dua alam: tersebut.

Anggota keluarga sebagai agent of change lebih bermain di level atas yang menghasilkan high impact. Pengembangan karir generasi penerus atau putra mahkota di perusahaan perlu mendapatkan perhatian pula pasca transformasi. Mengingat kebutuhan organisasi belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi individu maka harus ada upaya untuk menjembataninya, yaitu dengan career development dan planning.

Mempercepat jenjang karir bagi anggota keluarga adalah mekanisme yang paling banyak dipakai di perusahaan keluarga kelas menengah ke atas di Indonesia. Manajemen karir yang efektif tetap mempertahankan kapabilitas yang sekarang dimiliki organisasi, namun pada saat yang sama berusaha membangun fleksibilitas dan ketangkasan untuk masa depan.

Dalam career pathing organisasi membangun jalur karir formal guna mendukung pertumbuhan dan kemajuan karir. Career counseling membantu menghadapi masalah seputar karir dan tempat kerja secara efektif. Performance planning membantu mengidentifikasi dan memberi perhatian terhadap kebutuhan pengembangan karyawan, membuat rencana kinerja strategis, dan memperbaiki kinerja individual.

Pada tahap orientasi (usia 21—25 tahun), anggota keluarga menguji dirinya, apakah mereka menyukai pekerjaannya atau tidak. Pada tahap identity building (usia 26—30 tahun), anggota keluarga mulai menetap dalam routine management dan ikut serta dalam pertemuan-pertemuan agar dapat memberikan saran, dukungan, atau menolak gagasan. Pada tahap maturity (usia 31—40 tahun), setelah anggota keluarga bekerja selama 10 tahun dan berpengalaman dalam eksposur perusahaan serta bekerja dalam tim, ia mulai menciptakan sistem, konsep, dan sebagainya. Pasda tahap transisi (usia 56—65 tahun), anggota keluarga menjadi mentor bagi generasi berikutnya karena kehidupan spiritualnya sudah terfokus.

Kualifikasi karyawan perlu dievaluasi dan diarahkan sesuai bakat dan karakternya. Jika anggota keluarga berkualitas, perlu dilihat apakah ia memiliki kecenderungan profesional dengan minat-minat khusus atau sebagai pemimpin. Pengembangan karir dalam perusahaan keluarga ditujukan untuk menghubungkan antara strategi dan rencana bisnis, dengan mendukung anggota keluarga dan jiga karyawan untuk mengembangkan bakat, keterampilan, dan kompetensinya.

Agar profesional keduanya harus dipisahkan. Pentingnya memisahkan keuangan keluarga dan keuangan perusahaan. Walaupun keuntungan yang diperoleh cukup banyak, ada juga kerugian dengan memisahkan aset pribadi dan aset keluarga, antara lain kerugian biaya, waktu, dan usaha.

XI. Suksesi dalam Perusahaan Keluarga

Paul Karofsky menemukan bahwa rata-rata umur perusahaan keluarga hanya 24 tahun karena peralihan antar generasi kurang berjalan mulus. Bahkan Family Business Quarterly menyatakan bahwa kurang lebih 70 persen perusahaan keluarga gagal untuk meraih sukses di tangan generasi keduanya. Salah satu kelemahan yang sering dimiliki oleh perusahaan di Indonesia adalah kelemahan pola pengembangan sumber daya manusia pada level menengah dan pengelolaan persiapan suksesi untuk tujuan jangka panjang.

Pada umumnya terdapat tiga pola suksesi untuk manajemen level puncak yang biasanya diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Pertama adalah palnned succession. Kedua, informal planned succession, unplanned succession. Salah satu penghambat dari perencanaan suksesi adalah karena pemilik menganggap suksesi berkaitan dengan kematian. Sedangkan anak-anaknya memiliki kekhawatiran akan kemampuan mereka menghadapi situasi tanpa adanya orang tua. Sebagian anak khawatir akan pecahnya konflik sepeninggal orang tua mereka.

Anggota keluarga dapat terperangkap dalam resiko konsentrasi yang tinggi, bukan hanya finansial namun juga emosional. Tidak ada lagi pemisahan antara perselisihan yang timbul akibat bisnis dengan yang timbul akibat keluarga. Akibatnya perhatian terhadap kemajuan perusahaan berkurang dan eksistensi perusahaan terancam.

Perusahaan yang dihantui oleh The Ghost of the Padrone dapat menjadi tertutup, konservatif, dan tradisional. Konsekuensinya, perusahaan ini menjadi terlalu berorientasi ke dalam dan mengabaikan perkembangan lingkungan. Guna menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi anak cucu mereka, pemberian-pemberian di atas memang didasarkan atas niat baik. Sayangnya hal ini difokuskan pada kepemilikan materi, bukannya nilai-nilai yang diinternalisasikan dengan baik, perhatian, dan saling menghormati.

Perlu dipilih anggota keluarga terbaik yang memiliki kemampuan menjalankan perusahaan. Solusi lain adalah merekrut manajer profesional yang berasal dari luar anggota keluarga yang memfokuskan diri pada usaha-usaha meningkatkan kinerja perusahaan. Solusi lainnya dalam membagi-bagi atau memecah bisnis yang ada, di mana setiap anak memimpin unit bisnis atau departemen yang berbeda.

Pilihan berikutnya adalah menjual perusahaan, go public, ataupun likuidasi. Perencanaan suksesi antara lain bertujuan untuk mempertahankan dan mengembangkan standar excellence dari performansi perusahaan serta kompetensi yang dimiliki, serta menjawab kebutuhan persiapan eksekutif masa depan. Regenerasi membutuhkan waktu. Diperlukan juga pengalaman bisnis dan kematangan emosi bagi eksekutif masa depan ini untuk bisa tidak hanya tune in dalam posisinya yang baru tetapi juga optimal dalam mengembangkan perusahaan.

Perintis kemerdekaan bisa berperan tidak hanya dalam fase mempersiapkan pemimpin dari generasi berikutnya tapi juga mendampinginya. Isu-isu multigenerasi yang muncul bermacam-macam. Salah satunya adalah tidak adanya keinginan generasi lama untuk berbagi kekuasaan dengan generasi penerus. Generasi yang tengah berkuasa tidak mengakui kedewasaan dan keahlian generasi berikutnya. Isu lainnya adalah generasi penerus perusahaan tidak bermotivasi tinggi untuk meningkatkan perusahaan.

Regenerasi membutuhkan waktu dan harus direncanakan. Dalam hal ini ada dua macam tes yang bisa dilakukan. Pertama, tes potensi dan inklinasi gaya manajemen. Kedua, tes berupa competency assessment dalam bidang manajemen, bukan tentang pengetahuan teknisnya. Founder harus mulai mengambil dua langkah ke belakang (to take two steps back) agar generasi penerus dan profesional baru bisa mengambil satu langkah ke depan.

Dalam masalah suksesi, sering didengung-dengungkan adalah mitos generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati, generasi ketiga menghancurkan. Tetapi yang namanya mitos tidak berarti benar adanya, dan tidak perlu diambil pusing. Fenomena “shirtsleeves to shirtsleeves” ini sering kali benar terutama karena tiga alasan berikut ini: generasi penerus yang kurang persiapan, fragmentasi keluarga saat menjadi lebih besar, dan lingkungan emosional yang diciptakan oleh generasi yang sedang memimpin.

Apabila benar-benar sudah waktunya bagi anak-anak untuk memegang peran utama dalam perusahaan, sebaiknya pendiri atau pemilik mulai menulis buku untuk berbagi pengalaman dan kebijaksanaan. Bisa juga dengan mendirikan yayasan dan mengajar dan tidak berkutat dengan perusahaan lagi. Menominasikan putranya sebagai penerus kepemimpinan dalam perusahaan keluarga menunjukkan adanya perhatian pemilik terhadap kontinuitas perusahaan, namun di sisi lain, menghalangi pengembangan profesional bagi putranya meunjukkan ia tetap ingin memegang kendali sepenuhnya terhadap perusahaan.

Keluarga sering memandang perusahaan sebagai bagian penting dari identitas dan warisan keluarga serta sebagai sumber penghidupan keluarga yang memungkinkan mereka memenuhi ekspektasi gaya hidup yang diinginkan. Manajemen melihat karir mereka terikat dalam perusahaan dan memandang perusahaan sebagai sarana bagi pengembangan profesional dan pencapaian ekonomi. Dari sudut pandang manajer, tujuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dan menjamin pertumbuhan karir mereka.

Salah satu penghalang yang sulit dihilangkan adalah keengganan pemilik perusahaan untuk berpikir tentang kematian pada saat mereka masih merasa sehat dan kuat. Pendiri juga menolak perencanaan suksesi karena ini berarti mereka harus rela melepas kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki dalam menjalankan aktivitas bisnis sehari-hari. Pendiri juga menolak perencanaan suksesi karena ketakutan akan hilangnya bagian penting dari identitas yang mereka miliki.

Akibat faktor usia, timbul ketakutan akan ketergantungan yang semakin meningkat terhadap orang lain. Padahal mereka biasa mengurus diri mereka sendiri, yang merupakan nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang pengusaha. Akibatnya mereka mengalami masalah emosional, seperti menolak adanya kebutuhan untuk perencanaan suksesi, keengganan untuk melepaskan kekuasaan, dan menyatakan kembali otoritas mereka baik atas keluarga dan hirarki bisnis.

Bagi suami/istri pendiri, masalah suksesi menciptakan seperangkat tantangan dan ketidakpastian yang kompleks. Banyak manajer senior yang enggan bergeser dari hubungan pribadi dengan pendiri kepada hubungan yang lebih formal dengan pengganti. Kekuatan lingkungan juga menciptakan penghalang bagi perencanaan suksesi. Kekuatan ini terdiri dari klien dan supplier yang memiliki ketergantungan kepada pendiri. 40% dari seluruh perusahaan di dunia mengantisipasi atau menghadapi proses suksesi saat ini, yaitu pelimpahan bisnis dari generasi senior yang sedang menguasai bisnis ke kepemimpinan generasi berikutnya.

Rencana suksesi yang efektif antara lain merencanakannya sedini mungkin dengan melibatkan anggota keluarga. Sebaiknya ada pilihan bagi generasi berikutnya untuk bergabung atau tidak dalam perusahaan. Hanya dua per tiga perusahaan-perusahaan keluarga kelas menengah atas di Indonesia yang mempersiapkan penerus melalui perencanaan suksesi untuk memimpin perusahaan. Bagi yang sudah merencanakan, prioritas penerus perusahaan keluarga tertumpu pada anak kandung yang bisa diperinci lagi menjadi satu anak kandung (45%) dan beberapa anak kandung (31%).

Meyakinkan pendiri akan pentingnya perencanaan suksesi adalah prioritas yang penting. Adalah penting untuk pertama-tama memberikan perhatian terhadap kebutuhan emosional dan rasa ketidakamanan pendiri mengenai masalah suksesi. Membantu keluarga memahami apa makna suksesi secara emosional bagi pendiri akan membantu mereka membangun dukungan bagi founder melewati masa-masa sulit.

Tugas-tugas dasar yang tercakup dalam perencanaan suksesi adalah: memformulasikan dan berbagi visi yang sesuai, memilih dan melatih pengganti dari pendiri, merancang sebuah proses melalui mana kekuasaan akan dialihkan dari generasi sekarang ke generasi muda, merancang estate plan, merancang struktur yang sesuai untuk merancang perubahan, mendidik keluarga untuk memahami hak dan tanggung jawab dari peran-peran yang akan mereka jalankan di masa depan.

XII. Bekerjasama dengan Keluarga

Pendiri yang memiliki minat yang tinggi dalam aktivitas-aktivitas tertentu di luar perusahaan keluarga akan lebih mudah melakukan perencanaan suksesi dan ini akan mengurangi dan menghilangkan perasaan-perasaan yang tidak nyaman akibat menyerahkan kepemimpinan perusahaan. Dalam tahap awal, pendiri dan pasangannya (suami/istri) harus memiliki pemahaman bersama mengenai perlunya suksesi. Mereka harus mengartikulasikan mengenai apa yang akan dicapai dalam proses ini.

Memikirkan masalah kontinuitas dari sebuah perspektif yang sistemik mensyaratkan sebuah penilaian mengenai kebutuhan masa depan perusahaan keluarga. Dewan direksi yang dirancang dengan baik adalah sumber keahlian dan perspektif yang banyak dibutuhkan selama perencanaan suksesi. Lebih penting lagi, dewan direksi berfungsi sebagai pemantau dengan mengawasi peralihan tanggung jawab manajemen dari satu generasi ke generasi berikutnya sesuai dengan rencana yang telah disusun.

Tujuan persiapan untuk memilih pemimpin baruperusahaan adalah agar masing-masing mempunyai pengertian (understanding) dan penerimaan (acceptance) yang lebih baik terhadap satu sama lain. Proses suksesi sendiri secara ringkas dapat dirangkum dalam 7 langkah berikut: mengevaluasi struktur kepemilikan, mengembangkan gambaran struktur yang diharapkan setelah suksesi, mengevaluasi keinginan keluarga dan contingency plan, mengembangkan proses pemilihan melatih dan mentoring penerus masa depan, melakukan aktivitas team building dari keluarga, menciptakan dewan direksi yang efektif, dan, memasukkan penerus pada saat terbaik.

Perusahaan-perusahaan keluarga yang sukses sangat menghargai tantangan dalam menggabungkan keluarga dan bisnis. Isu yang umum adalah suksesi. Isu kedua bagaimana membiayai pertumbuhan bisnis dan likuiditas keluarga. Ketiga bagaimana menarik minat, mempertahankan, memotivasi, dan memberi penghargaan kepada manajer-manajer utama yang bukan anggota keluarga. Keempat isu tentang kompensasi. Isu terakhir adalah mempekerjakan anggota keluarga, yaitu siapa yang diizinkan untuk bergabung dalam bisnis dan apa persyaratannya.

Komunikasi yang baik berarti bahwa informasi, pemikiran, dan perasaan tidak hanya disampaikan tetapi juga diterima dan dimengerti. Ini berarti membuka diri terhadap orang lain dan menuntut kepercayaan, kerentanan, serta kerelaan untuk mengangkat isu-isu yang mungkin mengarah pada ketidaksepadanan dan konflik. Ada dua macam pertemuan keluarga. Pertama, pertemuan di mana yang hadir bekerja atau memiliki bisnis itu, dan bisnis merupakan topik diskusi. Kedua, pertemuan-pertemuan yang mencakup semua anggota kelaurga dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbicara tentang arti bisnis dalam hidup mereka serta isu-isu lain selain bisnis.

Keluarga yang memiliki bisnis harus merencanakan empat tingkat yang berbeda secara bersamaan dan saling tergantung: rencana strategi bisnis (business strategy plan), rencana suksesi kepemilikan dan kepemimpinan (leadership and ownership succession plan), rencana finansial pribadi (personal financial plan) bagi anggota keluarga, dan rencana kontinuitas keluarga (family continuity plan). Keluarga yang memegang komitmen kuat untuk melanjutkan bisnis ke generasi berikutnya adalah yang paling mungkin sukses melakukan suksesi.

Policies before the need artinya menetapkan kebijakan-kebijakan sebelum kebutuhan akan kebijakan-kebijakan itu muncul. Sense of purpose menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Mengapa melakukan ini? Mengapa bekerja sangat keras? Mengapa menghabiskan waktu untuk mengembangkan kebijakan? Mengapa menghabiskan energi begitu banyak untuk menyiapkan masa depan? Process mengandung arti semua pemikiran dan pertemuan serta diskusi yang dilakukan bersama oleh anggota keluarga untuk memecahkan isu-isu. Parenting yaitu sejauh mana orang tua memberikan perhatian untuk mempersiapkan anak-anak atau generasi berikutnya dalam mengelola masa depan perusahaan keluarga.

Talent management untuk penerus merupakan sebuah proses pengelolaan dalam mengidentifikasi kebutuhan perusahaan di masa sekarang atau masa mendatang terhadap potensi, minat, bakat (aptitude), kemampuan (ability) dan kompetensi penerus. Dalam konteks perusahaan keluarga konsep talent management yang lebih mengarah kepada mengembangkan dan mempertahankan beberapa orang-orang kunci sebagai pemimpin dan menjadikannya sebagai role model.

Dalam menelusuri talenta melibatkan beberapa aspek yang meliputi kepribadian (personality), minat (interest), bakat (aptitude), kemampuan (ability) dan kompetensi. Salah satu kendala dalam mengukur kompetensi adalah persoalan bias budaya. Masalah ini selalu menjadi topik dalam penyusunan pengukuran perilaku. Sistem pengukuran (assessment) kompetensi yang obyektif, valid, reliable dan tidak memiliki bias budaya dikembangkan berdasarkan pengalaman praktis terhadap situasi dan kondisi perusahaan di Indonesia berbasis budaya setempat.

Profil kompetensi manajerial terbagi menjadi delapan dimensi atau cluster, yaitu performance, planning, risk awareness, strategic orientation, leadership, implementation, enterpreneurial spirit dan problem solving. Dalam talent management, program pengembangan harus selalu terkait dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan juga tujuan-tujuan masing-masing fungsi yang menjadi bagian organisasi. Sehingga penerus yang memiliki talent tersebut dapat memberikan nilai tambah melalui pemanfaatan kekuatan utamanya dalam setiap kesempatan.

Program talent management tidak terlepas dari hal-hal lain yang ada di perusahaan, seperti budaya perusahaan yang akan menyatukan seluruh komponen organisasi, pembelajaran yang menunjukkan continous improvement, reward and incentive program sebagai bentuk penghargaan, dan performance management. Training need assessment untuk membantu penerus meningkatkan keahlian yang mereka perlukan agar dapat melaksanakan tugas yang mereka jalankan sekarang dengan lebih efektif, mempersiapkan mereka bagi pekerjaan berikutnya dalam tangga karir, dan mempersiapkan mereka untuk bekerja dalam bidang yang berbeda.

Mentoring berasal dari bahasa Yunani yang artinya mendorong. Dijabarkan lebih lanjut sebagai aktivitas yang dilakukan oleh seseorang, disebut mentor, bagi orang lain (disebut mentoree). Tujuan untuk membantu mentee agar dapat melakukan pekerjaannya lebih efektif atau demi kemajuan karirnya.

Bagi mentee, manfaat utama yang diperoleh adalah kesempatan untuk belajar dari pengalaman mentor. Bagi organisasi, mentoring dapat mendorong peningkatan inisiatif untuk strategi bisnis yang lebih baik, meningkatkan loyalitas karyawan, mengurangi biaya turnover, meningkatkan produktivitas, mendorong pengembangan profesional, membekali karyawan dengan pengetahuan dan informasi yang diperlukan, dan mendorong budaya mentoring untuk secara berkelanjutan meningkatkan aktivitas pengembangan karyawan.

Talent management terkait erat dengan manajemen kinerja. Artinya bahwa talent management selalu berusaha mencari proses dan sistem yang terbaik untuk mendukung pencapaian sasaran perusahaan dengan merekrut dan mempertahankan orang-orang tebaik saja. Inti dari talent management adalah manajemen karir bagi penerus yang memiliki talenta. Manajemen karir dari sisi perusahaan berawal dari perencanaan sumber daya manusia. Merupakan upaya untuk mengantisipasi kebutuhan perusahaan saat ini dan masa depan, serta menyediakan sumber daya manusia yang berkualifikasi.

Meskipun telah memiliki kompetensi dan pengetahuan (knowledge) yang cukup banyak, tetap harus mau mendengarkan, harus mau terus belajar, dan mendapatkan masukan-masukan serta pengalaman dari orang lain. Komponen utama dari proses peralihan adalah suksesi yang merupakan kebijakan penting di dalam manajemen strategic.

XIII. Budaya Perusahaan Keluarga

Perusahaan keluarga pada umumnya cenderung memiliki sudut pandang jangka panjang terhadap bisnisnya. Pemimpin dalam perusahaan keluarga mungkin memiliki pandangan yang berbeda dibandingkan karyawan, pelanggan, komunitas, maupun stakeholders penting lainnya, yang memberi dampak positif terhadap kualitas produk mereka.

Meskipun terdapat pemimpin di tiap divisi dan jajaran fungsional, bukan berarti perusahaan memiliki banyak pemimpin (multiple leadership). Satuan operasional perusahaan harus ada, deskripsi pekerjaan harus tertata rapi, dan evaluasi pekerjaan serta pembobotannya terlaksana dengan baik.

Kapabilitas sering dikatakan sebagai pengetahuan (knowledge) atau keterampilan (skill) dan sikap (attitude). Tetapi dalam kompetensi, dikenal pula apa yang disebut dengan tingkah laku (behavior) dan motivasi. Kepemimpinan dan sistem harus disertai komitmen dan keterlibatan bersama. Jika sistem dan pemimpin sudah ada, tetapi tidak ada komitmen dan keterlibatan bersama, maka sering tidak jalan.

Dalam budaya perusahaan yang lemah kepemimpinan akan memegang peranan yang dominan. Apakah dalam mengerjakan tugas-tugas memberikan keleluasaan untuk menerapkan cara-cara baru melalui eksperimen. Inisiatif individual ini meliputi derajat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi dari masing-masing anggota organisasi.

Seberapa jauh sumberdaya manusia didorong untuk lebih agresif, inovatif, dan mau menghadapi kejelasan organisasi dalam menentukan objektif dan harapan terhadap sumberdaya manusia terhadap hasil kerja yang dilakukan. Bagaimana unit-unit di dalam organisasi didorong untuk melakukan kegiatannya dalam satu koordinasi yang baik. Seberapa baik para manajer memberikan dukungan terhadap bawahannya.

Peraturan-peraturan dan supervisi untuk melihat perilaku anggota organisasi. Pemahaman anggota organisasi yang memihak kepada organisasi secara penuh. Alokasi reward berdasarkan pada kriteria hasil kerja anggota organisasi. Usaha mendorong anggota organisasi untuk kritis terhadap konflik yang terjadi. Komunikasi organisasi yang terbatas pada hirarki formal dari setiap organisasi.

Karena organisasi terbentukdari beberapa anggota yang berbeda latar belakang dan berbagai tingkatan di dalam organisasi maka terbentuklah dua jenis budaya yaitu budaya dominan (dominant culture) dan budaya mikro di dalam perusahaan. Budaya dominan didefinisikan sebagai gambaran dari nilai inti yang dianut dan merupakan kontribusi nilai-nilai dari sebagian besar anggota organisasi.

Budaya mikro didefinisikan sebagai bagian budaya yang berkembang dalam organisasi, yang secara spesifik ditumbuhkan oleh perbedaan bagian atau perbedaan geografis, yang merupakan hasil kontribusi nilai dari sebagian anggota organisasi. Budaya mikro yang mungkin muncul berdasarkan beberapa faktor: budaya mikro fungsional/divisional, budaya mikro anak perusahaan, budaya mikro geografis, budaya mikro joint venture, dan budaya mikro iklim bisnis.

Budaya mikro terbentuk untuk membantu aktivitas anggota organisasi dalam pekerjaan sehari-hari. Budaya mikro harus diarahkan untuk mendukung budaya yang dominan dalam sebuah konfigurasi yang harmonis. Jika organisasi tidak memiliki budaya yang dominan dan hanya memiliki beberapa sub budaya, sistem nilai yang berlaku dalam organisasi tersebut bersifat independen yang dapat saja berubah-ubah.

Pemimpin, yang juga anggota keluarga, mempertahankan kekuasaan dan otoritas serta membuat seluruh keputusan kunci. Keluarga tidak percaya kepada outsiders dan secara langsung melakukan supervisi terhadap karyawan. Sebagian perusahaan paternalistik cenderung berorientasi kepada masa lalu. Sebagian perusahaan paternalistik lainnya cenderung sangat berorientasi ke masa kini.

Perusahaan paternalistik cenderung berfungsi dengan baik ketika pemimpin perusahaan keluarga mempunyai keahlian yang diperlukan dan informasi yang dibutuhkan untuk mengelola seluruh aspek dalam bisnis. Dalam budaya laissez-faire, karyawan dianggap dapat dipercaya, dan mereka diberikan tanggungjawab untuk mengambil keputusan. Karyawan diberikan otoritas yang cukup besar dan pertimbangan untuk menentukan sarana mencapai tujuan.

Pola partisipatifdidasarkan pada asumsi bahwa hubungan yang harus dibangun harus lebih bersifat egaliter dan berorientasi kelompok. Karyawan dianggap dapat dipercaya, dan kelaurga mencoba memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan bakatnya. Dalam sebuah budaya partisipatif, karyawan umumnya mampu secara kreatif mengembangkan bakat dan kemampuan yang dimiliki. Kelemahan utama dalam budaya partisipatif ini adalah dalam hal proses pengambilan keputusan, yang sering memerlukan waktu yang lebih lama. Budaya profesional umumnya terdapat pada perusahaan di mana keluarga sebagai pemilik perusahaan memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan bisnisnya kepada manajemen profesional non-keluarga.

Hubungan bersifat individualitis, artinya karyawan berfokus pada pencapaian individu dan kemajuan karir. Manajer profesional sering mengambil sikap yang netral dan impersonal terhadap karyawan, yang mengevaluasi kontribusi mereka bagi kemajuan bisnis perusahaan. Untuk mengoptimalkan budaya di perusahaan keluarga, dimulai dari pertanyaan siapa diri kita (who we are), apa yang kita percaya (what we believe), apa yang kita lakukan (what we do), dan bagaimana kita melakukannya (how we do it). Pada perusahaan keluarga yang mengarah kepada world class dipersyaratkan suatu budaya yang memiliki karakteristik the leit star culture, sebuah bintang yang terang dan dapat memberi petunjuk.

XIV. Menuju Good Corporate Governance

Sebagai operasi bisnis tiga dimensi: approach, deployment, dan result. Dimensi approach menjawab pertanyaan yang dimulai dengan what, terutama terkait dengan sistem. Dimensi deployment lebih menjawab pertanyaan yang dimulai dengan how yang terutama terkait dengan value creation. Sedangkan dimensi result mengukur value delivery, tren, dan pengaruhnya. Organisasi memerlukan baik visibilitas maupun fleksibilitas. Visibilitas akan menentukan perspektif terhadap produk dan layanan yang diberikan, lini bisnis, sumber daya manusia sampai ke pelanggan. Sementara fleksibilitas memastikan bahwa proses jalannya bisnis merefleksikan perubahan baik eksternal maupun internal seperti perkembangan kebutuhan organisasi.

Sebagai penyedia produk atau jasa, perusahaan keluarga harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang siapa pelanggannya yang bisa diketahui dengan segmentasi pasar. Karyawan yang terus diasah dan memiliki tingkat kesejahteraan yang baik dapat diharapkan tidak hanya sekedar puas tetapi engaged. Tidak memiliki masalah dalam absensi dan turnover, tetapi justru produktif dan memberikan kontribusi yang positif.

Manajemen proses dilakukan melalui siklus identifikasi, pemetaan, standarisasi, penetapan indikator kinerja utama dan sistem perbaikan. Perusahaan yang layak masuk dalam world class company, setidaknya mempunyai lima karakteristik utama, yaitu kompetensi, kemampuan beradaptasi (adaptability), mempunyai budaya kualitas, inovatif, dan sifat entrepreneur.

Corporate governace mengarahkan perhatian pada peningkatan kinerja korporasi (corporate performance) melalui supervisi atau monitoring dari kinerja manajemen dan sekaligus memastikan akuntabilitas manajemen kepada pemegang saham dan stakeholders lain. Corporate governance meliputi empat hal pokok, yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility. Corporate governance structure dalam perusahaan keluarga pada umumnya mencakup elemen-elemen sebagai berikut: keluarga dan pranata-pranatanya, seperti family assembly, family council, dan shareholders committee, dewan direksi, manajemen puncak (executive committee).

Biasanya ada tiga kelompok struktur dasar yang dibutuhkan oleh bisnis keluarga, yaitu family council, audit committee, advisory council. Untuk mencapai good corporate governance, dapat dipraktekkan enam jurus berikut: selection of manager, integrity of management, responsibility of management, accountability of audit committee, transparency on accounting reports, dan adherence to commitments and agreements made.

Perusahaan keluarga adalah sesuatu yang rapuh (fragile). Banyak didengar perusahaan keluarga yang sukses, tetapi dalam hitungan tahun perusahaan tersebut menurun dengan cepat. Pembagian kerja yang tidak merata menimbulkan masalah dalam perusahaan keluarga. Prinsip the right man in the right place dijalankan sehingga masing-masing bekerja di bidang yang sesuai dengan minat dan keahliannya. Yang penting adalah adanya job description yang jelas beserta kompetensi yang dipersyaratkan.

Assessment itu mencakup identifikasi bakat, manajemen, dan kepemimpinan yang ada dalam perusahaan, termasuk perusahaan keluarga. Berdasatkan tingkah laku, sikap, perilaku, dan pendapatnya juga akan diketahui nilai-nilai aspirasi, tujuan, dan impian hidupnya. Dalam perusahaan keluarga, aspek kepemilikan dan manajemen bisa di dalam satu genggaman, tapi bisa juga satu tangan menggenggam kepemilikan sementara tangan lainnya menggenggam manajemen. Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan keluarga menuntut perusahaan untuk mengakomodasi para profesional yang bisa menjadi komplemen bagi anggota keluarga yang sudah ada.

Banyak pemilik yang menerima anggota keluarganya bekerja di perusahaan tanpa mempertimbangkan kemampuan mereka dalam berkontribusi demi kemajuan perusahaan. Pemilik cenderung menutup mata terhadap kelemahan-kelemahan yang dimiliki anggota keluarganya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mencetak pemimpin-pemimpin masa depan melalui perencanaan suksesi yang matang.

Tahap mundurnya generasi senior atau pemilik/pendiri harus dilakukan secara elegan dan pasti. Ketidakpastian mundurnya generasi senior (maju-mundur) justru akan menyalakan gejolak generasi muda. Setiap pendiri dan pemilik perusahaan keluarga tentu mempunyai harapan agar perusahaan selalu kuat. Gaya hidup yang berbeda ini sering menimbulkan prasangka kurang komitmen dari pihak senior dan di lain pihak yunior menganggap generasi senior kurang memberi pengakuan.

Ada masalah kekurangpercayaan (distrust) yang bisa menimbulkan saling kecurigaan. Kecurigaan perlu dideteksi sejak dini agar tidak muncul segala macam pikiran buruk yang akan mengakibatkan hubungan kerja tidak berfungsi dengan baik. Manajemen puncak mungkin merasa semuanya baik-baik saja, tetapi nyatanya produktivitas menurun. Dengan survei akan diketahui akar permasalahan (root cause) yang sesungguhnya. Mengingat nilai kekeluargaan dan perasaan sungkan masih tinggi dalam perusahaan keluarga, maka pertemuan secara individu menjadi penting. Tiap perusahaan keluarga mempunyai keunikan atau kekhasan tersendiri, namun ada satu hal yang menjadi permulaan perbaikan yang merupakan fondasi yaitu perubahan harus dimulai dari atas.

Budaya dan lingkungan kerja yang transparan harus ditumbuhkan. Siapa yang bisa mengubah keadaan itu? Dalam hal ini, pemimpin harus memberikan keteladanan. Dengan memiliki struktur yang baik dan jelas maka tanggung jawab, wewenang, serta hak dan kewajiban setiap anggota keluarga yang mempunyai posisi dalam bisnis tersebut juga akan menjadi jelas.

Salah satu penghambat tercapainya kesuksesan pada bisnis keluarga adalah kurangnya tenaga profesional dari kalangan anggota keluarga. Setiap bisnis keluarga harus memiliki manajer dari kalangan profesional, baik sebagai penyeimbang maupun komplementer. Dengan menjunjung tinggi keadilan maka akan dapat menghindari konflik keluarga dan juga memperlancar berjalannya bisnis tersebut.

XV. P e n u t u p

Secara umm perusahaan keluarga akan melewati empat tahapan, yaitu Tahap Pengembangan (Developing Phase), Tahap pengelolaan (Managing Phase), Tahap Transformasi (Transforming Phase), dan Tahap keberlanjutan (Sustaining Phase). Perkembangan perusahaan keluarga bermula dari close-circle family atau immediate family sang pendiri. Pada perkembangan berikutnya, ketika perusahaan mulai tumbuh menjadi lebih besar dan kuat, generasi kedua dan extended family mulai masuk, bahkan menjadi the dynasty of family. Selanjutnya perusahaan keluarga mulai mengalami professional influx. Pada saat perusahaan mencapai kematangan dan stabil, peran profesional diperlukan untuk menangani perusahaan.

Tantangan yang dihadapi oleh generasi penerus berbeda dengan yang telah dihadapi pendahulunya. Apa yang dulu dianggap sebagai hal yang tepat, pada saat ini dan masa datang mungkin dapat menjadi ancaman terhadap eksistensi perusahaan. Manakala sebuah perusahaan mampu menangani dengan baik ketujuh isu khas berkaitan dengan perusahaan keluarga, di samping juga tujuh isu lain yang berkaitan dengan organisasi secara umum, maka perusahaan keluarga memiliki peluang yang lebih terbuka untuk terus tumbuh dan berkembang.

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh generasi penerus adalah memutuskan apakah ia ingin bergabung dengan perusahaan keluarga atau tidak. Proses pengambilan keputusan untuk bergabung atau tidak dengan perusahaan keluarga ini dapat menjadi pengalaman yang sulit dan menyakitkan.

Tekanan psikologis yang dihadapi oleh generasi penerus semakin berat manakala mereka telah mengambilalih kepemimpinan perusahaan keluarga dari generasi senior. Tekanan ini dapat menyebabkan mereka berubah pada saat menjadi pemimpin. Disadari maupun tidak, karyawan mengharapkan pemimpin mereka mencapai kesempurnaan yang tinggi. Jika pendiri adalah seorang yang sangat energik dan karismatik, karyawan mengharapkan hal yang sama dimiliki oleg henerasi penerus. Hal ini tentu akan menimbulkan tekanan bagi generasi penerus.

Tekanan psikologis ini bila tidak mampu diantisipasi dan dikelola dengan baik dapat menimbulkan kesulitan bagi individu, karyawan, keluarga, dan perusahaan. Tantangan dan tekanan psikologis seperti ini harus mampu diantisipasi oleh generasi penerus, karena memimpin sebuah perusahaan jelas bukanlah tugas yang ringan. Hal pertama yang harus dilakukan oleh generasi penerus pada saat mengabilalih kepemimpinan perusahaan keluarga adalah melakukan evaluasi, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap perusahaan.

Bila generasi penerus yang melanjutkan kepemimpinan dalam perusahaan mampu mengelola potensi konflik yang muncul dalam anggota keluarga dengan baik, maka keikutsertaan anggota keluarga lain dalam perusahaan juga dapat meningkatkan harmoni. Kebersamaan dan bahu-membahu dalam membangun perusahaan keluarga akan mempererat tali kekeluargaan. Pelibatan anggota keluarga dalam perusahaan, menuntut peran aktif dari yang bersangkutan. Peran penting yang harus dimainkan oleh anggota keluarga adalah menjadi agent of change. Jika bukan anggota keluarga yang memimpin perubahan, maka perubahan di perusahaan keluarga akan sulit terjadi.

Pengalaman generasi penerus bekerja di luar perusahaan keluarga sebelum bergabung dalam perusahaan keluarga, akan memberi nilai tambah. Generasi penerus yang bergabung dengan perusahaan keluarga yang memiliki pengalaman bekerja di tempat lain ternyata diterima dengan baik oleh para karyawan perusahaan keluarga. Generasi penerus yang mengambilalih kepemimpinan perusahaan keluarga harus bersedia untuk mendengarkan dan menghargai sudut pandang orang lain, seperti karyawan dan anggota keluarga. Ini mensyaratkan pemahaman terhadap diri sendiri dan orang lain erta kesiapan untuk berefleksi.

Generasi penerus jangan sampai terjebak dengan semata-mata membagi para karyawan perusahaan menjadi kelompok pendukung dan penentang. Pembagian seperti ini menghasilkan budaya ketakutan dan kecurigaan dalam perusahaan. Bagi generasi penerus, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga hubungan tetap baik dengan generasi pendahulu, dalam hal ini orang tua atau anggota keluarga senior yang lain, namun pada saat yang sama tertap mempertahankan sikap dan pandangan yang diyakininya serta mampu mengambil keputusan berdasarkan hasil pemikirannya sendiri yang diyakininya dapat menghasilkan hal yang terbaik bagi kemajuan bisnis perusahaan.

Generasi penerus perlu memiliki sikap asertif, yaitu bersikap obyektif terhadap berbagai isu atau masalah yang dihadapi, mengemukakan argumentasi yang logis, serta mampu mengungkapkan gagasan, usulan, dan ide secara strategis dan persuasif tanpa menyinggung perasaan orang lain, tanpa sikap emosional, meledak-ledak, atau berperilaku buruk lainnya. Ada kalanya generasi muda memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan keluarga sebagai cara cepat dan mudah untuk mendapatkan pekerjaan di tengah sulitnya lapangan kerja saat ini. Namun perlu diingat bahwa jika generasi penerus ini tidak memiliki kompetensi yang memadai, tidak memiliki kemauan untuk terus belajar dan bekerja keras, serta tidak memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain, maka cepat atau lambat ia akan mendapatkan kesulitan.

Untuk memastikan bahwa seluruh anggota keluarga dan karyawan non-keluarga yang bekerja dalam perusahaan adalah orang-orang yang qualified, maka generasi penerus yang mengambilalih kepemimpinan perusahaan keluarga juga perlu melakukan perencanaan pengembangan dan jalur karir (career development and path planning).

Perusahaan keluarga menawarkan sebuah peluang bagi tersalurkannya kreativitas para anggotanya, walaupun generasi muda tidak lagi dihadapkan pada tantangan yang sama dengan yang dihadapi oleh orang tua mereka pada saat mulai merintis dan membangun perusahaan keluarga. Justru tantangan yang semakin besar yang dihadapi generasi penerus dalam menjalankan roda kepemimpinan perusahaan keluarga dapat mendorong lahirnya ide-ide dan inovasi baru sehingga perusahaan memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

Tantangan yang dihadapi oleh generasi penerus, yaitu menjadikan perusahaan keluarga menjadi perusahaan yang profesional yang akhirnya menjadi perusahaan berkelas dunia dan sekaligus mematahkan mitos yang salam ini terkenal melekat dalam perusahaan keluarga, yaitu “generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati, dan generasi ketiga menghancurkan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar