Minggu, 27 September 2009

MATARAM ISLAM DAN VOC
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Sebelum Portugis merebut Malaka, dalam masa puncak ramainya perdagangan, Pires menaksir ada lima kapal setahun berlabuh di Malaka yang membawa tekstil dari Gujarat, seluruhnya bernilai 165.000 cruzado. Empat kapal dari Malabar yang bermuatan serupa senilai 47.000 cruzado, dua kapal dari Pulikat bermuatan senilai 127.000 cruzado, dua kapal dari Benggala bermuatan senilai 120.000 cruzado. Dalam setahun, Malaka menghimpun dagangan tekstil senilai 459.000 cruzado. Tidak mengherankan kalau Pires merumuskan bahwa barangsiapa menguasai Malaka, maka ia telah mencekik kerongkongan Venesia, menguasai jalur Malaka-Cina, Cina-Maluku, Maluku-Jawa, dan Jawa-malaka-Sumatera.

Sejak 1377, ketika Majapahit mengukuhkan kekuasaannya di Palembang dan Jambi, banyak penduduk yang berasal dari Jawa datang ke Singapura dan pantai Malaka, sehingga daerah ini lebih ramai daripada Pasai. Tidak lama kemudian mereka tercerabut dari akar budaya mereka, dan mereka pun bergaul dengan pedagang Muslim yang bersemangat dari Gujarat, sehingga mereka dengan mudah memeluk Islam. Tidak mengherankan bahwa Jawa sangat berpengaruh di Malaka, kendati yang berkuasa di sana adalah Dinasti Melayu.

Menurut Barros, menjelang 1511, kota Malaka terdiri dari dua bagian, Upih dan Ilir, semuanya di bawah pemerintahan orang Jawa. Di Upih diam pedagang dari Tuban, Jepara, Sunda, dan Palembang, dengan kepalanya seorang Jawa, bernama Utimutiraja. Di Ilir tinggal pedagang dari Gresik, dengan kepalanya Tuanku Laskar. Itulah sebabnya mereka yang mengharapkan agar kerajaan di Jawa, Majapahit, datang menyerang Malaka. Kenyataannya, serangan itu bukan datang dari Majapahit, tetapi dari penguasa yang sudah beragama Islam di pesisir utara Jawa, khususnya Patih Unus yang tunduk pada kekuasaan Sultan Trenggono. Serangan ini gagal.

Ketika permintaan orang Jawa di Malaka tiba di Jawa, konon Raja Daha malah mengirim duta ke Malaka pada 1512, sebagaimana dicatat oleh De Castanheda. Sejak 1514, Portugis tak pernah lagi menyebut raja Jawa. Mungkin penguasa pesisir utara yang Islam telah menghancurkannya, kecuali Blambangan di ujung timur Jawa yang jatuh pada akhir abad ke-17. Demak yang oleh Pires masih disebut dipimpin oleh Pate Rodim (Raden Patah) tetapi menurut sumber sejarah Jawa oleh Pangeran Tranggono, konon sudah kehilangan hampir segalanya dalam penyerbuan ke Malaka yang gagal di bawah pimpinan Patih Unus, 1512. Menurut Pires, Demak menanggung biaya sekitar 100.000 cruzado dalam penyerbuan tersebut. Demak biasanya menjual beras dan bahan makanan lain ke Malaka dengan 40 yung sekali berangkat. Setelah penyerangan yang gagal itu, Demak tidak mampu lagi mengerahkan sekali pun Cuma 10 yung. Di Demak sendiri sudah tak ada lagi yung, kendati masih ada barang 30.000 prajurit, dan 10.000 lagi di Palembang.

Demikian telak kerugian Demak rupanya sehingga Pires berkata bahwa sudah tiga atau empat tahun terakhir Demak berhenti berdagang. Pires memperkirakan, jika Demak tidak minta ampun ke Malaka, lalu memohon agar dijadikan vasal Portugis, maka pasar akan tertutup sama sekali bagi barang-barang Demak, dan Demak akan betul-betul jatuh bangkrut. Para pedagang katanya sudah beberapa lama mulai meninggalkan negeri itu, dan gejala itu akan makin parah jika pasar bagi Demak belum terbuka juga. Apa yang dilakukan oleh sekitar 40.000 prajurit Demak, menurut Pires, bala tentara itu sibuk menggempur pedalaman, mencoba menghancurkan kekuasaan Majapahit.

Mungkin sudah sejak lama sebelum 1527 Majapahit berkali-kali diserang oleh pasukan pantai utara yang beragama Islam. Serangan yang mematikan konon dipimpin oleh Sunan Kudus. Ia merupakan Penghulu Demak yang kelima, jabatan yang dipangku secara turun temurun.

Perluasan ke Jawa Barat dilakukan oleh Sunan Gunung Jati, menurut sumber Jawa, Nurullah alias Syekh Ibnu Maulana (menurut Husein Djajadiningrat), Falatehan atau Tagaril (menurut Portugis). Ekmungkinan besar ia merupakan putra Pasai. Ketika Portugis menaklukkan Pasai pada 1521, Falatehan pergi naik haji, lalu memakai nama Nurullah. Pulang dari Mekkah, 1524, Nurullah tidak ke Pasai yang sudah dikuasai oleh Portugis, tetapi ke Demak. Terkenal sebagai Syekh Ibnu Maulana, ia kawin dengan saudara perempuan Sultan Tranggono. Dia mendorong Tranggono agar menerima gelar sebagai sultan. Tidak lama sesudah itu, boleh jadi Falatehan diminta oleh iparnya mendirikan suatu kerajaan Islam di negeri Pajajaran. Maka berangkatlah Sunan Gunung Jati ke Banten pada 1525. Sesudah itu, pada 1527, ia menguasai lagi satu desa pelabuhan milik Pajajaran, yaitu, Sunda Kelapa. Setelah Tranggono wafat, 1546, Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon, yang dijadikan pusat kerajaannya yang merdeka dari Demak. Banten diserahkan kepada anaknya, Hasanuddin.

Kendati tidak sepenuhnya dapat diandalkan kebenarannya, sumber-sumber sejarah Jawa dapat memberi gambaran umum mengenai perkembangan Demak. Sementara memperluas kerajaannya sampai ke Pajajaran, Singosari, Pasuruan, dan Panarukan, konon Tranggono tewas dalam penyerangan ke Pasuruan, 1546. Kekuasaannya diperebutkan antara adiknya, Pangeran Sekar Seda ing Lepen (wafat di tepi kali) dan anak Tranggono sendiri, Pangeran Prawoto. Pangeran Prawoto berhasil membunuh pamannya di tepi kali sehingga ia dapat menggantikan ayahnya. Namun demikian, tidak berapa lama kemudian Pangeran Prawoto dan seluruh keluarganya dibunuh oleh sepupunya, yaitu Arya Penangsang, anak Seda ing Lepen.

Rupanya para penguasa yang mengaku tunduk pada Demak tak menerima baik kekuasaan Arya Penangsang. Sebabnya barangkali, ia dianggap kejam, antara lain membunuh Adipati Jepara yang dihormati. Akibatnya, istri Adipati Jepara, Ratu Kalinyamat, yang juga merupakan ibu angkat bagi salah seorang anak Sunan Gunung Jati, melancarkan perlawanan. Ratu Kalinyamat dibantu oleh sejumlah adipati lain. Salah satu dari mereka ialah Adiwijoyo, Adipati Pajang (Boyolali). Ia menantu Tranggono, jadi masih paman bagi Arya Penangsang. Adiwijoyo, alias Jaka Tingkir, berhasil mengalahkan Arya Penangsang, 1565. Jadi, sejak Tranggono wafat pada 1546, Demak dirundung pertumpahan darah dan kekacauan selama 22 tahun.

Demak lenyap lalu digantikan dengan Pajang yang didirikan oleh Adiwijoyo alias Jaka Tingkir pada 1568. Pajang bertahan selama 18 tahun, jadi sampai 1586. Salah seorang yang berjasa dalam hal itu ialah Sunan Giri. Berkat pengaruhnya, kekuasaan Pajang diakui oleh hampir semua adipati di Jawa. Pembantu lain yang setia kepadanya ialah Kiai Ageng Pamanahan. Sebagai balas jasa, Pemanahan dijadikan penguasa Mataram di Kota gede yang sekarang. Rupanya, ia berhasil memajukan Mataram, kendati cepat meninggal pada 1575. Anaknya, Sutowijoyo, menggantikannya. Karena ahli perang, Sutowijoyo digelari Senapati ing Alaga.

Sementara itu Adiwijoyo wafat, 1582. Ia digantikan oleh putranya Pangeran Benowo, namun tak lama kemudian Benowo disingkirkan oleh sepupunya, anak Prawoto, yakni Arya Pangiri. Benowo sempat minta bantuan kepada Senapati ing Alaga (Sutowijoyo) untuk merebut tahtanya kembali dari Arya Pangiri. Tidak lama kemudian Arya Pangiri berhasil dikalahkan, tetapi Benowo tidak mampu menandingi kewibawaan Sutowijoyo. Benowo terpaksa mengakui kekuasaan Mataram.

Kekuasaan Sutowioyo ditegakkan lewat pertarungan melawan adipati-adipati pesisir. Surabaya coba ditaklukkan pada 1586, tetapi tidak berhasil. Hal yang serupa terjadi dengan Panarukan dan Blambangan. Walaupun demikian Surabaya bersedia mengakui wibawa Sutowijoyo. Lain halnya dengan Madiun dan Ponorogo, yang berhasil ditundukkan pada 1587. Delapan tahun kemudian, 1695, ketika kekuatan yang lebih hebat daripada Portugis sedang menuju Nusantara, Senapati berhasil menundukkan Cirebon dan Galuh (Pajajaran). Pada tahun itu juga, Pati dan Demak mencoba menyerbu Mataram, tetapi dikalahkan. Dua tahun sesudahnya, 1601, Senapati wafat. Ia digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Panembahan Seda ing Krapyak. Selama tiga tahun pemerintahannya, Mataram sempat goyah akibat perlawanan para penguasa pesisir. Melihat keadaan itu Surabaya ikut berontak pada 1612. Mas Jolang menyerbu seraya menghancurkan Mojokerto, tetapi tahun berikutnya, 1613, Mas Jolang wafat.

Mas Jolang digantikan oleh Adipati Martapura yang sakit-sakitan. Tidak berapa lama ia digantikan oleh Raden Rangsang. Ternyata Raden Rangsang seorang yang kuat. Ia menyandang gelar Sultan Agung, yang memerintah Mataram selama 32 tahun, 1613-1645.