MATARAM ISLAM DAN VOC
Sang Kumpeni dari Jauh
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Sejak abad ke-12 dan ke-13, teknologi transportasi dan organisasi dagang Eropa telah maju melawati Asia. Penggunaan rumus astronomi untuk mengetahui lintang dan bujur, kompas yang berasal dari Cina, dan peta yang cermat, sudah berkembang. Selama abad ke-13, semua kapal di Eropa sudah menggunakan teknik kemudi (rudder), bukan lagi dayung pengarah (steering oars). Akibatnya, kapal dapat melayari samudera yang ganas, juga kapal yang lebih besar. Selain itu, pola kapal yang disebut galley lewat sudah. Dengan pola tersebut, hampir seluruh ruang kapal habis terpakai oleh pendayung, sehingga tak bisa diisi dengan banyak barang. Juga dengan makin ramainya kapal besar, maka teknologi pelabuhan berkembang pesat.
Khusus mengenai teknologi perkapalan Belanda, penggunaan kapal berlunas datar (barge) saja sudah memungkinkan pedagang Belanda menggeser supremasi semua pusat perdagangan lain di Eropa. Karena kemampuan kapal itu mengangkut barang dalam curah besar (bulk), maka pelayaran Belanda mampu memanfaatkan perubahan dagang dunia dari barang mewah, seperti emas, perak, gaharu, cendana, ke barang biasa, seperti rempah-rempah dan tekstil.
Di bidang organisasi, perdagangan internasional berhasil mendorong hilangnya penguasa perampok (robber barons). Hal itu dicapai dengan menyadarkan para pangeran bahwa majunya perdagangan merupakan syarat kemakmuran diri dan penduduk daerahnya. Para pangeran malah rela meniadakan berbagai macam cukai (tolls) dan hak merampas barang terdampar (right of wreck-age). Bahkan banyak perjanjian diadakan antarpenguasa untuk menjamin kebebasan pedagang, terutama dari kewajiban membayar utang atau hukuman akibat perbuatan teman pedagang senegerinya. Untuk menarik para pedagang mancanegara, para pangeran membentuk pasar malam (fairs). Karena ramainya pasar malam, para pedagang mancanegara merasa perlu punya tempat tinggal tetap di berbagai kota. Akibatnya kota ramai, kebudayaan dari satu daerah berbaur dengan daerah lain. Dengan terkenalnya pasar malam Champagne di Perancis, misalnya, kebudayaan negeri itu menyebar ke segala penjuru Eropa.
Para pedagang makin ramai menjamin kebebasan dan keselamatan usaha mereka. Maka terbentuklah berbagai gilda pedagang (company) mancanegara. Liga Pengangkutan Dagang Paris, misalnya, menjamin pengangkutan dagang yang aman sepanjang Sungai Seine. Liga Dagang London-Flander menjamin keamanan perdagangan kain wol antara London dan Belgia. Salah satu liga dagang terpenting adalah Liga Hansea (Hanseatic League), yang diikat oleh kota-kota se-Eropa untuk melindungi keamanan dan kebebasan pedagang. Liga tersebut mencakup Lubeck, Hamburg, Brugge, London sampai Novgorod di Rusia. Jalur perdagangan liga tersebut menjadi sangat makmur tak tertandingi.
Dengan makin majunya perdagangan internasional, pedagang kaya mulai capek berkelana sehingga timbul para agen (factor dan kantor) di berbagai kota. Muaranya, berkembang organisasi industri di perkotaan, mulai dari kerajinan, percetakan, pabrik tekstil, peralatan, dan senjata. Timbul juga berbagai lembaga baru seperti asuransi, bank. Berbarengan dengan semakin giatnya kota-kota di Eropa dalam perdagangan, seperti halnya Venesia, kekuasaan politik pun bergeser dari para bangsawan ke para pedagang. Hal ini terutama terjadi di Eropa bagian utara, di mana para penguasa, tuan tanah, tidak ikut pindah ke kota.
Berbeda dari pedagang Nusantara, pedagang di kota-kota Eropa berhasil membangun lembaga peraturan yang tidak merugikan mereka. Misalnya saja, aturan yang bernama regrating dan forestalling. Peraturan yang tersebut pertama melarang pedagang perantara membeli dan menjual barang di kota yang sama, yang tersebut kedua melarang pedagang membeli barang di luar kota sebelum sampai di kota. Itu berarti barang harus dijual di kota langsung kepada penduduk, sehingga terjaminlah kehidupan kota dan industrinya. Juga ada aturan tentang harga yang adil (justrum pretium). Jadi, berbagai rambu organisasi itu yang didukung oleh kekuasaan negara, membuat para pedagang menjadi tangguh, hal yang tidak berkembang di kalangan pedagang Nusantara masa itu.
Sebagai liga atau serikat, para pedagang Belanda mewakili organisasi mereka, Sang Kumpeni dari Jauh (de Compagnie van Verre). Mereka datang dengan empat kapal milik Perhimunan Pedagang Amsterdam. Setelah berlayar selama 15 bulan, mereka tiba di pelabuhan Banten pada 22 Juni 1596. Keterangan berikut yang dinukil oleh JC van Leur dari laporan GP Rouffaer dan JW Ijzerman mengenai pelayaran itu coba menggambarkan susana dagang tersebut:
Begitu sesak kapal dengan kedatangan orang Jawa dan bangsa lain seperti Turki, Cina, Bengali, Arab, Parsi, dan Gujarat, dan yang lain sehingga sulit bergerak. […] Mereka … datang begitu ramainya sehingga setiap bangsa mengambil tempat sendiri dalam kapal untuk memajang barang dagangan mereka, sama seperti di pasar. Pedagang Cina membawa beragam sutera, yang ditenun maupun tidak, dirajut maupun tidak, dengan gerabah yang cantik, dan bermacam barang aneh lain. Pedagang Jawa membawa ayam, telur, bebek, dan bermacam buah-buahan. Arab, Moor, Turki, dan bangsa lain membawa apa saja yang mungkin dibayangkan.
Proses perubahan dari sekedar gabungan atau liga pedagang menjadi organisasi yang tetap VOC (Vereenigde Oost Indsche Companie) cukup rumit. Ketika itu, Nederland terdiri dari 17 provinsi, termasuk Belgia yang sekarang, tetapi kemudian hanya tujuh provinsi sebelah utara, sedang terlibat Perang 60 Tahun (1566-1648) melawan Spanyol. Pokok sengketa adalah tindakan Spanyol yang beragama Katolik di bawah Philip II terhadap nederland yang mulai pindah agama ke agama Kristen Protestan (Calvinis), dianggap sangat sewenang-wenang. Pada 1580, ketika Philip II juga menjadi raja bagi Portugis, para pedagang Belanda mulai dilarang melakukan transaksi yang biasa di Lisbon dan pelabuhan Portugis yang lain. Pelayaran yang dipimpin Cornelis de Houtman ke Nusantara pada 1595 merupakan salah satu percobaan Belanda menerobos ketidakpastian akibat politik Philip II itu.
Demikianlah kejadiannya maka pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara, Cuma dengan tiga kapal, 1595, hanya merupakan percobaan. Dalam lima tahun setelah de Houtman kembali ke Nederland, 1597, terhitung tak kurang daripada 65 kapal dagang yang dikirim ke Nusantara, cuma 54 kembali. Selama itu, berbagai kota dagang di nederland yang ikut dalam upaya pelayaran tersebut terlibat saling persaingan yang sengit. Setiap wilayah, seperti Friesland, Holland Utara, Holland Selatan, memberangkatkan rombongan kapal sendiri. Nederland bagian udik, yang berbatasan dengan Jerman, menolak ikut. Demikian runyamnya persaingan tak sehat dalam negeri Nederland ketika itu, sehingga Boxer melukiskannya sebagai berikut:
Golongan Calvinis militan memonopoli … jasa dalam membentuk suatu bangsa Belanda di bawah rahmat Tuhan, namun demikian hal itu tidak mencegah mereka memperlakukan saudara sebangsanya yang beragama Katolik sebagai warganegara kelas dua dan calon pengkhianat. Demikian juga sikap mereka terhadao golongan Protestan yang lain. Sikap memandang rendah saudara-saudaranya sebangsa oleh sekelompok yang merasa diri dipilih oleh Tuhan menimbulkan kedengkian yang meluas di kalangan mereka yang direndahkan itu
Untuk mencegah perkelahian antarkelompok dan kerugian dagang, maka dibentuklah organisasi perdagangan yang tetap untuk Nusantara (VOC), 20 Maret 1602. Dalam mukadimah anggaran dasarnya (octrooi) yang dirumuskan oleh Parlemen (Staten Generaal), hal itu dengan jelas tertulis. Dikatakan, VOC dibentuk untuk mencegah kerugian, kesulitan dan bahaya yang muncul dari persaingan antara kelompok dagang Zeeland, Maas, Holand, dan Friesland Barat, dalam upaya melaksanakan pelayaran yang baik dan terhormat, perdagangan, dan perkapalan ke Nusantara.
Octrooi VOC berlaku selama 21 tahun, dan sesudah itu dapat diperbarui. Terdapat 46 pasal dalam Octrooi itu, dua di antaranya (pasal 34 dan 35) secara eksplisit menetapkan hak monopoli VOC. Ditetapkan, kecuali VOC, siapa pun juga dilarang melayari lautan antara Tanjung Harapan (Cape de bonne Esperance, Kaap de Goode Hoop) ke sebelah timur sampai Selat Magelhaens (Strate van Magellanes), dengan ancaman sepuluh muatan dan kapalnya disita untuk VOC, atas nama Parlemen Nederland, VOC diberi kekuasaan mengikat hubungan dan mengadakan perjanjian dengan semua penguasa, mendirikan benteng, memelihara angkatan bersenjata, dan melaksanakan pemerintahan.
Pasal-pasal lain, khususnya yang lebih awal, menetapkan pemegang saham VOC terdiri dari enam kamar dagang, yaitu Amsterdam, Zeeland (Middelburg), Maas (Rotterdam dan Delft), Holland Utara, dan Friesland Barat (Hoorn dan Enkhuizen). Separuh saham ditanggung oleh Amsterdam, seperempat oleh Zealand, dan seperdelapan masing-masing oleh Maas dan Holand Utara-Friesland Barat. Keenam kamar dagang itu diwakili oleh 17 orang (de Heeren XVII), terdiri dari 8 orang untuk Amsterdam, 4 untuk Zealand, 2 masing-masing untuk Maas dan Holland Utara-Friesland Barat, serta seorang secara bergilir dari Zeeland, Maas, Holland Utara-Friesland Barat. Masyarakat luas boleh ikut serta menenam saham lewat tiga jenis saham, yaitu, peserta utama (hoofd-participanten), peserta biasa (participanten), dan peserta lelang (anticipatiepenningen). Peserta utama punya hak suara, tetapi peserta biasa diwakili oleh peserta kepala. Peserta lelang hanya menanam uang sampai barang yang dibeli dengan uang itu dilelang.
Gagal menghentikan ekspansi dagang Belanda di Afrika, Hindia Timur dan Barat, serta Amerika, dan hanya lima tahun setelah perdamaian dengan Inggris, Spanyol menerima tawaran perdamaian sementara dengan Belanda yang ditandatangani di Antwerpen, 1609. Belanda setuju menghentikan Persatuan Dagang Belanda untuk Hindia Barat, dan menghentikan permusuhan di Afrika dan Asia. Sebaliknya, Spanyol-Portugis setuju mengakui Republik Persatuan Belanda, dan mengizinkan pedagang Belanda beroperasi kembali di pelabuhan-pelabuhan Spanyol-Portugis.
Akibat perdamaian itu, yang berlangsung sampai 1621, perdagangan Nederland di Eropa meningkat kembali, tetapi di Asia merosot dalam sekali. Sesuai dengan Perjanjian Antwerpen 1609, Belanda tak boleh lagi mengganggu kedudukan dan milik Portugis-Spanyol. Dengan demikian Belanda terkucil dari perdagangan sutra Cina, kulit manis Ceylon (Sri Lanka), dan tekstil Malabar. Keadaan itu masih bisa ditolerir karena Belanda tidak punya pangkalan di daerah tersebut. Lain halnya dengan wilayah Coromandel (pantai timur India). Sejak 1605 Belanda sudah memiliki gudang di Masulipatnam, tetapi tetap saja Belanda tak boleh membeli kain katundi sana karena daerah penghasilnya dikuasai oleh Portugis. Hal itu menurunkan perdagangan Belanda dengan Maluku sampai titik terendah, karena rempah-rempah daerah itu biasa ditukar dengan kain katun.
Pada 1612 Belanda diam-diam menerobos ke arah selatan Masulipatnam, dan mendrikan gudang baru di Pilicat. Ketika Portugis mencoba menghancurkan gudang itu, Belanda segera membangun benteng, yang disebut Geldria. Sejak itu Belanda menguasai kembali perdagangan kain katun dan rempah-rempah di Maluku. Pertempuran demi pertempuran pecah melawan Portugis, Spanyol, dan Inggris. Belanda berusaha keras mengusir musuh-musuhnya dari seluruh benteng mereka, sebagaimana dulu pada 1600 Steven van der Hagen sempat membangun benteng di Hatu Nuku, Pulau Hitu, setelah gagal merebut benteng Portugis di Leitimor. Solor, sumber kayu cendana yang termasyhur itu, digempur dan dikuasai.
Akhirnya, pada 1614, Parlemen Nederland menyatakan berakhirnya Perjanjian Antwerpen. Parlemen menyetujui naiknya bantuan tahunan bagi VOC di Nusantara menjadi 200.000 gulden berikut lima lagi kapal tempur. Sampai 1617, VOC telah memiliki sekitar 20 benteng yang terbentang dari Coromandel ke Maluku yang dihubungkan dengan sekitar 40 kapal. Kapal sebanyak itulah yang bergelandangan sekitar benteng-benteng tersebut, dan setiap kapiten kapal melakukan transaksi ekonomi tanpa pengawasan, malah bersaing keras sesama mereka.
Ketika pedagang Belanda pertama kali datang di Nusantara, sudah beredar mata uang perak Spanyol (reaal) berkat kegiatan Portugis. Ketika itu, 1594, satu real (reaal) dinilai sama dengan dua gulden 25 sen (2 dulden en 5 stuivers). Ini pun konon karena kesalahan Belanda menghargai real lebih tinggi di Nusantara daripada di Nederland. Sejak 1603, satu real dinilai sama dengan dua gulden 30 sen, dan pada 1622 senilai dua gulden 40 sen. Uang receh (caixa) hampir sama lebarnya dengan satu duit Belanda tetapi yang tebalnya hanya separuh. Satu rendengan berisi 200 receh, yang disebut satu satta, lalu 50 satta sama dengan satu farde, dan 10 farde sama dengan satu kati uang receh (caixa), sedang satu kati uang receh dinilai sama dengan 8 reaal.