MATARAM DAN KOMPENI BELANDA
Awal Silang Sengketa
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Mataram sejak awal memandang VOC bersekongkol dengan Banten, Inggris, dan Pangeran Jayakarta, tetapi tiga pihak tersebut terakhir ini sebenarnya dianggap habis ditipu oleh VOC. Untuk memperoleh tanah, misalnya, kapal Belanda mula-mula memasuki pantai, dengan kaptennya sengaja memakai sorban sebagai orang Arab. Ia ditemani pula oleh beberapa orang Koja (orang-orang Coromandel). Setelah berhasil masuk, diamd-aim di kapten sengaja melubangi lunas kapal sehingga tenggelam. Dengan dalih menunggu perbaikan kapal itulah ia memohon diberi sebidang tanah untuk membangun pondok darurat. Setelah diberi, di balik benteng tanah yang sengaja dibangun telah dipersiapkan meriam-meriam. Pasukan Jayakarta menggempurnya, sampai Belanda kehabisan mesiu. Mereka terpaksa menggunakan segala benda yang bisa dilemparkan, termasuk kotoran manusia yang dimasukkan dalam karung. Itulah konon sebabnya, kota itu terkenal sebagai Kota Tai.
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam Bab II, Mataram makin jaya di bawah kepemimpinan Sutowijoyo dengan gelar Senapati ing Alaga sehingga Surabaya bersedia mengakui wibawa kekuasaannya, 1586. Sepuluh tahun kemudian, 1595, Senapati berhasil menundukkan Cirebon dan Galuh (Pajajaran). Pada tahun itu juga, Pati dan Demak mencoba menyerbu Mataram, tetapi dikalahkan. Dua tahun sesudahnya, 1601, Senapati wafat. Ia digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Panembahan Seda ing Krapyak.
Selama tiga tahun pemerintahan Mas Jolang, Mataram sempat goyah akibat perlawanan para penguasa pesisir. Melihat keadaan itu Surabaya ikut berontak pada 1612. Mas Jolang menyerbu seraya menghancurkan Mojokerto dan merebut Gresik pada 1613. tahun itu juga Mas Jolang wafat di Krapyak, makanya ia diberi gelar Panembahan Seda ing Krapyak. Mas Jolang digantikan oleh Adipati Martapura yang sakit-sakitan. Tidak berapa lama Adipati Martapura digantikan oleh putra Mas Jolang yang sulung dari perkawinannya dengan putri dari Pajang. Putra sulung itu bernama Raden Rangsang. Ia memerintah Mataram selama 32 tahun, 1613-1645, dan sesudah wafat diberi gelar Sultan Agung. Raden Rangsang tidak hanya berusaha menundukkan kekuasaan lokal lain di Jawa, tetapi juga berjuang mengusir Belanda dari Jayakarta, 1628-1629.
Pada tahun-tahun awal kekuasaannya, Raden Rangsang masih menjalin kerjasama dengan VOC. Mataram mengizinkan VOC membuka loji baru di jepara, setelah lojinya di Gresik ditutup pada 1615. Sebaliknya VOC membantu Mataram menangkis serangan balik dari Surabaya dan Madura, juga ketika menyerang kembali Surabaya kemudian. Pada 1616, Mataram merebut Lasem, yang sebelumnya digunakan oleh pasukan Surabaya-Madura sebagai pintu penyerangan ke jantung Mataram di ibukotanya, Kerta. Setahun kemudian Pasuruan ditaklukkan, dan adipatinya lari ke Surabaya. Nasib yang serupa juga menimpa Pajang pada 1618, tetapi lebih dari itu Pajang diratakan dengan tanah, sedang rakyatnya ditawan dan digiring ke Mataram. Pada 1619 Tuban direbut oleh Mataram dan diratakan juga dengan tanah.
Sejak 1618, sikap Raden Rangsang terhadap VOC mulai berubah. Dua tahun sebelumnya VOC berkali-kali mengirim dutanya ke Mataram untuk merundingkan keadaan Jepara. Menurut Raden Rangsang, praktik perdagangan VOC di Jepara penuh penipuan, padahal mereka harus tunduk kepada Mataram selama berdiam di wilayah kekuasaannya. Karena VOC tidak dapat menerima hal itu, Mataram menggempur Jepara, 1618, menawan pegawai VOC dan membunuh yang lainnya. Kemudian Raden Rangsang berkali-kali memaksa pegawai VOC yang ditawan itu menjadi Islam, antara lain dengan jalan menyuruh mereka disunat.
VOC segera membalas perlakuan Mataram terhadap lojinya di Jepara. VOC menyerbu kota itu, yang pertama pada 1618, yang kedua setahun kemudian, setelah Jayakarta diresmikan jadi Batavia. Pos dagang Inggris di sana dihancurkan, sedang pedagang Cina dipaksa pindah ke Batavia. Pada 1619 itu juga, JP Coen mendirikan pos dagang kembali di Gresik, dan menjanjikan bantuan kepada Surabaya untuk menghadapi Mataram. Penyerangan oleh pasukan Pengeran Jayakarta, tetapi tidak sungguh-sungguh, sementara Inggris tidak juga menyerang. Setelah dua minggu dikepung, pada 19 Januari 1619, Pangeran Jayakarta menawarkan syarat perlindungan baru, yakni VOC membayarnya 6.000 real, tetapi benteng harus dibongkar. Untuk berunding Pangeran Jayakarta diizinkan masuk. Namun, buntutnya, pasukan pangeran malah menawan komandan benteng, Pieter van den Broecke. Tebusannya diminta 10.000 real dan dua senapan.
Menghadapi hal ini, komandan pengganti di benteng, Pedagang kepala (Opperkoopman) Pieter van Raeij, mengikuti petunjuk Coen sebelum menyingkir ke Maluku. Ditetapkan, 30 Januari benteng akan diserahkan kepada Inggris, sedang segala isinya kepada Pangeran Jayakarta. Ini berarti adu domba. Betul juga. Ranamanggala marah dengan keputusan itu. Pasukannya menawan keluarga Pangeran Jayakarta dan membawa tawanan Belanda ke Banten. Benteng, yang resmi sudah di bawah kekuasaan Inggris tetap aman. Malah pada 15 februari 1619 diadakan pesta-pesta sambil memberi nama Batavia untuk Jayakarta. Barangkali, Ranamanggala ingin menunggu Coen kembali untuk ditangkap sendiri kalau Inggris tidak bertindak.
Pada 29 Maret 1620, JP Coen meresmikan batas-batas wilayah kekuasaan VOC sekitar Batavia. Batas wilayah ini, yang pengelolaannya diserahkan kepada suatu instansi keamanan semacam sherif (Bailluw), di sebelah barat adalah Kerajaan Banten, selatan adalah Laut Selatan, timur adalah Kerajaan Cirebon, dan utara adalah semua pulau yang berada di antara garis luar wilayah tadi jika ditarik secara imajiner sampai sejauh-jauhnya Laut Jawa. Sementara itu dua bangunan lama dalam benteng di Kota Tai dibongkar, ditukar dengan empat bangunan baru: Intan, Mutiara, Safir, dan Robin (Diamant, Parel, Saffire, Robijn). Sejak itu Kota Tai berubah menjadi Kota Intan.
Sementara itu, kecuali beberapa ratus penduduk Banda Neira, pada 11 Maret 1621, Banda Neira resmi tunduk di bawah kekuasaan VOC, setelah terjadi pertempuran selama hampir dua minggu. Banyak penduduk Banda yang tewas bertempur atau memilih bunuh diri, tetapi ratusan yang ditangkap dan dirantai oleh Coen, lalu dibawa ke Batavia, mula-mula sebagai budak, kemudian dibebaskan. Peristiwa Banda ini oleh pihak belanda kemudian sering disesali sebagai malapetaka atau tragedi (de tragedie van Banda). Peristiwa berdarah ini berkaitan dengan tekad JP Coen untuk memonopoli perdagangan pala, tetapi mungkin juga balas dendam. Pada 22 Mei 1609, Coen yang baru berusia 22 tahun dan berpangkat onderkoopman hampir mati di Banda ketika rakyat Banda menyerang sepasukan serdadu VOC yang dipimpin oleh Verhoeff. Ketika itu Belanda sedang membangun Benteng Nassau, tetapi rakyat Banda menentangnya. Dalam peristiwa itu tercatat 46 serdadu Belanda tewas, dan 29 terluka.
Kendati VOC berhasil memaksa rakyat Banda mengakui monopolinya atas pala, Inggris yang bermarkas di Pulau Run, dan juga Portugis, berhasil membujuk rakyat Banda menyelundupkan pala mereka. Hal itu berlangsung sampai 14 Februari 1621, ketika JP Coen muncul di sana dengan 16 kapal, 36 perahu Jawa, dan 1.000 serdadu. Walalupun Belanda dan Inggris sudah mengakhiri perang ekonomi mereka pada 1617, Inggris masih berusaha membangkitkan perlawanan rakyat Banda terhadap JP Coen. Perang ekonomi itu berupa larangan Inggris atas ekspor tekstil kasar, termasuk ke Belanda, dengan maksud melumpuhkan industri tekstil Belanda yang mengolah tekstil kasar dengan kelupan warna bermutu tinggi, oleh Inggris disebut Proyek Cockayne, di satu pihak dan larangan Belanda atas impor semua tekstil celupan (dengan alasan mutu rendah, berarti tekstil Inggris) di pihak lain. Konon, sebelum Coen tiba di Banda Neira, Inggris telah mengajari rakyat agar menuntut penjanjian yang baru kepada Coen, dan juga memberi senjata. Menjelang tiba, seorang pembesar dari Hitu mencegat JP Coen untuk mengajukan perjanjian baru. Coen dongkol dan langsung menolak, tetapi kemudian bersedia, dan ia meminta pembesar itu agar mau jadi pemandu.
Tiba di Banda Neira, Coen menuntut persyaratan baru pula atas kontrak tersebut. Tuntutan itu, agar demi keamanan, VOC diberi hak membangun benteng-benteng di mana perlu di seluruh pulau. Rakyat Banda menolak sehingga terjadi pertempuran selama 4 hari (8 sampai 11 Maret 1621). Ratusan rakyat terbunuh, puluhan desa dibakar, 44 pemimpin rakyat (Orang Kaya) dipenggal kepala dengan pedang (samurai) oleh serdadu asal Jepang, dan rakyat yang masih hidup diangkut sebagai budak ke Batavia. Penduduk baru dimasukkan ke Banda Neira, yakni para pegawai VOC yang masa kontrak mereka sudah habis. Mereka diberi sebidang tanah untuk ditanami pala dengan bantuan budak, dan hasilnya harus dijual kepada VOC. Karena diberi tanah berupa kapling, penduduk baru itu dikenal sebagai petani Kapling (Perkenier). Turunan merekalah yang menjadi penduduk Banda sejak saat itu.