MATARAM ISLAM DAN KOMPENI VOC
Senjakala Mataram
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Sementara banyak pejabat dan rakyat mereka dipaksa kerja bakti membangun istana Plered (dari bata, bukan kayu seperti istana ayahnya), Amangkurat I sibuk juga memecat para pejabat senior untuk digantikan dengan yang lebih muda dan yang merupakan teman-temannya. Salah seorang pejabat senior yang isingkirkan ialah Tumenggung Wiraguna, bekas patih ayahnya, dan yang mendukungnya juga jadi raja. Pada 1646, orang yang sudah tua itu diperintahkan memimpin pasukan untuk memadamkan perlawanan Tawang Alun, Raja Blambangan di ujung timur ulau Jawa. Tentu saja Wiraguna tidak pernah kembali hidup dari sana. Diduga, motif tindakannya itu hanyalah karena di masa muda, Wiraguna bertindak sebagai pengajar dan penertib bagi dirinya atas perintah ayahnya, Sultan Agung.
Masih pada awal kekuasaannya, Amangkurat I menyuruh bunuh adik kandungnya sendiri, Pangeran Alit. Curiga adiknya berambisi menjadi susuhunan, Amangkurat I menyuruh sepasukan serdadu mengawal Pangeran Alit dengan ketat, selain mengawasinya dengan mata-mata. Hal itu menjengkelkan hati Pangeran Alit. Rasa jengkelnya itu dimanfaatkan orang untuk menghasutnya agar membunuh abangnya. Suatu ketika tersebarlah selentingan, Pangeran Alit akan membunuh Amangkurat I ketika menerima para pengadu di alun-alun.
Pengikut Pangeran Alit segera ditangkap, lalu dibunuh berikut seluruh anggota keluarga mereka. Sementara itu Pangeran Alit sendiri merasa gilirannya pasti akan segera tiba. Akibatnya Pangeran Alit memutuskan bertindak nekat. Dengan cuma sekitar 50 orang pengikut, Pangeran Alit menyerang abangnya ketika berada di alun-alun. Begitu melihat mereka, Amangkurat menyuruh pengawal membunuh pengikut adiknya, tetapi adiknya hanya perlu ditangkap saja. Nyatanya Pangeran Alit bertempur seperti kesurupan, sehingga banyak pejabat terbunuh, di antaranya Cakraningrat I dari Madura. Melihat keandalan adiknya itu, Amangkurat I memerintahkan agar adiknya dibunuh saja. Sementara mayat adiknya tergeletak di alun-alun, Amangkurat berusaha tampak berduka, lalu merancang kekejaman lain berdasarkan peristiwa itu.
Amangkurat I curiga bahwa para ulama dan pengikut mereka berniat jahat terhadapnya. Ia lantas mengumumkan bahwa kematian adiknya adalah akibat hasutan kalangan ulama itu. Ia menyuruh daftar semua ulama yang dicurigai beserta sanak keluarga mereka. Sekitar 6.000 orang ulama dan keluarganya dikumpulkan di alun-alun Plered dan dalam setengah jam dibunuh habis. Tindakan itu dinilai oleh beberapa pembesar sebagai keterlaluan. Sebaliknya Amangkurat semakin curiga terhadap setiap orang, termasuk pamannya, Pangeran Purbaya, adik Sultan Agung. Seandainya ibu suri tidak memohon belas-kasihannya, Amangkurat I pasti sudah membunuh pamannya itu.
Kecurigaan Amangkurat I tidak terbatas terhadap orang, tetapi juga terhadap kerajaan lain, terutama Banten dan Bali. Curiga bahwa Banten tidak mengakui hegemoni Mataram, Amangkurat I mengirim ekspedisi militer ke Banten pada 1650, tetapi digagalkan. Amangkurat I tidak puas dengan kegagalan itu. Tanpa memperbaiki kelemahannya, Amangkurat I berencana menyerang Banten lagi dua tahun kemudian, tetapi dicegah oleh para ulama. Lima tahun lamanya hubungan baik itu bertahan, tetapi permusuhan Mataram-Banten pecah lagi pada 1657. Dua tahun lamanya pasukan darat dan laut Mataram mengancam Banten, tetapi tidak berhasil juga. Pedagang Banten yang singgah di Jepara atau Juwana ditangkap dan disiksa.
Kegagalan Mataram menghancurkan Tawan Alun mendorong Mataram untuk menyerang langsung ke Bali, tetapi gagal juga. Malahan, prajurit Bali dari Buleleng yang masuk ke Jawa dan mengharu-biru daerah sekitar Blambangan sampai Pasuruan. Penyelusup Bali itu menggerogoti daerah kekuasaan Mataram. Sementara itu, perselisihan dengan VOC tak bisa dihindari. Mataram menuntut jumlah hadiah yang lebih banyak dari duta VOC ke Mataram, dengan alasan bahwa VOC memperoleh keutnungan besar dari perdagangan yang dilakukan dari daerah kekuasaan Mataram. Selain itu Amangkurat I mengakhiri kebebasan penguasa pelabuhan dalam urusan dagang dengan mengangkat dua inspektur perdagangan, 1655. Yang satu menguasai daerah pelabuhan sebelah barat (sebelah timur Batavia sampai pekalongan), yang lain wilayah pelabuhan sebelah timur (Pekalongan sampai jepara). Semuanya itu menjengkelkan VOC, sementara para penguasa elabuhan yang lama tersinggung karena pegawai muda bawahan muda inspektur tersebut sering menghina mereka dengan memerintah mereka secara langsung.
Semakin sengit tanggapan para penguasa pelabuhan dan VOC atas tindakannya, Amangkurat I semakin curiga bahwa ia sudah ditipu sebelumnya. Akibatnya, pada 1655 juga ia memerintahkan semua pelabuhan ditutup. Dua tahun emudian, 1657, pelabuhan dibuka lagi, tetapi kini Amangkurat I mengangkat empat orang inspektur perdagangan yang baru. Mereka ditempatkan di Pati, Demak, Jepara, Semarang. Berbeda dari kedua inspektur terdahulu, keempat inspektur baru tersebut tidak mempunyai daerah tertentu. Keempatnya boleh mencampuri perdagangan di mana saja demi kepentingan raja. Mereka memang ditugaskan untuk memonopoli perdagangan bagi raja. Dengan demikian, persaingan dengan VOC semakin langsung, namun hal itu terjadi setelah Mataram jauh lebih lemah.
Merosotnya kekuasaan Mataram terjadi juga di Palembang, yang dianggap oleh Mataram sebagai vasalnya juga. Walaupun demikian, mataram tidak berdaya melindungi ketika VOC menggempur Palembang, 1659. VOC menghukum Palembang karena kapal VOC dirampok di pelabuhannya, awaknya ditahan lalu dibunuh. Ketika kekuasaan Sultan Jamaluddin (Raja Palembang) pulih pada 1660, utusannya ke Mataram sudah tidak diperdulikan lagi oleh Susuhunan Amangkurat I. lama-lama Palembang bertindak sebagai kerajaan yang merdeka penuh, lalu mengikat perjanjian dengan VOC pada 1675. Demikian juga halnya dengan Jambi, Banjarmasin, dan Makassar dan Gowa. Sejak 1659 mereka tidak lagi mengirim utusan ke Mataram.
Para adipati di Jawa, khususnya Jepara dan Patih, mulai main mata dengan VOC tanpa terlalu mempedulikan Amangkurat I. akibatnya kedua pejabat tinggi itu dibnuh oleh Amangkurat, masing-masing pada 1660 dan 1662. Tidak lama sesudahnya pola penguasaan dagang oleh keempat inspektur tersebut di atas ditiadakan pada 1661. Jepara kembali diserahkan kepada VOC, dan pada saat yang sama menuntut hadirnya duta VOC di Plered. Ternyata VOC menerima Jepara, tetapi tidak perduli untuk mengirim duta ke Mataram.
Amangkurat I jengkel dengan sikap VOC ini. Pada 1666 diangkatnya adipati baru untuk Jepara, yang berhasil membjuk VOC agar mengirim dutanya ke Mataram selama tiga tahun, 1667-1669, yang pertama setelah 1655. Amangkurat sengaja menghina duta VOC tersebut dengan memaksanya duduk di tanah, di tempat terbuka, ketika hendak bertemu dengannya. Namun demikian, VOC tahu bahwa kekuasaan dan kewarasan Amangkurat I sudah merosot sekali. VOC membuka perdagangan dengan kota-kota pelabuhan lain di pantai utara Jawa, tanpa izin Mataram. Selain dengan semakin lemahnya kepemimpinan Amangkurat I, semakin curiga dia kepada hampir setiap orang di sekelilingnya, termasuk mertuanya sendiri, Pangeran pekik. Ceritanya dapat dimulai dari matinya pada 1667 selir kesayangan Amangkurat, ratu Malang, yang dirampas dari suaminya, seorang dalang. Amngkurat I mencurigai selirnya dibunuh. Putra Ratu Malang dari suaminya, sang dalang, juga diakui sebagai anak oleh Amangkurat I.
Lalu orang mencari seorang perawan muda, Rara Oyi, sebagai ganti Ratu Malang. Karena masih kecil, perawan itu dititipkan kepada satu keluarga bangsawan di ibukota. Namun, putra mahkota, Pangeran Adipati Anom, jatuh cinta setengah mati terhadap rara Oyi. Karena kasihan, kakeknya Pangeran Pekik menolong mempertemukan kedua anak muda itu. Mengetahui hal itu, Amangkurat I marah besar. Pangeran Pekik dan seluruh sanaknya dibunuh, putra mahkota dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.
Pangeran Adipati Anom sangat dendam kepada ayahnya, tetapi tak berdaya. Ia lalu minta tolong kepada Raden Kajoran alias Panembahan Rama, keturunan Panembahan Tembayat. Kebetulan kepadanya datang juga seorang pemuda tangguh, Raden Trunajaya, cucu Cakraningrat I yang tewas di tangah Pangeran Alit. Trunajaya jengkel karena yang memerintah di Madura bukan dia tetapi pamannya yang bergelar Cakraningrat II. Trunajaya menjadi menantu Raden Kajoran, dan bersekutu secara diam-diam dengan putra mahkota melawan Amangkurat I. pada 1670, Trunajaya kembali ke Madura dan berhasil berkuasa di sana. Dalam tempo singkat kekuasaanya meluas sampai ke Jawa Timur.
Ketika Makassar dikalahkan oleh VOC, 1669, Amangkurat I sempat curiga kepada VOC. Sebagai pelampiasan rasa curiganya itu, Adipati Jepara yang berhasil itu dibunuh oleh Amangkurat I, 1672. Hubungannya dengan penguasa daerah lain semakin buruk oleh rasa curiga yang tak menentu, demikian juga dengan VOC. Akhirnya Amangkurat I hanya mau mengangkat syahbandar saja di pelabuhan. Tidak tahan dengan pemerasan Syahbandar Jepara, VOC pindah ke Semarang. Tidak lama kemudian, Syahbandar Jepara, yang dianggap cukup berhasil itu, dipecat pada 1675. Dalam pada itu, dengan kekalahan Makassar, 1669, banyak prajurit daerah itu lari ke berbagai wilayah, antara lain Banten. Atas jasa Syekh Yusuf, pada 1670 prajurit Makassar yangdipimpin oleh Bonto Marannu diterima tinggal di Banten. Pada 1674 mereka diusir dari banten, lalu mereka ke Jawa Timur atas izin Amangkurat I. waktu itu, rombongan prajurit Makassar yang lain di bawah pimpinan Karaeng Galesung mulai membajak laut di Jawa bagian timur. Kedua kelompok prajurit Makassar bertemu di sana. Kedua kelompok bersekutu dengan Trunajaya.