Minggu, 27 September 2009

SENJAKALA MATARAM ISLAM

SENJAKALA MATARAM ISLAM
Akhir Kuasa Mataram
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Makassar, dan juga Bugis, yang pada abad ke 17 telah memeluk Islam, merupakan satuan masyarakat yang khas di Nusantara. Selain mempunyai kebiasaan mencatat peristiwa sejarahnya, masyarakat Makassar memiliki kekhasan lain, yaitu, pelapisan masyarakat yang mapan. Ada empat lapisan: raja, keluarga raja, bangsawan, rakyat biasa, dan budak. Yang boleh menjadi raja hanya keturunan raja dan keluarga raja. Setelah memeluk Islam pada 1603, Raja Gowa Karaeng Matowaya Tumamenanga Ri Agamanya (Yang Sampai Wafat Tetap Memeluk Agamanya) mulai melebarkan kekuasaannya dengan kekuatan senjata. Pusat kekuasaannya itu terletak di Makassar. Dengan demikian Makassar ikut aktif dalam persaingan dagang di Maluku, karena Makassar penganut radikal prinsip kemerdekaan laut, tidak kalah dengan Nederland yang berprinsip mare liberum. Jadi, menurut masyarakat Bugis-Makassar, laut diciptakan Tuhan untuk semua manusia, bukan hanya untuk orang Belanda. Dengan demikian mereka menjadi saingan berat bagi VOC di lautan. Tidak mengherankan bahwa Belanda menyebut pelaut-pelaut Makassar-Bugis dengan rasa hormat sebagai Jago-jago dari Timur (de haantjes van het Oosten), yang mirip Viking Norwegia di Eropa.

Pada 1660 VOC merasa tak bisa lagi membiarkan Makassar bebas mengganggu monopolinya. Armada VOC yang dipimpin oleh Truytman membombardir Makassar. Konon kapal-kapal Portugis yang bersandar di dermaga hancur, sedang pusat galangan kapal Makassar di Pannakukang direbut oleh VOC. Dengan jatuhnya Pannakukang, makassar bersedia merundingkan perdamaian. Karaeng Popo, utusan Sultan Hasanuddin berangkat ke Batavia, tetapi hasil perundingan rupanya memuaskan kedua pihak. Dengan segera VOC menuduh Makassar melanggar berbagai pasal perjanjian, antara lain, menyita senjata, termasuk 16 meriam, dan juga peti uang, dari kapal VOC yang kandas di pantai makassar.

VOC makin dongkol karena Makassar membiarkan Inggris datang mencoba mengikat persahabatan. Dengan bantuan Raja Bone, Arung Palakka, yang bermusuhan dengan Gowa, VOC melancarkan serangan terhadap makassar pada 5 Oktober 1666. Serangan yang dipimpin oleh opperkoopman Cornelis Jan Zoon Spelman itu memulai perang yang berlangsung tiga tahun lamanya, 1666-1669. Berkali-kali pasukan Makassar hampir tenang, tetapi VOC selalu dapat menemukan kelemahan pertahanan Makassar berkat bantuan orang dalam yang dipimpin oleh Arung Palakka dari Bone.

Pada Oktober 1667, kawasan istana raja di Sombaopu dikepung. Pada 18 November 1667, ditandatangani suatu perjanjian di desa Bongaya, tetapi Speelman pencuriga sehingga pertempuran diteruskan. Benteng Sombaopu dikepung, namun penyerang tak mampu memasukinya. Dinding benteng konon sampai setebal 12 kaki atau 4 meter, sehingga rabuk mesiu harus ditanam di sekelilingnya. Setelah dinding tebal itu hancur diledakkan, penyerang mengira tugas sudah selesai, ternyata belum. Di dalam benteng prajurit Makassar masih punya dinding ranjau dari bambu runcing. Seminggu lamanya penyerang baru berhasil melewati dinding ranjau tersebut. Benteng Sombaopu jatuh pada 24 Juni 1669, dan Speelman kaget setengah mati menemukan 272 meriam di sana. Pada 20 Desember 1669 para prajurit Makassar dan pengikut mereka dibawa ke Batavia.

Patroli VOC bersama satuan-satuan kekuatan yang setia pada Mataram tidak mampu melenyapkan ancaman kelompok Makassar dan Trunajaya atas kota-kota pelabuhan. Pada 1676 Pangeran Adipati Anom ditunjuk sebagai panglima pasukan Mataram untuk menghancurkan pasukan Makassar-Madura. Nyatanya pasukan Mataram itu kalah. Pangeran Purbaya yang sudah tua ikut tewas. Pangeran Adipati Anom lari pulang ke Plered, tetapi meluas kecurigaan bahwa dia bersekongkol dengan pemberontak. Seluruh pelabuhan di pantai utara Jawa sampai Cirebon, kecuali Jepara, berhasil dikuasai Trunajaya. Jepara selamat berkat kerja sama pasukan Mataram dan VOC. Keberhasilan itu mengakibatkan perlunya konsolidasi dan ketertiban, hal yang tidak begitu cocok dengan kepentingan pasukan Makassar tidak terhindarkan lagi. Jadinya, baik Trunajaya, putra mahkota Mataram, dan Mataram, meminta bantuan kepada VOC untuk kepentingan masing-masing.

VOC menunjuk Cornelis Speelman memimpin ekspedisi militer ke Jawa Timur untuk menghadapi pasukan makassar, Desember 1676. Selain tentara VOC, ekspedisi itu terdiri juga dari pasukan Bugis yang dipimpin oleh Arung Palakka, dan pasukan Ambon yang dipimpin oleh Kapiten Jonker. Pasukan Makassar dikejar-kejar, yang tertangkap dipulangkan ke Makassar, sedangkan seratusan gadis dikirim oleh Arung Palakka ke Batavia. Sedikit yang selamat, lari bergabung dengan Trunajaya. Dari jepara Speelman menyerang Madura dan menghancurkan istana Trunajaya. Namun pada saat itu, pasukan Madura yang bekerjasama dengan pendukung Raden Kajoran menyerbu Plered. Amangkurat I melarikan diri ke arah barat, 2 Juli 1677, lalu wafat di Tegal.

Atas restu dan bantuan VOC, Amangkurat I digantikan oleh putra mahkota, Pangeran Adipati Anom, sebagai Amangkurat II. Dengan cara yang tak disangka-sangka, Amangkurat II membunuh sendiri Trunajaya, sekutunya, 2 Januari 1680. Artinya, pada saat senjakala kekuasaan Mataram runtuh di bawah kaki VOC, hancur pula sumber perlawanan rakyat terhadap keduanya. Ketika kekuasaannya makin surut, terutama di daerah maritim, Mataram semakin tersingkir dari kegiatan perdagangan, dan semakin tergantung pada hasil pertanian di pedalaman. Dengan demikian Mataram kekurangan mata-uang sehingga pejabat mulai digaji dengan hak menguasai tanah jabatan, lengkap dengan rakyat di dalamnya.

Itulah yang jadi sumber pendapatan para pejabat itu, yang menyetor sebagian hasil kepada raja. Agar pendapatan kerajaan terjamin dari hasil pertanian, daerah yang belum dikuasai oleh pejabat diborongkan kepada pedagang asal Cina.

Permusuhan antara VOC dan Banten memuncak selama Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa, 1650-1682. Sultan inilah yang meminta gelar tersebut dari Mekkah, hal yang tidak membuat iri Amangkurat I, berbeda dengan ayahnya dulu, Sultan Agung. Ia memelihara seorang ulama besar asal Makassar, Syekh Yusuf, yang terus menyalakan semangat Islam di istananya. Oleh sebab itu motif ekonomi berpadu dengan motif agama dalam permusuhan Sultan Ageng terhadap VOC. Setiap pelarian dari batavia disambut hangat di Banten, asal mau disunat dan jadi Islam. Salah satu pelarian dari batavia yang paling terkenal ialah seorang tukang yang pandai, Hendrik Lucasz Cardeel. Ia sangat berperan dalam usaha Banten meniru teknologi Eropa, khususnya dalam pembangunan kapal layar gaya Belanda, dan bangunan istana dari bata. Kapal-kapal Banten buatan Cardeel berlayar jauh sampai ke Persia dan Filipina. Istana sultan yang baru dibangun di Tirtayasa. Pembesar Banten jadi akrab dengan kursi dan meja, kendati tetap menghindari minuman keras, berbeda dengan pembesar Mataram yang suka minum sopi. Cardeel sendiri sempat diangkat sebagai pangeran Wiranagara sebelum bertobat dan kembali ke Batavia dengan pengampunan.

Tiga kali Sultan Ageng melancarkan perang berjangka pendek terhadap VOC, dan selain itu terus menerus menganggu ketenteraman Batavia. Perahu-perahu Banten sering merampok kapal-kapal kecil milik VOC, juga membakar penyulingan gula milik petani Cina di luar tembok Batavia bagian selatan. Untuk lebih menjamin keamnan Batavia, VOC harus mendirikan benteng di daerah selatannya, seperti Noordwijk dan Rijswijk.

Menjelang akhir masa kekuasaannya, Sultan Ageng berselisih paham dengan putra mahkota, Raja Muda, yang kemudian menggantikannya dan bergelar Sultan Haji. Alasannya, Sultan Ageng lebih suka kalau penggantinya adalah adik Raja Muda, yaitu, Pangeran Purbaya. Raja Muda ternyata meminta bantuan VOC, sedang Sultan Ageng terus membenci VOC. Pengikut masing-masing juga bersikap serupa. Sultan Ageng memilih pindah ke istana barunya, Tirtayasa, sedang Raja Muda di kota benteng yang dibangun khusus oleh Cerdeel, yang disebut Dioamant, atau terkenal dengan Kota Intan.

Pendukung Sultan Ageng, terutama Syekh Yusuf, terus bergerilya melawan VOC. Mereka, khususnya Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf, dikejar-kejar oleh pasukan VOC dan pasukan Sultan Haji. Setelah tertangkap, Syekh Yusuf dibuang ke Ceylon, lalu ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan, dan meninggal di sana, 1699. Di sana Syekh Yusuf tetap diterima sebagai ulama besar oleh kalangan Islam, sebagaimana terjadi baik di Makassar maupun di Banten. Syekh Yusuf, yang lahir sekitar 1626, lalu tinggal lama sekali di mekkah. Pulang ke Makassar, lalu pindah menetap di Banten.

Menurut VOC, bandit-bandit bekas budak sejak 1670-an mereka ini telah mengharubiru keamanan sekitar Batavia. Mereka ini dibasmi oleh Kapitein Ruys. Untung, awalnya seorang budak asal Bali, yang konon amat gagah tampangnya, pada usia 7 tahun dibeli oleh seorang Dewan Hindia, Cornelis Cnoll. Pada 1683 ia diampuni, dan malah dijadikan prajurit senjata, Untung ikut dalam pasukan VOC yang mengejar Syekh Yusuf dan Pangeran Purbaya, putra Sultan Ageng yang melawan abangnya Sultan Haji. Namun, di Cikalong, Untung balik menyerang 39 anggota pasukan VOC, membunuh 20-an orang, lalu kembali jadi pelanglang buana.

Gerombolan Untung bergerak ke arah timur sembari dikejar oleh pasukan VOC berkekuatan 800 serdadu, 1684. Di Cirebon mereka diterima oleh kalangan kerajaan, dan diberi nama baru, Surapati, mengikuti nama seorang pembear yang dikalahkan oleh Untung. Tidak lama kemudian pihak kerajaan menasehati Untung agar terus saja ke Mataram, karena Cirebon tak mungkin melindungi mereka dari hukuman pihak VOC. Di Banyumas, Untung merancang taktik agar diterima dngan baik oleh Amangkurat II. Dua orang bersaudara penguasa desa Cibarang pura-pura mereka daulat jadi raja. Untung meninggalkan separuh pasukannya di sana di bawah pimpinan Umbul jaladriya, atau Bun Jaladriya, seorang keturunan Cina. Separuh lagi dibawanya sampai ke Kartasura, ibukota baru Mataram. Di sana ia menemui Amangkurat II berkat pertolongan seorang petinggi, Anrangkusuma.

Berita bahwa ada dua orang mengaku raja di Cibarang menyebabkan Amangkurat II marah, lalu mengirim pasukan ke sana. Untung menawarkan jasa, dan diterima baik. Ia membunuh dua bersaudara itu dengan mudah. Jasanya diakui. Sejak itu Untung dilindungi oleh Amangkurat II, malah diberi tempat dekat keraton. November 1685 VOC hendak mengirimkan Tack ke Kartasura sebagai duta, sembari menangkap Untung Surapati. Amangkurat II sudah mulai cekcok dengan VOC mengenai utangnya karena perang melawan trunajaya, dan mengenai janji VOC untuk menyerahkan Cirebon di bawah kekuasaan Mataram. Selain itu Tack merupakan orang yang menjual mahkota Majapahit kepada Amangkurat II, tetapi belum dibayar. Pendeknya, Amangkurat II benci campur gentar kepada VOC dan Tack yang mewakilinya.

Pada 8 Februari 1686 Tack tiba di Kartasura, dan menuntut penyerahan Untung Surapati. Amangkurat II pura-pura bertempur melawan Untung Surapati, padahal hanya untuk memancing Tack agar mendekat. Hari itulah Tack terbunuh.