Minggu, 27 September 2009

ORANG JAWA, MATARAM ISLAM DAN VOC

ORANG JAWA, MATARAM ISLAM DAN VOC
Orang Jawa, VOC dan Batavia
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Antara 1602 dan 1619, kapal-kapal VOC di Nusantara menggelandang saja di sembarang pelabuhan. Koordinasi sulit dan VOC terancam rugi karena setiap kapten kapal berhak melakukan transaksi dagang sendiri. Loji (factorij) VOC di Banten dan maluku terus terancam oleh Inggris dan banten, Portugis dan Spanyol. Orang-orang Belanda di Banten, termasuk Jan Pieterszoon Coen, direktur jenderal, jadi orang kedua setelah gubernur jenderal, tidak disukai oleh pembesar-pembesar Banten. De Heeren XVII menyadari bahwa kalau mau bertahan VOC harus memiliki pangkalan tetap (rendez-vous) bagi kapal-kapalnya.

Sembilan tahun masa tenang setelah Malaka dikuasai pada 1641, VOC memutuskan mengakhiri kekuasaan Portugis di Nusantara untuk selamanya. Menjelang akhir jabatannya, Gubernur Jenderal ke 11, Carel Reyniersz (1650-1653) diperintahkan menggempur Portugis sampai di pantai jazirah India. Sejak Oktober 1652 sampai 1655, Portugis di Sri Lanka dipukul terus-terusan. Pada 12 Mei 1656, pada masa Gubernur Jenderal ke 12, Joan Maetsuyker (1653-1678), perlawanan Portugis berakhir dan Colombo dikuasai oleh VOC.

Maetsuyker memang dianggap salah satu gubernur jenderal paling agresif. Ia berhasil tidak hanya menguasai Colombo, tetapi juga seluruh Maluku (1655), Minahasa (1658) dan Gorontalo (1677), Mataram (1667), serta Makassar (1669). Ia juga membuka loji baru di Palembang (1662) dan Padang (1667). Pendeknya, pada masa jabatannyalah VOC mencapai awal puncak kekuasaannya sebagai suatu negara.

Tahun-tahun antara 1755 dan 1800 boleh disebut sepi ordonansi VOC yang memilah-milah masyarakat yang dikuasainya. Sedikit ordonansi yang dikeluarkan pada masa ini justru diwarnai dengan pembubaran kelompok-kelompok yang pernah dibentuk. Pembubaran itu sejalan dengan semakin nyatanya bentuk suatu gabungan baru, yaitu Bumiputra (Inlanders), yang merupakan hasil pembauran anggota berbagai kelompok yang pernah dibuat. Ke dalam gabungan ini masuk juga kelompok Peranakan Cina (Peranakan Chineez), segera setelah berhasil dipilah dari golongan Cina Totok.

Memang, pangkalan (rendez-vous) bukan markas besar, yang semula dikehendaki oleh direksi VOC. Konon, dalam pelatarannya pada 1607 seorang pelaut Belanda, Matelieff, pernah mendengar keinginan penguasa Jayakarta, Pangeran Wijaya Krama, untuk membangun benteng di sekeliling ndalem-nya. Ketika atas sarannya, Pieter Both diangkat sebagai gubernur jenderal VOC yang pertama pada 27 November 1609, Matelieff berhasil membujuk de Heeren XVII untuk menyuruh Both menjadikan Jayakarta sebagai tempat rendez-vous itu.

Sementara Both terus ragu-ragu, pada November 1610, Laksamana Voorhoeven, pelaksana kontrak dengan pihak asing, mengutus Direktur Loji di Banten ketika itu, Jacques L’ Hermite, untuk memperoleh kontrak dari Pangeran Wijaya Krama. Hasilnya, Both menandatangani kontrak dengan Pangeran Jayakarta, belanda menyebutnya Conink, Januari 1611. Kontrak tersebut memberi hak kepada pedagang Belanda untuk memkai sebidang tanah di desanya, yang ketika itu Cuma berpenduduk sekitar 8.000 jiwa.

Resminya, Wijaya Krama tunduk kepada kekuasaan Banten, yang rajanya, Abdul Kadir, masih di bawah perwalian Pangeran Arya Ranamanggala. Kendati demikian, Pieter Both tidak menghiraukan hal itu dalam kontrak. Disepakati, dengan pembayaran sebanyak 1.200 ringgit (rijksdaalder), Wijaya Krama mengizinkan VOC menggunakan sekitar satu hektar tanah, 50x50 vadem, tetapi tidak boleh membangun benteng seperti dikehendaki Both. Tanah satu hektar itu terletak di wilayah kediaman pedagang-pedagang Cina, dan berada di sisi timur Kali Ciliwung, seberang dalem pengeran, Pasar Ikan sekarang ini.

Tentunya Both tidak pernah membayangkan bahwa Jayakarta, yang menjadi Batavia 30 Mei 1619, akan melebihi fungsinya sebagai tempat rendez-vous. Lebih tak terbayangkan lagi olehnya bahwa kota itu akan menjadi pusat kekuasaan Belanda di Nusantara selama 350 tahun, dan karena itu menjadi tungku masak bagi bangunan kebangsaan (nation-building) Indonesia.

Yang menjadikan Jayakarta pusat kekuasaan VOC adalah serangkaian peristiwa lain. Satu di antaranya, terpilihnya Jan Pieterszoon Coen sebagai gubernur jenderal ke 4 pada Juni 1618. Selain jeli, pemuda berusia 31 tahun itu konon seorang yang tegas dan tekun. Rupanya ia dapat melihat bahwa Banten, Mataram, dan Inggris saling menunggu untuk menyerangnya. Tunggu menunggu ini adalah karena mereka saling curiga, padahal mereka sama-sama berkeinginan menghabisi VOC.

Peristiwa lain adalah munculnya ancaman nyata dari pihak Mataram dan Inggris. Kebetulan 8 Agustus 1618 loji VOC di jepara terbakar habis. Coen curiga Mataram dan Banten bersekongkol melakukannya. Delapan bulan sebelumnya, Coens pernah merampas kapal Inggris di Selat Sunda. Pada Desember 1618, Coen mendengar armada Inggris yang terdiri dari 14 kapal di bawah komando Thomas Dale sudah berada di Selat Sunda. Coen mengira armada itu akan membalas dendam, padahal VOC hanya punya delapan kapal di daerah tersebut.

Pada 30 Mei 1619, Coen meresmikan Jayakarta sebagai Batavia. Dia sendiri sebenarnya lebih suka memberi nama Nieuw Hoorn, untuk mengenang Hoorn, kota asalnya. Namun, penamaan Batavia sesuai dengan perintah markas VOC di belanda. Perintah itu diulangi lagi pada Oktober 1617, dengan penegasan bahwa daerah mana pun yang dipilih sebagai tempat rendez-vous haruslah disebut Batavia. Nama ini sengaja dipilih sebagai kenangan pada Uni Provinsi-provisni Nederland Merdeka (Republik Bataaf), yang melawan penjajahan Spanyol.

Begitulah Jayakarta berubah menjadi Batavia, hampir tanpa rencana. Begitu pulalah cara VOC berubah menjadi kekuasaan negara. Sebab, selain berdagang ia harus mengurus kehidupan kota, yang akan menjadi markas besarnya. ini pertama-tama berarti mengendalikan penduduk kota (ingezetenen), selain juga melindungi kota serta penduduknya dari pengaruh asing di sekitarnya (vreemdelingen). Sedikitnya selama 50 tahun pertama kekuasaan VOC, keua persoalan itu saling berkaitan erat sehingga sangat menentukan dalam proses terserapnya masyarakat setempat ke dalam kepentingan VOC.

Tidak seimbangnya kepentingan warga dan kepentingan kekuasaan mengakibatkan timbulnya pelanggaran yang terus menerus oleh pihak warga. Sebaliknya, kekuasaan malah memperbanyak ordonansi. Ketika orang luar mulai masuk kota seiring dengan perkembangan kota tersebut, maka VOC pun sudah siap dengan ordonansi yang sepadan. Karena orang luar yang masuk kota kebanyakan berasal dari Banten dan Mataram, yang semuanya disebut orang Jawa (Javannen), sangat mudah bagi VOC menuduh mereka sebagai orang asing (vreemdelingen) yang berbahaya. Mereka dipersalahkan masuk diam-diam ke Batavia dengan praauwen (perahu) sambil menyandang krissen (keris) atau lanck (tombak) dan bisa membahayakan hidup gubernur jenderal. Oleh sebab itu, sejak 19 Oktober 1619 VOC mengeluarkan larangan masuk kota bagi mereka.

Baru setelah 1621, sebanyak 800 orang Banda dibawa oleh Coen masuk Batavia. Pemindahan penduduk sebanyak ini merupakan akibat perang. Untuk menjamin monopolinya, Coen bersikeras hendak membangun benteng-benteng di seluruh Banda. Karena rakyat Banda menolak, perang pecah, dan berakhir dengan kekalahan rakyat Banda. Tampaknya, baru pada pertengahan 1624 VOC mengizinkan orang Jawa memasuki kota. Itu pun hanya untuk berdagang di pasar-pasar yang sudah ditentukan. Ketika Mataram menggempur dan mengepung Batavia selama empat bulan terakhir 1628 dan 1629, kembali orang Jawa dilarang keras mendekati dinding kota. Demikian juga halnya ketika Banten mengganggu monopoli VOC di Maluku pada 1633. Ketika pada 1635 Banten sudi berunding dan Mataram makin lemah, untuk peramakalinya VOC resmi mengakui kelompok Jawa yang pertama dalam kota Batavia.

Hal yang tak kurang penting peranannya dalam pemilahan itu adalah agama. VOC tentu mengutamakan agama Kristen, tetapi bukan seluruh Kristen apalagi Katolik, melainkan Hervormde Kerk (Kristen Protestan Belanda) saja. Di Belanda sendiri penganut agama Kristen Katolik dianggap sebagai warga kelas dua selama ratusan tahun. Dengan sikap merendahkan, mereka menyebut penganut Kristen Katolik sebagai papen (anjing-anjing Paus), dan melarang kelompok ini masuk ke Hindia Belanda sampai 1768.

Sebenarnya, Piagam VOC sendiri sama sekali tidak memasukkan penyebaran agama dalam tugas-tugas VOC. Hanya kemudian, November 1617, penguasa tertinggi VOC di Belanda (de Heeren XVII) memerintahkan pejabatnya di Hindia untuk melaporkan pelaksanaan tugas mereka, termasuk di dalamnya de voortplanting der Christelijke religie, tepatnya, pelaksanaan moral Kristen.

Perkawinan, atau pergundikan, dan tidak mustahil persumbangan, antara perempuan lokal dan orang Eropa juga menurunkan kelompok tersendiri, yang dikenal dengan Mixtisen (blasteran). Kendati sering diperlakukan lebih baik daripada semua warga non-Eropa, mereka tetap dipandang oleh VOC jauh lebih rendah daripada orang Eropa. Banyak dari mereka nanti bergabung dengan kelompok Mardijkers, dan beralih ke agama Islam. Begitu pentingnya agama sebagai dasar pemilahan, sehingga tidak jarang berbagai kelompok menurut daerah asal, pekerjaan, dan daerah tempat tinggal (wijk atau kwartier) disatukan di bawahnya. Demikianlah halnya dengan kelompok Koja atau Mooren, terdiri dari mereka yang bukan Kristen dan berasal dari Coromandel serta pantai India lainnya. Sebutan Koja terkenal di kalangan penduduk bukan Eropa, dan Mooren di kalangan VOC. Portugis menyebutnya Mouro, pengikut Nabi Muhammad S.a.w. Sebagai kelompok mereka dibedakan dari mereka yang berasal sama tetapi Kisten, Indiaense Christenen.

Dengan tujuan mencegah pembauran lebih jauh, VOC tidak terbatas pada melarang, tetapi juga coba memecah lagi berbagai kelompok yang sudah ada. Semakin kuat kecenderungan membaur pada berbagai kelompok, semakin keras upaya VOC untuk memilah-milahnya. Pada 4 Agustus 1657, setelah 16 tahun disatukan dalam satu pasukan milisi, kelompok Banda dan Mardijkers, misalnya, dipisahkan. Karena permusuhan dengan Banten makin meluas, semua yang berasal dari sana dipisahkan dari kelompok Jawa. Untuk lebih menegaskan pemisahan itu, sejak 26 Oktober 1657 para pemimpin kelompok Jawa, seperti kapiten, letnan dan sersan, mendapat tunjangan uang masing-masing sebesar enam, lima dan empat ringgit sebulan. Kendati pada 1682 Sultan Haji dari Banten dan Gubernur Jenderal VOC ke 14, Cornelis Speelman, sudah mengikat perdamaian, kelompok Banten terus disisihkan dari pergaulan Batavia.