Minggu, 27 September 2009

SINGKAWANG: KOTA AMOY YANG KEHILANGAN AMOY

Nestapa Amoy Indonesia di Tanah Formosa
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Kota Amoy julukan yang diberikan untuk Singkawang, Kalimantan Barat, tidak hanya memberikan arti gudangnya gadis Cina yang cantik. Tetapi juga menyiratkan kesan Kota Indonesia berciri Cina. Cap Cina yang melekat pada Kota Singkawang memang punya sejarah panjang. Kehadiran orang-orang Cina di daerah itu bermula sejak berabad-abad yang silam. Namun yang lebih mempengaruhi perkembangan Singkawang adalah migrasi besar-besaran pada awal bad XVIII.

Mereka kemudian melewati perjalanan sejarah yang panjang dan berlikut, sampai akhirnya adalah migran-migran Cina yang bekerja di pertambangan emas dan intan di Montrado yang membangun Korta Singkawang yang semula dimaksudkan sebagai daerah peristirahatan. Setelah berjaya di Montrado, mereka dikalahkan oleh Belanda lewat pertempuran yang sengit. Orang-orang Cina kembali bertani dan berdagang di Singkawang, kemudian membentuk komunitas Cina yang dominan. Sekarang, keturunan Cina merupakan mayoritas. Anehnya, kaum mudanya, khususnya para Amoy Singkawang, malah tak betah berlama-lama di kampung halamannnya itu.

Ke mana perginnya Amoy Singkawang, dan mengapa dari Singkawang mereka mencari cinta, merupakan dua sudut pandangan yang cukup unik. Singkawang tidak hanya terkenal karena keramik. Kemunculan gejala lain mulanya, Amoy di kota tepian pantai di Kalimantan Barat ini, bahkan sampai belakangan masih sibuk pula menjual cinta kepada lelaki khususnya dari Pulau Formosa. Dan para lelaki Taiwan yang mencari cinta banyak yang bergairah untuk memperistri Amoy dari Singkawang. Alasannya, praktis dan biayanya murah.

Ternyata, masalah perkawinan yang selama ini dikategorikan sebagai isu personal, bukanlah semata sebuah isu personal. Melainkan, juga sebuah isu sosial politis, di tingkat negara maupun dalam hubungan antarnegara. Sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, perkawinan antara perempuan Indonesia, Amoy Singkawang, dan laki-laki Taiwan ternyata hadir sebagai sebuah konsekuensi logis dari sistem dunia yang diwarnai oleh bau kapitalisme.

Karena adanya demand dan suplly dengan logika kapitalisme itu, telah dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai lahan bisnis dengan modus perkawinan transnasional (baca: pengantin pesanan) dengan menjadi perantara dalam modus perkawinan tersebut. Pada akhirnyua, perkawinan itu adalah wujud dari metode perdagangan perempuan, trafficking in women, yang sangat merugikan para Amoy itu sendiri. Para Amoy Singkawang pasca pernikahan tetap menempati posisi subordinat, baik di tingkat relasi personal, antara Amoy dan lelaki Taiwan atau pun pria Hongkong yang mempersuntingnya, dengan keluarga dan negaranya, maupun dengan negara yang ditujunya.





























Budak Terselubung Percikan Budaya
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Seperti pada kebanyakan kasus perkawinan transnasional yang ditemukan, sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki Taiwan yang menikah dengan perempuan luar negeri asal Indonesia, yang disebut Amoy, adalah mereka yang di dalam pasar perkawinan dalam negeri Taiwan dikategorikan sebagai laki-laki tanpa masa depan. Kelompok ini lahir sebagai dampak dari perkembangan perekonomian Taiwan yang mengedepankan industri dengan strategi substitusi impor dan orientasi ekspor. Mereka adalah para petani yang mengalami pemiskinan akibat kebijakan pemerintah yang menguntungkan industri dengan cara mempertahankan harga jual yang murah untuk hasil pertanian sementara alat-alat produksi pertanian hasil industri dijual dengan sangat mahal. Dengan tetap bertahan di desa, mereka hidup dalam kondisi ekonomi yang buruk.

Kondisi yang tidak menguntungkan di pedesaan menyebabkan banyak laki-laki yang kemudian tertarik untuk memasuki pasar tenaga kerja untuk industri. Tetapi, para buruh juga mengalami pemiskinan karena pemerintah Taiwan memiliki kebutuhan untuk tetap menekan upah buruh agar tidak meningkatkan biaya produksi sehingga produk yang dihasilkan mempunyai nilai kompetitif di pasar global. Akibatnya, kondisi ekonomi buruh pun hanya sedikit relatif lebih baik daripada kelompok petani.

Sebagai kelompok yang tidak memiliki masa depan dalam bursa perkawinan dalam negeri, sementara kebutuhan untuk membangun rumah tangga adalah mendesak, maka mereka kemudian didorong untuk melirik perempuan dari luar negeri. Meskipun demikian, masih ada harapan bahwa perempuan yang dipersunting memiliki kesamaan budaya, yaitu Hoklo ataupun Hakka.

Dengan kebutuhan untuk menemukan pasangan hidup, laki-laki Taiwan, yang selanjutnya disebut klien, kemudian klien mencari pihak yang dapat membantu mereka. Pihak ini disebut perantara. Pada perkembangannya, perantara dapat pula menawarkan jasanya kepada para laki-laki Taiwan yang potensial untuk menjadi klien. Tetapi tentunya jasa perantara ini tidak Cuma-Cuma.

Setiap perantara akan menutupi kenyataan bahwa mereka memperoleh nafkah dari perkawinan Indonesia-Taiwan. Tidak ada perantara yang bekerja sendiri. Sedikitnya da tiga peran yang dimainkan oleh perantara yang berbeda. Pertama, perantara berfungsi sebagai pencari klien di Taiwan. Klien terutama diperoleh dari hubungan interpersonal yang sudah dibangun, misalnya dari klien laki-laki maupun perempuan yang pernah berhubungan dengan perantara tersebut. Kedua adalah yang berperan mengumpulkan perempuan-perempuan yang bersedia menjadi pengantin perempuan ke Taiwan. Pencarian ini bisa sampai ke pelosok daerah. Ketiga adalah mengurus seluruh dokumen yang dibutuhkan oleh pihak perempuan setelah perkawinannya untuk pindah ke Taiwan.

Dengan ketiga tugas ini, memang sulit bagi seseorang perantara untuk bekerja sendiri. Biasanya, terdapat orang yang berbeda untuk setiap tugas tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya perangkapan tugas. Keluarga lain juga dilibatkan dalam mencari calon pengantin perempuan, para Amoy, meskipun ia juga dibantu oleh orang lain dalam pengumpulan calon pengantin tersebut.

Mempertimbangkan kebutuhan untuk membuat klien puas, usaha untuk mencari pengantin perempuan atau Amoy biasanya dilakukan oleh banyak orang, sebutlah hunter. Hal ini dimaksudkan agar klien memperoleh beberapa pilihan calon pengantin. Untuk setiap hunter yang temuannya tersebut kemudian disunting oleh klien akan menerima 300.000 sampai 500.000 rupiah.

Laki-laki Taiwan masih menaruh harapan bahwa Amoy atau perempuan yang dipersunting memiliki kesamaan budaya, yaitu Hoklo ataupun Hakka yang kebanyakan dijumpai di Singkawang. Itulah sebabnya Indoneia menjadi salah satu rujukan untuk menemukan pengantin perempuan karena pada awal abad XIX terjadi gelombang migrasi dari Cina Selatan menuju ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Di Indonesia, Kalimantan Barat adalah salah satu kantong keturunan Cina. Bahkan di Singkawang, tercatat 70 persen dari penduduknya adalah keturunan Cina, terutama dari subsuku Hakka.

Adanya kesamaan latar belakang budaya ini bisa mengecohkan. Secara sepintas terpikirkan bahwa sebuah perkawinan adalah hal yang sangat personal yang dilakukan oleh dua insan manusia. Dan adalah wajar bila perkawinan terjadi antara dua orang yang mengusung kebudayaan yang sama, sekalipun berbeda kewarganegaraannya. Namun, perkawinan antara Indonesia—Taiwan adalah hasil rekayasa. Tidak ada pertemuan yang hadir secara alamiah antara amoy perempuan Indonesia dan laki-laki Taiwan dalam perkawinan ini. Semuanya adalah buah dari jasa yang disediakan perantara. Dan untuk dapat menyewa jasa seorang perantara, klien harus membayar sejumlah uang sebesar NT$ 300.000-350.000 atau sekitar Rp 90-105 juta, bila dibandingkan NT$1 setara Rp 297,5 dalam kurs US$1 senilai Rp 8.500. Pembayaran ini sudah termasuk biaya perkenalan dengan pihak perempuan, pengurusan dokumen, biaya perkawinan dan kadangkala biaya transportasi pihak perempuan ke Taiwan.

Dari pembayaran ini, perantara pertama pencari klien akan mengambil sepertiga dari total pembayaran. Dua pertiga lagi diserahkan ke perantara kedua untuk melangsungkan segala proses yang dibutuhkan. Berbeda dengan mail order bride yang berkembang di negara barat, perantara untuk perkawinan Indonesia-Taiwan jarang menggunakan katalog pengantin perempuan, bahkan sama sekali belum menggunakan teknologi seperti video dan internet, kecuali belakangan terakhir ini.

Pihak laki-laki dengan demikian harus datang ke Indonesia untuk bertemu sendiri dengan para calon pengantin perempuan, para Amoy, untuk kemudian menentukan pilihannya. Tentunya pihak perantara tidak mau menanggung biaya transportasi klien untuk datang ke Indoneeia untuk mencegah biaya operasi yang terlalu besar serta kerugian yang mungkin ditimbulkan bila klien adalah seorang laki-laki pemilih sehingga tidak cukup hanya dengan satu kali kunjungan ke Indonesia. Karena biaya yang harus dikeluarkan untuk satu kali kunjungan cukup mahal, jarang ada klien yang kembali ke Taiwan dengan tangan hampa.

Setelah klien memberikan seluruh uang untuk keperluan perkawinan itu, perantara pertama akan mempersiapkan keberangkatan klien ke Indonesia. Perantara tersebut akan menghubungi mitranya di Indonesia untuk mempersiapkan akomodasi dan jadwal pertemuan dengan calon mempelai perempuan atau Amoy. Biasanya, setelah mendengar informasi keberadaan klien, perantara kedua di Indonesia akan menghubungi hunters untuk mulai mencari pengantin perempuan yang mendekati kriteria yang diinginkan oleh klien. Bila semua sudah siap, klien akan datang berkunjung ke Indonesia untuk memilih pasangannya.

Pertemuan antara klien dengan calon pengantin perempuan dapat dilakukan di Jakarta ataupun di Kalimantan Barat, baik di Pontianak maupun Singkawang. Untuk pertemuan ini, ada dua cara yang dapat diterapkan, terutama tergantung pada jumlah klien yang datang. Bila klien datang dalam rombongan besar, 5 sampai 8 orang, maka semua calon pengantin dikumpulkan di sebuah ruangan dan klien-klien akan datang ke ruangan tersebut. Setelah sedikit perkenalan tentang latar belakang masing-masing calon, seperti usia, pendidikan dan motif menjadi calon pengantin, klien akan memilih Amoy atau perempuan mana yang paling manrik hatinya pada saat itu. Selanjutnya klien dapat meminta Amoy tersebut untuk pindah ruangan dan wawancara lebih mendalam bisa dilanjutkan di sana.

Kedua adalah dengan mendatangkan calon pengantin satu persatu. Cara ini biasanya dilakukan bila klien tidak datang dalam rombongan besar. Wawancara akan dilakukan pada saat calon pengantin pere,mpuan datang dan dimulai dengan memperkenalkan latar belakang usia, pendidikan an silsilah keluarga calon pengantin perempan. Motivasi menjadi pengantin perempuan dan virginitas menempati urutan teratas dari tanya jawab yang dilakukan.

Setelah pertemuan pertama, bila ada calon yang berkenan di hati klien, maka Amoy atau perempuan lebih intensif akan dilakukan. Restoran atau tempat hiburan lainnya menjadi pilihan lokasi untuk pertemuan tersebut. Dari pertemuan ini diharapkan akan membantu klien untuk mengenal perempuan tersebut lebih lanjut. Bila hasil pertemuan ini positif, maka klien dapat menggandeng Amoy tersebut ke pelaminan. Dalam proses menentukan pilihan ini, keinginan klien menempati prioritas utama. Meskipun demikian, calon pengantin perempuan diberi kesempatan untuk menolak klien jika memang tidak sesuai dengan keinginannya. Tetapi penolakan itu jarang, bahkan hampir tidak pernah terjadi. Hal ini tidak terlepas dari kondisi awal Amoy yang sudah menyatakan kesediaannya untuk dipilih dan bukan pada posisi setara untuk memilih pasangan hidupnya.

Bila sudah menemukan pasangan, klien akan dipertemukan dengan orangtua Amoy untuk melakukan proses peminangan. Dalam proses peminangan, klien akan memberikan sejumlah uang atau perhiasan kepada orangtua klien sebagai mahar atau emas kawin, biasanya berkisar 2 hingga 4 juta rupiah. Kemudian pesta perkawinan sederhana pun dilangsungkan. Setelah klien menentukan pilihan, perantara akan mempersiapkan paspor bagi pengantin perempuan. Karena itu, segera setelah perkawinan, pihak perempuan atau Amoy sudah menggenggam paspor atas namanya. Perantara pula yang mengurus segala dokumen lain yang dibutuhkan untuk paspor tersebut, misalnya akte kelahiran. Untuk mempercepat proses, mereka sudah mempersiapkan sejumlah uang pelicin atau kolusi dan nepotisme selain membangun relasi yang baik dengan petugas-petugas yang harus dihadapinya.

Dokumen lain yang harus dipersiapkan adalah akte perkawinan. Dokumen ini diperoleh dengan mencatatkan perkawinan tersebut ke catatan sipil. Keanehan biasanya akan berlangsung di sini saat ditanyakan kedua mempelai apakah mereka saling mencintai satu sama lain dan benar-benar bersedia untuk menikah. Dalam sebuah proses perkenalan yang tidak lebih dari 3-4 hari dan tidak berlangsung secara alamiah, tentu sulit bagi seseorang untuk mengatakan apakah benar-benar mencintai pasangannya itu. Apalagi bila perempuan tersebut masih sangat muda menikah dengan laki-laki yang sama sekali asing dalam kehidupannya dan bersuai dua kali lipat atau lebih dari dirinya sendiri. Sementara itu, pertanyaan tersebut sudah seperti formalitas saja untuk mendapatkan jawaban dari pihak mempelai bahwa mereka tidak menikah atas tekanan dari siapa pun.

Setelah seluruh dokumen yang dibutuhkan dari daerah asal perempuan di Kalimantan Barat selesai, pasangan ini kembali ke Jakarta untuk mendaftarkan diri Taipei Economy and Trade Office, Teto. Teto adalah institusi pemerintah Taiwan di Indonesia yang memiliki kewenangan untuk memberikan visa. Untuk memperleh visa, pasangan tersebut akan diwawancarai oleh petugas Teto. Bila mereka lulus wawancara maka Amoy atau perempuan tersebut dapat pergi ke Taiwan untuk bergabung dengan suami dan keluarga suaminya itu. Karena seluruh dokumen yang dibutuhkan adalah asli, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya pemalsuan misalnya tentang usia dalam dokumen tersebut maka kedua mempelai tidak menghadapi banyak kesulitan hukum dalam aplikasi visa ini, kecuali dari petugas Teto sendiri.

Dari pekerjaannya ini, perantara akan memperoleh keuntungan bersih berkisar dari 3-7 juta rupiah dari setiap perkawinan yang berlangsung tergantung pada posisi yang mereka mainkan. Mereka merasa dirinya mendapat keuntungan lebih karena klien-klien perempuan yang diperolehnya juga akan sekaligus bekerja di pabrik dengan upah yang relatif murah. Sebuah investasi jangka panjang dalam penafsiran mereka tersebut.

Tanggung jawab perantara secara otomatis akan berakhir setelah Amoy atau perempuan tersebut tiba di Taiwan. Perantara tidak bertanggung jawab seandainya klien laki-laki adalah seorang yang abusive, penipuan lewat perkawinan untuk mempekerjakan perempuan atau Amoy sebagai pekerja seks, pemabuk, penjudi atau bahkan bila terjadi kasus penjualan kembali Amoy tersebut di Taiwan, sebagai seorang pekerja seks sekalipun. Bagi mereka, segala hal dalam rumah tangga tersebut dikembalikan pada peruntungan nasib Amoy atau perempuan itu. Dan pihak perempuan atau Amoy dan orangtua dari perempuan tersebut juga tidak akan menyalahkan perantara bila terjadi hal yang buruk dalam perkawinan itu.

Masalah lain yang muncul dalam perkawinan ini berasal dari tradisi keluarga besar yang dalam budaya Cina, atau Asia pada umumnya. Dalam tradisi ini seorang anak perempuan dan menantu harus berbakti kepada keluarganya atau keluarga suami. Karena itu, seorang menantu harus bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan segala kebutuhan keluarga besar tersebut, mengurus kebersihan rumah, memasak, mencuci dan lain sebagainya, termasuk bercocok tanam bila suami dan keluarganya menggantungkan nafkah di bidang pertanian dan perkebunan. Tugas ini akan memakan waktu yang panjang sehingga para Amoy atau perempuan ini baru dapat beristirahat pada larut malam. Kondisi ini menyebabkan mereka menjadi budak terselubung dalam keluarga tersebut akibat ikatan perkawinannya.

Tetapi sebagai pengusung kebudayaan yang sama, pada banyak kasus, perempuan merasa wajar dan pasrah menerima keadaan ini. Bahwa segala kemarahan dari pihak mertua adalah hal yang wajar dan patut diterima untuk dapat memahami dan menjadi bagian dari keluarga suami. Demikian pula dengan sifat suami dari Amoy yang suka minum minuman beralkohol yang dipandang sudah menjadi bagian dalam budaya Cina.



































Pengantin Orderan
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Pernikahan biasanya memang memberikan sekantung impian. Namun, mimpi punya dua sudut. Indah atau buruk. Di Singkawang, Kalimantan Barat, sudut-sudutt itu menampilkan wajah tajamnya. Pengantin pesanan berawal dari kunjungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Taiwan ke Kalimantan Barat pada 1980. Muhibah itu diteruskan dengan mengunjungi Singkawang. Jarak Pontianak ke Singkawang sekitar 145 Km arah utara. Untuk mempererat hubungan itu, dilakukan juga dengan cara pernikahan.

Mereka menganggap pernikahan merupakan salah satu cara, untuk mengikat kembali tali persaudaraan. Masyarakat Singkawang percaya, mereka satu leluhur dengan masyarakat Taiwan. Sama-sama dari China Daratan Tiongkok. Pada perkembangannya, pengantin pesanan yang merupakan simbol peningkatan hubungan kekerabatan, dijadikan alat mendapatkan keuntungan oleh sebagian orang. Mereka memanfaatkan rendahnya tingkat pendidikan, sumber pendapatan keluarga, ketidaktahuan hak dan informasi, gaya hidup konsumtif, ketidakadilan gender atau kuatnya budaya patriakhi dalam keluarga dan masyarakat. Rendahnya kesadaran terhadap nilai anak, serta faktor-faktor lain yang merupakan titik lemah ketahanan keluarga dan masyarakat, menjadi sasaran para calo mendekati para orang tua untuk merestui menikahkan anaknya.

Ada pola tertentu pada pengantin pesanan. Pada era 1980-an, biasanya perempuan datang ke Taiwan. Begitu sampai di Taiwan, sudah ada penghubung yang mempertemukan Amoy dengan pria Taiwan. Pada 1990-an, pria Taiwan datang langsung ke Kalimantan Barat, untuk mencari perempuan atau Amoy Singkawang. Bahkan, ada yang datang bersama orang tuanya. Pada 2000-an, perkawinan sudah menjadi ajang bisnis. Dan merupakan salah satu cara, mencari dan menggeruk uang. Banyak kasus, perempuan yang sudah kawin, balik ke Singkawang. Tentunya, setelah mereka mendapatkan berbagai uang dan barang.

Berbagai sebab dan adanya orang yang menggunakan hal itu, calo, untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, membuat praktik pengantin pesanan bisa terjadi. Para calo masuk ke desa miskin di pedalaman Singkawang. Mereka mencari perempuan usia muda dan hidup miskin. Para calo itu membujuk dan menawarkan menikah dengan warga negara Taiwan. Imbalannya, tentu saja merubah nasib dan mencari kehidupan lebih baik.

Mereka juga menawarkan jasa sebagai biro jodoh, dan membuat paket perkawinan. Yang memudahkan calon pengantin melaksanakan perkawinan. Amoy biasanya menuruti segala syarat yang diajukan calo. Terutama dalam pengurusan dokumen dan berbagai surat. Biasanya segala data mengenai usia bakal dimanipulasi. Hal itu dilakukan, karena Amoy biasanya masih sangat muda, dan berusia di bawah 18 tahun.

Tidak jarang, Amoy menolak dijodohkan dengan pengantin pria. Alasannya, pria bakal suaminya jauh lebih tua dari usianya. Ketika Amoy tidak mau dijodohkan, orang tua akan memaksanya. Dengan alasan berbakti pada orang tua, dan keinginan keluar dari kemiskinan, akhirnya Amoy akan menurut. Bila orang tua setuju, calo akan mengurus semua administrasi yang berhubungan dengan perkawinan. Dan persiapan pesta nikahnya. Semua biaya dan keperluan menikah, ditanggung pihak pengantin laki-laki.

Minimnya pendidikan Amoy, dan minimnya informasi terhadap calon pengantin pria, merupakan celah bagi masalah ini. Seharusnya, calon pengantin perempuan mendapatkan informasi yang benar. Sehingga bisa menjadi pertimbangan menentukan masa depannya. Menikah dengan siapa pun memang hak seseorang. Tapi, dia harus mendapatkan informasi yang jelas. Siapa calon pasangannya, bagaimana negara asal pasangannya dan lainnya.

Sebelum pernikahan berlangsung, biasanya yang datang fotonya ganteng-ganteng. Begitu acara nikah, ternyata orang tua. Hal itu tentu saja merupakan suatu penipuan. Yang dilakukan para calo. Faktor kemiskinan dan ketidaktahuan inilah, satu celah dan selalu dimanfaatkan calo. Namun ketika ada masalah dengan perkawinan itu, tidak ada yang bisa dimintai pendapat dan tanggung jawab. Biasanya bila terjadi masalah, Amoy tidak tahu haknya dan memilih diam. Tak jarang mereka balik ke Indonesia dan meninggalkan anak yang dilahirkan. Mereka memilih pisah dan cerai. Alasannya, mereka dieksploitasi secara fisik, psikis dan seksual.

Ada beberapa sebab, mengapa terjadi pengantin pesanan di Kalimantan Barat. Masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab utama pengantin pesanan. Atas nama merubah nasib dan ekonomi keluarga, seorang anak harus berbakti pada orang tua dan keluarga besarnya, dan menikah dengan pria Taiwan. Selain itu, keinginan menjalani kehidupan lebih baik, kesempatan ke luar negeri, penampilan lebih baik, pemilikan aset pribadi, tidak ingin menikah dengan pria lokal, dan atas nama cinta. Mereka juga ingin mendapatkan kehidupan lebih baik, dengan memiliki suami yang mencintai dan menghargai.

Faktor kedua, masalah persamaan budaya. Masyarakat Cina di Kalimantan Barat, mempunyai persamaan budaya dengan Taiwan. Persamaan budaya konfusianisme, buddisme dan pemujaan pada leluhur. Faktor itu secara tidak langsung, turut juga menyumbang pernikahan pesanan. Orang beranggapan, menikah dengan pria Taiwan merupakan penyatuan dan pertautan budaya.

Mengapa pria Taiwan memilih Amoy sebagai pasangan hidupnya? Orang Taiwan beranggapan, Amoy punya tipe setia, rajin dan ulet dalam membina keluarga. Selain itu, menikah dengan Amoy jauh lebih murah, dibandingkan menikah dengan perempuan Taiwan sendiri. Menikah dengan perempuan Taiwan, harus mempersiapkan rumah, mobil dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. Biaya nikah dengan perempuan Taiwan, bisa untuk mendapatkan 5—6 gadis Amoy dari Singkawang.

Dengan modal sekitar Rp 60 Juta, pria Taiwan sudah bisa mempersunting Amoy. Kurs mata uang Taiwan adalah Dollar Taiwan. Satu dollar U$ Amerika setara dengan 33 dolar Taiwan. Uang itu untuk mengurus berbagai surat pernikahan, biaya perjalanan dan penginapan pria Taiwan, selama berada di Indonesia. Pokoknya, pria Taiwan terima beres. Segala macam surat dari RT, kelurahan, paspor dan seluruh biaya perkawinan dengan uang itu. Bila ditotal semua, biaya mengurus semua keperluan itu sekitar Rp 17—20 Juta. Orang tua si Amoy diberi uang sekitar Rp 6 jutaan. Tak heran, bila dalam masalah pengantin pesanan, orang paling mendapat untung dari praktek ini adalah para calo.

Menikah dengan pria Taiwan merupakan cara paling mudah mengangkat harkat dan perekonomian keluarga. Kelak setelah menikah, Amoy bisa mengirimkan uang pada keluarga besarnya di kampung. Dengan kiriman uang itulah, mereka memperbaiki rumah dan modal usaha.

Pria Taiwan yang menikah dengan Amoy, biasanya dari kalangan menengah ke bawah, bila mereka hidup di perkotaan, biasanya dari kalangan cleaning service dan lainnya. Dari pedesaan, biasanya petani dan penggarap tanah. Wilayah pantai, biasanya dari kalangan nelayan. Kalaupun dari kalangan pegawai atau pemerintahan, adalah pensiunan dan berumur di atas 40 tahun.






























Nestapa Perkawinan Seleluhur
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Kawin dengan pria Taiwan memang untung-untungan. Kalau mendapat pria baik, dan benar-benar untuk menikah, maka si Amoy akan dapat meningkatkan taraf hidup diri dan keluarganya. Tapi bila tidak beruntung, maka pengalaman buruk berupa pemukulan, atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kerap juga terjadi. Sebagai istri petani, Amoy harus merangkap sebagai pekerja pertanian, dan bekerja seharian penuh membantu keluarganya di kebun. Yang lebih parah, bila suaminya bekerja di sektor nelayan. Bila musim peceklik tiba, dan pria Taiwan tidak mampu membayar uang pinjamannya untuk kawin, maka istrinya akan diberdayakan. Entah, sebagai Penjaja Seks Komersial (PSK) atau apa, demi melunasi hutang sang suami. Yang agak beruntung, bila Amoy mendapat suami seorang tentara atau pegawai, karena mendapat gaji setiap bulannya.

Selain itu, pengantin pesanan atau perkawinan seleluhur selalu rentan dengan masalah. Mereka mendapatkan status legal yang rendah. Hal ini tentu saja menyulitkan, dan sebuah ketidakpastian hak-hak legal. Terpencarnya komunitas Amoy, juga mempersulit koordinasi bila ada masalah. Kendala bahasa turut pula menyumbang permasalahan. Banyak dari Amoy tidak bisa berbahasa Mandarin. Di Kalimantan Barat, Pontianak dan Singkawang dan sekitarnya khususnya, biasanya mereka menggunakan bahasa Cina dengan dialek Khek dan Teochiu.

Menurut data Kementerian Dalam Negeri Taiwan dari 1987—2003, ada 240.837 pengantin asing yang masuk ke Taiwan dengan 93 persen pengantin perempuan. Dari Cina Daratan 57,8 persen dan Asia Tenggara 42,2 persen. Dari jumlah itu, pengantin pesanan dari Asia Tenggara, sebanyak 57,5 persen dari Vietnan, 23,2 persen dari Indonesia, 5,3 persen dari Thailand dan 5,3 persen dari Filipina. Sisanya dari Korea dan lainnya.

Data dari Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC Melati), Forum Komunikasi Etnis Tionghoa (Foket) dan Majelis Adat Budaya Tionghoa (MBAT) Singkawang yang diterbitkan 1 Juli 2007, dijelaskan bahwa dari 1980 (hingga data terkini) sekitar 24 ribu warga Cina asal Singkawang dan sekitarnya berada di Negara Taiwan. Ditegaskan, 100 persen mereka melakukan perkawinan pesanan atau perkawinan seleluhur tersebut. Darinya, 60 persen dilaporkan dapat mengangkat derajat perekenomian keluarga mereka.

Perempuan atau Amoy yang kawin dengan pria Taiwan dan anak hasil perkawinan mereka, dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Mereka seringkali mendapat diskriminasi di masyarakat Taiwan. Mereka dianggap bisa membuat masalah sosial bagi Taiwan. Karena itulah, pada 2003, pemerintah Taiwan mengeluarkan kuota bagi perkawinan dengan Amoy dari Indonesia. Jumlahnya sekitar 2000 orang saja setiap tahunnya. Kuota itu diberlakukan, karena ada kekhawatiran, pernikahan bakal membawa masalah bagi negara Taiwan.

Faktanya, justru posisi perempuan atau Amoy inilah, berada pada titik rawan. Meski sudah melahirkan dan punya anak, sebelum 4 tahun, Amoy masih menjadi warga negara asing di Taiwan. Karenanya, mereka rentan dideportasi, bila dianggap melanggar peraturan dan berbuat salah. Ketika mengalami eksploitasi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau pun lari, mereka harus meninggalkan anak hasil perkawinannya.

Belakangan ini, pemerintah Taiwan melakukan new immigrations. Taiwan memberikan peluang bagi warga negara asing yang menikah dengan pria Taiwan, untuk belajar budaya, bahasa, adat istiadat, di suatu lembaga. Tak heran jika orang dari China Daratan, Vietnam, Indonesia (Singkawang dan Pontianak dan sekitarnya khususnya), Filipina, Thailand, Korea dan lainnya, mengisi fasilitas itu. Mereka belajar kebersamaan. Saling bercerita berbagai pengalaman dan mengatasi permasalahan.

Meski sering terjadi masalah pada pengantin pesanan, namun masalah ini jarang sekali muncul ke permukaan dan diketahui masyarakat luas. Ada beberapa faktor kesulitan dalam penanganan masalah pengantin pesanan itu. Salah satunya, ketertutupan pihak korban dan keluarganya. Mereka beranggapan, masalah itu merupakan aib keluarga. Karena itu harus ditutupi dan masyarakat tidak perlu mengetahuinya. Tak heran bila ada pihak luar ingin melakukan advokasi terhadap korban, malah dilarang. Korban dan keluarga besarnya tidak mau bicara.

Betapa tertutupnya keluarga korban yang rata-rata masyarakat Cina. Padahal ada yang mau membantu permasalahannya. Namun mereka malah tidak mau. Terkesan terlalu eksklusif. Sikap itu tidak serta merta muncul. Tentu ada latar belakangnya. Perlakuan diskriminatif yang acap dialami orang Cina di Indonesia, bukan semata-mata karena orang Indonesia bersikap rasis atau cemburu terhadap kemajuan ekonomi orang Cina. Bukan itu sebabnya.

Seandainya orang Cina memandang mereka sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, hendaknya duduk persoalan sebelumnya dikaji. Agaknya jika di antara mereka merasa ada sikap diskriminatif dari bumiputera, pada hakekatnya juga merupakan sebab dan akibat dari kecelakaan sejarah mereka di masa lalu. Sejak dulu orang Cina selalu memiliki orientasi sangat kuat ke negeri leluhurnya. Sikap ini menghalangi mereka untuk berasimilasi dengan masyarakat setempat. Kadang-kadang, chauvinisme di kalangan orang Cina begitu tinggi sehingga sebagian dari mereka memandang bangsanya lebih bermartabat dari berbagai suku bangsa lain di Indonesia. Chauvinisme ini merupakan hambatan psikologis orang Cina untuk berasimilasi dengan orang Indonesia.

Pada masa penjajahan, Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas. Pertama, Europeanean (Belanda). Kedua, Vremde Oosterlingen (Cina, Arab, India). Ketiga, Inlander (berbagai suku bangsa Bumiputera). Pada masa rezim pemerintahan Orde Lama, Sukarno, juga membuat kebijakan yang diskriminatif. Sukarno mengeluarkan PP Nomor 10/1959 berupa pelarangan bagi perdagangan kecil eceran yang bersifat asing di luar ibukota propinsi dan kabupaten-kota. Dengan peraturan ini, masyarakat Cina akhirnya mengumpul di satu wilayah saja.

Rezim Orde Baru, di mana masa ini tak kalah sengitnya. Berbagai perlakuan dan tindakan diskriminatif, termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Pemberlakuan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), bagi masyarakat Cina, merupakan cara dan salah satu bentuk paling diskriminatif yang pernah dilakukan. Atas nama SBKRI, berbagai segi kehidupan, baik secara ekonomis atau politis terpasung. SBKRI juga dilanggengkan oleh kalangan tertentu, untuk mengeruk upeti dan mendapatkan uang. Berbagai pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) atau dokumen, selalu dikenakan biaya tinggi bagi masyarakat Cina. Sejarah itulah yang membuat masyarakat Cina jadi menutup diri dan eksklusif.

Selama sebelum belakangan ini, pemerintah Indonesia tidak menganggap serius permasalahan pengantin pesanan. Penanganannya tak pernah tuntas. Jaringannya terputus di berbagai tempat. Ada beberapa faktor bisa dilakukan, untuk memangkas masalah pengantin pesanan. Dalam pengurusan dokumen, seperti KTP atau paspor, pihak terkait harusnya lebih jeli. Misalnya, dengan menanyakan orang yang membuat paspor, sudah cukup umur atau belum. Apalagi, bila diketahui akan menikah dengan pria Taiwan. Selama ini pihak imigrasi seakan tidak punya gigi. Mereka beranggapan, secara administrasi hal itu sudah dilengkapi. Jadi tidak ada alasan untuk tidak memberikan paspor.

Selain itu, ada pendapat dari masyarakat, kenapa orang ingin menikah dan mencapai kebahagiaan, harus dihalangi. Ketika mengurus paspor, orang tua tentu mengetahui. Dan ini sebuah kesepakatan, dan mereka anggap bukan suatu pelanggaran. Berdasarkan data pihak imigrasi Singkawang, misalnya, ada kenaikan jumlah perempuan pencari paspor. Ada dua jenis paspor, 24 halaman berlaku 3 tahun, dan 48 halaman berlaku 5 tahun. Orang atau Amoy yang kawin dengan pria Taiwan, biasanya membuat paspor 48 halaman berlaku 5 tahun.

Bila pada 2004 pencari paspor 48 halaman berjumlah 1.819. pada 2005 meningkat menjadi 2.999. Namun jumlah pencari paspor 24 halaman menurun drastis. Jika 2004 berjumlah 9.060, pada 2005 menjadi 964. Begitupun dengan TKW yang mengajukan paspor. Bila pada 2004 berjumlah 1.127. pencari paspor pada 2005 menjadi 109 orang.

Berdasarkan data Pengadilan Negeri Singkawang, dari 1997—2003 saja, ada 170 kasus gugatan perceraian dengan suami dari Taiwan. Pengadilan digelar secara in absentia yaitu perstek atau tanpa kehadiran salah satu pihak. Acara itu disetujui, bila penggugat dapat mengemukakan alasannya secara tepat, dan pihak pengadilan menyetujuinya. Setelah perceraian, untuk mendapatkan hak perwalian dan pengasuhan anak juga terhalang.

Dalam hal terjadinya perkawinan wanita Indonesia dengan laki-laki asing, berdasarkan hukum Indonesia, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan itu ikut kewarganegaraan bapaknya. Dalam hal ibu ingin mendapat hak asuh terhadap anak yang masih di bawah umur, hanya mungkin dilakukan gugatan di Pengadilan Negeri di tempat perkawinannya dilakukan dan dicatat. Dan biasanya dilihat, apakah si ibu mempunyai kemampuan, dan penghasilan yang layak, untuk memungkinkan pemeliharaan si anak dalam masa pengasuhan. Tetapi persoalan hukumnya adalah, si anak itu tetap warga asing dan batas tinggal di Indonesia mempunyai batasan tertentu. Yang jika tidak dipenuhi syarat-syarat hukum sewaktu-waktu bisa dideportasi oleh aparat yang berwenang seperti imigrasi.

Peraturan hukum di Indonesia tidak memberikan ruang bagi perempuan yang menikah dengan warga negara asing, untuk memiliki hak asuh bagi anaknya. Sekalipun, pernikahan itu terjadi di Indonesia. Undang Undang Nomor 62 Tahun 1958 menyatakan bahwa perempuan yang menikah dengan orang asing, anak hasil perkawinan tersebut otomatis menjadi warga negara asing. Ketika anak berusia 17 tahun, ia baru dapat memilih kewarganegaraan mana yang diinginkan.

Banyak dari pasangan pengantin pesanan mendapat kebahagiaan. Tapi, tak sedikit mengalami masalah. Bahkan, ada yang telah meninggal, karena terkena virus HIV/AIDS. Mereka diperdagangkan menjadi PSK, ketika sampai di Taiwan. Ada yang diminta melayani satu keluarga, karena uang untuk mendapatkan Amoy diperoleh melalui patungan. Tak sedikit yang kehilangan jejak, karena tak ada kabar beritanya. Berita tentangnya tidak pernah terdengar, pihak keluarganya tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada uang untuk mencari informasi ke Taiwan.

Tak bisa dipungkiri memang. Pengantin pesanan atau perkawinan seleluhur ini telah menghadirkan fakta, adanya perdagangan manusia, tapi dibungkus melalui ritual perkawinan. Minimnya informasi awal sebelum perkawinan, membuat berbagai masalah muncul dikemudian hari. Repotnya, angka kasus itu tidak terlihat di permukaan. Keluarga perempuan atau Amoy menutup diri bila ada masalah. Jaringan calo juga tidak mau tanggung jawab, bila ada kasus yang terjadi.

Pada akhirnya, permasalahan pengantin pesanan atau perkawinan tidak normal, tak ubah seperti fenomena gunung es. Sedikit di permukaan, padahal sebenarnya besar sekali jumlahnya. Inilah sebuah nestapa perkawinan ilegal dengan pria seleluhur.


Di Singkawang Mencari Cinta
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Kehadiran awal orang-orang Cina ke Sambas tak lepas dari peran monarkhi Kesultanan Melayu Sambas. Atas undangan sultan Sambas, Omar Aqamaddin, pada 1750 terjadi semacam kolonisasi Cina ke mari. Mereka diundang bekerja di pertambangan emas di wilayah kekuasaan sultan dengan perjanjian bagi hasil penggalian emas dilakukan di Larah, dan meluas ke Montrado yang kini masuk administratif Samalantan Kabupaten Bengkayang.

Di bagian awal telah dijelaskan, keberadaan para imigran Cina sebagai penambang emas dan intan cukup besar. Sehingga membentuk beberapa kelompok pemukiman yang dikepalai seorang Kung Se, semacam ketua perserikatan kerja. Kemudian keberadaan kung se jadi sangat kuat dan dianggap berbahaya. Pada 1884, semua kung se pertambangan emas dan intan dibubarkan Belanda. Sejak itu, mereka pun beralih menjadi pedagang, petani, dan buruh kasar.

Tanah Singkawang mengandung unsur hara. Tak mengherankan, karena orang Cina itu terampil menjadi petani. Maka dalam waktu singkat Singkawang maju pesat. Pada 1834 di Singkawang sudah terdapat satu jalan utama membelah kota. Kini, sekitar tiga abad kemudian, Kota Singkawang sudah maju. Mayoritas penduduknya keturunan Cina. Pertokoan hampir semua dijaga kaum wanitanya, sedangkan kaum lelakinya hampir semua bekerja di lahan pertanian. Sisa peningalan, seperti vihara dan kelenteng, tetap berdiri kukuh.

Walau kemajuan terjadi, kemiskinan tetap saja melilit kehidupan warga keturunan Cina di sana dan sekitarnya. Kini mereka adalah generasi ke delapan dengan hitungan satu generasi 25 tahun. Mengkristalnya keturunan Cina ini di Singkawang, hal ini tak lepas dari peristiwa pada 1967, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa pemberontakan PKI dan PGRS/Paraku. Waktu peristiwa itu meletus, posisi keturunan Cina, konon pro Kuo Min Tang, berada di pedalaman dan dekat dengan perbatasan Sarawak yang berbau komunis. Supaya jangan tercemar, maka puluhan ribu jiwa orang Cina itu diungsikan ke Singkawang. Tapi, sebelumnya, di Singkawang memang sudah ada keturunan Cina. Dan kehadiran para pengungsi yang besar-besaran itu membuat keturunan Cina di sini bertambah banyak.

Akibat mengungsi, mereka memulai hidupnya dari nol kembali. Itu sebabnya di Singkawang orang Cina di segala lini ada, sebagai buruh kasar, buruh tani, buruh angkut, dan pembantu rumah tangga. Dari mulai strata bawah sampai atas ada di sana. Dari sekitar 70 persen atau sekitar 50.000 keturunan Cina warga Singkawang itu, 90 persen berasal dari sub-suku Khek. Sisanya, ada Tio Ciu, Hokkian, Hainan, dan lainnya. Suku Khek ini sangat rendah kelasnya. Daya pikirnya tinggi, Cuma karena sangat miskin, jadi kelihatan bodoh. Itu sebabnya suku lain memandang remeh suku Khek itu.

Pendidikan rendah dan miskin itu mungkin yang membuat para Amoy Singkawang dan sekitarnya tak betah tinggal. Entah faktor adanya hubungan famili, warga Singkawang ini, terutama Amoy-nya, senang merantau ke Taiwan dan Hong Kong. Dan Amoy-amoy Singkawang ini tergiur kepada lelaki Taiwan atau Hong Kong untuk pendamping hidupnya. Kecenderungan ini terus meningkat saban tahun. Amoy yang menikahi pria Taiwan itu rata-rata berpendidikan SD dan SMP. Malah ada yang buta huruf. Dan yang pasti mereka semua dari keluarga miskin.

Kalau Amoy yang berpendidikan sampai SMA, apalagi dari keluarga yang lumayan, dia pasti tidak mau. Ia malu dengan teman-temannya. Lebih baik ia ke Jakarta atau kawin dengan pemuda setempat. Diakui, memang ada juga Amoy berpendidikan SMA yang kawin demikian, tapi umumnya itu dari pedalaman. Apakah karena Singkawang atau Pemangkat tak menjanjikan apa-apa sehingga mereka memilih kabur. Konon, Pontianak dan Jakarta tidak pula menjanjikan hidup layak. Dan sekitar 20 tahun ini mereka tergiur kawin dengan pemuda Taiwan atau Hong Kong. Kedapatan, selama 20 tahunan itu perkawinan Amoy Singkawang dengan pria Taiwan adalah sebuah trend, menurut mereka, rezeki pun mengalir.

Tergiurnya lelaki Taiwan itu lantaran biaya perkawinannya murah dibandingkan dengan di negara asalnya. Hanya dengan, minimal 30-an juta, pemuda Taiwan sudah bisa membawa pulang Amoy Singkawang ke negeri Kepulauan Formosa itu. Menurut seorang cangkau (sebutan untuk calo) Amoy di Singkawang, biaya seorang pria yang kawin di Taiwan mencapai tiga kali lipat dari jumlah itu. Wanita Taiwan kalau mau dinikahi minta tiga syarat, diberi rumah sendiri, mobil sedan, dan kulkas.

Yang jelas, tiga syarat itu harus ada. Ini belum lagi mahar kawin, seperti perhiasan emas. Jika si lelaki Taiwan itu tak mampu memenuhi syarat itu, jangan harap wanitanya mau menikah. Wanita Taiwan hidupnya glamour, mereka lebih rela menjadi PSK atau pelavur daripada syarat kawin itu tak terpenuhi. Maka, di Taiwan sangat banyak dijumpai wanita berprofesi sebagai PSK atau pelacur. Selain itu, hidup wanita di sana pun bebas dan terikat pada karir. Di sana wanitanya bekerja semua, pokoknya apa saja dikerjakan, malah tenaga kerja di Taiwan masih kurang. Itu sebabnya dari Indonesia terus mengalir tenaga kerja wanita ke sana.

Secara yuridis trend perkawinan ini tak bisa dilarang, apalagi dicegah. Itu menyangkut soal hak asasi manusia. Cuma, yang mengkhawatirkan adalah soal implikasi politiknya. Kekhawatiran itu tentu sekali beralasan, sebab para Amoy tersebut menjadi warga negara Taiwan. Dan keluarganya yang masih menetap di Singkawang atau sekitarnya lambat laun pikirannya akan berubah. Perkawinan itu secara ekonomi dampaknya tentu positif. Diakui oleh sebuah sumber di Singkawang, dulu jika tak ada bisnis itu, maka warga keturunan Cina di sini sudah keok. Di sini mereka tidak tahu mau kerja apa, sangat miskin. Ini fakta. Mereka melihat dan menerima duit Rp 1 juta saja sudah gemetar. Itu sebabnya, perkawinan antara Amoy dan lelaki Taiwan direstui.

Dulu Amoy Singkawang kerja ke Taiwan, lantas mendapat jodoh. Kemudian terjadi pelarangan. Lantas pria Taiwan itu yang datang ke Singkawang mengambil si Amoy. Dan kemudian ada trend baru walaupun masih kecil, belakangan pria Taiwan justru yang tingal di Singkawang

Contohnya, ada pasangan yang sudah seatap dengan pria Taiwan. Si Amoy berusia 22 tahun dan pria Taiwan berusia sekitar 60 tahun. Mereka mengaku sudah menikah lima tahun lalu, tapi tak pernah ke Taiwan. Si Amoy mengatakan bukannya tidak pengin ke Taiwan, namun si pria Taiwan suaminya itu masih punya istri di tanah kelahirannya. Istrinya sudah tua, ungkap si Amoy tadi yang berpendidikan sampai kelas III SD itu. Sebelumnya, si Amoy bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Suatu hari, akunya, ia dikenalkan dengan pria tua Taiwan itu. Dia pun senang saja, katanya dia orang kaya, mereka pun kawin. Bahwa pria tua Taiwan itu kaya ternyata benar.

Kini, di Singkawang, Amoy tadi dan suaminya tinggal di rumah sendiri, dengan kelengkapan rumah tangga memadai. Tak hanya itu, kini dengan atas nama si Amoy, pria Taiwan itu sudah pula mendirikan 10 unit rumah toko. Satu unit diberikan kepada orang tua Amoy dan keluarganya. Sisanya dijual dan dikontrakkan. Dan semua itu sudah atas nama si Amoy.

Namun belakangan, dengan lugu si Amoy yang sudah disebut Nyonya ini bilang ia kawin atas dasar suka sama suka. Kini, dengan motif seperti ditempuh Amoy ini, dinilai perkawinanan para Amoy dengan pria Taiwan sebagai penolong keluarganya. Sedangkan pria tua Taiwan tadi tidak setiap hari bisa tinggal bersamanya. Jika habis visanya, ia pulang ke Taiwan, dan tak lama di sana datang lagi. Api asmara yang panas menggeledak membuatnya sulit memupus ingatannya dari Singkawang.























Tergiur Gemerincing Dollar Taiwan
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Perkawinan yang dipaksa bisa berakibat fatal. Setelah di Taiwan, misalnya, tidak senang sama suaminya, lantas kabur. Mereka telantar. Kondisi ini membuat mereka ada yang terjerumus ke dunia prostitusi. Pada posisi ini, mereka diperas germonya, dijadikan sarana pencari uang. Info yang dikumpulkan, 1993 pernah ditemukan sedikitnya 100 orang Amoy asal Singkawang yang telantar. Mereka dipulangkan ke Singkawang dan sekitarnya.

Sebenarnya mereka malu pulang. Karena malu, lalu mereka hijrah ke Batam berpraktek prostitusi. Kalau di daerah asalnya buka praktek malu, memang ada juga di sini tapi terselubung. Yang dari Batam, ada juga yang pulang setelah berhasil, kawin baik-baik di sini. Pernah ada kasus seorang Amoy remaja, sekitar 13 tahun, dipaksa orang tuanya kawin dengan warga Taiwan via cangkau. Persoalan bagi Amoy remaja muncul manakala menghadapi perilaku seksual pria Taiwan. Kasus ini sempat menghebohkan. Persoalan memang macam-macam. Tidak hanya setelah amoy-amoy itu berada di Taiwan.

Pada proses awal perjodohan pun ada. Peristiwa Tjang Lie Na beberapa tahun lalu misalnya menjadi bahan perbincangan yang hangat di Singkawang. Maklum, dan gara-gara peristiwa itu pula Lie Na tak mau lagi ke Taiwan ikut suaminya. Lebih baik bercerai, ungkapnya waktu itu, di Singkawang saja dianiaya, apalagi nanti di taiwan jauh dari orang tua, pikir dia.

Lain lagi kasus Bong Lie Cin. Amoy bunga Dusun Sentete Desa Sungai Raya pemangkat. Ia ketika itu baru menginjak usia 18 tahun. Suatu ketika rumahnya didatangi dua lelaki yang dikenalnya, sebut saja bernama A Sung seorang pengusaha hotel di pemangkat dan A Bun warga pemangkat yang kerap bolak-balik Jakarta—Singkawang. Dua pria ini agen yang berniat menjodohkan Lie Cin dengan Chang Kun Hung, warga Taiwan berusia 36 tahun.

Pria Taiwan itu menginap di hotel milik A Sung. Ia kerap ke salah satu salon menemui Lie Cin. Singkat kata, mereka pun menjadi akrab. Lewat jasa dua cangkau itu si pria Taiwan meminang Lie Cin. Pinangan diterima, diwakili Lim Kim Khiong abang Lie Cin. Perkawinan direstui asalkan syaratnya dipenuhi berupa uang tunai Rp 10 juta dan perhiasan emas 200 gram.

Sontak syarat tersebut dikabulkan Chang Kun Hung. Pesta perkawinan dilakukan, dan dilanjutkan ke Catatan Cipil dengan dibuatkan akta kawin. Setelah semua beres, mereka ke Jakarta, berbulan madu, sebelum terbang ke Taiwan. Di Jakarta, pasangan ini menginap di salah satu hotel di kawasan Pancoran. Entah bagaimana, Lie Cin mendadak hilang. Kun Hung panik, apalagi ia tidak bisa berbahasa Indonesia. Via telepon ia mengontak A Bun di pemangkat, melaporkan hilangnya Lie Cin. Dengan berantai, info tersebut sampai pada keluarga Lie Cin. Mereka juga kacau, kemudian melapor ke polres setempat. Dan Singkawang, bahkan Pontianak pun geger.

Dua minggu setelah hilang, Lie Cin muncul di pemangkat. Ditemani pengacaranya, lalu ia melapor ke polisi. Cerita pengacaranya, kliennya itu nekat lari karena diperlakukan tak layak sebagai istri. Selama menginap di Jakarta, segala biaya dibebankan kepada Lie Cin. Kun Hung tak mau tahu soal itu. Alasannya, ia tak punya uang rupiah. Sampai Lie Cin kehabisan uangnya. Lie Cin melarikan diri dan nekat memanggil taksi. Ternyata, sopir taksi itu punya kenalan orang Singkawang.

Berkat itulah ia bisa bertahan di Jakarta. Selain adanya keanehan perilaku Kun Hung, rupanya syarat perkawinan yang Rp 10 juta itu baru dilunasi Rp 1 juta. Sisanya, Rp 9 juta, diserahkan dalam bentuk tabungan. Ketika Lie Cin dikabarkan hilang, Kim Khiong abang Lie Cin berusaha mencairkan tabungan itu, ternyata tak bisa dicairkan. Rupanya tabungan itu masih atas nama Kun Hung, bagaimana mungkin bisa cair. Merasa ditipu, Lie Cin membatalkan perkawinannya.

Bukan hanya di Singkawang. Pada pria Taiwan pun menjajal beramai-ramai juga turun ke Jakarta. Seperti di Singkawang, di kota metropolis ini mereka pun sama, mencari perempuan di sana. Di Singkawang perempuan muda ini dikenal sebagai Amoy, maka di Jakarta, lebih populer diistilahkan dengan Cina Benteng. Tentu saja, gadis Cina Benteng itu untuk diperistri.

Dengan melibatkan molang, atau perantara, sebutan di Singkawang-nya cangkau, di sini mereka hanya perlu menyediakan dana sekitar Rp 5 Juta. Dengan merogoh kocek senilai itu, warga Taiwan itu pun sudah bisa menggaet gadis idaman dalam sebuah proses lamaran yang dinamakan sangjitan yang ringkas.

Seperti juga klasiknya di Singkawang dan sekitarnya, di komunitas Cina Benteng pun faktor kemelaratan menahun dan pendidikan yang terbatas membuat para gadisnya, terutama yang bermukim di Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, lebih memilih jalan pintas. Ada yang mujur, namun banyak sekali yang malang. Sebuah majalah berita ibukota beberapa waktu lalu pernah melaporkan. Dituliskan, ada foto pengantin yang terasa ganjil. Seorang pria paruh baya bersandingkan gadis belia yang dipoles riasan tebal. Pria bernama, sebut saja A Hian tersebut tampak berusaha terlihat mesra. Sedangkan si gadis, Amoy, hanya tersenyum datar. Bedak dan gincu tak kuasa menyembunyikan kemudaannya.

Diakui si Amoy ini, saat itu ia baru menginjak usia 13 tahun. Si Amoy dalam potret itu mengatakan, A Hian, pria Taiwan, sudah 50 tahun. Konon, kata si Amoy ini pria itu lebih tua dari ayahnya. Pernikahan mereka itu bukan sekedar pose kosong. Sebelum naik pelaminan, proses perkenalan hingga lamaran telah mereka jalani. Bedanya, semuanya dijalani secara instan lewat proses perjodohan atau chesaw.

Adalah, sebut saja Cin Lo, nenek si Amoy sendiri, yang mengenalkan dia kepada A Hian di sebuah hotel di kawasan Mangga Besar, Jakarta, pertengahan 2005. Bersama Amoy, waktu itu ada lima perempuan muda yang datang dengan maksud serupa, mereka datang untuk diseleksi A Hian. Belakangan, ternyata A Hian memilih si Amoy yang kemudian mengaku bernama, sebut saja, Keke.

Esoknya, proses lamaran atau sangjitan dilakukan. A Hian mendatangi rumah Amoy dan menyatakan niatnya meminang si gadis. Proses ini ditandai dengan penyerahan uang Rp 5 juta kepada calon mertua. Hari itu juga diadakan pesta makan di salah satu restoran dan diakhiri dengan potret pengantin di salah satu studio foto. Sejak itu, resmilah A Hian dan Amoy jadi suami-istri, konon, tanpa ke catatan sipil atau disahkan secara agama.
Akunya, tidak ada satu orang pun yang memaksa Amoy ini melakukan itu semua. Dia sendiri yang mengajukan diri. Kata dia, untuk membantu meringankan beban orang tua. Begitulah pengakuan polos Amoy yang tinggal di Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, itu. Kawasan ini memang dikenal juga sebagai salah satu sentra permukiman koloni Cina Benteng di Jakarta.

Amoy yang mengaku bernama Keke ini hanyalah salah satu contoh perkawinan ala sangjitan yang marak di komunitas Cina Benteng belakangan lalu. Nenek Amoy, yang kerap berperan sebagai molang atau perantara, mengaku bisa menjodohkan tiga pasang dalam sebulan. Di Kampung Belakang, ternyata bukan cuma Cin Lo yang menjadi molang.

Kedapatan, molang juga tak hanya ada di Kampung Belakang. Mereka ternyata masih punya atasan alias manajer operasi di Jakarta kota. Mereka inilah yang berhubungan dengan molang alias cangkau di Taiwan yang memegang kendali biro jodoh. Mereka biasanya orang Singkawang atau Medan yang sudah lama menikah dengan orang Taiwan. Beberapa perempuan Kampung Belakang mengaku rela menjalani perjodohan macam itu untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan yang sudah mendera mereka berabad-abad. Apa boleh buat, sudah lama komunitas masyarakat ini memang tak beruntung secara ekonomis.

Saat menyusuri Kampung Belakang, memang yang ada adalah pemandangan getir segera menyergap. Rumah kontrakan saling berimpitan dan hanya disekat gang sempit. Jika sebuah sepeda motor melintas, yang lain harus menunggu giliran lewat. Betapa sempit dan kumuhnya, begitulah yang sesegera dirasakan bila berada di sana.

Warga Kampung Belakang kebanyakan bekerja di sektor informal: tukang ojek, kuli, pemulung, buruh cuci, hingga pedagang nomor buntut. Sungguh bukan jenis pekerjaan yang menjanjikan pendapatan besar tentunya. Jangankan untuk mencukupi kebutuhan harian, konon diakui mereka untuk membayar kontrakan saja sering nunggak. Harga kontrakan di sana berkisar Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu per bulannya. Kemiskinan dan pendidikan yang rendah membuat gadis Kampung Belakang tak punya banyak pilihan. Mereka bagai putus harapan sampai kemudian merebak gejala perkawinan lewat perjodohan alias chesaw ala Taiwan ini. Perjodohan inilah yang kini menjadi salah satu cara sebagian perempuan muda atau Amoy Kampung Belakang yang ingin mengubah garis nasibnya.

Adalah, sebut saja Hwang Li Na alias Lina, yang menjadi awal cerita ini. Ayah Lina penarik ojek, dan ibunya berjualan nomor buntut. Tiba-tiba suatu hari ia dikenalkan dengan pria Taiwan bernama, sebut saja, Ie Sek. Singkat cerita, lelaki seberang dari Pulau Formosa itu pun tertarik dan terjadilah sangjitan. Saat itu, ia memberikan Rp 2,5 juta untuk orang tua Lina. Pesta pun digelar. Belakangan ini dikabarkan Lina hidup sejahtera di Kota Chiayi, Taiwan.

Sebagaimana juga di Singkawang, di Kampung Belakang di lingkungan Cina Benteng ini, sejak itulah chesaw dianggap sebagai jalan pintas untuk lolos dari jerat kenestapaan. Peluang ini akhirnya memunculkan molang seperti Cin Lo. Dia memulainya beberapa tahun lalu dengan menjodohkan anaknya sendiri, sebut saja, Lili dan Yeni, dengan orang Taiwan. Setelah itu banyak gadis datang kepadanya. Belakangan terakhir, kata dia, kian banyak orang menjadi molang. Wajar saja, untuk setiap perjodohan yang berhasil, molang akan mendapat fee Rp 3 juta. Sangat lumayan besar tentunya untuk ukuran Kampung Belakang ini.

Dia menambahkan tuturannya, order untuk melakukan perjodohan datang lewat telepon oleh atasannya di kawasan Jakarta Kota. Dia mengabarkan ada orang Taiwan yang akan turun mencari istri, ungkapnya berkisah. Maka, para molang segera berkeliling di Kampung Belakang mencari Amoy alias gadis muda yang bersedia dinikahi orang Taiwan. Kadang molang, seperti Cin Lo ini, sudah punya catatan perempuan yang bersedia dikawinkan.

Setelah itu, molang akan mengantarkan Amoy calon istri ke hotel di kawasan kota. Di sana biasanya sudah menunggu lima perempuan lain yang dibawa molang pesaing. Mereka lalu dipajang. Jika ada yang cocok, calon istri terpilih akan diberi tanda jadi Rp 1 juta untuk belanja persiapan sangjitan. Lalu keesokan harinya dimulailah proses sangjitan. Usai proses ini, kedua mempelai menginap di hotel bak suami-istri yang sah.

Sebenarnya, para molang ini sepenuhnya tahu bahwa perkawinan ini amat berisiko. Maka sejak awal mereka memasang radar untuk membaca karakter pria Taiwan yang turun itu. Kalau kelihatan kurang baik, tidak diizinkan untuk diteruskan, aku molang Cin Lo suatu ketika.

Perkara itu tampaknya bahkan lebih penting ketimbang soal absah-tidaknya perkawinan itu sendiri. Molang satu ini, Cin Lo, misalnya, beranggapan, meski tak bersandar pada agama, praktek itu menurutnya halal. Mereka, kata dia, tetap menikah meski tidak di depan Tuhan. Masih argumen dia, yang penting, adalah restu orang tua si Amoy alias gadis muda tersebut sudah didapat. Nampaknya, lagi juga cara ini adalah yang diminta oleh para pria Taiwan itu.

Untuk memuluskan kerjanya, molang lokal punya hubungan dengan biro jodoh di Taiwan. Biro inilah yang dipasrahi orang Taiwan untuk mengurus perjodohannya di Indonesia. Dengan 300 ribu NT atau the New Taiwan dollar, setara dengan Rp 84 juta di mana 1 NT sebanding Rp 280, maka mereka tak perlu pusing memikirkan biaya perjalanan dan akomodasi, uang sangjitan, dan angpau. Harga itu sudah termasuk untuk pengurusan surat nikah dan imigrasi.

Mengenai surat nikah, biasanya setelah berbulan madu di hotel, sang suami akan kembali ke Taiwan. Kelak, setelah enam bulan, pengantin wanita baru akan diboyong ke Taiwan setelah para calo kelar mengurus surat nikah dan administrasinya. Seperti di Singkawang yang diarasakan para Amoy yang sudah terjual pada pria Taiwan, dari sinilah bermacam kisah bisa terjadi. Tak jarang dengan berbagai alasan sang pria Taiwan tak kembali dan perkawinan batal begitu saja. Amoy Kampung Belakang, sebut saja bernama Keke adalah salah satu korbannya. Hingga belakangan, pak tua yang telah merenggut kegadisannya dulu tak terdengar lagi kabarberitanya.

Nasib A Cu alias Silvy di Singkawang, yang berusia 21 tahun, setali tiga uang juga. Ia sudah menjalani sangjitan dengan pria 65 tahun. Setelah setahun A Cu menunggu, pria gaek itu tak juga kunjung datang menjemputnya. Alhasil, kekecewaanlah yang belakangan ia rasakan. Tetapi itu hanya sebentar. Seorang anak buah kapal Taiwan berumur sekitar 56 tahun kemudian meminatinya.

Untuk mereka yang akhirnya jadi berangkat ke Taiwan, seribu kemungkinan juga menunggu. Cin Cin sebut saja begitu, mungkin bernasib mujur. Salah seorang perempuan itu beruntung mendapat suami dan keluarga baru yang menerimananya dengan baik. Pun begitu, selalu saja ada sisi kelam dalam sebuah kisah. Yanti, anak yang lain Cin Lo misalnya, kini terpaksa bekerja serabutan di Taiwan setelah bercerai dengan suaminya yang kerap menyiksanya.

Yanti alias Ango kini ia sering menemani para pria di tempat karoeke guna menutup biaya hidupnya yang tinggi. Sebuah elegi ketidakberuntungan juga menyergap Mely, yang terjebak dikawini pria Taiwan pengidap keterbelakangan mental.

Gejala perkawinan internasional pria Taiwan ini nampaknya memberikan sebuah benang merah. Modus yang terjadi, tidak hanya gadis alias Amoy dari Indonesia, khususnya Singkawang, Jakarta, Medan dan Batam, namun pria Taiwan juga suka mencari perempuan dari negara lain, terutama Vietnam. Fenomena ini marak karena perempuan terdidik Taiwan tidak kebelet nikah buru-buru. Alasan lain, konon pria Taiwan banyak yang tak mampu membayar mahar yang tinggi untuk mereka.

Entah alasan mana yang bisa dibenarkan. Suami Lian Mui, sebut saja begitu mengaku menikah dengan perempuan asing setelah perkawinannya dengan wanita setempat gagal. Dan, nampaknya, apa boleh buat, perkawinan sangjitan ini terasa kental aroma bisnisnya. Seribu resiko sudah disadari, tapi kemelaratan menahun menyaput semua itu, seperti diakui sejumlah Amoy yang konon mereka tak pernah merasa menyesali kegagalannya menggapai harapan ke Taiwan.

Alasan utamanya, mereka sudah sumpek di kampung kelahirannya. Menurut mereka, mereka hanya berharap kelak nasibnya lebih baik. Kegagalan yang pernah dirasakan umumnya tak membuat para Amoy keder untuk kembali ke Taiwan mengadu peruntungannya dengan pria Taiwan lain.







Nestapa Amoy di Formosa
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Disebut-sebut dIa adalah perempuan pertama dari Kampung Belakang, Kalideres, Jakarta Barat, yang kawin dengan pria Taiwan. Konon, keberuntungannya itu telah mengundang yang lain mengikuti jejaknya. Kabarnya ia datang ke Taman Kota Chiayi, Taiwan, itu diantar suami dan anak bungsunya mengendarai skuter. Sebut saja Diana, sekitar 26 tahun ketia itu, tampak segar dan modis. Celana jins ngepas di badan plus kaus merah membalut tubuhnya yang ramping. Bibir tipisnya disapu gincu warna pink. Lalu di hari yang cerah pada suatu hari beberapa tahun lalu, perempuan bernama asli Hwang Li Na ini menuturkan kisahnya kepada salah satu majalah ibukota.

diana, seperti pengakuannya, adalah perempuan Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, pertama yang kawin dengan pria Taiwan. Sepuluh tahun silam, dia atau Amoy satu ini menikah dengan seorang pria Taiwan pada usia yang sangat belia. Diana baru menginjak 16 tahun ketika itu. Sejak itu, bisnis begituan, ungkap dia dengan gaya bahasanya, mulai ramai.

Bisnis, begitu penyebutannya. Perkawinan Amoy Kampung Belakang dengan pria Taiwan memang sulit dibilang seperti perkawinan pada umumnya. Mereka saling tak kenal. Apalagi untuk dikatakan saling ada rasa cinta. Salah satu tujuan perkawinan itu tak lain adalah keluar dari jerat kemelaratan yang mendekap mereka selama berabad-abad lalu.

Orang tua Diana memang tidak beruntung. Papanya menarik ojek, dan sang ibu jualan nomor buntut. Suatu saat, persisnya 10 tahun lalu, Diana dikenalkan dengan pria Taiwan berusia 31 tahun. Esoknya, ia dibisiki bahwa lelaki itu, disebutnya bernama Ie Sek Yauw, telah jatuh hati padanya. Dan ketika disampaikan Ie Sek ingin segera melamarnya, Diana pun manut saja. Lalu hari itu juga proses lamaran dilakukan. Ie Sek memberikan uang Rp 2,5 juta untuk orang tua Diana. Dari sang calon mertua, Diana menerima angpau 10 ribu New Taiwan dollar (NT), setara dengan Rp 2,8 juta. Pesta pun digelar dengan biaya dari Ie Sek. Akunya, mereka juga berfoto di studio.

Pesta pun usai, dan Ie Sek kembali ke Taiwan enam hari kemudian, tapi Diana masih tinggal di Kampung Belakang. Kenang dia, saat itu dia masih suci, belum berhubungan suami-istri layaknya. Hingga sembilan bulan kemudian mereka hidup terpisah. Setiap bulan suami dan mertuanya mengirim uang 10 ribu NT. Tetapi sampai di tangan mereka tinggal Rp 250 ribu karena dimakan calo Singkawang Kalimantan Barat sebagai cangkau.

Lalu tibalah saatnya Diana dijemput dan diboyong ke Chiayi. Di kota ini mereka tinggal bersama ibu Ie Sek. Ayah Ie Sek sudah meninggal dunia saat ia masih kecil. Di sinilah perkawinan itu disahkan di kuil setempat. Pesta kembali digelar. Ayah Diana didatangkan untuk menyaksikan pernikahan anaknya. Sebulan sesudah itu Diana baru berhubungan layaknya suami-istri dengan sang suami.

Terbekatilah Diana, karena sang suami dan mertua sangat menyayanginya. Suaminya, yang bekerja sebagai pengawas di pabrik kunci, amat memanjakannya. Tiap bulan Diana mendapat uang jajan 3000 NT atau sekitar Rp 840 ribu. Kebutuhan lain sudah diurusi suami, kata dia. Ie Sek juga siap jika Diana hendak mengirim uang ke Indonesia. Tidak hanya itu, tiap pekan suaminya mengajaknya belanja baju baru. Sekali setahun suaminya mendapat jatah libur ke luar negeri. Tentu saja Diana ikut kecipratan kenikmatan ini.

Bagi Diana, Ie Sek adalah suami idaman. Ia tergolong tipe pria lembut, tak suka judi ataupun merokok, main perempuan, dan mabuk. Kalau pulang terlambat sebentar saja, dia pasti bilang, ujar Diana. Belakangan kini mereka telah dikaruniai sepasang anak manis yang masing-masing diberi nama A Yauw Sen Fan, dan Yauw Veren.

Secara ekonomis, Ie Sek juga tak mengecewakan. Ia bergaji 40 ribu NT per bulan dan memiliki flat tujuh lantai seharga 3 juta NT. Pemandangan ketika menengok flat yang dari luar tampak dingin tetapi terasa hangat di dalam itu. Di basement terparkir mobil Hyundai tahun 2000 plus dua sepeda motor. Lantai satu dilengkapi kursi kayu jati, difungsikan sebagai ruang tamu. Lantai dua jadi tempat belajar anak-anak. Sedangkan ruang tidur ada di lantai tiga dan empat–total ada empat kamar tidur.

Masih ada harta masa depan Diana, yakni rumah yang ditempati sang mertua seharga 10 juta NT atau setara Rp 2,8 miliar. Rumah itu kelak akan kembali ke Ie Sek karena dialah yang membangunnya. Kini, Diana sudah memegang paspor Taiwan. Dia pun sudah lancar membaca dan menulis huruf Cina. Masakan Indonesia, Diana tak lagi suka. Kemiskinan juga sudah ditinggal jauh-jauh di pojok barat Jakarta. Kesuksesan Diana inilah yang membuat gadis di Kampung Belakang ingin mengikuti jejaknya.

Tentu, itu hanya yang dialami Diana. Berbeda dengan yang dirasakan seorang yanti. Frustasi pada lelaki dan kemelaratan membuat Yanti nekat ke Taiwan. Konon, nasibnya tak kunjung berubah. Yanti jelas tak seberuntung Diana. Setelah mengalami masa-masa sulit dengan suaminya, perempuan berusia 27 tahun itu belakangan terpaksa rela kos di kamar berdinding tripleks tanpa ventilasi. Perempuan bernama Cina, sebut saja Shiu Cen, ini tinggal di lantai dua sebuah bangunan di belakang stasiun Kota Tao Yuan, sekitar 60 kilometer dari Taipei. Pemilik rumah itu adalah seorang kakek yang menjual barang elektronik bekas di lantai bawah.

Yanti sudah empat bulan tinggal di sini. Sebelumnya berpindah-pindah. Kamarnya tak bisa dibilang rapi. Ketika disambangi, barang-barang seperti tisu, alat-alat make up, obat-obatan, gelas kotor, dan sisa makanan bercampur-baur di atas meja. Dua kantong plastik sampah tampak teronggok di sudut ruangan. Serombongan lalat berpesta di sekitar sampah berbau itu.

Memang ada mesin pendingin udara untuk kamar bertarif 3.500 NT atau hampir sejuta rupiah perbulan itu. Tetapi pendingin udara murahan itu tak mampu mengatasi kepengapan ruangan. Dari pemilik kos, Yanti juga menikmati fasilitas televisi 21 inci, ranjang, dan sebuah kamar mandi dengan keran air panas. Untuk menompang hidup, Yanti bekerja serabutan. Saat terakhir dia bekerja pada pengusaha nasi bungkus dengan upah 3.000 NT per bulan atau setara Rp 840 ribu. Bagi Yanti, uang itu jauh dari cukup untuk mengongkosi hidupnya yang berselera. Dia mengaku kalau dirinya sudah tidak bisa hidup miskin. Dia berambisi ingin kaya.

Untuk menutup kekurangannya, upahnya tak cukup untuk menutup biaya kontrakannya, perempuan bertubuh mungil ini bergantung pada pacar-pacarnya. Konon, dia memang suka gonta-ganti pacar untuk memanfaatkan uang mereka, tulis sebuah majalah ibukota yang menginvestigasinya. Kalau para lelaki itu mau mebiayai hidupnya, Yanti saya beri pelayanan paling oke, ungkapnya membahasakan.

Yanti sepertinya sudah letih dengan kesengsaraannya selama ini. Ia terdampar ke Taiwan setelah beberapa kali dicampakkan lelaki saat masih di Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat. Frustasi karena selalu ditendang, ditambah kemelaratan, anak ketiga dari lima bersaudara ini mencoba melongok Taiwan. Lalu ia mendatangi tetangganya, sebut saja Lin Che, yang biasa menjadi perantara pernikahan dengan pria Taiwan.

Lin Che sendiri punya atasan di Jakarta Kota. Orang itu punya adik bernama, sebut saja A Bi, yang meningkah dengan orang Taiwan dan kini tinggal di Taipei. Rupanya, di sana A Bi adalah seorang bos besar biro perjodohan itu. Maka beberapa bulan kemudian Yanti diantar ke rumah A Bi meninggalkan anaknya hasil pernikahan pertama mereka dulu. Di sana ia ditampung bersama tiga perempuan senasib.

Seraya menunggu lelaki yang meminang, ia membantu usaha jahitan A Bi. Kata dia, upahnya adalah makan dua kali sehari. Sejumlah peminat berdatangan, tapi Yanti masih jual mahal. Ia terkesan memang pemilih. Alasannya, tidak mau mendapat suami yang seumur hidup terpilih yang jelek, tuturnya kenes. Akhirnya Yanti bersedia dikawinkan dengan seorang kepala pengawas pabrik setempat. Dia enggan mengukapkan nama lelaki itu. Maka A Bi pun melepas Yanti dengan harga 300 ribu NT. Diungkapkan Yanti kemudian, menurut calo dia, harga itu adalah tertinggi di antara perempuan yang ada, ujar perempuan berwajah oriental berkulit putih bersih itu.

Proses perkawinannya amat sederhana. Calon pengantin pria cukup menyerahkan uang Rp 5 juta untuk dikirim ke keluarga Yanti di Indonesia. Setelah itu Yanti bersama calon suami menemui ibu si lelaki. Sebagai tanda pernikahan, Yanti menyodorkan secangkir teh kepada ibu mertua. Sang ibu lalu memberikan angpau untuk Yanti dan suaminya. Itu tanda mereka berdua sudah diterima, jelasnya.

Apa yang terjadi kemudian? Ternyata, lalu dimulailah episode kesengsaraan itu. Sang suami akhirnya tahu Yanti sudah punya anak di Indonesia, konon kini berusia delapan tahun. Mereka kerap bertengkar. Pukulan dan tendangan sang suami tak jarang melayang menerjang tubuhnya yang kecil. Akhirnya perceraian pun tak terhindarkan. Yanti lalu meninggalkan suami dan seorang anak hasil perkawinan mereka. Dia sempat kembali ke Indonesia dengan meminjam duit dengan seorang teman. Hanya sesaat di tanah air, Yanti memilih kembali ke Taiwan mengadu nasib. Tetapi ternyata ia kian terpuruk. Yanti tak sanggup membayar utang yang mulai berlipat karena bunga.

Yanti memang masih sanggup bertahan. Namun, kadang-kadang ia merasa letih dengan cara hidup seperti itu. Belakangan kemudian ia mengaku tengah dicekam kebimbangan karena sang suami ingin rujuk. Sebuah nestapa Amoy di tanah Formosa …

Lain lagi Lim Shio Lian, sebut saja begitu. Amoy Singkawang yang semula tinggal di pelosok Kota Singkawang itu, mengungkapkan, semula dia sesungguhnya tak berselera. Lelaki yang didapatkannya tidak cakep dan konon giginya merah bekas kinang. Bermula dari Bandar Udara Internasional Tao Yuan, Taiwan, sekitar dua tahun lalu. Perempuan sekitar 27 tahun ini dengan perut membusung tampak ikut dalam arus kedatangan penumpang dari luar negeri. Semua serba asing bagi Lim Shio Lian, yang belakangan dikenal dengan nama Linda. Perempuan asal salah satu kampung di Singkawang itu, terus berjalan mencari wajah pria setempat yang berusia dua kali lipat darinya.

Pria yang ia cari adalah seorang kuli bangunan bernama Shin Chung. Beberapa waktu sebelumnya, si lelaki datang ke Indonesia khusus mencari istri. Dan lewat proses perjodohan ala cangkau atau pun sangjitan, hatinya tertambat pada Linda, janda beranak tiga , tapi pada saat lamaran itu, Linda mengaku masih gadis.

Bagaimana dengan Linda? Sesungguhnya, ungkap dia, dirinya tidak berselera. Wajah pria Taiwan itu sama sekali tidak cakep. Giginya merah karena suka nginang atau makan sirih. Linda kini tinggal di kediaman suaminya itu di Chiayi, Taiwan. Tetapi kemelaratan memaksanya berpikir lain. Pinangan diterima dan sekarang ia sudah di Taiwan. Anak mereka juga sudah lahir.

Konon, semua itu bermula ketika ia bercerai dengan suaminya terdahulu. Lelaki yang memberinya tiga anak itu dipenjara karena terjerat kasus narkoba. Hidupnya pun yang sudah susah semakin mengenaskan. Sehari-hari bersama dua anaknya, yang seorang lagi ia titipkan ke bekas mertua, Linda menumpang di rumah kontrakan orang tuanya. Di rumah petak berukuran 3x7 meter itu berjejalan keluarga Linda bersama tujuh orang lainnya, termasuk adik dan keponakannya.

Nio, sebut saja begitu, ibu Linda, menjadi penyangga keluarga dengan bekerja sebagai tukang cuci di beberapa rumah tangga di Singkawang. Ayahnya, meski kelihatan gagah, ternyata menganggur karena menderita ambien parah. Linda mencoba membantu dengan bekerja menjadi penjaga tempat hiburan ketangkasan di Singkawang. Tak tahan deraan kemiskinan, Linda memutuskan mengikuti praktek perjodohan dengan orang Taiwan. Ia lalu menghubungi A Ngo, sebut saja begitu, yang biasa menjadi perantara. Maka dimulailah hari-hari yang mendebarkan. Beberapa kali dia dipertemukan dengan pria Taiwan di sebuah hotel di Singkawang, sebelum diminati suaminya saat ini.

Dalam proses itu Linda sebetulnya nyaris dikawini seorang awak kapal di pelabuhan Sintete Pemangkat, berumur 52 tahun. Saat itu sudah sampai ke proses sangjitan. Mereka pun konon sudah berbulan madu di hotel. Namun, lelaki itu tak pernah kembali ke Singkawang sepulang ke Taiwan untuk mengurus surat nikah. Katanya di Taiwan dia menabrak orang, Linda punya kepercayaan kalau mengalami suatu kecelakaan, niat baik harus dibatalkan, alasannya.

Linda berharap, dengan perkawinannya ini ia dapat membantu keluarganya di Indonesia. Linda pingin kerja di sini agar dapat membelikan susu anaknya di Indonesia, kata Linda suatu ketika. Tentu saja ia merahasiakan agendanya itu. Sang suami sudah mengancam, kalau Linda ketahuan punya anak, uang chesaw sebesar 300 ribu NT atau sekitar Rp 84 juta, harus dikembalikan.

Tampaknya, harapan itu bakal menjadi kenyataan. Meski cuma kuli bangunan, suaminya cukup berada. Dia adalah anak tunggal dari pasangan petani berusia akhir 60-an. Mereka tinggal bersama di rumah berlantai dua seluas 500 meter persegi. Di belakang rumah masih ada kebun kecil yang ditanami jagung dan sayur-sayuran. Juga ada peternakan ayam. Mertua Linda masih memiliki kebun luas dan sawah tak jauh dari sana. Di garasi tampak tiga sepeda motor dan mobil bak terbuka.
Kehidupan sosial Linda juga tampak cukup baik. Seperti disaksikan majalah ibukota saat mengunjunginya, para tetangga menyapanya ramah. Oleh suaminya, Linda juga didorong segera dapat berbahasa setempat agar proses interaksi semangkin lancar. Dan, suaminya juga meminta Linda menjaga penampilan agar tetap kelihatan segar dan langsing. Caranya, dia telah menganggarkan 150 NT atau RP 42 ribu agar istrinya rutin pergi ke salon sepekan sekali. Kata Linda. Di Singkawang boro-boro ke salon, makan saja susah …































Amoy dan Peruntungan Nasib
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Seorang perempuan yang belakangan diketahui kesehariannya sebagai perantara dalam perkawinan order ala Amoy Singkawang, sebut saja Chin. Chin baru saja tiba dari Taiwan dan mengawal seorang klien yang datang bersama ayahnya. Mereka dijemput oleh anak perempuan Chin, sebut saja Anna, yang mengaku hanya menggantikan tugas saudara laki-lakinya. Anna sendiri bekerja untuk sebuah perusahaan yang bergerak di penjualan saham di Bursa Efek Jakarta.

Chin dan rombongan kemudian menginap di salah satu hotel di kawasan Jakarta Utara. Hotel ini sudah sering digunakan Chin untuk mengatur pertemuan antar klien dan calon pengantinnya. Selama perjalanan ke hotel, Chin sibuk dengan telefon genggamnya menjawab maupun menelefon mitra-mitranya di Jakarta untuk memberitahukan klien sudah tiba dan menanyakan kesiapan mereka membawa calon pengantin ke hotel tersebut.

Chin berusia sekitar 50 tahun. Dia seorang ibu rumah tangga, berperawakan sedang dengan rambut dipotong pendek rapi. Ia tidak ingat kapan ia memulai kegiatannya ini, tetapi sudah lebih dari lima tahun yang lalu. Pada awalnya ia hanya berperan sebagai orang yang mencari perempuan-perempuan muda yang bersedia menjadi pengantin bagi laki-laki Taiwan. Menurutnya, ia adalah seorang mak comblang, dan karenanya ia tidak pernah berbohong pada perempuan-perempuan tersebut akan kebutuhannya mencari pengantin perempuan. Dari perannya ini ia memperoleh Rp. 300 ribu hingga Rp 500 ribu untuk setiap calon yang ia tawarkan dan kemudian dipersunting oleh klien.

Dari perempuan-perempuan atau para Amoy yang berhasil dipasangkannya ini, ia kemudian diperkenalkan dengan beberapa orang klien. Seringkali klien tersebut masih berhubungan darah dengan suami dari perempuan ini. Chin mengambil kesempatan ini untuk langsung mengurus kliennya. Ia menghubungi beberapa orang teman untuk mencarikan perempuan-perempuan muda yang mendekati kriteria yang diinginkan oleh klien.

Chin kemudian menjemput klien di Jakarta, mempertemukannya dengan para calon pengantin. Chin pula yang kemudian mengatur untuk memberikan upah sebesar Rp. 300 ribu hingga Rp 500 ribu kepada mitranya yang berhasil membawa calon yang diinginkan oleh klien.
Untuk usahanya ini, Chin memperoleh sekitar 300.000 hingga 350.000 dollar Taiwan. Uang ini ia pergunakan untuk mengatur biaya perkenalan dengan calon pengantin, biaya pesta pernikahan, pengurusan dokumen atau paspor dan visa, serta transportasi calon pengantin ke Taiwan. Untuk mengurus dokumen, Chin sudah biasa menanganinya sendiri. Seringkali tugas pengurusan dokumen ini ia serahkan kepada anak laki-lakinya atau putrinya, Anna, karena mereka lebih fasih berbahasa indonesia.

Selain itu, biaya akomodasi dan mas kawin ditanggung sendiri oleh klien. Klien juga menanggung biaya perjalanan Chin ke Taiwan bila ia diminta untuk menemani penggantin perempuan. Biasanya perjalanan ini digunakan Chin untuk bertemu dengan klien baru di Taiwan. Dari kegiatannya ini, ia memperoleh penghasilan bersih sekitar 5-7 juta rupiah. Kadangkala masih mendapat bonus dari keluarga perempuan atau Amoy sebagai ucapan terima kasih atas bantuannya mempertemukan perempuan tersebut dengan klien.

Pada sore hari, datang dua calon pengantin didampingi seorang teman Chin. Setelah sekitar satu setengah jam, kedua calon pengantin perempuan itu pulang. Menurut Chin, kliennya kurang berkenan dengan kedua calon tersebut. Calon pertama berusia 20 tahun, tetapi kurang fasih berbahasa Hakka atau bahasa daerah klien. Calon kedua baru berusia 16 tahun. Klien merasa calon kedua terlalu muda sehingga khawatir akan menghadapi kesulitan untuk dapat bergaul dengannya.

Klien Chin berusia 35 tahun dan bekerja sebagi mekanik di sebuah bengkel di Meinung, Taiwan. Menurut ayahnya, klien sangat pendiam sehingga sulit mencari pasangan di Taiwan. Selain itu, mereka juga lebih menyukai perempuan atau Amoy dari Indonesia karena mau bekerja keras untuk keluarga. Karena itu, mereka lebih memilih untuk mendapatkan pengantin yang berasal dari keluarga petani dan juga yang sudah biasa dengan pekerjaan rumah termasuk mengasuh anak kecil dan orang-orang tua. Untuk postur tubuh, klien lebih menyukai perempuan yang tidak lebih tinggi darinya di mana tinggi klien sekitar 165 cm, tidak berdandan terlalu modis karena klien berpendapat bahwa Amoy yang berdandan suka dengan suasana kota sehingga ia khawatir perempuan tersebut tidak akan betah tinggal di rumahnya yang ada di desa. Dan kulit Amoy yang terang.

Proses pemilihan calon pengantin terus berlangsung. Lebih dari 5 Amoy sudah dipertemukan ke klien. Saat memasuki ruangan, A Lie yang juga bernama Lina, sebut saja demikian, ditemani oleh seorang mitra Chin dan seorang perempuan muda berusia sekitar 30 tahun yang mengaku masih berhubungan darah dengan ayah A Lie. A Lie terus menundukkan kepala sejak masuk ke ruangan, duduk sampai saat meninggalkan ruangan tersebut. Sementara itu, klien dan ayahnya terus memperhatikan Lie, mungkin sambil mereka-reka bagaimana seandainya A Lie menjadi istri klien.

Bibi A Lie kemudan memperkenalkan A Lie ke klien. Menurutnya, A Lie baru saja berulang tahun ke-18 akhir tahun lalu. A Lie sempat mengenyam pendidikan sampai tamat SMP tetapi karena kekurangan biaya, A Lie tidak lagi melanjutkan sekolah. A Lie adalah anak ketiga dari 6 bersaudara. Ayah A Lie seorang butuh tani di Sedau, kota kecil di utara Kota Singkawang Kalimantan Barat. Sejak kecil A Lie sudah mahir mengasuh adik-adiknya jika orangtuanya pergi ke kebun. Beberapa saat lalu, orang tua A Lie meminta agar bibi A Lie mempertemukan A Lie dengan laki-laki Taiwan yang adatang ke Indonesia untuk mencari pengantin perempuan.

Dengan A Lie menikah, diharapkan akan dapat mengurangi beban ekonomi keluarga, karena A Lie tidak sampai saat ini hanya tinggal di rumah mengurus rumah dan adik-adiknya. Dua saudara laki-laki A Lie yang lebih tua membantu orangtuanya di kebun, salah satunya sudah menikah dan masih tinggal di rumah yang sama.

Ayah klien yang warga negara Taiwan itu kemudian memperkenalkan anaknya dan mengatakan bahwa mereka memang mencari seorang Amoy sebagai pengantin yang bersedia membantu kerja-kerja di dalam rumah dan tinggal di desa. Karena A Lie dari desa, tentunya tidak akan canggung bila tiba di sana. Ayah klien menanyakan beberapa hal seperti apakah A Lie bisa berbahasa Hakka, apakah sebelumnya A Lie memiliki kekasih. Hal terakhir ini dimaksudkan mengarah pada virginitas A Lie. Dan, tentang kondisi keluarga A Lie. Dalam menjawab pertanyaan ini A Lie hanya mengganguk dan menggelengkan kepala sambil menjawab dengan singkat. Bibi A Lie yang biasanya memberikan penjelasan lebih untuk menjawab pertanyaan tersebut. Klien sendiri juga hanya diam, sambil sesekali memperhatikan A Lie, sang Amoy dari Singkawang itu.

Wajah A Lie yang semula tegang tampak sedikit mengendur meskipun ia tidak berkata apa-apa dan baru mengangkat kepalanya setelah keluar ruangan. Setelah A Lie masih ada dua orang calon pengantin lainnya yang diwawancarai. Tetapi klien merasa lebih cocok dengan A Lie. Karena itu, Chin kemudian mengatur sebuah pertemuan lagi dengan A Lie agar klien dapat mengenalnya lebih jauh.

Pertemuan kedua dengan A Lie diadakan di salah satu tempat di Jakarta. A Lie pergi ke sana dengan rombongannya, terdiri dari bibi A Lie dan mitra Chin. Dalam perjalanan A Lie lebih banyak diam dan pembicaraan lebih banyak dilakukan oleh ayah klien, bibi A Lie dan Chin. Di tempat ini, mereka menonton pertunjukkan ikan lumba-lumba. A Lie duduk disamping klien dan ayahnya. Agak jauh dari mereka duduk Chin, Anna putri Chin, mitra Chin dan bibi A Lie. Tampak ayah klien berusaha bertanya ke A Lie, kadang klien menambahkan. Tetapi tetap saja A Lie hanya sedikit menjawab dan lebih banyak mengganggukkan atau menggelengkan kepalanya. Pertunjukan itu berlangsung sekitar setengah jam, kemudian diteruskan di salah satu restoran.

Setelah pertemuan kedua itu, klien dan ayahnya merasa menyukai A Lie dan berkeinginan untuk segera melangsungkan pernikahan. Untuk itu mereka, ditemani A Lie dan Chin berangkat ke Kalimantan Barat untuk bertemu dengan orang tua A Lie dan melangsungkan pernikahan. Chin mengaku tidak tahu berapa emas kawin yang diberikan kepada orang tua A Lie tetapi untuk kebutuhan pernikahan dan keberangkatannya, A Lie dibelikan beberapa potong baju dan dua pasang sepatu, serta satu set perhiasan. Di Singkawang Kalimantan Barat mereka menginap selama dua hari, termasuk untuk mencatatkan perkawinan tersebut ke kantor Catatan Sipil setempat dan mengurus paspor A Lie.

Mereka segera kembali ke Jakarta untuk mengurus permohonan visa ke TETO. Karena permohonan visa dikabulkan, pada hari ke tujuh sejak kedatangannya itu, A Lie, klien yang sekarang sudah menjadi suaminya dan ayah klien pulang ke Taiwan. Menurut Chin, belum pernah ada kliennya yang pulang tanpa membawa pengantin perempuan atau Amoy. Hal ini karena biaya yang harus mereka keluarkan tidaklah sedikit untuk mengulang proses perjodohan ini. Pun belum ada calon pengantin yang menolak klien ketika lien tersebut menginginkannya karena sejak awal para Amoy ini tahu bahwa merekalah yang dipilih dan karenanya tidak pada posisi untuk memilih.

Chin juga tidak bertanggung jawab atas masa depan dari para Amoy ini. Menurutnya, adalah wajar bila Amoy tersebut di sana harus mengabdikan dirinya pada keluarga besar suaminya dan kadangkala bekerja untuk menambah pendapatan keluarga. Justeru dengan bekerja tersebut para Amoy ini dapat mengirimkan uang ke keluarganya di Indonesia. Bila terjadi perselisihan, bagi Chin itu adalah hal biasa yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Semuanya diserahkan pada nasib perempuan tersebut.

























Liku-liku Menuju Formosa
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Adalah Liu Sen alias Atie, sebut saja begitu, dia adalah seorang laki-laki berusia 50 tahun dan mempunyai dua orang anak. Mengakui berdomisili di Jakarta. Atie menyebutkan pekerjaannya sebagai seorang pengusaha ekspor-import umum dengan jaringan utama ke Taiwan. Menurutnya ada tiga kategori pekerjaan dalam proses perkawinan Indonesia-Taiwan ini. Pertama adalah orang yang mencari laki-laki Taiwan yang hendak menikah dengan Amoy Indonesia (A). Kedua adalah wakil di Indonesia (B) yang akan membantu mempersiapkan kedatangan calon mempelai laki-laki di Indonesia dan kepergian mempelai Amoy ke Taiwan. Ketiga adalah orang lokal (C) yang mencari para Amoy yang bersedia menjadi calon mempelai.

Dalam operasinya, (A) akan mencari atau didatangi oleh laki-laki Taiwan yang hendak menikah dengan Amoy asing. Laki-laki Taiwan tersebut akan membayar sejumlah uang, sekitar 300.000 hingga 350.000 dollar Taiwan ke (A) untuk jasanya mencarikan mempelai perempuan. Uang ini tidak termasuk biaya tranportasi yang perlu dikeluarkan oleh pihak klien untuk datang ke Indonesia memilih mempelainya. Uang tersebut hanya digunakan untu mencari mempelai perempuan.

Dalam kelompok Atie, uang tersebut sudah termasuk biaya yang perlu dikeluarkan untuk perjalanan mempelai Amoy nantinya ke Taiwan dan kebutuhan pernikahan yang sederhana.(A) kemudian mengontak (B) untuk memberitahukan bahwa mereka telah menemukan klien. Biasanya informasi ini disampaikan ketika sudah ada 3-4 klien. (B) kemudian akan mempersiapkan tempat menginap bagi klien-klien tersebut. Kadang, untuk merendahkan biaya yang harus dikeluarkan untuk penginapan, Atie menggunakan rumahnya untuk menampung para mempelai ini. Menurutnya hal tersebut tidak menggangu karena biasanya klien hanya akan menginap satu malam sebelum pergi lagi ke Pontianak atau Singkawang Kalimantan Barat dan sebelum kembali lagi ke Taiwan. Cara lainnya adalah rumahnya justru untuk menjadi tempat menginap sementara calon-calon pangantin perempuan, atau para Amoy, bila proses perjodohan dilakukan di Jakarta dan lak-laki tersebut tiak ingin ke Pontianak atau Singkawang.

(B) kemudian memberitahukan (C) informasi ini. (C) menetap di Kalimantan Barat. (C) kemudian akan mencari para Amoy, usia tergantung permintaan klien tapi sekitar 18 hingga 25 tahun. Secara langsung dinyatakan kepada para Amoy tersebut, atau keluarganya bahwa ia mencari mereka yang bersedia menjadi istri laki-laki Taiwan. Biasanya (C) juga dibantu oleh beberapa orang (D) yang akan merekomendasikan kenalannya yang hendak menjadi mempelai perempuan. Apabila calon direkomendasikan oleh (D) kemudian menjadi pengantin, maka (D) akan memperoleh uang lelah, berkisar Rp. 150.000 hingga Rp 500.000.

(C) kemudian akan memberitahukan (B) bahwa ia telah berhasil mengumpulkan beberapa Amoy sebagai calon pengantin perempuan. (B) kemudian memberitahukan kepada (A).Tahap selanjutnya adalah mempertemukan klien dengan calon-calon tersebut. (A) mungkin ikut serta dengan klien ke Indonesia. Tetapi karena Atie sudah cukup lama berkecimpung dalam usaha ini, menurut pengakuannya sekitar 10 tahun, maka (A) sudah percaya kepadanya. Atie tinggal datang ke bandara untuk menjemput klien-klien mereka. Selanjutnya, perjalanan ke Kalimantan Barat diatur dan Atie ikut serta ke sana.

Di Pontianak Atie akan bertemu dengan (C) yang sudah mempersiapkan tempat penginapan. Para klien ini kemudian akan diajak bertemu dengan calon pengantin. Pada tahap ini ada beberapa metode yang dapat diterapkan. Pertama adalah calon pengantin ini duduk berjajar dan klien kemudian akan menentukan calon mana yang paling menarik perhatiannya. Klien kemudian akan mengajak perempuan ini untuk mengobrol secara terpisah untuk mengenal satu sama lain lebih jauh. Biasanya restoran merupakan tempat yang digemari untuk proses ini.

Cara kedua adalah klien menentukan dahulu kriteria yang diinginkannya. (C) kemudian akan menyeleksi calon-calon yang dimilikinya sehingga masing-masing klien akan bertemu dengan calon pengantin perempuan yang paling mendekati kriterianya itu. Proses pengenalan lebih lanjut dapat bermula sejak klien menemukan yang dicarinya. Ketiga adalah dengan wawancara satu persatu. Dengan cara ini, klien-klien akan dikenalkan secara bergantian pada para Amoy atau para calon pengantin perempuan. Wawancara dimulai dengan memperkenalkan calon pengantin perempuan atau para Amoy itu. Usia, postur tubuh dan silsilah keluarga menempati posisi penting dalam proses ini. Tanya jawab kemudian akan lebih pada motivasi Amoy tersebut sehingga bersedia dipersunting.

Meskipun klien menentukan, Atie berkata bahwa ia memberikan keleluasaan kepada pihak Amoy untuk menolak bila memang tidak berkenan dengan klien yang menginginkannya. Tetapi penolakan ini jarang terjadi, mungkin karena para Amoy tersebut sudah dinasehati terlebih dahulu untuk tidak memilih-milih pasangannya. Dan karenanya dari pertama mereka sudah pasrah saja.

Bila proses pencarian pengantin sudah usai dan klien menemukan Amoy pasangannya, maka proses penyelesaian dokumen pun dilakukan. Pertama-tama mereka akan menikah dengan upacara yang sederhana. Kadangkala klien mengeluarkan uang lebih untuk mahar atau emas kawin. Tetapi bila tidak, emas kawin dipotong dari uang pertama yang dibayarkannya yaitu sekitar Rp 3 hingga 4 juta yang akan diterima oleh orang tua mempelai perempuan atau Amoy. Atie juga akan mengeluarkan sejumlah uang untuk pesta pernikahan yang sederhana. Dan juga untuk proses pencatatan perkawinan tersebut di kantor catatan sipil setempat.

Pada tahap pencatatan sipil ini, proses pencatatan tetap dilakukan. Misalnya dengan mempertanyakan apakah kedua mempelai tidak dalam tekanan untuk menikah dan apakah mereka menikah atas landasan cinta, suka sama suka. Kemudian diikuti dengan sekelumit nasihat tentang pernikahan dan upaya untuk mempertahankan pernikahan itu di kemudian hari.

Dokumen lain yang juga diurus adalah paspor mempelai perempuan. Atie memiliki mitra lain untuk mengerjakan hal ini, tapi (C) seringkali menjadi pengurus dokumen tersebut. Dari pekerjaan ini (C) akan menerima imbalan sekitar Rp 3 hingga Rp 5 juta per pasangan. Setelah dokumen-dokumen yang dibutuhkan sudah dilengkapi, klien dan pasangannya berangkat ke Jakarta mendaftarkan di TETO untuk diwawancarai agar memperoleh visa. Proses ini cukup lama, kadang mereka harus menunggu selama seminggu dalam antrian. Bila wawancara dikabulkan, konon sampai saat terakhir ini kabarnya belum ada yang ditolak, maka Amoy tersebut kemudian akan berangkat ke Taiwan, bersama-sama klien atau pun menyusul kemudian. Ini tergantung lamanya mereka harus menunggu dalam antrian wawancara tadi.
Setelah proses ini selesai, Atie memeroleh keuntungan bersih sekitar Rp 5 hingga Rp 7 juta perpasangan. Ia memang tidak merasa dibebani untuk mengetahui lebih lanjut kehidupan pasangan tersebut di Taiwan. Tetapi ada beberapa orang kliennya yang berhubungan cukup erat dengannya. Bahkan tak jarang para Amoy atau kliennya itulah yang memperkenalkan dengan klien-klien baru yang hendak meminta jasanya untuk mencarikan pasangannya di Kalimantan Barat atau sebaliknya.
































Kepiawaian Seorang Matchmaker
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Mengaku sudah 15 tahun bekerja sebagai matchmaker alias Mak Comblang. Sebenarnya ini hanya pekerjaan sambilan karena pekerjaan utamanya adalah pengusaha kertas kayu. Mengaku memiliki pabrik di Solo tetapi gulung tikar akibat kerusuhan Mei 1998 silam, tetapi juga masih memiliki pabrik serupa di Taiwan. Di Taiwan, Chen sebut saja begitu, memiliki beberapa teman yang menjadi penghubung dirinya dengan klien. Di Indonesia, mitra tetapnya bernama Ameng, orang lokal yang berdomisili di Singkawang. Ameng yang akan mencari Amoy sebagai calon pengantin perempuan, sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh klien dan untuk itu Ameng berhubungan dengan sekitar 10 hingga 20 orang comblang lainnya. Ameng juga sekaligus mengurus segala dokumen yang dibutuhkan untuk pernikahan dan kepergian mempelai perempuan ke Taiwan.

Klien akan membayar sejumlah 300.000 hingga 350.000 dollar Taiwan. Sepertiga dari uang tersebut diambil oleh penghubungnya di Taiwan untuk kemudian dibagi-bagikan dengan beberapa orang yang terlibat dalam mencari klien. sepersepuluh dari sisa uang tersebut deberikan kepada Chen untuk biaya pernikahan dan pengurusan surat-surat. Satu persepuluh lagi diberikan kepada keluarga Amoy. Proses perjodohan sama dengan yang lainnya.

Setelah dipotong sana-sini untuk biaya transpor dan akomodasi klien dan mempelai perempuan, sisanya menjadi milik Chen. Tetapi dia tidak mau menyebutkan jumlahnya. Pada awal tahun saja, Chen sudah berhasil menikahkan sedikitnya 30 pasangan.

Selain Chen, adalah Lin, menurutnya nilai ekonomis dari perkawinan ini tidak saja karena biaya jasa yang diterimanya. Tetapi para pengantin perempuan atau Amoy ini nantinya akan menjadi pegawai di pabriknya di Taiwan. Selain pegawai perempuan lebih mudah diatur daripada laki-laki, upah yang dibayarkan kepada para Amoy ini lebih murah daripada harus mencari pegawai di Taiwan. Menurutnya hal ini mungkin dilakukan karena kurs rupiah yang rendah sehingga meskipun lebih rendah ketika ditukarkan bisa sekitar 1 hingga 1,5 juta rupiah per bulannya. Dan karena itu, tidak ada pegawainya yang memprotes kebijakannya itu, malah mereka bersyukur sudah diberi pekerjaan oleh Lin.

Melihat keuntungan dan prospek dari pekerjaan jual beli Amoy ini, Lin pun akhirnya membuka biro perjalanan yang mengkhususkan diri untuk mencarikan pasangan bagi laki-laki Taiwan di Indonesia atau pun di negara Asia Tenggara lainnya, Vietnam misalnya.


































Sebuah Cerita Dari Amoy
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Oey adalah anak perempuan ketiga dari delapan bersaudara. Usianya sekitar 21 tahun dan pernah sekolah sampai kelas dua SMA. Orangtuanya tidak bekerja sejak kedua kakaknya menikah ke Taiwan. Setiap bulan, kedua kakaknya mengirimkan sejumlah uang, meski Oey tidak bersedia menyebutkan jumlahnya, kepada orang tuanya untuk pendidikan adik-adiknya. Sementara itu, dua orang kakak laki-lakinya yang bekerja di Jepang sebagai buruh di pabrik elektronik, karena biaya hidup di sana tinggi, tak banyak yang bisa mereka kirimkan ke rumah di Siantan Pontianak Utara Kalimantan Barat.

Setelah lulus SMA, Oey pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai sales di sebuah toko elektronik di Jakarta. Baru bekerja sekitar tujuh bulan ketika kerusuhan Mei 1998 terjadi, toko elektronik tersebut hangus terbakar. Karena takut, Oey kembali ke rumahnya di Siantan. Sesampainya di rumah, ia berusaha mencari pekerjaan, tetapi belum juga ada lamarannya yang diterima. Oey sehari-hari tinggal di rumah mengurus orangtua dan ketiga adiknya yang masih SD dan SMP. Akhirnya, sekitar dua bulan kemudian, seorang kenalan perempuan datang menemui Oey dan menawarkannya untuk menikah ke Taiwan. Perantara ini bekerja untuk Chen dan Lin.

Bagi orangtua Oey sendiri, pernikahan kedua kakak perempuan Oey ke Taiwan memberi berkah, karena mereka selalu mengirimkan uang ke rumah. Karena itu, orangtua Oey tidak keberatan, bahkan mendorong Oey untuk menerima tawaran tersebut. Merasa tidak memiliki pilihan lain karena tidak memiliki pekerjaan, Oey pun kemudian menerima tawaran tersebut. Oey kemudian mulai ditawarkan ke klien-klien yang dibawa oleh Lin. Sudah ada enam hingga tujuh kali pertemuan, tetapi belum ada klien yang menaruh hati padanya. Sampai pada suatu waktu kemudian, Oey diperkenalkan dengan seorang klien bernama Liu. Klien ini berusia 42 tahun dan telah menikah tetapi cerai. Duda ini memiliki dua orang anak, yang paling besar baru berusia 8 tahun. Liu mengaku seorang mekanik dan bekerja di sebuah pabrik di daerah Meinung, Taiwan.

Ketika Liu melamarnya, Oey tidak merasa memiliki kekuasaan untuk memilih. Ia bukannya tidak senang dengan Liu, tetapi pun bukan berarti ia mencintainya. Pertemuannya sendiri hanya berlangsung dua kali. Pertama saat perkenalan, kedua saat pendekatan yang dilakukan di salah satu restoran di Kota Pontianak. Hari ketiga mereka bertemu kembali dan kali ini Liu mengajak Oey untuk berbelanja baju dan sepatu untuk keperluannya berangkat ke Taiwan. Sementara mereka berbelanja, perantara dan orangtuanya mempersiapkan pesta perkawinan sederhana dengan hanya mengundang keluarga terdekat dan beberapa kenalan saja.

Pernikahan dilakukan keesokan harinya. Oey tidak tahu berapa emas kawin yang diterima oleh orangtuanya. Ia memperoleh seperangkat perhiasan pada hari pernikahannya itu. Setelah itu, Oey kemudian pergi mengurus paspor dan dokumen lainnya. Keesokan harinya, seorang petugas catatan sipil datang ke rumah perantaranya. Oey dan Liu yang telah menjadi suaminya itu sudah menunggu. Petugas tersebut mencatat dan mengesahkan perkawinan mereka. Keesokan harinya, Oey dan suaminya itu berangkat ke Jakarta untuk mengurus visa ke kantor TETO di sana.

Oey belakangan mengaku tidak tahu berapa uang yang harus dibayarkan oleh suaminya ke perantara dan berapa biaya keseluruhan yang dihabiskan oleh suaminya itu. Ia juga tidak tahu berapa besar penghasilan yang diperoleh perantaranya. Hanya saja ia tidak mengeluarkan uang untuk keperluan apapun, termasuk pengurusan paspornya yang sudah siap dalam satu hari. Seluruh dokumen yang diperlukan dipersiapkan oleh perantaranya. Dan dokumen tersebut asli karena dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

Ditanya apakah tidak khawatir pergi ke Taiwan, negara yang belum pernah ia lihat untuk berumah tangga dan tinggal dengan keluarga suaminya yang belum pernah dikenalnya, Oey optimis menjawab ia tidak tahu apa yang harus dikhawatirkan. Ditambah dengan ketidakmampuannya berbahasa Mandarin, Oey hanya ingin mempasrahkan nasibnya saja. Oey merasa sedikit lega karena mempunyai beberapa teman yang sudah menikah di Taiwan. Meskipun sampai saat pernikahan itu ia juga belum tahu apa yang akan dilakukannya di sana, tetapi jika ada kesempatan ia ingin bekerja apa saja agar dapat mengirimkan uang kepada keluarganya nanti. Bagi Oey, setidaknya pernikahannya ini meringankan beban keluarganya, sehingga uang yang dikirimkan oleh saudara-saudaranya itu dapat dimanfaatkan oleh orangtuanya dan untuk pendidikan adik-adiknya.
Lain lagi kisah yang dialami Cheng, sebut saja begitu. Cheng adalah anak pertama dari tujuh bersaudara, tiga perempuan dan empat laki-laki. Sejak kecil, Cheng sudah ditugaskan untuk memasak, mengurus rumah dan adik-adiknya ketika ayah dan ibunya bekerja di kebun. Dua adiknya perempuan dan laki-laki juga ditugasi pekerjaan yang sama, tetapi tanggung jawab utama ada pada Cheng. Orangtuanya berkebun pepaya dan bayam. Tetapi penghasilan dan perkebunan tersebut sangat minim sehingga kehidupan keluarganya sulit. Mereka hanya mempunyai sebuah transistor sebagai alat penghibur.

Cheng tamat SD saat berusia 13 tahun. Karena keuangan keluarga tidak memadai, Cheng tidak melanjutkan pendidikannya. Ia lalu bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Di rumah tempatnya bekerja itu ada seorang nenek, suami-istri dan tiga anak laki-laki yang tertua sebaya denganya, satu masih berusia 10 tahun dan paling kecil berusia 7 tahun. Pasangan tersebut juga mempunyai dua orang pembantu lain, tetapi tidak menginap di rumah. Tugas utama Cheng adalah merawat nenek dan menemani anak-anaknya. Dengan bekerja di sana dia berharap akan dapat melanjutkan sekolahnya. Tetapi karena sudah lewat tahun ajaran, ia harus menunggu satu tahun ke depan.

Pekerjaan di rumah itu tidak terlalu berat untuk Cheng. Perlakuan majikannya pun cukup baik bahkan ia bisa sambil belajar dengan anak majikan yang seusia dengannya. Cheng bekerja di sana selama hampir lima bulan ketika ibunya datang dan berkata akan mengambil Cheng pulang ke rumah. Alasan ibunya adalah karena di rumah tidak ada yang membantu, sementara adiknya masih kecil-kecil. Karena itu, Cheng pun pulang.

Ternyata orangtua Cheng punya rencana lain. Mereka menerima tawaran seorang kenalan bernama Chuan yang memang sudah cukup lama bekerja sebagai perantara yang sedang mencari pengantin perempuan. Cheng kemudian diajari untuk sedikit berdandan, dengan lipstik dan bedak. Cheng kemudian mulai diperkenalkan dengan klien-klien perantara itu. Perawakan Cheng memang besar untuk anak seusianya. Dengan dandanannya itu, tidak ada yang curiga bila dikatakan ia berusia 16 tahun. Di kemudian hari, seluruh dokumen yang Cheng miliki menuliskan usianya yang sudah ditambah 3 tahun. Setelah beberapa pertemuan, seorang klien menaruh hati pada Cheng. Proses yang ia lalui tak beda dengan Oey.

Dua hari setelah pertemuannya dengan klien tersebut, Cheng menikah. Saat itu, pertengahan bulan Agustus 1994, ia belum genap 14 tahun. Sekalipun belum mempunyai keinginan untuk menikah. Cheng tidak merasa memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuannya. Menurut Cheng, ia dapat mengerti keputusan orangtuannya itu karena keluarga mereka sangat miskin dan ia masih memiliki 6 orang adik yang harus dibiayai. Dan Cheng juga tidak tahu apakah ia akan dapat lebih berguna bagi keluarganya itu jika tetap tinggal di Indonesia dengan pendidikannya yang hanya lulus sekolah dasar.

Cheng mengaku bahwa ia sebenarnya sangat takut ketika harus menerima kenyataan akan berpisah dengan keluarganya untuk ikut suaminya ke Taiwan. Ia tidak tahu bagaimana keluarga suaminya akan menerima dirinya. Apalagi Cheng tidak dapat berbahasa Mandarin dan hanya mengerti sedikit bahasa Hakka yang dipergunakan sehari-hari oleh keluarga suaminya. Suami Cheng adalah seorang buruh pabrik elektronik di pinggir ibukota Taiwan. Dia berusia 40 tahun saat menikah dengan Cheng dan belum pernah berkeluarga. Di sana, Cheng tinggal dengan orang tua suaminya yang sudah tua, berusia sekitar 70 tahun. Cheng berkewajiban untuk mengurus rumah tangga dan orangtua suaminya itu.

Cheng bersyukur suaminya tidak pernah berbuat kasar padanya. Begitu pula orangtua suaminya. Bahkan tak jarang mereka mengungkapkan terima kasih atas pertolongan Cheng merawat mereka dan anaknya. Setahun setelah pernikahan itu Cheng mengandung tetapi keguguran. Baru pada tahun berikutnya ia dapat melahirkan seorang anak laki-laki.

Selain mengurus rumah tangganya, Cheng juga bekerja sebagai tukang sapu di sebuah kuil dekat rumahnya. Atas pekerjaan itu, Cheng dapat sejumlah uang dari para pengunjung kuil. Karena itu, Cheng dapat mengirimkan uang untuk keluarganya di Indonesia. Kadang ia mengirimkan uang 3-4 bulan sekali dengan total uang senilai Rp 1,5 hingga 2 juta. Justru ketika kurs rupiah jatuh, uang yang dikirimkan Cheng bisa mencapai dua kali lipat dari biasanya. Uang tersebut terutama digunakan untuk keperluan pendidikan adik-adiknya.
Salah seorang adik perempuan Cheng juga hendak dinikahkan saat berusia sekitar 14 tahun. Cheng menentang keputusan orangtuanya itu. Ia malah mengajak adiknya ke Taiwan untuk ikut membantunya. Tetapi keinginan itu ditolak. Adik Cheng akhirnya menikah dengan seorang petani di Taiwan saat berusia 15 tahun, sekitar 1999. Cheng belum pernah berkomunikasi langsung dengan adiknya itu, tetapi menurut orangtuanya, adik Cheng baik-baik saja meskipun belum bisa menyisihkan uang yang sama besar jumlahnya dengan Cheng karena harus membantu suaminya di kebun di Taiwan.

Cheng masih mempunyai dua orang adik perempuan, dan ia mengaku khawatir bahwa mereka akan bernasib sama dengannya. Meskipun ia tidak mendapat perlakuan kasar, ia tidak ingin adik-adiknya tidak menikah terlalu cepat dengan orang yang tidak dikenal oleh mereka sebelumnya. Dengan uang yang dihasilkannya itu, Cheng berharap adik-adiknya akan mendapat pendidikan yang lebih baik sehingga tidak harus menikah untuk mengatasi kesulitan ekonomi keluarganya.






















Kisah Nestapa Para Amoy
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Ai Chia, sebut saja begitu, adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ai Chia lahir pada 1976, sedangkan adik laki-lakinya lahir tiga tahun kemudian. Ayah Ai Chia bekerja sebagai buruh kasar, ibunya tidak bekerja dan sakit-sakitan. Atas bantuan keluarga dari pihak ibu, Ai Chia akhirnya bisa bersekolah sampai SMA. Terbujuk dengan rayuan seorang teman laki-lakinya yang berjanji akan menikahi Ai Chia, Ai Chia bersedia untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Akhirnya ai Chia hamil dan laki-laki tersebut menolak untuk menikahinya.

Mendengar keadaan anaknya itu, ibu Ai Chia kemudian mengusahakan Ai Chia untuk melakukan aborsi. Aborsi berhasil tetapi saudaranya menolak untuk terus menyekolahkan Ai Chia. Saat itu Ai Chia baru kelas II SMA dan karena orangtuanya tidak mampu, tidak mungkin baginya untuk meneruskan sekolah. Ai Chia berhenti dan mulai bekerja di toko milik salah seorang kenalan ibunya.

Dari pekerjaan itu, Ai Chia memperoleh gaji sebesar Rp 200 ribu per bulannya. Upah ini sudah termasuk biaya transportasi dan makan siang. Sisa gaji digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari seluruh keluarga. Saat bekerja di toko, Ai Chia berkenalan dengan seorang perempuan yang bekerja sebagai perantara bernama A Cu. Perempuan tersebut menawarkan Ai Chia untuk menikah ke Taiwan. Menurut perempuan itu, setiba di Taiwan, Ai Chia juga dapat bekerja di pabrik-pabrik yang masih membutuhkan banyak sekali pekerja perempuan. Ai Chia berkata akan mempertimbangkan tawaran tersebut dan memberikan alamatnya ketika ditanya oleh perantara tersebut.

Perantara itu kemudian datang ke tumah Ai Chia dan menceritakan maksudnya kepada orangtua Ai Chia. Di luar pengetahuan Ai Chia, orangtuanya menerima usulan tersebut dan meminta perantara untuk segera menghubungi mereka bila ada klien yang datang. Ai Chia tidak bisa menolak keputusan orangtuanya itu, terutama saat ayahnya mengungkit soal Ai Chia yang sudah tidak lagi perawan dan gaji Ai Chia yang tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Ai Chia ditekan untuk turut memikirkan pendidikan adik laki-lakinya karena menurut ayah Ai Chia, saudara mereka tidak mungkin selamanya membiayai pendidikan adiknya. Terutama bila anak-anak mereka, saudara Ai Chia, sendiri sudah mulai beranjak dewasa dan membutuhkan biaya lebih untuk pendidikan mereka.

Dihadapkan pada keadaan tersebut, Ai Chia kemudian menerima keputusan orangtuanya dan ikut diperkenalkan ke beberapa klien. Karena ia sudah tidak perawan, agak sulit baginya untuk menemukan klien yang mau denganya. Akhirnya seorang laki-laki berusia 35 tahun dan bekerja sebagai montir mempersunting Ai Chia. Seorang teman dari perantara Ai Chia mengerjakan kelengkapan dokumen tersebut. Ai Chia hanya datang ke kantor imigrasi sekali untuk membubuhkan tandatangan dan foto untuk paspornya. Bersama perantara dan kliennya, Ai Chia pergi ke kantor catatan sipil Pontianak, Kalimantan Barat untuk mencatatkan perkawinan itu. Ai Chia tidak tahu berapa mahar yang diterima oleh orangtuanya dari suaminya itu. Tetapi menurut perantara Ai Chia, emas kawin yang diberikan tidak lebih dari 1,5 juta rupiah. Itu pun sudah cukup besar mengingat kondisi Ai Chia yang sudah tidak perawan lagi. Ai Chia menikah pada November 1993 dan saat itu ia berusia 17 tahun.

Tiba di Taiwan, Ai Chia tinggal di sebuah rumah susun dengan suaminya. Ternyata suaminya seorang pemabuk sekaligus penjudi. Ai Chia seringkali kekurangan uang untuk keperluan hidupnya akibat perilaku suaminya itu. Untungnya di rumah susun itu Ai Chia berkenalan dengan beberapa orang Amoy asal Indonesia yang juga menikah dengan laki-laki Taiwan. Atas bantuan salah seorang temannya itu, Ai Chia akhirnya bekerja di sebuah pabrik elektronik.

Gaji yang ia peroleh ia gunakan untuk membiayai hidupnya dan menabung untuk dikirimkan ke keluarganya di Indonesia. Pada dua bulan setelah bekerja ia berhasil mengirim uang yang ketika dikurskan di Indonesia hampir sebesar 1 juta rupiah. Uang ini ia kirimkan dan sejak saat itu Ai Chia selalu mengirimkan uang setiap 2 hingga 3 bulan.
Ai Chia hamil lima bulan setelah pernikahannya dan ia melahirkan seorang anak laki-laki pada 1995. Mengetahui bahwa Ai Chia menyimpan sejumlah uang, pada suatu malam 1996, suami Ai Chia kembali dalam keadaan mabuk dan meminta Ai Chia menyerahkan tabungannya itu. Ai Chia menolak dan karena itu suaminya memukul Ai Chia. Ai Chia terpaksa menyerahkan tabungannya itu. Ia kemudian menelepon ibunya untuk memberitahukan kejadian tersebut. Ibu Ai Chia hanya menganjurkan untuk bersabar dan konsentrasi pada anaknya. Tak lama setelah kejadian itu sekitar sebulan, Ibu Ai Chia meninggal dunia. Empat bulan kemudian ayah Ai Chia menikah kembali.

Ternyata kejadian pemaksaan dan pemukulan oleh suami Ai Chia terus berulang dan Ai Chia tidak tahan. Khawatir Ai Chia akan melarikan diri, suaminya kemudian menahan kunci lemari dan kamar supaya Ai Chia tidak dapat mengambil barang-barangnya jika ia sedang tidak ada di rumah. Tetapi dengan bantuan seorang teman, Ai Chia mengeluarkan sedikit demi sedikit perhiasan dan pakaiannya setiap kali berangkat kerja. Sampai tabungannya cukup untuk membeli tiket pulang, Ai Chia dan anaknya akhirnya kembali ke Indonesia pertengahan 1996.

Tiba di rumah, Ai Chia malah dimarahi oleh ayahnya. Ibu tiri Ai Chia bersikap tidak mau mencampuri masalah. Hanya saja, karena ibu tiri Ai Chia juga bekerja, seringkali ia cemberut dan mengeluh bahwa uang jerih payahnya tidak cukup untuk menanggung kebutuhan Ai Chia dan anaknya. Hampir setiap hari Ai Chia bertengkar dengan ayahnya. Ai Chia akhirnya tidak tahan. Ketika ditawarkan oleh seorang kenalannya, Asuan, untuk pindah ke Jakarta, Ai Chia menyetujuinya.

Setiba di Jakarta, Ai Chia bekerja di rumah makan milik Asuan, yang juga menjadi perantara. Setelah dibujuk beberapa kali oleh Asuan, akhirnya Ai Chia bersedia untuk kembali ikut dalam bursa calon pengantin. Menurut Ai Chia, keputusan itu terpaksa ia ambil karena ia membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membesarkan anaknya dan hasil dari bekerja di rumah makan milik Asuan tidak mencukupi kebutuhan tersebut.

Pertengahan 1997, dari perkenalannya dengan klien Asuan, ia bertemu dengan seorang duda berusia 50 tahun yang memiliki tiga anak. Anak terbesar dari laki-laki itu berusia sepantar dengan Ai Chia, 21 tahun. Dua lagi berusia 18 dan 16 tahun. Tetapi laki-laki itu tidak bersedia bila Ai Chia membawa anaknya serta. Untuk itu, Ai Chia menitipkan anaknya ke Asuan dan suaminya memberi uang 2 juta rupiah kepada Asuan untuk mengasuh anak Ai Chia sebagai pengganti emas kawin Ai Chia.

Ai Chia tidak tahu berapa uang yang diperoleh Asuan dari pernikahannya itu. Tetapi Asuan mengatur segala keperluan Ai Chia untuk menikah kembali. Termasuk menyediakan dokumen-dokumen yang Ai Chia butuhkan. Karena Ai Chia belum resmi bercerai dengan suami pertamanya, maka untuk memudahkan kepergiannya, Ai Chia dibuatkan dokumen baru. Dokumen-dokumen tersebut menurut Ai Chia juga asli karena dikeluarkan oleh instansi yang berwewenang. Bahkan sampai ke akte kelahiran Ai Chia yang baru. Dari asuan, Ai Chia mengetahui bahwa untuk itu sejumlah uang dibutuhkan Asuan untuk menyogok aparat-aparat yang terkait sehingga segala dokumen yang ia butuhkan sudah siap dalam satu bulan. Dengan dokumen-dokumen itu, Ai Chia tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh visa.

Kali ini Ai Chia pergi tidak lagi dengan rasa takut. Apalagi ai Chia sudah lancar berbahasa Mandarin. Ia hanya mengkhawatirkan anaknya yang dititipkan ke Asuan. Agar dapat menengok anaknya, Ai Chia akhirnya turut membantu Asuan untuk mencari klien di Taiwan dan kemudian menemani klien-klien tersebut ke Indonesia. Sebelum kembali ke Taiwan, Ai Chia akan menyempatkan diri untuk mencari para Amoy yang bersedia untuk menjadi pengantin untuk kemudian dititipkan ke Asuan. Tujuannya adalah untuk mempermudah mereka saat klien berikutnya mereka dapatkan.

Untuk setiap klien yang berhasil memperoleh pasangan, Ai Chia memperoleh 50.000 hingga 100.000 dollar Taiwan. Sebagian dari uang tersebut ia berikan ke Asuan secara bertahap untuk biaya hidup anaknya. Sisanya ia tabungkan untuk keperluan pendidikan anaknya kelak.

Hui Fang adalah anak pertama dari sebelas bersaudara. Ia mempunyai empat orang adik perempuan dan enam orang adik laki-laki. Saat ini yang paling kecil baru berusia 5 tahun, ada tiga yang masih sekolah dasar kelas 2, 5, dan 6. Dua lagi di SMP. Adik laki-laki yang paling besar ikut bekerja di konveksi bibinya di Jakarta. Sebenarnya adik laki-lakinya ini ingin bekerja di Taiwan tetapi dicegah oleh Hui Fang. Menurut Hui Fang lebih baik adiknya menungu sampai berusia 22 tahun sebelum bekerja di sini supaya bisa masuk ke Taiwan secara legal. Adik Hui Fang yang perempuan sudah menikah ke Malaysia tahun lalu. Sedangkan dua lagi adiknya sudah putus sekolah dan belum bekerja.

Ayah Hui Fang tidak bekerja. Karena keuangan keluarga yang sangat kurang, ibu Hui Fang juga pernah ke Taiwan dan bekerja di sana selama empat bulan. Tetapi karena anak-anaknya masih kecil-kecil, ia harus pulang kembali. Hui Fang sempat mengeyam pendidikan sampai kelas II SMA. Karena tidak punya cukup uang, Hui Fang harus berhenti. Ia kemudian pergi ke Jakarta tetai karena tidak mendapatkan pekerjaan, ia kembali ke Pontianak. Saat itu usianya baru 19 tahun.

Seorang kenalan bernama Chuan Kou pada suatu suatu hari mendatangi Hui Fang dan menawarkannya untuk menikah ke Tiawan. Dari teman-teman, Hui Fang beranggapan bahwa menikah ke Taiwan adalah menguntungkan karena bisa bekerja. Ibu Hui Fang juga memiliki pendapat yang serupa meskipun ia tidak memaksa Hui Fang untuk menikah. Hui Fang sendirilah yang memutuskan untuk menikah ke Taiwan lewat bantuan perantara tersebut.

Chuan Kou kemudian memperkenalkan Hui Fang dengan seorang laki-laki Taiwan berusia sekitar 30 tahun. Ia bekerja sebagai montir di dekat Kao Hsiung. Setelah perkenalan itu, Hui Fang dan suaminya berjalan-jalan dan membeli pakaian. Pesta perkawinan dilakukan sehari kemudian. Untuk itu diadakan pesta perkawinan sederhana dengan mengundang keluarga dan teman dekat. Itu terjadi sekitar empat tahun yang lalu. Semua dokumen kepergian Hui Fang diurus oleh perantaranya dan mereka Hui Fang dan keluarganya tidak membayar sedikit pun untuk itu. Dan bagaimana budaya yang diusungnya, ibu Hui Fang menerima sejumlah emas kawin dari menantunya itu, meskipun ia enggan menyebutkan jumlahnya.

Sekarang Hui Fang sudah mempunyai seorang anak. Selama pernikahannya itu Hui Fang sudah 4 kali kembali ke Indonesia. Di Taiwan Hui Fang bekerja di sebuah rumah makan. Ia terus mengirimkan uang ke keluarganya. Kalau sudah dikirimkan, Hui Fang akan menyuruh ibunya untuk mengecek uangnya di bank. Pernah Hui Fang bertanya kepada ibunya tentang apakah uang yang dikirimkannya itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sebagai orangtua dari pihak perempuan, ibu Hui Fang merasa tidak memiliki kekuasaan untuk menjawab pertanyaan itu. Bagi ibu Hui Fang, karena anaknya adalah perempuan, maka sebenarnya ketika anak tersebut sudah menikah, ia akan menjadi milik keluarga suaminya itu. Ibu Hui Fang sudah merasa sangat bersyukur karena suami Hui Fang membiarkan anaknya mengirim uang dan tidak pernah berusaha meminta hasil jerih payah Hui Fang.
Uang dari Hui Fang tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari seluruh keluarga dan biaya pendidikan adik-adiknya. Selain itu, mereka juga mendapat tambahan uang dari adik perempuan Hui Fang yang meninkah di Malaysia. Hui Fang tidak pernah mengeluhkan kondisi perkawinannya. Tetapi dari pantauan ibu Hui Fang saat ia berada di Taiwan, kondisi perkawinan Hui Fang cukup beruntung bila dibandingkan dengan anak perempuan tetangganya. Di lingkungan tempat tinggal ibu Hui Fang, hampir semua keluarga mempunyai anak perempuan yang dipersunting laki-laki Taiwan. Salah satu tetangga memiliki anak perempuan yang juga menikah ke Taiwan dan sekarang sudah mempunyai dua anak perempuan. Sebenarnya suaminya itu sangat pintar mencari uang. Sayangnya setelah melakukan operasi kepala, ia menjadi sangat terbelakang atau cacat. Meskipun demikian perempuan tersebut tidak bercerai dan terus bekerja di Taiwan untuk menyambung hidupnya, suami dan kedua anaknya.

Selain itu, ibu Hui Fang juga yakin bahwa laki-laki Taiwan yang menikah ke sini adalah laki-laki baik-baik. Memang terdegar kabar bahwa ada beberapa anak perempuan tetangganya yang menikah di Taiwan kemudian dipukuli oleh suaminya. Tapi setelah membahasnya lebih lanjut, ibu Hui Fang yakin bahwa kesalahan selalu ada di pihak perempuan itu sendiri. Sudah sepantasnya seorang menantu berbakti pada mertuanya. Adalah wajar bila dimarahi oleh mertua, terutama bila mertua itu sudah tua dan cerewet. Hanya bila para Amoy itu berlaku sembarangan maka para suami akan dan pantas untuk menghajar istri-istri mereka itu. Ibu Hui Fang juga beberapa kali membantu perantara mencari anak perempuan yang mau dinikahkan. Kebanyakan memang dari keluarga dengan ekonomi yang tak jauh berbeda darinya. Dan usahanya ini cukup berhasil karena sudah beberapa pasangan yang berhasil dihubungkannya.

Lain Hui Fang lain pula A Nyam. A Nyam mempunyai seorang kakak laki-laki dan tiga adik, dua perempuan, satu laki-laki. Kakak laki-laki A Nyam tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai sales di sana. Ayah a Nyam bekerja serabutan sementara ibunya tidak bekerja. A Nyam bersekolah sampai tamat SMP. Karena mempertimbangkan keuanga keluarganya, A Nyam memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. Saat usianya menjelang 20 tahun, A Nyam ikut dengan salah satu kenalannya ke Jakarta untuk bekerja di sebuah rumah makan. Di sana ia bertemu dengan seorang teman yang menawarkannya untuk menikah ke Taiwan. A Nyam kemudian menerima tawaran ini.

Ibu a Nyam sendiri tidak dapat berbuat banyak karena saat itu A Nyam ada di Jakarta. A Nyam baru memberitahu setelah ada calon yang bersedia mempersuntingnya. Saat itu A Nyam berusia 23 tahun dan suaminya itu berusia 37 tahun. Keinginan A Nyam untuk menikah sudah bulat, dan A Nyam memberitahu ibunya bahwa keputusan ini dia ambil guna meringankan beban ekonomi keluarga. Bersama dengan calon suaminya itu, A Nyam kembali ke Ngabang, Kalimantan Barat. Dengan bantuan perantara, A Nyam mengurus segala dokumen untuk kepergiannya. Pesta perkawinan dilakukan sangat sederhana. Hanya keluarga saja yang diundang dan kemudian mereka pergi ke tukang foto untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut. Usai pernikahan A Nyam kembali ke Jakarta untuk kemudian meneruskan perjalanannya ke Taiwan. Pernikahan tersebut berlangsung sekitar lima tahun yang lalu.

Ibu A Nyam mengingat anaknya sebagai seorang anak yang ulet dan memang sangat mengkhawatirkan kondisi keuangan keluarganya. Karena itu, A Nyam kemudian berusaha dengan membuka toko makanan. Tapi kemudian a Nyam menutup rumah makan ini dan melakukan alih profesi menjadi tukang jahit. Dari pekerjaannya ini A Nyam dapat mengirimkan sejumlah uang untuk keperluan pendidikan adik-adiknya. Bahkan dari uang itu bisa ditabung untuk membeli pick-up yang kemudian digunakan ayahnya untuk bekerja dengan menyewakan mobil tersebut. A Nyam juga berhasil menyekolahkan adik perempuannya sampai lulus sebuah akademi di Pontianak. Adik perempuan A Nyam ini akan menyusul kakak laki-lakinya di Surabaya agar dapat bekerja di sana.

Suami A Nyam adalah seorang perajin kayu. Mereka tinggal di sebuah desa di daerah Meinung. A Nyam tinggal dengan suami dan mertua perempuannya. Sekarang A Nyam sudah mempunyai dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Yang paling besar sudah bersekolah. Pada awalnya ibu A Nyam khawatir bahwa anaknya akan tidak betah tinggal di Taiwan, tetapi seiring dengan perjalanan waktu, ia yakin anaknya sudah dapat menyesuaikan diri dan betah tinggal di sana. Tahun kedua dari perkawinannya itu, A Nyam mengganti kewarganegaraannya menjadi warga negara Taiwan.

Di daerah itu memang A Nyam memiliki cukup banyak teman karena banyak Amoy dari Kalimantan Baarat yang menikah ke Taiwan. Dan sepengetahuan ibu A Nyam, para perempuan itu memiliki kehidupan yang cukup layak di sana. Bahkan hampir semuanya mampu menyisihkan uang untuk dikirim kembali ke keluarga mereka di Indonesia. Adik A Nyam yang paling kecil sekarang ada di Taiwan untuk melanjutkan sekolahnya. Dibutuhkan sekita 2 juta untuk biaya perjalanan, dokumen dan pendaftarannya. Semua itu ditanggung oleh A Nyam, sekaligus biaya pendidikan adiknya sampai lulus. Kalau memang bisa, adik A Nyam juga akan belajar sambil bekerja di sana.

Salah satu adik perempuan ibu A Nyam juga bekerja di Tai Tang, Taiwan. Ia baru bekerja beberapa bulan sebagai pembantu rumah tangga khusus untuk merawat seorang tua di rumah itu. Jadi ibu A Nyam sangat menaruh harapan bahwa adik laki-laki a Nyam juga akan dengan mudah mendapat pekerjaan, seperti membantu di rumah makan. Adik perempuan A Nyam yang satu lagi tetap tinggal di rumah dan masih duduk di kelas II SMP. Masih terlalu muda untuk dipikirkan apakah ia juga akan mengikuti jejak kakaknya untuk menikah di sana. Bahkan ibu A Nyam tidak tahu apakah anak perempuannya yang sekarang ada di Surabaya juga akan melakukan hal yang sama. Meskipun juga tidak menolak jika keputusan itu yang diambil , terutama bila mempertimbangkan kisah-kisah sukses di Taiwan, ibu A Nyam lebih membiarkan anaknya mengambil keputusannya sendiri.

A Nyam juga sudah beberapa kali mencarikan ibunya klien yang hendak memperoleh pasangan di Indonesia. Bahkan beberapa waktu yang lalu ia menelepon dan mengatakan ada klien yang akan datang. Tetapi berbekal pengalaman terdahulu, ibu A Nyam merasa akan lebih mudah bila A Nyam mengirimkan foto klien itu terlebih dahulu, sementara ibu a Nyam juga akan mengirimkan foto perempuan-perempuan yang bersedia menjadi pengantin. Setelah ada yang cocok baru akan diatur pertemuannya. Dengan demikian, waktu berkunjung klien di Indonesia pun dapat dipersingkat dan tugas yang harus dilakukan oleh ibu A Nyam juga menjadi lebih ringan.

Lain lagi kisah A Ngo. A Ngo adalah anak pertama perempuan dari lima bersaudara, tiga adik perempuan dan satu kakak laki-laki. Ayahnya bekerja sebagai sopir kapal air alat tranportasi di Kalimantan Barat di Sedau Singkawang yang terutama mengangkut anak-anak yang hendak pergi ke sekolah. Pada saat A Ngo berusia sembilan tahun, mereka sekeluarga pindah ke Pontianak karena ayah A Ngo sakit-sakitan dan seringkali pingsan sehingga tidak memungkinkan untuk bekerja.

Di Pontianak, ibu A Ngo berusaha menghidupi keluarganya dengan berjualan hekeng, makanan tradisonal yang bahan dasarnya udang dan tepung terigu. Tapi hasil penjualannya tidaklah banyak. Karena itu, sejak lulus SMP, A Ngo memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Ia bekerja membantu ibunya berjualan hekeng. Dari hasil tersebut, adik perempuannya, A Ling, berhasil sekolah sampai tamat SMA. Tak lama setelah tamat, A Ling, memutuskan untuk menikah ke Taiwan. Ia menikah dengan seorang mandor di Kao Hsiung pada 1992 ketika usianya baru berusia 18 tahun. Dari pernikahan ini, A Ngo membantu keluarganya dengan sesekali mengirimkan sejumlah uang.

A Ngo kemudian pindah ke Jakarta pada akhir 1992 untuk mencari pekerjaan dengan harapan memperoleh penghasilan yang lebih baik. Saat itu kakak laki-laki A Ngo juga sudah berkeluarga. Saudara laki-lakinya ini memperoleh penghasilan dari berjualan jajanan anak-anak yang terbuat dari beras yang dijadikan kerupuk dan disiram gula atau disebut pheng. Perbuah jajanan tersebut dihargai Rp 75, dan hasil dari jualan itu tidaklah mencukupi, bahkan untuk keluarga kakaknya sendiri yang telah memiliki satu anak.

Di Jakarta, A Ngo bertemu dengan perantara, seorang perempuan setengah baya yang berpostur gemuk. A Ngo sempat bimbang karena ia tidak bisa berbahasa Madarin, belum pernah ke Taiwan dan sama sekali tidak mengenal latar belakang calon suaminya itu. Tetapi melihat kondisi keluarganya akhirnya A Ngo memutuskan untuk menerima tawaran perantara tersebut. Sejak kepergian A Ngo ke Jakarta, ibu A Ngo memang berhenti berjualan hekeng dan membantu anak laki-lakinya membuat Pheng. Tetapi keadaan semakin buruk karena saingan semakin banyak sementara bahan baku semakin mahal.

A Ngo yang saat itu berusia 21 tahun kemudian dikenalkan dengan seorang pria berusia sekitar 40-an dan bekerja sebagai montir di Taipei. Setalah perkenalannya di Jakarta, A Ngo dan suaminya ini kembali ke Pontianak untuk melangsungkan pernikahan. Sebuah pesta perkawinan sederhana diadakan untuk merayakan perkawinan tersebut. Setelah semua dokumen yang dibutuhkan lengkap, A Ngo pergi ke Taiwan.

Di Taipei, A Ngo berjualan jajanan untuk anak-anak sekolah. Penghasilannya ini ia kirimkan ke rumah. Suami A Ngo sendiri tidak keberatan dengan kegiatan A Ngo tersebut. Bahkan ia suka mengingatkan A Ngo bila ia sudah lama tidak berhubungan dengan keluarganya di Indonesia. Waktu ibu A Ngo yang ke Taipei pada 1995 untuk membantu A Ngo yang hendak melahirkan, penerimaan menantunya pun cukup baik. Tetapi sayangnya, suami A Ngo ini senang minuman beralkohol. Jika sudah mabuk, ia langsung tidur. Menurut ibu A Ngo, minimal keadaan itu jauh lebih baik daripada anaknya dipukul. Dan ia tidak begitu heran dengan kebiasaan menantunya ini, karena menurut ibu A Ngo, laki-laki mabuk adalah semacam tradisi di dalam budaya Cina yang dapat ditolerir.

Dari uang yang dikirimkan A Ngo, adik perempuannya pun dapat menyelesaikan SMA. Sekarang adik perempuannya itu sudah berkeluarga. Jadi tanggungan A Ngo tinggal adiknya yang bungsu yang sekarang masih SMP. Tetapi melihat keadaan abangnya, A Lung juga bersedia menyekolahkan keponakannya itu. Apalagi karena abangnya sudah bercerai dan mereka tinggal dengan orang tua A Ngo.

Sekalipun A Ngo mengetahui bahwa bila menjadi perantara ia akan dapat menghasilkan uang yang lebih banyak, A Ngo tidak bersedia. A Ngo berpendapat bahwa tanggung jawab atas nasib para Amoy tersebut akan terlalu berat untuk ditanggungnya. Siapa yang bisa menjamin kalau yang ditawarkannya adalah pria baik-baik, begitu juga tidak mau mendukung keinginan ibunya untuk menikahkan adiknya dengan laki-laki Taiwan terutama setelah A Ngo mengetahui bahwa adiknya itu sudah memiliki kekasih, yang kemudian memang dinikahinya.

Untuk saat ini, uang yang dikirimkan oleh A Ngo dan A Ling cukup untuk memenuhi kebutuhan ayah, ibu, adik bungsu dan pendidikan keponakannya. Bahkan sudah disisihkan sedikit demi sedikit untuk bekal pendidikan adik bungsunya ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut ibu A Ngo, ia belum lagi memikirkan apakah akan meminta anak bungsunya itu untuk menikah ke Taiwan. Ia juga tidak yakin kalau A Ngo akan sepakat dengannya. Selain itu, ibu A Ngo juga sepakat kalau tidak boleh semua anak perempuannya menikah jauh-jauh. Bila ada apa-apa dengan ayah mereka, siapa yang akan membantu, pikirnya.





































Hilang Harapan di Negeri Sakura
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Malam membekap kawasan Akasaka di jantung Tokyo. Tapi salah satu daerah esek-esek terkemuka di ibu kota Jepang itu terasa kian panas. Beberapa turis asing dan lelaki hidung belang Jepang tampak menikmati pemandangan. Young and beautiful, young and beautiful, ujar seorang perempuan, berpromosi. Setengah merengek, perempuan dengan kostum ketat itu memaksa. Begitu dilaporkan salah satu majalah berita mingguan ibukota beberapa waktu lalu.

Dengan cekatan, sang salesgirl dari Bar Somaru itu menjanjikan berbagai kenikmatan duniawi. Bila tak cukup dengan kata-kata (maklumlah, bahasa inggris seorang salesgirl umumnya sangat terbatas), ia langsung menggunakan tangan dan tubuhnya. Tanpa sungkan, ia menggandeng dan memeluk pinggang calon pegunjung bar. Cukup hanya dengan membayar 7.000 yen (sekitar Rp. 500 ribu) – jumlah yang kecil bagi ukuran warga Jepang – seorang pengunjung bebas melenggang masuk. Tarif itu termasuk dua gelas minuman dan pertunjukan berupa tarian semi-striptease.

Suasana di dalam bar tak ubahnya seperti bar-bar di Jakarta, temaram dan dijejali perempuan berbaju seronok. Seorang pelayang yang menyebut dirinya Michiko menyambut dengan sesungging senyuman ala Jepang. Perempuan dengan aroma parfum yang lembut itu segera menawarkan “teman” selama Kongko di bar. “Jepang, Thailand, Philippine, or Indonesia?” ujarnya. Tanpa pikir panjang, tulis seorang wartawan yang menuliskan reportasenya itu, meminta seorang “teman” yang berasal dari Indonesia.

Indonesia? Ya, Perempuan indonesia rupanya menjadi salah satu ikon dalam dunia malam di Negeri Sakura. Di Bar Somaru Akasaka, misalnya, ada seorang Amoy, sebut saja Oey Tan, bukan nama sebenarnya, yang berdarah keturunan Cina Indonesia. Perempuan berusia 23 tahun ini mengaku berasal dari salah satu desa di Singkawang, Kalimantan Barat. Oey Tan ternyata sudah dua tahun bekerja di kawasan Akasaka. Selama dua tahun pula Oey Tan berlumur peluh lelaki hidung belang di Jepang. “Mau bagaimana lagi? Sudah kepalang basah,” ujarnya.

Alasan klasik. Tapi justru itulah yang selalu menjadi dalih para pekerja yang terjun di dunia keremangan malam. Oey Tan, yang cuma mengeyam sekolah hingga kelas 2 SMA, mengaku tak punya pilihan lain. Jika bertahan hidup di Singkawang atau Indonesia, tak akan ada perubahan nasib. Padahal, ujar Oey tan, masih ada dua orang adiknya yang duduk di bangku SMU dan SMP.

Oey Tan mengaku tak sendirian. Di kawasan Akasaka saja diperkirakan ada sekitar 30 perempuan asal Indonesia, kebanyakan para Amoy atau gadis muda keturunan Cina Indonesia. Mereka bekerja di berbagai bar dan pub di sepanjang kawasan “esek-esek” itu. Hubungan antar perempuan asal Indonesia terbilang ketat. Mereka tetap berkumpul untuk saling “curhat” atau sekadar ngerumpi. “Karena jauh dari keluarga, kami seperti bersaudara,” kata Oey Tan.

Bagi Jepang, persoalan prostitusi seperti pedang bermata dua. Secara resmi sejak 1958 Jepang menyatakan prostitusi sebagai kegiatan melanggar hukum. Meski begitu, seperti negeri maju lainnya, Jepang tak berdaya membendung pertumbuhan bisnis pemuas syahwat itu. Selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan bisnis itu seperti cendawan di musim hujan. Cepat dan maju pesat. Tak percaya? Tengok saja di Tokyo. Beberapa kawasan bisnis, seperti Akasaka, Shinjuku, dan Roppogi, merupakan kawasan esek-esek terkemuka.

Buntutnya sebenarnya cukup merepotkan pemerintah Jepang. Pertumbuhan pengidap HIV/AIDS di Jepang terbilang relatif tinggi untuk kawasan Asia Pasifik. Penyakit yang kerap menimpa pekerja seks komersial itu kini menjadi ancaman serius bagi masyarakat Jepang. Data Badan Intelijen Amerika (CIA) beberapa waktu lalu menyebut angka prevalensi HIV/AIDS di kalangan warga Jepang dewasa mencapai 0,02 persen. Saat ini diperkirakan sekitar 20 ribu penduduk Jepang terinfeksi virus mematikan itu.

Di sisi lain, Jepang merupakan salah satu negara penting bagi para tenaga kerja Indonesia (TKI). Maklumlah, Jepang memang tak memiliki pasokan pekerja untuk sektor-sektor tertentu. Negeri yang memiliki pendapatan per kapita US$28 ribu (sekitar Rp. 225 juta) itu tiap tahun membutuhkan ratusan ribu tenaga kerja asing. Umumnya para pekerja asing itu bekerja di sektor infrastruktur, industri manufaktur, dan “dunia hiburan”. Di dunia, Jepang merupakan satu-satunya negara yang memberikan visa “pekerja hiburan bagi tenaga kerja asing.

Arti penting Jepang bagi Indonesia tercermin pada jumlah TKI yang bekerja di sana. Hingga akhir tahun lalu, Kedutaan Besar RI di Jepang memperkirakan ada 12.779 orang TKI yang bekerja di Jepang. Tapi tak ada catatan yang jelas soal jumlah devisa yang diperoleh para pekerja Indonesia itu. Maklumlah, tak semua pekerja memiliki identitas dan status yang jelas. Pihak KBRI memperkirakan ada sekitar 4.000 orang tenaga kerja indonesia yang berstatus “ilegal”. Para tenaga kerja ilegal ini umumnya adalah pekerja yang sudah overstay dan tak memegang kontrak kerja. Bahkan, sebagian besar dari mereka tak memegang paspor yang menjadi identitas penting di luar negeri. Soalnya, paspor mereka ditahan oleh majikan lama atau oleh agen tenaga kerja di Jepang.

Ada hal lain yang menarik. Kedutaan Besar RI di Jepang menyebut ada 235 orang tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di sektor hiburan. Secara resmi, mereka disebut sebagai “artis atau entertainer”. Angka ini bisa jadi jauh lebih kecil dari fakta sebenarnya. Soalnya, para TKI yang berstatus ilegal juga banyak yang bekerja di dunia hiburan. Masalahnya, para pekerja di sektor hiburan ini sangat rawan terhadap eksploitasi seksual. Bisa dipastikan, para pekerja seks komersial. Hampir semua pekerja hiburan di Jepang akan dijadikan pemuas syahwat.

Apalagi proses audisi saat perekrutan “artis” untuk Jepang umumnya sangat menonjolkan keindahan fisik calon tenaga kerja wanita. Bahkan banyak perusahaan yang meminta calon “artis” berlenggak-lenggok sambil menanggalkan pakaian. Tak mengherankan, para TKW yang akan menjadi pekerja hiburan di Jepang ini kerap disebut sebagai “Ayam bersepatu”. Istilah ini, telah menjadi joke di kalangan perusahaan pengirim TKW. Untunglah, tak semua “Ayam bersepatu” pasrah dengan keadaan.

Seperti kebanyakan pekerja seks komersial asal Indonesia, mereka para Amoy muda ini nyaris tak pernah menikmati hasil keringat mereka. Ini akibat “keteledoran” saat menandatangani kontrak kerja. Dalam salah satu klausul kontrak kerja mereka disebutkan bahwa para pekerja berutang 5 juta yen (sekitar Rp. 350 juta) kepada mucikari di Jepang. Angka sebesar itu konon merupakan segala ongkos yang harus dikeluarkan untuk menjadi pekerja di Jepang. Sialnya, para perempuan lugu itu dipakasa membayar utang tersebut dengan tubuh mereka. Bila menolak, “Kami dihajar seperti binatang,” ujar seorang Amoy dengan setengah berbisik.

Memang ada Oey Tan, pekerja seks komersial di kawasan Akasaka, yang akhirnya bersikap pragmatis. Daripada tak bisa pulang ke kampung, ia menerima dan menikmati kehidupan malam di kota metropolis Tokyo. Tapi, bukan tak mungkin, jauh lebih banyak Amoy atau perempuan yang ingin keluar dari cengkeraman sang mucikari. Para begundal anggota Yakuza-lah yang membuat mereka kehilangan harapan.






























Desah Batin Amoy di Singapura
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Singapura dikenal sebagai bersih, disiplin, cenderung steril, dilarang merokok, dilarang berjualan permen karet, dilarang menyeberang sembarangan, dan seribu larangan lainnya. Singapura juga dikenal sebagai surga belanja bagi orang Indonesia. Tapi ketika kemudian disebutkan pula sebagai ajang transaksi bisnis seks, maka banyak orang akan mengerutkan keningnya, tidak percaya. Bagaimana mungkin, lantas kenapa pemerintah Singapura mendiamkannya saja, atau menindaknya.

Konon, prostitusi sudah sejak lama ada di Singapura. Bahkan sejak Stamford Raffles memerintah 1819 hingga saat terakhir ini. Sebelum ia meninggalkan Singapura karena jabatannya berakhir 1823, Raffles menulis, “Pelacur malang itu seharusnya diperlakukan dengan rasa iba, namun demikian segala upaya hendaknya dilakukan guna mencegah agar pelayanannya terhadap para pelanggan menjadi sumber keuntungan bagi orang lain kecuali dirinya …”

Sebagai orang yang realistis, Raffles tahu bahwa pulaunya yang bergelora ini akan menarik perhatian banyak lelaki petualang dari seluruh Asia, sehingga hal itu juga akan menarik perhatian para wanitanya untuk melayani para pria, serta untuk mengangkat mereka dari jurang kemiskinan, dengan cara yang waktu itu mungkin merupakan satu-satunya kesempatan karir yang terbuka bagi mereka sebagai wanita lajang.

Sebagai manusia yang penuh belas kasihan juga, Raffles tahu bahwa para wanita itu akan dieksploitasi oleh para pria, dan wanita lainnya, dan ia tegas-tegas menyatakan ketidaksukaannya kepada germo dan sebangsanya yang paling menikmati keuntungan dari para wanita yang harus mendapatkan uang dengan cara berat, yaitu dengan menjadi penjaja seks komersial.

Pada 1898, Protektorat Tiongkok ini mencatat bahwa Singapura mempunyai 200 rumah pelacuran terdaftar yang mempekerjakan lebih dari 3.000 wanita, sebagaian besar Amoy dari atau orang Kanton, ditambah 150 yang tidak terdaftar berisi 600 Amoy, sebagian besar Amoy dari kalangan orang Teochew. Populasi lelaki lajang Cina pada waktu itu sekitar 250.000, jadi tidak terlalu mengherankan bila 4 dari tiap 5 Amoy yang datang dari Tiongkok melalui Boat Quay cepat-cepat dikirim ke zona pelacuran. Daerah tersebut kemudian dikenal sebagai Blue Triangle atau Segitiga Biru, batasnya sekarang adalah keong Saik Road, Teck Lim Road dan Jiak Chuan Street.

Sampai awal 1930-an, pusat zona lampu merah yang terbuka bagi semua ras adalah Malay Street. Tapi setelah perang, pusat tersebut berpindah ke deretan daerah Selegie, Jalan Besar, Lavender, Bales dan Desker Road, di mana pada 1950-an para wanitanya menentukan tarif aneh yaitu $5.60, mereka ini dijuluki dengan lima enam puluh. Menyusul adanya anti kebudayaan kuning, setelah kemerdekaan pada 1959-an, daerah percabulan Singapura itu sebagian besar pindah ke arah barat tempat di mana sampai sekarang mereka masih beroperasi, misalnya, tentu saja Desker Road.

Begitulah juga yang terjadi di daerah-daerah lain di Singapura masa kini. Hal itu sudah bukan menjadi rahasia lagi, walaupun mungkin mengejutkan bagi orang-orang luar negeri yang terlanjur memandang Singapura sebagai surga belanja yang bersih dan nyaman, namun juga garang, sebuah tempat yang tegas-tegas melarang penjualan permen karet. Ada pula sejumlah besar warga lokal yang mungkin berpikir bahwa hal seperti itu hanya bisa terjadi di Bangkok, Haadyai, Batam, tapi tidak di sana. Sebuah ironis tentunya. Berikutnya, ada juga orang-orang yang mengetahui tempat-tempat seperti Geylang dan Desker Road tapi tidak akan bermimpi untuk pergi ke sana dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.

Sikap resmi pemerintah Singapura tentang prostitusi ini, antara lain disebutkan, “adanya daerah-daerah de-sanitized, tidak terjamah, di mana Singapura membiarkan orang-orang seperti apa adanya …” Designated red-light areas, daerah tertunjuk lampu merah, dan Singapura tidak mengiklankan prostitusi, tapi tiap orang Singapura tahu ada Geylang dan apa yang terjadi di sana. Agaknya, penegasan itu merupakan toleransi setengah hati yang didasarkan pada argumen pragmatis untuk tidak mengarahkan kegiatan bisnis seks secara underground, sembunyi-sembunyi, yang justru akan jauh lebih sulit lagi untuk diknedalikan.

Lebih dari 6.000 wanita menawarkan bisnis seks di Singapura masa kinin. Ini merupakan perkiraan tidak resmi yang mencakup semua jenis bisnis seks yang diketahui, mulai dari pelacur full time, sampai yang sekedar ngobyek, termasuk wanita-wanita Indonesia, para Amoy, yang konon dari Singkawang, Pontianak dan beberapa kota di Pulau Jawa yang berada di Singapura untuk, dalihnya, liburan sambil bekerja. Jumlah sebenarnya mungkin lebih besar.

Dan jika angka 6.000 lebih itu tampaknya besar, mengapa mereka, terutama para Amoy dari Indonesia, melakukannya? Para Amoy ini mencakup semua tingkatan, mulai pelacur jalanan dan ibu rumah tangga yang kerja paroh waktu sampai wanita-wanita simpanan yang tinggal di apartemen meah. Tapi apa yang menghubungkan mereka semua, tentu saja melakukan seks demi uang. Tak jauh berbeda dengan motif pengantin orderean antara Amoy Indonesia dengan pria Taiwan di Formosa tentunya.

Pada sisi yang paling mendasar, para Amoy tersebut membutuhkan uang untuk membayari biaya-biaya rumah tangga yang meningkat bahkan sebelum mereka memikirkan hal yang menyenangkan diri sendiri. Prostitusi barangkali menawarkan jalan yang paling mudah, paling cepat, dan paling bebas pajak untuk dilakukan oleh para Amoy yang tidak melampaui garis batas ketat sistem pendidikan Singapura atau para wanita yang memiliki anak-anak yang harus mereka hidupi sendiri.

Kemudian ada juga para Amoy yang melakukannya untuk kesenangan, untuk mencari sensasi, karena kehidupan mereka sehari-hari begitu membosankan. Atau para Amoy yang seksualitasnya sangat aktif, tapi tidak dapat mengekspresikannya dalam kungkungan masyarakat Singapura yang konvensional. Atau para Amoy dalam kelompok lebih atas dari bisnis seks ini, yang tahu bahwa sejumlah uang yang cukup besar bisa mereka peroleh apalagi melakukannya juga menyenangkan. Dan, para Amoy ini melakukannya dengan banyak cara.

Daerah pelacuran yang mencolok Amoy Indonesia di Geylang berada antara Lorong 10/12, dan sepanjang Talma Road. Kadang-kadang terlalu mencolok, padahal patroli polisi sering lewat di situ, dan rumah-rumah kos kecil yang digunakan para Amoy Indonesia untuk melacur dengan mudah dapat digerebek oleh Police Anti-Vice. Salah satu akibatnya adalah bahwa para Amoy atau gadis muda ini hanya keluar di waktu-waktu tertentu, biasanya sekitar jam 6-8 malam untuk periode sore hari, mencari short time, dan kemudian setelah jam 11 malam untuk semalaman ketika, bahkan, Polisi Anti-Vice pun ingin bersantai! Daerah ini dikenal baik oleh para buruh asing yang tinggal di daerah tersebut dan menganggap para Amoy itu sebagai tontonan terbuka dan gratis di malam hari.

Hal ini menjengkelkan para Amoy tersebut karena jarang adanya tawaran bisnis yang bisa didapat dari para lelaki mesum itu, sementara kerumunan mereka bisa menarik perhatian polisi yang tidak mereka inginkan. Masalah yang lebih besar daripada sekedar Polisi Anti-Vice bagi para Amoy Singkawang dan Pontianak yang transit lewat Batam ini adalah meja-meja imigrasi di World Trace Center, di mana fery Batam dan Bintan berlabuh. Di sana, para petugas akan menebak-nebak alasan berkunjung sebenarnya dan memberi izin berkunjung hanya 3 hari. Hal ini mengurangi kesempatan mereka mendapatkan uang, dan para Amoy pekerja keras dari Indonesia ini, antaranya dari Singkawang dalam jumlah besar, sangatlah bergembira ketika mereka kembali ke Batam, lemas mendesah tapi bertambah kaya $1.000. Konon, penghasilan normal mereka biasanya jauh lebih rendah daripada itu, tetapi akan terkompensasikan oleh kuatnya dolar Singapura terhadap rupiah Indonesia.

Kadang-kadang, petugas imigrasi tidak membiarkan masuk Amoy yang diketahui berprofesi seperti itu sama sekali dan meminta mereka menunjukkan uang tunai yang cukup guna menunjukkan kepada petugas bahwa mereka berkunjung untuk berbelanja, atau segera mengirim mereka kembali dan menegaskan bahwa mereka tidak bisa masuk Singapura lagi untuk paling tidak satu bulan.

Konon, saat terpuruknya perekonomian Indonesia dan kekacauan yang terjadi pra dan pasca kejatuhan rezim Pak Harto, di mana paling kentara dirasakan para Amoy keturunan Cina, mendorong sebuah media massa untuk melaporkan bahwa ribuan Amoy menjadi pelacur guna menghidupi keluarga mereka, dan meneruskan trauma tindak asusila dalam Mei 1998 di Jakarta. Dan, krisis telah menyebabkan meledaknya prostitusi tersebut.

Lebih dari 800 wanita Indonesia diperkirakan bekerja di pulau-pulau Indonesia yang bertetangga langsung dengan Singapura, yaitu Batam dan Bintan. Wanita-wanita ini datang dari segala penjuru kepulauan Indonesia, tak terkecuali para Amoy dari Singkawang, Pontianak dan sekitarnya, yang tergoda untuk datang ke pulau-pulau yang dulunya sepi ini demi kejayaan dolar Singapura. Karena Batam berjarak hanya sekitar 30 menit dan Bintan 1 jam perjalanan fery, banyak lelaki Singapura datang ke sana untuk menikmati jeda kerja, R&R breaks mereka.

Wanita-wanita pekerja Batam, khususnya para Amoy, beroperasi dengan cara yang berbeda-beda, kebanyakan harus di dalam ruangan. Pusat kota Batam di Nagoya memiliki beberapa panti pijat bergaya akuarium, karaoke dan tempat-tempat KTV, disko, klub malam, lounge, bar, bahkan salon penataan rambut yang tidak jelas. Bisnis seks Bintan berbeda, lebih berhati-hati, tidak terlalu menonjol. Tetapi, pulau ini memang memiliki kampung cinta, begitu julukannya, yang tidak umum, atau disebut juga peternakan ayam, istilah sehari-harinya di sana. Tempat ini merupakan kampung kecil, sekitar 17 kilometer keluar pusat kota Bintan yaitu Tanjung inang, dan tidak dapat dicapai oleh kendaraan apapun selain taksi, yang menunggu hingga mobil mereka yang rombengan itu diisi dulu bensinnya oleh si lelaki hidung belang.

Akhirnya, mereka membelok dari jalan utama dan menyusuri jalan kecil yang kotor, melewati pembatas yang dijaga oleh orang-orang, dan di situlah tempatnya. Kampung yang kecil itu berdiri sendiri, yang benar-benar jauh dari mana-mana, ditandai dengan para Amoy yang menunggu untuk menawarkan jasanya di tempat atau, jika mereka mau, bisa dibawa ke hotel.

Bintan disukai oleh para lelaki Singapura yang lebih tua, yang secara alamiah senang mendapatkan Amoy muda yang seks-nya bersemangat dan memberikan perhatian begitu besar kepada mereka. Atau, perhatian kepada isi dompet mereka. Karenanya hal itu disebut sindrom para pria ini biasanya berusia di atas 55 tahun dan dengan demikian sudah bisa menarik simpanan Central Profident Fund sejenis dana pensiun mereka. Dan ketika para Amoy ini sudah bisa memisahkan si lelaki dari uang mereka, mereka kini menyingkirkan kakek-kakek ini sebagaimana mereka membuang bungkus nasi yang kini telah mereka makan.

Kelihatannya alasan mendasar prostitusi yang ditempuh para Amoy, sebagai penolakan dipersunting pria Taiwan misalnya, adalah sama di seluruh dunia. Uang, itulah yang mereka cari. Itu pulalah yang membuat mereka menjadi bukan hanya profesional, melainkan juga mengidentikkan diri mereka ini.
Kemiskinan dan ketidakmampuan para Amoy, seperti utamanya dijumpai dan dipatok sebagai alasan utama yang ada di Singkawang dan beberapa kota lainnya di Indonesia, menafkahi hidupnya dengan jalan lain mungkin merupakan faktor utama yang memotivasi mengapa begitu banyak Amoy terjun dan terjungkal ke dunia prostitusi di Singapura. Jelas, berbeda dengan pengantin orderan ke Taiwan, yang jauh lebih dimaklumi kemudiannya.

Diakui, Singapura mempunyai bisnis seks sendiri dan bisnis ini mempunyai karakteristik setempat yang berbeda. Ini karena modernitas Singapura masih bercampur baur dengan pandangan-pandangan Asia tradisional, di mana lelaki adalah sebagai penyedia uang dan wanita sebagai penerima uang, juga adanya standar-standar ganda sepanjang menyangkut seks.

Pengakuan seorang Amoy asal Singkawang yang sampai belakangan menetap di Batam, dapat diungkapkan, bahwa seorang Amoy yang menjadi penjaja seks komersial berpikir hal semacam itu adalah lebih buruk daripada yang dia dapat, keuntungan satu-satunya menjadi wanita yang telah menikah adalah tidak adanya stigmatisasi sosial. Prostitusi diberi stigma hanya karena mereka tidak mengungkapkan seksualitasnya dalam lembaga pernikahan yang patriarkal.

Dan, inilah yang membedakan Amoy ke Singapura dengan Amoy ke Formosa ...














Bukan Akhir Sebuah Cerita …
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Dengan kemiskinan yang dialami selama pembangunan dilangsungkan di daerah asalnya, maka banyak Amoy atau perempuan yang berasal dari keluarga petani tidak memiliki banyak pilihan dalam menjalani hidupnya. Bila menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri adalah salah satu cara untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik, minimal keluarga yang ditinggalkan, maka untuk Amoy atau perempuan Indonesia asal Kalimantan Barat menikah dengan laki-laki Taiwan adalah cara untuk mencari penyambung hidup dan keluar dari kemiskinan yang dihadapi oleh diri dan keluarganya. Entah sebuah keberuntungan ataukah justru sebuah kemalangan bahwa para Amoy asal Indonesia yang terpinggirkan dalam proses pembangnan dan Neoliberalisme Ekonomi Indonesia ini adalah terlahir sebagai keturunan Cina. Dengan ciri fisik dan budaya yang diusungnya, para Amoy ini laris pula di bursa perkawinan bagi laki-laki Taiwan yang hendak mencari istri ke luar negeri.

Trend mencari istri keluar negeri oleh laki-laki Taiwan secara kebetulan memiliki kesamaan dengan arus kapital dari Taiwan ke leuar negeri. Setelah bangkit sebagai negara industri baru Taiwan mulai menggalakkan investasi ke arah Asia Tenggara sejak pertengahan 1980-an silam. Antara 1980-1990-an, investasi Taiwan terbesar diarahkan ke Malaysia dan Thailand. Kemudian menyusul ke Filipina. Pada tahun-tahun itu perkawinan laki-laki Taiwan dengan perempuan luar negeri paling banyak terjadi dengan perempuan di dua negara tersebut. Seiring dengan instabilitas di Filipinan dan ditandatanganinya Investment Guarantee Agreement antara pemerintah Indonesia perkawinan antara laki-laki Taiwan dan Amoy Indonesia mulai dilakukan secara massal dan terus bertambah setiap tahunnya. Sementara setelah hubungan ekonomi Taiwan dan Vietnam membaik ditunjukkan oleh semakin besarnya investasi Taiwan di negara Indocina tersebut, jumlah pengantin perempuan dari Vietnam juga berkembang dengan pesat atau bertambah 2,7 kali dari perkawinan transnasional Taiwan-Vietnam yang berlangsung kemudian.

Merelakan anak perempuan untuk menjadi istri bagi orang asiong, tidak dikenal sebelumnya, adalah sesuatu yang mungkin sulit untuk dipahami dalam kondisi normal. Tetapi ketika kehidupan begitu berat akibat kemiskinan yang semakin menjadi, maka orang tua pun akan merelakan anak perempuan pergi menyeberangi batas-batas wilayah negara untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Apalagi bila orangtua tersebut merasa yakin bahwa kepergian satu saa dari anak perempuannya akan dapat menyokong perekonomian seluruh keluarga yang ditinggalkan, bukan hanya sekadar emas kawin yang diterima tetapi karena di negara tujuan yang lebih maju, anak perempaunnya atau Amoy juga masih dapat bekerja dan mengirimkan penghasilannya ke rumah.

Pengorbanan yang telah dilakukan oleh para Amoy atau perempuan Indonesia yang menikah ke Taiwan, ini adalah kenyataan pahit sekaligus penghargaan yang harus disampaikan kepada mereka yang menjadi korban dari sistem kapitalis dunia yang sedemikian buasnya sehingga mereka harus dan bersedia merelakan perasaan, tubuh dan seluruh masa depan mereka demi kelangsungan kehidupan seluruh keluarganya.

Pertama bahwa kerelaan perempuan Indonesia untuk menikah ke Taiwan adalah disebabkan oleh pemiskinan yang dialami oleh perempuan dan rakyat Indonesia pada umumnya sejak Indonesia berkomitmen untuk memenuhi tuntutan perekonomian global dengan melaksanakan pembangunan. Kedua bahwa dengan adanya kerelaan ini, tidak serta merta menganulir unsur perdagangan trafficking dalam perkawinan Indonesia-Taiwan.