Sabtu, 12 September 2009
DIGOEL KUBURAN POLITIK DI RIMBA PAPUA
DIGOEL KUBURAN POLITIK DI RIMBA PAPUA
Jika ada suatu tempat yang telah di-ter-lupakan dalam memori kolektif bangsa ini, dan perlu diingat-ingat lagi, mungkin Digoel adalah tempat itu. Digoel bertaut erat dengan sejarah pergerakan rakyat, dengan putra-putra Indonesia, dengan mereka yang gagah berani mempertaruhkan jiwa dan raga. Pada tahun 1926, pemerintah Belanda merealisasikan gagasan lama mereka tentang sebuah kamp tahanan politik buat mereka yang dianggap mengancam keamanan dan ketertiban, rust en orde, di wilayah Hindia Belanda.
Terpilih Boven Digoel, kawasan rimba terpencil di Pulau papua sekarang ini. Konon, inilah kamp konsentrasi pertama yang lahir di dunia. Berbeda dengan kamp tahahan terkenal seperti kamp tahanan milik tentara Nazi, di kamp ini tidak ada penyiksaan fisik. Tetapi keadaan Digoel yang seratus persen terisolasi, belantara rawa penuh nyamuk malaria, dan berada sekitar 450 kilometer ke hulu sungai yang penuh buaya adalah siksaan tersendiri.
Dengan daerah hunian yang tak layak huni ini, rasa sepi yang mencekam dan rindu kampung halaman yang kuat, maka ada di antara para tahanan ini yang kemudian menjadi gila, mati, mencoba melarikan diri namun kemudian lenyak tak tahu rimbanya, atau tunduk dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Kendati demikian, ada yang tetap teguh, terus mencoba menyusun perlawanan. Jika golongan yang pertama itu cukup di Tanah Merah, maka untuk mereka yang tetap bengal ini, pemerintah membuatkan kamp yang lebih ganas lagi di kawasan itu, Tanah Tinggi.
Sejak akhir tahun 1926, menyusul pemberontakan PKI di banten dan tahun 1927 di Sumatera barat, hingga awal 1940-an ketika kamp ini ditutup, ribuan aktivis pergerakan dikirim ke Digoel. Di antara mereka adalah para aktivis, tokoh pergerakan dan beberapa lainnya.
Sebagian bagian dari pendidikan politik, katakanlah politik pengamanan politik, surat-surat para tahanan Digoel, berita-berita dan laporan-laporan tentang Digoel dengan sengaja disebar luaskan di kalangan masyarakat melalui media. Ikhwal Digoel yang disebarluaskan itu dimaksudkan untuk memberikan pe-la-ngajaran kepada kalangan bumiputra yang mencoba berpikir dan bermimpi tentang merdeka. Dengan infrastrukturnya residen, intelijen dan dewan rakyat, Digoel dengan demikian menjadi sarana pengamanan politik yang efektif dalam rangka menjaga rust en orde. Ia menjadi hantu ganas, yang mengancam dan membayang-bayangi gerak aktivis pergerakan. Di Belanda sendiri, Digoel terkenal sebagai kuburan.
Menciptakan tatanan rezim di Digoel sangatlah mudah, dengan cara isolasi, dan tidak perlu ada catatan sejarah. Sejumlah kecil tawanannya masing-masing diidentifikasi secara lengkap, nama dan nama samarannya, nomor pengenal, tempat dan tanggal kelahiran, status pernikahan, pendidikan, latar belakang pekerjaan, karir politik, tanda tangan, fotografi, dan informasi lain yang berada dalam satu berkas.
Semua berkas berada dalam satu ruangan. Sebaliknya, menciptakan tatanan rezim baru di Hindia jauh lebih rumit. Karena rezim ini berada dalam kerajaan kepulauan yang luas, mempunyai jutaan penduduk, pada tahun 1930, dengan sejarah, kebudayaan, dan bahasa yang berbeda-beda. Perangkat kenegaraannya berkembang membentang di berbagai daerah selama berabad-abad. Namun demikian, suatu tatanan rezim baru, yang benar-benar seragam dibentuk pada tahun 1930-an dengan penjara dan kamp-kamp tawanan, kekuatan polisi modern yang relatif lebih kecil 34.000 kekuatan tahun 1930 dan sejumlah kecil angkatan bersenjata kolonial 37.000 kekuatan tahun 1930.
Perkembangan penting di era ini ialah dibentuknya aparat kebijakan politik modern, yang dibentuk melalui kepolisian. Lembaga ini dikendalikan oleh karir profesional Belanda dan pegawai polisi pribumi, serta otonomi departemen administrasi dalam negeri. Kehadiran aparatnya ditandai dengan ditetapkannya, Algemeene Recherche Dienst ARD, Dinas Penyelidikan Umum, di kantor jaksa agung (hoofdparket) tahun 1919.
Dengan adanya aparat penyelidikan daerah di masing-masing keresidenan, ia menjangkau ke hampir seluruh wilayah kerajaan dan merambah ke pelosok kehidupan pribumi pada tahun 1920-an. Orang-orang Indonesia menyebut intelijen politik ini sebagai PID, Politieke Inlichtingedienst, Dinas Intelijen Politik, meskipun tidak dikenal secara resmi. Karena kedudukan dan wujud lokalnya, kota, regional, dan satuan penyelidikan setempat, sering disebut sebagai intelijen politik atau investigasi politik (politieke inlichtingen, politieke recherche).
PID adalah mesin yang mempunyai sejarah tersendiri. Ia tumbuh bersamaan dengan partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai musuhnya. Tradisi, mentalitas, pemikiran, dan caranya melihat orang pribumi, serta modus operasinya dibentuk melalui sejarah seperti ini. Tradisi ini dibawa untuk menormalkan situasi setelah PID menghancurkan komunis. Inilah sebagian jawaban dari negara Hindia Belanda atas kebangkitan politik populer Indonesia modern di Hindia. Kenyataan ini menandai datangnya abad politik di lingkungan modern Hindia, yang hingga akhir abad ke 20, bekas-bekasnya masih dapat dirasakan.
Kamp interniran Tanah Merah di Sungai Digoel Atas menerima rombongan tahanan pertama pada akhir Maret 1927. Ketika sementara dari mereka ternyata keras kepala dan dipandang oleh Belanda yang berkuasa di sana sebagai pengacau, mereka itu dipisahkan dari kawan-kawannya dan dipindah ke hilir dan dimukimkan di tempat bangunan Gudang Arang. Tapi ternyata dari sana mereka bisa naik ke Tanah Merah dan kembali lagi dalam semalam, sehingga mereka tetap bisa menjalin kontak dengan kawan-kawan.
Tapi ternyata dari sana mereka bisa naik ke Tanah Merah dan kembali lagi dalam semalam, sehingga mereka tetap bisa menjalin kontak dengan kawan-kawan. Ketika Belanda mengetahui hal ini, tapi juga karena kondisi di Gudang Arang yang tidak sehat, mereka mencari tempat lain yang dari sanak kontak tidak akan bisa dilakukan. Pilihan jatuh pada Tanah Tinggi, suatu tempat yang agak jauh di arah hulu dari Tanah Merah.
Dalam tahun 1933 hampir 80 orang tahanan politik ada di Tanah Tinggi, dan dengan istri serta anak-anak ada lebih dari 100 orang bermukim di sana. Itulah jumlah paling besar yang pada suatu waktu pernah tinggal di tempat miskin dan terisolasi ini. Tapi sepanjang tahun-tahun berikut jumlah tersebut banyak turun naik, antara lain karena kematian sebagai akibat sakit malaria atau tuberkulosis, atau karena serangan penduduk Papua dari pedalaman yang masih liar. Penyebab lainnya bisa juga karena, jika orang tidak tahan lagi terhadap keadaan, mereka akan berusaha jika orang tidak tahan lagi terhadap keadaan, mereka akan berusaha bekerja untuk belanda agar bisa dikirim kembali ke Tanah Merah.
Himpitan kehidupan di Tanah Tinggi yang begitu rupa, sehingga menimbulkan kecenderungan pertentangan pribadi dan perubahan-perubahan watak dengan jelas kelihatan pada para tahanan politik. Selalu terjadi ketegangan mental yang hebat di kalangan para penghuni tempat yang terisolasi dan suram ini. Angka pasti penghuni Tanah Tinggi dalam suatu waktu sukar ditemukan.
Dalam bulan April 1937 terdapat 81 orang di Tanah Tinggi, yaitu 65 orang tahanan politik, dan 16 orang istri dan anak-anak. Pada 1 Oktober 1937 hanya tersisa 40 tahanan politik termasuk istri dan anak salah seorang dari mereka. Tapi dalam bulan Nopember 1937, berkat intrik kasak-kusuk Budisucitro empat orang tahanan politik dikirim ke Tanah Tinggi, mereka ialah Kadirun, Haji Muklas, Raswin dan Nurati. Dengan demikian populasi Tanah Tinggi bertambah menjadi 62 orang, di antara mereka 44 orang tahanan politik. Itu merupakan terakhir kali pengiriman tahanan politik dari Tanah Merah ke Tanah Tinggi, sehingga jumlah mereka tidak bertambah lagi.
Di antara tahanan politik di Tanah Tinggi tahun 1933, ada beberapa tokoh seperti Sarjono, Budisucitro ketika itu ia belum menghianati cita-citanya sendiri, Kiai Ahmad Khatib dan Ali Arkham, tokoh paling terhormat di antara semua tahanan politik saat itu. Selain dari orang-orang yang disebut di atas, catatan tentang nama-nama yang lengkap hanya dari tahun 1937. Bisa ditambahkan, bahwa urutan nama-nama yang disebut ialah nama-nama dalam daftar yang ditemukan di dalam catatan, yang diperoleh sebagai urutan orang-orang yang dikirim naik ke atau turun dari Tanah Tinggi. Tempat asal yang diberikan, jika bukan tempat asal kampung halaman mereka, ialah tempat mereka ditangkap atau ditahan.
Tentang Digoel, Mas Marco Martodikromo (27 Nopember 1931) menuliskan:
“…Digoel adalah suatu tempat pembuangan bagi orang politik di Indonesia. Letaknya di sebalah udik Sungai Digoel, daerah Nieuw Guinea, jajahan Belanda. Sebelum Boven Digoel didatangi buangan politik dari Indonesia, yang diasingkan ke situ oleh pemerintah Belanda, ia masih berwujud hutan rimba belantara. Banyak kayu yang besar-besar, sungai dan rawa-rawa. Besar Sungai Digoel cukupan saja, hingga kapak dapat masuk di situ. Lebarnya kurang lebih 250 meter. Penduduk Digoel asli disebut orang Kaya-kaya. Orangnya masih biadab dan telanjang bulat. Yang lelaki hanya memakai tutup cangkok keluwak (nama buah) di ujung kemaluannya. Si perempuan memakai mendong (bahan tikar) dirangkaikan dan diikatkan keliling pinggangnya untuk menutupi kemaluannya. Penghidupannya ialah makan sagu dan buah-buahan serta daging binatang di hutan. Binatang buas seperti singa, gajah, badak, banteng (kerbau hutan) di Digoel tidak ada. Yang ada hanya babi hutan, ular, tikus, kelabang dan bermacam-macam burung.
Burung-burung sebagian besar pandai bicara (mengoceh) bilamana diajar. Ular yang paling berbahaya di seluruh Digoel lantaran bisanya ialah ular berkaki 4, bentuknya seperti menyawak, dan tidak berlidah.
Musim di Digoel tidak dapat ditentukan datangnya, kadang-kadang musim penghujan (Westmoesson) di sana timbul panas yang luar biasa, sebaliknya waktu musim kemarau (Oostmoesson) sebentar-sebentar hujan. Ada kalanya di musim kemarau turun hujan diserta angin tofan. Matahari yang sedang memancarkan cahayanya disertai juga dengan hujan. Bulan terang yang sedang menunjukkan cahayanya di waktu malam, dan sedang enak-enaknya dipandang, tiba-tiba disertai hujan juga.
Tentang penyakit malaria tidak dapat disangkal lagi hebatnya. Kedatangan orang buangan politik yang pertama di Digoel ialah pada tanggal 3 Maret 1927. Mulai hari itu jumlah buangan terus bertambah, sampai bulan Februari 1931 baru berhenti.
Menurut pengetahuan dan pengalaman penulis sendiri (Mas Marco Martodikromo, Pen), sebelum penulis tiba di Digoel, yaitu sedang dalam perjalanan di antara Ambon dan Digoel, di dalam kapal penulis bersua dengan istri-istri geinterneerden yang baru kembali dari Jawa dan makassar menengok famili di kampung. Di situ penulis mendapat keterangan tentang Digoel dari mereka. Walau keterangan itu tidak sempurna, tetapi penulis dapat meraba, apa yang harus kami perbuat sesudah kami tiba di Digoel nanti.
Kami tiba di Digoel sesudah turun dari kapal dengan tangan masih dirantai dan digeledah sebagaimana biasa, lalu dinaikkan sampan kecil. Di tengah Sungai Digoel, dari jauh telah nampak beberapa orang berkerumun yang sengaja hendak menjemput kedatangan kami. Tangan mereka dilambai-lambaikan. Tapi apa lacur.
Kami tidak diturunkan di tempat orang berkerumun tadi, tetapi di suatu tempat yang berjauhan dari tempat itu, yaitu di belakang hospitaal. Dan sesudah naik daratan terus dimasukkan dalam sebuah kamar kecil, sehingga orang-orang yang ingin menjemput tadi sama kecewa, karena tidak dapat bersua dengan kawan dan famili yang ditunggunya. Tempat kami tersebut dijaga keras oleh ROB Rust en Orde Bewaarder, penjaga ketertiban dan keamanan, pen). Semua orang yang hendak bertemu dilarangnya ...”
Tanah Tinggi terletak di sebelah utara Tanah Merah, dengan jarak sekitar 45 kilometer, bila diukur dengan mengikuti panjang Sungai Digoel berikut segala belokannya. Inilah jarak temuh perahu motor yang membawa pasokan ke atas dari Tanah Merah setiap bulan. Pada tahun-tahun awal riwayat kamp interniran Boven Digoel, pernah ada orang yang berani mencoba mencapai Tanah Merah dari Tanah Tinggi dengan berjalan kaki. Ia mengatakan, apabila potong kompas, jarak itu hanya sekitar tujuh kilometer saja, tapi akan merupakan perjalanan yang sangat sukar dan juga sangat berbahaya.
Lagi pula perjalanan demikian hanya akan berujung pada pemenjaraan jika si pejalan kaki itu dipergoki Belanda. Karena Belanda telah memilih tempat itu justru dengan pikiran, bahwa komunikasi antara dua tempat interniran tidak mungkin bisa terjadi.
Jika ada suatu tempat yang telah di-ter-lupakan dalam memori kolektif bangsa ini, dan perlu diingat-ingat lagi, mungkin Digoel adalah tempat itu. Digoel bertaut erat dengan sejarah pergerakan rakyat, dengan putra-putra Indonesia, dengan mereka yang gagah berani mempertaruhkan jiwa dan raga. Pada tahun 1926, pemerintah Belanda merealisasikan gagasan lama mereka tentang sebuah kamp tahanan politik buat mereka yang dianggap mengancam keamanan dan ketertiban, rust en orde, di wilayah Hindia Belanda.
Terpilih Boven Digoel, kawasan rimba terpencil di Pulau papua sekarang ini. Konon, inilah kamp konsentrasi pertama yang lahir di dunia. Berbeda dengan kamp tahahan terkenal seperti kamp tahanan milik tentara Nazi, di kamp ini tidak ada penyiksaan fisik. Tetapi keadaan Digoel yang seratus persen terisolasi, belantara rawa penuh nyamuk malaria, dan berada sekitar 450 kilometer ke hulu sungai yang penuh buaya adalah siksaan tersendiri.
Dengan daerah hunian yang tak layak huni ini, rasa sepi yang mencekam dan rindu kampung halaman yang kuat, maka ada di antara para tahanan ini yang kemudian menjadi gila, mati, mencoba melarikan diri namun kemudian lenyak tak tahu rimbanya, atau tunduk dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Kendati demikian, ada yang tetap teguh, terus mencoba menyusun perlawanan. Jika golongan yang pertama itu cukup di Tanah Merah, maka untuk mereka yang tetap bengal ini, pemerintah membuatkan kamp yang lebih ganas lagi di kawasan itu, Tanah Tinggi.
Sejak akhir tahun 1926, menyusul pemberontakan PKI di banten dan tahun 1927 di Sumatera barat, hingga awal 1940-an ketika kamp ini ditutup, ribuan aktivis pergerakan dikirim ke Digoel. Di antara mereka adalah para aktivis, tokoh pergerakan dan beberapa lainnya.
Sebagian bagian dari pendidikan politik, katakanlah politik pengamanan politik, surat-surat para tahanan Digoel, berita-berita dan laporan-laporan tentang Digoel dengan sengaja disebar luaskan di kalangan masyarakat melalui media. Ikhwal Digoel yang disebarluaskan itu dimaksudkan untuk memberikan pe-la-ngajaran kepada kalangan bumiputra yang mencoba berpikir dan bermimpi tentang merdeka. Dengan infrastrukturnya residen, intelijen dan dewan rakyat, Digoel dengan demikian menjadi sarana pengamanan politik yang efektif dalam rangka menjaga rust en orde. Ia menjadi hantu ganas, yang mengancam dan membayang-bayangi gerak aktivis pergerakan. Di Belanda sendiri, Digoel terkenal sebagai kuburan.
Menciptakan tatanan rezim di Digoel sangatlah mudah, dengan cara isolasi, dan tidak perlu ada catatan sejarah. Sejumlah kecil tawanannya masing-masing diidentifikasi secara lengkap, nama dan nama samarannya, nomor pengenal, tempat dan tanggal kelahiran, status pernikahan, pendidikan, latar belakang pekerjaan, karir politik, tanda tangan, fotografi, dan informasi lain yang berada dalam satu berkas.
Semua berkas berada dalam satu ruangan. Sebaliknya, menciptakan tatanan rezim baru di Hindia jauh lebih rumit. Karena rezim ini berada dalam kerajaan kepulauan yang luas, mempunyai jutaan penduduk, pada tahun 1930, dengan sejarah, kebudayaan, dan bahasa yang berbeda-beda. Perangkat kenegaraannya berkembang membentang di berbagai daerah selama berabad-abad. Namun demikian, suatu tatanan rezim baru, yang benar-benar seragam dibentuk pada tahun 1930-an dengan penjara dan kamp-kamp tawanan, kekuatan polisi modern yang relatif lebih kecil 34.000 kekuatan tahun 1930 dan sejumlah kecil angkatan bersenjata kolonial 37.000 kekuatan tahun 1930.
Perkembangan penting di era ini ialah dibentuknya aparat kebijakan politik modern, yang dibentuk melalui kepolisian. Lembaga ini dikendalikan oleh karir profesional Belanda dan pegawai polisi pribumi, serta otonomi departemen administrasi dalam negeri. Kehadiran aparatnya ditandai dengan ditetapkannya, Algemeene Recherche Dienst ARD, Dinas Penyelidikan Umum, di kantor jaksa agung (hoofdparket) tahun 1919.
Dengan adanya aparat penyelidikan daerah di masing-masing keresidenan, ia menjangkau ke hampir seluruh wilayah kerajaan dan merambah ke pelosok kehidupan pribumi pada tahun 1920-an. Orang-orang Indonesia menyebut intelijen politik ini sebagai PID, Politieke Inlichtingedienst, Dinas Intelijen Politik, meskipun tidak dikenal secara resmi. Karena kedudukan dan wujud lokalnya, kota, regional, dan satuan penyelidikan setempat, sering disebut sebagai intelijen politik atau investigasi politik (politieke inlichtingen, politieke recherche).
PID adalah mesin yang mempunyai sejarah tersendiri. Ia tumbuh bersamaan dengan partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai musuhnya. Tradisi, mentalitas, pemikiran, dan caranya melihat orang pribumi, serta modus operasinya dibentuk melalui sejarah seperti ini. Tradisi ini dibawa untuk menormalkan situasi setelah PID menghancurkan komunis. Inilah sebagian jawaban dari negara Hindia Belanda atas kebangkitan politik populer Indonesia modern di Hindia. Kenyataan ini menandai datangnya abad politik di lingkungan modern Hindia, yang hingga akhir abad ke 20, bekas-bekasnya masih dapat dirasakan.
Kamp interniran Tanah Merah di Sungai Digoel Atas menerima rombongan tahanan pertama pada akhir Maret 1927. Ketika sementara dari mereka ternyata keras kepala dan dipandang oleh Belanda yang berkuasa di sana sebagai pengacau, mereka itu dipisahkan dari kawan-kawannya dan dipindah ke hilir dan dimukimkan di tempat bangunan Gudang Arang. Tapi ternyata dari sana mereka bisa naik ke Tanah Merah dan kembali lagi dalam semalam, sehingga mereka tetap bisa menjalin kontak dengan kawan-kawan.
Tapi ternyata dari sana mereka bisa naik ke Tanah Merah dan kembali lagi dalam semalam, sehingga mereka tetap bisa menjalin kontak dengan kawan-kawan. Ketika Belanda mengetahui hal ini, tapi juga karena kondisi di Gudang Arang yang tidak sehat, mereka mencari tempat lain yang dari sanak kontak tidak akan bisa dilakukan. Pilihan jatuh pada Tanah Tinggi, suatu tempat yang agak jauh di arah hulu dari Tanah Merah.
Dalam tahun 1933 hampir 80 orang tahanan politik ada di Tanah Tinggi, dan dengan istri serta anak-anak ada lebih dari 100 orang bermukim di sana. Itulah jumlah paling besar yang pada suatu waktu pernah tinggal di tempat miskin dan terisolasi ini. Tapi sepanjang tahun-tahun berikut jumlah tersebut banyak turun naik, antara lain karena kematian sebagai akibat sakit malaria atau tuberkulosis, atau karena serangan penduduk Papua dari pedalaman yang masih liar. Penyebab lainnya bisa juga karena, jika orang tidak tahan lagi terhadap keadaan, mereka akan berusaha jika orang tidak tahan lagi terhadap keadaan, mereka akan berusaha bekerja untuk belanda agar bisa dikirim kembali ke Tanah Merah.
Himpitan kehidupan di Tanah Tinggi yang begitu rupa, sehingga menimbulkan kecenderungan pertentangan pribadi dan perubahan-perubahan watak dengan jelas kelihatan pada para tahanan politik. Selalu terjadi ketegangan mental yang hebat di kalangan para penghuni tempat yang terisolasi dan suram ini. Angka pasti penghuni Tanah Tinggi dalam suatu waktu sukar ditemukan.
Dalam bulan April 1937 terdapat 81 orang di Tanah Tinggi, yaitu 65 orang tahanan politik, dan 16 orang istri dan anak-anak. Pada 1 Oktober 1937 hanya tersisa 40 tahanan politik termasuk istri dan anak salah seorang dari mereka. Tapi dalam bulan Nopember 1937, berkat intrik kasak-kusuk Budisucitro empat orang tahanan politik dikirim ke Tanah Tinggi, mereka ialah Kadirun, Haji Muklas, Raswin dan Nurati. Dengan demikian populasi Tanah Tinggi bertambah menjadi 62 orang, di antara mereka 44 orang tahanan politik. Itu merupakan terakhir kali pengiriman tahanan politik dari Tanah Merah ke Tanah Tinggi, sehingga jumlah mereka tidak bertambah lagi.
Di antara tahanan politik di Tanah Tinggi tahun 1933, ada beberapa tokoh seperti Sarjono, Budisucitro ketika itu ia belum menghianati cita-citanya sendiri, Kiai Ahmad Khatib dan Ali Arkham, tokoh paling terhormat di antara semua tahanan politik saat itu. Selain dari orang-orang yang disebut di atas, catatan tentang nama-nama yang lengkap hanya dari tahun 1937. Bisa ditambahkan, bahwa urutan nama-nama yang disebut ialah nama-nama dalam daftar yang ditemukan di dalam catatan, yang diperoleh sebagai urutan orang-orang yang dikirim naik ke atau turun dari Tanah Tinggi. Tempat asal yang diberikan, jika bukan tempat asal kampung halaman mereka, ialah tempat mereka ditangkap atau ditahan.
Tentang Digoel, Mas Marco Martodikromo (27 Nopember 1931) menuliskan:
“…Digoel adalah suatu tempat pembuangan bagi orang politik di Indonesia. Letaknya di sebalah udik Sungai Digoel, daerah Nieuw Guinea, jajahan Belanda. Sebelum Boven Digoel didatangi buangan politik dari Indonesia, yang diasingkan ke situ oleh pemerintah Belanda, ia masih berwujud hutan rimba belantara. Banyak kayu yang besar-besar, sungai dan rawa-rawa. Besar Sungai Digoel cukupan saja, hingga kapak dapat masuk di situ. Lebarnya kurang lebih 250 meter. Penduduk Digoel asli disebut orang Kaya-kaya. Orangnya masih biadab dan telanjang bulat. Yang lelaki hanya memakai tutup cangkok keluwak (nama buah) di ujung kemaluannya. Si perempuan memakai mendong (bahan tikar) dirangkaikan dan diikatkan keliling pinggangnya untuk menutupi kemaluannya. Penghidupannya ialah makan sagu dan buah-buahan serta daging binatang di hutan. Binatang buas seperti singa, gajah, badak, banteng (kerbau hutan) di Digoel tidak ada. Yang ada hanya babi hutan, ular, tikus, kelabang dan bermacam-macam burung.
Burung-burung sebagian besar pandai bicara (mengoceh) bilamana diajar. Ular yang paling berbahaya di seluruh Digoel lantaran bisanya ialah ular berkaki 4, bentuknya seperti menyawak, dan tidak berlidah.
Musim di Digoel tidak dapat ditentukan datangnya, kadang-kadang musim penghujan (Westmoesson) di sana timbul panas yang luar biasa, sebaliknya waktu musim kemarau (Oostmoesson) sebentar-sebentar hujan. Ada kalanya di musim kemarau turun hujan diserta angin tofan. Matahari yang sedang memancarkan cahayanya disertai juga dengan hujan. Bulan terang yang sedang menunjukkan cahayanya di waktu malam, dan sedang enak-enaknya dipandang, tiba-tiba disertai hujan juga.
Tentang penyakit malaria tidak dapat disangkal lagi hebatnya. Kedatangan orang buangan politik yang pertama di Digoel ialah pada tanggal 3 Maret 1927. Mulai hari itu jumlah buangan terus bertambah, sampai bulan Februari 1931 baru berhenti.
Menurut pengetahuan dan pengalaman penulis sendiri (Mas Marco Martodikromo, Pen), sebelum penulis tiba di Digoel, yaitu sedang dalam perjalanan di antara Ambon dan Digoel, di dalam kapal penulis bersua dengan istri-istri geinterneerden yang baru kembali dari Jawa dan makassar menengok famili di kampung. Di situ penulis mendapat keterangan tentang Digoel dari mereka. Walau keterangan itu tidak sempurna, tetapi penulis dapat meraba, apa yang harus kami perbuat sesudah kami tiba di Digoel nanti.
Kami tiba di Digoel sesudah turun dari kapal dengan tangan masih dirantai dan digeledah sebagaimana biasa, lalu dinaikkan sampan kecil. Di tengah Sungai Digoel, dari jauh telah nampak beberapa orang berkerumun yang sengaja hendak menjemput kedatangan kami. Tangan mereka dilambai-lambaikan. Tapi apa lacur.
Kami tidak diturunkan di tempat orang berkerumun tadi, tetapi di suatu tempat yang berjauhan dari tempat itu, yaitu di belakang hospitaal. Dan sesudah naik daratan terus dimasukkan dalam sebuah kamar kecil, sehingga orang-orang yang ingin menjemput tadi sama kecewa, karena tidak dapat bersua dengan kawan dan famili yang ditunggunya. Tempat kami tersebut dijaga keras oleh ROB Rust en Orde Bewaarder, penjaga ketertiban dan keamanan, pen). Semua orang yang hendak bertemu dilarangnya ...”
Tanah Tinggi terletak di sebelah utara Tanah Merah, dengan jarak sekitar 45 kilometer, bila diukur dengan mengikuti panjang Sungai Digoel berikut segala belokannya. Inilah jarak temuh perahu motor yang membawa pasokan ke atas dari Tanah Merah setiap bulan. Pada tahun-tahun awal riwayat kamp interniran Boven Digoel, pernah ada orang yang berani mencoba mencapai Tanah Merah dari Tanah Tinggi dengan berjalan kaki. Ia mengatakan, apabila potong kompas, jarak itu hanya sekitar tujuh kilometer saja, tapi akan merupakan perjalanan yang sangat sukar dan juga sangat berbahaya.
Lagi pula perjalanan demikian hanya akan berujung pada pemenjaraan jika si pejalan kaki itu dipergoki Belanda. Karena Belanda telah memilih tempat itu justru dengan pikiran, bahwa komunikasi antara dua tempat interniran tidak mungkin bisa terjadi.