Sabtu, 12 September 2009

KONFRONTASI--GANYANG MALAYSIA

KONFRONTASI--GANYANG MALAYSIA
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

PERIODE DEMOKRASI TERPIMPIN
Selama periode Demokrasi Terpimpin, Sukarno, PKI dan militan adalah aktor politik utama. Politik luar negeri Indonesia lebih militan antikolonial dan anti-barat. Di akhir periode ini, Indonesia secara tidak resmi bersekutu dengan negara-negara komunis dan sosialis. Dalam pidatonya di hari Nasional 1959, yang kemudian dikenal sebagai Manipol atau manifesto Politik, Sukarno mengidentifikasikan kekuatan kolonialis dan imperialis sebagai musuh utama Indonesia.

Dan ia menyatakan bahwa perjuangan Indonesia menentang kolonialis dan imperalis barat harus dilanjutkan. Namun Sukarno gagal untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi dan politik dalam negeri. Untuk mempersatukan bangsa, ia melancarkan politik luar negeri yang militan dengan tujuan membebaskan Irian Barat. Militer mendukung kebijakan ini. PKI dapat mengambil manfaat dari situasi revolusioner ini.

Setelah masalah irian Barat terselesaikan, politik luar negeri Indonesia tetap militan. Sukarno membagi dunia menjadi Nefos, New Emerging Forces, dan Oldefos Old Established Forces, di mana barat adalah bagian dari Oldefos. Ia mengelompokkan negara-negara komunis dengan beberapa negara baru Asia dan Afrika dalam kategori Nefos. Ia secara implisit meletakkan Indonesia sebagai tokoh, jika bukan pemimpin, dari kekuatan-kekuatan yang baru muncul. Ia tetap curiga terhadap barat. Sebagai tambahan, situasi ekonomi Indonesia tidak lebih baik, dan ada suatu keinginan dari sebagian pemimpin neara untuk mencari isu-isu yang akan mengalaihkan perhatian masyarakat.

Sukarno melakukan kampanye untuk mencegah pembentukan federasi malaysia pada 1963. ini dikenal sebagai konfrontasi. Sukarno merasa bahwa, sebagai pemimpin negara besar seharusnya dimintai pendapat mengenai pembentukkan ini. Ia tetap menaruh curiga atas kehadiran kekuatan militer asing di Asia Tenggara. Ia ingat bahwa Malaysia-Singaura pernah digunakan oleh Amerika Serikat untuk mendukung para pemberontak 1950-an.

Militer dan PKI mendukung kampanye konfrontasi Sukarno dengan alasan yang berbeda, militer khawatir akan pengepungan (encirclement) atas Indonesia oleh Malaysia yang didominasi etnis Cina, sementara PKI berupaya menggunakan hal ini sebagai alasan untuk mendirikan Angkatan V yang terdiri dari kaum tani dan buruh, yang akan di bawah kontrol PKI. Sukarno mendukung ide PKI tersebut dan mengirimkan pimpinan Angkatan Udara Omar Dhani untuk berunding dengan RRT untuk pengadaan senjata-senjata ringan. Namun demikian, militer secara keras menentang pembentukan Angkatan V.

Amerika Serikat menaruh perhatian terhadap politik luar negeri Indonesia dan menginginkan Sukarno untuk meninggalkan politik luar negerinya yang agresif sebagai imbalan kembalinya bantuan Amerika Serikat. Namun Sukarno menolak tekanan Amerika, dan ini menciptakan ketegangan berkepanjangan pada hubungan Jakarta-Washintong. Indonesia menjadi lebih berorientasi pada Blok Timur dan bahkan keluar dari keanggotaan PBB pada 1965 sebagai protes menentang masuknya Malaysia di Dewan Keamanan sebagai anggota tidak tetap.

Dengan membaiknya hubungan Blok Timur dengan indonesia, gaya Indonesia di dunia internasional menjadi lebih radikal. Di saat Indonesia keluar dari PBB, Sukarno mengajukan dibentuknya Conefo untuk menandingi PBB. Ide Conefo secara kuat didukung oleh Beijing, dan markas besarnya didirikan di jakarta dengan bantuan RRT. Negara-negara komunis yang lain seperti Korea Utara dan Vietnam Utara tertarik untuk bergabung dengan kelompok baru ini. Dengan demikian poros Peking-Pyongyang-Hanoi-Jakarta terbentuk dengan aksi dan orientasi anti-barat.

Hubungan Jakarta-Beijing selama periode Demokrasi Terpimpin tidak selalu lancar. Pada awalnya, Jakarta memperkenalkan kebijakan yang melarang orang asing, yakni etnis Cina, untuk terlibat dalam perdagangan eceran di wilayah pedesaan. Ini menghilangkan kehidupan ribuan Cina Perantauan (overseas Chinese). Banyak dari para Cina perantauan yang warga negara RRC, bermigrasi ke kota-kota, dan sebagian bahkan meninggalkan Indonesia kembali ke Cina. Beijing berupaya untuk mengintervensi, namun hal ini menyebabkan hubungan Jakarta-Beijing memburuk.

Ternyata, ada kelompok anti-Cina yang berusaha memanfaatkan isu ini untuk melemahkan hubungan Jakarta-Beijing. Kelompok ini, dipimpin oleh militer, dapat lebih mendekatkan Indonesia ke Soviet. Ketika RRC menyadari bahwa masalah Cina perantauan hanya menguntungkan kelompok militer dan mendorong Indonesia lebih dekat ke Soviet, dengan segera Cina meninggalkan kebijakan melindungi Cina perantauan. RRC memutuskan untuk membiarkan tindakan-tindakan diskriminasi dan berupaya mendapatkan kembali hubungan baik pemerintah Indonesia. Kemudian, ketika Soekarno mampu memapankan posisinya, ia membandung kampanye anti-Cina.

Politik luar negeri Indonesia yang militan dalam periode Demokrasi terpimpin memboroskan sumber-sumber yang dimiliki Indonesia, terutama cadangan devisa. Inflasi tidak terkontrol. Kehidupan ekonomi terus memburuk, dan pada 1965 mendekati keambrukan. Awal 1961, Soekarno memperkenalkan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) dalam rangka untuk mempersatukan berbagai kekuatan sosial-politik.

Ia bersikeras agar militer di-nasakom-kan, tidak hanya spirit, tetapi juga dalam struktur. Hal ini ditolak, baik oleh Jenderal Yani (Menteri Pertahanan) maupun Jenderal Nasution (Kepala Staf Angkatan Bersenjata). Situasi politik sangat panas. Soekarno terus bermain dalam permainan keseimbangan kekuasaan tetapi terus memberi angin kepada PKI. Keseimbangan itu akhirnya ambruk dengan adanya kudeta 1965 yang menandai berakhirnya era Demokrasi Terpimpin.

HUBUNGAN INDONESIA-CINA ERA SOEKARNO
Suatu fakta umum menunjukkan bahwa, selama era Soekarno, hubungan Indonesia dengan Cina dalam keadaan baik, khususnya pertengahan 1960-an ketika Indonesia bersama dengan RRC, berupaya menyelenggarakan Conference of New Emerging Forces (Conefo)dengan markas besarnya di Jakarta. Conefo diharapkan menjadi Perserikatan Bangsa-bangsanya negara-negara miskin karena pada saat itu, RRC belum masuk menjadi anggota PBB, dan Indonesia baru saja meninggalkan organisasi tersebut.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa seluruh kekuatan sosial-politik di Indonesia mendukung kedekatan hubungan Beijing-Jakarta. Sebaliknya, militer khawatir terhadap poros Beijing-Jakarta, tetapi mereka tidak mampu untuk melepaskan Indonesia dari koalisi antikolonialis bersama RRC.

Pada 1960-an, sebelum lahir Orde Baru, ada tiga kekuatan politik yang berkompetisi dan berpengaruh dalam politik dalam negeri. Pengaruh komunis terus berkembang setelah pemilu tambahan (by-election) 1957 dan militer mendapatkan kekuatannya setelah pecah pemberontakan regional 1958 di Sumatera dan Sulawesi. Presiden, yang menjadi lebih cenderung ke sayap-kiri dalam orientasi politiknya, pada awalnya berupaya untuk mengimbangi PKI dan militer dan sebaliknya, tetapi secara bertahap ia bergerak lebih dekat ke PKI.
Khawatir bangkitnya militer, PKI ingin mendirikan Angkatan Kelima di bawah kontrolnya yang terdiri atas petani dan buruh. Soekarno memberikan dukungan kepada ide tersebut dan mengirim Omar Dhani, Kepala Staf Angkatan Udara, untuk berunding dengan RRC dengan harapan akan mendapatkan senjata-senjata ringan bagi Angkatan Kelima. Kenyataan menunjukkan bahwa Presiden menginginkan perimbangan kekuatan militer dengan menggabungkan diri dengan PKI dan Angkatan Udara.

Perimbangan permainan kekuasaan ini tiba-tiba berakhir pada 30 September 1965 ketika suatu upaya kudeta komunis berlangsung. Enam jenderal diculik dan dibunuh, tetapi Jenderal Nasution berhasil meloloskan diri. Jenderal Soeharto, yang merupakan Komandan Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), tidak masuk dalam daftar. Kudeta tersebut mengakibatkan penghapusan PKI, jatuhnya Soekarno dan berkibarnya militer di Indonesia. Soeharto muncul sebagai orang baru Indonesia yang kuat. Ia berhasil melakukan manuver terhadap kelompok-kelompok lain dan, pada 1966, menjadi pemimpin yang paling berpengaruh.

Kudeta mengakibatkan perubahan arah politik luar negeri Indonesia. Para pemimpin Indonesia yang baru dan anti-komunis mulai meningalkan politik luar negeri yang sebelumnya kekiri-kirian. Target pertama dari politik luar negeri Indonesia yang baru adalah Republik Rakyat Cina (RRC) yang diyakini terlibat, jika bukan dalangnya, dalam kudeta yang gagal itu. Peran RRC dalam kudeta tersebut masih tetap kabur. Ada dua pandangan penting yang dapat disebut di sini. Pertama, Cina menyetujui kudeta dan memasok persenjataan di luar sepengetahuan dan kontrol otoritas militer Indonesia.

Para pejabat Cina di Beijing mengetahui kudeta enam jam setelah peristiwa tersebut berlangsung dan memberikan daftar jenderal Indonesia yang seharusnya dibunuh. Kelompok medis Cina yang didatangkan dari Beijing memberikan informasi kepada DN Aidit, pimpinan PKI melakukan kudeta yang gagal. Laporan CIA mengungkapkan kemudian bahwa tidak ada bukti kuat bahwa RRC berada di balik kudeta tersebut, tetapi laporan itu mengatakan bahwa karena ketika (ketua) Aidit berkunjung ke Cina dan awal persiapan PKI untuk kudeta hampir bersamaan dengan kembalinya ia dari Cina, suatu kasus yang dibuat berdasarkan bukti tidak langsung menunjukkan bahwa Cina telah memberikan inspirasi terjadinya kudeta di Indonesia.

Pandangan lain menyatakan bahwa Beijing tidak menyetujui kudeta dengan alasan sebagai berikut. pertama, situasi sebelum kudeta sangat menguntungkan Beijing dan sukar untuk dipahami mengapa Beijing akan merencanakan kudeta yang akan memperburuk situasi ini. Terdapatnya sejumlah kecil senjata buatan Cina setelah kudeta, juga memberikan kesan bahwa Cina tidak terlibat. Kedua, adalah tidak mungkin bahwa partai komunis yang besar seperti PKI akan mendengar perintah dari Beijing.

Peran Cina yangsebenarnya dalam kudeta mungkin tidak akan diketahui untuk waktu yang lama, karena terbatasnya bukti-bukti yang ada. Apa yang penting adalah bagaimana para penguasa baru Indonesia (militer dan elit anti-komunis yang duduk dalam kekuasaan setelah kudeta) memandang Cina dan apa sikap Cina terhadap mereka.

Para penguasa baru Indonesia percaya bahwa Cina berada di belakang kudeta tersebut. Mereka tidak hanya curiga tetapi juga bermusuhan terhadap Cina. Sebaliknya, RRC juga bermusuhan terhadap mereka. Cina menyebut militer Indonesia sebagai reaksioner dan fasis. Selain itu, Beijing membela PKI dan memberikan suaka politik kepada beberapa tokoh pimpinan PKI. Hubungan antara Indonesia dan RRC semakin memburuk dan pada Oktober 1967, Jakarta memutuskan hubungan diplomatik dengan Beijing. Hubungan tetap beku selama 22 tahun. Soeharto juga mengakhiri hubungan perdagangan langsung dengan Cina.

Meskipun Cina tetap melanjutkan penjualan barang-barangnya ke Indonesia dan juga sebaliknya, pertukaran melalui pihak ketiga. Dengan memburuknya hubungan Jakarta dan Beijing, hubungan Indonesia dengan Taiwan membaik, meskipun Indonesia tetap menjalankan kebijakan satu-Cina dan menolak untuk membangun hubungan diplomatik dengan Taiwan.

Pada satu kesempatan, Adam Malik mengatakan bahwa, jika Taiwan mengubah namanya menjadi Republik Taiwan, Indonesia akan mengakuinya. Meskipun ada hubungan diplomatik, para pemimpin Taiwan dan delegasi perdagangan melakukan kunjungan informal berulang kali ke Indonesia. Volumen perdagangan antara Jakarta dan Taipei juga meningkat.

Segera setelah Soeharto berkuasa, ia mengakhiri kebijakan konfrontasi dengan Kuala Lumpur dan memperkenalkan kebijakan bertetangga baik. Di satu pihak, Indonesia melakukan upaya memperbaiki hubungannya dengan negara-negara barat dan di sisi lain, Indonesia tetap mengambil jarak dari negara-negara sosialis. Segera setelah kelahiran Orde Baru, Indonesia diterima kembali di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kapan pun kursi RRC di PBB dibicarakan dan pengambilan suara dilakukan atas isu tersebut, Jakarta tetap abstain. Ini berbeda dengan situasi sebelum kudeta 1965.

Militer, yang menaruh perhatian terhadap masalah keamanan dalam negeri, melihat RRC sebagai suatu bahaya keamanan utama. Mereka khawatir bahwa RRC akan membantu PKI yang sudah dilarang untuk menumbangkan Orde Baru pada saat mereka diizinkan untuk membuka kedutaan di Indonesia. Militer khawatir bahwa Beijing akan menggunakan Cina perantauan di Indonesia untuk mempromosikan kepentingan mereka sendiri. Dan mungkin juga beberapa jenderal diuntungkan dari perdagangan tidak langsung dengan Cina daratan karena situasi ini memungkinkan untuk mendapatkan komisi.

BAB II
KETERLIBATAN AMERIKA SERIKAT

STRATEGI GEDUNG PUTIH
Rencana Inggris untuk memperluas Malaya dengan menggabungkan Singapura dengan Sarawak dan Kalimantan Utara (Sabah) yang berada di bawah kekuasaan Inggris menjadi satu kesatuan yang dikenal sebagai Malaysia menyebabkan Sukarno bersatu dengan Angkatan Darat untuk menentangnya. Pada awalnya Duta Besar Jones sangat marah atas apa yang ia disebut sebagai taktik pemerintah Inggris yang angkuh dan provokatif untuk mencapai tujuan itu. Ia berusaha membujuk pemerintah Amerika Serikat agar bersikap netral atas pertentangan yang terjadi di antara Indonesia dan Filipina.

Faktor pemicu yang mengubah keengganan kedua negara menjadi sikap menentang untuk menyetujui rencana itu bahkan sebelum PBB selesai mengadakan plebisit guna menentukan apakah rakyat Sarawak dan Sabah menerima Federasi Malaysia adalah pengumuman yang dikeluarkan oleh plebisit itu mereka akan tetap membentuk negara Malaysia pada 16 September 1963. Pengumuman itu melanggar persetujuan informal yang ada di Manila yang dianggap sebagai tindakan untuk menghindarkan Indonesia dan Filipina dari rasa malu atas disetujuinya pembentukan Federasi malaysia.

Taktik itu menyebabkan Angkatan darat Republik Indonesia dan Sukarno marah sehinga mereka bersatu kembali selama lebih dari satu tahun dalam konfrontasi yang sangat didukung oleh PKI, sehingga seperti halnya kampanye pembebasan Irian Barat partai itu berhasil mendapat popularitas karena bergabung dengan satu tujuan patriotik.

Militerisasi Indonesia atas konflik yang terjadi itu sangat banyak menguras dana Inggris dan menyebabkan mereka harus menarik mundur demikian banyak pasukannya dari Eropa jelas merupakan sebab mengapa negara itu menolak pembelaan Duta Besar Jones terhadap Indonesia agar Amerika Serikat tetap membantu Indonesia dan memperkuat dukungan diplomatik bagi malaysia.

Malah Jones pun akhirnya tidak senang dengan sikap Indonesia ketika beberapa kesatuan tentara Indonesia mulai melintasi perbatasan Sarawak, terutama ketika pemerintah pusat di Jakarta mulai mendaratkan pasukan para di Semenanjung Malaya pada 17 Agustus 1964, suatu operasi yang tidak direncanakan dengan baik sehingga mengalami kegagalan besar.

Seperti halnya Sukarno, para pemimpin militer Indonesia pada mulanya mengangap pembentukan Federasi Malaysia sebagai produk neokolonialisme Inggris dan, lebih dari Sukarno, Angkatan Darat khawatir penggabungan Singapura dengan Malaysia akan mengarah pada pendominasian keseluruhan federasi oleh penduduk Cina dan dengan demikian menjadi pintu masuk bagi penetrasi Peking, bukan kemungkinan sebenarnya tetapi yang mereka anggap sebagai suatu hal yang membahayakan Indonesia.

Mungkin yang lebih penting lagi karena Angkatan Darat masih marah kepada para pemimpin Ingris dan Malaya karena mendukung para pemberontak dengan menyediakan fasilitas-fasilitas militer di Malaya dan Singapura selama pemberontakan PRRI dan permesta. Konfrontasi juga memberi alasan kuat kepada para pemimpin Angkatan Darat untuk menunda pelaksanaan rencana pengurangan anggaran militer dan sedapat mungkin mengembalikan sebagian akses mereka yang hilang untuk memberlakukan Undang Undang Darurat Perang.

Namun, ketika Inggris berhasil mencapai keunggulan di udara, di perairan Malaysia dan berangsur-angsur juga di darat, makin banyak pemimpin militer Indonesia yang menolak melakukan konfrontasi besar-besaran yang mereka yakin akan gagal sama sekali. Dengan demikian, selama 1954 dan awal 1965 mereka seolah-olah terus mengadakan perlawanan.

Tidak ada yang lebih jelas dalam mencerminkan keengganan Angkatan Darat untuk meningkatkan keterlibatannya daripada kenyataan bahwa pasukan para Angkatan Darat tidak diikutsertakan di malaya seperti yang diperintah oleh Sukarno, sebuah kegiatan yang oleh karenanya harus bergantung pada pasukan Angkatan Udara yang memenuhi syarat bagi misi tersebut dalam jumlah yang jauh lebih sedikit.

Dengan demikian, sekalipun para pemimpin militer senior Indonesia berpura-pura mendukung Sukarno dalam kampanye anti-Malaysia, mereka tidak bersedia mengerahkan pasukan secara besar-besaran dan menempatkan sebagian besar pasukan di Jawa dan Sumatra, suatu tindakan yang oleh berbagai pihak dikatakan dilakukan untuk mencegah agar PKI tidak mengambil kesempatan dari keadaan di Malaya itu. Sekalipun tampaknya Sukarno juga tidak menghendaki konfrontasi menjadi perang besar, ia sebenarnya tidak senang dengan sikap pura-pura Angkatan Darat karena keadaan itu tidak memberinya kemungkinan untuk mendapatkan dukungan bagi dilakukannya perundingan.

Pada akhir periode itu mungkin dengan persetujuan Jenderal Yani, Jenderal Soeharto yang sebelumnya menjabat Panglima Mandala pembebasan Irian Barat dan kemudian menjadi Deputi Panglima Kampanye Malaysia di samping sebagai Panglima Kostrad mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan Inggris dan Malaysia bahwa Indonesia tidak akan meningkatkan konfrontasi. Beberapa ajudan Soeharto mengadakan hubungan rahasia di malaya dengan Inggris, Malaysia dan intelijen Amerika Serikat untuk menghilangkan kekhawatiran atas meningkatnya operasi militer Indonesia dan kemudian mencari jalan untuk menghentikan konfrontasi.

Selama tahapan-tahapan terakhir konfrontasi dengan Malaysia antara pertengahan 1964 dan bagian pertama 1965, ketegangan timbul di antara Angkatan Darat dan Sukarno dan juga dalam tubuh Angkatan Bersenjata karena ALRI atau AURI menderita lebih banyak kerugian dibandingkan dengan Angkatan Darat. Sementara Sukarno makin bergantung pada PKI untuk mengimbangi Angkatan Darat, PKI pun makin yakin bahwa mereka mendapat perlindungan dari Sukarno dalam menghadapi Angkatan Darat sehingga secara politik mereka makin berani.

PKI kadang-kadang sedemikian agresifnya dalam menuntut diberlakukannya Undang Undang Agraria yang menyebabkan terjadinya pertumpahan darah, PKI melancarkan propaganda untuk menentang apa yang dinamakan kapitalis birokrat yang jelas ditujukan kepada perusahaan-perusahaan Belanda yang dikelola oleh para perwira Angkatan Darat, baik yang telah pensiun maupun yang masih aktif, tuntutan PKI bagi dilakukannya reorganisasi membuat para pegawai negeri yang konservatif takut dan desakannya kepada Sukarno agar mendukung usul pembentukan Angkatan V membuat Angkatan Darat khawatir.

Direncanakan sebagai semacam pasukan milisi yang beranggotakan para buruh dan petani yang ingin menjadi sukarelawan dalam konfrontasi dengan Malaysia dan akan mendapat pelatihan dari salah satu korps Angkatan Bersenjata, usulan mengenai pembentukan Angkatan V itu ditentang oleh Angkatan Darat sedemikian rupa sehingga tidak pernah dapat terwujud, hanya AURI yang tampaknya mulai melakukan latihan bagi sejumlah sukarelawan. Skalipun Sukarno sendiri tidak memberi persetujuan atas usulan itu, kemungkinan terbentuknya Angkatan V menjadi sumber kekhawatiran Angkatan Darat yang menganggapnya sebagai usaha PKI untuk membentuk kekuatan militer.

PKI memang mempunyai jumlah pengikut yang besar yang walaupun kebanyakan tidak mengerti apa-apa tentang komunisme tetapi sangat berterima kasih karena usaha partai itu memperbaiki nasib mereka melalui organisasi buruh dan tani. Sebagian besar guru dengan pendapatan yang amat minim dan buruh di perkotaan maupun angkatan tani mendapat keuntungan dari usaha yangdilakukan oleh SOBSI yang berada di bawah naungan PKI dan merupakan organisasi buruh satu-satunya di Indonesia yang efektif. Sekalipun memiliki pemimpin yang cakap dan sanggup memobilisasi demonstrasi besar-besaran, kemampuan yang sering berguna bagi Sukarno, menyelenggarakan pemogokan-pemogokan yang berhasil, sekalipun Angkatan Darat sering berhasil menghalanginya, dan memiliki ahli pidato yang baik.

Namun PKI tidak memiliki persenjataan dan sebab itu hanya memiliki sedikit kekuatan fisik. pKI juga tidak berhasil menguasai posisi penting dalam korp pegawai negeri. Sukarno berusaha menempatkan beberapa wakil PKI dalam kabinet, namun bahkan sampai akhir April 1965 PKI hanya meraih tiga dari 79 kursi dalam kabinet, salah satunya menjadi menteri oleh raga dan dua lainnya menteri negara. Sedangkan Angkatan Darat meraih 23 kursi, termasuk menteri pertahanan dan keamanan, termasuk polisi dan tentara bersenjata pemerintah, menteri dalam negeri, menteri penerangan dan jaksa agung. Dari 24 orang gubernur, 12 di antaranya perwira Angkatan Darat dan tidak satu pun berasal dari PKI.

Selama 1964-1965, ketegangan tidak saja terjadi di dalam negeri, tetapi juga muncul di antara Indonesia dan Amerika Serikat. Sukarno tadinya mengharapkan Amerika Serikat akan memberi dukungan dalam tuntutan agar rakyat Kalimantan Utara diberi hak, melalui plebisit atau referendum, untuk menentukan apakah mereka ingin bergabung dengan Malaysia atau tidak.

Ketika ternyata Amerika Serikat tidak bersedia memberi dukungan, Sukarno dan jenderal Nasution mulai menuduh Amerika Serikat berkolusi dengan Inggris. Lebih dari Sukarno, Nasution mengharapkan rakyat Kalimantan Utara terlebih dahulu diberi kebebasan dan kesempatan untuk memilih bergabung dengan malaya, Filipina atau Indonesia, atau berdiri sendiri.

Selama 1964, Amerika Serikat memberi sejumlah bantuan ekonomi kepada federasi Malaysia yang diikuti dengan keberhasilan usaha menjadikannya anggota Dewan Keamanan PBB, sehingga kemarahan Sukarno pada Amerika Serikat kain meningkat. Pada 25 Maret, ia menolak bantuan ekonomi Amerika Serikat bagi Indonesia. Ia dan Nasution juga mulai meningkatkan kritik atas tindakan-tindakan Amerika Serikat di Vietnam.

Mereka menyatakan penghargaan atas perjuangan Front Nasional Pembebasan Vietnam dan pada awal Agustus 1964, Sukarno membuka hubungan diplomatik penuh dengan pemerintah Hanoi. Kemudian, pada hari terakhir 1964, ia menyatakan Indonesia keluar dari PBB untuk menunjukkan kemarahannya kepada Amerika Serikat yang memprakarsai Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.

Dengan menuduh PBB dikuasai kekuatan-kekuatan reaksioner, ia mengusulkan pembentukan New Emerging Forces sebagai poros anti imperialis yang membentang dari peking melalui Pyongyang dan Phnom Penh hingga Jakarta. Sekalipun tidak pernah terwujud, gagasan itu menghasilkan hubungan yang lebih dekat dengan RRC, musuh Angkatan darat dan Amerika Serikat, sehingga banyak perwira senior menjadi khawatir, tetapi disambut baik oleh PKI.

CIA DAN KEDUBES AS
Untuk soal satu ini, rasanya hampir semua orang sepakat jika dikatakan dari dulu hingga sekarang AS memang terkenal paling doyan mengobok-obok negara lain dengan dalih mengamankan kepentingannya. Khususnya dalam kasus G30S, banyak bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah AS sedikitnya tahu bakal terjadi peristiwa G30S dan bahkan mengambil keuntungan jangka panjang dari peristiwa berdarah ini.

Bagi AS, peristiwa G30S cukup menguntungkan kepentingan globalnya saat mereka harus menghadapi situasi politik Indonesia pada dekade 1960-an yang kian ruwet dan panas. Di mata Gedung Putih, Sukarno bak anak nakal yang sulit dikendalikan. Sementara AS yang tengah kelimpungan didera Perang Vietnam juga tak ingin melihat Indonesia jatuh ke tangan komunis. Jadi Washington sangat berharap Soekarno dan PKI segera enyah dari bumi Indonesia.

Dalam buku Foreign Relations of the US 1964-1968: Indonesia, Malaysia, Singapura, and Philippines Vol XXVI bab Coup and Counter Reaction: October 1965-March 1966 indikasi keterlibatan pemerintah AS dalam G30S semakin gamblang, meski secara ilmiah validitasnya masih diragukan. Banyak analis sejarah internasional yang menyatakan sia-sia belaka mencari bukti legal keterlibatan langsung pemerintah AS dalam insiden G30S.

Namun bagi kalangan awam, isi buku terbitan Deplu AS tersebut bila dipadu dengan puluhan buku atau dokumen sejenis lainnya yang juga ikut mengupas soal G30S plus sejumlah salinan pengakuan lisan beberapa tokoh terkait sudah cukup menjadi modal untuk curiga bahwa sebenarnya Washington tak Cuma tahu G30S bakal terjadi (dan mengambil keuntungan darinya) tapi malah berperan aktif di dalamnya.

Pemahaman umum yang kini dianut kebanyakan analis sejarah adalah bahwa CIA dibantu Kedubes AS di jakarta telah menggelar satu operasi rahasia jangka panjang untuk menamatkan riwayat Soekarno dan PKI. Didahului satu peristiwa kudeta palsu yang direkayasa agar terkesan dilancarkan beberapa satuan militer pro PKI, CIA ingin permainan dilanjutkan lewat digelarnya operasi pembasmian massal segenap jajaran PKI di seluruh Indonesia.

Operasi itu dikemas dalam wujud tindak balas dendam kelompok masyarakat antikomunis yang diprovokasi dan difasilitasi kelompok intelektual dan militer tertentu binaan CIA. Saat operasi pembasmian itu berjalan tak terkendali dan korban jiwa yang timbul kelewat banyak, tiba giliran para politisi sipil dan militer pro AS melancarkan proses delegitimasi terhadap sendi-sendi penopang kekuasaan Soekarno. Satu demi satu pihak pendukung Soekarno disingkirkan hingga riwayat politik Soekarno akhirnya tamat.

Seperti umumnya operasi klandestin tingkat tinggi yang melibatkan telik sandi negara besar, bisa dipastikan tak bakal ada satu orang pun (yang terlibat) mau suka rela membeberkan rincian jalannya operasi. Apalagi jika pelaksanaan operasi itu sampai menelan banyak korban jiwa. Andaikata ada, patut dipertanyakan sampai seberapa jauh derajat kebenarannya. Demikian pula dengan operasi rahasia yang digelar pemerintah AS (baca: CIA) di Indonesia.

Semua yang terlibat pasti menyangkal dirinya pernah turut dalam peristiwa tragis di Indonesia pada paruh kedua dekade 1960-an. Bahkan mantan Dubes AS pada tahun 1965, Marshall Green, sampai harus menulis buku berjudul Indonesia: Crisis and Transformation (1965-1968) yang isinya menegaskan dirinya sama sekali tak tahu menahu soal seputar G30S dan operasi pembasmian PKI. Hal serupa juga dilakukan beberapa pejabat Kedubes AS lainnya dan kepala misi CIA di Jakarta saat itu.
Padahal jika ditelusuri dengan seksama, dalam beberapa kesempatan pemerintah AS sendiri (entah sadar atau tidak) telah secara samar mengakui keterlibatannya dalam insiden G30S. dalam dokumen milik CIA berklasifikasi Special Report tertanggal 23 Oktober 1964 tergambar jelas betapa lembaga intelijen itu sedemikian khawatir akan kemungkinan Soekarno jatuh ke dalam pelukan kekuatan komunis internasional.

Kekhawatiran kian menjadi manakala Soekarno banyak menjegal kepentingan ekonomi AS di Indonesia. Ujung-ujungnya, timbul prasangka buruk bahwa bisa saja suatu saat nanti Soekarno yang tengah mengidap penyakit berat tiba-tiba melimpahkan kekuasaannya kepada PKI (Agency Special Report january 26th, 1965).

Bahkan dalam buku panas terbitan Deplu AS yang telah disebut di atas, tampak peran Green dalam mempersiapkan operasi klandestin guna memfitnah dan menghabisi PKI. Atas sepengetahuan Green, Sekretaris I Kedubes AS Robert J Martens telah menyusun daftar berisi ribuan nama pentolan PKI seluruh Indonesia dan menyerahkan daftar itu kepada kelompok antikomunis guna dimanfaatkan.

Selain itu Green juga minta agar Washington menyelenggarakan siaran radio propaganda antikomunis lewat corong Voice of America, Radio Jakarta dan Indo Press. Green juga menyalurkan bantuan senilai ribuan dollar kepada Kesatuan Aksi Pengganjangan (KAP) Gestapu guna menjamin terselenggaranya kampanye antikomunis yang sistematis. Jumlah ini memang tidak seberapa jika dibanding puluhan juta dollar yang telah disalurkan Guy Pauker dan William Palmer kepada kelompok tertentu jauh hari sebelum meletusnya insiden G30S. tak hanya itu.

Masih dalam buku yang sama, tercantum salinan percakapan pejabat Menlu AS George Ball dengan Menhan George Mc Namara yang membahas seputar insiden G30S (01/10/65). Ball mengira bahwa G30S memang ulah PKI dan khawatir keselamatan pada sekutu AS di jajaran AD yang disebutnya sebagai our local army friends.

Ball bahkan berniat mengevakuasi seluruh warga AS keluar dari Indonesia. Namun Mc Namara mencegahnya seraya berkaya bahwa bawahan Ball di jakarta telah siap melakukan segala macam langkah yang dianggap perlu guna membantu militer Indonesia menumpas PKI tanpa lupa menghapus semua jejak yang mengarah pada bukti keterlibatan AS.

Para petinggi Gedung Putih pun kontan bereaksi gembira tatkala tersiar kabar operasi pembasmian PKI telah dimulai pada pengujung Oktober 1965. satu demi satu laporan yang bertutur tentang keberhasilan skenario raksasa CIA melumat PKI kemudian mengalir deras ke hadapan Presiden Lyndon Johnson.

POLITIK KONFRONTASI GANYANG MALAYSIA
POLITIK KONFRONTASI

Situasi politik pada 1960-an diwarnai ketegangan dunia yang diakibatkan oleh perseteruan antara dua blok. Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dengan Blok Timur pimpinan Uni Sovuet. Presiden Sukarno dalam pidatoya di Majelis Umum PBB September 1960 antara lain menyebutkan hal itu. Presiden Sukarno menegaskan lagi pendapatnya di Beograd, Yugoslavia, pada konferensi pertama negara-negara Non-Blok pada September 1961.

Pada masa itu Indonesia percaya akan adanya ruang bagi kekuatan ketiga, karena dalam konflik dunia yang berakar dari konflik endemik antara keadilan dengan ketidakadilan, masih terdapat kesempatan untuk dapat hidup berdampingan secara damai. Indonesia di bawah Bung Karno berpendapat, saat itu dunia terbagi antara kekuatan baru yang sedang bangkit, New Emerging Forces, yaitu bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin, negara-negara sosialis, dan kekuatan progresif di negara-negara kapitalis, berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lama yang telah mapan.

Dengan didasari cara berpikir demikian, Indonesia pun menentang pembentukan negara federasi Malaysia. Konfrontasi dengan malaysia adalah cermin ketidapercayaan Indonesia terhadap rencana pembentukan malaysia. Indonesia memandang bakal negara federasi tersebut sebagai suatu negara yang tidak mewakili aspirasi rakyat setempat tetapi lebih merupakan bentukan asing, untuk mempertahankan kepentingan politik, militer dan ekonominmya di Asia Tenggara.

Hal ini dinilai akan merupakan ancaman terhadap bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, Indonesia menyatakan dukungan pada pemberontakan di Brunei yang pada waktu itu merupakan protektorat Inggris. Hal ini didukung oleh pengalaman pahit Indonesia sendiri di masa terjadinya pemberontakan dalam negeri akhir 1950-an yang telah didukung oleh kekuatan-kekuatan asing.

Pemberontakan di Brunei pada 5 Desember 1962 yang terjadi di Serawak yang berbatasan dengan Sabah Kalimantan Utara mendapat tanggapan dan simpati umum dari Indonesia karena perjuangan rakyat Kalimantan Utara tersebut dirasa sama dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam upaya mencapai kemerdekaannya dari cengkeraman kolonialisme. Pemberontakan Brunei tersebut dilakukan oleh para pendukung Partai Rakyat pimpinan AM Azahari.

Dukungan rakyat Brunei pada waktu itu tercermin dari pernyataan ketidaksetujuannya terhadap masuknya Brunei ke dalam negara federasi Malaysia. Mereka mengajukan alternatif membentuk suatu negara baru yang merdeka, negara Kalimantan Utara, yang meliputi Brunei dan wilayah yang dulu merupakan kekuasaan raja Brunei. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Inggris dengan menggunakan pasukan Gurkha yang didatangkan dari Singapura.

Sejak awal, pemerintah Indonesia sudah bereaksi terhadap usul pemimpin Malaya Tungku Abdul rahman Putra pada 27 Mei 1961, yang menghendaki bahwa Semenanjung Malaya, Singapura dan jajahan Inggris di Kalimantan Utara, termasuk Brunei, digabungkan dalam suatu kerangka politik tunggal.

Mengingat pada waktu itu Indonesia sendiri masih berjuang untuk mencapai tujuan penyatuan seluruh wilayah NKRI, dengan meyakinkan dunia terhadap tuntutan Indonesia atas Irian Barat yang masih dikuasai kolonial Belanda, maka Indonesia pun bersikap hati-hati terhadap usulan Tungku Abdul Rahman tentang penggabungan Malaya dan jajahan Inggris lainnya di Asia Tenggara ke dalam suatu negara federasi.

Sesuai dengan pengalaman Indonesia sejak mencapai kemerdekaannya, yang selalu mendapat ancaman dari negara-negara asing, pemerintah indonesia menganggap federasi tersebut sebagai konsentrasi kekuatan kolonial baru yang letaknya justru di perbatasan wilayah republik. Bagi Indonesia, federasi ini dilihatnya merupakan perwujudan neokolonialisme.

Apa yang terjadi di Kalimantan Utara tersebut bagi Indonesia tak dapat dipisahkan dari gerakan New Emerging Forces (Nefos). Sebaliknya pihak malaya secara tak langsung menuduh keterlibatan Indonesia dalam pemberontakan, yang kemudian menimbulkan kemarahan Indonesia. Perbedaan persepsi antara kedua pihak makin berlanjut karena indonesia menanggapi tuduhan Tungku Abdul Rahman tersebut dengan menegaskan kembali dukungannya terhadap perjuangan rakyat Kalimantan Utara.

Indonesia menentang berdirinya federasi Malaysia itu dengan alasan, karena negara ini merupakan manifestasi neokolonialisme, dan merupakan produk pemikiran dan usaha mempertahankan kolonisliesme dalam bentuk baru. Indonesia tidak ingin munculnya neokolonialisme di sekitarnya. Pembentukan Malaysia dinilai sebagai pengepungan terhadap Indonesia yang sedang berupaya menyatukan kekuatan-kekuatan baru, Nefos, untuk menentang kekuatan lama.

Dalam situasi seperti itulah maka Indonesia menolak gagasan pembentukan negara federasi Malaysia oleh Inggris, dan timbullah apa yang dinamakan politik konfrontasi terhadap Malaysia bentukan Inggris. Situasi politik di kawasan Asia Tenggara pun makin memanas. Sukarno gerah dengan makin gencarnya tekanan yang disebutnya Neo-Koolonialis-Imperialis, Nekolim, yang dipimpin Amerika Serikat.

Sukarno sebagai salah satu pemuka negara-negara non-blok merasa makin dijepit dari selatan dan utara. Belok barat mencoba menekan Indonesia dengan makin memberdayakan South East Asia Treaty Organization, Seato, yang antara lain terdiri dari Filipina, Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Thailand.

Pada waktu itu Malaya, Singapura, Kalimantan Utara, Sabah dan Serawak masih di bawah kekuasaan Inggris. Terjadinya pemberontakan yang dipimpin Azahari pada 1962 di Kesultanan Brunei mendapat simpati yang luas di Indonesia. Sukarno menginginkan agar ada negara baru di Kalimantan Utara yang merupakan perwujudan dari keinginan rakyat Serawak dan Sabah untuk keluar dari penjajahan serta penguasaan Inggris. Secara terbuka Indonesia mendukung perjuangan rakyat Brunei untuk merdeka sendiri di luar negara baru Malaysia. Kondisi semacam itu tentu menggusarkan pihak Inggris yang tetap menghendaki dapat menancapkan pengaruhnya di Kalimantan Utara.

Sementara itu, Tungku Abdul Rahman Putra Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu, PTM, bersama Inggris telah menyepakati skenario pembentukan negara baru yang akan menggabungkan Serawak dan Sabah dengan Persekutuan Tanah Melayu, termasuk Singapura, sehingga Serawak dan Sabah akan menjadi bagian dari negara baru malaysia. Gagasan tersebut ditolak oleh Sukarno yang curiga proyek negara baru itu sengaja diciptakan untuk menutup akses Indonesia ke utara, dalam rangka menggalang kekuatan baru, kelompok negara-negara New Emerging Forces.

Pada masa itu sudah tergalang apa yang dikenal dengan poros politik jakarta-Hanoi-Peking-Pyongyang sebagai jawaban terhadap apa yang dinilai sebagai upaya pengepungan terhadap Indonesia. Indonesia yang selalu menentang adanya fakta pertahanan kawasan seperti SEATO, diangap sebagai duri di kawasan ini. Indonesia bersama negara-negara nonblok lainnya juga sangat menentang adanya pangkalan militer asing, termasuk di Asia Tenggara, karena dipandang dapat membahayakan kawasan apabila suatu saat terjadi konflik fisik antara dua blok yang saling berhadapan.

Dalam kondisi demikian pihak Barat tetap berusaha mewujudkan rencananya membentuk negara baru Malaysia. Negara baru ini terbentuk pada 31 Agustus 1963, tanpa menghiraukan protes Indonesia dan Filipina. Pada waktu itu Filipina menuntut Sabah menjadi bagian Manila, Sabah dahulu adalah bagian dari Kesultanan Sulu di Filipina Selatan. Dengan pembentukan negara Malaysia, maka konfrontasi antara Indonesia dan Filipina di satu pihak dengan Malaysia bersama sekutunya Inggris, yang didukung Australia dan Selandia Baru, tak terhindarkan lagi.

Pemerintah Indonesia menanggapi pembentukan negara baru itu dengan antara lain memperkuat daerah perbatasan dengan tetangganya. Tindakan tersebut diwujudkan dengan mengirimkan pasukan. Pertama dikirimkan pasukan sukarelawan, yang terdiri dari gabungan antara anggota tentara nasional (reguler) dan rakyat sipil.

Pengiriman itu dilakukan baik di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Malaya maupun Kalimantan Barat dan Timur yang berbatasan dengan Serawak dan Sabah di bawah Komando Operasi Ganyang Malaysia, Kogam, dan Komando Operasi Tertinggi, KOTI. Setelah itu menysuul pula pengiriman pasukan reguler militer ke perbatasan dengan malaysiaMalaysia.

Sebagai tindaklanjut politik konfrontasi, maka setiap angkatan, baik darat, laut, maupun udara, menyiapkan embrio Komando Mandala Siaga sebagai dukungan militer terhadap politik luar negeri Indonesia. Sejak 1963 sebenarnya Indonesia sudah mengirim pasukan dalam skala kecil ke wilayah-wilayah tersebut. Mula-mula dikirimkan kompi sukarelawan dibantu kompi senapan reguler.

Namun, dengan makin meruncingnya hubungan Indonesia dengan Inggris dan sekutunya dalam Blok Barat, khususnya Seato, maka tindakan penguatan di perbatasan sebagai tekanan politik makin ditingkatkan. Di setiap kawasan ditempatklan brigade-brigade militer.

Perbatasan darat antara Kalimantan Barat dengan Serawak dan Sabah, pada umumnya belum tertata dengan baik. Penyelundupan antara kedua wilayah itu merupakan peristiwa sehari-hari. Pada awal 1960-an, Tawao, kota terbesar di Sabah, merupakan pusat perdagangan yang cukup ramai. Penyelundupan dari Tawao ke daerah sekitarnya bahkan sangat marak. Situasi politik di Asia Tenggara juga makin memanas dengan rencana pembentukan Negara Maysia oleh Inggris sejak 1961. semula proyek itu masih merupakan wacana. Namun, lama kelamaan pihak pemerintah dan rakyat Indonesia merasa proyek itu semakin mengganggu perdamaian di Asia Tenggara.

Pada akhir 1963, kekuatan militer Inggris da sekutunya, termasuk satuan Gurkha, ditempatkan di beberapa lokasi yang dianggap penting. Di samping pasukan darat, Inggris juga menyiagakan beberapa kalap perangnya jenis feregat dan destroyer yang dibantu oleh kapal-kapal patroli milik polisi perairan, marine police, maupun kekuatan udara, RAF, seperti pesawat Dakota dan beberapa helikopter angkut.

Dalam rangka perjuangan Indonesia mendukung proses dekolonisasi, melalui Keputusan Presiden Sukarno Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Nomor 142/1963 tanggal 19 Juli 1963 telah dibentuk suatu komando yang disebut Komando Operasi Tertinggi, KOTI. Badan ini merupakan wadah tertinggi operasi gabungan militer, khususnya untuk menghadapi pembentukan Malaysia, yang dianggap dapat mengancam integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk kepentingan pengumpulan data intelijen, kegiatannya dikoordinir oleh Staf G-1 KOTI dan dipimpin oleh Brigjen TNI Magenda, sedangkan pelaksananya oleh Ops A. kenyataannya, dalam operasional di lapangan ternyata ada dua badan pengumpul intelijen yakni G-1 KOTI dan Badan Pusat Intelijen, BPI, di bawah kendali dr Soebandrio yang menjabat juga sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia. Untuk menghindari bentrokan di lapangan diadakan pembagian tugas masing-masing, yakni G-1 KOTI diberikan wewenang melakukan operasi intelijen strategis militer, sedangkan BPI menangani bidang intelijen strategis politis.

GAGALNYA SEBUAH DIPLOMASI
Sebetulnya masalah ini, politik konfrontasi Indonesia-Malaysia, menyangkut pertikaian Indonesia-Malaysia mengenai pembentukan Federasi malaysia dalam 1963 dengan memasukkan Serawak ke dalamnya, di mana Indonesia menganggap tindakan Malaysia tersebut dapat mengancam stabilitas di kawasan, karena tindakan tersebut tidak saja kehendak Inggris, tetapi juga karena tanpa konsultasi dengan negara tetangganya, seperti Indonesia yang berbatasan secara langsung.

Dalam rangka mencapai sasaran-sasaran politik tersebut, Indonesia ingin menempuh kemungkinannya melalui penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika II di Aljazair pada Maret 1965, tetapi ternyata telah mengalami kegagalan karena 10 hari sebelum diselenggarakan konferensi tersebut, terjadi penggulingan kekuasaan Presiden Aljazair Ben Bella oleh Kolonel Houari Boumedienne.

Pada waktu diadakan KTT Non-Blok II di kairo 1964, Indonesia yang sedang melakukan politik konfrontasi terhadap malaysia telah menempuh strategi diplomasi tersendiri dalam menghadapi konferensi tersebut dengan memperkenalkan konsep New Emerging Forces versus Old Established Forces (Nefos vs Oldefos) dalam kaitannya dengan perjuangan menentang neo-kolonialisme dan imperialisme.

Konsep tersebut ternyata tidak memperoleh tanggapan yang positif di kalangan anggota peserta konferensi dan kegagalan ini mendorong Indonesia untuk tetap mengangap perlunya diadakan Konferensi Asia Afrika II yang akan merupakan Conference of the New Emerging Force, Conefo. Dengan kegagalan Conefo ini, Indonesia telah mengambil kebijaksanaan baru di bidang politik luar negeri.

Indonesia kemudian membentuk poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang yang merupakan poros anti neokolonialisme dan imperialisme. Politik poros ini kemudian mengakibatkan tidak saja mengurangi ruang gerak diplomasi Indonesia di forum internasional, tetapi juga merupakan penyimpangan secara mendasar dari dasar politik bebas aktif.

Akhirnya, politik konfrontasi Indonesia terhadap malaysia telah menyebabkan keluarnya Indonesia dari PBB pada 1965. Puncak dari segala perkembangan yang dianggap telah menyimpang dari politik bebas aktif tersebut terjadi dalam bentuk pemberontakan gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia September 1965.

Pada 20 Januari 1965 Indonesia telah memberitahukan kepada Sekjen PBB bahwa Indonesia telah memutuskan untuk menarik diri dari keanggotaan PBB setelah malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada 7 Januari 1965. Indonesia menganggap bahwa pemilihan Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan tersebut merupakan cemoohan bagi Dewan Keamanan sendiri karena sesuai dengan Pasal 23 Piagam, pemilihan keanggotaan tidak tetap Dewan Keamanan PBB itu haruslah didasarkan atas pentingnya dan sumbangan negara tersebut terhadap usaha-usaha pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.

Walaupun telah menarik diri dari keanggotaannya dari PBB, Indonesia tetap akan memegang teguh prinsip-prinsip mulia dari kerja sama internasional sebagaimana tersirat dalam Piagam PBB. Permintaan Indonesia tersebut telah ditangapi oleh Sekjen PBB pada 26 februari 1965 denganmenyatakan bahwa masalah tersebut telah menimbulkan suatu situasi di mana di dalam Piagam tidak ada ketentuan yang menyatakan tentang hal itu.

Sekjen PBB selanjutnya menyatakan bahwa Konferensi San Francisko telah mengsahkan suatu pernyataan yang berhubungan dengan masalah tersebut. Sekjen PBB juga menyatakan sangat menyesal dan perasaan ini juga dirasakan secara luas di PBB dan mengharapkan dengan sungguh-sungguh bahwa akan tiba waktunya Indonesia segera merintis kerja samanya dengan PBB.

DWI KOMANDO RAKYAT (DWIKORA)
Gagasan awal pembentukan Federasi Malaysia berasal dari Lord Brussey, Director British North Borneo Company yang mengusulkan kepada pemerintah Inggris untuk mempersatukan tanah jajahan Inggris di Asia Tenggara, yaitu Semenanjung Tanah Melayu, Singapura dan Borneo Utara melalui pembentukan suatu federasi. Kemudian, 16 September 1963, usul itu diperkuat oleh Malcom MacDonald British High Commisioner untuk jajahan Inggris di Asia Tenggara. Sesuai dengan rencana untuk memulihkan kepentingan ekonominya di Asia Tenggara, Inggris memberikan kemerdekaan hanya kepada Malaysia.

Daerah jajahan lain digabungkan dalam suatu federasi yang disebut federasi 3S (Singapura-Sabah-Serawak). Gagasan pembentukan Federasi Malaysia datang dari Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu Tungku Abdul Rachman Putra pada 27 Mei 1961 di depan The Foreign Correspondent’s Association of South East Asia di London. Dalam federasi Malaysia tersebut akan bergabung Malaya, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah. Gagasan Tungku Abdul Rahman mendapat dukungan sepenuhnya dari pihak Inggris, didasari atas kepentingan ekonomi dan strategi.

Pada Oktober 1961 di London diadakan perundingan antara Inggris dan negara jajahan Inggris di Borneo Utara, Persekutuan Tanah melayu dan Singapura mengenai rencana realisasi pembentukan Federasi Malaysia. Dalam joint statement yang dihasilkan oleh perundingan itu, dinyatakan bahwa Federasi Malaysia yang akan dibentuk terdiri atas Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunai, dan Sabah.

Sebelum federasi ini dibentuk, dilakukan penelitian untuk memastikan pendapat rakyat Sabah dan Serawak yang pada saat itu masih menjadi jajahan Inggris, apakah mereka menyetujui atau menolak federasi. Untuk melaksanakan penelitian ini dibentuk komisi yang diketuai Lord Cobbald, dengan anggota A Abell, DC Watherson, Wong Pew Nee, dan Gazali Shafie.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sepertiga rakyat Sabah dan Serawak menghendaki federasi tanpa syarat. Sepertiga lainnya menghendaki federasi dengan syarat-syarat, yakni beberapa kepentingan mereka dijamin, sedang sepertiga sisanya mempunyai pendapat lain. Golongan terakhir ini pun terbagi atas kelompok yang menghendaki kemerdekaan lebih dulu, baru membicarakan masalah federal, sepuluh persen menghendakitetap di bawah naungan Ingris. Dengan hasil ini maka Persekutuan Tanah Melayu dan Inggris akan membentuk Federasi Malaysia.

Setelah mempertimbangan hasil Komisi Cobbald, pemerintah Inggris dan Persekutuan Tanah Melayu memutuskan akan membentuk Federasi Malaysia pada 31 Agustus 1963. rencana pembentukan Federasi Malaysia ini ditentang oleh Pemerintah Indonesia. Secara prinsip, pembentukan federasi itu bertentangan dengan politik Indonesia yang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Secara prosedur, tidak sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh PBB. Ditinjau dari segi keamanan, pemerintah Indonesia mengangap pembentukan Federasi Malaysia membahayakan revolusi Indonesia.

Selain Indonesia, Filipina juga menantang. Alasannya karena secara historis dan yuridis daerah Sabah yang akan dimasukkan ke dalam Federasi Malaysia itu adalah milik Sultan Sulu yang disewakan kepada Inggris. Penolakan ini oleh pemerintah Indonesia dan Filipina telah disampaikan kepada pemerintah Inggris pada akhir 1962, namun gagal menemukan perumusannya. Tindakan Filipina yang bermaksud mengklaim Sabah itu, oleh Persekutuan Tanah melayu diangap sebagai tindakan yang tidak bersahabat dan menghalang-halangi terbentuknya federasi Malaysia.

Akhirnya, timbul ketegangan antara kedua negara tersebut. Dengan adanya ketegangan itu diadakan pertemuan antara ketiga negara, yaitu Indonesia, Persekutuan Tanah Melayu dan Filipina. Pada Mei 1963 di Tokyo diadakan pertemuan antara Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman dari Persekutuan Tanah Melayu. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk menyelesaikan perselisihan, perbedaan pendapat dan negara yang bertetangga baik dengan penuh goodwill dan secara bersahabat, serta akan membatasi diri untuk tidak saling melakukan serangan kata.
Untuk sementara waktu ketegangan mereda. Kemudian, diadakan serangkaian pertemuan antara Indonesia, Persekutuan Tanah Melayu, dan Filipina pada Juni, Juli dan Agustus 1963 di manila yang menghasilkan Manila Accord, Manila Declaration, dan Joint Statement. Sesuai dengan hasil Konferensi Tingkat Tinggi Manila, Sekjen PBB membentuk Misi Malaysia, yang bertugas mengadakan penyelidikan di Serawak dan Sabah untuk memastikan kehendak rakyat di kedua daerah itu mengenai pembentukan federasi Malaysia.

Misi ini bekerja dari 22 Agustus sampai 15 September 1963 dipimpin diplomat Michael More sesuai dengan ketentuan PBB setiap negara berhak mengirimkan peninjaunya. Tetapi, kedatangan peninjau di daerah itu dipersulit oleh pemerintah Inggris. Akhirnya, diperkenankan setiap negara mengirim empat orang peninjau.

Hasil misi Malaysia itu dilaporkan kepada Sekjen PBB 14 September 1963. Berdasarkan laporan misi PBB tersebut, Sekjen PBB menyatakan bahwa sebagian rakyat Sabah dan Serawak menyetujui pembentukan federasi Malaysia. Pada 16 September di Kuala Lumpur diproklamasikan pembentukan federasi Malaysia. Namun pihak Indonesia menentang pernyataan Sekjen PBB dan menyatakan bahwa laporan misi PBB itu tidak sah, karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh Konferensi Tingkat Tinggi di Manisla.

Akan tetapi, kalau benar rakyat Sabah dan Serawak setuju dengan pembentukan federasi itu, maka Indonesia juga akan setuju. Sehari setelah Proklamasi federasi malaysia, 7 September 1963, pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan malaysia. Pemutusan hubungan itu disusul dengan tindakan pemutusan hubungan lalu lintas ekonomi dengan daerah Malaya dan Singapura. Tindakan di bidang ekonomi selanjutnya adalah tindakan dedolarisasi Kepulauan Riau, membuka pelabuhan Belawan dan Tanjung Priok sebagai free tarde zone dan Sabang dijadikan free port.

Kesempatan ini dimanfaatkan oleh PKI untuk mendorong pemerintah melakukan politik konfrontasi total. Tujuannya agar tercipta situasi kacau, sehingga PKI leluasa memperluas pengaruhnya kepada masyarakat, karena politik konfrontasi diangap sebagai masalah yang prinsip bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Januari 1964, Presiden Sukarno mengadakan kunjungan ke Filipina khusus untuk membicarakan masalah Malaysia. Hasil pembicaraan Sukarno-Macapagal di Filipina adalah untuk menyusun strategi bersama.

Sebaliknya pihak malaysia menentang politik konfrontasi Indonesia. Sebagian pemimpin partai politik yang ada di Malaysia menentang rencana pembentukan federasi. Pada 8 Desember 1962 diproklamasikan Negara Kesatuan Kalimantan Utara (NKKU) oleh AM Azahari, pemimpin rakyat Brunai. Negara Kesatuan Kalimantan Utara meliputi wilayah Sabah, Brunai dan Serawak. Pemerintah Indonesia secara terang-terangan menyokong Azahari. Di depan apel Sukarelawan 13 April 1964 di jakarta, Presiden Sukarno menyatakan akan membantu rakyat Kalimantan Utara.

Pada 3 Mei 1964 diadakan kembali apel besar Sukarelawan berhubung dengan semakin meruncingnya pertentangan kedua negara. Pada kesempatan itu Presiden Sukarno mengucapkan Komando Aksi Sukarelawan yang terkenal dengan sebutan Dwi Komando Rakyat disingkat Dwikora. Isi Dwikora adalah: Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia, dan, Bantu Perjuangan revolusioner Rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, Brunai untuk Membubarkan Negara Boneka Malaysia. Pada 20 Mei 1964, tujuh belas hari setelah Dwikora dicetuskan, disahkan pembentukan Brigade Sukarelawan Tempur Dwikora.

Guna mendukung Dwikora serta mengkoordinasi satuan-satuan militer di daerah perbatasan dalam melaksanakan operasi-operasi militer, Mei 1964, KOTI mebentuk komando tugas, yakni Komando Siaga (Koga). Komando ini bersifat gabungan antar Angkatan. Wilayahnya meliputi wilayah Indonesia bagian barat. Tugas komando ini adalah mengadakan persiapan-persiapan dalam menghadapi Malaysia, terutama di bidang militer.

Sebagai Penglima Siaga ditetapkan Laksamana Madya Udara Omar Dhani. Februari 1965 organisasi Komando Siaga disempurnakan, namanya diganti menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Dalam melaksanakan tugasnya, Kolaga diberi wewenang untuk memimpin dan mempergunakan segala unsur militer, barisan-barisan sukarelawan, dan unsur-unsur potensi nasional lainnya untuk menghadapi setiap ancaman dan serangan dalam bentuk apapun dari pihak lawan. Bahkan menghancurkan Singapura apabila keadaan memaksa.

JALAN KIAN MENYIMPANG
PROLOG GESTAPU

Menjelang 1965, ketegangan dan konflik mewarnai iklim sosial dan politik di Indonesia. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949, Indonesia mencoba menjalankan sistem pemerintahan liberal antara 1950-1959. eksprimen ini dianggap gagal oleh Sukarno, sang bapak bangsa, maupun oleh tentara.

Parameternya, tak satu pun partai mampu memerintah cukup lama tanpa dijatuhkan oleh partai lain. Pemerintahan yang terlama bertahan tidak lebih dari dua tahun. Salah satu penyebabnya, tidak ada partai mayoritas di Parlemen. Empat partai besar PNI (Partai nasional Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), dan PKI (Partai Komunis Indonesia), memiliki jumlah kursi yang hampir sama di Parlemen.

Dengan persepsi itu, Sukarno, didukung oleh tentara, mengumumkan sistem pemerintahan baru yang disebut Demokrasi Terpimpin pada 1959. berpusat pada Sukarno, sistem ini berlandaskan pada dua pilar kekuasaan politik, AD dan PKI. Dalam sistem ini, Sukarno harus selalu menjaga keseimbangan kekuasaan kedua pilar tersebut.

Sebagai kelompok profesional, militer tidak memiliki kontrol secara langsung terhadap PKI. Sebaliknya, PKI, melalui strategi yang dikenal dengan Kerja di kalangan Musuh (KKM), menyusup ke hampir semua sektor politik yang strategis, termasuk militer.

Di bawah Demokrasi Terpimpin, Sukarno membawa Indonesia ke kiri. Di dalam negeri, ia menerapkan kebijakan Nasakomisasi untuk melebur tiga kelompok sosial politik yang dianggapnya sebagai akar-akar seluruh kekuatan politik. Ketiga kelompok tersebut adalah Nas-ionalis, A-gama, Kom-unis.

Sukarno memimpikan ketiga kelompok ini memajukan Indonesia raya. Sebagai kebijakan, atau sebagai ideologi sebagaimana diajukan oleh Sukarno. Nasakom ditafsirkan secara luas, mulai dari persepsi bahwa Nasakom merupakan campuran dari ketiga sifat yang harus menjadi kepribadian setiap orang, hingga pandangan bahwa Nasakom merupakan pemilahan secara formal atas tiga partai politik yang membawa masing-masing sifat. Di atas kerta, konsep Nasakom berjalan baik. Tetapi, di dalam praktik, Nasakom menghasilkan situasi yang kacau.

Di panggung internasional, Sukarno mengarahkan Indonesia untuk mengejar posisi sebagai pemimpin dunia baru yang berbeda dari Blok Barat dan Blok Komunis. Tetapi, dalam kenyataan, Indonesia cenderung ke Blpk Komunis, ke Republik Rakyat Cina (RRC), setelah terjadi perpecahan ideologis antara Uni Soviet dan RRC. Mengikuti kecenderungan ini, Indonesia berjuang menentang kekuatan Nekolim (Neokolonialisme dan Imperialisme) yang tamak.

Dua tugas, dari beberapa tugas yang diemban oleh indonesia, adalah membebaskan irian Barat dari kekuasaan Belanda serta menghancurkan Malaysia, yang dilihat sebagai negara boneka buatan Inggris. Untuk melaksanakan tugas yang disebut terakhir, Sukarno melancarkan Politik Konfrontasi sejalan dengan perjuangan militer dan diplomatik untuk membebaskan Irian Barat.

Secara umum, kebijakan luar negeri Indonesia ditetapkan untuk melakukan manuver di antara para pemain besar, yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet, dan RRC. Dua implikasi langsung terhadap kehidupan di dalam negeri atas kebijakan ini adalah bertambah luasnya gerak PKI, yang kini lebih dekat ke Beijing, serta semakin besarnya perhatian Amerika Serikat terhadap peristiwa-peristiwa dalam negeri Indonesia.

Selama Demokrasi Terpimpin, pandangan para diplomat dan politisi di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat terpecah. Sebagian ingin berperan aktif menentang Sukarno, sementara yang lain yakin bahwa tidak terlibat langsung dalam politik dalam negeri Indonesia dan menjaga keterlibatan yang minimal merupakan kebijakan terbaik.

Kurang dari kuartal pertama dekade 1960-an, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memutuskan untuk membuang, paling tidak sebagian, gagasan untuk mendukung unsur-unsur penentang Sukarno, termasuk memasok persenjataan bagi pemberontak PRRI/Permesta. Dalam suasana ketika revolusi diterjemahkan secara populer sebagai histeria massa, kebijakan yang pertama mudah menjadikan kekuatan kapitalis sebagai kambing hitam. Inilah situasi umum hubungan Indonesia dan Amerika Serikat menjelang Peristiwa Gestapu.

Dalam perannya sebagai pemimpin dunia baru, Indonesia sangat menentang pembentukan negara Malaysia, bekas koloni Inggris. Politik Konfrontasi dilancarkan dengan menerjunkan Angkatan Bersenjata di sepanjang perbatasan. Menurut pengertian tradisional, kebijakan luar negeri adalah cermin dari situasi politik di dalam negeri. Dengan demikian, Politik Konfrontasi dapat ditafsirkan sebagai upaya sistematis da keberhasilan PKI menyingkirkan kekuatan AD dari Jakarta dan Jawa Timur.

Tanpa kehadiran pasukan yang paling kuat di Jakarta dan Jawa itu, PKI memiliki ruang manuver yang lebih besar. Dalam situasi ini, PKI meningkatkan tekanannya terhadap Sukarno untuk membentuk Angkatan Kelima, militerisasi di kalangan petani dan pemuda. Meskipun disokong oleh AU, gagasan ini tidak pernah terwujud karena AD menolak. Selain itu, terlalu riskan bagi Sukarno untuk mewujudkan usulan tersebut sebagai kebijakan. Jadi, saat terjadinya Peristiwa Gestapu, PKI sebenarnya sama sekali tidak memiliki aparat militer maupun paramiliter.

Sukarno, yang tidak pernah menjadi tentara atau terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda, meski di bawah Undang Undang Dasar ia adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, secara ideologis semakin condong pada komunisme. Ia yakin bahwa AD, setidaknya sebagian jenderalnya, merupakan ancaman yang nyata bagi dirinya sebagai presiden, sekalipun hampir mustahil bagi kekuatan-kekuatan politik saat itu untuk bersaing dengan kharisma Sukarno.

Ia adalah bapak pendiri bangsa yang dihormati rakyat sebagai raja yang tidak bisa berbuat salah, setidaknya secara terbuka. Pada saat yang sama, ia memiliki ideologi sendiri, Nasakom yang dirumuskan pada awal 1924. Situasi Perang Dingin tampak juga klop dengan keyakinannya tentang jalannya sejarah, menyangkut kekuatan-kekuatan sejarah yang bermain dalam politik internasional, aktor-aktor yang terlibat, serta pola-pola dan kerangka konflik, baik di tingkat internasional maupun nasional.

Tetapi, sebagai pemimpin kharismatik yang bertipe solidarity maker (penggalang solidaritas), Sukarno gagal mengelola negara secara efektif, dalam pengertian ekonomi dan administrasi. Ia ditelan oleh visinya sendiri tentang revolusi yang tak pernah selesai, oleh slogan politik sebagai panglima, sehingga struktur politik yang dibangunnya runtuh menjadi puing-puing yang disebut Orde Lama.

DI BELAKANG LAYAR KONFRONTASI
Operasi Dwikora adalah operasi yang dimaksudkan sebagai konfrontasi terhadap Malaysia, sebuah negara federasi yang didirikan 16 September 1963, mencakup Malaya (Persekutuan Tanah Melayu) yang terletak di Semenanjung dan Singapura yang adalah sebuah pulau di sebelah selatannya serta Sabah dan Serawak yang terletak di Kalimantan bagian Utara.

Semula, Brunai juga akan bergabung, namun batal dan kemudian hari menjadi Kesultanan Brunai Darussalam yang merdeka dan berdiri sendiri. Pada waktu itu, Sabah, Serawak dan Brunai masih merupakan koloni Inggris.

Gagasan pembentukan Federasi Malaysia adalah bagian dari rencana Inggris memenuhi permintaan memerdekakan ketiga wilayah yang terletak di bagian utara Kalimantan tersebut. Namun Inggris mensyaratkan agar bekas koloninya itu setelah bergabung dalam federasi Malaysia tetap menjadi anggota Negara-negara Persemakmuran, dan dengan demikian berada dalam payung perlindungan ekonomi dan keamanan dari Inggris.

Satu dan lain hal, ini semua masih terkait dengan suasana perang dingin antara blok barat dan blok timur kala itu. Sukarno melontarkan tuduhan bahwa federasi itu adalah bentukan Inggris dan tak lain merupakan proyek neokolonialisme (Nekolim). Hanya selang sehari setelah tuduhan bahwa federasi itu adalah bentukan Inggris dan tak lain merupakan proyek Nekolim (Neo Kolonialisme).

Hanya selang sehari setelah pengumuman pembentukan Federasi Malaysia, massa yang dipelopori kelompok politik kiri, namun diikuti pula oleh kelompok politik yang tak berpendirian jelas dan oportunistik, meskipun tidak merupakan barisan PKI dan onderbouwnya, melakukan demonstrasi besar-besaran ke Kedutaan Besar Inggris dan Persekutuan Tanah Melayu. Kedutaan Besar Inggris dirusak dan dibakar. Bersamaan dengan itu Deplu yang dipimpin dr Subandrio mengumumkan emutusan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur (Persekutuan Tanah Melayu).

Subandrio juga membawahi Badan Pusat Intelijen (BPI) adalah pendorong utama bagi Sukarno dalam konfrontasi terhadap Malaysia. Beberapa kegiatan bawah tanah yang dijalankannya dengan kelompok politik kiri Indonesia dan kaum komunis di Malaya, Singapura, Brunai dan Serawak maupun Sabah, telah menutup peluang tercapainya suatu hasil damai jangka panjang melalui diplomasi.
Padahal suatu pembicaraan mengenai rencana Federasi Malaysia telah dilakukan oleh Presiden Sukarno dengan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu Tungku Abdul Rahman di Tokyo 31 Mei sampai 1 Juni 1963 dan sebenarnya sempat menciptakan peredaan ketegangan. Pertemuan Tokyo ini disusul pertemuan segitiga tingkat menteri luar negeri antara Jakarta, Kuala Lumpur dan Manila, di mana Manila terlibat ada kepentingan penyelesaian damai karena mempunyai klaim terhadap Sabah, yang mencari solusi mengenai rencana Federasi Malaysia tersebut 7-11 Juni 1963 di Manila.

Manuver Subandrio, berupa operasi intelijen dan sejumlah operasi bawah tanah lainnya yang dijalankan sejak awal 1963, tingal menunggu waktu untuk menjadi batu sandungan, begitu manuver-manuver dan operasi intelijen itu yang mengarah sebagai subversi menurut sudut pandang Malaya terungkap ke permukaan.

Ketika manuver-manuver Subandrio tetap melanjut selama sebulan berikutnya, dan tercium, Tungku Abdul Rahman membalas dalam bentuk tindakan menandatangani perjanjian awal dengan Inggris di London tentang pembentukan Federasi Malaysia yang akan dilaksanakan 31 Agustus 1963. Tindakan Tungku ini memicu kemarahan Sukarno yang baru saja di awal Juni berunding dengan pemimpin Malaya itu.

Tetapi rencana Konferensi Tingkat Tinggi tiga negara di Manila tetap dilangsungkan pada Juli-Agustus dan berhasil menetapkan sejumlah kesepakatan serta berhasil mengajak Sekjen PBB U-Thant menjadi penengah dan membentuk tim pengumpul pendapat aspirasi rakyat wilayah itu mengenai gagasan Federasi Malaysia.

Tim ini dipimpin oleh seorang diplomat Amerika Serikat yang belum berhasil merampungkan tugasnya tatkala pembentukan Federasi Malaysia diumumkan pertengahan September 1963. Bahkan pada 1964 setelah Sukarno mencanangkan Dwikora, perundingan tingkat tinggi tiga negara tetap dicoba dilaksanakan namun tanpa hasil.

Cukup menarik untuk diketahui bahwa bahkan Subandrio pun pada mulanya sebenarnya tidak bersikap memusuhi tatkala gagasan pembentukan Federasi Malaysia dicetuskan. Pemimpin-pemimpin Malaya dan Inggris menyampaikan proposal mengenai Malaysia itu 27 Mei 1961. Baik Sukarno maupun Subandrio masih menunjukkan sikap tidak berkeberatan terhadap konsep Federasi Malaysia, dan jelas jauh lebih memperhatikan masalah Irian Barat yang sedang dihadapi. Siakp baik ini bertahan hingga setahun lebih.

Dalam suatu pernyataannya di Jakarta, Oktober 1962, Subandrio malah mengatakan bahwa Indonesia samasekali tidak punya masalah dan klaim terhadap wilayah-wilayah utara Kalimantan Indonesia yang membentang berlekak-liku dari timur laut menuju barat daya, sepanjang kurang lebih 1780 kilometer dan memiliki bersama Pegunungan Iban dan Pegunungan Kapuas. Akan tetapi semua ini berubah dalam sekejap dua bulan kemudian.

Menjelang akhir 1962, seorang tokoh politik beraliran kiri dari Brunai, AM Azahari bin Sjech Mahmud, yang pernah menjadi kapten Angkatan Darat Indonesia di masa lampau dan pernah ikut dalam revolusi kemerdekaan, mencoba mengobarkan perlawanan terhadap Inggris, namun dipatahkan.

Tadinya, Partai Rakyat Brunai pimpinan Azahari berhasil memenangkan pemilihan umum pertama 1962 di Kesultanan Brunai ini dengan merebut 16 kursi perwakilan, dan sudah bersiap-siap menyusun pemerintahan baru. Akan tetapi Sultan Brunai Sir Omar Ali Syaifuddin menolak meresmikan parlemen lalu membatalkan hasil pemilihan umum, karena mendengar bahwa sanga pemenang pemilihan umum merencanakan akan menghapuskan kesultanan.

Terjadilah pemberontakan yang berhasil dipadamkan dengan bantuan militer Inggris. PKI yang mempunyai solidaritas kuat terhadap gerakan kiri itu, berhasil menjalin suatu ‘persamaan’ bawah permukaan Soebandrio untuk mengorganisir dukungan bagi Azahari dan kawan-kawan. Sebenarnya Azahari pun sempat meminta dukungan Jenderal Nasution, namun suportasi yanng bisa diberikan Nasution agak terbatas.

Salah satu dukungan Nasution adalah berupa pengiriman tiga instruktur, perwira muda dari RPKAD, untuk melatih pasukan Azahari di perbatasan. Belakangan terlihat bahwa Soebandrio lah yang lebih antusias dan memberikan dukungan yang lebih besar. Awal 1963, mendadak Soebandrio gencar memberikan masukan dan dorongan kepada Soekarno untuk menjalankan politik konfrontasi terhadap rencana pembentukan Federasi Malaysia tersebut.

Menurut beberapa analisis terdapat sejumlah alasan mengapa suatu politik konfrontasi perlu dijalankan terhadap Malaysia. Bagi PKI, tentunya gerakan kiri Azahari itu memang merupakan ‘keharusan’ untuk didukung, namun yang lebih penting lagi perlu pengalihan perhatian terhadap keberhasilan militer, khususnya Angkatan Darat dan para Jenderal, menjalankan fungsi tekanan kekuatan militer dalam penyelesaian masalah Irian Barat.

Soebandrio mempunyai kepentingan yang sama, selain itu banyak bersilang jalan dan kepentingan para jenderal AD selama operasi Trikora berlangsung, juga karena upayanya untuk membentuk opini bahwa penyelesaian Irian Barat adalah terutama hasil diplomasi luar negeri telah gagal.

Bila tergalang solidaritas dan terjadi konfrontasi terbuka terhadap rencana Federasi Malaysia, akan tercipta momentum politik bagi PKI, sekaligus terciptanya situasi fait accompli bagi militer, khususnya Angkatan Darat yang melihat tak adanya alasan spesifik, seperti halnya dengan masalah Irian Barat, dan masuk akal untuk suatu konfontasi dengan tetangga serumpun itu dan Inggris.

Pihak militer, meskipun mulanya merasa agak terfait accompli, akhirnya mencari dan menemukan celah yang lebih baik pada masalah konfrontasi. Penghapusan tuntas SOB pada kwartal pertama 1963, potensil melemahkan posisi dan peran militer, namun adanya konfrontasi yang bagaimanapun juga membutuhkan unur militer, telah menciptakan celah baru bagi suatu peran memadai.

Nyatanya, terlihat kemudian Yani maupun Nasution banyak mendapat peran-peran signifikan dalam rangka Dwikora. Juni 1964, Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani, berangkat ke Moskow dalm suatu misi untuk memperoleh persenjataan baru dengan teknologi lebih tinggi bagi keperluan Dwikora, di antaranya membeli peluru-peluru kendali. Misi ini tidak berhasil memperoleh apa yang diharapkan.

September, Soekarno meminta Nasution melanjutkan misi Yani itu. Bahkan tatkala Nasution berada di Moskow, Soekarno menyusul ke sana. Misi Nasution berhasil memperoleh persetujuan dari PM Kruschev, walau ia ini sempat menyentil tidak lancarnya Indonesia membayar utang-utang terdahulu. Akhirnya Jenderal Nasution mendatangkan suatu perjanjian baru membeli senjata dengan Marsekal Gretsko.

Tapi sekitar seminggu kemudian, Kruschev disingkirkan dari kekuasaan oleh Breshnev dan kawan-kawan. Nasution mencatat, bahwa sewaktu diadakan jamuan makan malam balasan oleh Soekarno bagi Kepala Negara Sovjet dan pemimpin Sovjet lainnya, yang tidak dihadiri Kruschev yang sedang berlibur bersama keluarga. Breshnev Yang saat itu adalah orang kedua memang berlaku agak aneh, lebih banyak diam sepanjang acara seolah-olah pikirannya ada di tempat lain.

Di luar kaitan masalah militer sementara itu, keadaan ekonomi yang makin memburuk secara luar biasa, kembali memerlukan pengalihan perhatian rakyat, setelah selesainya gerakan pembebasan Irian Barat. Alasan yang terakhir ini, diakui atau tidak, faktual menjadi kebutuhan Sukarno.

Apapun, Subandrio berhasil membangkitkan Sukarno yang memang selalu menempatkan diri di barisan depan gerakan anti neo kolonialisme dan neo imperialisme, untuk kembali berada di garis depan dan lebih dalam melawan barat. Kendati mulai bersuara keras terhadap rencana Federasi Malaysia, dan juga terhadap Tungku Abdul rahman, Sukarno masih ada kesediaan menuju meja perundingan di 1963 itu, setidaknya sampai Agustus 1963.

PKI dan Subandrio betul-betul memanfaatkan gerakan kiri Azahari yang menginginkan mengenyahkan Inggris. PKI menyampaikan retorika, bahwa gerakan Azahari adalah gerakan rakyat untuk mengusir kaum kolonial dari tanah air mereka, maka harus didukung oleh semua kaum revolusioner yang anti kolonialisme dan imperialisme.

Sementara itu di bawah permukaan, PKI dengan kuat mensupport Subandrio yang mengerahkan BPI untuk menjalankan sejumlah operasi intelijen. PKI dan Subandrio menampung sejumlah pelarian yang melintas perbatasan ke wilayah Indonesia karena menghindari penangkapan setelah gagalnya gerakan Azahari. Pelarian-pelarian ini umumnya adalah dari etnis Cina yang berideologi komunis.

Di Serawak terdapat hampir 300 ribu etnis Cina dari sekitar 800 ribuan penduduk, sedang di Sabah ada kurang lebih 100-150 ribu etnis Cina di antara sekitar 500 ribuan penduduk. Kebanyakan dari mereka adalah anggota partai dan organisasi-organisasi politik komunis, serta amat militan. Atas perintah Subandrio, BPI merekrut puluhan dari pelarian militan ini, lalu diam-diam membawa mereka ke Jawa dan memberi mereka latihan militer yang cukup keras di bawah instruktur-instruktur combatan dari unsur Angkatan kepolisian di Bogor.

Hal ini tak sulit dilakukan karena Kepala BPI adalah seorang perwira kepolisian, yakni Brigjen Soetarto. Mereka yang telah dilatih di Bogor ini, dikembalikan ke perbatasan Serawak, dan melatih lagi puluhan lainnya pelarian, termasuk sejumlah wanita, sebagai gerilayawan dengan kemampuan militer. Mereka inilah yang kemudian merupakan cikal bakal PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) yang mulai bergerak kembali ke Serawak dan menjalankan aksi gerilya sejak pertengahan 1963.

Subandrio juga memberi dorongan dan kesempatan kepada Azahari dan pengikut-pengikutnya membentuk Kabinet Kalimantan Utara dalam pengasingan di wilayah Indonesia. Seluruh anggota kabinet ini adalah golongan kiri di Kalimantan Utara. Tetapi ada seorang di antaranya, yang diangkat sebagai Menteri Pertahanan bernama Abang Kifli, ternyata tidak berideologi kiri. Ia ini pernah bermukim sebagai imigran di Indonesia dan bahkan bekerja untuk pemerintah Indonesia di departemen agama.

Ia mempunyai sejarah hubungan buruk dengan Subandrio dan dianggap oleh yang disebut belakangan ini sebagai musuh politiknya. Mengetahui latar belakang Abang Kifli yang sempat dinobatkan dengan pangkat Letnan Jenderal selaku Menteri Pertahanan, Subandrio memerintahkan BPI agar membawa Kifli ke perbatasan untuk ikut suatu operasi penyusupan Operasi A ke wilayah Kalimantan Utara. Namun dengan alasan ada tugas penting di Jakarta ia kembali ke ibukota negara. Ia dianggap melakukan desersi dan segera dicopot dari Kabinet Kalimantan Utara, lalu ditahan beberapa bulan sampai dilepaskan kembali.

Tampaknya Jenderal Nasution berperan membantunya keluar dari penahanan. Tak lama setelah lepas dari penahanan, ia dengan segera ke Kedutaan Besar Filipina di Jakarta untuk meminta suaka. Subandrio memerintahkan BPI menjerat kembali Kifli yang sebenarnya aman dalam pagar kekebalan diplomatik Kedutaan Besar Filipina. Abang Kifli lalu disekap sampai berakhirnya konfrontasi pada masa kekuasaan baru di Indonesia.

Operasi A adalah operasi penyusupan ke wilayah semenanjung maupun Kalimantan Utara. Operasi ini meniru yang pernah dilakukan pada masa Trikora pembebasan Irian Barat. Dalam mempersiapkan operasi ini, dengan bantuan PKI, sejumlah anggota organisasi kiri di Malaya dan Singapura, diberi isyarat untuk masuk ke Indonesia. Mereka datang dengan penerbangan-penerbangan komersial ke Jakarta dan disambut oleh beberapa perwira polisi dan anggota BPI untuk dibawa keluar Bandar Udara Kemayoran tanpa melalui pintu imigrasi.

Mereka ditampung di sebuah tempat di Jakarta Timur bersama ratusan sukarelawan yang berasal dari berbagai tempat di Indonesia. Selanjutnya mereka diangkut ke tempat pelatihan paramiliter di Sukabumi. Juli itu juga tampaknya apa yang dilakukan BPI itu sejak pelatihan untuk PGRS sampai upaya persiapan Operasi A ini, telah tercium oleh Inggris dan Malaya.

Pada 9 Juli Tungku Abdul Rahman menandatangani persetujuan pembentukan Federasi Malaysia. Karena perkembangan baru tersebut pada Juli itu persiapan Operasi A makin dimatangkan. Masalah yang dihadapi oleh Angkatan Darat, tidak semata-mata penyusupan dari kekuatan politik, khususnya dari PKI, serta dilema terkait masalah Dwikora. Belakangan muncul pula tudingan adanya hubungan CIA dengan AD terkait Dokumen Gilchrist melalui istilah our local army friends serta tudingan adanya Dewan Jenderal yang berniat mengambilalih kekuasaan dari tangan Sukarno. Masalah lainnya persoalan Angkatan Kelima.

KRISIS TIONGHOA KALIMANTAN BARAT
* PERANAN PKI KALIMANTAN BARAT

Sejak awal 1960, Centeral Daerah Besar Partai Komunis Indonesia (PKI) Kalimantan Barat berkembang pesat, setelah SA Sofyan menggantikan kedudukan Bambang Soemitro, terutama di kalangan Cina, baik asing maupun peranakan. Bambang Soemitro digeser karena jalan pikirannya berlawanan dengan Sofyan yang lebih menitik beratkan landasannya kepada masyarakat Cina yang potensial dalam bidang ekonomi dan perdagangan.

Sedangkan Bambang Soemitro sendiri yang pro Moskow melihat masyarakat Melayu dan Dayak harus dirangkul, paling tidak kedua masyarakat ini diletakkan pada posisi simpati pada PKI.Sofyan memegang strategi Mao dalam pembinaan golongan Cina di Kalimantan Barat. Ia melihat persetujuan Republik Indonesia—RRT tentang kewarganegaraan tidak lagi merupakan ganda kewarganegaraan, melainkan harus memilih satu di antara dua kebangsaan.

PKI melihat bahwa persetujuan itu membuka kesempatan dan ada celah-celah yang harus digarap untuk mengembangkan faham komunis di kalangan penduduk Cina, tidak penting apakah mereka asing atau peranakan.

Bahkan kemudian CDB PKI Kalimantan Barat membentuk Lembaga Pendidikan Nasional, mengambi alih pengelolaan Surat Kabar Lee Ming Pao, dan fungsionaris partai sengaja menonjolkan kalangan pedagang terkemuka Cina, antara lain Tan Bun Kiat, The Bu Kiat dan Phang Sen Nen. Sedangkan Barisan Pemuda dipimpin Djen Min Tjhin, Lim Bak Sun dan Nyin Min Tjoan.

Kegiatan politik PKI tidak hanya dilakukan dalam masyarakat keturunan, akan tetapi juga mereka pun berhasil mengirim wakilnya dalam DPRD hasil Pemilu 1955 yang dianalogkan untuk Propinsi Kalimantan Barat. Di DPRD Propinsi meraih dua kursi, sedangkan di Kabupaten Sambas mereka memperoleh dua kursi pula.

Sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan, PKI memperoleh keuntungan besar, sebab dengan dwi-kewarganegaraan pada Hoakiau dapat dimanfaatkan sebesarnya sebagai basis untuk perjuangannya, baik dari perekonomian maupun politis.

Tindak tanduk PKI dan ditunjang Cung Hua Kung Hui semakin jauh, terlebih dengan terbentuknya jaringan Baperki, Lekra, BTI, PR dan Gerwani. Basis terbesar terutama di Singkawang. Saat berlangsung konfrontasi dengan Malaysia, Juli 1963 datang ke Kalimantan Barat dari Sarawak pimpinan Sarawak Communist Organization (SCO) dipimpin Ling Hok Kwee (Lim Yen Kwa), yang kemudian disusul sekitar 850 orang yang tergabung dalam SUPP, suatu partai politik legal yang dasarnya non-komunis namun telah disusupi SCO.

Untuk kepentingan konfrontasi, oleh militer mereka ini dipersenjatai dan memperoleh latihan kemiliteran. Dalam perkembangan kemudian, dua pasukan tempur yang dibentuk oleh militer Indonesia dalam rangka ganyang Malaysia, menjelma sebagai PGRS dan Paraku. Keduanya menempati daerah pedalaman Sungkung hingga Benua Martinus.

Di Sungkung dan Benua Martinus, pasukan yang datang dari sarawak ini mengorganisir diri dengan menjalin hubungan dekat dengan anasir PKI Kalimantan Barat, di mana partai ini paling berhasyrat mendukung dilakukannya konfrontasi Malaysia. Untuk menampung kedatangan pelarian Cina yang berhaluan komunis dari sarawak, CHKH mengupayakan penampungan.

Ternyata bukan sebatas itu saja, mereka yang disebutkan terakhir ini adalah PGRS Combattant, yang dipimpin antara lain Tjhai Swi Sen, Tan Tjeng Kwan dan Lim Yen Hwa yang semuanya dari SCO dengan markas di Roban Singkawang.

Kedatangan atau pelarian Cina yang berhaluan komunis dalam jumlah cukup besar, terutama di Kabupaten Sambas ketika itu, setelah mereka diperangi pasukan Inggris di Sarawak. Pimpinan SCO dan SUPP Lan Ching Djik, Chin Fang How, Chang Thek Chen, Cin Han Pin di bawah komando Ling Hok Hwe untuk menghindari perburuan militer, mereka menyamar dengan membaur pada masyarakat lokal.

Dalam keadaan perburuan oleh militer di Malaysia itu, CDB PKI Kalimantan Barat segera memanfaatkan peluang dengan menggaet para pemuka komunis Sarawak dalam pelarian di Kalimantan Barat itu. Dalam taktisnya, PKI menempatkan Liu Chen Fui dan Liu Nyat Siong untuk memimpin satu organisasi baru yang dibina CDB PKI Kalimantan Barat, Khau Yen, sebagai wadah berhimpun para guru asing di Singkawang, Bengkayang dan Pontianak. Anggotanya tak kurang dari 545 orang yang semuanya membaur dalam CDB PKI dan CHKH.
Jauh sebelum meletusnya percobaan kudeta 30 September 1964, di kawasan perbatasan Sambas dan Sarawak sebetulnya telah tumbuh bibit organisasi rakyat yang berhaluan komunis yang di antara pemukanya seperti Lim Ten San, seorang yang datang dari Tiongkok dan bermukim di daerah ini 1949. Lim Tet San segera mengadakan hubungan dekat dengan PKI Kalimantan Barat, terutama yang ada di sambas. Keberadaannya kemudian lebih meyakinkan, dengan kehadiran pelarian politik dari Singapura Tjhay Swie Sen.

Dari dua orang inilah kemudian menghimpun masyarakat Cina di daerah ini yang menolak kewarganegaraan Indonesia untuk berhimpun di dalam beberapa organisasi yang semuanya berhaluan komunis. Di antaranya organisasi perburuhan atau Lee Kung Fui dipimpin Lim Ju Kang dan Tjeng Pe Luk, gerakan pemuda dipimpin Lie Tjen San, Hie Muk Lin, Tjhia Hok Kin, Ma Tjiu Kim dan Lim Djoe Kang sendiri, bagian kesenian atau Khau Djiu Fui, penghubung masyarakat atau Sian Tjen Pau yang dipimpin Saw Lip Nyan, Lie Muk Lin dan Lay Pen Tjiu. Gerakan wanita atau Fung Fui dipimpin Siaw Nyat Moi, Liau Ci Ngo, Tjhin Lie Ha dan Kok Moi Lian, serta organisasi Sie Min Hui yang dikendalikan Nga Kim Hiong dan Tjhin Ten Fa.

Pada waktu meletusnya gerakan lokal 1957 dalam PRRI ataupun Permesta, gerakan Cina di Kalimantan Barat yang ikut terlibat, terutama yang non-komunis, dilarang pemerintah, sehingga kondisi ini dimanfaatkan oleh masyarakat Cina yang berhaluan komunis. Saiuw Giok Chan anggota parlemen, pimpinan media Harian Rakyat dan Ketua Baperki saat itu mengutus seorang anggotanya untuk menyertai kunjungan pimpinan CC PKI DN Aidit ke Kalimantan Barat.

Aidit dalam kunjungan itu, dikuatkan dengan utusan Siauw Giok Chan, mengadakan pembicaraan dengan Tjhin Siang Min dan Bonh Tjhin Tung dalam memobilisasi massa komunis Kalimantan Barat khususnya dari kalangan masyarakat Cina.

Dalam perkembangan kemudian, dalam suatu pertemuan khusus orang-orang komunis antaranya Sofyan, Soekotjo, Tan Bun Hiap, Huan Han, Lim Ten Hwa, Sofyan alias Heru mendapat kepercayaan sebagai komandan militer dengan membentuk pasukan bersenjata dengan anggota sekitar 150 orang. Organisasi yang dibentuk ini layaknya organisasi militer, ditata sedemikian rupa. Untuk kepentingan logistik, CDB PKI Kalimantan Barat menggariskan masyarakat Cina untuk memberikan supply mereka.

April 1965, aktifitas PKI Kalimantan barat semakin meningkat. Untuk memperkuat posisi keberadaannya, segera dibentuk Komite Kota di Singkawang dengan koordinator The Bu Kiat alias Wang Min, fungsi Komite Kota adalah untuk merekrut anggota baru PKI dan mengorganisir masyarakat Cina untuk dilibatkan di dalamnya.

Dalam Komite Kota ini, disusun kekuatan dari masyarakat Cina untuk hubungan kota dan desa. Di daerah pedesaan Singkawang, Mempawah dan Pontianak, hingga Sebalo, Ponti, Angsang, Darit, Sompak, Meranti, Perigi, Tikalong, Sangking dan Bong Pin San disusun dalam Bara atau Barisan Rakyat dengan dipimpin Hin Pin.

Mayoritas anggotanya adalah masyarakat Cina di kawasan tersebut. Sampai perkembangan saat itu, masyarakat Cina pedesaan Kalimantan Barat hanya tahu kalau mereka direkrut semata untuk melaksanakan konfrontasi terhadap Malaysia, bukan untuk maksud dan tujuan lain. Kemudian masyarakat yang sudah direkrut itu memperoleh latihan kemiliteran di bawah koordinasi Min Pin atau Pasukan Rakyat, Fung Khiun atau Tentara Merah, Fung Liung atau Naga Merah dan Jiu Khi Toui atau Pasukan Inti. Mayoritas anggotanya adalah masyarakat Cina, khususnya para pemuda.

Dalam latihan kemiliteran, yang ditujukan untuk konfrontasi Malaysia, mereka juga diindoktrinasi ajaran Mao. Dalam latihan kemiliteran, mereka memperoleh perlindungan bahkan pembinaan dari Pangkopur MS Soepardjo yang berkedudukan di Bengkayang. Semenjak berlangsungnya konfrontasi dengan Malaysia, hubungan antara Gerakan Cina Komunis dan PGRS di daerah pedalaman bertambah erat karena hubungan politik dan faktor persamaan rasial.

Soepardjo adalah Panglima Komando Tempur Mandau Kalimantan Barat bermarkas di Bengkayang. Ia sangat akrab dengan Sofyan, yang kemudian mereka saling membina hubungan baik dengan Azahari proklamator Negara Kalimantan Utara.

Setelah selesai konfrontasi dengan Malaysia dan gagalnya percobaan kudeta Oktober 1965 atau gerakan 30 September 1965, seluruh gembong yang terkait komunis ditangkapi. Namun di lain pihak gerakan Cina Komunis justru meningkat di daerah perbatasan. Mereka yang berada di perkotaan mengalirkan bahan pokok makanan untuk konsumsi gerekan, sementara cadangan di pedesaan menipis.

Sepanjang laporan yang diketahui, pada 16 Juli 1967 dinihari gerombolan Cina komunis melakukan serangan terhadap gudang senjata Angkatan Udara di Pangkalan Udara Sanggau ledo Singkawang. Peristiwa itu terjadi saat konfrontasi Malaysia sudah mengendor dan mendekati tercapainya normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia. Kenyataan itu sangat menggelisahkan kalangan CDB PKI Kalimantan barat dan PGRS dan Paraku yang direkrutnya. Posisi mereka terjepit oleh dua kekuatan militer, dari Indonesia dan Malaysia, di mana Inggris dan Gurkha melakukan perburuan terus menerus terhadap gerombolan PGRS dan Paraku.

Bagi mereka tidak ada pilihan lain kecuali melakukan serangan ke basis pertahanan Angkatan Udara. Dengan begitu pada dinihari terjadi serangan yang dilakukan pasukan PGRS dengan kekuatan satu kompi dipimpin Ya Lie dengan bantuan penduduk Cina terdekat. Saat itu pertahanan Lanud berkekuatan 65 orang dengan persenjataan minim. Dalam serangan itu tewas empat orang prajurit Indonesia, Sersan Udara Soedirman, Pratu Soewardi, Prada A Soetiono dan seorang sipil Marzoeki.

Sampai pertengahan 1965, di antara 8 partai politik yang ada di Kalimantan Barat, Partai Komunis Indonesia merupakan salah satu yang cukup menonjol. Faktor utama yang mengantarkan partai ini cukup mengemuka adalah sejak berlangsungnya konfrontasi Malaysia, di mana di bawah kepemimpinan Sofyan, CDB PKI Kalimantan Barat memanfaatkan isu rasial berhasil merekrut kalangan Cina di daerah ini.

Kondisi politik di mana Indonesia mengakui keberadaan Negara Kalimantan Utara yang diproklamirkan Azahari, menjadikan daerah ini sebagai basis pelarian kaum komunis Cina setelah berakhirnya politik ganyang Malaysia.

Susunan Comite Daerah Besar PKI Kalimantan Barat ketika itu terdiri dari ketua SA Sofyan, wakil ketua Kemek M Said, sekretaris Saadi Abdullah. Pimpinan Harian Politik antara lain Sofyan, kemek M Said, Saadi Abdullah, Rudjianto, Heri Soemarso, Phang Zen Nen, Bambang Soemitro, Rasmo dan Daud Kasim. Dewan Pleno terdiri dari Sofyan, Kemek M Said, Saadi Abdullah, Rudjianto, Phang Zen nen, Heri Soemarso, Rasmo, Daud Kasim, M Thaha, Nanang Basoeki, Soekotjo, Soetojo, Heri Soeparno, Tan Boen Hian, The Boe Kiat, Go Tjuk Tjoeng, Soedjitni, Saad Diman, Koesbandi, M Tajid, Soeranto, Meradjang, Chairoeddin dan saidin Djoeang. Dibentuk pula Biro Sekretariat terdiri dari Saadi Abdullah, Hery Soemarso, Soekotjo, Rasmo, Hery Soeparno, Phang Zen Nen dan Saidin Djoeang.

Mengenai pelarian Cina komunis dari Sarawak, pembiayaan mereka ditanggung oleh Tjoe The Tjin seorang dari CC PKI di Jakarta yang juga aktif dalam Baperki didukung Phang Zen Nen tokoh Baperki dan CHKH Kalimantan Barat. Dalam persiapan kudeta September 1965, CDB PKI Kalimantan Barat mengirim Thaha dan Nasir untuk dibina dalam latihan di Lubang Buaya Jakarta.

Pagi 1 Oktober 1965 sekitar pukul 10 Sofyan mendatangi kantor CDB PKI di Jalan penjara Pontianak, di mana ia menyampaikan berita tentang kudeta 30 September 1965 yang diperolehnya dari Djokosoedjono. Dengan begitu, Sofyan berusaha maksimal untuk menyusun Dewan Revolusi Kalimantan Barat, di mana sempat tersusun Panglima Militer SA Sofyan, Kemek M Said Wakil Panglima Militer, Gubernur Kalimantan Barat Saadi Abdullah dan Walikota Pontianak Hary Soeparno.

Bahkan juga dari Punggur dan beberapa desa lain di sekitar Pontianak BTI, Baperki, Gerwani dan Pemuda Rakyat mendesak pimpinan CDB PKI Kalimantan Barat untuk melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh antikomunis.

Setelah diberangusnya PKI 1966, sejumlah tokoh disebutkan tadi diburu satu persatu, kecuali Sofyan yang paling akhir diburu dan tewas di tangan militer pada 1974. sejumlah tokoh PKI yang diwajibkan lapor dan dalam pengawasan Pepelrada Kalimantan Barat di antaranya Bambang Soemitro, Rasmo, Thaha, Sim Kian Thin, Suparsih, Tinem, Nainggolan, Kho Tian Sin, Soetojo, dr Lim Kiong Wan dan Ir Silitonga, mereka masing-masing dari organ PKI Kalimantan Barat di dalam CDB, Sobsi, PR, Gerwani, CGMI, Lekra, BTI dan HSR.

Dalam batang tubuh CDB PKI Kalimantan Barat dapat dilihat peranan yang dilakukan Tan Bun Hiap dan Phang Zen Nen dan lainnya yang merupakan tokoh masyarakat Cina yang bertanggung jawab atas pembiayaan kegiatan CDB PKI. Setelah normalisasi Indonesia—Malaysia dilakukan, konfrontasi serta pengganyangan berbalik kepada gerombolan Cina komunis yang belakangan bergabung dalam PKI, PGRS, Paraku, SUPP dan TNKU.

POGROM TIONGHOA KALIMANTAN BARAT
Badai yang mengguncang orang Tionghoa sejak percobaan kudeta Oktober 1965 sudah hampir lewat. Tetapi, seperti yang kadang-kadang terjadi, masih ada satu hembusan keras terakhir yang terlokalisir dari angin topan yang menimbulkan kerusakan besar itu. Jelas sekali contoh terbesar dari kekerasan anti Tionghoa di indonesia setelah percobaan kudeta terjadi di Kalimantan Barat.

Jumlah orang Tionghoa yang terbunuh mencapai ratusan, dan lebih dari 50.000 orang Tionghoa mengungsi dari daerah pedalaman propinsi itu ke daerah pesisir untuk menghindarkan diri dari kekerasan yang sedang dilakukan tanpa pandang bulu kepada semua penduduk Tionghoa oleh suku Dayak. Peristiwa-peristiwa itu berlangsung pada akhir Oktober dan Nopember 1967, pada saat demikian dikemukakan, kekerasan anti Tionghoa di tempat-tempat lain di kepulauan itu sebagian besar sudah mereda.

Bahwa di Kalimantan Barat-lah sentimen anti Tionghoa itu mencapai puncaknya selama kurun waktu itu, sepintas lalu adalah mengherankan, karena pada umumnya oleh pengamat hubungan antar ras di indonesia telah dikemukakan bahwa hubungan antara suku Dayak dan orang Tionghoa pada waktu lalu adalah baik. Kalaupun terjadi, pertentangan kesukuan cenderung untuk mempersatukan kedua kelompok ini terhadap suku Melayu di daerah pesisir dan terhadap orang Indonesia dari pulau-pulau lainnya, seperti misalnya orang Jawa.

Langkah apakah peristiwa-peristiwa Oktober dan Nopember 1967 itu merupakan perluasan dari kekerasan anti Tionghoa di tempat-tempat lain yang baru sampai ke Kalimantan Barat setelah selang beberapa waktu yang disebabkan oleh isolasi relatif yang dari propinsi itu? Ada alasan kuat untuk percaya bahwa asal usul pogrom, pembunuhan besar-besaran secara terorganisasi, itu terutama bersifat lokal, dan hal itu timbul secara langsung dari konflik antara tentara dan PGRS di Kalimantan Barat.

Memang sebelumnya terdapat beberapa kehebohan anti Tionghoa di propinsi itu yang merupakan pantulan dari perkembangan di tempat-tempat lain di Indonesia. Sejak Desember 1966 terdapat laporan-laporan tentang pengusiran orang Tionghoa dan pemindahan beberapa orang lainnya ke berbagai tempat di propinsi itu sebagai persiapan untuk pemulangan mereka.

Tetapi pernyataan keinginan yang tidak menyenangkan dari para pejabat militer di Kalimantan Barat ini hanya sedikit hasilnya di tingkat pelaksanaan, dan para juru bicara pemerintah pusat telah mengesampingkan urusan mereka sendiri untuk menekankan bahwa jangkauan dari tindakan-tindakan anti Tionghoa di daerah itu sangat terbatas.

PGRS adalah warisan yang tidak diinginkan dari politik konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia. PGRS terutama terdiri dari para pemuda Tionghoa Sarawak yang mendapat latihan militer dari Angkatan Darat Indonesia sebelum ditinggalkannya konfrontasi itu. Dengan adanya perubahan pemerintahan di Indonesia dan diakhirinya konfrontasi, para pemuda Tionghoa berhaluan kiri ini bersama-sama dengan beberapa anggota militer Indonesia yang bersimpati dengan golongan kiri, sekarang mendapati dirinya berhadapan dengan pemerintah Indonesia dan malaysia.

Pangkalan mereka adalah daerah pedesaan Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Sarawak. Ini adalah daerah di mana terdapat penduduk Tionghoa pedesaan yang cukup besar jumlahnya yang dapat memberikan makanan dan informasi kepada kaum gerilyawan.

Serangan suku Dayak terhadap orang Tionghoa baru terjadi setelah gerilyawan PGRS mulai mencapai sukses besar dalam kampanye mereka. Pada kira-kira 16 Juli 1967 mereka menyerang pangkalan Angkatan Udara Indonesia di Sanggau Ledo dekat Singkawang. Menurut New China News Agency, mereka menewaskan atau melukai beberapa orang perwira dan prajurit Angkatan Udara dan merampas sejumlah besar senjata dan amunisi.

Terdapat laporan-laporan mengenai serangan gerilyawan lebih lanjut atas pasukan militer Indonesia selama beberapa bulan berikutnya, dan Angkatan Darat Indonesia merasa perlu mengirim bala bantuan ke propinsi itu, yang mencakup satu batalyon pasukan para RPKAD dan satu batalyon para lagi dari pasukan komando Kujang divisi Siliwangi.

Angkatan Darat Indonesia tentulah merasa sangat khawatir atas semakin meningkatnya kegiatan kaum gerilyawan tersebut. Mereka menghadapi situasi yang serupa dengan situasi yang dihadapi pemerintah Malaysia selama masa darurat dari 1950-an. Satu unsur utama dari keberhasilannya program kontra pemberontakan pemerintah Malaysia waktu itu adalah kebijakan pemukiman baru dari orang Tionghoa pedesaan dari daerah terpencil ke kota baru atau desa baru, sehingga dengan demikian memencilkan gerakan kaum gerilyawan dari sumber-sumber pangan dan informasi.

Jelas sekali bahwa gagasan untuk melaksanakan rencana serua di Kalimantan barat tidak dapat diterima oleh militer Indonesia, khususnya karena mereka selalu berkonsultasi dengan rekan imbang mereka dari Malaysia di Sarawak selama 1967, selagi yang tersebut belakangan sedang melaksanakan rencana pemukiman baru semacam itu di distrik Serian di Sarawak. Ketika tempo kegiatan PGRS di Kalimantan Barat meningkat, Angkatan Darat Malaysia setuju untuk memberi dukungan logistik kepada pasukan-pasukan Indonesia yang beroperasi terhadap gerilyawan, dan kedua Angkatan Darat itu bersepakat mengenai perwira militer penghubung, ijin bersama melewati perbatasan dan pertukaran informasi intelijen.
Dalam tahap pertama kampanye terhadap PGRS, Angkatan Darat Indonesia tidak saja mengalami kesukaran oleh kurangnya kegairahan dari dukungan di kalangan penduduk Tionghoa yang tinggal di daerah-daerah di mana kaum gerilyawan mendirikan pangkalan mereka, tetapi juga oleh kurangnya dukungan dari suku Dayak di sana.

Cukup beralasan untuk berpendapat bahwa ketika pihak militer di Kalimantan Barat diperkuat oleh pasukan-pasukan berpengalaman yang didatangkan dari bagian-bagian lain di Indonesia, psywar perang urat syaraf, yang dilancarkan oleh kamandan militer setempat di kalangan penduduk juga ditingkatkan. Tetapi baru setelah PGRS menyerang desa-desa Dayak di daerah pedalaman pada akhir September serbuan besar-besaran oleh suku Dayak terhadap orang Tionghoa di propinsi itu dimulai.

Dalam sebuah artikel mengenai serangan suku Dayak itu dan akibat-akibatnya, Herbert Feith mengemukakan pendapatnya bahwa serangan itu: berada di bawah pengendalian yang ketat dari kelompok pemimpin Dayak di daerah perkotaan yang dekat dengan bekas Gubernur Kalimantan Barat JC Oevaang Oeray dan bukan merupakan masalah sederhana dari spontanitas daerah.

Ia membiarkannya sebagai pertanyaan terbuka apakah tindakan-tindakan suku Dayak itu dimobilisasi oleh kelompok Oevaang Oeray sebagai tanggapan atas permintaan Angkatan Darat itu, mungkin atas persetujuan beberapa pemimpin militer, atau apakah kedua belah pihak memanfaatkan situasi itu sesuai dengan perkembangannya.

Sukar untuk percaya bahwa tindakan yang dalam kenyataannya berkembang sampai ke tahap sedemikian itu telah direncanakan sebelumnya secara keseluruhan, di lain pihak, adalah sangat masuk akal bahwa pihak militer pada waktu itu berharap untuk menggeser penduduk Tionghoa menjauhi para gerilyawan dan lebih melibatkan penduduk Dayak dalam kampanye terhadap mereka.

Ternyata bahwa komando militer setempat berhasil mencapai lebih dari sekedar harapan dalam keinginannya untuk memobilisasi suku Dayak melawan PGRS. Untuk mengutip laporan resmi dari Staf Chusus Urusan Tjina (SCUT): semula suku Dayak bersikap pasif—apatis terhadap masalah Tjina komunis—PGRS, oleh karena psywar Kodam akhirnya bangkitlah semangat perlawanannya untuk menumpas PGRS. Hal ini memuncak ketika salah seorang dari mereka menjadi korban pembunuhan PGRS.

Menurut pandangan ini, pihak militer berdoa untuk mendapatkan hujan dan memperoleh banjir, atau dalam bahasa yang lebih terkekang dari laporan SCUT: suku Dayak banyak memberi andil di dalam penumpasan PGRS, tetapi di beberapa daerah telah terjadi ekses-ekses.

Sekalipun tidak mungkin bahwa semua pertanyaan yang dikemukakan oleh Feith akan dijawab secara memuaskan, orang dapat menduga bahwa pihak militer merasa kecewa dengan tanggapan terdahulu dari orang Dayak terhadap seruan untuk mendukung perlawanan terhadap PGRS, sehingga pihak militer menggunakan peperangan urat syaraf untuk memancing mereka mengerahkan usaha lebih besar melawan gerilyawan termasuk mengisolasi mereka dari penduduk Tionghoa setempat, tetapi bahwa ada suatu unsur spontanitas dalam tanggapan suku Dayak itu ketika mereka pada akhirnya memberikan tanggapan mereka.

Tindakan orang Dayak itu dapat dianggap spontan dan berlangsung setelah ada serangan atas desa-desa Dayak. Tindakan itu pun tidak ada taranya dalam luas dan kekejamannya. Orang Dayak di daerah pedesaan menyatakan perang kepada PGRS, dengan menggunakan tata cara tradisional dengan meminum darah dari cangkir. Tentu saja, hal ini tidak sesuai dengan manipulasi yang dilakukan oleh suku Dayak di daerah perkotaan yang dekat dengan Oevaang Oeray, seperti yang dikemukakan oleh Feith.

Bahwa Oevaang Oeray memainkan peran dalam peristiwa itu juga mendapat dukungan oleh laporan SCUT. Setelah mengacu pada ekses-ekses yang terjadi, laporan itu melanjutkan: dalam menghancurkan PGRS Gubernur Oevaang Oeray mengambil tiga dasar, yaitu PGRS adalah komunis, PGRS perusak keamanan, bahwa wilayah kediaman suku Dayak dipergunakan sebagai daerah tempur.

Demonstrasi Dayak itu mendapat perhatian besar dari pers Jakarta dan luar negeri. Ekses-ekses itu cukup besar sehingga pejabat setempat tidak berani menyatakan telah ikut berjasa dalam tindakan itu, sekalipun Bupati Pontianak hampir saja berbuat demikian ketika ia menyatakan bahwa sekalipun peristiwa itu memang mempunyai aspek negatif, peristiwa itu juga mempunyai aspek-aspek positif karena terjadi di daerah-daerah yang merupakan logistik penting bagi PGRS dan bahwa sebagai akibatnya komunikasi logistik PGRS telah terputus.

Pemerintah pusat berkepentingan untuk melukiskan kekerasan anti Tionghoa itu sebagai ekses-ekses yang terjadi secara kebetulan, kalaupun dapat dipersalahkan. Suatu pernyataan oleh kepala bagian politik dan keamanan SCUT, Letkol Satari, sekembalinya dari Kalimantan Barat pertengahan Nopember, yang menyebutkan bahwa 300 orang Tionghoa telah terbunuh disangkal oleh Sekretaris SCUT Letkol Sukisman. Tetapi sebagai gantinya tidak ada perkiraan yang diajukan mengenai jumlah yang terbunuh itu, bahkan tidak juga di dalam laporan SCUT kepada presiden.

Akibat-akibat lain dari serangan suku Dayak itu tidak dapat ditutup-tutupi dengan mudah. Yang paling penting dari akibat itu adalah membanjirnya berpuluh-puluh ribu pengungsi Tionghoa ke daerah pantai.

Masalah untuk menyediakan makanan yang cukup, perawatan kesehatan, perumahan dan lapangan kerja bagi para korban demonstrasi Dayak itu akan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk memecahkannya, terutama karena pemberontakan PGRS dengan menolak untuk dipadamkan.

Perhatian utama pemerintah pusat, atau lebih khusus lagi Komisi Khusus untuk Urusan Tionghoa, adalah mencegah pemerintah Taipeh ataupun Peking membesar-besarkan keadaan itu serta mencegah kemungkinan pertistiwa Kalimantan Barat itu dapat mencetus insiden anti Tionghoa di tempat-tempat lain di indonesia. Suatu tawaran dari Taiwan untuk mengirimkan tim dokter ke Kalimantan Barat ditolak oleh pemerintah, sekalipun bantuan obat-obatan diterima. SCUT juga memutuskan agar laporan-laporan pers dibatasi untuk mencegah timbulnya kembali rasialisme.

Jadi peristiwa suram di Kalimantan Barat pada akhir 1967 untuk sebagian besar tidak dikaitkan dengan kekerasan anti Tionghoa yang terjadi di tempat-tempat lain di Indonesia dan pemerintah berkepentingan untuk memastikan bahwa peristiwa itu tetap terlokalisasi di propinsi tersebut. Sekalipun, insiden anti Tionghoa secara terpisah masih akan terjadi di bagian-bagian lain Indonesia, ini akan merupakan perkecualian yang jarang terdapat terhadap ketenteraman relatif dari akomodasi orang Tionghoa kepada Orde Baru-nya Jenderal Soeharto.

KECELAKAAN SEJARAH DI PERSIMPANGAN POLITIK
Akhir 1953 pemerintah Indonesia membuat rancangan baru undang undang kewarganegaraan Indonesia. Peranakan Cina penduduk Indonesia dianggap mempunyai kewarganegaraan rangkap atau dwikewarganegaraan. Mereka yang tetap ingin menjadi warga negara Indonesia harus secara aktif menolak kewarganegaraan RRC.
Peranakan Cina yang terpelajar, yang ingin mempertahankan kewarganegaraan Indonesia-nya tentu akan mengikuti prosedur yang ditentukan untuk menolak kewarganegaraan RRC. Tetapi bagaimana dengan peranakan Cina yang tidak terpelajar, yang tinggal di pelosok, yang tidak tahu adanya ketentuan untuk menolak secara aktif ini. [Tanpa ada pengecualiannya di Kalimantan Barat tentunya, Pen]

Rancangan undang undang kewarganegaraan yang baru ini muncul setelah Persetujuan Sunario—Chou (En Lai) 1953. Sunario adalah menteri Luar Negeri RI waktu itu dan Chou En-lai (Zhou Enlai) adalah PM RRC. Menurut undang undang kewarganegaraan 1946, semua keturunan asing yang tidak menggunakan hak repudiasinya untuk menolak kewarganegaraan Indonesia sebelum 27 Desember 1951 dianggap memilih kewarganegaraan Indonesia.

Sebelumnya, pada 11 Februari 1954 di Gedung Sin Ming Hui, kemudian menjadi Candra Naya di jakarta, berhasil dikumpulkan sejumlah peranakan Cina yang diharapkan mau menaruh perhatian dan menyumbangkan tenaga atas sesamanya. Di antaranya terdapat Siauw Giok Tjhan, Mr Tan Po Goan, Mr Tjoeng Tin Jan (kemudian dikenal sebagai Tjoeng Arsadjaja), Mr Tjoa Sie Hwie (keempatnya anggota parlemen), Mr Yap Thiam Hien, Drs Go Gien Tjwan (ia menjadi kepala kantor berita Antara di Belanda, tetapi diusir 1953), Mr Gouw Giok Siong (kemudian dikenal sebagai Prof Dr Mr s Gautama), sinolog Prof Dr Tjan Tjoe Som, Mr Oei Tjoe Tat, dr Tan Eng Tie, dr Sie Boen Lian dan banyak lagi.

Dalam pertemuan itu berhasil dibentuk panitia yang tugasnya meneliti masalah kewarganegaraan Indonesia bagi keturunan Cina. Siauw Giok Tjhan terpilih sebagai ketuanya. Anggota parlemen ini memang penentang gigih rancangan undang undang kewarganegaraan yang baru itu. Di satu pihak, Siauw mempunyai persamaan dengan Auwjong (PK Ojong). Mereka itu orang yang tidak tahan melihat ketidakadilan, mereka bersedia bekerja untuk kepentingan umum dengan ikhlas, mereka pekerja keras dan menjunjung kesederhanaan. Namun, di pihak lain mereka juga memiliki perbedaan yang mendasar. Auwjong dalam kehidupan sehari-hari maupun majalahnya Star Weekly jelas mencerminkan sikap anti-komunis. Siauw sebaliknya, memiliki kecenderungan kiri.

Siauw adalah seorang wartawan yang setelah Perang Dunia II menjadi direktur koran Harian Rakjat sebelum koran itu diambilalih secara resmi oleh Partai Komunis Indonesia. Siauw Gio Tjhan sejak sebelum merdeka banyak bergaul dengan pejuang nasionalis, dan komitmennya untuk mencapai Indonesia merdeka diwarnai oleh Marxisme.

Panitia yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan itu menghubungi organisasi-organisasi orang Cina di Indonesia [tak terkecuali di Kalimantan Barat, Pontianak dan Singkawang khususnya] untuk diajak bersatu dalam semacam federasi.

Terbentuklah Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, Baperki. Tujuannya untuk menolong peranakan Cina mempertahankan kewarganegaraan Indonesia-nya, menyadarkan mereka bukan hanya pada hak-haknya sebagai warga negara Indonesia, melainkan juga pada kewajiban-kewajibannya agar menjadi warga negara Indonesia yang sejati. Baperki diketuai oleh Siauw Giok Tjhan, sedangkan Khoe Woen Sioe dan Mr Oei Tjoe Tat menjadi wakil ketuanya dan Mr Auwjong Peng Koen duduk di bagian pendidikan dan kebudayaan.

Menarik juga melihat betapa Siauw Giok Tjhan yang diwarnai Marxisme masa itu bisa berdampingan dengan Khoe Woen Sioe, Injo Beng Goat dan Auwjong Peng Koen. Khoe dan Goat cenderung mendukung Partai Sosialis Indonesia yang tokoh-tokohnya antara lain Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo. Sementara itu Oei Tjoe Tat, yang seperti Auwjong merupakan anak didik Khoe dalam kegiatan sosial Sin Ming Hui, mungkin juga mendukung program-program PSI, tetapi dibanding dengan yang lain Oei lebih mengenal Siauw Giok Tjhan karena pernah tinggal sepondokan di Semarang.

Menurut anggaran dasarnya, setiap warga negara Indonesia yang sudah dewasa dan menyetujui maksud dan tujuan Baperki dapat menjadi anggotanya, tidak peduli latar belakang etnisnya. Kenyataannya memang, pribumi yang menjadi anggotanya hanya segelintir. Pada praktiknya, organisasi ini [Baperki] dikenal sebagai organisasi Tionghoa Indonesia.

Organisasi yang dibentuk 1954 itu berupaya memperjuangkan persamaan terhadap semua rakyat Indonesia termasuk keturunan Tionghoa. Baperki bukan hanya mendirikan sekolah-sekolah berbahasa Indonesia untuk anak-anak peranakan, tetapi juga berpartisipasi dalam pemilihan umum. Badan ini merupakan asosiasi Tionghoa Indonesia terbesar sebelum kup 1965. Badan ini juga mendirikan sebuah universitas peranakan yang besar di Jakarta, Universitas Baperki yang kemudian menjadi Universitas Res Publica dan akhirnya menjadi Universitas Trisakti.

Sesungguhnya, dalam pimpinan Baperki terdapat tiga golongan besar. Golongan pertama adalah golongan kanan. Mereka yang diwakili oleh orang-orang yang dekat dengan PSI dan Partai Katolik, seperti Khoe Woen Sioe, Tan Po Goan, Auwjong Peng Koen dan Tan Siang Lian. Di pihak lain berada golongan kedua, golongan kiri. Mereka mendukung RRC.

Tokoh-tokoh dari golongan kiri ini adalah Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan Ang Jang Goan. Di antara golongan ini, terdapat golongan ketiga yang bergaris netral. Mereka tidak mempunyai komitmen besar dalam mendukung ideologi politik mana pun. Di antaranya Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Tan Eng Tie, Lien Tjong Hian seorang pengacara dari Palembang dan Liem Koen Seng.

Kemudian 1954 itu juga Baperki memutuskan untuk ikut pemilu karena menurut ketuanya Baperki sebagai organisasi yang sebagian besar anggotanya berasal dari golongan minoritas harus menunjuk calon-calon Baperki untuk mewakili golongan minoroitas dengan efektif dalam DPR dan Konstituante. Baperki menyusun peringkat calon mereka untuk DPR dan untuk Konstituante. Tak terkecuali pula dengan Baperki di Kalimantan Barat yang dominan dikendalikan golongan kedua, atau golongan kiri.

Sementara itu, politik di Indonesia mengalami polarisasi yang mencolok. Koalisi Masyumi-PSI-Partai Katolik yang tidak diwakili dalam Kabinet Ali berfungsi sebagai pihak oposisi terhadap pemerintah yang didominasi oleh PNI dan yang didukung dari PKI. Angkatan Darat terlibat memihak kepada kelompok oposisi karena Kabinet Ali diangap berhaluan kiri. Sementara itu pihak oposisi juga berhasil memojokkan pemerintah yang ternyata beberapa menterinya terlibat dalam berbagai kasus korupsi.

Adanya ketegangan politik seperti itu juga mempengaruhi Baperki yang juga beranggotakan orang-orang yang berkiblat ke PSI, Partai Katolik, PNI, dan PKI. Siau Giok Tjhan memutuskan untuk menganjurkan Baperki berdiri sendiri. Siauw berkampanye. Baperki mendatangi, terutama Kalimantan Barat. Namun sebulan sebelum pemilu yang dilaksanakan 29 September 1955 terjadi perpecahan dalam tubuh Baperki. Tan Po Goan meninggalkan Baperki disusul Khoe Woen Sioe dan kemudian oleh Injo Beng Goat.

Mereka keluar karena merasa kekuasaan di Baperki sudah jatuh ke tangan orang-orang yang tidak lagi mewakili prinsip pembentukannya. Perpecahan di dalam Baperki juga lantaran beberapa anggota pengurus Baperki dan Sin Ming Hui atau Candra Naya berusaha mencaplok Candra Naya tanpa memperhatikannya sebagai badan sosial dan tanpa memperhatikan bahaya di hari-hari yang akan datang.

Selain itu, keretakan di dalam Baperki juga gara-gara ketidaksepakatan dalam masalah sekolah Cina. Menurut sebagian kecil mereka warga negara Indonesia keturunan Cina selayaknya belajar di sekolah berbahasa Indonesia dan berorientasi Indonesia. Saat itu puluhan ribu anak WNI keturunan Cina duduk di sekolah asing dengan bahasa pengabtar asing, orientasi, kurikulum dan guru asing pula.

Tak terkecuali di Pontianak dan Singkawang. Jika hal ini berlangsung terus, makin lama akan makin banyak orang yang namanya saja WNI tetapi tidak berjiwa Indonesia. Sementara Siau Giok Tjhan dan dr Go Gien Tjwan bersikeras menghendaki agar WNI keturunan Cina diperbolehkan bersekolah di sekolah asing Cina. Kalangan yang anti dengannya merasa gagasan Siauw itu demi pertimbangan ideologi komunisnya semata.

Suatu ketika Siauw Giaok Tjhan dan Auwjong berkampanye di Kalimantan Barat. Keduanya mengajak Oei Tjoe Tat untuk menjadi penengah, karena keduanya mewakili dua golongan berbeda di dalam satu tubuh Baperki. Pun akhirnya Auwjong keluar juga dari Baperki. Dalam pemilu, ternyata Baperki berhasil mendapat satu kursi di DPR, yang diisi oleh Siauw Giok Tjhan sebagai calon pertama dan tambahan satu kursi lagi untuk Ang Tjiang Liat sebagai salah seorang wakil minoritas Cina.

Undang undang pemilu menyatakan golongan minoritas Cina boleh memiliki sembilan orang wakil di DPR. Wakil-wakil lain diambil dari partai-partai, sebab tidak semua orang Cina pendukung Baperki, ada juga yang mewakili partai politik. Untuk Konstituante kursi Baperki diisi oleh Siauw Giok Tjhan dan Oey Tjoe Tat. Berkat kompromi Baperki juga mendapatkan enam kursi lainnya. Dua di antaranya wakil-wakil Baperki untuk golongan Indo.

Undang Undang Kewarganegaraan akhirnya keluar 1958 walaupun isisnya tidak sepenuhnya seperti yang diperjuangkan Baperki. Isinya antara lain: semua peranakan yang sudah menjadi WNI berdasarkan undang undang kewarganegaraan 1946 tetap diperlakukan sebagai WNI. Hubungan Siauw Giok Tjhan dan Yap Thiam Hien akhirnya merenggang. Yap semakin menjauh dari Baperki sejak Baperki mendukung Demokrasi terpimpin 1957.
Praktis sejak Kongres Baperki Desember 1959 Yap yang ketika itu menduduki jabatan wakil ketua menyatakan tidak bisa lagi bekerja sama dengan pimpinan Baperki dan tidak pernah aktif lagi walaupun tidak pernah keluar secara resmi dari Baperki. Dan dalam kondisi serta kenyataan yang demikian, Baperki di Kalimantan Barat semakin bulat dalam genggaman dan sehaluan dengan Siauw Giok Tjhan …

KALIMANTAN BARAT BERDARAH
* MILITER VERSUS PGRS-PARAKU

Ketika pemerintah Indonesia mencanangkan konfrontasi terhadap Malaysia, ditandai ketika Presiden Sukarno mendekritkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) menentang negara Malaysia 3 Mei 1964, daerah Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia, menjadi basis kegiatan konfrontasi Malaysia-Indonesia tersebut.

Situasi politik dalam negeri semakin hangat ketika anti kolonial dan anti imperialisme yang dicanangkan Bung Karno telah menggelincirkan bangsa Indonesia ke bawah pengaruh komunisme dan RRC, melalui Partai Komunis Indonesia, yang berporos ke sana.

Satuan sukarelawan Tentara Negara Kalimantan Utara (TNKU) yang menentang Malaysia, mulai memasuki wilayah Kalimantan Barat. Sukarelawan awal Kalimantan Utara ini mendapat perlindungan pemerintah Indonesia karena sama-sama menentang Malaysia, dan mendapat restu memasuki daerah Kalimantan Barat. Ternyata sukarelawan TNKU ini telah pula disusupi oleh gerilyawan komunis Serawak yang terdiri dari gerilyawan Cina Komunis.

Partai Komunis Indonesia (PKI) Kalimantan Barat pimpinan SA Sofyan sejak awal 1965 berupaya memanfaatkan suasana konfrontasi bagi kepentingan partainya. Dengan alasan memperingati HUT ke 45 PKI, sejak April 1965 Sofyan telah melancarkan kampanye politik. Nampaknya Sofyan telah mendapat informasi tentang akan adanya gerakan PKI.

Menjelang 30 September 1965 gembong PKI Kalbar itu sibuk mengikuti siaran RRI Jakarta. Ketika pecah pemberontakan G30S/PKI pada 1 Oktober 1965, Sofyan dan pengikutnya telah menyebarluaskan pengumuman Dewan Revolusi. Bahkan telah menyiapkan konsep susunan Dewan Revolusi Daerah Kalimantan Barat yang terdiri dari orang-orang PKI.

Pangdam XII/Tanjungpura Brigjen TNI Ryacudu setelah membahas peristiwa G30S/PKI segera bertindak tegas memerintahkan semua Komandan Satuan tetap melaksanakan tugas dan meningkatkan kesiap-siagaan. Setelah terbukti bahwa G30S/PKI telah melancarkan pengkhianatan, 6 Oktober 1965, rakyat Kalimantan Barat menuntut dibubarkannya PKI dengan semua ormasnya.
Pepelrada Kalbar 16 Oktober 1965 mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembekuan PKI dan ormasnya, serta memerintahkan wajib lapor kepada semua pemimpin PKI Kalimantan Barat. Masyarakat Pontianak yang mengutuk pengkhianatan PKI, telah melancarkan demonstrasi 18 Oktober 1965 dengan merusak kantor CDB PKI Kalimantan Barat.

Gembong PKI Kalbar Sofyan bersama oknum Baperki Kalbar, Tan Bun Hiap, The Bu Kiat, Pheng Tsen Nen dan pengikutnya melarikan diri ke hutan. Pengikut G30S/PKI yang berhasil ditangkap, kemudian diajukan ke pengadilan. Gembong PKI dan oknum Baperki Kalbar ini setelah normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia, 1966, mereka telah bergabung dengan gerombolan PGRS/Paraku. Pangdam XII/Tanjungpura selaku Pepelrada Kalbar memerintahkan pula melakukan pembersihan dalam tubuh Kodam XII/Tanjungpura dan semua instansi militer serta Pemerintah Daerah Kalimantan Barat dari oknum G30S/PKI.

Pemberontakan G30S/PKI tidak mempengaruhi operasi Dwikora di daerah perbatasan Kalimantan Barat. Namun pemberontakan G30S/PKI telah membawa pengaruh ke arah perubahan politik pemerintah Orde Baru untuk mengakhiri konflik dengan Malaysia.

Rintisan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia dilakukan melalui Operasi Khusus Kolaga dipimpin Kolonel Ali Murtopo. Pada 28 Mei 1966 Wapang II kolaga Laksda TNI OB Syaaf berkunjung ke Kuala Lumpur. Perundingan Menlu Adam Malik dan Menlu Malaysia Tun Abdul Razak di Bangkok 1 Juni 1966 telah mengantarkan kedua negara bertetangga menuju langkah-langkah mengakhiri pertikaian dan permusuhan.

Penandatanganan Jakarta Accord 11 Agustus 1966 telah menandai persetujuan normalisasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Situasi baru yang tentu dihadapi militer Kalimantan Barat dalam pelaksanaan penghentian perselisihan dengan Malaysia sekarang ialah penertiban Sukarelawan Dwikora asal Kalimantan Utara dan penarikan pasukan Kolaga.

Sukarelawan Kalimantan Utara yang berasal dari anggota Partai Komunis Serawak, yang mendapat izin bergerilya di aderah Kalimantan Barat selama Dwikora, tersebar di sepanjang daerah perbatasan. Panglima Kopur IV/Mandau Brigjen TNI Widjojo Suyono memerintahkan sekitar 839 sukarelawan asal Kalimantan Utara itu mengadakan konsolidasi dan melaporkan diri kepada pos TNI. Ternyata, hanya 99 orang saja yang menyerahkan diri, 739 orang lainnya membangkang dan melarikan diri. Mereka ini telah menyusun kekuatan sendiri melancarkan perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia.

Gerombolan PGRS/Paraku berakar dari anggota Partai Komunis Malaya (MCP) dan Partai Komunis Serawak yang terlarang di sana, telah menyusup ke Kalimantan Barat selama periode konfrontasi. Bergabung dengan sukarelawan TNKU, sejak Desember 1964, mereka telah menyusun pasukan PGRS yang memusatkan kegiatan di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat-Serawak.

Tercatat gembong komunis Malaya dan Serawak yang mendalangi PGRS/Paraku seperti Tse Hwa Sah, Wong Kee Chok, Yap Chong How, Lay Paka, Lay Choon, Lo Wioe, Liem A Lim dan sebagainya yang sejak Oktober 1966 memimpin perlawanan dan gangguan keamanan di Kalimantan Barat.

Terhadap pembangkangan sukarelawan asal Kalimantan Utara yang telah berubah menjadi gerombolan PGRS/Paraku itu, Pangkopur IV/Mandau Brigjen TNI Widjojo Suyono melancarkan operasi Tertib I selama Nopember-Desember 1966, dikerahkan 3 kompi KTP-I/511 Brw dan 2 Kompi KTP-III/511 Brw, Ki B Yonzipur 5/Brw didukung oleh Yonif 641/Brh dan Yonif 642/Kapuas.

Penertiban dan penghancuran gerombolan PGRS/Paraku yang membangkang menemui kesulitan karena gerombolan telah berpencar di hutan yang luas sepanjang daerah perbatasan, sebagian menyeberang ke Serawak. Operasi Tertib II Januari-Maret 1967 pun belum berhasil menghancurkan gerombolan pengacau.

Maret 1967 seluruh satuan Kolaga ditarik dari Kalimantan Barat. Pangdam XII/Tanjungpura melancarkan Operasi Sapu Bersih I April-Juli 1967 dengan mengerahkan 2 Yonif dan 1 Rai Arhanud yang didukung jajaran Teritorial di bawah Korem 121/Alambhana Wanawai. Markas Korem 121 sejak Juni 1966 dipindahkan dari Singkawang ke Sintang untuk memperkuat pertahanan daerah pedalaman dan perbatasan bagian Timur Kalimantan Barat. Gerombolan PGRS/Paraku ternyata berhasil memanfaatkan situasi penarikan pasukan daerah perbatasan di mana terdapat pula penduduk keturunan Cina. Mereka berusaha menyusun kekuatan

Sisa-sisa G30S/PKI di bawah Sofyan, Pheng Tsen Nen, Tan Bun Hiap dan lain-lain, telah bergabung pula dengan gerombolan PGRS/Paraku di daerah Sangau Ledo. Pada April 1967 kekuatan gerombolan PGRS/Paraku diperkirakan sekitar 800 orang dengan kekuatan senjata 60 persen dan 3000 orang simpatisan. Gerombolan Cina Komunis PGRS/Paraku melancarkan gerilya komunis dengan berusaha menguasai penduduk desa untuk dukungan logistik dan mendidik kader milisi yang disebut Min Phin dan menyebarkan unsur subversi di kota-kota yang disebut Min Yuen.

Gerombolan PGRS/Paraku memusatkan kekuatan di Gunung Sentawi, Sempatung, Sanggau Ledo dan Seluas (Sektor Barat). Balai Karangan (Sektor Tngah) dan Nanga Badau, Melantung, Batu Peti (Sektor Timur). Dengan kekuatan yang relatif kecil 2 Yonif Pangdam XII/Tanjungpura membagi daerah operasi atas 3 Komando Operasi (COP). COP-I di Sektor Barat berkedudukan di Seluas dengan Yonif 641/Brh. COP-II (Sektor Tengah) di Balai Karangan dengan Yonif 642/K dan COP-III (Sektor Timur) berkedudukan di Semitau, didukung Yonif 642/K dan jajaran Territorial.

Sejak Operasi Sapu Bersih I ini, kerjasama keamanan daerah perbatasan telah dimulai antara Kodam XII/Tanjungpura dan 3 Briged Infantri Malaysia. Sebagai operasi imbangan di kawasan Serawak, Panglima 3 BIM Brigjen Tengku Nazaruddin menempatkan pasukannya di daerah Lundu, Sibu, Serian dan Serawak. Upaya Brigjen Ryacudu melancarkan Operasi Sapu Bersih-I berakhir ketika jabatan Pangdam XII/Tanjungpura diserahkan kepada Brigjen TNI AJ Witono sejak 30 Juni 1967.

Tugas pokok Brigjen AJ Witono adalah menghancurkan gerombolan PGRS/Paraku dan sisa-sisa G30S/PKI Kalimantan Barat. Menyadari kemampuan Satuan Tempur Kodam XII/Tanjungpura yang sangat kecil serta kondisi daerah Kalimantan Barat yang luas dan telah menjadi ajang pertempuran sejak Dwikora 1963-1967 disusun rencana operasi dan kekuatan yang memadai. Sementara itu gerombolan PGRS pimpinan Liem A Lim dan Sofyan 16 Juli 1967 malam berhasil menyerang Lanu Singkawang II di Sanggau Ledo dan merebut 107 senapan G3 dan LE, 2 Bren, 2 Mortir, granat, peluru dan bayonet.

Peristiwa penyerbuan Lanu Singkawang II ini telah memperkuat kekuatan gerombolan. Ketika Pangdam XII/Tanjungpura melaporkan situasi daerah Kalimantan Barat pada rapat Pangdam/Penguasa Daerah seluruh Indonesia kepada Presiden Soeharto 26 Juli 1967, pemerintah dan pimpinan militer, khususnya Angkatan Darat memberikan perhatian untuk mendukung operasi penumpasan PGRS/Paraku yang merupakan ancaman nasional.

Pangdam XII/Tanjungpura melancarkan Operasi Sapu Bersih II Agustus 1967-Februari 1969, dengan dukungan pasukan yang ditugaskan oleh pimpinan militer Angkatan Darat. Peristiwa ini mengakibatkan penduduk keturunan Cina di pedalaman Kalimantan Barat mengungsi ke kota-kota. Sekitar 60.000 penduduk keturunan Cina dari pedalaman Kabupaten Sambas, Pontianak, Sanggau dan Ketapang telah meningalkan daerah pedalaman dan pindah ke kota-kota. Gerakan suku Dayak ini telah memisahkan gerombolan PGRS/Paraku dari penduduk yang selama ini telah dijadikan basis logistik dan kader gerombolan.

Operasi Sapu Bersih II telah berhasil menghancurkan konsentrasi gerombolan dan mereka terpecah menjadi kelompok kecil. Sampai Januari 1969, 280 orang gerombolan mati, 561 orang ditawan dan 181 pucuk senjata dirampas. Gembong PGRS Lai Pa Ka dan Lai Chon berhasil ditangkap, sementara Liem A Lim dan Wie tertembak mati. Operasi Sapu Bersih III dilancarkan oleh Brigjen TNI Sumadi yang memangku jabatan Pangdam XII/Tanjungpura sejak 23 April 1969.

Operasi tahap pembersihan ini Maret sampai januari 1970. operasi Sapu Bersih III telah berhasil menewaskan pimpinan PGRS Yap Choong How dan Yacop. Dalam operasi Kompi B Yonif 642/K dipimpin Letda Sumiardo dan Kompi C Yonif 641/Brh dipimpin Capa Ondon Sutisna di Gunung Berambang pada 25 Maret 1969.

Yap Chong How adalah pimpinan Serawak United People Partay yang bertualng sejak dwikora di Kalimantan Barat. Yap adalah Komisaris Politik PGRS dan Yacop pimpinan militer PGRS. Sisa-sisa gerombolan di perbatasan melarikan diri ke daerah Serawak. Didukung oleh satuan udara Saber Kilat yang menghancurkan pertahanan musuh serta angkutan pasukan melalui udara, Operasi Sapu Bersih III sampai Januari 1970 telah mengantarkan situasi keamanan yang semakin baik di Kalimantan Barat. Sisa-sisa gerombolan PGRS/Paraku dan G30S/PKI dihancurkan melalui operasi pembersihan oleh Kodam XII/Tanjungpura.

Sejak awal 1970 Kodam XII/Tanjungpura melanjutkan operasi menumpas sisa-sisa gerombolan PGRS/Paraku. Di daerah Sektor Barat sisa-sisa gerombolan yang sudah terpecah dalam kelompok kecil dan tidak mempunyai pendukung lagi, melarikan diri ke hutan-hutan. Operasi tempur sejak April 1970 dilancarkan ke daerah Sektor Timurt menghancurkan gerombolan PGRS di daerah Lanjak, Badau, Melantung dan Embaloh. Koops Sektor Timur di bawah Dan Rem 121/Alambhana Wanawai Kol Kadarusno didukung satuan Brigif 12/Guntur Dam VI/Slw dengan Yonif 324 dan Yonif 327. kodam VII/Dip menugaskan Yonif 406 dan Yonif 412, serta Yonif 126/Bukit Barisan.

Operasi penumpasan di daerah Sektor Timur pada 1971 telah menghancurkan kekuatan PGRS pimpinan Wong Kie Chock di daerah Sungai Embaloh, daerah Sepang, Sedap, Batu Peti dan Tekelan. Taktik memisahkan gerombolan dari penduduk Suku Iban dan penduduk keturunan Cina di daerah Sektor Timur ini telah berhasil mempercepat penumpasan gerombolan.

Stabilitas keamanan yang semakin meningkat telah mendukung perkembangan sosial politik yang baik. Pelaksanaan Pemilu 1971 telah berjalan lancar. Brigjen Seno Hartono yang memangku jabatan Pangdam XII/Tanjungpura sejak 11 April 1973 melanjutkan operasi pembersihan sisa-sisa gerombolan pengacau di seluruh daerah Kalimantan Barat. Pada saat itu pula Kodam XII/Tanjungpura beralih status menjadi bagian dari Kowilhan I/Sumatra-Kalimantan Barat.

Sejak Juni 1973 Kodam XII/Tanjungpura yang berada di bawah Kowilhan I/Sumatra-Kalimantan Barat, melanjutkan tugas pertahanan dan keamanan wilayah Kalimantan Barat. Satuan tempur Kodam XII/Tanjungpura sejak 30 Desember 1975diperkuat dengan diresmikan Batalyon Infantri 643/Wanara Sakti yang bermarkas di Anjungan. Penempatan Ki A di peladis, Ki B dan C di Pontianak dan Ki D di ketapang telah memperkuat pertahanan wilayah Kalimantan Barat.

Pangdam XII/Tanjungpura Brigjen Seno Hartono 30 Juni 1973 mengeluarkan Perintah Operasi 001 dengan tugas pokok menghancurkan pengikut SA Fofyan, bekas pimpinan PKI Kalimantan Barat. Tim Kala Hitam RPKAD pimpinan Mayor Inf Sutarno bersama Tim Intel Korem 121/Alambhana wanawai sejak 21 Agustus-4 Desember 1973 berhasil menangkap pengikut SA Sofyan, masing-masing Aloi, Cung Se Ngo (istri Sofyan), The Bu Kiat, Hasan, istri Tan Bun Hiap dan lainnya. Regu Kala Hitam RPKAD pimpinan Lettu Sudiyono berhasil menembak mati SA Sofyan di Desa Sungai Kelabau Terentang 12 Januari 1974.

PEMBANTAIAN SEBUAH GENERASI
Dimulai pada 1950-an, sebagai bangsa baru, Indonesia memperkuat kedaulatannya di seluruh daerah, dan sejumlah aturan yang dihasilkan di Jakarta mengganggu kehidupan ekonomi dan lembaga-lembaga budaya orang Tionghoa di kalimantan Barat. Selain membatasi berbagai kegiatan ekonomi orang yang bukan warganegara Indonesia [Willmont, 1961: 70—76], kebijakan yang berpengaruh paling luas adalah terhadap sekolah-sekolah Tionghoa. Beberapa orang tua dengan sengaja menolak kewarganegaraan Indonesia, supaya anak-anak mereka dapat masuk sekolah-sekolah Tionghoa. Sedangkan yang lainnya, setidaknya di kalangan orang muda, berangkat ke Tiongkok.

Sebelumnya, pada 1950-an orang Tionghoa atau Tionghoa asing, telah menanggung beban berat dari tindakan-tindakan kebijakan nasionalis, terutama dalam bidang ekonomi, yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Kebijakan ini termasuk ketentuan Indonesianisasi terhadap perusahaan-perusahaan mereka, di mana pemerintah mengharuskan pengusaha-pengusaha Tionghoa untuk menerima keikutsertaan orang beretnis Indonesia dalam kepemilikan perusahaan dan dalam tenaga kerjanya, pengenaan pajak khusus untuk penduduk asing dan melakukan pendataan serta pengawasan terhadap para pekerja asing

[Beberapa kebijakan ini dilaporkan dalam warta Kalimantan Barat: Juli—Agustus 1972. tentu saja berbagai peraturan ini dapat dihindari dengan memberikan sejumlah uang]. Status warga negara asing dapat dikatakan menimbulkan kesukaran, namun beberapa orang tua tetap berniat untuk bertahan karena menginginkan anak-anak mereka dibesarkan sebagai orang Tionghoa secara budaya.

Pada 1959, pemerintah Indonesia berupaya mematahkan genggaman orang Tionghoa terhadap perdagangan perantara di seluruh negeri dengan menyingkirkan orang Tionghoa asing dari perdagangan eceran di daerah perbatasan. Peraturan Presiden Nomo 10 (PP 10), melarang orang asing melakukan perdagangan eceran di luar ibukota kabupaten dan kota, sekolah-sekolah asing juga dibatasi jumlahnya di kota-kota yang ditentukan.

Di Kalimantan Barat, hal ini berarti bahwa Kota Pontianak, Singkawang (untuk Sambas), Sanggau dan Sintang dan satu kota di pedalaman, terbuka untuk perdagangan perantara oleh orang asing. Meskipun di beberapa propinsi, penduduk asing berusaha dipaksa oleh negara untuk pindah ke kota-kota besar, di Kalimantan Barat hal tersebut tidak terjadi. Beberapa orang yang hidup di daerah pedalaman atau di sepanjang aliran sungai telah berpindah, terpaksa berpindah karena hilangnya mata pencaharian mereka [Heidhues, 2008: 261].

Akibat dari larangan kegiatan perekonomian tersebut, penderitaan lebih berat dirasakan pada orang Tionghoa miskin, anggota komunitas Tionghoa yang kaya lebih waspada untuk menjamin bahwa mereka atau seseorang dari anggota keluarganya akan memiliki kewarganegaraan Indonesia.. bagaimanapun juga, yang paling menderita secara nyata adalah orang Dayak dan masyarakat lainnya yang bergantung pada para pedagang kecil Tionghoa, khususnya di pedalaman. Pelaksanaan secara ketat atas pelarangan ini telah mengacaukan jalur perdagangan yang sudah ada dan pada akhirnya pemerintah didesak untuk memperlunak larangannya.

Sampai akhir 1951, ketika kesempatan untuk menolak kewarganegaraan Indonesia berakhir, terdapat sekitar 600.000—700.000 orang dari sekitar 1,5 juta orang yang memenuhi syarat telah menolak kewarganegaraan Indonesia [Mozingo, 1961: 25—31]. Beberapa dari mereka yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia belum cukup umur dan orang tua mereka menolak kewarganegaraan Indonesia untuk mereka.

Orang yang lahir di Tiongkok otomatis tetap menjadi warganegara Tiongkok. Sebagai hasilnya, setelah atau lebih dari seluruh etnis Tionghoa di Indonesia dicatrat berkebangsaan asing pada pertengahan 1950-ann.

Pelaksanaan perjanjian dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok yang dilakukan antara Januari 1960 sampai januari 1962, memungkinkan orang etnis Tionghoa yang telah menjadi warganegara Indonesia untuk melepaskan kewarganegaraan Tiongkok atau untuk menolak kewarganegaraan Indonesia.

Pada tingkat nasional sekitar dua pertiga orang Tionghoa ditetapkan memenuhi syarat menjadi warganegara Indonesia. Karena perjanjian tidak memasukkan orang Tionghoa asing, perjanjian ini memiliki keterbatasan apabila hendak diterapkan pada sejumlah orang Tionghoa yang tidak pernah mampu menjadi warganegara Indonesia, sesuatu yang kuat dirasakan di Kalimantan Barat.

Pada 1962 sejumlah kebijakan anti-asing dari 1959—1960 sedikit banyak telah mereda. Pemerintah Indonesia mengikuti sebuah garis internasional untuk berhubungan dekat dengan Republik Rakyat Tiongkok, dan garis ini menjadi lebih bersahabat dengan kepentingan etnis Tionghoa. Pada 16 September 1963, Malaysia dibentuk, dengan cara menggabungkan Malaya dengan negara jajahan Inggris sebelumnya, Singapura, Sarawak dan Borneo Utara (Sabah).

Niat awalnya untuk memasukkan kesultanan Brunei, sebuah daerah kaya minyak di bawah perlindungan Inggris, ke dalam sebuah federasi gagal terwujud pada Desember 1962 ketika sebuah pemberontakan yang dipimpin AM Azahari pecah di wilayah tersebut, dan Brunei menarik diri dari rencana tersebut.

Pemberontakan dengan cepat ditumpas oleh polisi setempat dan pasukan Inggris. Kejadian tersebut menyebabkan Indonesia secara terbuka menyuarakan kecurigaannya terhadap federasi yang baru tersebut. Setelah melakukan perundingan yang gagal, Presiden Soekarno menyerukan maksudnya untuk Ganyang malaysia [Mackie, 1974: 140—141, lihat juga Alastair Morrison, 1993]. Pemberontak Brunei menyeberang melalui Borneo Utara dan masuk ke Indonesia untuk melakukan latihan di sana, Azahari menggunakan Kalimantan Barat sebagai sebuah basis [Effendy, 1995: 17 dan 27].

Meskipun kaum kiri Indonesia, khususnya Partai Komunis (PKI) yang telah mencap pembentukan Malaysia sebagai sebuah rencana Neo-Kolonialis, bergegas untuk mendukung seruan perang Soekarno, pertempuran besar-besaran tidak pernah terjadi. Untuk beberapa alasan, para pimpinan tentara Indonesia enggan untuk membangkitkan pertempuran dalam skala besar dan untuk membawa pasukan dari Jawa, di mana situasi politik menjadi tegang, dalam memenuhi pengiriman pasukan di perbatasan Kalimantan.

Meskipun begitu, militer setempat, secara khususnya Brigjen MS Supardjo Komandan Komando tempur Empat yang bermarkas di Kalimantan barat, adalah orang yang bersimpati pada kampanye Soekarno, sehingga ia merekrut pemberontak Sarawak, satu hingga dua ribu orang dari mereka, di mana banyak di antaranya berasal dari sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa, untuk dilatih militer dan ideologi di sebuah pangkalan militer Indonesia pada 1963—1965. Beberapa tenaga tambahan datang dari Kalimantan, mungkin termasuk orang Tionghoa setempat, beberapa pendukung Azahari, dan simpatisan setempat Partai Komunis Indonesia.

Orang-orang muda tersebut, memang banyak tapi tidak semuanya orang Tionghoa, diharuskan untuk beroperasi di hutan mendukung militer Indonesia dalam serangannya ke wilayah Sarawak. Mereka berhubungan dengan pasukan gerilya oposisi sayap kiri dari Sarawak, para gerilyawan yang berhubungan dengan Pasukan Gerilya Rakyat sarawak (PGRS) dan Paraku (Pasukan gerilya Rakyat Kalimantan Utara) yang kurang begitu penting [Feith, 1993: 146—147].

Perubahan politik Indonesia setelah Oktober 1965 [Heidhues, 2008: 268], dan selanjutnya perdamaian dengan malaysia Juni 1966, membiarkan kelompok tersebut kandas. Supardjo sendiri terlibat dalam upaya Kudeta 30 September 1965 di Jakarta dan kemudian dipenjarakan [Anderson, 1971: 7, 11 dan 33].

Sebaliknya, penggantinya tidak bersimpati pada gerilyawan, dan belakangan diperkuat unsur-unsur yang tidak berpengaruh oleh kelompok pro-komunis setempat. Jumlah gerilyawan barangkali tidak lebih dari seribu orang, tetapi mereka dapat bersandar atau mengancam da memaksa bantuan dari orang Tionghoa yang hidup di Sarawak dan di perbatasan wilayah Indonesia

[Soemadi, 1974 melaporkan: … bahwa pada waktu itu daerah perbatasan (Sanggauledo, Jagoi babang, Benua Martinus dan lainnya), merupakan pusat kegiatan para pemberontak, dan mewakili pandangan resmi, menyatakan bahwa mereka mendapat bantuan dari orang Dayak. Di sisi yang lain, ia menyebut pimpinan PKI Baru Sayid Ahmad Sofyan nama Tionghoanya Tai Ko (ini bukanlah nama Tionghoa, melainkan sebuah gelar, semasa kongsi artinya adalah boss).

Sofyan mengatur pengelolaan penyaluran pamflet pro-PKI di beberapa kota pesisir pada Mei 1972, yang mengejutkan pemerintah militer, namun ia terbunuh pada 1973 atau 1974]. Effendy [1995: 66] menggambarkan Sofyan sebagai pribumi separuh Arab dan sebagai seorang imigran datang ke Kalimantan. Ia adalah pimpinan militer para pemberontak. Sofyan merebut kendali PKI setempat pada 1960, membawa mereka dalam sebuah garis Mao-is dan menyerukan kepada etnis Tionghoa untuk memberikan dukungannya [lihat juga Davidson, 2002: 53—87].

Pada akhir 1966 militer mengusir sejumlah orang Tionghoa dari daerah-daerah pedalaman, meskipun pengusiran secara besar-besaran tidak dapat dijalankan pada waktu itu, karena tentara belumlah kuat di propinsi ini [Heidhues, 2008: 268]. Yang jelas kegiatan kelompok kiri tidak hanya terbatas pada masyarakat Tionghoa.

Upaya pelaksanaan kudeta 30 September 1965 mempengaruhi keadaan di Kalimantan Barat juga. Ketika terjadi perubahan situasi militer di Kalimantan barat, beberapa dari simpatisan ini meskipun tidak termasuk orang militer, kemungkinan memutuskan untuk masuk ke hutan.

Ketika tindakan militer pada akhir 1966 sampai awal 1967 gagal untuk membersihkan elemen anti-Malaysia dan gerilyawan pro-komunis, tentara menarik seluruh pasukan dari daerah perbatasan Maret 1967, membiarkan kekosongan kekuasaan sampai unit baru dari Komando Daerah Militer XII tanjungpura memperkuat pengawasan mereka. Pada Juli 1967, gerilyawan menyerang pangkalan udara Indonesia di dekat sanggauledo, membunuh sejumlah perwira dan staffnya, dan merebut senjata dan amunisi mereka. Jakarta mengirimkan kekuatan tambahan, tetapi tidak cukup untuk menghancurkan gerilya.

Meskipun rakyat secara luas berperan serta atau bersimpati kepada gerakan gerilya, para pemimpin baru militer di Pontianak mempersalahkan orang Tionghoa dan memutuskan untuk memindahkan orang Tionghoa yang menjadi tempat hidup gerilyawan tersebut seperti layaknya memindahkan air yang menjadi tempat ikan berenang, yaitu menyingkirkan etnis Tionghoa dari pedalaman Barat Laut Kalimantan.

Pada September 1967, gerilyawan sudah mulai menyerang perkampungan-perkampungan Dayak, membakar, menculik dan membunuhnya. Para pimpinan militer Indonesia mencoba memecah-belah antar gerilyawan, khususnya antara gerilyawan Tionghoa dan Dayak. Penyerangan sebuah kampung dekat sanggauledo September 1967, di mana beberapa orang dayak dilaporkan terbunuh, yang katanya dilakukan oleh pemberontak Tionghoa merupakan satu insiden yang membuat orang dayak menjadi mau menerima seruan militer bahwa etnis Tionghoa harus diusir dari Kalimantan Barat.

Kompas [26 januari 2001] menulis: … Pembunuhan orang desa Dayak aslinya direncanakan oleh tentara, bukan dilakukan oleh pasukan PGRS—Paraku. Serangannya di taum dekat sanggauledo pada September 1967. mayat-mayat korban dikatakan telah dimutilasi oleh penyerang orang Tionghoa Komunis, namun [Heidhues, 2008: 269] berpendapat bahwa militer bertanggung jawab atas mutilasi tersebut.

Copel [1973] menduga keras adanya hasutan militer untuk menyerang, memperlihatkan bagaimana kesatuan-kesatuan militer telah mengepung komunitas-komunitas Dayak di 1967, mencoba menghasut mereka untuk melawan orang Tionghoa, namun tidak berhasil hingga orang Dayak sendiri yang diserang.

Feith [1983] mencatat bahwa beberapa tokoh intelektual Dayak merasa bahwa mereka digiring ke sisi dan berkeinginan mendapatkan sebuah pengembalian kekuasaan, barangkali dengan mengelola kekerasan 1967, tetapi kekerasan tersebut tidak terkendali. Beberapa orang di Kalimantan saat itu mengatakan bahwa para pemimpin Dayak kemudian merasa bahwa mereka telah disalahgunakan.

Sesudah serangan terhadap kampung-kampung Dayak, hasutan dari pihak militer mulai memberikan pengaruh, mengobarkan balas dendam orang Dayak. Pasukan keamanan pemerintah Indonesia menyebarkan kabar angin yang meningkatkan ketegangan, bahwa orang-orang komunis merencanakan sebuah pemberontakan umum pada Oktober 1967. tidak jelas apakah kabar angin ini muncul sebelum atau setelah serangan kampung-kampung Dayak.

Ditutupnya perbatasan Sarawak pada 1963 memperbesar ketegangan dan menghancurkan kegiatan perekonomian selundupan yang menguntungkan baik orang Tionghoa maupun Dayak. Lebih jauh lagi, produk karet di Kalimantan Barat sedang mengalami krisis sejak pasar di Singapura ditutup selama konfrontasi antara Indonesia dengan malaysia, dan sebagai akibatnya harga karet sangat menurun. Kelangkaan pangan, bahkan kelaparan menyertai kekacauan ekonomi di dalam negeri.

Sebelum terjadinya serangan Dayak, militer Indonesia menyebutnya demonstrasi, simbol-simbol perang Dayak tradisional bergerak dari kampung ke kampung. Sebuah mangkok berisi darah ayam dan dihiasi dengan bulu, yang disebut mangkok merah, menandai seruan untuk melakukan pengerahan serangan. Pembalasan dendam orang Dayak pertama kali terjadi pada 14 Oktober di Taum bagian selatan sanggauledo.

Suasana berubah ketika beberapa pemuda Tionghoa mulai menyerang balik. Beberapa sumber mengatakan ini adalah tanda untuk orang Dayak untuk menggunakan senjata api, meningkatkan kekerasan. Di berbagai tempat, para perempuan dan anak-anak Tionghoa melarikan diri atau bersembunyi. Ketika sifat demonstrasi berubah pada Nopember, para demonstran bersenjata dengan senjata berburu tua mulai membunuh orang Tionghoa dan membakari harta benda orang Tionghoa.

Perubahan mendadak dalam tingkat kekerasan dihubungkan dalam suatu penuturan mengenai penangkapan seorang gerilyawan, yang ketika sedang dibawa ke kota berhasil meloloskan diri dari penangkapnya, membunuh seorang orang Madura, sementara penangkap keduanya adalah orang Dayak dan mencuri sebuah senapan, meskipun cerita ini patut dipertanyakan. Terdapat banyak penjelasan yang semuanya sulit untuk diperiksa kebenarannya. Penuturan lain menyebutkan terjadi suara tembakan di Senakin, sesudah itu diikuti pembalasan dendam oleh orang Dayak.

Di Sebadu dan Mandor, toko-toko Tionghoa dibakar dan mayat-mayat orang Tionghoa dibariskan di jalan. Jumlah korban bervariasi dari beberapa ratus hingga beberapa ribu. Di Menjalin dan Anjungan hampir-hampir tidak ada apa-apa di pasar-pasar Tionghoa yang masih berdiri. Padi di sawah-sawah milik orang Tionghoa dipanen oleh orang Dayak yang sawahnya sendiri belum siap dipanen.

Kekerasan 1967 dengan sengaja diarahkan kepada semua penduduk Tionghoa dengan anggapan yang sangat jelas disuaran oleh miiter bahwa semua orang Tionghoa baik asing maupun warganegara merupakan pendukung Tiongkok komunis maupun PKI. Ketika orang-orang Tionghoa melarikan diri, toko-toko, rumah-rumah dan sekolah-sekolah dibakar oleh para penyerang. Siapapun penggeraknya, orang Tionghoa dibunuhi, tidak hanya diusir.

Tentara secara terbuka mendorong pengayauan (pengambilan kepala) oleh penyerang dan kemudian malahan memberikan tanda kehormatan bagi orang yang menggorok kepala orang Tionghoa. Serangan Dayak telah mengosongkan pedalaman Distrik Tionghoa dari orang Tionghoa yang hidup di sana sejak zaman kongsi. Setelah sekitar tiga bulan penyerbuan segalanya menjadi lebih tenang.

TAPALBATAS MILITER DAN POLITIK
* OPERASI MILITER DAN INTELIJEN

Pada waktu Indonesia masih menganut asas Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS), Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) yang semuanya berhaluan komunis, diizinkan masuk ke Kalimantan Barat akibat terdesak oleh operasi militer pasukan Inggris dan malaysia.

Di Kalimantan Barat, mereka membentuk kantong-kantong gerilya di sepanjang daerah perbatasan. Mereka menggunakan nama organisasi yang berbeda di beberapa tempat, tetapi kader mereka sama. Bahkan mereka juga memperoleh latihan kemiliteran dari militer Indonesia: RPKAD, KKO AL ataupun Brimob Angkatan kepolisian.

Setelah terjadinya pemberontakan G30S/PKI, gerilyawan komunis Serawak di Kalimantan Barat diperintahkan menyerahkan senjata dan meninggalkan Kalimantan Barat kembali ke Serawak. Sebagian di antara mereka mematuhi perintah itu, tetapi sebagian lainnya menolak. Mereka yang menolak, selanjutnya melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Indonesia. Dengan demikian mereka menjadi gerombolongan komunis bersenjata di Kalimantan Barat.

Pada 1967, barisan Rakyat atau Bara yang merupakan fusi antara PGRS dan CDB PKI Kalimantan Barat di bawah pimpinan Achmad Sofyan, menyerang gudang senjata AURI di Pangkalan Udara Sanggau ledo atau Singkawang II. Serangan yang dipimpin oleh Ju Lie seorang Cina Komunis di Singkawang. Mereka berhasil menjarah 133 pucuk senjata yang sebagian besar terdiri dari senapan Chung buatan RRC, senapan serbu Heckler & Koch G3, dua senapan mesin berat Degtyarev DShK-38 kaliber 12,7 m dan berpeti-peti amunisi dari berbagai jenis.

Jumlah senjata yang dirampas itu dapat untuk mempersenjatai pasukan berkekuatan satu kompi. Gudang senjata AURI yang dikuasai oleh gerombolongan komunis itu kemudian dibakar habis. Dua senapan mesin 12,7 mm, yang dibawa lari gerombolongan komunis masuk ke hutan akhirnya terpaksa ditinggalkan di hutan karena mereka tidak mampu membawanya.

Sejak 1965, Mako RPKAD telah menempatkan pasukannya di Kalimantan barat secara bergantian. Setelah terjadinya peristiwa penyerangan gudang senjata di Pangkalan Udara Singkawang II, operasi penumpasan gerombolongan komunis di Kalimantan Barat semakin ditingkatkan. Pasukan Kodam XII/Tandjungpura yang terdiri dari dua batalyon organik masing-masing Yonif 641 dan Yonif 642, ditambah pasukan dari luar Kalimantan Barat.

Moril PGRKU tinggi, karena mereka berhasil melakukan penghadangan terhadap konvoi Batalyon 7/Ranger Tentara Diraja Malaysia, di jalan raya antara Biawak—Tanjung Tiakar Serawak pada Mei 1972. dalam penghadangan itu gerombolongan komunis berhasil menewaskan 17 anggota Yon 7/Ranger, merampas 17 pucuk senjata dan 2.700 butir peluru serta menghancurkan enam kendaraa militer. Pada bulan-bulan berikutnya PGRKU mencapai beberapa keberhasilan lainnya di Serawak. Setahun sebelumnya PGRKU berhasil melakukan penghadangan di Kalimantan Barat yang menwaskan dua anggota Yonif 406/Candrakusuma Kodam VII/Diponegoro dan merampas sepucuk senapan US M1 Garrand.

Di Kalimantan Barat gerombolan komunis ini menamakan dirinya North Kalimantan People Guerille Force (NKGF) atau pasukan Gerilya Rakyat Kalimantan Utara (PGRKU). Mereka adalah sisa-sisa kekuatan PGRS, paraku dan TNKU setelah gerombolan komunis Serawak di Kalimantan Barat itu berhasil dihancurkan pada 1972.

Pimpinan tertinggi PGRKU dipegang oleh Li Yen Wha alias Lin Po Kwi dengan jabatan Military Commissar (MC). Batalyon PGRKU di bawah pimpinan Wong Hong merupakan batalyon yang masih aktif. Wong Hong adalah adik kandung Wong Ki Cok, komandan Batalyon paraku yang telah dihancurkan sebelumnya. Ia didampingi oleh Cing Kiong sebagai Komisaris Politik. Bentuk organisasi militer tersebut merupakan organisasi model komunis..

Di sektor barat yang begitu luas, kadang gerombolongan komunis muncul untuk meneror rakyat, kemudian mereka menghilang. Mereka sulit dicari. Pada 19 Nopember 1972 di kalangan gerombolan komunis bersenjata telah terjadi peristiwa penting. Mereka memanfaatkan kekosongan pasukan di lapangan, di mana tiga haris kemudian, 21 Nopember terjadi serah terima tugas dari Satrgas 32 dan Kompi A Yonif 412 Kodam VII/Diponegoro kepada Satgas 42.

Gerombolongan komunis mengadakan rapat di Nonog yang dihadiri oleh Lam Ho Kwai seorang tokoh PGRKU dan Wong Ki Chok tokoh Paraku. Rapat itu antara lain menghasilkan keputusan Melaksanakan Revolusi Gaya Baru. Kalau para anggota PGRKU di lapangan diserang oleh militer Indonesia, pimpinan PGRKU telah mengeluarkan instruksi agar sedapat mungkin mereka meninggalkan daerah tempur untuk sementara waktu. Tetapi setelah keadaan memungkinkan mereka diinstruksikan agar kembali ke tempat semula.

Ketika Satgas 32 bertugas di Kalimantan Barat, satuan pasukan Korp Baret Merah itu beroperasi di Sektor Timur Daerah Operasi Kalimantan Barat. Akhirnya Sektor Timur berhasil diamankan, tetapi kemudian gerombolongan komunis Serawak mulai mengalihkan kegiatan operasinya di Sektor Barat Daerah Operasi Kalimantan Barat.

Akibatnya terjadi peningkatan kegiatan gerombolongan komunis Serawak di Sektor Barat, maka didirikan markas komando di Paloh, Sektor Barat, yang berseberangan langsung dengan keberadaan Batalyon Wong Hong di Serawak, karena baru pertama kalinya dilakukan operasi yang efektif Sektor Barat. Di sektor itu banyak penduduk keturunan Cina yang menjadi pendukung atau sedikitnya simpatisan PGRKU. Pada awalnya penduduk di Sektor Barat merasa curiga bercampur dengan rasa takut atas kedatangan pasukan Baret Merah, sehingga sikap mereka tidak bersahabat.

Operasi militer di Kalimantan Barat merupakan operasi keamanan dalam negeri yang pelaksanaannya dibagi menjadi operasi tempur, operasi intelijen dan operasi terirotial. Strategi yang dipakai yakni aktif mencari musuh di sarangnya. Untuk melancarkan operasi itu, disusun organisasi pasukan Para Komando dan Sandiyudha. Kompi Para Komando (Parako) bergerak di hutan untuk melakukan operasi tempur, sedangkan Karsayudha melakukan operasi intelijen strategis yang diproyeksikan untuk mendukung operasi tempur.

Gerakan pasukan Sandiyudha merupakan gerakan tertutup di garis belakang di kampung-kampung yang terletak di daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak. Pasukan ini melakukan infiltrasi dan penggalangan terhadap rakyat untuk melawan PGRS dan mencari informasi keberadaan gerombolan komunis di hutan. Selain itu mereka melakukan operasi tertutup di daerah konsolidasi yang meliputi daerah Singkawang, pemangkat dan Sambas.

Koppasandha juga melakukan operasi intelijen tempur. Prayudha 1 tidak ikut serta dalam operaso intelijen tempur, karena satuan pasukan Sandiyudha itu berada di bawah pengawasan pada Korem 121/Pontianak dan langsung berada di bawah taktis Yonif 642/Sriwijaya I Kodam XII/Tandjungpura. Jadi seluruh kota besar di Kalimantan Barat terdapat pasukan Sandiyudha. Jika di daerah perbatasan terdapat masalah atau informasi penting, maka hal itu dapat dikirim ke pasukan Sandiyudha yang berada di daerah belakang. Demikian juga sebaliknya.

Musuh yang dihadapi adalah batalyon pimpinan Wong Hong yang merupakan kesatuan bersenjata satu-satunya tumpuan harapan untuk meneruskan cita-cita perjuangan komunis Serawak. Wong Hong membawahi enam kompi. Kompi 6 diperkirakan merupakan kompi terkuat, karena kompi ini sekaligus mendapat tugas sebagai bodyguard kelompok pimpinan PGRKU.

Tetapi Kompi 2 di bawah pimpinan Then Bu Ket merupakan kompi terkuat dan terlengkap persenjataannya dalam balatyon PGRKU. Di antara 80 orang anggota Kompi 2, ada 10 orang perempuan dan seorang dokter ahli bedah bernama Siauw Lung. Sekali sebulan, komandan kompi menghadap Komisariat Militer. Demikian pula sekali sebulan para kepala seksi, menghadap komandan kompi.

Then Bu Ket sebagai komandan kompi, didampingi oleh Lie Kek Bun dengan jabatan Komisaris Politik. Kompi 2 PGRKU beroperasi di Sektor Barat Kalimantan Barat dan Serawak dengan kedudukan mobile dan tidak menetap serta tidak dipengaruhi oleh batas negara.

Taktik tempur gerombolan komunis yang dilakukan berdasar pada taktik perang gerilya ajaran Mao Zedong (Mao Tze Tung), yaitu selalu bergerak mobile, menghindari konsentrasi, menghindari pertempuran yang menentukan, tidak mempertahankan suatu kedudukan, berusaha terus menguasai hati rakyat dan selalu memperluas pengaruh ideologi komunisme terhadap masyarakat. Tingkat pimpinan dalam Kompi 2 ialah komisaris politik, komandan kompi, wakil komandan kompi, dan penasihat. Mereka semua menggunakan senapan serbu H&H G3 yang dijarah dari gudang senjata AURI di Pangkalan Udara Sanggau Ledo Singkawang II.

PKI GAYA BARU: PETUALANGAN AKHIR SOFYAN
Selain menghadapoi gerombolongan komunis Serawak, Satgas 42 juga menghadapi sisa-sisa PKI Kalimantan Barat di bawah pimpinan Achmad Sofyan yang membentuk PKI Gaya Baru. Achmad Sofyan dengan nama lengkap Sayid Achmad Sofyan Al Barakbah sebagai Ketua CDB PKI Kalimantan Barat, membagi Kalimantan Barat menjadi dua komite, yaitu Komite Daerah Kapuas untuk Sektor Timur dan Komite Daerah Pantai untuk Sektor Barat yang menjadi daerah operasi Kopassandha.

Sofyan melakukan operasi clandestin di daerah belakang dan daerah penyangga sesuai dengan strategi PKI, yaitu melakukan penggarapan massa, menyusun organisasi partai di bawah tanah, dan melakukan perjuangan bersenjata. Menurut militer Indonesia yang melakukan penumpasan, gerombolan komunis di Kalimantan Barat, kebanyakan terdiri dari orang-orang Cina (tertentu, Pen) yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang-orang Cina di garis belakang, seperti Singkawang, Pemangkat dan di daerah sekitarnya. Orang-orang Cina yang tinggal di kota pada umumnya bersikap netral. Seandainya mereka tahu tempat gerombolan, mereka tetap diam.

Tetapi, ada juga di antara mereka yang menjadi informan gerombolan komunis. Bahkan ada pula yang menjadi pemasok logistik bagi gerombolan. Komunikasi mereka dengan gerombolan di daerah perbatasan dilakukan melalui dead letter box (DLB) berupa celah-celah pohon tertentu atau tempat lain yang cocok untuk menyembunyikan surat di dalam hutan. Operasi Satgas 42 berlangsung di Sektor Barat, karena menurut informasi, kegiatan gerombolan PGRKU menunjukkan adanya hubungan komunikasi dan logistik dari daerah belakang seperti Singkawang, Pemangkat, Sambas sampai ke pedalaman di daerah perbatasan. Demikian pula terdapat hubungan antara PGRKU di daerah perbatasan dengan gerombolan PKI Gaya Baru yang berada di daerah belakang, sehingga gerakan-gerakan itu semua dapat dibaca.

Tiga kompi Yonif 515 lainnya melakukan operasi teritorial di daerah belakang. Operasi teritorial pasukan di daerah konsolidasi dan daerah stabilitasi dimaksudkan untuk menetralisasi pemerintahan, sosial dan ekonomi dari gangguan keamanan, serta memisahkan gerombolan komunis dari rakyat. Di daerah konsolidasi operasi teritorial yang dilakukan hanya bersifat membantu, karena di daerah ini operasi teritorial bersifat khusus. Dalam pelaksanaannya dikombinasikan dengan penggalangan yang erat hubungannya dengan operasi intelijen.

Salah satu pesan lewat surat yang ditulis dalam huruf maupun bahasa Cina yang tidak berbentuk sandi di DLB, jatuh ke tangan intelijen. Bagi Kopassandha, membaca maupun menerjemahkan surat yang ditemukan di DLB itu tidak sulit, karena di Kopassandha banyak anggota yang menguasai bahasa dan huruf Cina. Selain itu mereka juga dibantu oleh penerjemah orang-orang Cina asal Pontianak.

Setelah isi pesan di DLB yang berisi permintaan makanan, perlengkapan dan obat-obatan diterima oleh pemasok logistik, kemudian penerima menyalurkan permintaan itu lewat orang Cina yang bekerja sebagai petani. Biasanya barang-barang yang diminta ditinggalkan di dalam gubuk, kemudian gerombolan mengambilnya pada malam hari. Tetapi kali itu mereka yang akan mengambil kiriman logistik itu disergap dan terjadi pertempuran. Akhirnya beberapa orang di antara mereka berhasil ditangkap. Ternyata mereka adalah orang yang tinggal di suatu kampung terdekat dan sanak keluarganya juga tinggal di situ.

Pengejaran terhadap Achmad Sofyan dilakukan oleh satu tim dari jakarta di bawah pimpinan Letkol Sutarno seorang anggota Baret Merah. Tim itu beroperasi di Sektor Barat dengan didukung oleh Kapten Hendropriyono Kasi-1/Intelijen. Sebenarnya Sofyan ketika itu sudah hampir tertangkap. Tetapi pengejaran Sofyan dalam ruang gerak yang semakin sempit terpaksa terhenti, karena Satgas 42 keburu ditarik dari Kalimantan Barat kembali ke basis. Tidak mungkin pasukan pengganti yang baru datang dari Jakarta langsung dapat menangkap Sofyan.

Dalam perkembangan operasi selanjutnya, Sayyid Achmad Sofyan Al-Barakbah ditembak mati oleh Kapten Johanes Sudiono juga seorang warga Baret Merah.

AKANKAH KONFRONTASI MALAYSIA KEDUA
Hiruk pikuk berita di media belakangan memberitakan sengketa dengan negara tetangga Malaysia. Sedikitnya sudah tiga kasus yang terhimpun. Kasus yang paling mengharu biru tentu saja drama pelarian Manohara Pinot dari cengkeraman suaminya Tengku Muhammad Fakhry Petra, Pangeran Kelantan malaysia. Lalu, ada juga kabar pada waktu yang hampir bersamaan, digondolnya arsip-arsip kuno Kerajaan Melayu Riau oleh Malaysia. Yang terakhir dan cukup menggugah harga diri bangsa adalah kasus provokasi Tentar kerajaan Diraja Laut Malaysia di wilayah Ambalat, Kalimantan Timur.

Malaysia ternyata bukan jiran yang selalu simpatik. Tak Cuma doyan menyerobot pekarangan orang, dalam kasus Ambalat, midalnya. Negeri jiran itu pun merasa perlu mengusir dan menyiksa tenaga kerja Indonesia, yang dianggap datang secara ilegal, dengan cara arogan, petantang-petenteng, semari memeras dan merampas hak-hak mereka. Di sisi lain, kapal-kapal ikan mereka rakus menguras perairan tetangganya. Belum lagi, para cukongnya gentayangan menjadi bandar pembalakan hutan di Sumatera, Kalimantan, dan belakangan Irian.

Saat Presiden Susilo bambang Yudhoyono mencanangkan gerakan meringkus kawanan pencuri kayu ilegal dalam program 100 harinya di awal kepemimpinannya hampir lima tahun lalu, cukong-cukong itu mengungsikan ponton-pontonya di Kota Sibu, Serawak, di tepi Sungai Rejang. Tapi begitu perhatian pemerintah tersisa oleh gempa tsunami di Aceh ketika itu, ponton-ponton itu bergegas mencari mangsa. Tujuannya, Kalimantan Barat dan Papua.

Kayu eboni dicolong dari Kalimantan Timur. Para sindikat itu tidak peduli bahwa pohon kayu ini hampir punah. Sementara kayu merbau dari papua hanya mampir sebentar di malaysia untuk diberi dokumen palsu, kemudian diekspor ke Cina. Dalam sebulan, 300.000 meter kubik kayu merbau mendarat di Cina. Ini penyelendupan terbesar di dunia. Indonesia jelas rugi besar. Setahun bisa kecolongan Rp 8 trilyun lebih. Belum lagi kerusakan hutan yang tak ternilai harganya. Karena aktor intelektualnya tak pernah tertangkap.

Hak Indonesia pertama yang dicaplok malaysia adalah Stambul Terang Bulan. Lagu dengan lirik “terang bulan terang di kali, buaya timbul disangka mati” itu mendadak dijadikan lagu kebangsaan Persekutuan Tanah Melayu pada hari kemerdekaannya dari Inggris, 31 Agustus 1957. Presiden Sukarno, dengan semangat bertakzim-takzim terhadap tetangga baru serumpun, segera mengumumkan lagu idola para buaya keroncong itu tak lagi boleh dinyanyikan sembarangan di seantero Indonesia.

Kecuali dalam perkara Stambul terang Bulan, hubungan jakarta dengan Kuala Lumpur sesungguhnya tak bisa dibilang mesra-mesra amat. Sudah sejak 1958 tokoh-tokoh yang terlibat atau mendukung pemberontakan daerah di Indonesia mendapat suaka di Negeri Semenanjung itu. Situasi ini tak berbeda jauh dengan masa ketika Malaysia ditengarai menjadi tempat berlindungnya orang-orang gerakan Aceh Merdeka yang tersudut di Indonesia.

Hanya empat tahun setelah kemerdekaan negerinya, Tunku Abdul rahman Putra al-Haj, Yang Dipertuan Agong dan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu, memulai perundingan dengan Perdana Menteri Inggris, Harold McMillan, mengenai proyek Malaysia. Perundingan di London itu dimulai pada Oktober 1961, dan dilanjutkan pada Juli tahun berikutnya. Federasi baru ini akan meliputi pula Serawak, sabah dan Singapura, yang merupakan koloni Inggris, serta Brunei yang berstatus protektorat.

Pada 16 September 1963, Federasi Malaysia diumumkan berdiri, meliputi Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah dan Serawak. Esoknya, 17 September 1963, Indonesia memutuskan hubungan dilomatik dengan Kuala Lumpur. Sejak tanggal itu hingga akhir 1963, Indonesia mencatat 20 kali pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh Malaysia. Pelanggaran darat di perbatasan tercatat 21 kali. Tahun berikutnya Inggris dan Malaysia melakukan 56 kali pelanggaran udara, dan 14 kali pelanggaran darat di perbatasan.

KTT Manila jadi juga digelar, pada 31 Juli-5 Agustus 1963. Dalam pertemuan ini Presiden Sukarno menyatakan akan mengakui Malaysia, dengan syarat penyelenggaraan plebisit untuk menjajaki keinginan sesungguhnya rakyat Kalimantan Utara. Dengan kesepakatan KTT Manila, Sekretaris Jenderal Perserikatan bangsa Bangsa (PBB), U Thant, membentuk tim yang dipimpin diplomati Amerika, Michelmore, untuk menjajaki pendapat rakyat di Serawak dan Sabah.

Jajak pendapat inilah yang, menurut Bung Karno, penuh akal-akalan. Inggris mempersulit visa para peninjau Indonesia, sehingga mereka terlambat tiba. Jumlah petugas PBB sangat dibatasi oleh Inggris, tak sebanding dengan luas daerah yang harus diawasi. Tim itu sendiri baru mulai bekerja pada Agustus 1963. Sukarno berang. Pemerintah Indonesia, kata Bung Karno ketika itu, telah dikentuti bulat-bulat dan diperlakukan seperti patung.

Presiden Sukarno mencanangkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964, untuk memperhebat ketahanan revolusi Indonesia, dan membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Sarawak, dan Brunei. Di bawah karisma dan orasi Sukarno yang berkibar-kibar, semangat Ganyang Malaysia bangkit di seantero negeri. Pendaftaran sukarelawan dibuka di mana-mana. Unjuk rasa terjadi hampir saban hari. Apalagi setelah Indonesia keluar dari PBB, 7 Januari 1965. Menyusul diterimanya Malaysia sebagai anggota organisasi bangsa-bangsa itu. Betapa siapnya para prajurit, militer Indonesia, di sepanjang perbatasan Kalimantan dengan sabah, Sarawak, dan Brunei.

Konfrontasi itu terjadi hampir tiga tahun. Baku tembak berlangsung sengit. Pasukan KKO menewaskan delapan orang musuh dan melukai 19 lainnya di Tawao. Batalyon Kujang yang bertempur di Sambas Kalimantan Barat menggelandang 34 pasukan Gurkha, yang sebelumnya dikatakan pantang menyerah itu. Tercatat empat pesawat terbang Inggris ditembak jatuh. Memang, perang udara dan laut tak sampai meletus. Yang terjadi sebatas kontak senjata di hutan-hutan Kalimantan.

Meski tak diumumkan secara resmi, Inggris mengklaim telah menewaskan 590 serdadu Indonesia dan menawan 770 lainnya. Pihaknya mengaku kehilangan 114 prajurit, dan 181 lainnya terluka. Tidak ada konfirmasi resmi dari pihak Indonesia. Malaysia ketika itu negeri yang baru lahir. Menghadapi ancaman dari Indonesia, negeri terkuat di Asia Tenggara, Malaysia minta bantuan dari para pengawalnya: Inggris, Australia dan Selandia Baru. Tidak kurang dari 17.000 personil pasukan gabungan itu didatangkan. Sebagian dari mereka ini adalah serdadu Gurkha, legiun asing dari balatentara Inggris yang diawaki orang-orang bayaran dari wilayah sekitar Bhutan.

Inggris memang bermaksud membentuk Malaysia sebagai negara federasi. Tapi niat itu ditentang keras oleh Bung Karno dan semula Presiden Filipina Diosdado Macapagal. Dua pemimpin ini meminta Inggris mau mendengar aspirasi Sabah, Sarawak, Brunei dan Singapura, yang ingin berdiri sendiri. Desember 1962, pecah perlawanan di Brunei. Tunku Abdul rahman menuding Indonesia menyokong pemberontakan yang dipimpin Azahari. Ketua Partai rakyat Brunei ini memproklamasikan kemerdekaan Kalimantan Utara, meliputi Brunei, sabah dan Sarawak, setelah dia memenangkan pemilihan umum. Tapi Inggris cepat membungkamnya.

Indonesia mulanya tidak menyokong pemberontakan di Brunei ini. Saat terjadi kudeta di Brunei, Azahari justru berada di manila, menemui Emanuel Pelaez Wakil Presiden Filipina. Akhirnya Bung Karno secara terbuka mendukung perjuangan rakyat Brunei, sabah dan Sarawak. Komando Siaga, pasca ia mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora), segera dibentuk. Situasi memanas. Hubungan diplomasi kedua negara putus setelah London mengumumkan pembentukan negara federasi Malaysia, 29 Agustus 1964. Malaysia juga menutup hubungan diplomasinya dengan Filipina.

Di tengah gelora aksi Ganyang Malaysia, gelar pasukan dimulai September 1964. Pasukan RPKAD, sekarang Kopassus, ditempatkan di sekitar Long Bawang, Lumbis, Kalimantan Timur. Pasukan KKO marinir siaga di Nunukan. Batalyon 329/Kujang Siliwangi dan Batalyon 430 Kodam Diponegoro pun dikirim ke tapal batas tanah air. Sebagian menembus jauh ke Sarawak dan Sabah guna melatih tentara yang dipimpin Azahari.

Namun, apa lacur, Sukarno dijatuhkan dari kursi kepresidenan, menyusul pemberontakan 30 September 1965 oleh PKI. Rezim Orde Baru memulihkan hubungan dengan Malaysia, dan pada 28 September 1966 Indonesia kembali ke haribaan PBB. Konfrontasi itu berangsur reda menyusul terjadinya perubahan politik besar di Jakarta.

Kemenangan atas sengketa Sipadan-Ligitan lewat Mahkamah Internasional tak serta merta bisa jadi landasan menguasai Ambalat. Pemerintah Malaysia melanggar Konvensi Hukum Laut PBB, alias United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos). Unclos terlahir dari Konferensi Hukum Laut ketiga PBB yang diteken 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika. Konvensi ini telah mengadopsi konsep negara kepulauan yang diperjuangkan, antara lain, oleh Indonesia. Baik negara kepulauan maupun negara pantai punya jalur yang disebut laut teritorial. Yakni jalur selebar 12 mil laut ditarik dari garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar negara pantai atau kepulauan.

Pasal 15 Unclos menyebutkan bahwa alasan historis bisa dijadikan landasan untuk menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara dengan cara tertentu. Bila mengacu pada alasan historis ini, sejak zaman Kesultanan Bulungan, kini masuk Propinsi Kalimantan Timur, para nelayan daerah tersebut terbiasa mencari ikan di daerah ini. Ada hubungan historis yang kuat antara Kesultanan Bulungan dan Ambalat.

Pemerintah jiran itu baru mengklaim Ambalat masuk wilayahnya dengan cara mengundang perusahaan minyak Shell untuk melakukan eksplorasi. Hal ini dilakukan setelah Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002 memutuskan Sipadan-Ligitan masuk wilayah Malaysia. Sebelum Sipadan-Ligitan diputus oleh Mahkamah Internasional, negeri jiran itu tak berani mengusik Ambalat. Blok Ambalat, demikian kata Badawi ketika itu Perdana Menteri Malaysia, masuk wilayah malaysia memang setelah adanya kedaulatan baru atas Sipadan-Ligitan, Malaysia merasa menarik garis pangkalnya dari kedua pulau yang baru didapatnya itu.

Namun, putusan tersebut hanya menyangkut kedaulatan kedua pulau itu. Tidak menyangkut landas kontinen. Untuk landas kontinen, harus dilihat berdasarkan Unclos tahun 1982. Masalah kedaulatan atas dua pulau kecil dan tidak berpenghuni itu berbeda dengan pengaruh dua pulau itu atas delimitasi landas kontinen. Karena itu, tindakan Malaysia menarik garis batas salah alamat. Kedua hal tersebut adalah masalah yang sangat berbeda. Delimitasi batas laut harus ditinjau dari sudut pandang lainnya, antara lain Unclos tahun 1982 itu.

Indonesia adalah negara kepulauan. Sedangkan Malaysia negara pantai. Sebagaimana diatur dalam Unclos, negara kepulauan berhak menarik garis di pulau-pulau terluarnya sebagai patokan untuk garis batas wilayah kedaulatannya. Sedangkan negara pantai, Malaysia ini, hanya berhak menarik garis dari pantainya. Bukan dari pulau terluarnya.

Adapun klaim atas Ambalat sebenarnya berawal dari peta yang dibuat Malaysia tahun 1979. Pada peta yang dibuat sepihak itu, Pulau Sipadan-Ligitan masuk dalam wilayah Malaysia. Saat itu juga muncul reaksi. Selain Indonesia, Singapura, Filipina, dan Thailand ikut memprotes. Dengan adanya protes ini, mestinya Malaysia menyelesaikannya dengan negara-negara yang menyoalnya. Tapi langkah itu tak dilakukan. Malaysia hanya bersemangat mempersoalkan Sipadan-Ligitan.

Setelah pemerintah Malaysia dinyatakan berhak atas kedua pulau itu, barulah berani mengklaim Ambalat. Padahal, bila merujuk Pasal 74 dan 83 Unclos 1982, delimitasi batas ZEE dan landas kontinen haruslah ditetapkan dengan perjanjian dan berdasarkan pada hukum internasional. Itulah yang tidak pernah dilakukan pihak Malaysia. Hal itu menunjukkan bahwa klaim batas secara unilateral seperti yang dilakukan malaysia dengan peta 1979-nya tidak memiliki kekuatan hukum.

Ambalat itu milik Indonesia. Jadi, tak perlu ada tawar menawar lagi dengan Malaysia. Selama rezim Orde Baru, hubungan Indonesia-Malaysia mesra. Belakangan memanas lagi, karena Indonesia merasa diperlakukan bak TKI, gampang direnggut hak dan martabatnya. Kini, setelah mendapatkan dengan mudah Sipadan dan Ligitan, Malaysia berasumsi Ambalat pun akan dengan gampang jatuh ke pangkuan mereka, segampang dulu Tunku Abdul Rahman mengadopsi Stabul Terang Bulan, misalnya.

Bagi Indonesia, saat ini yang penting bukan sekadar mempertahankan mati-matian kawasan Ambalat. Lebih dari itu adalah bagaimana mereformasi manajemen pengelolaan kawasan perbatasan laut, baik melalui format hukum maupun kebijakan kemaritiman yang konkret. Format hukum nasional harus disusun secara kuat dan diakui dunia internasionakl. Celah kelemahan format hukum nasional inilah yang tampaknya terbaca oleh Malaysia sehingga dengan mudah mengusik kedaulatan Indonesia.

Kekayaan Indonesia berupa puluhan ribu pulau juga harus diperkuat dengan visi maritim, yang sebenarnya sudah ada sejak Deklarasi Djuanda 1957. Tetapi Indonesia tidak pernah serius mengemas visi tersebut dalam bentuk kebijakan dan hukum nasional.di belakang itu semua, harus diwaspadai, siapa yang diuntungkan atas ketegangan Indonesia-Malaysia ini. Ambalat kini menjadi pertaruhan bagi Indonesia, juga keutuhan Asean.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar