Sabtu, 12 September 2009

SISI LAIN KAHAR MUZAKKAR

SISI LAIN KAHAR MUZAKKAR
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Jenderal (Purn) Muhammad Jusuf telah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Hingga akhir hayatnya, Jusuf merahasiakan jenazah Kahar Muzakkar. Itu dimaksudkannya demi menghindari pertumpahan darah ke depan. Jusuf menutupi ini untuk menghindari adanya sebuah tempat, yang bisa dijadikan simbol kemarahan dan kebencian, yang suatu saat, bisa memicu pelatuk kemarahan bagi pengikut atau orang yang sefaham dengan Kahar Muzakkar. Bagi Jusuf, nisan adalah simbol yang bisa jadi mithos, dan mithos bisa dijadikan jalan menuju apa saja.

Masih dalam kaitan dengan Kahar Muzakkar, saat Jusuf memutuskan mendatangkan tentara dari Jawa untuk memberantas pasukan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, orang bertanya, mengapa Jusuf tidak menggunakan saja pasukan pemerintah yang sudah ada di kedua provinsi itu, Sulawesi Selatan dan Tenggara, yang juga tentara-tentara bersuku Bugis atau pun Makassar, sama dengan suku Kahar Muzakkar? Mengapa Jusuf mengambil kebijakan seakan membiarkan sukunya digempur pasukan luar?

Tentang itu tak pernah ada jawaban Jusuf ke publik hingga wafatnya. Agaknya, kebijakan tanpa penjelasan publik, ternyata dilakukan Jusuf, semata karena ia ingin cepat menyelesaikan kasus ini. Baginya, jika Kahar Muzakkar digempur dengan pasukan lokal, persoalan bisa berlarut-larut sebab pasukan lokal yang ada, pasti memiliki tali temali kekeluargaan dengan Kahar Muzakkar, atau pengikut dan pasukan Kahar Muzakkar. Ikatan emosional seperti itu bisa memperpanjang agenda perang, atau memperpanjang agenda dendam.

Sementara, menyangkut Kahar Muzakkar, Sintong Panjaitan dalam buku memoarnya, Sintong Panjaitan Sang Prajurit Komando yang diluncurkan 11 Maret 2009 dalam berkisah mengenai perjalanan karir militernya antara lain memuat penggalan pengalamannya dalam menghadapi pemberontakan Kahar Muzakkar.

Dituliskan di sana, antara lain: … Sebagai anak buah, Sintong tahu betul apa yang harus dia lakukan, dia harus tunduk pada tugas dan perintah atasan. Ketika ia ditugaskan untuk memburu pemberontak Kahar Muzakkar, di Sulawesi ia jalankan sesuai perintah. Sintong yang jadi Komandan Peleton bersama peleton lainnya dari RPKAD mengejar Kahar Muzakkar di hutan dengan medan yang cukup berat. Entah karena kepiawaiannya, atau ditambah faktor keberuntungan, Peleton Sintonglah yang kemudian berhasil membuntuti kahar Muzakkar sampai ke jarak yang sangat dekat dan siap untuk menyergap. Sebagai anak buah, Sintong melaporkan posisinya kepada atasannya dan siap untuk menyergap Kahar Muzakkar. Selanjutnya laporan itu diteruskan secara berjenjang kepada Pangdam XIV Hasanudin yang merangkap sebagai Panglima Operasi, Brigjen M Jusuf. Oleh Panglima, Peleton Sintong diperintahkan untuk mengambil posisi menutup, sedangkan penyergap ditugaskan kepada unit lain. Padahal Peleton Sintonglah yang menemukan persembunyian Kahar Muzakkar. Sintong Panjaitan melaksanakan perintah atasannya, sehingga unit lainlah yang kemudian menyergap dan menembak mati Kahar Muzakkar yang berusaha melarikan diri.

Menurut Daniel S Lev, dalam Mencari Demokrasi, awal demokrasi terpimpin itu muncul ketika militer tak mau lagi diperintah. Militer selalu berpikir selalu lebih baik dari sipil. Tentara tidak akan tunduk pada pemerintahana sipil. Terbukti pada 1955 Bambang Utoyo diangkat oleh kabinet Ali Sastroamijoyo menjadi KASAD, ditolak sendiri oleh tentara. Dan setelah Jenderal Nasution diangkat kembali menjadi KASAD, hanya butuh waktu dua tahun sistem parlementer telah bubar. “Itu adalah permulaan menuju ke Demokrasi Terpimpin,” tulis Daniel.

Pada Konferensi Meja Bundar disepakati negara federal. Negara Serikat. Tapi kemudian, bentuk federal hanya bertahan berapa bulan, tak sampai setahun. Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kekuasaan pada Republik Indonesia Serikat (RIS), yang memberi kekuatan penuh daerah untuk mengatur diri sendiri. Dan pada 1950 Presiden Soekarno memproklamirkan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Negara serikat itu dibagi tujuh: Republik Indonesia di Yogyakarta, Negara Indonesia Timur di Makassar, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra Timur di Medan dan Negara Sumatra Selatan. Sakit hati Kahar berlanjut. Setelah keinginan untuk menjadikan pasukan KGSS bergabung ke tubuh TNI ditolak, maka sentimen Jawa pun dimunculkan. Dibentuk pula sebuah Barisan Anti Jawa Komunis (Bajak). Jika yang terindikasi PKI dan terbukti maka langsung bunuh. Tak ada pengadilan. Tak ada ampun. Selesaikan dulu baru lapor. “Harus diingat bukan benci orang Jawa keseluruhan, tapi Jawa yang komunis”, ungkap seorang mantan pengikut Kahar Muzakkar di usia senjakalanya.

Andi Cakka, salah seorang anak Kahar Muzakkar suatu ketika pernah menegaskan, bahwa bapaknya (Kahar Muzakkar) berjuang atas kepentingan rakyat. Bukan kekuasaan. Diingatkan, pada 1943 Kahar aktif dalam revolusi di Jawa, kemudian diasingkan di Luwu tempat kelahirannya. Lalu pada 1948 di Jakarta sekumpulan pemuda yang dulu ikut bertempur di Jawa membentuk KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) dengan mayoritas anggotanya orang Minahasa. Pemimpinnya A “Zus” Ratulangie anak perempuan Gubernur Republik Sulawesi dan Kahar menjadi sekretaris.

Kahar Muzakkar tak berhasil menjadi komandan di Selatan, sebab tak hanya ditentang oleh perwira MBAD, tapi datang pula dari perwira-perwira Bugis-Makassar termasuk Andi Mattalatta dan Saleh Lahade. Sebelumnya Kahar, dipercaya menjadi Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia-Sulawesi. Dan menjadi orang Bugis-Makassar pertama yang berpangkat letnan kolonel (letkol). Ketika pasukan di luar Jawa akan disatukan menjadi satu satu brigade, Kahar ditunjuk sebagai wakil dan Letkol JF Warouw sebagai pemimpinnya.

Pada 1950 Kahar ditugaskan berunding dengan pasukan gerilya di Sulawesi Selatan yang selama ini mejagokannya dan menghormatinya. Akhir 1951 Kahar memperjuangkan Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), yang terdiri dari 10 batalyon, untuk dimasukkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dan menjadi Brigade Hasanuddin di bawah kepemimpinannya. Hasilnya gagal. Alasannya masalah pendidikan. Kahar pun memimpin gerilyawan masuk ke hutan. Dan meletakkan pangkat Letnan Kolonelnya di depan Alex Kawilarang.

Panglima Komando Kodam XIV Hasanuddin, M Jusuf yang memimpin opersi kilat mengadakan pertemuan dengan Kahar di Bone Pute (1962). Isi pertemuan beragam, banyak versi. Tapi, menurut Nyiwi seorang yang yang ikut langsung mendampingi Kahar Muzakkar, itu bukan perundingan, tapi hanya sebuah pertemuan. Pada pertemuan itu Kahar Muzakkar menyatakan penyerahan dan pernyataannya. Jadi perundingan itu adalah istilah keliru, sebab yang bicara hanya Kahar Muzakkar sendiri, sedangkan Jusuf tidak. “Kahar bicara begini, mulai hari ini semua saya serahkan padamu Jusuf. Termasuk pasukan saya 1200 lebih dengan rakyat Sulawesi, timbul tenggelamnya tergantung pada panglima Jusuf,” kata Kahar Muzakkar ditirukan Nyiwi sebagaimana dilansir dalam salah satu blog internet.

Dikenangkan, setahun setelah perjanjian Bone Pute, Kahar memanggil Kaso Abdul Gani yang selama ini mengurusi urusan luar negeri. Sebelumnya yang menjadi menteri luar negeri pada perjuangan Kahar di NII adalah Hasan Tiro. Kahar meminta Gani menjadi presiden pertama Republik Persatuan Sulawesi (RPS). Disebutkan, masa itu ada ketakutan dominasi Jawa. Maka timbullah istilah yang sangat populer dikalangan pasukan Selamatkan Sulawesi. Kahar tak senang dengan sistem feodal. “Bangsa yang menjajah bangsa sendiri”, kata Kahar Muzakkar.

Dalam buku Revolusi Ketatanegaraan Indonesia, Abdul Kahar Muzakkar pernah menuliskan keterangan tentang dirinya. “Sedjak masa ketjil saja tidak pernah ditundukkan oleh lawan-lawan saja dalam perkelahian dan sedjak dewasa saja tidak pernah mendjadi “Pak Toeroet” pendapat seseorang di luar adjaran Islam.”

Pada buku yang ditulisnya berjudul Tjatatan Bathin Pedjoang Islam Revolusioner, Kahar Muzakkar mempertegas siapa dirinya dengan mengeja arti namanya. Abdul artinya hamba, Kahar artinya Tuhan yang Gagah Perkasa, sedangkan Muzakkar memiliki makna jantan. “Jadi, Abdul Kahar Muzakkar berarti: Hamba Tuhan jang bersifat djantan”, tulisnya. Kira-kira begitulah watak dan kepribadian Abdul Kahar Muzakkar. Sebuah pemahaman sekaligus penyerahan diri pada nilai-nilai Islam yang ditunjukkan oleh seorang patriot.

Kahar Muzakkar, lahir dari keluarga Bugis berdarah panas, yang tak mengenal kata gentar dalam kamus hidupnya. Kisah perjuangannya dimulai sejak Jepang memasuki Sulawesi. Tak seperti banyak pemuda, yang menganggap Jepang pembebas dari Timur, Kahar Muzakkar yang menolak menjadi Pak Turut tak mudah percaya. Pembelotan pertama yang ia jalani adalah menentang sikap Kerajaan Luwu yang kooperatif dengan penjajah Jepang. Hukuman pun dijatuhkan, Kahar Muzakkar dituduh menghina kerajaan dan diganjar vonis adat ri paoppangi tana, hukuman yang memaksa ia pergi dari tanah kelahiran.

Pada periode inilah ia terjun total dalam kancah perjuangan kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah toko bernama Toko Luwu yang ia jadikan sebagai markas gerakannya. Kiprah ini pula yang mengantar beberapa muda menemui Kahar Muzakkar suatu malam dan meminta ia membantu pembebasan pemuda-pemuda berjumlah 800 di Nusakambangan. Pembebasan itu terjadi pada Desember 1945, dan 800 orang yang dibebaskan menjadi cikal bakal lasykar yang dibentuknya. Lasykar yang diberinama Komandan Groep Seberang ini pula yang menjadi motor perlawanan secara militer di Sulawesi Selatan.

Dalam satu suratnya untuk Soekarno, Kahar Muzakar mengutarakan suatu pernyataannya, “Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, djika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia jang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Al Qur’an….”

Tapi sayang, seruan Kahar Muzakkar seperti gaung di dalam sumur. Harap tak bertemu, malah petaka yang dituai. Kahar Muzakkar menjemput ajalnya di tangan tentara Divisi Siliwangi yang dikirim khusus menghabisi gerakannya.

Begitulah pada kesudahan sebuah petualangan yang dilakukan seorang patriot pejuang untuk republik pada zamannya dan kemudian selaku pemberontak untuk republik pula pada zaman lainnya. Bila melacak akar pemberontakan yang dilakukan Kahar Muzakkar yang kemudian ditimpakan julukan sebagai Pemimpin Pemberontakan Darul Islam di Sulawesi Selatan, sekurangnya dimulai dengan suatu kejadian bersejarah pada 17 Agustus 1949. Pada saat tersebut dibentuklah Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) oleh Saleh Sjahban dengan tujuan mempersatukan demikian banyaknya mantan pejuang yang terpencar dan terpencil yang beroperasi sendiri-sendiri di daerah itu.

Kahar Muzakkar sendiri tiba di Makassar 22 Juni 1950. Selama beberapa hari sesudah kedatangannya, dia melakukan wawancara dengan Kawilarang kemudian melakukan kunjungan singkat ke Sulawesi Selatan untuk berusaha meyakinkan para pejuang agar menerima syarat yang diusulkan Tentara Republik, mereka diakui sebagai prajurit dulu, dan rasionalisasi seyogyanya barulah dijalankan sesudah itu.

Syarat ini, sejalan dengan kompromi yang sebelumnya diajukan para pemimpin KGSS sendiri. Tetapi sekembalinya dari perjalanannya, Kahar Muzakkar mengajukan usul balasan yang diinginkan oleh para pejuang . Mereka menghendaki agar jumlah pejuang yang akan diterima mencapai sedikit-dikitnya kekuatan satu brigade. Di samping itu, Kahar Muzakkar dan para pejuang ini menghendaki mereka membentuk brigade tersendiri, tidak terpencar dalam sejumlah satuan yang berbeda-beda.

Usul KGSS itu ditolak Kawilarang dalam suatu pertemuan dengan Kahar Muzakkar 1 Juli 1950. Kemudian Kawilarang mengeluarkan pengumuman untuk membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan, dan pada hari yang sama melarang semua kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan organisasi gerilya baru, menurut Kawilarang, karena masa integrasi pejuang ke dalam tentara telah berakhir. Pada Agustus Kawilarang menyatakan, 70 persen pejuang telah memasuki tentara, dan hanya 30 persen yang menolak melakukan demikian, kemudian dia memperingatkan terhadap yang belakangan ini tentara akan bertindak.

Ketika mendengar reaksi Kawilarang atas usul-usul yang dibawanya, Kahar Muzakkar menyatakan mengundurkan diri dari tentara dan menyerahkan lencananya kepada panglima. Beberapa hari kemudian dia masuk hutan. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, kata sebuah sumber, dia diculik KGSS, atas prakarsa Andi Sose, walaupun mungkin sekali Andi Sose bertindak demikian berdasarkan perintah, atau setidak-tidaknya dengan persetujuan Kahar Muzakkar diam-diam. Kahar Muzakkar mengintruksikan para pejuang lain untuk mengabaikan larangan yang dikeluarkan Kawilarang tentang KGSS. Oleh karena itu KGSS terus berfungsi walaupun sekarang sebagai organisasi ilegal. Seluruh keadaan menjadi lebih ironis, beberapa bulan ketegangan berkelanjutan dengan pertempuran-pertempuran antara pasukan Tentara Nasional Indonesia dengan pasukan Kahar Muzakkar.

Berdasarkan keterangan resmi militer Indonesia yang dikeluarkan oleh Letnan Kolonel Kosasih, Kepala Staf Tentara Republik untuk Sulawesi Selatan, tentara memutuskan melancarkan serangan terhadap gerombolan pemberontak karena barisan mereka telah disusupi penjahat-penjahat. Tudingan yang demikian kerap dilontarkan oleh Tentara Republik dengan maksud memojokkan setiap orang yang tidak setuju dengan kebijaksanaan republik, dan terus menentangnya.

Setelah adanya sikap keras tentara yang tidak kenal kompromi ini berbuntut panjang. Belakangan di kalangan sipil di Sulawesi Selatan sendiri maupun di Jakarta tidak sependapat dengan sikap yang diambil oleh Tentara. Mereka berpendapat, bahwa pada setiap pejuang ada sifat patriotismenya. Namun oleh kalangan tentara dianggapnya sebagai gerombolan pengacau. Ditambahkannya, sesungguhnya di Sulawesi Selatan lebih banyak terdapat simpati terhadap kaum pejuang, di mana mereka banyak yang diberi makanan oleh penduduk desa, ketimbang terhadap Tentara Republik.

Sejak semula benar, Kahar dan para pejuang mendapat dukungan luar biasa dari rakyat setempat yang memperlihatkan simpati yang besar dengan penderitaan mereka ini, dan mereka anggap kehadiran pasukan-pasukan dari Jawa, pemimpin-pemimpin pemerintah, dan unsur-unsur kebudayaan luar Sulawesi di pantai mereka, sebagai penghinaan terhadap rakyat Sulawesi, padahal rakyat Sulawesi telah demikian banyaknya menyumbang harta dan darah sehingga mengalami penderitaan yang amat sangat untuk memperoleh kemerdekaan dari Belanda.

Begitu juga ada indikasi kuat yang menyatakan bahwa, militer republiklah yang menyebabkan terjadinya pertempuran karena menduduki pangkalan-pangkalan gerilya. Hal ini pula yang memperkuat kecurigaan para pemberontak pimpinan Kahar Muzakkar. Dari pihak Kahar Muzakkar menyatakan, sesungguhnya mereka mengundurkan diri ke hutan untuk menghindarkan terjadinya pertumpahan darah, dan mereka hanya membalas dan bertempur dalam keadaan terpaksa. Para pemberontak, begitu sebutan yang lazim ditudingkan kepada mereka ini, sebenarnya lebih menginginkan jalan kompromi dalam menyelesaikan kemelut yang ada. Pada September Kahar Muzakkar memberitahukan, tuntutan menghendaki Brigade Hasanuddin dan dia sendiri yang menjadi komandannya bukanlah tuntutan yang mutlak.

Dalam hal masuknya Kahar Muzakkar sendiri beserta anak buahnya ke dalam Tentara, dia sama sekali bersedia menyerahkan kepada tentara berapa jumlah tepatnya dan siapa yang tetap dan siapa yang akan di demobilisasikan. Pendirian sikap ini jelas-jelas dikatakan oleh seorang juru bicara gerombolan Kahar Muzakkar sendiri akhir Oktober. Juru bicara ini menekankan, perbedaan antara Tentara Republik dan koleganya bukanlah perbedaan prinsip atau ideologi. Satu-satunya masalah yang tetap harus diselesaikan ialah masalah integrasi Brigade Hasanuddin ke dalam Tentara Republik. Begitu masalah ini dapat diselesaikan, demikian dikemukakannya, para pemberontak bersedia memasuki batalyon depot dan akan mematuhi perintah para atasannya sebagai prajurit yang setia.

Ditunjukkan belakangan bukti sebagai syarat yang jelas akan kesetiaan mereka bahwa para pemberontak membantu tentara dalam Mei dan Agustus. Oleh karena itu ada permintaan dari banyak kalangan untuk berusaha mencari penyelesaiannya dengan cara damai. Suatu resolusi yang mendesak pemerintah untuk tidak menggunakan kekerasan disampaikan oleh dua puluh dua partai politik dan organisasi Sulawesi Selatan, maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas prakarsa fraksi Kerakyatan.

Di samping itu, pada 18 Agustus, sebuah Panitia Jasa Baik dibentuk penduduk setempat yang terkemuka. Panitia ini diketuai Jusuf Bauti, anggota Dewan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, beserta seorang anggotanya yang paling aktif Salawati Daud, istri seorang pejabat pemerintah di Maros, salah satu benteng para pemberontak.
Pada 25 Maret 1951, akhirnya tibalah hari yang lama dinanti-nantikan: pembentukan resmi Persiapan Brigade Hasanuddin sebagai bagian dari Korps Cadangan Nasional Tentara Republik. Pada hari ini juga Kahar Muzakkar meninggalkan tempat persembunyiannya. Suatu upacara khusus untuk menyambutnya diadakan di Maros: sebanyak lima sampai enam ribu orang telah berkumpul untuk menyaksikan dia bersama prajurit-prajuritnya memasuki kota pukul tujuh malam hari.

Salawati Daud dan Kahar Muzakkar sendiri yang bicara kepada pasukan. Kahar Muzakkar dalam pidatonya, yang berlangsung kira-kira setengah jam, secara panjang lebar membicarakan tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya bahwa ia terlalu ambisius, ia masuk hutan semata-mata untuk melanjutkan tujuannya, dan ia sengaja melarut-larutkan perundingan agar terjamin pengukuhan pangkatnya sebagai letnan kolonel. Walaupun banyak orang yang percaya, dia dan Saleh Sjahban haus pangkat dan kedudukan, disangkalnya tuduhan-tuduhan ini dengan mengemukakan, walaupun kenyataan membuktikan ia memiliki kursi-kursi besar, meja-meja besar, dan telah menghadapi orang-orang penting di masa lampau, semuanya ini bukanlah satu-satunya tujuan hidupnya.

Kahar Muzakkar mengatakan dia dicurigai sangat mendambakan pangkat letnan kolonel, tetapi pangkat letnan kolonel ini yang didesakkan kepadanya, demikian ditegaskannya, sambil menambahkan, bila ada orang yang menginginkan mengambil alih pimpinan Brigade Hasanuddin, mereka dipersilakan maju ke depan dan melakukan keinginan itu; hanya saja dia tidak sudi menyerahkan tugas ini kepada mereka yang telah membakari rumah-rumah rakyat yang tidak berdosa.

Namun disayangkan adanya pembentukan Korps Cadangan Nasional pada Maret sama sekali tidak berarti, gerombolan Kahar Muzakkar telah menjadi prajurit biasa dari Tentara Republik. Penggabungan resminya direncanakan Agustus. Tetapi antara Maret dan Agustus 1951 terjadi serangkaian insiden yang mengakibatkan perpecahan baru lagi antara tentara dan Kahar Muzakkar. Pertentangan baru ini pada akhirnya menuju keretakan terbuka dan tak terdamaikan.Dalam minggu-minggu sebelum hari yang telah ditetapkan untuk integrasi resmi Korps Cadangan Nasional, pertentangan intern yang pertama di kalangan pengikut-pengikut Kahar Muzakkar terjadi ketika Andi Selle memihak pemerintah dalam persoalan apakah integrasi Korps Cadangan Nasional Sulawesi Selatan akan dilakukan batalyon demi batalyon atau tidak.

Penggabungan Batalyon Bau Masseppe Andi Selle ke dalam tentara sebagai Batalyon 719 pada 7 Agustus 1951 hanyalah memperbesar pertentangan antara Kahar Muzakkar dan tentara, selanjutnya. Namun tidak seluruh Batalyon Bau Masseppe mengikuti komandannya, melainkan sebagian dari padanya dengan Hamid Gali dan Usman Balo sebagai pemimpin-pemimpin utamanya dan tetap setia kepada Kahar Muzakkar. Setelah terjadi sedikit pertempuran dengan para pengikut Andi Selle mereka mengundurkan diri ke bagian lain Pare-pare dan membentuk batalyon baru, yang dipimpin Hamid Gali.

Tidak pula hubungan-hubungan antara Kahar Muzakkar dan Andi Selle putus sama sekali, dan pada waktunya hubungan antara keduanya membaik lagi. Bahar Mattaliu menyebut Andi Selle sebagai salah satu sumber pokok senjata Kahar Muzakkar, dan benar-benar dikatakannya: "…Ini berarti, bahan-bahan mentah terus dikirimkan Kahar kepada Andi Selle yang membayarya dengan pelor, senjata berat dan ringan, dan dengan pakaian seragam tentara".

Dalam menghadapi pemberontakan Kahar Muzakkar, tentara republik berusaha menghadapinya dengan melakukan serangkaian operasi militer. Terutama sekali pada tahun-tahun mula kerusuhan dengan mengajak kesatuan-kesatuan pemberontak yang merasa tidak puas dengan Kahar Muzakkar untuk menyerah. Dan mengenai hal yang akhir ini, tentara republik mengambil sedikit keuntungan dari adanya perselisihan antar pemberontak sendiri. Pertikaian ini bisa muncul karena sebagian ambisi dan dendam pribadi, sebagian lagi karena perbedaan ideologi mengenai jalan yang harus ditempuh dalam perlawanannya terhadap pemerintah Republik Indonesia.

Bertepatan waktunya dengan ketika pemerintah menganjurkan penyelesaian politik psikologis, Kahar Muzakkar memperkuat posisinya. Dalam masa inilah dilakukan pembaharuan hubungan antara dia dan Sekarmadji Mardijan Kartosoewirjo. Hubungan pertama antara mereka telah dilakukan Agustus tahun sebelumnya, ketika Kahar Muzakkar masuk hutan. Pada waktu itu Kahar Muzakkar didesak melalui perantaraan Bukhari, ketika itu wakil ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Abdullah Riau Soshby, salah seorang tampuk pimpinan Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat, untuk membentuk Komandemen TII untuk Sulawesi.

Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo atau yang dikenal luas sebagai SM Kartosuwirjo bukanlah nama yang asing, terutama kalangan sejarawan pasti sangat mengenal nama ini. Dia memulai karirnya di Serikat Dagang Islam (SDI), lalu melanjutkannya di Serikat Islam (SI), dan setelah itu ia mengikuti Partai Islam Indonesia (PII), Masyumi, dan baru akhirnya ia membentuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

Sebetulnya perjalanan Kartosuwirjo membentuk DI/TII bukanlah sesuatu yang instan dan terjadi begitu saja. Ia bukannya bangun dari tidurnya di suatu pagi dan langsung berpikir akan membentuk negara Islam, melainkan hasil dari pemikiran dan pertimbangannya yang menyatukan antara otak cerdasnya dan pemahaman agamanya yang diakui banyak kalangan memang dalam. Dan itu adalah, demikian sebuah pembelaan sedikit pendapat untuknya, sebagai cita-cita yang sudah ada sejak lama dari dalam dirinya.

Kartosuwirjo sebenarnya terkenal tidak pernah akur, kalau tidak dibilang benci, dengan Soekarno yang tak lain adalah sahabatnya di Surabaya semasa aktif di Serikat Islam dan sama-sama dibimbing RM HOS Tjokroaminoto. Salah satu ungkapannya menggambarkan kebenciannya pada Soekarno pada saat ia tertangkap dan dipenjara, lalu menjelang dijatuhi hukuman mati. Ketika itulah lalu Mahkamah Agung menawarkan padanya untuk mengajukan permohonan grasi atau pengampunan kepada presiden Soekarno, supaya hukuman mati yang telah dijatuhkan kepadanya dibatalkan. Namun, dengan sikap khasnya ia pun menjawab bahwa dia tidak akan pernah meminta ampun kepada manusia yang bernama Soekarno.

NII atau Negara Islam Indonesia, yang dalam sisi lain disingkat juga sebagai Darul Islam atau DI, sebuah pengertian dari Rumah Islam, dimaksudkan Kartosuwirjo sebagai sebuah gerakan politik yang diproklamasikannya pada 7 Agustus 1949 bersamaan 12 Sjawal 1368 di Cisampah, Ciawiligar, Kawedanan Cisayong Tasikmalaya, Jawa Barat.
dimaksudkan semula olehnya gerakan ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negaranya.

Di dalam proklamasinya itu dinyatakannya bahwa hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia (NII) adalah Hukum Islam, dan lebih jauh lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa negara (NII) berdasarkan Islam dan hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits. Proklamasi Negara Islam Indonesia yang dikumandangkannya itu dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk memproduk undang undang yang berlandaskan syariat Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur’an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan hukum kafir.

Gerakan ini juga bahkan mempunyai proklamasi sendiri, yang kalau diamati substansinya tidak terlalu jauh berbeda dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, isinya adalah:

Proklamasi
Berdirinja Negara Islam Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim Asjhadoe anla ilaha illallah wa asjhadoe anna Moehammadar Rasoeloellah
Kami, Oemmat Islam Bangsa Indonesia menjatakan:
Berdirinja Negara Islam Indonesia
Maka hoekoem jang berlakoe atas Negara Islam Indonesia itoe, ialah: hoekoem Islam
Allahoe Akbar! Allahoe Akbar! Allahoe Akbar!
Atas nama Oemmat Islam Bangsa Indonesia
Imam Negara Islam Indonesia
Ttd

(SM Kartosoewirjo)
Madinah-Indonesia, 12 Sjawal 1368 / 7 Agoestoes 1949

Menelisik ke belakang tentang keberadaan NII itu sendiri, yang kemudian nanti dijadikan induk pemberontakan Kahar Muzakkar, ada banyak versi atau pendapat yang dikemukakan mengenai NII itu sendiri. Kisah dari sumber yang pertama, adalah yang sangat dikenal luas, dikarenakan adalah versi resmi dari pemerintah. Dalam versi ini garis besarnya, ditegaskan bahwa NII adalah sebuah gerakan pemberontak yang berpotensi menghancurkan keutuhan bangsa Indonesia. Gerakan pemberontakan yang tidak terlalu jauh beda dengan pemberontakan Ratu Adil, dan bahkan PKI. Gerakan ini disebut sebagai gerakan terlarang dan sesat. Dan dari sumber dan sudut ini pun, cerita dan data tentang Kartosuwirjo agaknya banyak yang dihilangkan, tentu sekali dimaksudkan untuk menjauhkan ingatan terhadap tokoh ini dan gerakannya.

Lalu, sebuah pengungkapan lain menyangkut Kartosuwirjo dan NII-nya disebutkan bahwa gerakan NII yang dibentuk Kartosuwirjo itu adalah sebuah gerakan yang juga bertujuan untuk menyelamatkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di hadapan Belanda dan dunia internasional. Latar belakang pengungkapannya demikian, karena pasca perjanjian Renville 1949 yang berakibat daerah kekuasaan Indonesia hanya meliputi Jogja dan sekitarnya, dan itupun masih dipersengketakan antara Belanda dan Indonesia, sehingga kekuasaan Republik Indonesia saat itu nyaris tidak ada dan hanya berbentuk negara-negara serikat saja, di mana saat itu Soekarno hanya bisa memerintahkan rakyat Indonesia untuk pindah dan mengungsi, demikian pendapat itu, walaupun dalam pidatonya, Soekarno mengatakan bahwa itu adalah hijrah, sebaliknya Kartosuwirjo dan NII-nya justru bertahan dan berusaha mempertahankan wilayah Jawa Barat.

Belakangan, masih dari penuturan terakhir, Kartosuwirjo bahkan menyebut atau menuding Soekarno dan kaum republikein lainnya adalah pasukan liar yang kabur dari medan perang, sekalipun dalam lanjutannya, pindahnya Soekarno ke Jogjakarta adalah untuk menyelamatkan keberadaan republik itu sendiri.

Dari sanalah, yang disebutkan dengan menggunakan metode hijrah milik Kartosuwirjo yang non-kooperatif terhadap Belanda, akhirnya NII diproklamasikan di bawah bendera Bismillahirrahmaanirrahiim. Namun, dalam proklamasi itu, menurut sejumlah penuturan, langsung dituding sebagai tindak makar untuk membentuk sebuah negara di dalam suatu negara yang berdaulat.

Dikarenakan negara Republik Indonesia pada saat itu hanya tinggal wilayah Yogyakarta, sementara Negara Islam Indonesia berada di Jawa Barat dan mengalami ekspansi atau pemekaran wilayah. Daerah Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh dan belakangan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dengan tegas menyatakan mendukung berdirinya Negara Islam Indonesia tersebut. Konon, dukungan itu, terutama juga yang kemudian diberikan Kahar Muzakkar ternyata bukan hanya berupa pernyataan atau retorika belaka, tapi ikut bergabung secara revolusional. Kahar Muzakkar agaknya di tataran awal mengidentikkan bahwa Negara Islam Indonesia adalah satu-satunya gerakan rakyat yang disambut demikian meriahnya, khususnya di Sulawesi Selatan.

Kartosoewirjo secara pribadi mengirimkan sepucuk surat kepada Kahar Muzakkar yang menawarkan kepadanya pimpinan Tentara Islam Indonesia di Sulawesi beberapa bulan kemudian. Secara resmi tawaran ini diterima Kahar Muzakkar 20 Januari 1952. Demikianlah ia menjadi panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia, yang juga disebut Divisi Hasanuddin. Syamsul Bachri diangkat menjadi Gubernur Militer Sulawesi Selatan. Dalam surat tersebut yang ditulis Kahar Muzakkar dalam menerima pengangkatannya, dinyatakan bahwa ia sendiri merasa berterima kasih dan menjunjung tinggi kepercayaan yang diperlihatkan Kartosoewirjo kepadanya dengan keputusan mengangkatnya menjadi panglima Tentara Islam Indonesia untuk Sulawesi.

Bersamaan dengan itu dinyatakannya, tak dapat sepenuhnya ia mengabdikan diri, karena berbagai keadaan yang mungkin merintanginya dalam setiap tindakan yang diambilnya sebagai panglima Tentara Islam. Selanjutnya dikemukakannya, dari lima batalyon yang dipimpinnya beberapa di antaranya meliputi kelompok bukan Muslim yang dipengaruhi ide-ide Komunis. Dilanjutkannya dengan menyatakan, dia ingin memulai suatu revolusi Islam sejak 16 Agustus 1951, dan segala sesuatunya telah direncanakan bersama komandan-komandan bawahan Saleh Sjahban dan Abdul Fatah, tetapi yang belakangan ini ternyata tidak teguh pendirian pada Kahar Muzakkar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar