Sabtu, 12 September 2009

AMBANG AKHIR PEMBERONTAKAN KAHAR MUZAKKAR

AMBANG AKHIR PEMBERONTAKAN KAHAR MUZAKKAR
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Jalinan kerjasama militer antara Permesta dan Darul Islam versi Kahar Muzakkar ternyata tidak sampai menghasilkan sesuatu yang berarti. Namun kenyataan yang ada, adalah Permesta terutama merupakan urusan Sulawesi Utara atau dengan kata lain lebih fokus di Minahasa, sedangkan gerombolan Kahar Muzakkar memposisikan diri di Sulawesi Selatan dan sebagian Sulawesi Tenggara. Tambahan lagi, berbeda sangat jauh dengan pemberontakan Darul Islam, pemberontakan PRRI/Permesta relatif pendek usia pergolakannya.

Pada akhirnya pasukan resmi pemerintah Republik Indonesia menduduki pusat-pusat utama pemberontakan dan menghalau gerombolan Permesta ke dalam hutan hanya menghabiskan waktu setengah tahun. Meski Permesta terus juga beroperasi dari hutan dan pedalaman sampai 1961, namun Permesta tidak lagi merupakan sebuah ancaman yang berbahaya bagi Republik Indonesia.

Kahar Muzakkar sebenarnya memperoleh atau lebih tepat dikatakan telah menerima pasokan persenjataan dan amunisi sebagian dari gerombolan Permesta, yang untuk sisi tersendiri bisa menjalin kerjasama, meski pada sisi lain berbeda jauh dalam tujuan dan haluan idealisnya. Bukan tanpa imbalan sebaliknya. Atas bantuan (dan dukungan dalam bentuk khususnya itu), pasukan Kahar Muzakar selanjutnya sebagian atau dalam jumlah tertentu akan dikirim ke basis Permesta dan mengirimkan pasokan pangannya ke utara.

Di samping hal-hal itu, Kahar Muzakkar juga menerima balabantuan sekitar 200 gerilyawan Permesta, yang dipimpin Gerungan, yang telah diusir militer Indonesia yang menumpasnya. Tetapi hanya itu saja, dan tidak lebih dari hal demikian. Namun, secara resmi ia masuk Republik Persatuan Indonesia (RPI), yang asal mulanya adalah hasil perundingan Februari 1960 antara pimpinan PRRI dan Darul Islam di Sumatera yang melanjutkan perlawanannya sesudah mayoritas pimpinan muslim di sini mengadakan persetujuan damai dengan Republik Indonesia. Ini memberikan pengertian lain, mereka sebagai barisan pembangkang tersendiri.

Setelah semakin jauh terkontaminasi dengan berbagai pemahaman dan kebijakan yang memengaruhinya, akhirnya militer versi Kahar Muzakkar ini pada tahun-tahun kemudiannya tersusun atas tiga macam pasukan yang satu sama lainnya berlainan bentuk keberadaannya, namun tetap di bawah kendali Kahar Muzakkar. Tiga pasukan yang dipecah itu masing-masing Momok, Tentara Islam Indonesia atau TII yang belakangan terdiri dari dua divisi, masing-masing Divisi 40.000 dipimpin Bahar Mattaliu dan Divisi Hasanuddin dipimpin Sjamsul Bachri, serta suatu kesatuan yang menyatu dengan Kesatuan Permesta.

Perkembangan lebih lanjut lagi, ini semua menggambarkan selama rentang waktu pemberontakan Kahar Muzakkar gerombolan yang dipimpinnya selalu mengalami perubahan, atau tidak mengalami ketetapan struktur yang permanen. Pada masa pemberontakan PRRI/Permesta dilakukan suatu reorganisasi ditandai dengan pembentukan Momok Ansharullah, atau Barisan Pembantu Allah. Agaknya Kahar Muzakar bermaksud mengintegrasikan ke dalamnya bukan hanya Momok Lama, namun juga bagian terbesar kedua Divisi TII lain yang tersisa.

Rencana ini telah menimbulkan suatu persoalan internal, di mana timbul suatu pertentangan antara Kahar Muzakkar dan beberapa komandan komando bawahannya, terutama dengan dua wakilnya yang terpenting ketika itu, Bahar Mattaliu dan Sjamsul Bahcri. Dua nama terakhir memang pada kesudahannya nyata berseberangan dengan Kahar Muzakkar. Bahar Mattaliu melempar tuduhan bahwa Kahar Muzakkar bermaksud menghancurkan Tentara Islam Indonesia (TII) di Sulawesi. Tentang itu, Bahae Mattaliu menuliskan khusus mengenai keberadaan Momok Ansharullah, “…baru sesudah Momok Ansharullah dibentuk mulai ketahuan, gagasan Kahar Muzakkar untuk membentuk Momok ini tidak lain daripada pendahuluan rasionalisasi TII besar-besaran, atau bahkan menghapuskannya seluruhnya, karena RII telah ketularan penyakit krisis moral yang menyebabkan merosotnya sama sekali daya tempurnya…”

Akibat perlawanan para komandan di lingkungan internal TII, pergolakan yang dilancarkan Kahar Muzakar mulai saling bersimpang tujuan, arah dan jalan yang dituju dan ditempuh. Namun komitmen mereka semua tetap mempertahankan TII agar tetap hidup dan eksis, walaupun disadari pula ole mereka keberadaannya sudah kurang memiliki kekuatan lagi sebagaimana tahap awal keberadaannya. Momok dimaksudkan berfungsi sebagai pasukan gerak cepat, dan jauh lebih baik persenjatannya ketimbang yang lain. Dalam konfrontasi dengan pasukan republik yang memukul keberadaannya, kenyataan yang ditemukan biasanya TII yang menyerang terlebih dahulu, bersama dengan satuan-satuan yang hanya bersenjatakan golok dan pisau. Sesudah mereka terkena pukulan pertama, satuan-satuan Momok pun mulai digerakkan, maju besar-besaran, gelombang demi gelombang untuk melakukan perlawanan balasan.

Puncak ketegangan internal di kalangan pemberontak melawan republik itu, hampir terjadi suatu pertikaian seru, atau memungkinkan suatu kontak senjata antara Kahar Muzakkar dan pasukan yang dipimpinnya dengan Bahar Mattaliu serta sejumlah komanan dari Divisi 40.000 yang menolak dimasukkan ke dalam Momok Ansharullah, dan mereka ingin bertahan berdiri sendiri.

Opsi terakhir dari Kahar Muzakkar ditujukan kepada Bahar Mattaliu berupa pilihan, yaitu menjadi Wakil Menteri Pertahanan Negara Islam Indonesia, yang mestinya ini diduduki Kahar Muzakkar sendiri, atau pergi keluar negeri melakukan wisata studi. Keterangan belakangan kemudian dari Bahar Mattaliu dia memilih alternatif kedua, dia mengakui memilih opsi tersebut karena dia takut dituduh menyaingi Kahar Muzakkar sang pemimpin mereka.

Akan tetapi, dari sebuah penelitian lanjut, opsi yang dipilihnya itu tak lebih sebagai sebuah kenyataan kenyataan yang sesungguhnya Bahar Mattaliu mempersiapkan diri untuk menyerah. Pada 5 September 1959 seorang utusan mengunjungi pimpinan militer Sulawesi Selatan dan Tenggara yang mengatakan bahwa Bahar Mattaliu telah mengambilalih pimpinan atas pasukan Darul Islam sebagai protes terhadap perintah Kahar Muzakkar untuk membakar habis rumah-rumah orang sipil. Ketika mendengar maksud Bahar Mattaliu untuk menyerahkan diri, sejumlah pimpinan militer lalu mengumumkan sebuah amnesti untuknya.

Selanjutnya pada 12 Sepember, Bahar Mattaliu yang menyebut dirinya sebagai Panglima DI/TII Sulawesi Selatan dan Tenggara, secara resmi menyerahkan dirinya dan mengimbau kepada semua anggota Tentara Islam lainnya untuk berbuat demikian pula sebagaimana yang dilakukannya. Di samping itu surat-surat selebaran dijatuhkan pesawat-pesawat militer Indonesia. Di dalamnya Bahar Mattaliu dalam kafasitasnya sebagai Panglima Divisi IV, atau Divisi Hasanudin DI/TII, memerintahkan semua perwira militer dan pejabat sipil Negara Islam di Sulawesi Selatan menyerah kepada pemerintah Republik Indonesia. Juga selanjutnya ia melarang para anggota DI/TII masuk ke dalam Momok Ansharullah dan Permesta, karena kata dia, kegiatan kedua kelompok pemberontak ini tidak akan bertanggungjawab terhadap kehancuran Sulawesi Selatan.

Sementara itu di dalam himbauannya kepada anggota-anggota lain Tentara Islam untuk menyerah, dijelaskan Bahar Mattaliu, keputusannya sendiri untuk kembali kepada Republik Indonesia diinspirasi oleh dekrit Soekarno yang menentukan kembali ke Undang Undang Dasar 1945, yang menandai awal Demokrasi Terpimpin.
Membaca situasi dan kondisi yang ditempuh orang kepercayaannya itu, yang dianggapnya telah bersimpang jalan di dalam ril pemberontakan terhadap Republik Indonesia, Kahar Muzakkar segera mengumpulkan semua pimpinan di lingkungan pemberontakan yang dia pimpin dengan maksud membicarakan jalan pemberontakan selanjutnya. Pada kesempatan itu ternyata beberapa komandan kepercayaannya menyatakan dirinya menyokong untuk menyerah dan turun dari hutan mengikuti langkah yang telah ditempuh Bahar Mattaliu.

Bahar Mattaliu sendiri terang-terangan mengatakan persimpangan jalan dan tujuan yang dipilihnya dengan Kahar Muzakkar bukan dikarenakan faktor lain, melainkan sebuah pertentangan pemikiran dengan Kahar Muzakkar sendiri dan terhadap dekadensi moral pasukan Kahar Muzakkar. Mungkin lebih tepat, alasan terakhir inilah yang menjadi keretakan di dalam tubuh Tentara Islam Indonesia pimpinan Kahar Muzakkar ini. Itu lebih kentara dengan derasnya arus kecaman terhadap tingkah laku Momok Ansharullah maupun instruksi Kahar Muzakkar yang menurut kata orang telah membolehkan anggota-anggotanya mengawini tawanan-tawanan wanita, atau lain sebutan, tindakan asusila.

Mattaliu memandang, apa yang dilakukan pasukan Kahar Muzakkar itu sudah sangat tidak sesuai atau tidak mencerminkan hakikat syariat Islam, sementara mereka menempuh pemberontakan sebagai perjuangan mengatasnamakan Islam itu sendiri. Dia memandang, Momok Ansharullah sebagai pasukan liar yang tak lebih dari kumpulan orang-orang bejat yang melanggar syariat Islam. Inilah juga yang menjadi sasaran serangan dalam suatu pamplet yang ditulis Bahar Mattaliu dengan judul Manifesto Tahun 1379 H, yang di dalamnya antara lain dikemukakannya, “… langkah-langkah Kahar Muzakkar semuanya bertentangan dengan Islam …”

Pamplet ini, skalipun pengantarnya diberi tanggal 25 September 1950 (1959), yaitu dua minggu sesudah penulisnya, Bahar Mattaliu, menyerah, menimbulkan kesan ditulis ketika ia masih di hutan. Di dalamnya disebutkan sejumlah faktor yang merugikan revolusi Islam, antara lain berkembangnya Momok Ansharullah menjadi sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang semula dimaksudkan atau yang disepakati, yaitu suatu kesatuan khusus yang bergerak bahu membahu dengan Tentara Islam dan berfungsi juga sebagai pengawal Kahar Muzakkar.

Ia sangat menyesalkan kebijaksanaan Kahar Muzakkar yang memberikan senjata yang terbaik selalu kepada Momok dan upayanya untuk memasukkan kesatuan-kesatuan militer yang lain ke dalamnya. Faktor merugikan kedua menurutnya, demikian yang disebutnya, ialah kegagalan untuk mengubah pasukan Permesta pimpinan Gerungan menjadi Pasukan Pembantu Pendukung TII dalam memperjuangkan Negara Islam.

Pada 28 Nopember Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang memberikan amnesti kepada semua yang berada di Sulawesi Selatan, yang telah menyerah dan atau kembali ke pangkuan Republik Indonesia antara 12 September dan 28 Nopember. Bahar Mattaliu oleh karena itu diperlakukan dengan amat bermurah hati oleh pemerintah Republik Indonesia. Penyerahannya dihubungkan keberhasilan operasi-operasi militer tentara Indonesia, dan karena itu digunakan untuk tujuan propaganda. Sebaliknya, kaum pemberontak menuduhnya berkianat serta terkena suap dan berusaha mengecilkan pengaruh pembelotannya. Menurut pandangan mereka, seperti dinyatakan majalah PRRI Information nomor 9 halaman 25 terbitan Desember, “… Bahar Mattaliu dan sebagian kecil dan kesatuannya, tetapi bersama beberapa puluh ribu penduduk desa dan sekitarnya yang tidak sanggup lebih lama lagi menahan tekanan ekonomi dewasa ini, menyeberang ke pihak pemerintah dan diterima dengan tangan terbuka serta dijanjikan mendapat tunjangan Rp. 250.000”.

Tentang hal itu, memang kenyataan menunjukkan, dengan adanya pembelotan yang dilakukan Bahar Mattaliu telah menjadikan sebuah kemerosotan bagi Kahar Muzakkar. Untuk kedua kalinya dalam masa pemberontakan Darul Islam-nya Kahar Muzakar kehilangan sebagian pengikutnya karena perselisihan internal. Di pihak lain, hal ini membebaskannya dari salah seorang saingannya, yang seperti telah disebutkan terdahulu bahwa Bahar Mattaliu adalah rival internal Kahar Muzakar sendiri, telah dipikirkannya akan mengambil langkah untuk menggesernya dari komandonya.

Dengan tersingkirnya, begitu menurut Kahar Muzakkar dan kembali ke pangkuan republik menurut versi pemerintah republik, Bahar Mattaliu dan Sjamsul Bachri, yang terakhir ini memilih dikirim ke luar negeri, Kahar Muzakkar menganggap dirinya telah terlepas dari dua lawan utamanya yang potensial. Tetapi sebelum dia dapat berkuasa lagi dengan kukuh, dia harus pula menyelesaikan persoalannya dengan pasukan Gerungan. Pasukan yang sebagian besarnya non-muslim ini juga bermaksud membelot dan harus dengan paksa ditundukkan.

Tetapi pertempuran antara kedua kekuatan yang bertentangan ini pada awal 1960, akhirnya dengan kemenangan di pihak Kahar Muzakkar, dia lalu menangkap Gerungan bersama 150 pengikutnya, yang alih-alih kemudian memeluk Islam. Terakhir, Gerungan menjadi salah seorang pengikut Kahar Muzakkar yang paling terpercaya dan akhirnya lagi bahkan dia menjadi Menteri Pertahanan gerombolan Kahar Muzakkar..

SEBUAH KEHANCURAN DARI DALAM

Persoalan pribadi yang menyelimuti Kahar Muzakkar dengan sekutunya Bahar Mattaliu dan Sjamsul Bachri, serta pertentangan internal di dalam tubuh Negara Republik Islam Indonesia dan militer bentukannya, lambat laun mengantarkan Kahar Muzakar dan gerombolannya itu di ambang kehancuran. Pergolakan, atau pemberontakan, tanpa dasar dan di tengah jalan bersimpang arah itu, telah mengantarkan Kahar Muzakkar ke arah yang keliru ditempuh dan dijalaninya.

Sesungguhnya, ambang kehancuran itu mulai muncul di penghujung 1950-an, di mana tanda-tanda kerapuhan semakin nampak ke permukaan. Pada 1960-an, berbagai operasi militer yang lebih baik dan terorganisasi untuk menghadapi Kahar Muzakkar, menurut pandangan pihak republik telah membuahkan hasilnya. Sulawesi Selatan dan tenggara yang semula redup oleh pemberontakan di sana, Kahar Muzakkar dengan Darul Islam-nya dan Gerungan dengan Permesta-nya, belakangan hidup kembali. Peran militer Indonesia yang menyusun kekuatan untuk menumpas dua gerakan yang menentang pemerintah republik itu akhirnya membuahkan hasil gemilang.

Tanda-tanda awal Kahar Muzakkar bersedia untuk berunding dinyatakannya pertengahan 1960, sesudah melancarkan satu serangan yang gagal terhadap Cimpu di dekat Gunung Latumojang. Lalu diusulkannya kepada komandan militer Indonesia setempat, Andi Sose, seorang yang dulu bersekutu dengannya, agar melakukan gencatan senjata dan melakukan perundingan dengan cara Islami. Akan tetapi sebetulnya, 1961 adalah dimulainya perundingan dengan militer Indonesia, bahkan ditemuinya Panglima Komando Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara, Andi Muhammad Jusuf, dengan terlebih dulu dikirimnya istri Kahar Muzakkar, Corry, kepada Jusuf sebagai utusan pribadinya. Corry tiba di Makassar 24 September, untuk kemudian berangkat ke Jakarta menemui Nasution pada hari berikutnya.

Selanjutnya kemudian, setelah pertemuan itu, Jusuf dan Kahar Muzakkar berjumpa di satu desa kecil sebelah utara Watampone. Pada 12 Nopember Kahar Muzakkar meyatakan kesetiaannya kepada Soekarno, Nasution, dan Jusuf, di markas besar militer di Bone. Pernyataan ini diungkapkan Kahar Muzakkar langsung kepada Jusuf yang menemuinya. Akan tetapi pada tahun berikutnya ternyata permusuhan dimulai lagi. Militer Indonesia yang mulai berhasil menumpas gerakan sparatis pemberontakan di bagian-bagian lain Indonesia, belakangan mampu memusatkan semua upayanya pada Sulawesi Selatan danTenggara.

Kepastian akhir dari gerakan Darul Islam menyusul pada 1964 dan awal 1965. Dalam operasi militer berturut-turut yang mendahuluinya, kekuatan gerombolan Kahar Muzakkar berangsur-angsur makin mengalami kemunduran dan kemerosotan. Itu terjadi dan dialaminya, sebagian berkat kenyataan yang semakin mampu menggerakkan lebih banyak pasukan di dalam aksi, namun sebagian juga lantaran keadaan di mana para prajurit yang berasal dari Sulawesi Selatan semakin memainkan peranan penting dalam perencanaan dan pelaksanaan operasi-operasi ini.

Militer Indonesia berhasil dalam hal yang terakhir ini termasuk usaha dan wibawa panglima militer Sulawesi Selatan dan Tenggara, Jusuf, adalah seorang putra asli Bone, terhadap Kahar Muzakkar. Demikian pula peranan dari kawan-kawan lama seperjuangan Kahar Muzakkar sendiri, di antaranya Andi Sose dan Azis Taba. Segabai panglima militer daerah, Jusuf pribadi memimpin operasi-operasi terakhir terhadap Darul Islam pimpinan atau versi Kahar Muzakkar, sedangkan Operasi Tumpas dan Operasi Kilat dengan Solihin GP (belakangan pernah sebagai Gubernur Jawa Barat) selaku kepala staf, dan belakangan Solihin sebagai Panglima Divisi Siliwangi adalah seorang yang memiliki pengalaman di dalam aksi-aksi militer menghadapi berbagai pemberontakan.

Sekalipun pada mulanya Andi Sose juga turut aktif dan ambil bagian tersendiri di dalam gerakan Kahar Muzakkar, saat di fase awal suatu tujuan yang jelas dari konsep perlawanan Kahar Muzakkar karena ketimpangan hubungan pusat dan daerah di sudut otonomi, belakangan di bawah Jusuf yang memimpin penumpasan gerakan Kahar Muzakkar tersebut Andi Sose sempat memimpin beberapa operasi pokok terhadap Kahar Muzakkar. Meski begitu, ada sebagian petinggi militer republik kurang yakin, percaya setengah hati, terhadap Andi Sose sebagai seorang mantan komandan KGSS yang diduga, dalam pandangan sebagian petinggi militer tersebut, Andi Sose masih mempunyai banyak dukungan di kalangan para prajuritnya dan di kalangan rakyat setempat, dan yang mau bertindak menurut keinginannya sendiri. Pada akhirnya, Sose dipindahkan dari kesatuannya.

Seperti juga Sose, seorang mantan pejabat teras komando batalyon KGSS lain yang menjadi korban kebijaksanaan Komando Tentara Sulawesi Selatan dan TEnggara yang mengetatkan pengawasannya atas komandan-komandan militernya dan, sebagaimana juga yang dialami Sose kehilangan kekuasannya, adalah Andi Selle. Penyelesaian kasusnya, sebagaimana juga yang dialami Sose, terhadap Selle terjadi pula dalam 1964.

Belakangan Andi Selle masuk masuk hutan dan guna membicarakan perbedaan-perbedaan antara mereka secara tuntas, ia mengundang Jusuf untuk mengunjunginya di dekat Pinrang. Pada pertemuan ini tampaknya di tataran awal semuanya berjalan lancar, dan sebagian pendapat mengatakan sesungguhnya telah tercapai sebuah persetujuan. Namun kemudian, Andi Selle menyertai Jusuf dalam perjalanannya menuju Pare-Pare untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa sebetulnya ia benar-benar bersedia bekerja sama dengan militer republik.

Namun, beberapa orang anak buah Andi Selle yang turut serta dalam konvoi tersebut telah memotong jalan kendaraan yang ditumpangi Andi Selle dan Andi Jusuf. Jusuf dan Selle seketika keluar, namun serta merta mengejutkan Jusuf ketika itu pula Selle memerintahkan anak buahnya untuk menembak mati Jusuf. Namun Jusuf terhindar dari berondongan tembakan itu, hanya menewaskan beberapa pengawal dekatnya. Saat baku tembak terjadi, Andi Selle berusaha lolos dan untuk melarikan diri, namun belakangan ia tertembak bagian bahunya. Lalu seketika pula ia dinyatakan sebagai pemberontak.

Sejak insiden Andi Selle itu, operasi dan tindakan militer dari pihak militer republik makin ditingkatkan. Maka kemudian, operasi militer bukan semata ditujukan pada Kahar Muzakkar, melainkan juga terhadap Andi Selle yang terakhir bergerak di kawasan Gunung Sawitto dekat Pinrang. Pergolakan Andi Selle, yang semula dimaksudkan sebagai sebuah pemberontakannya tersendiri yang terlepas dari komando Kahar Muzakkar, tak berumur panjang. Pada akhir Agustus 1964, Selle terkepung. Dia berusaa untuk meloloskan diri, namun dalam sebuah kecelakaan ke dalam jurang saat menghindar dari kepungan militer Indonesia, pada 1 September 1964, Selle dinyatakan tewas.

Berakhirnya gerakan bersenjata lain yang dimainkan Selle, militer Indonesia kini sepenuhnya terfokus pada pengejaran Kahar Muzakkar. Awal sekali dilakukan pembersihan di kawasan Latimojong, yang memaksa Kahar Muzakkar mundur dari hutan Sulawesi Selatan dan sekitar tenggaranya. Pada 1 Februari 1965 militer Indonesia menemukan kawasan persembunyian Kahar Muzakkar di Sungai. Berondongan ke arah persembunyian Kahar Muzakar secara gencar itu akhirnya merenggut nyawa sang patriot pemberontak itu. Setelah dipaksa keluar dari gubuk pertahanannya, tak kurang dari lima meter jaraknya dengan tempat dia menyembunyikan dirinya, Kahar Muzakkar pun roboh diterjang timah-timah panas yang berhamburan ke arahnya.

Tewasnya kahar Muzakkar sang pemimpin dan proklamator Darul Islam di Sulawesi Selatan sebagai pertanda benar-benar berakhirnya pemberontakan terhadap republik di kawasan itu. Selanjutnya, Menteri Pertahanan-nya, Gerungan, ditangkap pada Juli, dan kemudian diadili serta dieksekusi mati sebagai imbalan dari pemerintah Indonesia atas tindakannya yang dinilai sparatis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar