PROSES HUKUM PERISTIWA SULTAN HAMID II
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
PENGADILAN SULTAN HAMID II
Bandung mencekam. Senin, 23 Januari 1950, 79 orang anggota TNI dan 6 warga sipili dilaporkan tewas dalam sebuah aksi militer yang digerakkan oleh sekelompok APRA atau de RAPI pimpinan Westerling yang berkekuatan 500 orang. Aksi brutal itu membuat kota Paris van java dalam keadaan genting. Setelah menguasai kota, Westerling kemudian mengumumkan ultimatum kepada pemimpin Negara Pasundan, yang antara lain berbunyi:
“…RAPI sangat menginginkan untuk melihat Negara Pasundan sebagai negara yang sehat dan kuat di dalam kerangka negara RIS, di mana kepentingan pemisahan rakyat Indonesia berdasarkan berbagai suku bangsa diperhatikan dan diperlakukan dengan cara yang sama … RAPI dan kekuatan bersenjatanya yaitu APRA dan seluruh kekuatan bersenjatanya yang dianggap ilegal sangat menginginkan adanya pengakuan dari pemerintah Negara Pasundan, sehingga dengan demikian akan terbuka hubungan yang resmi antara Negara Pasundan dengan RAPI untuk secara bersama-sama membuat dan merancang berbagai peraturan untuk menciptakan perdamaian dan ketertiban. Hal ini menurut pendapat RAPI disebabkan karena TNI belum dapat dipercaya dan belum puas mengemban tugas tersebut oleh karena TNI masih berusia sangat muda dan tidak
berpengalaman …”
Namun, pasukan Siliwangi segera bergerak cepat untuk menguasai kota. Keesokan harinya pasukan APRA/RAPI dipaksa menyingkir. Setelah pasukannya dipukul mundur Tentara Siliwangi, Westerling pergi ke Jakarta menemui Sultan Hamid II, salah seorang Menteri Negara RIS, di Hotel des Indes. Hamid marah besar atas tindakan Westerling di Bandung itu.
“Dat een Arabier ‘t beter kan doen dan een Turk. Apa boleh buat, sekarang kita harus perbaiki apa yang dapat diperbaiki saja, dan jangan berkeras kepala lagi, tapi selalu harus turut perintah saya. Kalau kamu tak dapat mengerjakan atau jika kamu gugur, maka saya masih ada untuk meneruskan perjuangan ini”
Sebagai pejabat tinggi yang kecewa dengan keadaan saat itu, di mana sebagai BFO ia hanya diberi posisi menteri yang tidak penting, Hamid ingin meraih jabatan strategis yang sangat ia inginkan, yaitu Menteri Pertahanan. Dan dipilihlah Westerling, seorang tentara avonturir yang pernah menawarinya untuk mengambil alih pimpinan APRA. Jika sebelumnya Hamid menolak, maka akibat kekecewaan yang memuncak pada pejabat dan tetara Republiken serta serangan APRA di bandung, Hamid akhirnya menerima pengambilalihan pimpinan itu.
Sebagai koreksi atas serangan APRA itu, Hamid kemudian memaparkan siasatnya. Ia memerintahkan Westerling dan Frans Najoan, yang ikut dalam pertemuan di Hotel des Indes, untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS yang akan diadakan sore hari itu jam 17 di gedung bekas Raad van Indie, Pejambon, Jakarta, yang akan dihadiri semua menteri dan pejabat RIS. Ia memerintahkan untuk menawan semua menteri dan menembak mati Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr Ali Budiardjo, dan kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Kolonel Simatupang.
Agar tidak dicurigai, Hamid meminta mereka untuk menembak sebelah kakinya agar ia juga terlihat sebagai korban penyerbuan itu. Setelah itu, Westerling disuruhnya berpidato pendek di hadapan para menteri, dengan mengatakan bahwa gerombolan APRA telah mengelilingi gedung pertemuan. Untuk memudahkan rencana operasi itu, Hamid memberikan denah gedung dan tempat duduk para menteri. Dengan siasat itu, Hamid berpikir daya tawarnya akan menguat dan bisa mengambil kedudukan Menteri Pertahanan.
Selepas mendengar kemarahan dan siasat Hamid, Westerling kemudian pergi sementara Najoan tetap mendampingi Hamid. Usai mandi sore dan bersiap menghadiri rapat menteri, Hamid rupanya ragu dengan siasatnya siang tadi. Ia serta merta memerintahkan Najoan agar membatalkan rencana penculikan dan pembunuhan para menteri itu. Maka rencana jahat itu pun urung dilaksanakan. Namun, dari sejumlah anggota APRA yang tertangkap, mereka bernyanyi soal peran Hamid. Pada tanggal 5 April 1950, Sultan Pontianak itu ditangkap aparat.
Menanggapi peristiwa Bandung, Wali Negara Pasundan Wiranatakusumah dan Perdana Menteri Anwar Tjokroaminoto tidak dapat bersikap tegas, karena sebelumnya mereka telah banyak berhubungan dengan Westerling. Hal itu membuat kecewa masyarakat banyak, terutama pihak tentara republik. Keberadaan Negara Pasundan menjadi kritis dan berada di tubir kejatuhan.
REAKSI DAN PENANGKAPAN
Setelah penangkapan Sultan Hamid, pemerintah RIS di Jakarta memberikan keterangan pers sbagai berikut:
“…Setelah pecahnya aksi Westerling di Bandung pada tanggal 23 Januari yang lalu, maka telah timbul sangkaan, bahwa aksi itu direncanakan dengan setahu malahan dengan persetujuan salah seorang anggota kabinet. Tetapi pemerintah menganggap pikiran akan kemungkinan demikian terlalu tidak masuk akal, hingga pemerintah mula-mula tidak dapat percaya akan hal demikian. Tetapi bukti-bukti yang timbul pada pemeriksaan selanjutnya dari orang-orang yang ditahan berhubung dengan aksi Westerling tersebut, menyatakan dengan tidak dapat disangkal lagi, bahwa anggota pemerintah itu tidak hanya tersangkut dalam aksi yang bertujuan menggulingkan negara itu, tetapi malahan memberi pimpinan pada aksi tersebut. Guna kepentingan ketenteraman dan keamanan pemerintah RIS pada akhirnya berpendapat, bahwa ia tak dapat menunda lebih lama lagi dengan mengambil tindakan-tindakan keras. Pada pagi hari ini pemerintah RIS memecat anggota pemerintah tersebut, Sultan Pontianak, Hamid Algarie II, dari jabatannya selaku Menteri Negara. Pun diperintahkannya penahanan atas diri Sultan Hamid itu …”
Keterangan pers tersebut memberikan dukungan yang semakin kuat terhadap kelompok yang tidak setuju dengan RIS dan federalisme. Sebaliknya posisi negara-negara federal menjadi kian melemah. Tetapi penangkapan atas Hamid tetap menimbulkan kekhawatiran akan timbulnya gesekan antara KNIL dan APRIS, dan mengganggu proses penggabungan anggota KNIL berkebangsaan Indonesia ke dalam ARIS. Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX pada tanggal 5 April 1950 menegaskan, “Lain jalan tidak ada, pemeliharaan keamanan dan ketertiban guna kepentingan bangsa kita semuanya minta supaya diambil tindakan yang tegas”.
Berbagai kalangan politik di Jakarta mendukung tindakan tersebut. Bagi mereka, tindakan pemerintah ini tidak bisa diangap sebagai penangkapan biasa atau insidental, melainkan merupakan tindakan pemerintah terhadap suatu kekalutan dalam negeri. Sementara bagi kalangan politik di Yogyakarta, penangkapan itu tidak mengejutkan atau mengherankan. Dalam pandangan mereka, rakyat sudah lama menaruh curiga terhadap Hamid dan menunggu pemerintah bertindak tegas. Politisi Jogjakarta meminta agar tindakan ini disusul dengan gerakan pembersihan terhadap pejabat pemerintah lainnya yang benar-benar merugikan negara dan bangsa. Sikap ragu-ragu pemerintah RIS harus dilemparkan sejauh-jauhnya karena hanya akan merugikan rakyat dan negara.
Pers Jakarta dan Jogjakarta pada umumnya juga tidak terkejut dengan penangkapan ini. Harian Indonesia Raya, misalnya, menyatakan bahwa sudah lama pihaknya mengemukakan inside information mengenai tingkah lagu Hamid yang mencurigakan, di antaranya, tindakan Hamid setiap habis sidang kabinet yang selalu mengunjungi Komisaris Tinggi Belanda dan memberikan laporan tentang apa yang dibicarakan. Harian Merdeka menyebutkan bahwa pembersihan serupa itu akan disokong oleh rakyat, yang ingin melihat tangan kuat pemerintahnya.
Sementara Kedaulatan Rakyat Jogjakarta menyatakan bahwa perbuatan Hamid mencemarkan nama baik kaum federalis yang memperjuangkan cita-cita dengan jalan demokratis. Koran ini menuntut kaum federalis dan KNIL untuk mengambil sikap tegas terhadap Hamid serta anasir-anasir yang tidak baik di kalangan KNIL. Surat kabar berbahasa Belanda Neuwsgier, yang tidak percaya bahwa Sultan Hamid berhubungan dengan Westerling, juga menyatakan penghormatannya pada keputusan pemerintah.
Untuk menghindari aksi solidaritas pasukan Westerling, penahanan Hamid dipindahkan ke Yogyakarta pada tanggal 6 April 1950. Ia mulai diperiksa oleh pihak kepolisian RIS. Dari pemeriksaan awal itu, diperoleh pengakuan bahwa ia memang memerintahkan Westerling untuk menyerbu sidang Dewan Menteri yang diadakan tanggal 24 Januari 1950, menangkap semua menteri yang hadir, dan menembak mati Menteri Pertahanan, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan, serta Kepala Staf Angkatan Perang. Selanjutnya, ia akan membentuk pemerintahan dengan menjadikan dirinya sebagai Menteri Pertahanan. Namun, ia memungkiri perannya dalam penyerbuan Bandung oleh APRA/de RAPI.
Kasus Hamid tak segera dapat dibawa ke pengadilan. Salah satu kesulitannya ialah soal Undang Undang yang akan digunakan untuk mengadilinya. Saat itu, Undang Undang yang ada menurut konstitusi RIS terbatas bagi seorang menteri atau bekas menteri yang melakukan ambtsmidrijf, penyelewengan jabatan. Kasus Hamid tidak masuk dalam tuduhan ini, karena itu pemerintah RIS harus menyiapkan suatu Undang Undang federal. Sebalum niatan itu terlaksana, akibat peristiwa Bandung, Kabinet RIS bubar pada bulan Agustus 1950. Kemudian terbentuk suatu Kabinet Negara Kesatuan RI di bawah Perdana Menteri Mohamad Natsir.
Sementara Westerling yang memimpin langsung aksi brutal di Bandung itu berhasil meloloskan diri dan melenggang ke luar Indonesia. Peristiwa lolosnya Westerling itu membuat masyarakat kecewa. Jaksa Agung yang saat itu dijabat Mr Tirtawinata dianggap ikut bertanggungjawab sebab tak dapat melakukan tindakan pencegahan. Pemerintah di bawah Perdana Menteri Natsir kemudian mengangkat R Soeprapto, saat itu menjadi hakim anggota Mahkamah Agung, sebagai penggantinya.
SEBELUM SIDANG DIMULAI
Juru bicara Kejaksaan Agung, Abdul Muthalib Moro, pada tanggal 12 Agustus 1952 memastikan kedatangan istri Sultan Hamid II, Didie Alkadrie di Jakarta. Didie menghadap Jaksa Agung, meminta izin untuk bertemu suaminya di penjara Cipinang. Hamid dipindah dari tahanan di Jogjakarta ke Cipinang, Jakarta, pada akhir April 1952. Sejak dalam pemeriksaan awal, pemerintah mengizinkan Hamid untuk berkorespondensi dengan istrinya.
Moro pada tanggal 24 Januari 1953 mengumumkan bahwa perkara Hamid oleh Jaksa Agung telah diserahkan kepada Mahkamah Agung pada tanggal 16 Januari 1953. Tuntutan yang akan disampaikan terhadap Hamid berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Mengenai kepastian waktu persidangan, disampaikan Moro kepada Antara pada tanggal 7 Februari 1953 bahwa persidangan akan dilaksanakan pada tanggal 25 Februari 1953. menurutnya, sidang tersebut terbuka untuk umum. Namun, berhubung tempat yang sangat terbatas, yaitu hanya ada 200 tempat duduk, maka masyarakat dipersilakan mendaftarkan diri dan memilih waktu sidang yang diinginkan. Waktu pendaftaran dibatasi sampai tanggal 17 Oktober 1953.
Sampai hari penutupan pendaftaran, calon pengunjung persidangan tercatat 580 orang dari berbagai kalangan. Mereka berasal dari kalangan mahasiswa, kejasaan, militer, kementerian dan jawatan pemerintah, pers, pengusaha, dan swasta. Pihak asing yang mendaftar antara lain dari perwakilan Amerika Serikat di Jakarta, Prof J Zeiser. Pendaftaran juga datang dari berbagai daerah di luar Jakarta. Sehubungan dengan ledakan peminat itu, Kejaksaan Agung menyampaikan pengumuman resmi yang berisi aturan menghadiri persidangan Hamid dan penjelasan bahwa nama-nama yang sudah terdaftar akan diundi.
JALANNYA PERSIDANGAN
Persidangan Hamid dilakukan pada tingkat pertama sekaligus terakhir, yakni persidangan di tingkat Mahkamah Agung. Hamid didakwa dengan empat tuduhan. Primair, ikut menyerbu kota Bandung bersama Westerling dan APRA/de RAPI. Subsidair, membujuk dan membantu Westerling dan Frans Najoan untuk menyerbu sidang Dewan Menteri. Subsidair Lagi, memberikan denah tempat persidangan Dewan Menteri sehingga Westerling dan Najoan akan mudah melakukan penyerangan. Dan Lebih Subsidair Lagi, membujuk Westerling dan Najoan untuk membunuh tiga pejabat tinggi. Persidangan Hamid yang dimulai pada hari Rabu, 25 Februari 1953, dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung Mr Wirjono Prodjodikoro dengan Hakim Anggota Prof Mr Satochid Kartanegara dan Mr Husin Tirtamidjaja, dengan Jaksa Penuntut Umum Jaksa Agung R Soeprapto dan dibantu R Ranu Atmadja sebagai Panitera. Sebagai pembela tampil Mr Surjadi, advokad dari Surabaya.
Selain dihadiri istri Hamid, Didie, sidang juga dihadiri oleh Ketua Parlemen Mr Sartono disertai sejumlah anggota parlemen, Wali Kota Jakarta Sjamsuridjal, Duta Besar Srilanka di Indonesia, para perwira, dan masyarakat umum. Di luar gedung Mahkamah Agung, ratusan orang yang kebanyakan pelajar sudah berdiri sejak pagi karena penasaran ingin melihat wajah Sultan Hamid II.
Sidang perkara ini berlangsung hingga 7 April 1953. selama masa persidangan, sejumlah saksi dihadirkan. Mereka ialah Frans Najoan, Sultan Hamengku Buwono IX, Simatupang, Mr Ali Budiardjo, Jusuf Barnas dan Letnan Kolonel Daan Jahja. Dibacakan pula keterangan tertulis dari saksi-saksi Mr Djumhana, Mr Ide Anak Agung Gde Agung, dan Anton Willem Burger.
Persidangan ini menjadi istimewa dalam perkembangan peradilan di Indonesia, di mana Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung berhadapan langsung dalam sebuah perkara. Setelah pengadilan Hamid belum pernah terulang peristiwa serupa.
Dalam requisitoir atau tuntutannya di depan sidang, Jaksa Agung Soeprapto menyampaikan bahwa terdakwa terbukti melakukan kesalahan seperti termaktub dalam surat dakwaan. Seraya mengutip puisi Chairil Anwar Kerawang-Bekasi, Jaksa Agung Soeprapto meminta Ketua Sidang agar menghukum terdakwa dengan hukuman 18 tahun penjara. Sementara dalam pledoi atau pembelaan yang disampaikan pada 25 Maret 1953, Hamid hanya mengakui kesalahan telah membujuk Westerling dan Najoan untuk menyerbu sidang Dewan menteri dan perintahnya untuk membunuh tiga pejabat tinggi.
Ia menyatakan rasa penyesalannya dan menegaskan bahwa perintahnya itu urung dilaksanakan karena ia segera mencegahnya. Hamid juga menyatakan adanya ketidakadilan dalam hukuman yang dimintakan kepada dirinya, jika dibandingkan dengan hukuman para pelaku penculikan Sutan Sjahrir pada 3 Juli 1946. Pledoinya kemudian diperkuat oleh pembelaan Mr Surjadi yang mencoba mementahkan argumen-argumen Jaksa Penuntut Umum, terutama dalam hal hubungan Hamid dengan Westerling dan APRA/de RAPI. Setelah mempertimbangkan tuntutan jaksa dan pledoi terdakwa serta pembelaan dari pengacara terdakwa, Ketua Mahkamah Agung akhirnya menjatuhkan vonis sepuluh tahun penjara dipotong masa tahanan.
USAI PERSIDANGAN
Sesudah membacakan vonis, Ketua Mahkamah Agung Mr Wirjono merasa perlu menjelaskan keterangan Hamid dalam pledoinya mengenai perbandingan hukuman antara dirinya dengan terdakwa pada peristiwa 3 Juli 1946, dan anggapan Hamid yang merasa telah diperlakukan tidak adil. Wirjono memaparkan bahwa kepada tertuduh dalam peristiwa 3 Juli itu telah dijatuhi hukuman, masing-masing Sudarsono 3 tahun, Jamin 4 tahun, Iwa Kusumasumantri 3 tahun, Sundoro 2 tahun 6 bulan, Buntaran 2 tahun, dan Saleh 2 tahun 6 bulan. Sedangkan saat ini, Hamid dijatuhi vonis 10 tahun. Perbedaan vonis itu karena tuntutan Jaksa Agung saat itu paling tinggi 12 tahun, sementara terhadap Hamid, Jaksa Agung Soeprapto memintakan hukuman 18 tahun penjara.
Menurut Wirjono, putusan yang dijatuhkan hakim terhadap suatu perkara bukan diukur atau dihitung seperti ilmu pasti, tetapi karena feeling dan pengalaman. Mr Wirjono kemudian bertanya kepada Hamid, apakah ia menganggap Ketua Mahkamah Agung telah melakukan diskriminasi? Hamid menjawab bahwa ia tidak menganggap Ketua Mahkamah Agung telah melakukan diskriminasi dalam menjatuhkan putusan atas perkaranya.
Sebagai seorang Indonesia, Hamid mengatakan bahwa ia harus menjunjung tinggi putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi di Indonesia. Akhirnya, atas desaklan keluarga dan warga Pontianak, Hamid mengajukan grasi. Akan tetapi, keputusan Presiden tanggal 3 September 1953 No 923/G secara resmi menolak permohonan itu. Sultan Pontianak itu menjalani sisa masa hukuman penjara hingga dibebaskan pada 20 Agustis 1958.
Sabtu, 12 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar