Kamis, 01 Oktober 2009

SUKSES MARKETING DALAM LIMA MENIT

Menjual Itu Mudah …
Sukses Marketing dalam Lima Menit
Syafaruddin Usman MHD & Isnawita Din

Sebuah Naluri …
Naluri market sebagai suatu pengertian baru terpadu adalah kemampuan memandang dan merekonstruksikan pengalaman sehari-hari menjadi usaha atau bisnis yang menguntungkan. Tentu saja, dalam hal ini, penjualan. Dan tentu pula naluri market pada masing-masing orang berbeda-beda. Tetapi naluri market merupakan kemampuan yang dapat diasah.

Berdasarkan ilustrasi singkat di atas, pembaca tentu sudah dapat menerka siapa yang dapat disebut punya naluri market atau penjualan paling tajam. Jawabannya benar: Anda, pembaca buku ini.

Marketing dalam bisnis adalah sebuah konsep yang dimunculkan untuk menghasilkan sebuah penjualan atau lebih jauh diharapkan dapat mendatangkan keuntungan untuk perusahaan maupun individu. Dari mulai konsep yang sederhana atau lebih sering disebut marketing tradisional hingga konsep yang up to date atau dikenal dengan marketing modern. Marketing modern berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

Semakin sulitnya menjual sebuah produk atau jasa dikarenakan pesaing yang berkecimpung dalam bidang usaha yang sama mendorong para praktisi dan akademisi yang berkecimpung dalam dunia marketing, baik secara langsung maupun tidak langsung melakukan cara-cara yang diharapkan akan dapat mendukung konsep marketing yang mereka gunakan sehingga penjualan yang menjadi tujuan utama mereka dapat tercapai.

Namun, apa jadinya apabila hasil yang diharapkan tidak juga muncul. Padahal telah banyak konsep-konsep marketing yang digunakan. Dalam menghadapi keadaan demikian, banyak kalangan tidak berputus asa dan terus menerus menggali pengetahuan, sehingga pada akhirnya muncul solusi bagi permasalahan mereka. Ada pula kalangan yang kemudian menyerah dan beralih ke bidang yang lain. Tapi tidak sedikit yang kemudian memilih menggunakan jalan pintas untuk mencapai cita-cita mereka, dengan mendobrak dinding etika dalam berbisnis.

Setiap masyarakat mempunyai etika yang berbeda. Begitu pula dengan profesi dan bidang usaha termasuk bisnis. Etika dalam berbisnis secara keseluruhan mempunyai dua poin utama, yaitu tidak menipu atau mengelabui dan tidak melanggar nilai-nilai kesopnanan yang berlaku di masyarakat tempat bisnis tersebut dijalankan. Menarik untuk ditelaah bahwa poin pertama dari etika dalam berbisnis adalah hal yang paling sering dilanggar oleh para marketer nakal. Dengan mengharapkan hasil yang cepat atau ingin menghindar dari resiko yang berat, mereka berlaku tidak jujur.

Marketing digunakan untuk mendapatkan uang. Paradigma tersebut menghasilkan marketer-marketer yang hanya memikirkan hasil akhir berupa materi, sehingga tidak lagi memandang pentingnya etika dalam berbisnis. Saling menjatuhkan, menjilat ke atas dan menginjak ke bawah, hingga melakukan kebohongan seakan-akan telah disahkan sebagai salah satu bagian dari strategi marketing. Komunikasi yang disampaikan dalam program promosi sebuah produk yang membesar-besarkan produk secara berlebihan yang sebenarnya tidak mencerminkan keadaan produk sesungguhnya. Sehingga menipu konsumen merupakan salah satu contoh yang banyak dijumpai.
Pergeseran pola pemasaran dari pola tradisional ke pola baru atau yang diklaim sebagai marketing modern semakin mengecilkan nilai etika dalam berbisnis.

Inti dari penguasaan pasar adalah bagaimana kita menguasai benak konsumen. Tidak mengherankan apabila seringkali ditekankan bahwa positioning yang sebenarnya bukanlah pada posisi produk di pasar, tetapi ada pada posisi produk dalam benak konsumen. Bagaimana kita ingin diingat oleh konsumen, itu yang menjadi inti dari penguasaan mind share. Hal ini tercakup dalam sebuah strategi yang di dalamnya terdapat proses segmenting, targeting dan positioning.

Strategi dijelaskan sebagai arah yang akan dituju oleh sebuah perusahaan dan menuntun pada pengalokasian sumber daya dan upaya. Namun, perlu diperhatikan bahwa yang menjadi sasaran utama dari strategi ini adalah benak konsumen, persepsi. Sehingga pertempuran sesungguhnya dalam marketing bukanlah ada pada perebutan pangsa pasar, tetapi ada pada penanaman persepsi dalam benak calon konsumen.

Segmentasi adalah cara membagi pasar berdarkan variabel-variabel tertentu seperti geografi, demografi, psikologi, perilaku dan pada akhirnya ke variabel terkecil, yaitu individu. Segmentasi secara berkesinambungan menjadi hal yang sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk dapatterus memenuhi kebutuhan, need, dan keinginan, want, pasar yang selalu berubah –ubah. Kesalahan pemilihan tempat untuk meluncurkan suatu produk atau untuk membuka usaha seringkali menjadi kendala perusahaan dalam meraih sebuah kesuksesan yang diinginkan.

Dalam hal ini, bukan berarti produk atau usahanya yang kurang baik, tetapi analisis segmentasi pasarlah yang harus dievaluasi kembali. Sekarang ini kita tidak bisa lagi mengambil resiko mengeluarkan produk secara bebas dengan tanpa melakukan segmentasi pasar. Segmentasi adalah kegiatan yang tidak mempunyai batasan. Semakin kreatif kita melihat pasar maka akan kita sadari bahwa masih banyak segmen yang belum tersentuh. Kreativitas menjadi kunci dalam melihat pasar dari sisi yang tidak terbayangkan sebelumnya oleh pesaing.

Segmentasi terkecil yang dapat dilakukan adalah individual segmentation. Segmentasi ini merupakan segmentasi pasar secara individu atau lebih bersifat pribadi, segment of one. Pemenuhan kebutuhan setiap orang yang berbeda-beda melahirkan berbagai peluang dalam menjalankan usaha atau dalam meluncurkan sebuah produk. Pengetahuan akan segmentasi pasar yang sudah ada merupakan langkah awal para pemain baru sebelum terjun ke dalam persaingan pasar, sehingga ia dapat mempelajari pasar yang ada dan kembali melakukan proses segmentasi yang lebih mendalam.

Targeting adalah proses pemilihan target dan mencocokkan reaksi pasar dengan kebutuhan dasar, kemampuan daya beli dan keterbatasan yang dimiliki. Sebelum sebuah produk, usaha atau jasa diluncurkan ke masyarakat, pemilihan target setelah segmentasi adalah sebuah keharusan. Sebuah produk atau jasa tidak dapat memasuki semua segmen di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan sebuah targeting. Kejelian pemilihan target market yang tepat akan mempermudah masuknya sebuah produk baru. Apalagi dengan kondisi bahwa produk baru tersebut belum mempunyai pesaing.

Dengan menggunakan targeting, perusahaan akan dapat memilih satu atau lebih pasar yang akan dituju, di samping untuk dapat menempatkan sumber daya yang dimilikinya secara efektif. Targeting sebagai fitting strategy (strategi penempatan produk) mempunyai empat kriteria utama, yaitu besarnya ukuran pasar (size), pertumbuhan pasar (growth), keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang dimiliki oleh perusahaan dan situasi persaingan (competitive situation) yang dihadapi oleh perusahaan. Dengan melakukan targeting sebuah perusahaan tidak akan membabi buta menyerang pasar dengan segala kemampuan. Langkah targeting ini menghasilkan costumer life time value, nilai yang bisa didapatkan oleh perusahaan dalam jangka waktu tertentu selama pelanggan tersebut menggunakan produk perusahaan, dan berujung pada long term relationship, hubungan jangka panjang.

Positioning adalah bagaimana menempatkan produk kita ke dalam benak customer secara luas, sehingga akan tertanam dalam benak pasar bahwa perusahaan kita adalah definisi dari kategori produk yang kita jual. Positioning, bukan bagaimana kita menempatkan produk atau jasa dalam pasar, bukan sebatas pandangan pasar akan produk atau jasa yang akan kita tawarkan dan tidak melihat pada besar atau kecilnya pangsa pasar, tetapi positioning benar-benar berhubungan dengan benak atau dalam hal ini perseption, persepsi. Positioning adalah bagaimana kita ingin pelanggan kita mengingat produk atau jasa yang kita tawarkan.

Bagaimana caranya membuat produk yang kita jual mendapatkan gelar persepsi akan satu kategori tertentu. Karena persepsi sangat menentukan kekuatan sebuah produk dalam benak customer. Ketepatan dalam melakukan positioning sangat diperlukan untuk menciptakan paradigma perseption is reality.

Ada Apa dengan Marketing
Tujuan marketing adalah menukarkan nilai tambah yang ada ke sebanyak mungkin pembeli, sesering mungkin sehingga pembeli untung, penjual untung. Untuk terjadi penjualan berkesinambungan pasti syaratnya adalah baik pembeli maupun penjual untung. Andaikan hanya penjual yang untung, namun pembeli rugi, si pembeli pasti kapok tidak mau beli lagi. Sedangkan, misalnya hanya pembeli yang untung, penjual rugi, penjual semakin lama semakin rugi dan akhirnya tidak bisa berjualan lagi.

Dalam upaya menciptakan penawaran yang begitu menarik dan bisa dipercaya sangat penting bagi kita untuk memahami bagaimana manusia merespon sebuah penawaran. Sekali kita mengetahui formula ini, menciptakan penawaran yang begitu menarik dan bisa dipercaya akan menjadi sangat mudah.

Orang selalu menimbang antara positif dan negatif. Bila kenikmatan atau positifnya lebih besar dibanding negatifnya atau risikonya atau bahkan risikonya menjadi nol, maka kemungkinan membeli akan lebih tinggi. Dengan bekal ini penawaran yang sangat menarik dan bisa dipercaya dibuat dengan meningkatkan kenikmatan atau perceived value sebagai hal-hal yang positif, dan mengurangi atau meniadakan keberataan atau risiko sebagai hal-hal yang negatif.

Untuk menciptakan penawaran yang mengurangi atau meniadakan keberatan kita harus paham apa yang paling sering dikhawatirkan seorang pembeli: bayaran yang terlalu mahal, repot memakainya, tidak suka tidak bisa mengembalikan, benar-benar manfaat, dan rusak atau ada yang salah apakah ada yang bantu atau tidak.

Jadi, apa yang paling ditakutkan orang ketika membeli sesuatu? Jawabannya adalah penyesalan jika ternyata hasil yang didapatkan tidak sepadan dengan uang yang dikeluarkan. Untuk itu, cara terbaik untuk mengurangi atau menghilangkan ketakutan itu adalah dengan memberikan money back guarantee. Biasanya sebagai penjual, seseorang sangat takut memberi money back guarantee karena mengira akan ada banyak orang mengambil keuntungan. Padahal, apabila produk dan jasa kita benar-benar baik, mestinya tidak ada atau jarang orang mengambil money back guarantee. Dan bila produk dan jasa kita tidak baik sudah sepantasnya kita mengembalikan uang karena agar terjadi penjualan yang berkesinambungan pembeli juga harus untung, bukan hanya penjual.

Kalau kita ingin memberikan penawaran yang bebas risiko, kita bisa memberikan penawaran bayar ketika hasil. Dilema konsultan bila mencharge murah dan hasil penjualannya meningkat sangat bagus, konsultannya tetap miskin. Bila konsultan mencharge mahal sering kali perusahaan mati duluan karena keberatan biaya konsultan. Jurus-jurus tadi bisa membantu kedua belah pihak. Sedangkan untuk produk atau jasa kita juga bisa membuat perjanjian bahwa pelanggan hanya bayar ketika mereka menerima manfaat dari produk dan jasa yang kita tawarkan.

Setelah kita membuat penawaran yang sangat menarik dan bisa dipercaya kita juga harus mempermudah terjadinya transaksi. Sungguh merupakan suatu hal yang sia-sia ketika kita memberikan penawaran dan orang sudah tertarik tetapi yang bersangkutan tidak tahu mau beli di mana. Kelemahan aliran mengingatkan, sering kali orang sudah ingat dan berminat tapi tidak tahu di mana bisa mendapatkan barang dan jasa tersebut. Jadi kita harus memberi kemudahan orang bertransaksi dengan mencantumkan alamat atau nomor telepon atau hp atau email dan website. Kalau barang kita sudah berada di mana-mana, atau semua orang sudah tahu di mana bisa mendapatkan barang dan jasa kita maka bisa saja tidak mencantumkan alamat tempat orang bisa bertransaksi.

Orang perlu diberitahu dengan jelas apa yang harus dilakukan. Kita harus singkat dan jelas dalam memberikan instruksi apa yang kita ingin calon pembeli lakukan. Untuk dapat menyampaikan penawaran sangat menarik dan dapat dipercaya kepada calon pembeli yang tepat, kita harus punya target market. Dari target market tersebut ada existing customer, orang yang sudah menjadi konsumen kita, dan itu yang merupakan konsumen yang paling bagus. Mengenai target market adalah yang paling penting dalam menyampaikan penawaran. Percuma penawaran sangat menarik bisa dipercaya dan bebas risiko kalau penawaran itu kena target market yang salah.

Harus diingat, bahwa yang menyentuh market bukanlah kita sendiri. Dalam hal ini, kisa bisa memberikan semacam program referral, misalnya member get member. Cara ini telah banyak pula dipakai oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang kartu kredit. Mereka sering kali memberikan program member getmember, dan memberikan poin yang dapat ditukarkan dengan berbagai produk yang sangat menarik. Ingat, yang menjual bukanlah kita sendiri./ endorsement hampir sama dengan referral. Perbedaannya, dalam referral biasanya satu orang mengajak seorang lainnya maksimal beberapa orang, sedangkan dalam endorsement satu orang bisa mengajak seribu orang, atau semua orang di dalam kategorinya.

Jika produk-produk kita memiliki jangkauan, persebaran, yang luas, sebaiknya di setiap kota kita memiliki agen. Ini bisa dengan franchise, cabang, distributor, multi level marketing, licensing. Bagaimana caranya memperbanyak lead, calon konsumen. Jika calon konsumennya lebih banyak, kemungkinan untuk terjadinya close, penutupan penjualan, tentu jauh lebih banyak pula. Kebanyakan orang yang bergerak dalam marketing salah dalam memperkirakan, yakni mereka punya pola pikir untuk langsung mendapat konsumen.
Setelah calon konsumen yang merespon atau dtang bertambah banyak, kita harus mampu mengubah calon konsumen menjadi konsumen dan memperbesar jumlahnya. Hal itu di antaranya dapat dilakukan dengan menciptakan dan menyampaikan penawaran yang sangat menarik. Selalu menerapkan prinsip under promise over delivery, don’t ever promise more than you can deliver. Dalam memberikan suatu penawaran ataupun pelayanan kepada para konsumen, kita harus selalu mampu memberikan sesuatu yang powerful dan selalu yang lebih baik.

Dalam melakukan penjualan, sangat disarankan bila kita mampu menjual dengan emosi dan impian. Misalnya, pada sata kita menjual rumah akan menjadi jauh lebih efektif apabila kita juga menjual emosi dan impian. Dan sebagai seorang penjual, cara untuk mempermudah terjadinya pembelian adalah dengan selalu membangun persaingan di antara para calon pembeli. Dengan demikian, pada saat kita akan menjual sesuatu, misalnya dalam hal ini rumah mewah, kita buat janji untuk bertemu di rumah yang akan kita jual pada lebih saru calon konsumen. Hal itu dimaksudkan agar terjadi persaingan antar mereka sehingga kemungkinan terjadinya penjualan pun akan menjadi lebih besar.

Warren Buffet yang saat itu orang nomor dua paling kaya di dunia, memberi komentar kepada Bill Gates yang saat itu orang paling kaya nomor satu di dunia: kebetulan saja Bill Gates bidangnya adalah software komputer,kalau saja Bill Gates bidangnya adalah hamburger, teta saja Bill Gates akan menjadi raja hamburger. Bill Gates adalah penjual terbaik di dunia. Seperti juga dikatakan oleh Robert T Kiyosaki, salah satu ilmu yang paling penting untuk menjadi kaya adalah ilmu marketing. Bahkan Kiyosaki menyatakan bahwa dia bukan pengarang yang baik, dulu dia tidak lulus pelajaran mengarang. Jadi dia menyatakan bahwa dia bukan best author, melainkan nest seller author.

Ada beberapa cara untuk kaya melalui marketing. Kita punya produk dan jasa, kemudian kita jago menjual maka kita bisa untung banyak dan kaya. Kemudian, kita tidak punya produk dan jasa, kita jadi orang tengah, makelar atau distributor atau agen, dan kita jago menjual, kita bisa untung banyak dan kaya. Lalu, kita tidak punya produk dan jasa, kita jago menjual dan marketing, kita menjadi konsultan, menerima bayaran besar, komisi atau bagi hasil, mendapatkan saham, maka kita jadi kaya. Dan, karena kita jago marketing dan negosiasi, kita beli perusahaan yang tidak laku, kita perbaiki perusahaan tersebut, kita jual sahamnya sebagian atau semua dengan harga yang lebih tinggi, kita jadi kaya.

Lantas, kita akan sulit kaya, kalau tidak belajar dan praktik ilmu marketing. Namun kalau kita bisa kaya tanpa ilmu marketing, pasti kita akan jauh lebih kaya ketika ditambah menguasai ilmu marketing …

Memasarkan dan Menghasilkan
Pemasaran pada dasarnya adalah membangun merek di benak konsumen. Jika kita mampu membangun mereka yang kuat, kita akan memiliki program pemasaran yang tangguh pula. Jika kita tak mampu, maka upaya apa pun yang kita lakukan, pengiklanan, promosi penjualan, kehumasan, tak akan mampu mencapai tujuan program pemasaran kita.

Pemasaran adalah branding. Konsep tersebut begitu kait-mengkait sehingga sangat sulit rasanya untuk dipisahkan. Lebih-lebih, karena apa pun yang dilakukan perusahaan memiliki kontribusi pada proses pembangunan merek, maka pemasaran pun tidak dapat lagi dipandang sebagai sebuah fungsi yang terpisah dan terisolir.

Fungsi pemasaran adalah hal mutlak yang harus dilakukan sebuah perusahaan dalam berbisnis. Pemasaran adalah tujuan paling utama sebuah perusahaan. Itu sebabnya siapa pun di dalam perusahaan haruslah memiliki perhatian khusus pada pemasaran dan, secara lebih khusus, hukum-hukum branding. Jika keseluruhan perusahaan merupakan departemen pemasaran, maka keseluruhan perusahaan tersebut tentunya juga adalah departemen branding.

Inti dari proses pemasaran adalah membangun merek di benak konsumen. Tapi apa sesungguhnya mereka itu? Beberapa manajer percaya bahwa merek memiliki identitas dan kualitas yang unik yang berbeda dengan nama produk atau perusahaan. Mereka mengubah nama menjadi merek, kata seorang analis mengenai sebuah program pemasaran yang berhasil.

Mereka mengubah nama menjadi merek. Apa arti pernyataan ini? Kenyataannya, tidak begitu. Di benak konsumen sesungguhnya tak ada perbedaan antara nama perusahaan atau produk dengan nama merek.

Sesungguhnya, orang pemasaran memiliki berbagai ragam definisi mengenai nama perusahaan, nama divisi, nama merek, dan nama model: untuk tidak menyebut subbrand, mega brand, flanker brand, dan berbagai bentuk dan macam variasi dari strategi branding.

Nama mereka tak lebih dari sebuah kata di benak konsumen. Walaupun memang satu jenis kata yang khusus. Nama merek adalah sebuah kata benda, sebuah proper noun, di mana dalam tata bahasa Inggris, kata benda yang menunjukkan orang, tempat, dan sebagainya. Karena merupakan proper noun, seperti halnya proper noun pada umumnya, kata tersebut harus ditulis dengan huruf besar.

Dorongan utama pada banyak perusahaan adalah tujuan jangka pendek. Perluasan merek horisontal, megabranding, penetapan harga variabel, dan teknik pemasaran canggih umumnya digunakan untuk memerah merek ketimbang membangunnya. Mungkin pemerahan dan eksploitasi merek merupakan alat ampuh untuk menghasilkan uang dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang ia akan menjerumuskan merek hingga tidak memiliki kekuatan apa-apa lagi.

Pemasar sering menjalankan program branding yang sesungguhnya bertentangan dengan persepsi yang diinginkan konsumen terhadap mereknya. Konsumen menginingkan merek yang sempit cakupannya dan dibedakan oleh sebuah kata, makin pendek makin baik. Tapi pemasar dalam upaya membedakan nama dari produk sejenis justru memberi nama yang sering kali merepotkan.

Pemasar sering mengacaukan kekuatan merek dengan penjualan yang dihasilkan oleh sebuah merek. Penjualan bukanlah melulu fungsi dari kekuatan merek. Penjualan juga adalah fungsi kekuatan maupun kelemahan dari kompetisi antarmerek. Jika kompetisi lemah atau bahkan tidak ada, kita bisa menaikkan penjualan kita bahkan dengan memperlemah merek kita sekalipun. Yaitu dengan memperluas ke sebanyak mungkin segmen pasar yang ada. Kalau ini sukses, kita kemudian menyimpulkan bahwa perluasan merek kita berhasil.

Harus diingat, walaupun perluasan merek akan meningkatkan penjualan dalam jangka pendek, ia dapat berpengaruh kontraproduktif bagi upaya branding kita. Jika kita menginingkan merek yang kokoh di benak konsumen, kita harus mempersempit merek kita, bukan memperluasnya. Dalam jangka panjang perluasan merek akan menggerogoti kekuatan merek kita dan memperlemah image.

Sejak dulu selalu dikatakan bahwa marketing itu intinya mempunyai sembilan elemen yaitu: segmentasi, targeting, positioning, diferensiasi, marketing mix (product, price, place, promotion), selling, brand, service, dan proses. Suatu produk, merek, ataupun perusahaan akan memiliki keunggulan bersaing yang bagus, kalau ia mampu membangun kesembilan elemen pemasaran tersebut secara baik.

Secara keseluruhan, kesembilan elemen ini, atau dinamakan nine core element of marketing, akan merupakan grand design dari produk, merek dan perusahaan kita.

Cara konvensional untuk berkembang adalah menambah jenis barang yang akan dijual. Tentu saja. Hal baik akan kita dapatkan jika kita mempertajam merek kita ketimbang memperluasnya. Pertama, dia mengisi ruang kosong di dalam toko dengan lebih banyak lagi yang memungkinkan pembeli mendapatkan lebih banyak lagi pilihan, dan memberikan pembeli alasan untuk berkunjung ke toko kita.

Ingatlah, hal baik akan kita dapatkan jika kita memperkecil cakupan bisnis kita ketimbang memperluasnya. Umumnya toko-toko eceran spesialis mengikuti lima langkah yang sama: mempertajam fokus, menyediakan stok produk, membeli murah, menjual murah, dan menguasai kategori produk. Tentang menjual murah, ketika kita mampu membeli murah, dengan sendirinya kita akan mampu menjual murah dengan tingkat marjin keuntungan yang tetap tinggi. Sedangkan menguasai kategori produk, di mana tujuan akhir dari setiap program branding adalah menguasai kategori produk itu sendiri.

Ketika kita menguasai kategori, kita akan menjadi begitu kuat. Tapi, kenapa begitu sedikit pemasar yang mempersempit cakupan mereknya? Kenapa umumnya pemasar justru memperluas merek mereka? Karena mereka umumnya melihat perusahaan yang sukses dan, celakanya, mereka keliru menafsirkan kesuksesan perusahaan tersebut. Mereka mengira perusahaan tersebut sukses karena melakukan perluasan merek.

Coba fokuskan pada diri kita sejenak. Katakanlah kita ingin kaya. Coba tanyakan kepada diri kita sendiri: dapatkah kita menjadi kaya dengan melakukan apa yang dilakukan orang kaya? Orang kaya membeli rumah mahal dan makan di resto mahal. Mereka mengendarai Rolls-Royce dan memakai jam tangan Rolex. Mereka berlibur ke Riviera. Lantas, apakah membeli rumah mahal, Rolls-Royce, dan Rolex membikin kita kaya? Justru sebaliknya! Semua itu akan membikin kita miskin, bahkan jatuh bangkrut.

Umumnya orang mencari kesuksesan di tempat yang keliru. Mereka umumnya mencari tahu apa yang dilakukan oleh orang dan perusahaan yang sukses saat ini. Kemudian secara mentah-mentah mereka menirunya. Maka, jika kita inhin kaya, kita harus melakukan apa-apa yang dilakukan oleh orang kaya sebelum mereka kaya, kita harus menemukan apa yang membuat mereka bisa kaya. Jika kita ingin memiliki perusahaan yang sukses, kita harus melakukan apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut sebelum perusahaan-perusahaan tersebut meraih kesuksesan.

Konon, yang terjadi adalah, perusahaan-perusahaan sukses tersebut seluruhnya melakukan hal yang sama. Mereka mempertajam fokus. Dan, hal yang baik akan kita dapatkan jika kita mempertajam fokus.

Membidik Pasar dan Menjual Solusi
Pasar adalah sebuah tempat yang terbentuk atas kumpulan konsumen potensial dengan kebutuhan yang berbeda dan mempunyai keinginan yang sama untuk melakukan transaksi guna memenuhi kebutuhan mereka. Pengertian yang luas ini dapat membuat sebuah perencanaan marketing menjadi tidak berarti. Oleh karena itu, penyempitan definisi dari pangsa pasar sangat dibutuhkan.

Pangsa pasar atau Market Share adalah persentase dari keseluruhan pasar untuk sebuah kategori produk atau servis yang telah dipilih dan dikuasai oleh satu atau lebih produk atau service tertentu yang dikeluarkan sebuah perusahaan dalam kategori yang sama. Perhitungan jumlah persentase salah satunya dapat diukur berdasarkan pada jumlah total produksi dan penjualan. Misalkan sebuah perusahaan dapat menjual 1 juta produk dari total 10 juta produk yang ada, maka perusahaan tersebut menguasai 10% dari total pangsa pasar kategori produk tersebut.

Untuk menguasai pasar tertentu, setiap perusahaan mempunyai strategi yang berbeda-beda. Untuk menjalankan strategi yang telah dipilih, perusahaan menjalankan taktik marketing. Diferensiasi, bauran pemasaran atau marketing mix, dan selling adalah tiga taktik utama dalam mendukung strategi yang digunakan untuk merebut pangsa pasar dari sebuah kategori.

Diferensiasi adalah sebuah pembeda atau bagaimana caranya agar menjadi berbeda dengan produk atau perusahaan lain. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan sebuah diferensiasi adalah dengan mengintegrasikan konten (content), konteks (context) dan infrastruktur (infrastructure) yang kita miliki sehingga dapat menjadi sebuah nilai lebih yang dapat kita tawarkan kepada pelanggan. Esensi dari diferensiasi adalah agar lebih dikenal sehingga menjadi identitas diri.

Untuk memiliki perbedaan, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Langkah pertama adalah diferensiasi yang dilakukan haruslah sesuai dan masuk dalam konten dan konteks yang dimiliki oleh sebuah produk dalam kategori tertentu. Langkah ini dimulai dari apa-apa yang telah diketahui oleh masyarakat tentang produk tersebut. Langkah kedua adalah menentukan perbedaan itu sendiri. Menjadi beda adalah untuk tidak sama dengan yang lain. Menjadi beda adalah menjadi unik. Jadi, pada dasarnya kita mencari sesuatu yang akan membedakan kita daripada pesaing-pesaing kita.

Ketiga berdasarkan konsep diferensiasi yang telah ditentukan, sebuah produk harus dapat membuktikannya pada publik. Dan langkah kemudian, jelas perbedaan yang dimiliki haruslah disebarluaskan. Bagaimana masyarakat bisa tahu kalau tidak diinformasikan? Kegiatan ini adalah langkah terakhir dan yang terpenting dalam pembentukan diferensiasi. Semua informasi yang dikeluarkan harus dengan cermat karena akan menjelaskan dan berusaha untuk menanamkan persepsi baru dalam benak masyarakat.

Dalam berbisnis, langkah-langkah berani harus sering dilakukan tentunya dengan pemikiran yang matang. Kita tidak lagi dapat bergerak hanya berdasarkan keadaan pasar dan dengan banyaknya informasi setiap hari yang kadang membuat kita menjadi bingung. Di saat seperti inilah ketenangan, ketajaman intuisi dan kedewasaan dalam bentuk bertindak yang menjadi pembeda antara satu pengusaha dengan pengusaha yang lain, suatu perusahaan dengan perusahaan lain atau suatu produk dengan produk lain. Tanpa mampu menggunakan intuisi dan yakin akan kemampuan kita, maka bersiaplah untuk menulis kegagalan kita dalam diary nanti malam, atau mungkin facebook kita.

What to offer atau apa yang ditawarkan sebagai context menjadi hal yang paling utama pada saat sebuah produk atau jasa yang ditawarkan pertama kali. Setelah berbeda dari sisi content dan context, perbedaan infrastructure yang mendukung sebuah perusahaan pun sejatnya dimiliki. Perbedaan dari sisi infrastructure bisa dari komponen teknologi yang dipakai, alat-alat produksi yang digunakan atau dari sisi property.

Sebuah tingkatan yang menggabungkan elemen penting pemasaran benda atau jasa, seperti keunggulan produk, penetapan harga, pengemasan produk, periklanan, persediaan barang, distribusi dan anggaran pemasaran, dalam usaha memasarkan sebuah produk atau jasa merupakan gambaran jelas mengenai bauran pemasaran.

Tidak selamanya sebuah produk baru atau produk lama yang divariasi mampu menembus semua lapisan distribusi sehingga dapat sampai pada konsumen. Dalam marketing sebuah produk mempunyai bargaining position. Apabila kita mempunyai sebuah produk yang baru, kita akan mengalami beberapa kesukaran dalam memasarkan produk kita. Mengapa? Jelas, karena konsumen pada umumnya belum mengetahui apa-apa mengenai produk kita. Produk kita belum mempunyai bargaining position yang kuat. Bargaining position adalah nilai penawaran yang dimiliki oleh sebuah produk. Semakin dikenal produk tersebut maka semakin tinggi pula nilai bargaining position yang dimiliki. Kekuatan bargaining position sebuah produk biasanya diperoleh karena produk tersebut adalah yang terbaik, yang pertama di kelasnya atau yang berbeda dengan yang sudah ada.
Penetapan harga yang berlaku pun harus fixed, tetap. Terlalu banyak diskon akan menciptakan brand image bahwa toko tersebut hanya menjual barang murah, berdiskon dan tidak berkualitas. Mungkin pada awalnya akan dapat menarik pelanggan, namun lama kelamaan akan membuat bingung pelanggan itu sendiri. Apalagi yang memiliki kecenderungan akan value dan quality oriented. Dari sisi perusahaan, pemberian diskon dengan alasan kompetitor melakukannya dan bukan karena alasan yang masuk akal akan berakibat terperangkap jebakan perang harga yang bisa membuat perusahaan mengalami kerugian. Pengusaha bisa kehilangan pasarnya bahkan kehilangan perusahaannya.

Potongan harga dapat membunuh kompetitor kita sebagaimana ia memotong pendapatan kita. Meskipun ada yang beralasan, memotong harga karena mereka lebih efektif dan efisien dalam process sehingga bisa menekan cost (biaya) yang dikeluarkan. Jangan sampai ikut terpancing dengan strategi pesaing kita yang bermain dengan harga, price must be realistic.

Bagi seorang marketer, place adalah bagaimana menempatkan produk atau jasa kita pada lokasi yang tepat dengan jumlah yang tidak berlebihan sesuai dengan permintaan pasar yang telah diperkirakan dengan biaya yang minimal dan kepuasan yang maksimal. Dalam salah satu hukum branding menyebutkan bahwa tempat terbaik untuk membuka usaha adalah berseberangan dengan lawan usaha atau rival.

Tugas perusahaan adalah bagaimana menyampaikan produk mereka dengan public relation terbaik yang mereka miliki dan menyerahkan tugas selanjutnya kepada media dan masyarakat untuk menilai kelayakan produk. Hal ini membutuhkan proses yang panjang dan tidak dapat dipaksakan. Apabila ia dipaksakan maka yang terjadi adalah efek dari publisitas yang terlalu berhasil atau yang dikenal dengan istilah fad, gaya dalam tempo yang amat singkat. Fad adalah tempat di mana merek kita menjadi sangat populer. Begitu cepatnya kenaikan tingkat kepopuleran mereka kita, kita akan menyadari dalam beberapa waktu bahwa kepopuleran itu sudah hilang.

Pembicaraan dari mulut ke mulut yang berkembang akan jauh lebih kuat pengaruhnya daripada gempuran iklan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Strategi word of mouth melalui komunitas-komunitas yang ada merupakan promosi yang sangat efektif dan mengakar.

Selling adalah sebuah teknik dalam membujuk atau menyakinkan konsumen bahwa dalam produk yang dijual terdapat solusi atau keuntungan yang lebih bagi mereka. Inti dari komunikasi dalam penualan adalah untuk fokus pada nilai yang terkandung pada produk atau jasa tersebut. Menjual adalah salah satu proses tersulit yang harus dijalani oleh sebuah perusahaan. Kalau kita memiliki ide, konsep atau produk yang bagus tetapi kita tidak dapat menjualnya atau merealisasikannya maka akan percuma saja, useless. Dalam berusaha, kemampuan membuat produk akan lebih utama kita realisasikan, apalagi di zaman yang sarat dengan informasi seperti sekarang.

Terkadang tanpa memperhatikan tiga hal penting dari sisi konsumen, yaitu need (kebutuhan, want (keinginan) dan budget (kemampuan daya beli) konsumen yang akan menjadi target market kita. Kadang kita beranggapan bahwa strategi memperhitungkan need, want, dan budget konsumen adalah bagian divisi perencanaan dan tidak termasuk dalam divisi penjualan.

Justru dengan mengetahui need, want, dan budget konsumen kita dapat merubah pola pikir konsumen. Kita akan dapat meyakinkan konsumen bahwa kita tidak hanya berjualan produk atau jasa tetapi juga solusi, yaitu kehadiran produk yang kita tawarkan menjadi jawaban bagi permasalahan yang mereka alami atau alasan apa yang bisa membuat mereka perlu membeli produk kita (reasonable).

Dengan menjual solusi, berdasarkan produk yang kita miliki atau jasa yang kita jalankan, kita akan mampu meraih kepercayaan dari konsumen. Mereka tidak akan merasa dirugikan setelah membeli produk kita tetapi mereka akan mencari kita karena kita telah menghadirkan berbagai macam solusi untuk mereka. Kepercayaan, trust, merupakan kunci sukses dalam menjual. Konsumen tidak lagi melihat kita sebagai orang asing yang menawarkan sebuah produk yang tidak berguna, tetapi mereka melihat kita sebagai sahabat yang mengerti need dan want mereka. Diiringi dengan sikap empati yang selalu kita tunjukkan pada saat kita melakukan transaksi.

Target Pasar dan Memasarkan
Produk atau perusahaan harus mampu melihat pasarnya seara kreatif dan membagi-bagi pasar tersebut ke dalam segmen-segmen berdasarkan kondisi psikografis-behavior tertentu. Dari sini kemudian kita akan dapatmemilih satu atau beberapa segmen tersebut yang akan kita jadikan sebagai target pasar. Tentu saja, apa yang kita berikan haruslah dikemas secara customized sesuai dengan needs, wants, dan expectations dari segmen yang telah kita jadikan target pasar tersebut.

Bagaimana cara kita memilih segmen yang akan kita jadikan target pasar? Kita dapat membidik satu, dua, atau beberapa segmen di dalam pasar itu. Tergantung pada ukuran pasar (market size), pertumbuhan (market growth), keunggulan kompetitif (competitive advantage), serta situasi kompetisi (competitive situation)-nya.

Dalam pemasaran, tentu saja kita harus membidik segmen pasar yang ukurannya cukup besar. Atau kalau memang pasar itu kecil kita harus yakin bahwa di masa datang segmen pasar yang kecil ini memiliki pertumbuhan yang cukup bagus. Ini artinya, pasar itu sedang dalam fase emergence atau growth dalam daur hidup produknya. Di samping itu, segmen yang kita ambil haruslah memiliki tingkat persaingan yang masih belum tinggi, artinya pesaing yang kita hadapi tidak begitu banyak atau daya saingnya masih lemah.

Dan yang terakhir yang tak kalah penting adalah bahwa kita sendiri memiliki kemampuan untuk melayani segmen tersebut.

Setelah kita memilih segmen pasar yang kita target, maka pekerjaan kita selanjutnya adalah kita harus memposisikan produk, merek, dan perusahaan kita di dalam benak pelanggan target pasar tersebut. Kenapa di benak pelanggan? Karena: persaingan dalam memperebutkan pelanggan tidak dilakukan di pasar tapi di benak di pelanggan tersebut.

Diferensiasi adalah alat untuk memenuhi janji kita kepada pelanggan. Secara tradisional, diferensiasi didefinisikan sebagai upaya kita untuk membedakan diri dengan pesaing. Kita harus membangun diferensiasi yang kokoh. Bagaimana perbedaan ini diciptakan? Perbedaan ini diciptakan melalui tiga aspek, yaitu dari sisi kontennya atau apa yang kita tawarkan, what to offer, dari sisi konteksnya atau bagaimana cara kita menawarkannya, how to offer, dan dari sisi infrastrukturnya yaitu faktor pemungkinnya, enabler, baik teknologinya, SDM-nya, maupun fasilitas yang kita punyai.

Selanjutnya agar diferensiasi yang kita bangun kokoh, maka kita harus mem-back up diferensiasi tersebut dengan konsep marketing mix yang kokoh. Di sini kita harus menyusun bagaimana konsep produk kita, bagaimana cara pricing-nya, bagaimana cara mempromosikannya, dan bagaimana kita membangun saluran distribusinya, atau dalam istilahnya: product, price, place, promotion.

Bagi banyak praktisi, marketing mix ini sering dianggap sebagai keseluruhan konsep marketing. Namun, sesungguhnya itu adalah sebagian dari keseluruhan konsep marketing stratejik, walaupun harus diakui ini adalah sebuah tool yang sangat ampuh, dalam artian bahwa merek kita bisa kokoh hanya dengan konsep product, price, palce, promotion ini.

Sesungguhnya, marketing mix berarti mengintegrasikan tawaran (offer) perusahaan, yang terdiri dari produk (product) dan harga (price), dengan akses (access) yang mencakup place (saluran distribusi) dan komunikasi (promotion), untuk menciptakan suatu kekuatan marketing di pasar. Kemampuan kita dalam mengintegrasikan offer dan access ini akan menentukan kekuatan merek kita.

Setelah marketing mix, maka selanjutnya kita juga harus menyusun strategi selling-nya. Selling tak hanya sekedar merujuk kepada personal selling ataupun semata-mata aktivitas menjual produk kepada pelanggan. Maksudnya, selling tak lain adalah taktik menciptakan hubungan jangka panjang dengan pelanggan. Ini berarti bahwa dalam menjual, kita harus berorientasi jangka panjang melalui penciptaan relationship yang harmonis, jadi bukan semata-mata hubungan yang sifatnya transaksional jangka pendek!

Ada tiga tingkatan selling. Feature selling, benefit selling, dan solution selling. Ketika produk di pasar mulai membanjiri pelanggan, perusahaan harus menjual solusi kepada pelanggan, bukan sekedar feature atau benefit. Ada suatu konsep yang relevan dengan hal ini, yang disebut customer bonding, yang menekankan pentingnya prinsip ini. Konsep ini menyatakan bahwa pelanggan, atau pembeli, menempuh lima tahapan loyalitas, mulai dari sekedar si pelanggan tersebut memiliki awareness, ia menggunakan mereka kita sebagai simbol identity, ia memiliki relationship jangka panjang, ia membentuk community, sampai akhirnya advocacy atau si pelanggan tersebut menjadi pembela mati-matian produk kita.

Ketika kita menentukan positioning dan diferensiasi, serta mendukungnya dengan marketing mix dan strategi selling yang solid, sebenarnya kita sedang mengembangkan merek (brand). Merek dikembangkan tidak hanya melalui iklan yang tak terhitung jumlahnya di media massa, atau dengan penetapan konfigurasi product, price, place, dan promotion yang solid. Yang lebih penting lagi, merek dikembangkan memlalui krativitas dalam merumuskan konsep segmentasi dan targeting, pilihan positioning yang tepat, pengembangan diferensiasi yang solid, yang didukung oleh marketing mix dan strategi selling yang sesuai, serta pengembangan service dan proses yang sesuai.

Intinya, bahwa ekuitas merek terbentuk karena keseluruhan sembilan elemen pemasaran tadi.

Harus diingat. Merek tidak sekedar sebuah nama. Bukan juga sekedar sebuah logo atau simbol. Merek adalah payung yang merepresentasikan produk atau layanan kita. Merek merupakan cerminan value yang kita berikan kepada pelanggan. Itulah sebabnya dikatakan sebagai value indicator perusahaan dan produk kita.

Dalam penjualan, merek merupakan ekuitas perusahaan yang menambah value bagi produk dan jasa yang ditawarkannya. Merek merupakan aset yang menciptakan value bagi pelanggan dengan memperkuat kepuasan dan pengakuan atas kualitas. Dengan merek, perusahaan mampu membebaskan dirinya sendiri dari kurva suplly-demand. Ketika sebuah perusahaan berhasil melakukannya, harga yang terbentuk tidak lagi tergantung pada titik keseimbangan harga.

Akibatnya, perusahaan mampu menjadi price maker, bukan sekedar price taker. Mereklah yang memungkinkan perusahaan kita menghindari jebakan komoditasi.

Selanjutnya kita juga harus membangun konsep service untuk produk, merek, dan perusahaan kita. Bagi perusahaan, service tidak hanya sekedar menyangkut layanan purna jual, layanan pra jual, atau bahkan layanan selama jual. Service bukan sekedar layanan telepon pelanggan bebas pulsa, layanan pemeliharaan, atau layanan pelanggan 24 jam. Service adalah value enhancer produk dan perusahaan kita. Ia merupakan paradigma perusahaan untuk menciptakan value yang terus menerus bagi pelanggan melalui produk dan jasa.

Yang jelas, semuanya haruslah merupakan bisnis service: every business has to be a service business.

Dan terakhir, komponen terakhir dari sembilan elemen pemasaran adalah proses. Proses menunjuk kepada proses penciptaan customer value. Ia menunjuk kepada bagaimana proses bisnis di dalam perusahaan dijalankan dengan kualitas yang tinggi, dengan harga yang serendah mungkin, dan dengan waktu penyampaian yang secepat mungkin.

Atau dengan kata lain, proses kita cukup bagus jika tiga hal tadi, quality, cost, delivery juga baik. Proses merupakan value enabler sebuah perusahaan. Proses mengatur perusahaan agar menjadi the captain of the suplly-chain. Ia seharusnya mengelola supply-chain process, dari bahan mentah sampai produk jadi, dengan cara yang akan memperkuat aktivitas penciptaan value dan mengurangi atau mengeliminasi aktivitas-aktivitas yang mendestruksi value.

Naluri Marketing
Naluri bisnis sebagai suatu pengertian baru terpadu, adalah kemampuan memandang dan merekonstruksi pengamanan sehari-hari menjadi usaha atau bisnis yang menguntungkan. Tentu saja naluri bisnis pada masing-masing orang berbeda-beda, tetapi naluri bisnis merupakan kemampuannya yang dapat diasah. Selama ini kita mengenal naluri, instinct, sebagai kemampuanpaling dasar dan hakiki yang harus dimiliki makhluk hidup, manusia dan hewan, agar dapat bertahan hidup. Orang atau binatang pasti merasa lapar sehingga pasti pula akan berusaha mencari makanan guna mengenyangkan perut masing-masing.

Naluri terhadap bisnis pun dapat dikendalikan oleh pikiran, sehingga untuk menjadi orang yang punya naluri bisnis tajam, kita dapat melatih pola dan gaya pikir kita agar senantiasa mengarah kepada bisnis. Kita dapat mengondisikan naluri kita supaya selalu siap mengendus peristiwa yang dapat dibisniskan. Naluri bisnis perlu dikendalikan pula. Kita sebagai makhluk sosial dan berakhlak tentu tidak dapat membisniskan segala hal, walaupun benar bahwa hal-hal tersebut punya sisi bisnis.

Memahami kegiatan yang punya karakter bisnis, antara lain menghasilkan uang atau keuntungan, setidak-tidaknya bagi satu pihak, dan hanya sedikit mengandung risiko. Bisnis pada prinsipnya hendaknya menguntungkan, baik secara material maupun imaterial, bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya walaupun masing-masing pihak lazimnya tidak menikmati porsi yang sama.

Bisnis pada satu sisi bisa saja mengandung misi dan idealisme. Jika masih mau disebut bisnis, hendaknya sedikit-dikitnya suatu kegiatan masih menyisakan keuntungan material. Naluri dapat dikendalikan pikiran, biarpun tidak dalam arti sepenuhnya, seluruhnya, atau seutuhnya. Dan salah satu cara, mungkin pula satu-satunya, adalah dengan membiasakan pikiran kita mengarah ke satu arah: marketing.

Harus diakui bahwa naluri sangat bersifat alamiah sehingga tidak mudah diatur atau diarahkan. Apa yang sesungguhnya dapat kita atur, arahkan, berdayakan, atau manipulasikan adalah pikiran kita. Hasil yang dapat dicapai setiap orang pastilah berbeda-beda. Ciri utama bisnis adalah bahwa sesuatu itu harus dapat dijual atau menghasilkan uang. Dengan demikian, bila berbicara mengenai naluri bisnis, atau naluri marketing, pertama yang harus muncul secara naluriah adalah apakah sesuatu komoditas atau jasa tersebut laku dijual?

Dalam bentuk barang nyata, sesuatu itu memerlukan penanganan sebelum dapat dijual, mulai dari bentuk penanganan paling sederhana berupa pengemasan sampai pabrikasi. Apa yang paling penting adalah bahwa naluri marketing kita menuju kepada sasaran yang persis. Apa yang dapat dijual itu bukan hanya barang kasat mata melainkan juga jasa. Tentu saja naluri bisnis lebih sering terarah kepada barang atau jasa yang dibutuhkan banyak orang termasuk diri kita sendiri. Dalam hal ini kita harus percaya kepada naluri.

Barang atau jasa itu dapat digabungkan dengan atau dipisahkan dari barang atau jasa lain sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi atau dalam kuantitas lebih besar. Keuntungan atau laba niscaya menjadi unsur bisnis terpenting, walaupun ada bisnis yang menempatkan keuntungan sebagai unsur sampingan. Setelah naluri mengendus bahwa suatu kegiatan dapat diperbisnis, maka pertanyaan berikutnya yang pantas dijawab adalah seberapa menguntungkannya bisnis ini?

Masing-masing jenis bisnis dan penjualan tentu ada perhitungannya sendiri-sendiri. Keuntungan penjualan yang dimaksudkan di sini tentu harus dapat diukur secara signifikan. Ada angka-angkanya. Selama kita belum memperoleh gambaran suatu penjualan dalam bentuk angka-angka konkret, berarti bisnis tersebut belum pasti menghasilkan keuntungan nyata, dan percayalah, biasanya jenis penjualan begini besar sekali faktor risikonya.

Di samping keuntungan signifikan, boleh jadi, ada keuntungan sampingan tetapi naluri marketing pertama-tama perlu diarahkan mendeteksi dan menghitung keuntungan signifikan utama terlebih dahulu. Keuntungan sampingan, jika ada, anggap saja bonus. Laba juga tergantung bagaimana kita mengelola bisnis dengan penjualannya. Penjualan yang dilakukan dengan efisien pasti menghasilkan keuntungan lebih optimal daripada laba yang diperoleh oleh bisnis yang dijalankan tanpa memperhatikan faktor efisiensi.

Paling sering naluri bisnis timbul dari seseorang yang punya keahlian. Kita punya keahlian? Biasanya segera muncul naluri dalam diri untuk mengomersialkan keahlian tersebut. Mula-mula memang kecil-kecilan sekadar mencoba menawarkan diri dengan imbalan bayaran atau tidak. Sejak itu sebetulnya bibit naluri bisnis sudah tumbuh.

Jadi, cobalah kita bertanya kepada diri kita sendiri: kita punya keahlian apa? Keahlian apapun dapat saja dijual atau dijadikan komersial. Musuh utama kita apabila berbicara mengenai naluri bisnis adalah jiwa sosial. Maka kita dianjurkan untuk berkonsentrasi memikirkan sisi-sisi komersial bisnis dengan lebih intensif. Mungkin bagus juga kalau kita menanamkan slogan, tak ada yang gratis di dunia ini, dalam hati.

Tidak perlu terlalu peduli pada cemoohan orang bahwa kita mata duitan. Bisnis tentu harus menghasilkan duit dan diukur dari berapa banyak duit yang berputar di dalamnya. Selama apa yang kita lakukan tidak merugikan orang lain dan bukan perbuatan kriminal, kita harus yakin berjalan terus. Naluri penjualan perlu pula dibimbing oleh kalkulasi mengenai kemungkinan bisnis berkembang sampai sejauh mana dan sebesar apa serta dalam waktu berapa lama.

Penjualan yang baik idealnya harus bisa berkembang pesat dalam waktu singkat dan berkelanjutan …

Menjual dan Memenangkan Pasar
Menjual memang sulit. Tapi bisa menjadi mudah bila didukung strategi pemasaran yang solid. Mengapa bisa? Karena kita mempunyai strategi pemasaran yang solid, dari positioning, diferensiasi, hingga merek. Karena itu, cara menjual juga jadi gampang. Tak perlu menggunakan sistem push, bisa pull. Jadi, harus menggunakan strategi pemasaran, agar bisa menang dalam persaingan dan terus tumbuh di pasar. Dari awal kita harus melakukan pemetaan atau segmentasi, yang bukan sekadar demografis plus geografis saja. Kita juga harus melihat psikografi dan perilaku agar bisa mendapat gambaran pasar yang benar-benar berbeda dari pesaing.

Karena itu perusahaan kita harus mencari info tentang kebiasaan end-user, serta kebutuhan dan keinginan mereka. Sehingga, perusahaan kita bisa mempunyai gambaran psikografis dan perilaku mereka. Lalu, silakan pilih, mana yang akan dijadikan target pasar. Karena segmentasinya terinci, target pasarnya pun jelas.

Selanjutnya, kita membangun positioning produk sesuai pasar sasaran. Tentu saja, positioning-nya mesti benar-benar berbeda dari produk sejenis. Ini harus diakui, tak mudah. Apalagi kemajuan teknologi memendekkan daur hidup produk. Positioning-nya bisa kabur gara-gara ada penemuan atau produk baru yang lebih bagus atau lebih sedikit dampak samping dari produk itu.

Namun, bukankah ada time to market? Karena itu, manfaatkan waktu dengan tetap punya produk ber-positioning jelas. Untuk itu, diferensiasinya harus dipikirkan benar. Di marketing mix, karena karakteristik produknya, disarankan agar menaruh perhatian pada tempat dan promosi. Adapun promosi tidak harus above the line, tapi mesti cerdik.

Dengan cara itu, brand awareness-nya akan terbentuk. Akan lebih mudah lagi kalau terpikirkan nama komersial produk yang gampang diingat. Untuk memperbesar nilai produk, perusahaan harus memperhatikan layanan, bisa more for more, more for less, atau same for less. Yang penting, bisa memberikan nilai lebih tinggi dibandingkan pesaing. Hal ini bisa dilakukan setelah ada perbaikan dalam proses.

Harus disadari, produk yang punya diferensiasi bagus pun belum tentu mendapat respons yang bagus dari target pasar, kalau cara membangun persepsi di benak target pasar ternyata salah. Sehingga produk yang sebetulnya bagus terpaksa harus bertepuk sebelah tangan. Dalam pemasaran bukan hanya sadar diferensiasi yang dimiliki, tapi juga betul-betul berusaha memahami kondisi pasar. Kita harus melakukan segmentasi psikografis perilaku, kita tidak saja kratif bersegmentasi, tapi juga berhitung dalam pantargetan.

Artinya, kriteria pemilihan segmen pasar, yaitu market size, market growth, competitive advantage perusahaan dibandingkan pesaing maupun situasi kompetitif yang mencakup segmen persaingan, pendatang baru potensial, produk substitusi potensial, bargaining power pembeli atau pemasok, dan faktor-faktor lain, betul-betul diperhitungkan. Termasuk, perubahan perilaku konsumen di masa krisis.

Tentu, setelah kita melihat gambaran target pasarnya, langkah yang harus kita lakukan adalah mengkomunikasikan keunggulan produk ke target pasar. Dalam melakukan langkah tersebut, kita juga memperhitungkan perubahan sosial-kultural target pasarnya. Misalnya, kita melihat bahwa krisis yang berlangsung belakangan bukan sekadar menimbulkan penurunan tajam daya beli, tapi juga perubahan perilaku konsumen dalam membeli dan mengkonsumsi produk.

Konsumen yang dulunya banyak snob berubah menjadi smart. Yang dulunya beroriantasi kualitas, banyak yang berubah jadi berorientasi nilai. Bahkan, jumlah pelanggan yang berorientasi nilai menjadi besar, jauh lebih besar dibandingkan yang berorientasi harga. Membesarnya pelanggan berorientasi nilai membuat kita harus berusaha menunjukkan pada target pasar, bahwa produk kita punya nilai tinggi. Ini bukan sekadar manfaat tinggi dengan harga murah. Melainkan juga, bagaimana total get dalam bentuk manfaat fungsional ditambah manfaat emosional lebih tinggi dibandingkan harga dan pengeluaran lain.

Jadi, meski harga jauh lebih mahal dibandingkan produk lain, tapi karena manfaat fungsional dan emosional yang tinggi, serta biaya lain yang rendah, maka nilainya tinggi. Selain mempertimbangkan harga yang terjangkau, merek juga mesti menawarkan sesuatu yang memang dibutuhkan pasar sasaran.

Siapa menabur angin akan menunai badai. Siapa menabur benih akan menuai panen. Prinsip inilah yang sebetulnya menjadi dasar mengapa banyak orang merasa perlu membangun merek yang kuat. Kalau bisa memilih positioning yang pas, bisa jadi merek tersebut dapat dimanfaatkan lebih luas dibandingkan saat merek tersebut pertama kali dibentuk.

Namun, membangun merek kuat dalam hal pemasaran bukan hal gampang. Selain sering membutuhkan waktu yang panjang dalam melewati berbagai tahapan penciptaan merek yang kuat ekuitasnya, membangun merek mesti memikirkan positioning yang kelak tidak akan mengunci ruang geraknya, tapi juga tak terlalu melebar, sebab malah bisa membingungkan target pasar.

Sebuah pilihan lain, adalah membuat (memasarkan) produk baru. Namun menentukan produk baru dngan menggunakan merek yang sama sekali baru ataukah tidak, bukan perkara mudah. Kalau produk baru tersebut masih masuk dalam rentang produk yang sama, memanfaatkan atau menjual merek yang sudah ada tidak ada salahnya. Dengan kata lain, meski menabur benih akan menuai panen, besar-kecil panen yang akan dipetik tergantung kita, mau panen yang besar ataukah tidak.

Tahukah kita, mengapa banyak pemasar yang masih sering ketinggalan dari para pesaingnya walaupun seluruh upaya keras telah kita lakukan? Salah satu alasannya adalah, para pemasar ini terlalu sering melakukan benchmark terhadap produk yang telah ada, terutama kepada produk-produk yang menemati posisi sebagai market leader. Produk-produk yang dijadikan benchmark ini dipelajari dengan sangat teliti, kemudian coba dibuat produk tandingannya dengan fitur yang lebih bagus atau harga yang lebih murah. Walaupun dengan sejumlah keunggulan itu, tetap saja produk tandingan ini tidak mampu bersaing dengan produk yang dijadikan benchmark.

Mengapa? Kita harus mengingat dua kalimat berikut: reactive is about competing for the past! Proactive is about competing for the future! Kalau kita ingin menguasai pasar, tak bisa ditawar lagi bahwa kita harus berkompetisi untuk masa depan. Pakar manajemen Gary Hamel dan CK Prahalad dalam buku klasiknya, Competing for the Future, mengatakan, Winning in business today is not about being number one it’s about who gets to the future first. “Anda tak cukup hanya sekedar memikirkan kondisi saat ini, apalagi kondisi masa silam. Memang tak akan ada orang yang melarang Anda bersikap reaktif. Namun harus diingat, kalau bersikap reaktif itu artinya Anda bertarung untuk masa lalu”.

Melakukan benchmarking terhadap produk yang telah ada memang penting. Jangan salah, benchmarking tetap penting. Namun, baru bertindak saat pesaing telah melakukan aksi berarti kita telah membiarkan diri bertarung untuk masa lalu. Benchmarking adalah bersaing dengan produk yang sudah ada, dengan masa lalu. Artinya, kita hanya bersikap reaktif.

Saat berikap proaktif, pemasar tidak boleh membatasi dirinya pada kondisi yang telah terjadi. Ia harus bisa melihat jauh ke depan. Dengan bersikap proaktif, kita memiliki kesempatan untuk melihat peluang-peluang baru secara kreatif yang mungkin belum terpikirkan oleh pesaing kita. Maka, dalam menjual dan untuk memenangkan pasar, selalulah bersikap proaktif, jangan reaktif!

Strategi Menangkan Perang Bisnis
Perilaku konsumen terus berubah dan pemasar atau perusahaan harus mengamati perubahan yang terjadi demikian cepat. Bisnis itu dapat diibaratkan perang yang terus menerus, memenangkan pasar, memenangkan persaingan, agar penjualan dapat terus ditingkatkan. Tujuan akhir yang diharapkan berdampak pada laba bersih yang terus meningkat. Semuanya itu hanya akan tinggal harapan, kalau manajemen tidak bisa atau tidak mampu menunjukkan dalam laporan keuangan tahunan perusahaan.

Perang dalam bisnis merupakan perang yang seringkali asimetris. Dalam pemasaran kita melihat betapa perusahaan besar lebih mampu untuk melakukan pemasaran besar-besaran dengan iklan di koran, radio, televisi yang terus-terusan. Tujuannya agar konsumen lebih mengenal produk atau mereknya, dibanding dengan produk lain yang tidak dikenal atau kurang diperkenalkan.

Kita melihat belanja iklan yang terus meningkat, terutama untuk cunsumer products melalui televisi dan dampaknya juga cepat kelihatan pada angka-angka penjualan. Jangan lupa bahwa segera setelah iklan dicabut, penjualan juga akan cepat turun lagi. Tidak mudah untuk membuat konsumen beralih pada produk yang kita jual, karena dalam hampir semua hal, ada saingan dan pesaing kita juga sama gigihnya kalau tidak dapat dikatakan lebih gigih dan lebih mampu daripada kita.

Yang penting untuk diketahui dan disadari bahwa setiap perusahaan harus mempunyai strategi sendiri, yang tidak harus sama seperti perusahaan sejenis yang lain. Lihat saja perusahaan penerbangan yang bisa memberikan tarif murah untuk merebut penumpang, kalau perlu tanpa harus mencetak tiket dan kalau perlu tanpa harus menyediakan makanan standar.

Perilaku konsumen terus berubah dan perusahaan harus mengamati perubahan yang terjadi demikian cepat. Siapa yang memenangkan persaingan terhadap raksasa-raksasa yang lebih perkasa. Perusahaan harus fleksibel dan dapat mengambil keputusan yang cepat, kalau perlu berbelok dengan cepat, untuk lebih dulu sampai ke tujuan. Kadang-kadang kita kurang cepat mengambil keputusan dan terbenam dalam rapat-rapat yang berkepanjangan.

Untuk menghasilkan angka penjualan maka ada dua hal penting yang menentukan yaitu volume penjualan dalam unit dan harga jual per unitnya. Bilamana volume penjualan cukup besar dan harga jual juga cukup tinggi, maka kita atau perusahaan dapat menghasilkan angka penjualan yang besar pula. Adakalanya kita karena sesuatu sebab, tidak bisa menjual cukup banyak dengan harga yang telah direncanakan. Maka harga mungkin harus diturunkan, seperti dalam kasus-kasus persaingan yang terjadi di pasar.

Harga yang rendah mungkin mendorong pembeli untuk membeli lebih banyak atau mendorong pembeli untuk pindah dari produk yang satu ke produk yang lain, atau dari merek yang satu ke merek yang lain. Kalau penurunan harga bisa menghasilkan kenaikan volume penjualan yang lebih besar, mungkin hasil penjualan dalam rupiah bisa menjadi lebih besar, artinya, kebijakan harga bisa berakibat naiknya angka penjualan.

Kita atau produsen harus menentukan sejak awal, target pasar yang hendak dituju. Jika menghendaki produk kita dibeli oleh kalangan atas, maka mulai dari proses produksi, kemasan sampai harga tentunya harus berbeda dengan produk lain yang ditujukan untuk kalangan bawah. Kalangan atas sangat memperhatikan kualitas dan untuk itu tidak keberatan membayar lebih mahal.

Harga menjadi sangat penting dan perbedaan yang kecil saja antara merek yang satu dengan merek yang lain, bisa membuat pembeli pindah. Persaingan harga bisa menjadi begitu sengit, sehingga produsen terjebak dalam produksi barang murah yang margin labanya makin tipis. Kalau salah menghitung, bisa jadi tidak menghasilkan laba, meskipun penjualan terus naik.

Kita ingat bahwa setiap perusahaan mudah menghasilkan barang, hal itu bukanlah pekerjaan yang sulit. Bagaimana produk-produk yang diproduksi mampu diserap pasar? Ini yang penting dan untuk itu banyak strategi yang harus dibuat, antara lain promosi dan penentuan harga. Ketika produksi dimulai dan serta merta penjualan juga harus dimulai. Pada distributor telah ditunjuk sebelumnya dan harus segera melaksanakan tugas. Semuanya telah siap untuk menembus pasar. Dari hari ke hari perusahaan menghitung dan mencatat jumlah penjualan hasil produksinya dari pabrik ke distributor.

Kita selalu mengira, bahwa kemampuan produksi yang besar pasti akan diikuti oleh penjualan yang tinggi. Kita sering lupa, bahwa tersedianya produk kita di pasar, tidak otomatis berati, bahwa pembeli akan menyerbu barang yang kita tawarkan. Mungkin ada satu dua yang mencoba, tetapi pembelian secara besar-besaran baru akan terjadi kalau konsumen dimotivasi untuk membeli produk kita secara besar-besaran pula dan dengan cara yang meyakinkan.

Untuk itu diperlukan promosi yang kuat dan efektif, tetapi tidak ada promosi yang tidak memerlukan biaya, bahkan kalau mau pasang iklan di televisi secara terus-menerus, diperlukan dana puluhan miliar. Bilamana promosi kita berhasil, maka masyarakat mengenal produk kita, apapun itu, bisa manakan, minuman, pakaian, mobil, sepeda motor dan lain-lain.

Promosi sering harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum produk kita dapat dibeli oleh pasar, misalnya hotel yang sudah jauh-jauh hari memasang iklan, meskipun belum dibuka. Apartemen juga jauh-jauh hari membuat mock up atau contoh sebelum bangunannnya sendiri dibangun, tetapi kalau jarak waktu terlalu panjang, bisa membahayakan, karena konsumen mudah lupa. Konsumen itu memerlukan waktu untuk mengingat sesuatu dan membutuhkan pengulangan yang sering untuk bisa memasukkan suatu produk atau merek ke dalam otaknya.

Harga merupakan faktor yang sangat penting dalam usaa untuk menembus pasar. Barang yang dijual dengan harga lebih murah, pasti mendapat perhatian lebih dari konsumen. Karena itulah di supermarket, selalu ada label, “paling murah hari ini”. Setidak-tidaknya untuk produk yang kualitasnya hampir sama, konsumen akan menggunakan faktor harga sebagai dasar menentukan pilihan dan ini menentukan keberhasilan produk untuk menembus pasar dan dengan cepat menguasai pangsa pasar tertentu.

Jika suatu perusahaan harus bersaing dengan sebuah perusahaan raksasa, maka perusahaan harus berhitung lebih dulu apa yang hendak dilakukannya. Iklan besar-besaran yang mahal biayanya mungkin percuma. Maka perusahaan mungkin harus memilih celah atau niche market yang masih bisa dijangkaunya. Bukankah besarnya penjualan bukan ukuran dari besarnya laba, tetapi tentunya lebih baik lagi kalau penjualannya tinggi, pangsa pasarnya besar dan labanya juga tinggi. Itulah harapan pemegang saham maupun bank yang membiayai.

Perhatikan pesaing, perhatikan kualitas produk pesaing, perhatikan harga jual dan pelayanannya. Kalau pesaing kita lebih berhasil dari perusahaan kita sendiri, sedangkan kinerja perusahaan kita sudah mulai mundur, mungkin sudah waktunya untuk berbuat sesuatu. Jangan terlambat, sampai pangsa pasar kita benar-benar sudah terkikis oleh pesaing kita.
Keyakinan Menjual
Setiap eksekutif perusahaan harus mengambil keputusan dari waktu ke waktu. Apakah pandangan itu benar atau salah? Itu urusan kedua dan baru tahu kalau sudah lewat waktu. Tetapi tidak mengambil keputusan bukanlah suatu keputusan. Dari sejak sekolah kita harus mulai belajar mengambil keputusan, tentu saja sekaligus juga belajar untuk mempertimbangkan semua faktor yang perlu diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan.

Bila mana kita belum mempunyai cukup pengalaman, disarankan untuk tidak mengambil keputusan-keputusan besar, yang bisa berdampak besar pula. Pengambilan keputusan harus dimulai dari keputusan-keputusan kecil, yang lambat laun harus makin meningkat ukuran dan resikonya. Sementara itu perlu juga diperhatikan lamanya waktu yang diperlukan untuk mengambil keputusan.

Orang-orang yang lambat mengambil keputusan, lebih-lebih kagi yang tidak mengambil keputusan atau ragu-ragu terus, mestinya tidak cocok untuk menjadi bagian dari manajemen puncak dari satu perusahaan. Pengalaman dengan para eksekutif puncak perusahaan-perusahaan besar selalu menunjukkan, betapa piawainya mereka menilai suatu kasus dan betapa cepatnya mereka mengambil keputusan untuk membeli atau menjual perusahaan, membeli atau menjual aset, melakukan ekspansi perusahaan, mengembangkan produk baru dan seterusnya.

Tentu tidak mungkin kita bisa meyakinkan pihak lain, kalau kita sendiri tak yakin. Dalam setiap kasus, pimpinan perusahaan selalu bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia yakin dengan keputusan yang akan diambilnya. Tidak dalam semua kasus, keyakinan itu benar-benar bulat. Sebagaimana diketahui, dalam bisnis selalu ada aspek-aspek yang mendukung dan yang melawan.

Pasti ada tawar menawar antara penjual dan pembeli, sebelum akhirnya tercapai kesepakatan. Untuk itu baik yang menjual maupun yang membeli harus menggunakan semua pertimbangan untuk mengambil keputusan dengan penuh keyakinan. Kita yang menjual harus yakin, bahwa harga jualnya adalah harga yang tertinggi, sehingga tak perlu menyesali di kemudian hari. Sebaliknya yang membeli juga harus yakin, bahwa dia membeli dengan harga murah dan yang lebih penting ada gunanya dan dapat memberikan kontribusi laba di kemudian hari. Sama-sama yakin itu tidak mudah terjadi. Adakalanya diperlukan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk mendapat kesepakatan.

Orang yang mempunyai banyak dana pada umumnya lebih berani mengambil keputusan dari pada orang yang masih harus menggantungkan dananya dari pihak lain. Pengalaman menunjukkan, bahwa banyak orang sebenarnya tidak yakin pada apa yang dia lakukan dan menyerahkan kepada bank untuk melakukan penilaian atas proyek yang diusulkannya.

Adakalanya kita sendiri kurang yakin pada awalnya, tetapi menjadi lebih yakin belakangan setelah mempertimbangkan faktor-faktor lain. Bisnis yang demikian seringkali juga berakhir dengan kegagalan. Jangan sekali-kali menjadi yakin karena dorongan pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan sendiri. Keyakinan itu harus dari diri sendiri, bukan dari orang lain dan untuk mengambil keputusan yang benar, gunakan rasio yang serasional mungkin ditambah dengan rasa yang berasal dari hati nurani kita.

Nilai penjualan selalu mengalami pasang surut. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai cara guna mengatasi gelombang penjualan yang tidak merata. Semua kemungkinan mesti diperhitungkan serta dipikirkan cara mengatasinya. Jangan malah membiarkan perusahaan menjadi korban.

Semua orang tahu, penjualan selalu mengalami pasang-surut. Perusahaan tentu berharap agar pasangnya lebih banyak dan surutnya jarang. Kalau bisa penjualan terus naik , tanpa pernah mengalami penurunan. Yang sangat ditakuti ialah kalau penjualan terus menurun, tanpa pernah menunjukkan kenaikan sekecil apapun. Kenaikan tak ada batasnya, tetapi penurunan akan berhenti kalau sudah mencapai titik nol.

Kadang-kadang kita bisa mengatasi persoalan dengan melakukan outsourcing, kemudian pesanan itu diharapkan selesai pada atau mendekati waktu puncak. Gelombang penjualan yang pasang surut tidak hanya menimbulkan persoalan pada persediaan dan produksi, tetapi juga mempunyai dampak pada keadaan keuangan perusahaan.

Mau tidak mau, produksi membutuhkan biaya. Sementara barang hasil produksi baru dapat dijual beberapa bulan kemudian. Karenanya akan terjadi keseretan dana pada bulan-bulan sepi, dan kelebihan dana pada bulan-bulan ramai. Hal itu harus diantisipasi dengan pinjaman dana selama bulan sepi, yang biayanya harus diperhitungkan dengan harga jual yang lebih tinggi pada bulan puncak.

Melihat target pasar secara kreatif inilah yang disebut segmentasi. Jadi segmentasi adalah bagaimana kita melihat perusahaan-perusahaan itu secara kreatif. Atau melihat teman-teman kita, bos kita, bawahan kita secara kreatif pula. Kita harus lebih detil dalam melihat pasar kita, apakah itu perusahaan atau orang-orang. Jangan melihat secara umum. Jangan melihat sebagai hutan, tapi lihatlah mereka sebagai pohon, kita harus masuk ke hutan itu dan melihat ternyata pohon yang satu itu berbeda dengan pohon yang lain. Pohon-pohon itu dilihat dari atas itu hanya kelihatan sebagai hutan, sepertinya sama, padahal kalau dimasuki hutan itu terdiri dari berbagai pohon yang berbeda. Perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain tentu berbeda. Orang yang satu dengan orang yang lain pasti berbeda.

Kemudian kelompokkan perusahaan yang kira-kira hampir sama karakteristiknya atau orang-orang yang hampir sama karakteristiknya menjadi satu kelompok yang disebut segmen-segmen.

Cobalah pahami karakteristik masing-masing kelompok tersebut. Kita harus mengantisipasi dengan mengambil sikap dan perilaku seperti apa ketika kita harus berinteraksi dengan tiap-tiap segmen yang merupakan kelompok dari perusahaan atau orang-orang yang hampir sama tadi. Dengan demikian kita akan mempunyai manfaat yang maksimal.

Bahwa marketer itu harus seperti sniper! Pelurunya terbatas, karena itu kalau mau menembak dilihat dulu sasaran tembaknya, apakah sudah benar atau tidak. Kalau sudah benar baru ditembak. Dan kalau bisa setiap peluru itu merupakan silver bullet atau peluru perak sehingga ketika kena sasaran langsung mematikan.

Sebelum menentukan targeting, kita harus melihat dulu di mana potensi dan kekuatan dan kompetensi kita sendiri. Pastikan bahwa segmen pasar yang kita tuju itu mempunyai potensi di mana kita mempunyai possibility yang besar untuk diterima. Itu dalam kasus mencari pekerjaan. Kalau dalam karir, setelah kita menunjukkan pekerjaan kepada teman sekerja yang menjadi target market kita, kemudian mereka akan memberikan saran-saran kepada kita, maka kita akan mendapatkan kemajuan yang luar biasa.

Bidiklah target kita seperti sniper. Pakailah waktu, energi dan pikiran terutama untuk target pasar utama. Alokasikan energi dan waktu kita kepada target pasar utama, baru sisanya untuk target pasar kedua. Sedangkan untuk yang bukan target pasar, kita sama sekali tidak usah mengeluarkan energi dan waktunya kepada mereka.

Pentingnya Relationship
Positioning dan diferensiasi itu saling berkaitan. Kita harus mempositioningkan diri kita supaya kita dipersepsikan berbeda, tetapi setelah dipersepsi sebagai berbeda, kita harus juga mengisi content dan context kita. Tentukan kita kuat di mana, diferensiasi di content atau contect. Kadang-kadang karena tidak mampu melakukan diferensiasi di content, akhirnya memilih diferensiasi pada context. Paling tidak gayanya menang. Tapi akan lebih baik kalau diferensiasi bisa dilakukan baik melalui content maupun context.

Cocokkan diferensiasi yang kita pilih tadi, dengan positioning yang kita tetapkan. Karena positioning sebenarnya merupakan strategi. Segmentation, targeting dan positioning pada prinsip pertama, kedua dan ketiga itu adalah strategi pemasaran. Sedangkan diferensiasi adalah unsur taktik. Agar klop, diferensiasi itu harus sesuai dengan positioning. Yakinkan bahwa content dan context kita terintegrasi dengan baik. Jadi content dan context mesti terkait untuk mendukung supaya diferensiasinya solid. Dan sekali lagi diferensiasi harus mendukung positioning. Kalau kita melakukan ini kita akan berhasil.

Dalam marketing mix meliputi product, price, place dan promotion. Kalau kita sudah mempunyai strategi positioning yang benar dan kita menunjang positioning dengan diferensiasi maka produk adalah bentuk konkretnya. Yang dimaksud produk dalam diri kita adalah servis, yakni apa yang bisa kita berikan pada concumer kita. Misalnya, kemampuan menjual, ini semua disebut sebagai product. Dan itu harus konkret.

Gabungan antara product dan price disebut dengan offer. Offer adalah apa yang kita tawarkan kepada orang. Kita harus menawarkan dalam arti menawarkan servis yang kita miliki. Kita juga harus memasang harga. Dalam merancang marketing mix kita harus kembali kepada diferensiasi. Kita mau different di bidang apa, misalnya, kita ingin menjadi orang marketing, orang harus mengingat kita sebagai orang marketing. Kita bisa berbicara mengenai marketing, kita bisa menjadi konsultan marketing, semua tentang marketing. Jadi, diferensiasi kita harus diingat dulu, kalau tidak bisa salah arah.

Susunlah product, price, place dan promotion yang cocok dengan diferensiasi yang kita miliki. Kalau dalam hal tadi, kita bisa menetapkan harga kita. Buatlah supaya marketing mix kita gampang diterima oleh para pelanggan. Make it simple. Itulah marketing mix untuk memasarkan diri kita. Namun, jangan melakukan hard selling!

Kalau kita melakukan hard selling biasanya malah tidak laku. Hard selling baru bisa kita lakukan ketika kita menjual barang. Barang ditaruh di supermarket dan dicantumkan harga, maka orang akan datang dan mengambil barang itu. Tetapi untuk menjual person, kita tidak bisa begitu, kita mesti melakukan yang namanya soft selling. Ingat! Selling for yourself itu berbeda dengan selling the product atau selling the service. Kita mesti melakukan soft selling.

Yang paling penting adalah kita harus menjaga interaksi dengan orang, terutama dengan orang-orang yang merupakan target pasar kita. Dan setelah berinteraksi dengan orang-orang tersebut, kita akan mempunyai kesempatan untuk menjual. Tetapi ingat. Cara menjualnya tetap harus bersifat soft selling.

Relationship harus terjadi terus menerus sampai tercipta customer bonding. Jika kita punya bonding atau ikatan dengan pelanggan, maka ikatan tersebut lama kelamaan bukan hanya bersifat financial bonding saja yang berdasarkan untung rugi, tapi akan muncul emotional bonding, bahkan lama-lama bisa menjadi spiritual bonding. Artinya, sudah dari hati ke hati. Kalau sudah begitu, posisi kita akan kuat.

Kita harus berani melakukan selling. Tapi jangan menggunakan hard selling, atau melakukan penjualan secara terang-terangan. Tapi harus diingat, kalau kita terlalu pasif tidak melakukan selling kita juga salah. jadi memang selling is about art. Kita bisa menjual feature selling dengan menjual apa yang apa pada diri kita, benefit selling dengan menjual manfaat yang akan diterima oleh pelanggan kalau membeli produk kita, namun yang paling bagus adalah jika kita juga menjual solusi.

Jagalah relationship antara kita dengan pelanggan. Relationship itu harus dilanjutkan meskipun pelanggan sudah membeli produk kita. Jagalah relasi kita.

Penting dlam penjualan: jangan angap nama kita Cuma sekadar nama. Jangan percaya pada Shakespeare yang mengatakan, what is in a name. namanya boleh apa saja, padahal nama itu penting. Nama itu harus diketahui oleh orang banyak dan orang harus mengerti asosisasi apa yang melekat pada nama kita. Build your own brand. Kita punya kewajiban untuk membangun brand kita sendiri. Walau awalnya adalah secara kecil-kecilan, sehingga makin banyak orang yang mengenal kita.

Jaga nama baik kita. Mungkin kita rugi dalam bentuk materi. Itu tidak apa-apa asal jangan sampai nama kita jatuh. Sekali nama tercemar, barangkali kerugiannya akan besar daripada yang diperkirakan. Because brand is value.

Menjual Itu Gampang atau Sulit
Menjual adalah proses personal dan impersonal untuk menolong dan atau meyakinkan seorang calon konsumen untuk membeli suatu barang atau jasa atau untuk bertindak sesuai dengan ide yang mengandung nilai komersial bagi penjual. Siapa saja yang memiliki atau mampu menumbuhkan minat dan ambisi yang terus menerus untuk menolong dan meyakinkan orang, akan dapat menjadi penjual yang baik. Jelas, bahwa untuk itu diperlukan berbagai pengetahuan, knowleadge. Sudah pasti untuk itu diperlukan persepsi dan sikap yang positif. Tak perlu didebatkan bahwa untuk itu diperlukan keterampilan halus soft skills, people skills, seperti berkomunikasi dan membina relasi, termasuk networking skills.

Namun yang paling menentukan adalah ada tidaknya minat dan ambisi yang terus menerus untuk menolong dan atau meyakinkan orang. Minat dan ambisi yang terus menerus itulah yang mendorong seseorang mencari pengetahuan yang diperlukan, belajar mengembangkan sikap yang tepat, dan berlatih teknik-teknik menjual secara profesional. Tanpa minat dan ambisi terus menerus, pengetahuan tak banyak berguna, sikap positif tak berarti produktif, dan keterampilan tak bisa dikembangkan.

Menjual bisa gampang bila kita tidak berusaha mengubah orang lain, prospek, menjadi seseorang yang bukan dirinya. Orang tak akan pernah mengecewakan kita jika kita memperhatikan dua aturan ini, mencari tahu siapa mereka sesungguhnya, dan mengharapkan mereka menjadi dirinya sendiri. Masalahnya, kebanyakan penjual berniat untuk mengubah orang agar mengikuti keinginannya. Dan ini membuat proses menjual menjadi sulit. Sebab, kebanyakan orang tidak suka diubah, kecuali jika mereka memutuskan utnuk berubah, pilihan pribadinya. Dalam bahasa orang kreatif dikatakan bahwa orang pada dasarnya tidak suka dijuali atau disuruh orang lain, tetapi mereka suka membeli atau membuat keputusan sendiri.

Orang sering berdalih tidak dapat menjual karena merasa tidak berbakat. Sementara yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa mereka tidak bersedia belajar, tidak menaruh minat dan ambisi terus menerus, atau tidak belajar cukup tekun sejak dini. Kalau belajar menjual baru mulai dilakukan di usia dewasa, boleh jadi hal itu menjadi sulit. Bukankah pisau yang lama tak digunakan menjadi tumpul dan rumah yang tak dihuni menjadi cepat rusak, hukum entropi? Tetapi untuk yang terakhir ini pun masih terbuka kesempatan untuk mulai mengasah dan merenovasinya.

Apakah menjual itu gampang atau sulit, pertama-tama lebih bergantung pada keyakinan yang tumbuh dan berkembang dalam diri seseorang. Bagi anak-anak, soal sulit atau gampang itu adalah soal orangtua mendukung atau tidak. Namun bagi orang yang telah dewasa, soal sulit atau gampang adalah soal pilihan pribadi. Orang dewasa seharusnya memiliki keberanian untuk menentukan pilihan keyakinan, entah itu sejalan dengan pendapat orang lain ataupun tidak.

Bila kita tidak berani menyatakan pilihan karena takut berbeda dengan harapan dan pandangan lingkungan, kita sesungguhnya belum dewasa. Kita masih anak-anak, setidaknya secara mental!

Dalam konsep penjualan sebelum 1990-an, penekanan yang amat berlebihan diberikan kepada pentingnya pengetahuan produk. Pengetahuan penjual kemudian dipersamakan begitu saja dengan pengetahuan produk. Hanya itu. Konsep yang demikian, tidak relevan lagi dewasa ini. Pengetahuan tentang orang harus dikedepankan, baru disusul dengan pengetahuan produk. Setidak-tidaknya, demikianlah seharusnya kalau orang sungguh-sungguh konsisten dengan apa yang disebut customer driven, customer focus, customer oriented, dan sejenisnya, dan mau meninggalkan konsep dan pendekatan product driven dan product oriented.

Ini juga lebih tepat dipandang dari kerangka nilai-nilai yang bersifat humanistik. Manusia selalu harus lebih didahulukan ketimbang aneka produk, apa pun itu.

Menjual bisa gampang, jika kita terlatih mempraktikkan apa pun yang telah dipelajari dan dilatihkan kepada kita. Sebab menjual sebenarnya adalah praktik itu sendiri. Selama kita belum mempraktikkan ilmu dan keterampilannya, maka kita baru belajar tentang menjual, kita belum belajar menjual. Sama seperti mereka yang membaca buku tentang berenang tidak mungkin bisa langsung mahir berenang, kecuali diterjunkan ke sungai, ke laut, atau ke kolam renang.

Lantas, praktik menjual itu apa? Pada intinya adalah menemui orang, berkomunikasi dengannya, memahami kebutuhannya, mengaitkan kebutuhannya dengan apa yang kita jual, menegosiasikan kondisi-kondisi yang saling menguntungkan, dan membuat kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu, segampang dan sesulit itu.

Bagi penjual langsung yang profesional, pengalaman merupakan suatu hal yang tak tergantikan. Pengalaman menjual adalah momen pembelajaran yang sangat bernilai karena ia memberikan begitu banyak pelajaran berharga. Berbeda dengan teori-teori pemasaran yang bisa abstrak dan logis, menjual adalah hal-hal yang sangat konkrit dan emosional.

Seperti halnya mitos bahwa menjual itu memerlukan bakat khusus, bagi sebagian orang hal itu diyakini sebagai kebenaran. Namun sebagian orang yang lain, tidak percaya bahwa hal itu betul-betul benar, kecuali bakat didefinisikan sebagai minat dan ambisi terus menerus.

Sikap Sebagai Modal Awal Menjual
Sikap dalam menjual itu mencakup sedikitnya enam sikap. Pertama, sikap terhadap potensi dan kemampuan diri kita, kedua, sikap terhadap profesi penjual langsung, ketiga, sikap terhadap prospek atau calon konsumen, keempat, sikap terhadap konsumen yang loyal, kelima, sikap terhadap waktu, dan keenam, sikap terhadap kegagalan.

Kita bisa belajar untuk mempercayai bahwa secara potensial kita memiliki bakat untuk menjual. Semua orang memilikinya dalam kadar atau intensitas tertentu. Fakta bahwa setiap orang adalah makhluk sosial yang hanya dapat hidup normal jika berhubungan dengan orang lain mendukung keyakinan itu. Sebab bukankah dalam hubungan sosial itu setiap orang sesungguhnya saling menjual dan membeli.

Sikap positif perlu kita miliki sebagai orang yang ingin menekuni profesi penjual langsung, juga dalam pilihan karier dan profesi lainnya. Orang yang memilih sikap semacam ini sering disebut memiliki rasa percaya diri. Dan sikap percaya diri itu tak dapat disangkal merupakan salah satu kunci keberhasilan sejati.

Sering dikatakan bahwa menjual itu juga berarti menawarkan pertolongan kepada prospek. Dalam pengertian ini, tentu aneh bila pertolongan itu kita lakukan dengan cara-cara yang memaksa, mengintimidasi, mengancam, manipulatif, dan sejenisnya. Sebaliknya, sebagai pihak yang ingin menawarkan solusi terhadap permasalahannya, kita juga tidak pantas merengek seperti anak kecil, atau mengemis minta belas kasihan karena kita dikejar target tertentu.

Sikap memaksa dan mendesak calon konsumen atau prospek merupakan pertanda kesombongan, sedangkan sikap merengek dan mengemis merupakan pertanda rendah diri atau minder. Keduanya merupakan sikap yang tidak tepat. Sebab dalam kesombongan terkandung pandangan: Anda yang membutuhkan saya. Sementara rasa minder mengandung pandangan: Saya membutuhkan Anda.

Keduanya dikatakan tidak tepat, sebab pada dasarnya dalam komunikasi menjual kedua belah pihak berada pada posisi yang sama-sama membutuhkan. Pola hubungan yang demikian bersifat saling bergantung, interdependence. Penjual langsung yang belum berpengalaman boleh jadi merasa bahwa prospek yang membutuhkan kita. Namun, hal itu tentu saja tidak benar. Dan bila kita tidak segera memperbaiki sikap sombong itu, bisa jadi calon konsumen atau prospek membatalkan niatnya untuk membeli. Dalam suasana hiperkompetisi seperti saat ini, prospek yang merasa kurang dihargai dapat langsung beralih kepada kompetitor lainnya.

Bagi penjual langsung yang berpengalaman, menghadapi prospek yang telah mengenali kebutuhan dan keinginannya, proses menjual menjadi relatif lebih mudah. Setidaknya ia tidak perlu lagi menyadarkan prospek bahwa produk atau jasa yang ditawarkannya itu memang dibutuhkan. Ia juga tidak perlu membangkitkan minat prospek terhadap produk atau jasanya. Ia hanya perlu meyakinkan prospek bahwa apa yang ditawarkannya itu merupakan alternatif terbaik untuk saat itu.

Namun demikian, kita tetap saja perlu mendemonstrasikan sikap menghargai calon konsumen, penuh perhatian, mau mengerti, dan siap untuk menolong.

Ingatlah bahwa prospek adalah konsumen dalam keadaan potensial. Ia belum melakukan transaksi dengan kita. Ia kita sebut prospek, karena ia prospektus atau menjanjikan. Dalam bahasa menjual seseorang disebut prospek kalau memenuhi sedikitnya tiga kriteria: pertama, ia patut diduga memiliki kebutuhan, keinginan dan harapan atau ekspektasi yang bertalian dengan apa yang ingin kita tawarkan. Kedua, ia memiliki wewenang untuk membuat keputusan membeli. Dan, ketiga, ia memiliki daya beli atau uang yang cukup untuk melaksanakan keputusan yang dibuatnya.

Berbeda dengan prospek, konsumen adalah mereka yang telah melakukan transaksi bisnis dengan kita. Sedikitnya ia pernah melakukan satu kali pembelian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia telah membuat keputusan untuk mempercayai kita dalam menolong dirinya mengatasi kebutuhan atau keinginan tertentu.

Pada kenyataannya, kebanyakan pejual langsung lebih suka berburu prospek daripada melayani konsumen, yang ingin komplein misalnya. Prioritas yang salah arah ini dapat berakibat fatal. Pada satu sisi ia mengejar janji, dan pada sisi lain ia ingkar janji, yakni janji untuk memberikan pelayanan yang memuaskan bagi konsumennya. Janji kepada konsumen biasanya diutarakan saat konsumen masih berstatus prospek. Dan atas dasar kepercayaan terhadap janji-janji itulah sebuah transaksi biasanya disepakati.

Bila dikemudian hari janji itu tidak ditepati, kita sebagai penjual langsung akan menuai badai. Konsumen yang emosional dapat marah-marah dengan cara yang beradab maupun biadab. Ia juga dimungkinkan untuk mempublikasikan jeleknya mutu pelayanan purna jual kita kepada banyak orang, baik secara langsung, lisan, maupun tak langsung, yakni dalam bentuk tulisan di koran dan majalah tertentu, bahkan juga internet: e-mail, mailing list, facebook, situas web, dan sebagainya.

Penjual langsung yang berpengalaman sering mengaku bahwa order yang mereka peroleh 30-60 persen datang dari konsumen sebelumnya, repeat order. Itu sebabnya memberikan nilai prioritas lebih tinggi kepada konsumen daripada kepada prospek adalah sesuatu yang masuk akal. Hanya saja yang namanya skala prioritas itu diperlukan dalam keadaan berbenturan satu sama lain. Bila janji temu, appoinment, dapat diatur dan disepakati tanpa menimbulkan konflik dari segi manajemen waktu, prospek dan konsumen memiliki nilai yang relatif sama. Karenanya dua-duanya harus dilayani sebaik mungkin.

Apa pun sebabnya, pola penjualan hit and run tak akan mampu mempertahankan seseorang dalam profesi sebagai penjual langsung untuk waktu yang lama. Banyak orang yang mungkin dapat ditipu untuk pertama kalinya, tetapi sedikit sekali yang bersedia ditipu dan dikecewakan berulang kali!

Belajar dari Kesalahan Mejual
Dalam konteks profesi penjual langsung, manajemen waktu ini dinyatakan lewat perencanaan aktivitas kerja secara mingguan. Artinya, jika kita menghargai diri kita dan konsumen atau sesama kita, kita akan belajar merencanakan aktivitas kita secara periodik, seminggu sekali. Kebiasaan merencanakan aktivitas kunjungan kepada prospek dan konsumen adalah salah satu hal yang utama dalam profesi penjual langsung. Artinya, penjual langsung yang profesional telah membiasakan diri untuk mengatur kunjungannya, visit, satu minggu sebelumnya. Karenanya, sangat jarang menemukan penjual langsung yang profesional tidak memiliki rencana aktivitas mingguan ataupun harian yang jelas.

Kesalahan pertama yang sangat mendasar dalam persepsi sebagian besar orang yang menekuni bidang penjualan langsung adalah bahwa ia pernah berpikir bahwa ia dapat menghindari kegagalan. Ini merupakan harapan yang tidak realitis. Dan harapan yang tidak realistis hanya akan berujung pada kekecewaan, kesedihan, bahkan keputusasaan. Harapan yang tidak realitis harus dibunuh, sebelum ia melahirkan kekecewaan yang menganiaya hidup kita.

Bagi penjual profesional, selalu tanamkan dalam hati dan pikiran nasihat ini: banyak orang menyerah pada kegagalan, kesulitan, dan hambatan, justru ketika mereka sudah begitu dekat dengan keberhasilan.

Dengan mengingat nasihat itu, mereka justru optimis ketika menghadapi kegagalan, sebab yakin kegagalan itu tak abadi. Mereka percaya kegagalan memiliki batas, dan mereka bertekad menerobos batas. Mereka percaya kegagalan merupakan pertanda masih ada yang perlu dipelajari, dan sepanjang mereka bersedia belajar dengan baik, keberhasilan menanti didekatnya.
Kita percaya tidak ada guru yang lebih baik dari kegagalan, sebab keberhasilan acapkali justru membuat orang terlena dan terjatuh pada putaran berikutnya. Kegagalan adalah sumber inspirasi. Kegagalan adalah sumber energi. Begitulah para penjual nomor wahid di seantero bumi memandang dan memakai kegagalan, sehingga mereka tidak pernah membiarkan dirinya ditelan oleh kegagalan apa pun.

Jadi, dalam praktik menjual, kegagalan itu perlu bahkan harus. Yang tidak perlu adalah rasa takut gagal, sebab itu membuat kita tidak mau mencoba. Yang tidak perlu adalah kemalasan berusaha, sebab itu membuat kita tak berpengalaman apa-apa. Yang tidak perlu adalah kesombongan, sebab itu membuat kita tidak bisa belajar. Yang tidak perlu adalah rasa malu, sebab semua orang pernah gagal. Jadi, bila kita berminat dan berambisi untuk menjadi penjual yang profesional, milikilah persepsi dan sikap yang tepat terhadap kegagalan.

Kegagalan adalah proses menuju sukses sejati. Tak ada yang dapat menggantikan kegagalan. Tak ada pencapaian besar, tak ada prestasi spektakuler, tak ada rekor nasional, tak ada rekor internasional, dalam hampir semua bidang kehidupan, yang tercatat tanpa kegagalan.

Persoalan mendasar dalam penjualan langsung acapkali berakar pada ketidaksediaan para pelakunya untuk diproses, untuk meniti jembatan kegagalan dengan menarik pelajaran sebanyak mungkin. Para penjual pemula bermimpi dan berkhayal untuk dapat menjual tanpa pernah gagal. Dan dengan impian serta khayalan yang konyol ini, semangat mereka mudah patah bila dihadang kegagalan.

Kenalilah kuota kegagalan kita dan penuhilah sejumlah yang diperlukan, lalu cobalah menerobos kegagalan itu satu kali lagi, maka kita sampai pada keberhasilan.

Pentingnya Perencanaan
Perencanaan adalah sebuah proses atau upaya intervensi terhadap situasi dan kondisi masa kini dalam rangka mencapai suatu tujuan dan atau sasaran tertentu yang lebih berkesesuaian dengan keinginan, harapan, dan kebutuhan kita di masa depan. Dengan demikian, perencanaan dalam bidang penjualan langsung adalah proses intervensi terhadap situasi dan kondisi penjualan saat ini, current sales performances, situasi as is, dalam rangka mencapai suatu tujuan atau sasaran penjualan yang lebih baik di waktu mendatang, situasi should be, yang ideal.

Artinya, momentum terbaik untuk menyusun rencana penjualan adalah pada saat kita mulai menekuni profesi sebagai penjual langsung, mulai dari nol. Pada periode berikutnya, setelah ada pengalaman, yang perlu kita lakukan mungkin adalah merevisi sebuah rancangan penjualan karena hasil-hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan dan keinginan kita atau target perusahaan atau atasan kita.

Keterampilan menyusun rancangan arau rencana penjualan adalah keterampilan vital dalam profesi penjual langsung. Dan tidak seorang pun yang baru belajar menjual dapat melakukannya dengan sempurna. Kita perlu melakukannya berulang kali secara berkala dan merevisinya dari waktu ke aktu, sampai keterampilan membuat rancangan penjualan dapat kita lakukan dengan baik.

Dalam profesi penjual langsung, rancangan penjualan adalah rancangan keberhasilan.

Perlu diperhatikan, jika kita gagal merencanakan penjualan, maka kita merencanakan kegagalan penjualan. Penjual yang profesional selalu memiliki rencangan penjualan yang jelas. Ini ditetapkan mengantisipasi kegagalan yang dialami. Artinya, perlu ditetapkan lebih dulu sasaran penjualan, sales goal, rangkaian aktivitas yang perlu dilakukan, skala prioritas aktivitas tersebut dan agenda kerja harian sampai minggguan. Berapa banyak atau berapa besar tartegt penjualan per minggu, per bulan, dan per tahun yang hendak kita capai. Apa saja aktivitas kunci yang perlu dilakukan dan mana yang perlu didahulukan antara aktivitas yang satu dengan yang lain, call plan, prospecting, networking, membuat janji temu, presentasi, dan sebagainya.

Untuk dapat menyusun rancangan penjualan diperlukan pemahaman yang relatif jelas mengenai situasi pasar, profil prospek dan konsumen, dan kompetitor. Sebarapa besar potensi pasar yang masih terbuka, siapa dan di mana saja prospek dan konsumen dapat ditemui, dan seberapa ketat tingkat persaingan dalam industri yang kita tekuni? Ini semua perlu diketahui jawabannya agar proses perencanaan bisa dilakukan dengan baik.

Dalam rancangan penjualan harus ada daftar nama dan skala prioritasnya. Perlu disusun urut-urutan nama-nama orang atau organisasi atau perusahaan, account names, dan jadwal rencana menghubungi mereka, call plan. Rancangan penjualan juga mencakup perencanaan metode, proses pembelajaran dan pelatihan, dan alat bantu penjualan. Ini antara lain mencakup jadwal sales training yang poerlu diikuti, rute perjalanan, kalau kita melakukan canvassing di wilayah tertentu, perkiraan skala waktu, sales kit atau presentation kit, alat komunikasi, dan sebagainya.

Rancangan penjualan memberikan gambaran mengenai biaya-biaya dan imbal hasilnya, return, yang dimungkinkan. Perlu dihitung semacam forecast financial payback dari segala investasi waktu, pikiran, dan uang yang kita keluarkan lebih dulu untuk memperoleh hasil-hasil penjualan yang diharapkan.

Rancangan penjualan sebaiknya juga menjelaskan sistem administrasi atau pencatatan laporan agar kelak dapat dianalisis untuk disempurnakan. Sekaligus juga perlu ditetapkan frekuensi pekerjaan adminsitratif ini, berapa sering kita harus menangani hal ini dalam seminggu. Harap diingat bahwa proses perencanaan selalu bersifat dinamis dan harus relatif fleksibel tanpa kehilangan fokus. Laporan atau pencatatan yang baik akan menolong proses penyempurnaan setiap rancangan penjualan yang pernah dibuat sebelumnya.

Rancangan penjualan yang baik juga perlu mengantisipasi potensi problem yang mungkin muncul dalam proses pelaksanaannya di lapangan. Ada dua hal yang harus ada, yakni antisipasi problema dan alternatif solusi yang dapat mengatasi problema tersebut secara efektif dan efisien.

Komitmen total untuk melaksanakan sebuah rencana guna mencapai suatu tujuan dan sasaran penjualan sangat bergantung pada seberapa jauh semua itu diniatkan dari pikiran dan hati kita. Dan agar kita terlatih membuat tujuan, sasaran, dan rencana kerja yang mengandung aspek emosional, biasakanlah untuk membuat lajur dua kolom untuk mendaftarkan sebanyak mungkin jawaban atas pertanyaan ini: Apakah dampaknya bagi hidup pribadi saya secara keseluruhan bila sasaran penjualan itu tercapai (kolom pertama).

Dan, bagaimana kalau tidak tercapai (kolom kedua). Bila kolom pertama sarat dengan emosi dan bersifat sangat pribadi, subjektif, maka kemungkinan besar rencana yang telah disusun itu akan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Upaya yang dilakukan untuk menarik perhatian prospek atau pelanggan yang kita temui sudah dimulai saat detik-detik pertama kita berkomunikasi. Senyuman ramah, pakaian rapi atau eksentrik, kartu nama yang dirancang unik, sapaan yang khas, dan jabat tangan yang kreatif adalah sekadar contoh bagaimana para penjual ulung merebut perhatian di awal pertemuan.

Penjual biasa boleh saja terampil memberikan kesan pertama yang mengesankan, namun mereka seringkali gagal mempertahankan kesan positif itu dalam jangka panjang. Model penjual hit and run adalah sekadar contoh bagaimana sebagian penjual yang mampu memberikan kesan pertama yang positif, tapi gagal mempertahankan kesan positif itu ketika pelanggan komplein. Maka selalu berburu prospek, namun gagal mempertahankan pelanggan.

Sebaliknya, para penjual ulung terus berupaya mempertahankan hubungannya dengan pelanggan, sehingga 40-60 persen hasil penjualan mereka adalah repeat order dan bukan datang dari pelanggan baru. Mereka melakukan kontak reguler, mengirimkan berbagai kartu ucapan kepada pelanggannya hampir setiap bulan, dan menjaga sikap mereka seolah-olah pelanggan rutin itu adalah prospek baru.

Proaktif Jangan Reaktif
Menjual bisa gampang kalau kita mampu melatih diri berkomunikasi dengan baik, dan itu dimulai dari kemampuan untuk secepat mungkin menarik perhatian orang yang kita temui, lalu segera diikuti dengan kemampuan untuk memberikan perhatian kita kepada yang bersangkutan.

Anda tahu, mengapa banyak pemasar yang masih sering ketinggalan dari para pesaingnya walaupun seluruh upaya keras telah mereka lakukan? Salah satu alasannya adalah, para pemasar ini terlalu sering melakukan benchmark terhadap produk yang telah ada, terutama kepada produk-produk yang menempati posisi sebagai market leader. Produk-produk yang dijadikan benchmark ini dipelajari dengan sangat teliti, kemudian coba dibuat produk tandingannya dengan fitur yang lebih baik atau harga yang lebih murah. Walaupun dengan sejumlah keunggulan itu, tetap saja produk tandingan ini tidak mampu bersaing dengan produk yang dijadikan benchmark.

Mengapa? Kita harus mengingat dua kalimat berikut: Reactive is about competing for the past! Dan, Proactive is about competing for the future! Kalau kita ingin menguasai pasar, tak bisa ditawar lagi bahwa kita harus berkompetisi untuk masa depan. Kita tak cukup hanya sekedar memikirkan kondisi saat ini, apalagi kondisi masa silam. Memang tak akan ada orang yang melarang kita bersikap reaktif. Namun harus diingat, kalau bersikap reaktif itu artinya kita bertarung untuk masa lalu.

Melakukan benchmarking terhadap produk yang telah ada memang penting. Jangan salah, benchmarking tetap penting. Namun, baru bertindak saat pesaing telah melakukan aksi berarti kita telah membiarkan diri bertarung untuk masa lalu. Benchmarking adalah bersaing dengan produk yang sudah ada, dengan masa lalu. Artinya, kita hanya bersikap reaktif.

Saat bersikap proaktif, pemasar tidak boleh membatasi dirinya pada kondisi yang telah terjadi. Ia harus bisa melihat jauh ke depan. Dengan bersikap proaktif, kita memiliki kesempatan untuk melihat peluang-peluang baru secara kreatif yang mungkin belum terpikirkan oleh pesaing kita. Maka, selalulah bersikap proaktif, jangan reaktif!

Pria secara umum memiliki kemampuan berkonsentrasi pada satu hal secara lebih dalam dibandingkan dengan wanita. Pria juga dikenal sulit untuk berkomunikasi dan mengekspresikan emosinya, bukan karena mereka tidak memiliki emosi, namun karena mereka kadang tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Di era yang sudah sangat terbuka ini, perusahaan tidak lagi bisa mengatur pelanggannya. Informasi produk atau servis pun tidak bisa lagi berjalan satu arah, semata hanya dari perusahaan ke pelanggan. Mereka saat ini sudah jauh lebih kritis, tidak akan menelan begitu saja apa-apa yang diiklankan.

Bayangkan, saat ini berbagai produk sudah membanjiri pasar, lengkap dengan iklan-iklannya. Tak heran jika pelanggan akan merasa bingung, karena tiap produk saling mengklaim bahwa produknyalah yang paling unggul di antara yang lain. Iklan pun jadi kurang dapat dipercaya sebagai sumber informasi yang dapat diandalkan. Akibatnya, pelanggan akan mencari ke sumber informasi lain yang lebih dapat dipercaya. Antara lain adalah pengalaman pelanggan lainnya ketika mengkonsumsi produk yang sama.

Pelanggan akan lebih cenderung percaya kepada informasi yang diceritakan oleh sesama pelanggan lainnya karena informasi ini relati lebih jujur, apa adanya. Ingat, pelanggan ini tidak dibayar oleh perusahaan pembuat produk ataupun pesaingnya. Jadi, perlakukanlah pelanggan layaknya teman kita, agar ia pun menganggap kita adalah temannya. Dengarkanlah apa yang ingin dia ceritakan. Niscaya, ia pun akan bercerita hal-hal yang baik tentang kita. Coba saja jika kita punya teman, bukankah dia akan merasa senang jika kita mau mendengarkan apa yang dibicarakannya? Pelanggan pun akan merasa memiliki ikatan emosional yang kuat dengan kita, bukan hanya hubungan bisnis semata.

Bentuk story-telling sudah terbukti ampuh dalam membangun ikatan emosional yang kuat dengan pelanggan. Kisah-kisah nyata seperti ini memang lebih memikat daripada sesuatu yang dibuat-buat. Ini juga bisa kita lihat dalam berbagai acara reality show yang saat ini sangat populer di televisi-televisi kita, mengalahkan berbagai acara sinetron yang menampilkan artis-artis terkenal.

Jadi, sediakanlah sarana untuk para pelanggan agar bisa mengekspresikan dirinya. Buatlah agar pelanggan bisa dengan mudah bercerita tentang kita. Niscata, pelanggan ini akan merasa sangat dihargai dan ia pun akan loyal kepada kita. Pelanggan loyal inilah yang menjadi kunci sukses keberhasilan kita saat ini dan masa depan. Life with a mission. Dalam menjalani hidup ini, kita harus tahu apa misi hidup kita. Lalu, apakah yang kita lakukan sesuai dengan misi hidup kita itu. Banyak orang yang mengerjakan sesuatu, namun sebenarnya tidak tahu untuk apa dia mengerjakan itu. Banyak pula orang yang bekerja keras, namun tidak mendapatkan kebahagiaan.

Ini semua karena tidak ada keselarasan antara apa yang kita kerjakan dengan tujuan hidup kita.

Menghadapi Konsumen
Selama melayani pelanggan, kita pasti pernah menerima komplain dari mereka, bukan? Apalagi bagi kita yang bertugas di frontline, komplain pelanggan ini adalah makanan sehari-hari. Kadang komplain mereka memang beralasan, kadang sama sekali tidak jelas apa alasannya. Hal terakhir inilah yang pastinya sering bikin kita merasa kesal.

Lantas, bagaimana jika pelanggan marah-marash tanpa alasan? Kita harus tetap tenang dan sopan. Yakinlah, pasti pelanggan itu lama-lama juga akan sungkan kepada kita. Dan yang lebih penting, janganlah biarkan pelanggan menunggu, karena jika pelanggan sampai menunggu maka mood-nya akan semakin jelek.

Siapa pun pelanggan kita, orang tua maupun anak kecil, sebenarnya mereka adalah anak-anak kita sendiri. Perlakukanlah dan sayangilah mereka layaknya anak-anak kita sendiri. Jika kita terus memperlakukan pelanggan kita dengan baik, apapun sikap pelanggan kepada kita, lambat laun mereka pun akan bersikap sopan dan hormat kepada kita.

Kita harus bisa menjalin hubungan yang emosional dengan pelanggan kita, emotionalization. Kita pun harus membuat program-program yang bisa membuat pelanggan bicara tentang produk kita kepada orang lain tanpa diminta, buzz-ing. Dan terakhir, kita pun harus bisa mewadahi para pelanggan kita dalam sebuah komunitas, communitisation, sehinga ikatan antar pelanggan itu semakin erat, dan kita pun akan lebih mudah memasarkan produk kita kepada mereka.

Lakukan branding the ezperince ataupun experincing the brand secara baik, samakan branding yang kita janjikan dengan experience yang kita berikan, dan kalau yang terakhir bisa kita lakukan dari waktu ke waktu, mudah-mudahan kharisma akan menyelimuti merek kita. Pengakuan-pengakuan dari berbagai pihak penting untuk menjaga semangat kita para pemasar dalam memberikan yang terbaik ke pelanggan kita. Dan tentu saja, ia penting bagi merek kita dalam membentuk diri menjadi mereka yang karismatik dan dikagumi oleh pelanggan kita.

Para pembeli tidak akan mengubah pendirian sampai mereka bersinggungan dengan daya manfaat alternatif yang jelas-jelas memesona mereka. Pembeli menjadi bergairah dan memusatkan perhatian pada tawaran produk atau layanan apabila merasa bahwa yang ditawarkan kepada mereka memiliki manfaat. Manfaat menjadikan hidup pembeli lebih mudah, lebih bisa dinikmati, lebih menggairahkan, lebih memuaskan, yaitu menjadi lebih baik dalam satu bidang tertentu. Manfaat adalah solusi masalah yang dihadapi pembeli sehari-hari.

Ingat, pembeli adalah makhluk yang digerakkan oleh kebiasaan. Satu-satunya cara agar mereka mau mengubah barang-barang yang selama ini mereka beli adalah dengan menawarkan sebuah manfaat nyata yang membuat mereka tertarik. Analisis ribuan konsep produk dan layanan baru menunjukkan bahwa manakala sebuah manfaat nyata dikomunikasikan, kemungkinan bisnis menuai sukses dan kembalinya investasi atas upaya yang sudah kita keluarkan nyaris tiga kali lipat.

Manfaat adalah satu-satunya cara menguntungkan untuk menarik pembeli baru ke dalam bisnis kita. Satu-satunya strategi dalam hal biaya yang bisa jadi sangat efektif adalah dengan menawarkan sampel gratis. Strategi ini efektif khususnya apabila kita menawarkan sesuatu yang sangat berbeda daripada barang-barang yang beredar di pasaran. Dalam kasus seperti ini, sebuah sampel gratis sering merupakan cara paling cepat untuk mengomunikasikan berita gembira atas hadirnya produk atau layanan kita yang revolusioner kepada calon konsumen.

Biarkan pembeli mengatakan tidak karena yang kita tawarkan tidak berkenan di hati mereka. Akan tetapi, jangan pernah membiarkan pembeli mengatakan tidak karena mereka tidak mengerti yang kita tawarkan. Kita telah bekerja keras menciptakan produk atau layanan yang hebat. Berbangga hatilah dan biarkan dunia tahu berita gembira tentang manfaat nyata yang kita tawarkan untuk mereka nikmati. Bukan membual namanya jika kita menepati janji.

Manakala manfaat produk kita dikomunikasikan secara jelas, pembeli bisa membuat keputusan yang dapat diandalkan tentang kemampuan kita menawarkan sesuatu yang bernilai lebih bagi mereka. Lagi pula, apabila pesan kita jelas, pesan tersebut memiliki kemampuan untuk beredar dengan lancar. Lebih khusus lagi, pesan tersebut bisa diteruskan dari satu orang kepada yang lainnya, menciptakan berita dari mulut ke mulut merupakan tanda sebuah bisnis yang sehat.

Ketika pembeli melontarkan pertanyaan karena merespon suatu pesan manfaat nyata, kita akan mampu menghabiskan waktu melayani calon klien yang paling baik. Ini sungguh masuk akal. Ketika kita mengusik minat pembeli dengan manfaat nyata, akibatnya orang yang terusik minatnya tersebut telah menunjukkan minat nyata terhadap yang sedang kita jual. Bandingkan pendekatan ini dengan pemasaran massal untuk penawaran yang umum. Para pembeli yang menyatakan minatnya akan sangat bervariasi, sebagian mungkin mencari layanan bermutu prima, sebagian mencari layanan murah, sebagian sangat pribadi, sebagian lagi mencari layanan khusus. Kita pada akhirnya akan menghabiskan separuh waktu kita kepada pembeli berpotensi rendah.

Semua manfaat bersifat relatif pada pangsa pasar atau kesempatan khusus. Tujuan definisi pangsa pasar adalah memberikan fokus dan kejelasan pada pesan pemasaran dan desain produk atau layanan. Pangsa pasar adalah kelompok masyarakat yang paling ingin kita bahagiakan dan gembirakan dengan tawaran kita. Mereka yang didefinisikan sebagai target akan memiliki rasa tertarik di atas rata-rata. Mereka juga berfungsi sebagai pondasi pemasukan awal dan pemasukan berikutnya bagi kita. Penting dicatat bahwa meskipun pangsa pasar yang kita pilih adalah titik pusat bisnis kita, itu bukan merupakan sumber satu-satunya pemasukan kita.
Apabila terfokus pada pangsa pasar tertentu, kita dengan cepat memperluas persepsi pembeli yang melihat kita sebagai seoranh ahli. Dan kita pasti mau mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli produk atau layanan seorang ahli ketimbang yang bukan ahli.

Pencarian manfaat nyata yang relevan dan bagaimana mengkomunikasikannya adalah tugas yang tak pernah berakhir. Kita selalu bisa memperbaiki dan meningkatkan pesan kita. Ada dua strategi pokok dalam hal manfaat nyata. Yang pertama, kemungkinan besar kita sudah tahu apa yang harus kita ketahui. Seringkali manfaat nyata utama perusahaan adalah alasan utama yang mendorong untuk menerjuni bisnis kita saat ini. Manfaat nyata utama adalah gairah pemicu yang memberi kita energi untuk melawan kemapanan dunia usaha dan memutuskan untuk mendirikan usaha atau perusahaan sendiri. Gairah tersebut bisa saja berupa rasa jengkel, frustrasi, atau dorongan kebutuhan pribadi.

Pada kegiatan marketing modern, goal setting yang akan dicapai dengan penguasaan heart share adalah loyality customer atau kesetiaan pelanggan. Namun, seberapa setia seorang pelanggan setelah kita melakukan sebuah strategi marketing yang lengkap? Sebuah survey di Amerika mengatakan bahwa rata-rata perusahaan di Amerika kehilangan pelanggannya dalam lima tahun menjadi bukti semakin sulitnya mempertahankan konsumen.

Pengadaan nilai tambah, value added, dan pengalaman berbelanja, experiential marketing, menjadi solusi guna mempertahankan kesetiaan pelanggan. Soul marketing tidak mengganti semua elemen yang ada dalam teori marketing namun kehadiran soul marketing akan menjadi esensi yang melengkapi kegiatan marketing sehingga pada akhirnya melahirkan kesetiaan pelanggan yang didasari oleh rasa percaya, trust.

Marketing di Saat Krisis
Tak dapat dipungkiri ada rasa was-was setiap kali kita mendengar kata krisis. Ia bisa berupa terompet peringatan yang gelombangnya mudah dilihat dari kejauhan, atau sesuatu yang sudah kasat mata di depan kita. Terhadap gelombang yang masih jauh saja tak semua orang mampu memahaminya. Biasanya orang mendiamkannya beberapa saat, mungkin dua hingga empat bulan, sampai gelombang itu benar-benar jelas polanya dan menghantam siapa saja.

Mendiamkan bisa juga berarti mengabaikan. Menemukan dan mendapatkan pasar itu jelas tidak semudah kala semua kondisi berjalan normal dan baik. Bukan hanya kejelian dan kreativitas yang dibutuhkan, tetapi yang tak kalah penting adalah marketing therapy, yaitu terapi terhadap fungsi pemasaran agar tim pemasaran memiliki keyakinan bukan hanya untuk survive di tengah kompetisi, tetapi juga untuk menemukan dan menciptakan pasar baru sehingga perusahaan tetap bisa tumbuh bahkan di waktu krisis.

Menjual di masa krisis adalah untuk membentuk kemenangan dan tentu saja dengan hukum-hukum pemasaran pada masa krisis. Semua itu dibutuhkan untuk menghadapi medan yang benar-benar baru agar kita tidak terperangkap dalam ketidaktahuan, ketidak-pedulian, dan ketidak-pastian.

Krisis adalah alat dari penguasa semesta alam, Tuhan Yang Maha Esa, untuk memperbaharui dunia, untuk memperbaiki hubungan kita dengan alam, dengan sesama, agar menjadi lebih bijak, lebih berbagi, dan lebih efisien. Untuk meraih semua itu tentu saja diperlukan cara berpikir baru, atau bahkan cara melihat baru agar dapat mencapai kesejahteraan baru. Selain itu, krisis juga bisa jadi lebih sebagai sebuah peringatan agar kita semua lebih berhati-hati, sabar, dan bijak dalam banyak hal.

Cara melihat baru itu ditandai dengan toleransi pada hal-hal paradoks, mengendurkan batas-batas constraint, memberi ruang pada fleksibilitas, dan perlunya selalu beradaptasi dengan melakukan change. Dengan landasan yang demikian, kita mulai bisa dibawa ke sebuah model pemasaran di saat krisis yang terdiri dari enam pendekatan, yaitu 1. downshifting, di masa krisis, konsumen telah berpindah dan beralih ke kelompok baru 2. downcosting, pengusaha selalu mencari alternatif pembiayaan dengan mengeksplorasi kurva pengalaman (experience curve) 3. speed marketing, mengembangkan cara-cara baru agar lebih simpel bekerja dan berorientasi pada kecepatan 4. positive marketing, melakukan upaya-upaya pemasaran untuk mendorong perilaku dan sikap positif dalam kehidupan 5. alignment, strategi persatuan untuk memenangkan persainga, dan 6. empowering intuition, menggerakkan simpul-simpul intuisi, untuk mengganti formal logic yang telah menjadi kebiasaan, habit, dalam pemasaran.

Orang-orang pemasaran, marketer, sebagai ujung tombak yang berperan menembus dinding-dinding krisis harus mempelopori perubahan dengan menjadi change maker yang melibatkan semua fungsi usaha. Dalam area pemasaran sendiri, dua yang pertama, yaitu downshifting dan downcosting adalah aspek perilaku, yaitu perilaku konsumen dan perilaku biaya.

Keenam pendekatan ini merupakan dasar bagi pelaksanaan konsep-konsep kontemporer marketing baik yang terjadi karena perubahan teknologi, internet marketing, community based marketing, viral marketing, selera atau experiential marketing, story telling marketing, atau bahkan brand management. Jadi, konteksnya tidak bisa dilepaskan dari persoalan krisis yang sangat mungkin akan terjadi berulang-ulang sehingga cara berpikir linear dan predictable sudah tidak dipegang 100% lagi.

Untuk menjalankan konsep pemasaran, pertama-tama diperlukan pemahaman tentang lingkungan, lalu dicari akar pengaruhnya pada perilaku. Dalam hal ini perilaku terbentuk karena daya beli, konsumen, dan persaingan, tercermin dalam price and cost behavior. Atas dasar perilaku itulah pemasaran menjalankan perannya. Dalam hal ini diperlukan kecepatan, speed marketing, dan sikap-sikap positif dalam kehidupan yang serba sulit, positive marketing. Namun untuk menggerakkan itu semua diperlukan dukungan management yang didorong dari peran pemasaran, yaitu empowering alignment, strategi persatuan, dan empowering intuition.

Kala seseorang mengalami down, baik ril berupa penurunan pendapatan maupun psikologis karena pemberitaan, ia akan mengalami shifting, penyesuaian. Apa yang dikonsumsi, dilakukan, dan diyakininya mengalami penyesuaian-penyesuaian. Pergeseran itu bisa bersifat sementara, namun juga bersifat tetap. Orang menjadi lebih mobile, baik dalam bekerja, berobat, belajar, berinvestasi atau bertempat tingal. Biaya perjalanan lebih rendah karena ditemukan cara-cara baru membuat alat transportasi, energi alternatif, teknologi digital, dan tentu saja cara menjual tiket dan menghubungi konsumen.

Selesaikah pencarian biaya murah itu? Belum! Ternyata manusia bergerak lebih jauh lagi. Pertama, semua biaya dialihkan semaksimal mungkin menjadi biaya variabel. Akibatnya, biaya-biaya tetap, termasuk upah tenaga kerja dan biaya-biaya permesinan, dialihkan menjadi biaya variabel. Kedua, semua pihak terus bergerak berupaya mencari bahan-bahan alternatif, mulai dari produk-produk sintetis, bahan-bahan alternatif, mulai dari produk-produk sintetis, bahan-bahan baru atau pengganti, yang lebih ringan dan lebih murah. Ketiga, dunia usaha mengeksploitasi kurva pengalaman, experience curve, sehingga dapat menjual dengan harga yang lebih murah lagi.

Dalam situasi tak menentu, kecepatan menjadi penentu. Krisis membuat orang bisa cepat berubah pikiran. Kalau pemasar terlalu lama memproses order dari pelanggan-pelanggannya, konsumen dapat melakukan salah satu: berpindah atau berubah pikiran. Yang jelas mereka tidak mau menunggu. Sebab jarak antara satu pemasar dan pesaing-pesaingnya sudah tidak terlalu jauh, kualitas dan harga di era persaingan pun sudah menjadi homogen. Mereka semua ada di gedung sebelah, bahkan dalam dunia maya, jarak yang satu dengan yang lainnya hanya satu klik saja.

Untuk bergerak cepat kita perlu orang-orang yang bergerak cepat dengan dukungan organisasi yang sederhana, bukan organisasi yang kompleks. Kita juga perlu menyederhanakan produk, membuatnya lebih mudah dipakai dan mudah diplih.

Di masa krisis, di mana-mana yang terdengar adalah keluh kesah, rasa takut, caci maki, rasa benci, amanah, dan segala hal yang negatif. Termasuk perilaku menunda pembayaran, mengemplang, membatalkan kesepakatan, membakar, memukul, dan sebagainya. Sehari-hari media massa juga lebih banyak menyajikan bad news seperti pertikaian, perceraian, perampokan, pembunuhan, pemerasan, penculikan, kebakaran, demonstrasi, kerusuhan, tuntutan hukum, dan lain sebagainya. Akibatnya, semua menjadi pesimis, takut, dan negatif. Dalam suasana yang demikian, pemegang produk harus tampil lebih berani dengan menyajikan pesan-pesan komunikasi yang lebih positif dan mengajak media massa untuk mengurangi atau bahkan menghapus pemberitaan-pemberitaan kotor, keji, dan negatif agar masyarakat kembali bersikap positif.

Dalam keadaan apa pun, sikap negarif akan mendorong konsumen mengurangi konsumsi dan menahan pengeluaran. Sebaliknya, konsumsi dan investasi rumah tangga hanya dilakukan kalau masyarakatnya bersikap positif. Ada banyak kasus merek-merek besar tidak selalu berhasil memenangkan pertempuran. Masalahnya sederhana saja, kondisi internal tidak kohesif, masing-masing berebut tampil sendiri-sendiri di mata atasannya, yaitu pemimpin tertinggi. Alignment adalah suatu bentuk strategi persatuan, yang menyatukan visi, proses, dan tindakan pada satu sasaran, yaitu memenangkan pertarungan dan memperoleh hasil yang maksimal.

Akhirnya kita perlu mengaktifkan simpul-simpul intuisi para manajer dan supervisor, serta para tenaga penjual di lapangan, selama ini kita selalu menggunakan formal logic yang mengedepankan simbol-simbol rasional, sehingga petugas lebih banyak mencari justifikasi, alasan, daripada jawaban, hasil, yang kita cari. Untuk mencari alasan itu, manusia selalu berpegang pada aturan-aturan baku, sehingga kalaupun hasil yang dicapai meleset atau salah, mereka dapat menunjukkan bahwa justifikasinya ada, yaitu mereka telah berhitung atau menganalisis dengan benar.

Sikap yang demikian adalah sikap mental karyawan yang cenderung menghindarkan diri dari risiko, menunda pengambilan keputusan dan berlindung pada justifikasi. Sikap seperti ini berbeda dengan sikap seorang pemilik, atau merasa memiliki, yang mengakui pentingnya intuisi, yang beranjak dari pengalaman dan memberi ruang pada keberanian melihat realitas dan menguji keberanian pemasaran.

Downshifting generasi pertama adalah sebuah pilihan. Namun belakangan di era krisis, downshifting bukan lagi sebuah pilihan. Ini adalah sebuah bentuk keterpaksaan, involuntary, yang terjadi karena sebagai pegawai, kaum eksekutif dan pekerja tidak punya banyak pilihan selain harus bekerja lebih keras, dan perlahan-lahan hidup sebagai karyawan memang jadi lebih stres, penuh persaingan, dan mau tidak mau hidup lebih berhemat. Perasaan konsumen di era krisis, bearish, berbeda sekali dengan konsumen yang hidup di era yang sedang tumbuh, bullish. Uang cash sulit didapat karena semua orang cenderung menahan uangnya, perasaannya adalah keterbatasan, kelangkaan, produk tidak berputar tetapi semakin menumpuk di gudang, sehingga mereka cenderung semakin pesimis.

Krisis telah mengajarkan sesuatu pada kita, yaitu konsumen tidak diam di tempat. Karena ia tidak diam, kita membidik apa yang disebut sebagai the moving target, yaitu sasaran yang berpindah-pindah. Karena itu, kita harus jeli memainkan fokus, diafragma, dan kecepatan cahaya kita. Kalau ia berpindah-pindah, kita harus sadar bahwa mereka bisa tiba-tiba menghilang, tetapi juga bisa berarti sebaliknya, tiba-tiba muncul yang baru sama sekali.

Inilah keadaan yang pertama-tama dilihat oleh hampir semua pengamat ekonomi dan praktisi bisnis. Krisis ekonomi selalu diangap sebagai biang keladi penurunan pasar atau menghilangkan pasar. Pandangan itu didasarkan pendapat bahwa pasar adalah kekuatan daya beli, dan begitu daya beli nasional turun, konsumsi pun menurun. Marketing downshifting berpendapat tidak 100% konsumen yang menghilang itu benar-benar menghilang. Sebagian besar justru mengalami perpindahan, yaitu shift, ke tempat yang lain. Jadi, di antaranya pindah ke segmen yang berbeda, itu artinya, logika pasar tiba-tiba hilang berbeda dengan pikiran dan kepercayaan umum.

Di era pesimisme dan kecemasan yang sangat tinggi ini, munculnya pasar pada produk-produk tertentu atau segmen-segmen tertentu secara tiba-tiba sering kali tidak diapresiasi. Pasar yang tiba-tiba muncul itu terjadi karena pergeseran segmen-segmen di atas maupun di bawahnya. Konsumen yang cemas biasanya bukan mengurangi konsumsinya, melainkan menggeser produk-produk yang segmennya sedikit lebih rendah. Sedangkan pengusaha yang menerima tampungan segmen itu bisa tiba-tiba menaikkan level konsumsinya pada segmen di atasnya. Jadi, pada masa transisi ini dapat ditemui pasar-pasar baru yang tiba-tiba muncul.

Pada akhirnya, untuk memperoleh pasar downshifting diperlukan marketing troop yang benar-benar jeli dan percaya bahwa mereka dapat menangkap segmen ini. Periksalah kembali cover belief dan confidence level pasukan pemasaran kita agar pasar yang tiba-tiba muncul ini tepat berada di depan beranda rumah kita, dan penuhilah kebutuhan-kebutuhan dan keinginan mereka.

Krisis pertama-tama tentu akan menghajar sisi revenue perusahaan, dan revenue sangat tergantung pada kreativitas dan aktivitas pemasaran. Dan begitu sebuah perusahaan gagal dalam bidang pemasaran, ia akan melumpuhkan bidang-bidang lain, bahkan akan merembet ke perusahaan-perusahaan lainnya. Ia menggerogoti ekonomi dengan melumpuhkan daya beli dan keinginan membeli. Ketika itu terjadi, pengangguran pun akan meluas dan konflik akan menjadi bagian dari keseharian kita.

What’s new?
Lupakan tentang product-centric, sekarang zamannya customer-centrid. Semua elemen yang mendukung jalannya sebuah proses pemasaran telah bergeser menuju titik yang semakin kecil. Komunikasi secara massal tidak lagi mempunyai efek yang dapat diandalkan, seorang marketer yang ingin menjadikan produknya sebagai market leader harus mampu melakukan komunikasi yang benar pada calon konsumen.

Menciptakan sebuah matriks di sekeliling merek sehingga konsumen yang menjadi target marketnya dapat memiliki emosional bond dipercaya akan menumbuhkan emotional value yang secara tidak langsung akan melahirkan loyalty terhadap produk itu sendiri. Inti dari sebuah matriks adalah menciptakan hubungan dan jaringan antar konsumen yang pada akhirnya akan berujung pada merek yang akan dijual. Ada tiga hal yang mendukung sebuah matriks dapat berjalan.

Pertama, to let customers converse, biarkan konsumen berbicara. Sudah menjadi kebutuhan dasar dari setiap manusia untuk melakukan interaksi dengan sesama mereka. Community is the best channel telah terbukti mampu menjadi salah satu solusi untuk memperlancar komunikasi dari pihak perusahaan dengan konsumen. Kedua, adalah penciptaan merek kedua yang akan menghubungkan merek pertama dengan komunitas atau konsumen.

Dengan memberikan gosip, berita hangat atau promosi yang berbeda sehingga memberikan konsumen sesuatu yang bisa dibicarakan adalah inti dari poin yang ketiga. Dengan semakin banyaknya topik yang bisa dibicarakan dalam sebuah komunitas mengenai produk yang kita jual, maka awareness akan merek kita akan semakin tinggi. Diharapkan dengan adanya matriks yang mengingat konsumen, kesuksesan dan tingkat pendapatan dari sebuah perusahaan akan mengalami kenaikan.

Soul marketing diawali dengan sikap juur. Jujur, lurus hati dan tidak curang. Sekali lagi sikap jujur diutamakan. Mengapa? Karena setiap perusahaan menginginkan pelanggannya setia, sedangkan untuk setia, kepercayaan harus dibentuk. Untuk percaya, perusahaan harus jujur. Logikannya kan seperti itu.

Profesionalisme yang ditujukan adalah cerminan dari sikap top down marketing. Setelah semua yang terjadi, para pelaku bisnis tetap bermain di strategi, bukannya berpikir bottom up, memikirkan dari awal. Sebuah taktik baru yang haruys diciptakan. Dalam pelaksanaan soul marketing, profesionalisme juga menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan tools yang lain. Profesionalisme seorang pemimpin adalah kemampuan untuk memberi petunjuk kepada bawahan mereka ketika mengerjakan sebuah pekerjaan. Seorang pemimpin yang profesional juga harus mengerti dan meyakini dengan benar semua hal yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut.

Terkadang paradigma yang terjadi pada seorang pemimpin adalah sikap ikuti apa yang diucapkan, bukan apa yang dilakukan. Akhirnya, yang lahir hanyalah seorang profesional yang hanya bisa berbicara, memerintah dan menunjuk tanpa ada langkah konkrit yang mengiringi ucapan tersebut sehingga yang terjadi adalah kesulitan yang dialami oleh para bawahan dan mengakibatkan salah pengertian yang akan membawa pada kekacauan.

Profesionalisme dan kompetensi terhadap sebuah pekerjaan adalah dua hal yang saling berkaitan, namun kadang ada individu yang memaksakan diri mengerjakan sebuah pekerjaan yang bukan bidangnya, sesuatu yang dikuasai dengan baik, sehingga yang terjadi adalah kerugian, baik dari sisi waktu pelaksanaan pekerjaan maupun kerugian materil.

Profesionalisme bukan berarti memaksakan diri untuk menyelesaikan semua pekerjaan tanpa ada pengetahuan yang mencukupi. Bukan juga bersikap sok tahu atau merasa paling mengerti padahal yang diketahui belum tentu benar. Egoisme yang terlalu tinggi terkadang menutupi pandangan yang obyektif dalam menyelesaikan sebuah masalah. Menjadi seseorang yang jujur pada kemampuan diri dan tidak memaksakan menjadikan perusahaan mempunyai orang-orang pilihan yang sesuai dengan kriteria pekerjaan yang dibutuhkan.

Terkadang seorang yang benar-benar ingin membuktikan bahwa ia adalah seorang yang mempunyai sikap profesional sehingga ia menetapkan target perusahaan yang terlalu tinggi. Pada akhirnya melahirkan tekanan yang berat baik pada perusahaan terlebih pada pihak karyawan. Ketika bersaing dengan kompetitor, merasa harus melakukan apa pun yang harus dilakukan untuk memenangkan persaingan dan merebut mind share dan wallet share dari konsumen. Walaupun cara yang dilakukan adalah cara yang culas dan licik.

Sikap murah hati dalam seorang profesional bertujuan untuk menjauhkan dari cara pandang yang picik dalam melihat sebuah persaingan. Murah hati juga menjaga para pelaku bisnis dari kecenderungan berbuat kesalahan dalam menganalisis dan menilai pesaing. Pesaing bukan untuk dihilangkan, persaingan adalah cara untuk mernjadi lebih baik. Persaingan yang licik tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kehancuran.

Prospek bisnis itu sifatnya lokal. Padahal karakter market lokal setiap daerah bisa berbeda. Itulah sebabnya kita harus melakukan analisis market yang bisa menjadi pertimbangan dalam memilih sebuah usaha. Analisis market sangat penting sebelum memilih sebuah usaha guna, market trend. Yang perlu dianalisa adalah perubahan yang terjadi di pasar, para pemain, market leader, harga dan biaya, atau kompetisi yang terjadi dalam bisnis. Analisis yang dilakukan harus selengkap mungkin sehingga secara jelas memberikan gambaran mengenai potensi dan peluang pasar, potensial market, untuk produk yang ditawarkan. Ketika melakukan analisis market sebaiknya meliputi 7 aspek.

Pertama, tren, kecenderungan pasar, dan sifat pasar. Dalam analisis ini dilihat apa yang berubah dalam lingkungan sekitar. Bagaimana perubahan itu berdampak pada bisnis, bagus atau tidaknya prospek pasar. Siapa pemimpin pasar. Bagaimana perkembangan persaingan dan margin bisnis. Jika usaha tersebut dirasa sudah sangat jenuh dan pasar sulit menerima sebaiknya kita terus mencari hingga mendapatkan usaha franchise yang tepat. Sebaliknya jika dari hasil analisis market menunjukkan market terus tumbuh, persaingan belum terlalu ketat, margin tinggi dan pasar dapat menerima maka sebaiknya dipilih.

Ketiga, analisis market need. Analisa kebutuhan pasar ini menggambarkan secara jelas kebutuhan pasar akan produk dan jasa yang ditawarkan. Apakah produknya unik dan mampu bersaing. Apakah produknya bisa diterima pasar dalam waktu lama atau bukan musiman. Bagaimana siklus produknya, dalam posisi introduction, booming, maturity atau declining-kah. Asal tahu saja, bisnis yang ideal adalah produknya ada di tahap introduction dan awal booming dan sifatnya tidak seasonal. Keempat, analisis kompetitor. Analisis ini harus menggambarkan berapa pesaing yang ada, apa kekuatan dan kelemahan mereka. Dan apa yang mendorong mereka berkompetisi.

Kelima, analisis keunggulan bersaing. Analisis dengan membandingkan dengan kompetitor sejenis angka-angka penualannya, tentunya dengan parameter pengukuran yang sama, seperti harga pelayanan dan jenis barang. Keenam, analisis segmentasi dan positioning produk. Siapa target marketnya, pricenya berapa, produknya bisa dijual di mana saja, apakah di mall, di perumahan, atau di tempat yang lain.

Ketujuh, bagaimana kelancaran supply produk dan bahan baku. Siapa saja suppliernya. Supllier berasal darimana saja. Jika kelancaran supply produk dan bahan baku terjamin baik maka hal ini tidak akan mengganggu jika memang demand di pasar tiba-tiba mengalami peningkatan secara drastis.

Ingatlah, analisis market yang dituju tidak jelas, maka prospek bisnis ke depan juga tidak jelas, kegagalan bisnis menjadi besar. Maka, bagaimana membuat hari esok lebih baik dari hari ini adalah esensi dari sikap profesional.

Setiap perusahaan mempunyai koridornya masing-masing untuk berjalan. So stick with it. Perkembangan yang dilakukan oleh kompetitor haruslah menjadi cambuk yang akan memicu peningkatan inovasi dan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen. Up grade knowledge kita dari persaingan yang ada. Kesalahan yang mungkin kita lakukan hanyalah sebuah pintu yang akan membawa banyak pengetahuan baru. Jadi, mengapa harus takut untuk bersaing dengan kompetitor ? Kalaupun harus bersaing, bersainglah dengan fair.

(Syafaruddin Usman MHD: dinis45@yahoo.co.id)