Sabtu, 12 September 2009

KAHAR MUZAKKAR, ANTARA PERMESTA DAN DI/TII

PEMBERONTAKAN SETENGAH HATI
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Meletusnya pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia [PRRI] di Sumatera dan pergolakan Perjuangan Rakyat Semestra [Permesta] di belahan timur Indonesia, di Sulawesi, kedua pergolakan itu dengan sendirinya telah mengakibatkan suatu perubahan yang drastis di dalam situasi kebangsaan Indonesia pada dekade itu. Awal sekali, rezim pemerintah Indonesia memahami bahwa suatu keharusan untuk menghadapi kedua gerakan sparatis pemberontakan yang terjadi di dua kawasan besar luar Jawa ini. Motif kedua pergolakan itu, sama-sama sebangun dalam tuntutannya kepada pemerintah pusat yang menekankan mendesaknya daerah meminta otonomi yang lebih luas dan bagian yang lebih besar di dalam pendapatan negara. Dipandang, rezim pemerintah saat itu setidaknya harus memenuhi sebagian tuntutan mereka dan menghilangkan beberapa penyebab ketidakpuasan daerah.

Motif itu pula yang secara tak langsung mengkristal sebagai inspirasi semakin meningkatnya pergolakan yang digerakkan Kahar Muzakkar. Dan pemicu yang membaur di dalamnya adalah ketidakpuasan daerah terhadap pusat di dalam pemberian kewenangan atau otonomi daerah yang lebih luas. Maka, dalam 1957, legislatif Indonesia mengsahkan suatu perundangan baru tentang Pemerintahan Daerah, yang memperluas wewenang daerah melaksanakan urusannya sendiri. Juga telah diambil langkah-langkah untuk berangsur-angsur menghapuskan korps pamong praja yang ada, yang menjadi alat pembantu pemerintah pusat, melalui Kementrian Dalam Negeri-nya, serta pengelolaan daerah. Tetapi cukup dapat dimengerti, pemerintah pusat tidak ingin kehilangan kekuasaannya atas penghasilan ekspor daerah, sebaliknya berusaha mengkonsolidasikan kekuasaannya ini.

Tampaknya pemerintah pusat bersedia membicarakan sebanyak mungkin menyangkut pembagian penghasilan ekspor dan pendapatan negara yang lain antara pusat dan provinsi-provinsi yang bersangkutan. Sedikit banyak adalah dipandang sama persoalannya bagi pimpinan tentara pusat, yang tidak ingin melepaskan kekuasaannya atas komando-komando daerah-daerah. Dan sebaliknya ingin mengambil kembali dari panglima-panglima daerah atas hak untuk beritndak sendiri yang telah mereka rebut sendiri pada waktunya.

Sikap setengah hati rezim pemerintah pusat dalam menghadapi (dan itikad memenuhi) tuntutan daerah, khususnya yang dilancarkan di Sulawesi melalui Permesta untuk otonomi daerah yang lebih besar, menampakkan sikap sedikit menyerah khususnya di dalam soal-soal yang mengenai pemerintahan sipil. Di satu sisi lain nampaknya berusaha meluaskan kewenangannya dalam soal-soal yang menyangkut kemiliteran maupun terhadap ekspor vital. Kenyataan ini, sebuah jawaban atas tuntutan daerah, nyata sangat meresahkan daerah-daerah di luar Jawa, khususnya Sulawesi, dan dengan sendirinya menarik pelatuk pergolakan.

Kelihatannya perhatian yang diutarakan bahwa reaksi pihak pemerintah ini sama sekali tak mengurangi kekhawatiran akan dominasi pusat (baca: Jawa, sebagaimana tudingan kaum pemberontak), dan kenyataannya itu tidak pula menghilangkan perasaan yang terdapat di daerah-daerah seberang bahwa mereka diabaikan dan dieksploitasi pemerintah pusat. Kentara jelas, dua pulau tempat persaan ini teristimewa kuatnya mengemuka adalah Sumatera dan Sulawesi, yang segera saja di keduanya menjadi pusat pemberontakan, pemberontakan PRRI dan pergolakan Permesta. Kenyataan, kedua pemberontakan itu, dengan segala sanggahan dan pemberian artian lain kemudiannya, yang dengan mengakui seluruh Indonesia sebagai wilayahnya menyatakan dirinya sebagai alternatif kedua bagi Republik Indonesia di samping Negara Islam Indonesia (NII). Maka itu, di Sulawesi, Permesta menilai DI ataupun NII Kahar Muzakarra untuk sedikit waktu adalah mitra dan sedikit waktu lain adalah rival.

Namun dalam memandang awas keberadaan pemberontakan itu, baik PRRI ataukah Permesta dengan Darul Islam adalah pada persoalan atau substansi yang dipertentangkan (kaum pelaksana pergolakan itu menyebutnya perjuangan), di mana PRRI-Permesta menentang dominasi pusat atas daerah, sedangkan Darul Islam adalah menyangkut hal itu juga ditambah tentang landasan idil dan dasar negara di mana mereka menuntut idil negara adalah berdasarkan Islam.

Di dalam Permesta, Kahar Muzakkar melihat sebiduk pergolakan menentang pusat dengannya adalah dua orang lawan lamanya semasa di kemiliteran di tahap awal percikan pergolakannya dulu, masing-masing Mohammad Saleh Lahade dan J F Warouw. Lahade dan Warouw memang dua di antara tokoh inti Permesta yang merupakan rival kuat Kahar Muzakkar sejak lama, namun belakangan ketiganya seakan sebiduk di dalam menentang kekuasaan atau dominasi pusat atas daerah.


Sebuah piagam resmi yang menyatakan berbagai tuntutan Permesta diumumkan Lahade 2 Maret 1957. Piagam ini intinya menghendaki otonomi yang lebih luas, keuangan maupun lainnya, untuk keempat provinsi di kawasan timur Indonesia dan di dalamnya digariskan pula untuk usaha-usaha yang lebih intensif guna meningkatkan pembangunan daerah. Di bagian lain, dalam piagam itu dituntut pula hak sepenuhnya menanggulangi masalah-masalah keamanan daerah dan bertujuan mengakhiri pemberontakan yang dipimpin Kahar Muzakkar. Salah satu soal utama dari piagam ini ialah ditolaknya rencana Markas Besar Angkatan Darat Pusat untuk membubarkan Komando Militer Indonesia Timur, yang disambut dengan gembira pada tingkat bawahan, tetapi merupakan ancaman bagi eselon-eselon komando yang lebih tinggi.

Di fase awalnya, para pendukung piagam ini tidak sepenuhnya menolak Republik Indonesia. Para penandatangan piagam menegaskan, mereka ingin mencapai tujuan mereka dengan meyakinkan pimpinan-pimpinan dari segala lapisan masyarakat, “…kami tidak memisahkan diri dari Republik Indonesia“ tegas mereka. Tetapi mereka belakangan merubah haluan, dari upaya evolusi menjadi sebuah aktifitas revolusi dengan angkat senjata terhadap Republik Indonesia setahun setelah piagam diumumkan, bersamaan ketika 15 Februari 1958 saat Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diproklamasikan. Di samping Lahade yang menjadi Menteri Penerangan, kabinet kaum pemberontak memasukkan musuh lama Kahar Muzakkar, yaitu seorang militer yang memainkan peranan penting di dalam Permesta, Warouw, yang diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Industri.

Dua bulan sesudah Permesta berkembang menjadi pemerintahan terang-terangan, konon Kahar Muzakkar menyatukan diri dengan gerakan ini, dengan ditandatanganinya persetujuan resmi antara Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia 17 April 1958. Dengan ini kedua pemerintah pemberontak ini bersepakat untuk bekerja sama dalam menentang ideologi komunis di Indonesia maupun internasional, yang mempengaruhi dan mendalangi rezim pemerintah Demokrasi Terpimpin Soekarno baik secara langsung maupun tidak langsung, begitu dinyatakan.

Keduanya, baik PRRI-Permesta maupun DI Kahar Muzakkar sama-sama menolak (atau bahkan anti) kedaulatan Republik Indonesia selama rezim kenegaraan ini terkontaminasi oleh pengaruh ideologi komunis yang direfresentatifkan melalui Partai Komunis Indonesia. Inilah latar belakangnya dulu Kahar Muzakkar segera membentuk DI/TII dan menolak ajakan ataupun bujukan Salawati Daud untuk bergabung dengan komunis, sekalipun Kahar Muzakkar selama perjuangannya di Pulau Jawa dikenal sebagai seorang patriot yang cukup dekat dengan kalangan kiri yang sangat berpengaruh. Mungkin pengetahuan mendalamnya terhadap ideologi Marxisme dan Komunisme itu pula yang meletakkan posisinya menjauh dari keberadaan partai komunis tersebut, serta tak ingin sehaluan dengan mereka yang berada di posisi kiri dalam perjalanan politik republik.

Sementara, di luar jalinan kemitraannya sebagai negara di luar pemerintah Republik Indonesia, Kahar Muzakkar dalam jalinan hubungan dengan Darul Islam Jawa Barat bukanlah korelasi yang dekat, atau dengan lain sebutan, antara Darul Islam Sulawesi Selatan dengan Darul Islam di Jawa Barat sama sekali tak berhubungan akrab. Bahkan tak nampak suatu kedekatan yang sangat berarti. Dari sana kelihatan adanya tanda-tanda semacam tuntutan ideologi yang mendalam yang diberikan Kartosuwirjo, namun orang tak memperoleh suatu kesan Kahar Muzakkar sebagai bagian dari atau perpanjangan tangan kebijakan Kartosuwiryo. Namun suatu kesamaannya adalah, sebagaimana Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar adalah seorang yang menjunjung dan meletakkan tinggi konsep politik Negara Islam Indonesia. Hanya dalam masa yang relatif singkat, pada tahun-tahun antara Agustus 1953 dan 1960, Kahar Muzakkar bertindak atas nama Negara Islam Indonesia (NII).

Sekalipun ada pengangkatannya, ada yang menyebutnya pembaiatannya, sebagai Panglima Daerah Tentara Islam Indonesia, namun untuk sementara waktu Kahar Muzakkar menolak tegas menggunakan sebutan ini, dan tak mau menamakan gerombolannya sebagai Tentara Islam Indonesia. Sebetulnya, Maret 1952, oleh Kahar Muzakkar pasukannya diberinya nama Tentara Kemerdekaan Rakyat (TKR). Sebagai alternatif untuk Pancasila dikemukakannya konsep Trisila, yaitu Ketuhanan Yang Mahaesa, Keadilan sosial, dan Kemanusiaan. Barulah pada 7 Agustus 1953, tahun setelah proklamasi Negara Islam Kartosuwirjo, oleh Kahar Muzakkar kawasan Sulawesi dan daerah-daerah sekitarnya yaitu Indonesia Timur lainnya termasuk Irian Barat dinyatakan sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII). Bersamaan dengan itu pula barulah ia menamakan pasukannya sebagai Tentara Islam Indonesia.

Adapun keputusan akhirnya untuk menyatu atau bergabung dengan Negara Islam Kartosuwiryo diambil pada akhir Juli, pada sebuah konperensi para pimpinan grilyawan di dekat Palopo. Sebuah sumber menjelaskan, dikarenakan sangat minimnya kontak antara Jawa dan Sulawesi Selatan, maka Kahar Muzakkar memproklamasikan Sulawesi menjadi bagian dari Negara Republik Islam Indonesia (NRII), sedangkan semestinya hanya Negara Islam Indonesia (NII) saja.

Dalam salinan proklamasi yang disebarluaskan di Makassar, Kahar Muzakkar mengumumkan bahwa sejak hari dikeluarkannya proklamasinya itu, rencana pertahanan rakyat semestanya yang terdahulu dibatalkan, dan digantikan oleh rencana mobilisasi umum. Diperintahkannya supaya surat-surat kabar setempat mengumumkan proklamasi dengan ancaman, kalau tidak akan dianggap sebagai musuh, dengan segala konsekuensi yang mungkin timbul.

Ternyata ini bukan ancaman kosong semata. Dan pasukannya benar-benar sewaktu-waktu siap dekatnya, nyata pada hari sebelumnya, ketika terjadi pertempuran yang terhebat selama dua tahun di sekitar Makassar, sewaktu pasukan ini berusaha memutuskan hubungan antara Makassar dan daerah sekitarnya, serta untuk mengisolasi kota. Suara senjata otomatis dan mortir yang ditembakkan terdengar malahan sampai ke dalam kota. Ini diikuti pertempuran yang lebih hebat di sebelah timur dan utara Makassar malam 16 Agustus, ketika pasukan republik menyerang tempat-tempat persembunyian kaum pemberontak.

Di samping itu, Agustus 1953, Kahar Muzakkar mulai memungut pajak-pajak, umpamanya pajak pembangunan, pajak perjuangan, pajak ternak, dan pajak pendapatan semuanya atas nama Negara Islam. Lalu dibentuk organisasi pemuda bernama Pemuda Islam Jihad (PIJ). Sementara istri Kahar Muzakkar, Corry, membentuk korps wanita pejuang, atau Lasykar Wanita (LW). Guna mendukung proklamasinya, Kahar Muzakkar mendesak rakyat melanjutkan apa yang disebutnya Revolusi Islam, dan berusaha meyakinkan mereka memihak padanya dengan membetulkan serta memperbaiki masjid-masjid mereka.

Kahar Muzakkar selanjutnya pada 1 Januari 1955 mengangkat dirinya sebagai Wakil Pertama Menteri Pertahanan Negara Islam Indonesia yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia. Politik Kahar Muzakkar yang lebih agresif pada bulan-bulan awal 1952 oleh sementara pengamat dinyatakan sesungguhnya karena hubungannya dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat. Kahar Muzakkar sendiri mendasarkan serangannya terhadap posisi militer dan pemerintah Indonesia dengan menyatakannya sebagai pembalasan untuk aksi-aksi militer yang dilakukan terhadapnya. Dan yang demikian ini secara tegas dikemukakannya dalam perintah yang dikeluarkan 5 April 1952. Di dalamnya disebutkan Momen Operasi (MO), dengan memerintahkan pasukannya menerapkan taktik tabrak lari, yaitu, mengejutkan pasukan republik dengan serangan mendadak dan mengundurkan diri sebelum tentara dapat memukul kembali, sebagai aksi balasan terhadap operasi pembersihan militer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar