Sabtu, 12 September 2009

PERCIK API PERGOLAKAN KAHAR MUZAKKAR

PERCIK API PERGOLAKAN
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Cukup banyak alasan bagi Kahar Muzakkar menyebut dirinya sebagai seorang perwira pengangguran yang dicurigai di dalam kemiliteran. Penugasan yang diberikan kepadanya di Sulawesi Selatan sebenarnya dapat dibayangkan sebagai jabatannya yang terakhir sebagai prajurit militer. Saleh Lahade yang ketika itu menjadi perwira penerangan tentara di Sulawesi Selatan, suatu ketika mengemukakan, sebagai kenyataan setahun kemudian Kahar Muzakkar datang ke Sulawesi Selatan membawa surat pemberitahuan pembebasan tugasnya di dalam sakunya.

Sebelum dikirim kembali ke kehidupan sipil Kahar Muzakkar harus menyelesaikan satu tugas akhir dan menjelaskan politik kebijaksanaan pemerintah mengenai para gerilyawan kepada mereka. Bila hal ini benar, maka sebenarnya tindakan ini hampar dapat dikatakan bijaksana dan kiranya menjelaskan banyak dari tingkah laku Kahar Muzakkar kemudian. Disertai lagi, misinya ke Sulawesi Selatan dicerca keras para perwira senior seperti AE Kawilarang dan Soeharto. Soeharto, yang kelaknya menjadi presiden kedua Republik Indonesia mengingatkan, “…Kahar Muzakkar tidak pernah memegang janjinya, dan ia hanya akan menimbulkan keresahan di daerah”.

Kahar Muzakkar tiba di Makassar 22 Juni. Selama Beberapa hari sesudah kedatangannya, sepenuhnya dia bekerjasama dengan wakil-wakil pemerintah dan militer Indonesia. Setelah melakukan wawancara dengan Kawilarang yang menggantikan Mokoginta pada April sebagai panglima wilayah untuk Indonesia Timur, Kahar Muzakkar melakukan kunjungan singkat ke beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan untuk upaya meyakinkan para gerilyawan agar menerima syarat yang diusulkan militer Indonesia, “… mereka diakui sebagai prajurit dulu, dan rasionalis seyogyanya, barulah dijalankan sesudah itu”. Syarat ini kelihatannya sejalan dengan kompromi yang sebelumnya diajukan para pemimpin KGSS sendiri.

Akan tetapi, sepulang dari kunjungan pada perjalanannya itu, Kahar Muzakkar mengemukakan, bahwa mereka mendesak agar jumlah gerilyawan yang akan diterima di dalam kemiliteran resmi mencapai sedikitnya kekuatan satu brigade. Di samping itu, Kahar Muzakkar dan para gerilyawan menghendaki agar mereka ini dibenarkan untuk membentuk brigade tersendiri, tidak terpencar dalam sejumlah satuan yang berbeda-beda. Rencananya brigade ini akan diberi nama Brigade Hasanuddin, menuruti nama raja Goa pada abad ke 17 yang untuk suatu masa berhasil melawan penetrasi kolonial Belanda.

Perkembangan singkat kemudian, para gerilyawan menetapkan untuk segera mungkin membentuk sebuah brigade Tentara Nasional Indonesia di Sulawesi Selatan Sulawesi yang kesemuanya terdiri dari para bekas pejuang Sulawesi Selatan. Mereka setuju, sisa gerilyawan lainnya yang tidak dapat ditempatkan dalam brigade ini akan dimasukkan dalam suatu batalyon atau depot khusus, dan di sini mereka bisa mempersiapkan diri untuk kembali dalam ke dalam masyarakatnya.

Serta merta Kawilarang di dalam sebuah pertemuan dengan Kahar Muzakkar pada 1 Juli 1950 menolak tuntutan kaum gerilyawan. Dia mengeluarkan pengumuman untuk membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), dan melarang semua kegiatan selanjutnya guna mencapai tujuan kesatuan ini pada hari yang sama. Tidak ada organisasi gerilya baru yang akan dibentuk, karena menurut Kawilarang, masa integrasi gerilyawan ke dalam Tentara Nasional Indonesia telah berakhir.

Seterusnya pada Agustus 1951 Kawilarang menyatakan 70 persen gerilyawan telah memasuki tentara, dan 30 persen menolak melakukan integrasi ke dalam militer Indonesia. Terhadap yang disebutkan belakangan ini, militer Indonesia akan bertindak, tegas Kawilarang memperingatkan. Ketika mendengar reaksi Kawilarang atas usul yang dibawanya, Kahar Muzakkar serta merta menyatakan mengundurkan diri dari tentara dan menyerahkan lencananya kepada panglima.

Dan selanjutnya, beberapa hari kemudian dia pun masuk hutan. Akan tetapi sebuah sumber mengutip pernyataan Kahar Muzakkar sendiri, bahwa kenyataan yang sesungguhnya bahwa dirinya diculik KGSS atas prakarsa Andi Sose, walaupun mungkin sekali Andi Sose bertindak demikian berdasarkan perintah, atau setidak-tidaknya dengan persetujuan Kahar Muzakkar sendiri diam-diam. Sementara pendirian yang dianut Kawilarang bagi Kahar Muzakkar tidak lain daripada merupakan pengukuhan akan kecurigaanya bahwa, walaupun ada janji untuk mengakui para gerilyawan sebagai prajurit terlebih dulu, militer Indonesia sebenarnya bermaksud membubarkan bekas satuan-satuan gerilya ini. Mereka tidak akan merupakan kesatuan tersendiri.

Sementara itu, sikap tak kenal kompromi sebagaimana yang ditempuh Kahar Muzakkar kemudian, juga diperlihatkan Warouw dan komandonya pada Februari tahun berikutnya ketika Presiden Sukarno mengunjungi Sulawesi Selatan. Dalam kunjungan itu, di suatu kesempatan lain, Soekarno meminta agar Kahar Muzakkar menyerahkan diri . ini adalah salah satu upaya pribadi Soekarno untuk meyakinkan kelompok-kelompok yang memberontak agar menghentikan pertempuran.

Perkembangan kemudian, Kahar Muzakkar menulis surat-suratnya kepada Sukarno dan JF Warouw. Namun sebetulnya, surat-surat yang ditulis Kahar Muzakkar itu telah mulai ditulisnya sekitar dua bulan sebelum kunjungan Soekarno ke Sulawesi Selatan. Pada awalnya, terdapat harapan akan tercpainya penyelesaian. Bahkan desas-desus beredar mengenai pertemuan Kahar Muzakkar dengan Soekarno pada kunjungan Soekarno ke Pare-Pare. Sementara itu, Soekarno sendiri tidak pula meniadakan kemungkinan penyelesaian damai. Dalam pidatonya di Pare-Pare sesungguhnya secara tidak langsung dihimbaunya agar Kahar Muzakkar keluar dari hutan dengan menyatakan bahwa “…kemerdekaan Indonesia bukanlah milik Bung Karno atau rakyat di kota-kota saja, tetapi juga milik Kahar Muzakkar, milik Hamid Gali, milik yang lain-lain juga…”

Penekanan pada persatuan dan keinginan akan menguburkan perbedaan-perbedaaan yang lampau juga jelas dalam suatu pesan tertulis yang ditinggalkan Soekarno di Pangkajene. Katanya dalam tulisan itu “..rakyat Pangkajene, kemerdekaan Indonesia adalah buah hasil perjuangan kita bersama. Marilah kita waspada, agar jangan ada hal yang jadi ternoda oleh tindakan-tindakan kita sendiri …”

Tetapi Tentara Republik Indonesia berpendapat lain. Diingatkan agar rakyat di sana tidak mendapat gambaran yang salah tentang kata-kata yang diungkapkan Soekarno. Segera juga dikemukakan, bahwa komando militer Indoensia Timur menganggap pidato Soekarno adalah logis dan dapat dipahami, dan sependapat bahwa kemerdekaan milik semuanya.

Di pihak lain, penguasa militer di kawasan ini mengingatkan [lebih tepatnya mengomandokan] bahwa setiap orang yang mengganggu kemerdekaan apakah dia bermukim di hutan ataupun di mana saja, mereka ini adalah pemberontak. Ditekankan pula, pasukan Kahar Muzakkar terdiri dari organisasi terlarang yang harus ditindak militer. Selanjutnya dikemukakan pula, bila Kahar Muzakkar benar-benar berjuang untuk keadilan dan kemakmuran, maka dia harus mengakui setiap warga negara mempunyai kewajiban hukum untuk menyerahkan para penjahat kepada penguasa dan sependapat harus diberikan perlakuan yang sama kepada semua orang, apakah mereka pengikutnya sendiri, yang banyak dari padanya baru belakangan ini turut serta, ataukah prajurit tentara yang telah berjuang dan menderita dalam melaksanakan kewajiban mereka selama bertahun-tahun.

Pihak militer mempertanyakan, apakah bijaksana berusaha menyelesaikan masalah-masalah di Sulawesi Selatan begitu saja dengan menerima semua anak buah Kahar Muzakkar sebagai prajurit militer, dengan mengemukakan, para gerilyawan minta pengakuan yang demikian justru pada waktu pemerintah Republik Indonesia terpaksa mengadakan penghematan dan mengembalikan ratusan ribu prajurit ke dalam masyarakat.

Masih menurut pihak militer tadi, satu-satunya tindakan yang siap dilakukan tentara adalah memasukkan para gerilyawan ke dalam apa yang disebut unit-unit pembangunan. Dalam unit-unit inilah dikumpulkan bekas grilyawan yang ingin kembali ke kehidupan sipil. Bila Kahar Muzakkar menyetujui ini, maka tentara akan memperlihatkan itikad baiknya dengan membebaskan semua tawanan yang hanya pengikut Kahar Muzakkar. Seterusnya, dalam beberapa hari kemudian, Warouw mengisyaratkan, sama sekali bukan mustahl tuntutan Kahar Muzakkar dan kaum grilyawan untuk diterima dalam militer sebagian akan dipenuhi, mengingat kebutuhan tentara akan spesialis-spesialis, dengan mentaati prosedur-prosedur yang biasa.

Juga oleh Waouw dipaparkan, bila dalam soal ini dapat tercapai persetujuan dengan Kahar Muzakkar, komando militernya akan mendesak penguasa menerima mereka. Mengingat rendahnya anggapan militer terhadap kemampuan teknis kaum pemberontak, kata-kata manis yang diungkapkan Warouw sesungguhnya tidak lain artinya daripada suatu penolakan yang tegas untuk mengintegrasikan sejumlah banyak gerilyawan ke dalam militer, begitu tanggapan Kahar Muzakkar atas paparan Warouw.

Pada Oktober, dalam sebuah kunjungan singkat yang keduanya ke Sulawesi, Soekarno mengulangi himbauannya kepada kaum grilyawan dan ia sekali lagi meminta dengan sangat kepada Kahar Muzakkar agar kembali ke jalan yang benar dan menyerukan kekacauan di pulau itu diakhiri. Walaupun militer menentang, himbauan Soekarno yang diperbaharui ini berarti kesempatan baru bagi para grilyawan untuk menyerah. Selebaran-selebaran yang diedarkan, menerangkan mereka akan diberi kesempatan untuk melapor kepada penguasa antara 10 Oktober dan 1 Nopember. Namun, lagi-lagi pihak militer Indonesia di sana menjelaskan, himbauan Soekarno sama sekali tidak mempengaruhi operasi militernya, yang akan dilanjutkan seperti sediakala.
Dengan begitu, pidato Soekarno oleh pihak ini dianggap hanyalah sebagai bimbingan bagi taktik yang akan dijalankan bila para pemberontak melaporkan diri dan mereka menekankan, tawar-menawar mengenai syarat-syarat penyerahan sama sekali tidak mungkin. Para pemberontak adalah gerombolan yang tidak berdisiplin dan tidak akan mungkin diterima dalam militer Indonesia.

Pada fase awal tampaknya himbauan itu ada hasilnya, malah Warouw sempat mengumumkan sekitar 12.500 pemberontak siap untuk menyerahkan diri mereka. Tambahan lagi didesas-desuskan bahwa Kahar Muzakkar menjadi panik karena besarnya jumlah pengikutnya yang mengikuti himbauan Soekarno. Menurut laporan yang ada, Kahar Muzakkar lari karena taut akan ditangkap oleh anak buahnya sendiri.

Namun, semua berita itu sama sekali tidak berdasar dan dituding kemudian hanyalah ditumbulkan oleh khayalan semata-mata sebagai upaya lain mempercepat kerontokan kekuatan gerombolan Kahar Muzakkar. Para pemberontak yang dimaksudkan Warouw adalah para prajurit seperti Usman Balo dan Hamid Gali, yang ternyata dalam kenyataannya memang melapor tetapi kembali lagi ke hutan segera kemudian setelah jelas pihak militer tidak berniat sama sekali memenuhi tuntutan yang disampaikan Hamid Gali terus-menerus, yakni semua anak buahnya harus dimasukkan ke dalam tentara Indonesia pertama-tama dan kira-kira dua pertiga akan didemobilisasikan kemudian.

Mei tahun berikutnya Soekarno menyampaikan himbauan yang ketiga kalinya. Dalam ultimatum kali ini, diperingatkan bahwa adalah tidak mungkin terus-menerus dirinya meminta kaum grilyawan agar meletakkan senjatanya, dan bahwa, demikian Soekarno, kesabarannya dapat berakhir. Dalam hal demikian akan diperintahkannya semua cabang militer Indonesia menumpas kaum pemberontak.

Namun, lagi-lagi himbauan itu gagal. Sekalipun Perdana Menteri Wongsonegoro melaporkan menyerahnya dua pertiga kaum pemberontak, keterangannya jauh dari kebenaran dan tidak jelas dari mana informasinya diperoleh. Pemerintah pusat, yang percaya bahwa setidak-tidaknya terdapat ribuan orang, mengirimkan satu tim ke Sulawesi Selatan untuk mengatur penerimaan. Akan tetapi, ketika tiba di sana tim ini terheran-heran sekali karena hanya beberapa orang saja yang ternyata menyerahkan diri. Bahkan, hanya disebutkan tak lebih dari sembilan orang saja.

Salah satu sebab tidak berhasilnya pada mulanya militer Indonesia ke daerah ini adalah adalah kesatuan-kesatuan yang sebagian terdiri dari orang Jawa Timur harus bertempur dalam medan yang tidak dikenal dan lingkungan yang tidak bersahabat. Hal ini sangat merugikan mereka, apalagi karena topografi daerah menyulitkan bagi mereka untuk memanfaatkan persenjataan mereka yang unggul. Ada kalanya tidak mungkin memberikan dukungan artileri kepada para prajurit yang melakukan patroli medan. Karena kurangnya perhubungan, dukungan artileri atau udara biasanya terlambat datang atau tidak datang sama sekali.

Di samping itu grilyawan Kahar Muzakkar, yang berpegang pada prinsip momen operasi pemimpin mereka, menghindarkan pertempuran sedapat-dapatnya bila keadaan tidak menguntungkan mereka. Bertahun-tahun barulah pasukan militer Indonesia mendapatkan metode menghadapi taktik grilya ini. Namun sebaliknya lagi bagi militer Indonesia, koordinasi antara satuan-satuan grilya yang tersendiri berangsur membaik, sementara Kahar Muzakkar pun berhasil meningkatkan kafasitas tempur pasukannya. Dan yang terakhir ini dicapai dengan membentuk empat satuan kawakan, sebagaian dengan maksud untuk menumpas pemberontakan Tentara Kemerdekaan Rakyat Balo.

Satuan-satuan ini oleh Kahar Muzakkar diberi nama Momok, sinkatan dari Moment Mobile Komando. Keempat satuan Momok ini masing-masing mempunyai ukurannya sendiri menurut ukuran yang dinyatakan oleh namanya, Merah, Hitam, Hijau dan Putih, dengan bulan bintang yang dicat di atasnya. Menurut laporan inteligen Batalyon 711 sejak awal 1955, Kahar Muzakkar pribadi memimpin satuan yang dinamakan Momok Putih, sedangkan Momok Hijau, Hitam dan Merah masing-masing dipimpin Partawari, Sjamsul Bachri dan Andi Masse.

Dapat diperhatikan, sesekali Kahar Muzakkar dapat leluasa menempatkan konsentrasi-konsentrasi pasukan yang lebih besar dalam medan tempur sebelum 1954, sekalipun militer Indonesia tidak sama sekali tanpa sukses yang berarti pada tahun sesudah itu. Militer Indonesia memperoleh beberapa kemenangan, bilamana mereka mampu melawan konsentrasi-konsentrasi gerombolan Kahar Muzakkar yang lebih besar dalam pertempuran dan mengikutsertakan artileri beratnya maupun pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara, yang sempat menghajar pasukan Darul Islam.

Juga Angkatan Laut turut serta dalam beberapa operasi ini. Tidak hanya dengan tujuan menghujani pantai dengan tembakan meriam, melainkan juga agar menghentikan kegiatan kapal-kapal perompak Kahar Muzakkar yang kadang-kadang menyerang kapal-kapal dagang. Pada umumnya operasi militer yang berhasil adalah yang dilaksanakan sepanjang pantai. Di pedalaman mereka lebih menghadapi kesulitan dalam meningkatkan dayaguna serangannya. Pada 1953 dan 1954 misalnya, dilancarkan serangan besar-besaran terhadap konsentrasi-konsentrasi grilya yang melibatkan satuan-satuan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara terhadap konsentrasi-konsentrasi satuan Darul Islam (DI) yang mempunyai pangkalan di rawa-rawa sebelah utara dan timur Makassar. Dari sinilah kadang-kadang mereka menyusup ke dalam kota. Suatu operasi gabungan lain dilancarkan pada September di pantai Teluk Bone, yang menewaskan ratusan pemberontak.

Pada serangan yang terakhir, kaum pemberontak yang lari dari kepungan militer Indonesia merupakan mangsa empuk bagi pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara ketika mereka berusaha menyeberangi Teluk Bone dengan perahu untuk mengundurkan diri ke dalam daerah kantong Darul Islam di Sulawesi Tenggara. Dua bulan kemudian utusan pemerintah mendarat di Wawo, Sulawesi Tenggara, menduduki pemerintahan sipil dan militer yang semula direbut kalangan pemberontak.

Tak hanya tak ada manfaatnya, namun pula pertumpahan darah yang diakibatkan oleh serangan militer menimbulkan kecaman keras. Salah satunya, kecaman keras yang dilancarkan politikus terkenal dari Sulawesi Selatan, Bebasa Daeng Lalo, dalam himbauan terakhirnya untuk mengadakan penyelesaian damai bagi konflik ini pada awal 1955, di mana dia menegaskan bahwa yang diperlukan adalah suatu operasi yang meminta sedikit korban dan besar hasilnya, bukan operasi yang seperti waktu itu berlangsung, yang meminta banyak korban dan sedikit hasilnya. Bersamaan dengan itu, sekali lagi diajukannya usul sejak dulu untuk secara tidak langsung mengakui pasukan Kahar Muzzakar dengan mengalihkannya ke dalam suatu divisi khusus guna pembebasan Irian Barat. Adalah tidak relevan, kata Lalo, sekiranya ada rasa malu bagi pemerintah dalam mempertimbangkan usul ini. Bagaimana pun juga menurutnya ini meringankan penderitaan rakyat jauh lebih penting ketimbang kehilangan muka pemerintah.

Belakangan kemudian, setelah usulan Lalo itu dikemukakan, terjadi suatu perubahan sikap dalam mengatasi aktifitas gerombolan Darul Islam pimpinan Kahar Muzakkar. Disebutkan, perubahan sikap dan cara itu dengan mempertimbangkan aspek ideologis konflik ini mengenai pemberontakan. Karenanya, oleh pihak militer yang melancarkan operasi penumpasan, ditempuh suatu upaya sebagai usaha memperoleh dukungan pemimpin-pemimpin masyarakat dan agama untuk apa yang dilukiskan sebagai operasi metafisik yang bertujuan mengakhiri pemberontakan. Pandangan yang dipergunakan, adalah perdamaian bagi daerah hanyalah dapat tercapai bila terdapat perdamaian di desa-desa, perdamaian di desa-desa hanyalah dapat tercapai bila tiap rumah tangga berada dalam damai, perdamaian dalam keluarga menghendaki setiap orang merasa damai. Dan ini hanyalah dapat diperoleh melalui iman.

Akan tetapi, perubahan dalam pendekatan ini pun gagal mencapai hasil yang dikehendaki. Karena, perhatian berangsur-angsur beralih pada konflik-konflik intern militer, khususnya antagonisme antara orang Jawa dan prajurit-prajurit dari pulau-pulau lain. Puncak ketegangan ini dalam pemberontakan PRRI/Permesta membelokkan perhatian militer dari gerakan militer yang hingga kini dilakukan terhadap Kahar Muzakkar dan kegiatan Darul Islam (DI)-nya.

Dalam pada ini Kahar Muzakkar sendiri tegas menolak setiap tawaran perdamaian. Benar-benar sepenuhnya dia mengabdikan diri kepada perjuangan Darul Islam dan tidak mau tahu tentang setiap perundingan selain pengakuan Negara Islam Indonesia (NII). Keadaan masih baik sekali baginya, dan di samping menguasai bagian Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dia berusaha meluaskan pengaruhnya ke daerah-daerah di luar Sulawesi.

Maka kemudian, segera dikirimnya sepasukan ke Kalimantan Selatan untuk membantu pemberontakan Ibnu Hadjar di sana, dan juga ke Halmahera serta Maluku untuk melakukan pemberontakan Darul Islam di bagian-bagian ini. Walaupun ada berita-berita tentang kegiatan Darul Islam di dua daerah yang terakhr, ini tidaklah banyak jumlahnya. Di Maluku Kahar Muzakkar berusaha memperoleh kerja sama dari apa yang tersisa dari RMS. Sesungguhnya ada rencana untuk memproklamasikan Maluku sebagai bagian dari wilayah Negara Islam Indonesia pada 1 Februari 1955. Tetapi, sebelum rencana ini dapat terlaksana, bakal penglima Tentara Islam Maluku, Latang, berhasil tertangkap militer Indonesia.

Sebagai isyarat nyata perteruan terhadap rezim pemerintah Republik Indonesia, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan berusaha menggagalkan pelaksanaan pemilihan umum pertama, khususnya yang berlangsung di Sulawesi Selatan. Kahar Muzakkar menggerakkan gerombolannya melakukan tindak teror kepada rakyat di sana, terutama ditujukan saat pemberian suara pada pelaksanaan pemilihan umum September 1955.
Mereka yang ingin dan telah turut memberikan suaranya dalam pemilihan umum tersebut dituding kafir. Petugas-petugas pendaftaran pemilih diancam dan dalam beberapa hal mereka ini diculik. Dan semua pemilih yang telah mendaftarkan diri dapat didenda. Malahan dikabarkan, Kahar Muzakkar sangat berambisi menduduki bagian-bagian daerah yang terpencil sebelum akhir Agustus agar tidak mungkin dilakukan pemberian suara di tempat itu. Untuk melaksanakan rencana ini sedikitnya 200 perahu dengan bala bantuan diminta untuk dikirimkan dari Jawa. Ini sebagaimana pengakuan salah seorang pemimpin lain Darul Islam Kahar Muzakkar yang tertangkap, Mazdjono Iakandutju yang menamakan dirinya sebagai Panglima Divisi Khusus Mahasiswa se-Indonesia.

Sekalipun ditentang Darul Islam dengan cara begini, maupun ditikam dari belakang oleh Tentara Kemerdekaan Rakyat yang menuntut pengakuan sebagai Kesatuan Tentara Biasa sebelum membolehkan orang memberikan suaranya, namun pelaksanaan pemilihan umum berhasil dilaksanakan. Dan nyatanya, persentase daerah pemilihan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang ikut serta di dalam pemberian suara, walaupun lebih rendah bila dibandingkan dari bagian Indonesia lainnya, di sana masih mengantongi lebih dari tujuh puluh persen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar