Sabtu, 12 September 2009

KAHAR MUZAKKAR PATRIOT YANG TAK PERNAH PUAS

KAHAR MUZAKKAR PATRIOT YANG TAK PERNAH PUAS
Oleh: Syafaruddin Usman mHD

Pada sekitar 1950-an awal, situasi politik dan militer di Sulawesi banyak dipengaruhi pokok persoalan tentang apakah akan terbentuk Republik Indonesia Federal atau Negara Kesatuan. Khususnya di Sulawesi Selatan, tempat menyalanya isu sentral tersebut adalah merupakan pusat kekuatan militer dan sekaligus juga pusat pemerintahan Negara Indonesia Timur yang masih eksis.

Negara Indonesia Timur, NIT, terbentuk Desember 1946 sebagai salah satu dari sejumlah negara dan daerah bagian yang direncanakan Pemerintah Belanda untuk mewujudkan Republik Indonesia Serikat yang federal pada masa dekat. NIT dalam perjalanan sejarahnya mengalami suatu perkembangan yang dinilai cukup baik. Dan itu berlangsung sampai permulaan 1950-an. Di sisi lain, secara militer, para gerilyawan Republik Indonesia, di mana barisan pemberontak dengan para patriotnya ini benar-benar telah ditumpas sesudah aksi-aksi pasifikasi Turk Westerling dan rezim militernya. Karena itu, para pemberontak untuk merah putih ini dipandang kalangan elit NIT adalah sebagai suatu yang tidak lagi merupakan ancaman yang sangat berarti.

Kentara sekali korelasi antara elit rezim NIT dengan konspirasi jahat Westerling dengan APRA-nya di sana. Secara politis dirasakan sekali nyaris tak ada perlawanan politis lebih mendalam. Kecuali tak lebih dari skandal intern rezim penguasa birokrasi saja, dan itu pun setelah fraksi-fraksi maupun faksi-faksi yang pro-republik keluar dari parlemen NIT pada awal 1947. sedangkan secara ekonomis, kentara sekali Negara Indonesia Timur makmur karena faktor permintaan pasar akan hasil-hasil lokalnya.

Sangatlah memungkinkan, bahwa faktor terpenting yang menyebabkan kemakmuran yang nyata selama revolusi kemerdekaan Indonesia adalah isolasinya dari bagian-bagian lain Indonesia. Ketika pada 1950-an struktur Negara Federal Indonesia mengalami ujian dan negara republik pada khususnya, ini dikeluarkan dari isolasinya yang disokong Belanda, perbedaan-perbedaan mendasar yang ditekan menjadi terbuka. Sehingga dengan begitu menjelang akhir beberapa bulan kemudian maka dengan sendirinya Negara Indonesia Timur (NIT) pun mengalami keambrukan.

Rontoknya bangunan Negara Indonesia Timur beserta piranti-piranti rezimnya, memberikan sebuah penegasan, bahwa inilah untuk pertama kalinya kekuatan pro-republik, yang menuntut pembubaran negara itu dan penggabungan wilayahnya ke dalam Republik Indonesia, terbukti nyata telah sanggup bertindak sebagai pelaku-pelau yang bebas di Sulawesi. Tuntutan mereka, kaum republikein itu, lantang mereka kumandangkan di parlemen, baik melalui pernyataan-pernyataan umum, serta ditunjang kuat adanya berbagai aksi demonstrasi yang digerakkan organisasi-organisasi massa di sana.

Belakangan kemudian, di dalam beberapa hal pengungkapan tuntutan-tuntutan itu menjadi lebih keras sifatnya. Sebagian dari bekas pejuang gerilya menolak untuk mematuhi resolusi Konferensi Meja Bundar (KMB), dan kalangan terakhir ini terus juga bersemangat melakukan penyerangan terhadap kekuatan militer yang dimiliki, atau sedikitnya dipengaruhi, Negara Indonesia Timur, yang terdiri dari kesatuan-kesatuan KNIL yang dalam sebuah teori lain ditegaskan sebagai sekutu NIT. Organisasi-organisasi gerilyawan ini di dalamnya termasuk Harimau Indonesia dan Gerilya Pengikut Proklamasi (GPP).

Sementara itu, di samping adanya kesulitan berarti dengan bekas satuan-satuan gerilyawan, terjadi pula pertentangan yang tak kalah sengitnya mengenai tingkat otonomi daerah Negara Indonesia Timur. Pada hakikatnya perselisihan berkutat sekitar pertanyaan, apakah pasukan Republik Indonesia Serikat , dengan kata lain sebenarnya yang dimaksudkan adalah menyangkut pasukan-pasukan dari Jawa yang mulai berdatangan, diperkenankan atau tidak untuk ditempatkan di wilayah Negara Indonesia Timur.

Pada permulaan 1950 persoalan ini kian memuncak dan menjadi konfrontasi bersenjata antara rezim pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan bekas kesatuan KNIL yang masih sangat kuat dan berpengaruh luas di Sulawesi. Dan yang patut dicatat pula yang merupakan penyebab langsung pertentangan ini adalah pengiriman pasukan dari Jawa ke Sulawesi. Pemerintah Republik Indonesia Serikat, yang di dalamnya ini di mana pemerintah Republik Indonesia Serikat memainkan peranan yang terkemuka, mengambil keputusan untuk menempatkan pasukan-pasukan militer di Sulawesi Selatan pada awal 1950, dan itu berlawanan dengan keinginan yang dinyatakan rezim pemerintah Negara Indonesia Timur yang notabene adalah bagian dari RIS.

NIT mulanya memperingatkan pengiriman pasukan dari Jawa dapat menimbulkan sebuah permusuhan. Dan melalui juru bicara NIT dikemukakan argumentasi bahwa KNIL cukup mampu untuk mempertahankan hukum dan ketertiban di daerah itu sendiri. Di pihak lain, Negara Indonesia Timur menyetujui usul panglima wilayah Indonesia Timur sepatutnya salah seorang yang telah berdinas dalam Tentara Republik Indonesia, kemudian untuk kedudukan ini diberikan kepada Letnan Kolonel AJ Mokoginta, tetapi yang harus menerima bantuan Mayor Nanlohy dari KNIL, dan dari Ir Putuhena, yang kelak menjadi Perdana Menteri dan kepala kabinet yang pro-Republik dari Negara Indonesia Timur.

Pengiriman pasukan dimaksudkan juga adalah untuk memperkuat posisi Republik Indonesia, terutama militernya (baca: tentara). Pada masa segera sesudah pengakuan resmi kemerdekaan Indonesia, jumlah prajurit republik di Sulawesi Selatan sedikit sekali. Kecuali beberap gerombolan gerilya setempat yang beroperasi di daerah ini, namun malahan sulit bagi pemerintah Republik Indonesia untuk menguasainya, beberapa perwira staf dan satuan kecil Polisi Militer yang berjumlah sekitar 80 orang yang merupakan seluruh kekuatan Republik Indonesia di daerah ini.

Sementara itu, sejumlah kecil kecil prajurit ini bukan imbangan bagi kesatuan KNIL yang relatif besar. Untuk memperoleh keseimbangan yang lebih baik harus diangkut lebih banyak pasukan dari Jawa ke Sulawesi. Dengan kenyataan ini maka diharapkan dapat untuk mengimbangi pasukan KNIL, yang jika dibiarkan tidak terkendali akan memperoleh peranan yang penting dalam perlawanan Negara Indonesia Timur terhadap penggabungan ke dalam Republik Indonesia Kesatuan yang di proyeksikan.

Rencana pengiriman pasukan ke Sulawesi sebetulnya telah disusun sejak akhir 1949, paska Pengakuan Kedaulatan Indonesia. Kesatuan yang dianggap paling tepat dan cocok mengemban tugas ini adalah sejumlah kontingen Brigade XVI. Kelaknya brigade ini dibubarkan Februari 1950, dan komandannya Warouw, kemudian ditempatkan di markas besar tentara di Jakarta. Bagian dari brigade yang dipimpin Kolonel HV Worang, terpilih untuk dikirim ke Sulawesi. Untuk membenarkan tindakan ini, dilancarkan desas-desus bahwa Presiden Soekarno akan mengunjungi Indonesia Timur, tetapi pasukan Republik Indonesia Serikat, ataupun pasukan republik, harus ditempatkan terlebih dahulu untuk menjamin keamanannya selama kunjungan tersebut.

Kemudian pada 5 April dua kapal Waikelo dan Bontekoe, keduanya mengangkut seribu prajurit, tiba di Makassar. Di sini satuan-satuan bekas KNIL berusaha keras mencegah pasukan ini mendarat. Satuan KNIL yang memberontak ini, yang sebenarnya telah dimasukkan ke dalam Tentara Republik Indonesia Serikat sekitar seminggu sebelumnya, dipimpin Kapten Andi Aziz (Andi Abdul Azis). Mereka ini menamakan dirinya Pasukan Bebas. Di samping menutup pelabuhan rapat-rapat, Andi Aziz menahan semua prajurit republik yang telah berada di Makassar. Salah seorang di antaranya adalah Letnan Kolonel Mokoginta, yang telah lebih dulu datang ke sana untuk membentuk Pemerintahan Militer Negara Indonesia Timur pada akhir 1949. belakangan dia dibebaskan lagi dalam waktu satu hari, sesudah Andi Aziz berunding dengan Presiden Negara Indonesia Timur, Tjokorde Gde Raka Sukawati.

Selanjutnya, saat dilangsungkannya sidang perkaranya, Andi Aziz berulang kali menekankan di muka pengadilan, bahwa dia bersama anak buahnya bertindak sebagai anggota Tentara Republik Indonesia Serikat, dan bukan sebagai serdadu KNIL. Tujuan mereka, ungkap Andi Azis, semat-mata untuk mencegah pertempuran antara bekas serdadu KNIL, yang marah sekali atas pengiriman pasukan dari Jawa, dengan pasukan Republik Indonesia.

Akan tetapi pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta menganggap tindakan Andi Aziz adalah suatu tindakan pemberontakan yang tidak diragukan lagi. Karena itulah pemerintah pada 7 April 1950 mengeluarkan ultimatum, disebutkan juga sebuah perintah padanya, untuk melapor ke Jakarta dalam waktu 3 hari untuk mempertanggungjawabkan tindakan yang telah dilakukannya. Namun, perintah itu tidak diacuhkannya, dan dia baru tiba di Jakarta 16 April kemudian. Dalam pengakuannya, katanya ia tidak mungkin datang sebelumnya untuk melapor karena ketegangan situasi di Makassar, begitu alasan yang dipaparkannya

Tentang akan muncul kerusuhan memang sebelumnya sudah diduga. Para serdadu KNIL di Makassar secara terang-terangan memprotes penempatan pasukan dari Jawa, dan protes itu bahkan sudah sejak Januari 1950. Dalam suatu mosi mengenai peleburan ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Serikat, mereka ini hanya menyetujui masuknya secara sukarela dengan syarat. Salah satu di antaranya ialah, mereka akan dipimpin perwira-perwira KNIL. Syarat lain, mereka tidak akan dicampur dengan pasukan republik paling sedikit selama setahun. Ketika syarat ini muncul lagi dalam pembicaraan 27 Maret, ditambahkan pula keterangan yang menyatakan serdadu-serdadu KNIL merasa malu jika dikirimkan pasukan dari Jawa, sebab KNIL sendiri telah menunjukkan sepenuhnya mampu mempertahankan ketertiban selama dua tahun sebelumnya.

Perkembangan kemudian, setelah kekalahan yang dialami KNIL, pemerintah republik masih menyimpan agenda lainnya yang ckup penting di dalam kemiliteran, di mana masih ada masalah menyangkut para pejuang gerilya yang harus diselesaikan. Dalam upaya menghadapi masalah ini, pemerintah mampu menggunakan usaha koordinasi yang telah dilakukan para gerilyawan sendiri sebagai titik tolak. Bahkan sebelum pengangkatan Kahar Muzakkar sebagai Komando Grup Seberang April 1949, dua perwira stafnya, Saleh Sjahban dan Bahar Mattaliu, kembali ke Sulawesi Selatan untuk tujuan khusus mengkoordinasi perjuangan gerilyawan.

Kemudian pada 17 Agusutus 1949, Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) pun dibentuk oleh Saleh Sjahban dengan tujuan mempersatukan demikian banyaknya gerombolan yang terpencar dan terpencil yang beroperasi sendiri-sendiri di daerah itu. Saleh Sjahban sendiri menjadi koordinator KGSS, dengan Bahar Mattaliu sebagai sekretarisnya.

Pemerintah Indonesia berusaha menguasai satuan-satuan gerilya Sulawesi Selatan melalui KGSS pada bulan pertama sesudah pengakuan kedaulatan secara resmi. Dan tujuannya dipandang rangkap dalam hal ini. Pertama, pemerintah ingin menetapkan pengawasan atas para gerilyawan agar tdak mengalami rintangan apa pun dalam konfrontasinya terhadap pasukan-pasukan gerilya. Dan kedua, ada hubungannya dengan tujuan pertama, KGSS dibayangkan sebagai alat dalam melaksanakan kembalinya para gerilyawan ke masyarakat, atau dengan lain perkataan dalam melaksanakan demobilisasi.

Maka segera para gerilyawan menjadi kecewa akan kebijaksanaan yang ditempuh rezim pemerintah Indonesia ini. Mereka sama sekali tidak menyetujui pernyataan gencatan senjata antara pasukan Indonesia dan Belanda, dan melanjutkan pertempuran melawan KNIL, bahkan juga itu sesudah 1949 saat sudah meredanya di kawasan Jawa pertempuran antara Indonesia-Belanda.

Faktor dan kenyataan inilah selanjutnya yang membuat mereka bertentangan dengan pasukan republik. Dan yang terutama sekali mereka menentang keras masalah penggabungan satuan-satuan KNIL secara besar ke dalam Tentara Republik Indonesia. Sedangkan permintaan mereka sendiri untuk digabungkan secara menyeluruh tegas ditolak, pada, demikian pandangan mereka, mereka nyata telah berjuang mempertahankan eksistensi Indonesia.

Pertentangan penggabungan itu semakin diperhebat lagi karena pejuang-pejuang gerilya untuk kedua kalinya mengalami kenyataan pahit, di mana tentara republik tidak menginginkan mereka dipulangkan kepadanya untuk kedua kalinya. Banyak dari mereka baru datang ke Sulawesi Selatan setelah nyata bagi mereka bahwa dalam reorganisasi militer republik dan pembubaran Brigade XVI pada awal 1950 sehingga dirasakan tak ada lagi tempat bagi mereka dalam militer Republik Indonesia Serikat.

Para gerilyawan di pedalaman kemudian meneruskan perjuangan mereka. Prinsipnya, mereka bebas dari kontaminasi serta intimidasi dan campur tangan KNIL, dan karena tentara republik masih harus tertambat di Makassar, maka mereka pun menduduki Bontain, Bulukumba, Sinjai, Pare-Pare, Sengkang, Palopo, dan Sopeng pada April 1950. Prosedur yang biasa mereka ambil adalah menyita semua persenjataan yang dapat mereka peroleh dan memecat semua pejabat birokrasi pemerintah lokal yang dianggap reaksioner atau yang mereka ketahui telah berkolaborasi dengan rezim penguasa Negara Indonesia Timur, termasuk para elit feodal lokal selaku bangsawan penguasa kerajaan-kerajaan yang kecil skala kekuasaannya.

Di dalam kondisi dan situasi demikian inilah Kahar Muzakkar kembali muncul dan menampakan dirinya. Pengakuan resmi kemerdekaan oleh Belanda, melalui Pengakuan Kedaulatan, telah mengakhiri jabatan Komandan Komando Grup Seberang yang disandangnya. Selama berbulan-bulan sesudah ini Kahar Muzakkar menjadi perwira yang menganggur, begitu ia membahasakan tentang keadaan dirinya di dalam sepucuk surat yang ditulisnya 30 April 1950 di mana surat itu dialamatkan kepada pemerintah pusat serta pimpinan militer. Dan Kahar Muzakkar pun untuk sedikit waktu kembali ke Sulawesi ketika pecah pemberontakan Andi Azis.

Beberapa alasan penting yang diketengahkan tentang ketidak-aktifannya di militer, dalam surat yang sama Kahar Muzakkar menyebutkan tentang ketidakpercayaan pimpinan militer kepada dirinya, serta pandangan umum tentang dirinya sebagai pengacau atau penghasut yang berusaha menyebarkan fitnah dalam militer. Dalam suratnya itu oleh Kahar Muzakkar juga dipaparkan sejumlah anjuran perbaikan keadaan di Sulawesi, termasuk usul memasukkan semua bekas pejuang gerilya ke dalam Tentara Republik Indonesia sebagai kesatuan teritorial yang terpisah. Menurutnya, sesudah para gerilyawan itu diakui sebagai prajurit mungkin untuk memulai integrasi mereka secara berangsur-angsur ke dalam masyarakat.

Pada tahap ini sama sekali Kahar Muzakkar tidak menuntut agar dirinya memimpin kesatuan yang dimaksudkan dalam ususlannya. Dia menulis lebih lanjut, bahwa dirinya pribadi, “…sebagai seorang perwira yang tidak dipercayai para atasannya, paling-paling hanya bias diberi suatu fungsi yang tidak berbahaya, umpamanya di Departemen Penerangan untuk Indonesia Timur…” Walaupun menunjukan kerendahan hati demikian, segera sesudah itu, sesungguhnya Kahar Muzakkar akan menjadi bekas pemimpin gerilya yang memperjuangkan pengakuan mereka oleh Tentara Republik Indonesia. karena tidak sanggup menempatkan bekas para pejuang di bawah penguasaannya. Dan, belakangan kemudian pimpinan militer Indonesia pusat memerintahkannya kembali ke Sulawesi sekali lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar