Sabtu, 12 September 2009

KAHAR MUZAKKAR PEJUANG—PEMBERONTAK (III)

KAHAR MUZAKKAR PEJUANG—PEMBERONTAK (III)
PEMBERONTAKAN SETENGAH HATI
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Sejarah resmi Indonesia belakangan lalu mencatat, bahwa di Sulawesi Selatan pernah meletus sebuah pemberontakan [pergolakan bersenjata] terhadap Republik Indonesia tak berapa lama setelah Indonesia resmi merdeka. Di tahap permulaan, pemberontakan itu semata merupakan keresahan bekas para pejuang gerilya yang resah tentang cara penggabungan mereka ke dalam Tentara Republik atau lebih tepatnya karena demobilisasi yang tak utuh. Lalu selanjutnya, beberapa tahun kemudian beberapa pemberontakan ini mengkristal dengan menggabungkan diri ke dalam Negara Islam Indonesia yang dicetus dan gagaskan Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Dan, terutamanya, pemberontakan di Sulawesi di bawah pimpinan tokoh snetralnya Kahar Muzakkar pun merupakan salah satu dari kenyataan itu.

Adalah Abdul Kahar Muzakkar, yang ketika masa remajanya bernama La Domeng lahir di Desa Lanipa, dekat Palopo, di pantai barat laut Bone, 24 Maret 1921. Dia adalah anak seorang petani yang cukup mampu dan tergolong aristokrasi rendah. Pada usia tujuh belas tahun ia dikirim ke Surakarta untuk belajar di Perguruan Islam, sebuah sekolah Muhammadiyah, dan dari Hizbulwathan, sebuah gerakan kepanduan Muhammadiyah. Pada awal pendudukan Jepang Kahar Muzakkar bekerja untuk sebuah masa singkat untuk Jepang di Makassar.

Belakangan kemudian Kahar Muzakkar bentrok dengan para petinggi atau kepala-kepala adat setempat. Tak sepenuhnya diketahui mengapa dia sempat menimbulkan amarah para elit adat setempat. Bagaimanapun Kahar Muzakkar telah dituduh menghasut terhadap kepala-kepala adat. Bahkan oleh sebuah sumber lain disebutkan, jauh lagi daripada itu ia telah mengutuk sistem feodal yang berlaku di Sulawesi Selatan dan mengajurkan dihaspukannya aristokrasi. Maka segera saja Kahar Muzakkar muda dibuang dari pulau itu, atau secara lebih tepat di asingkan untuk seumur hidupnya. Kelak, Kahar Muzakkar sempat kembali ke Surakarta pada 1942 untuk tak menetap lama, dan di sini dia mulai berdagang. Dia tetap tinggal di Jawa, dan turut ambil bagian aktif dalam perjuangan bersenjata revolusi Kemerdekaan, selama kira-kira sepuluh tahun.

Berdasarkan pelukisan utuh tentang dirinya, Kahar Muzakkar muncul sebagai seorang pemberani dengan daya tarik pribadi yang besar. Padanya terdapat keberanian yang nekat dalam pertempuran, ketangkasan yang tiada taranya dalam menggunakan senjata dan dalam olahraga, dan kecerdasan yang tajam, disertai prakarsa cemerlang yang cukup banyak nyerempet-nyerempet, sedangkan kemampuannya untuk menggerakkan massa oleh pidato-pidatonya dapat dibandingkan dengan kemampuan orator ulung Soekarno yang mulanya dia kagumi.

Kahar Muzakkar turut serta lrut di dalam kancah revolusi fisik perjuangan kemerdekaan Indonesia sejak awal mulanya. Dan dapat dikatakan dia adalah salah seorang dari barisan pengawal Soekarno ketika Soekarno menyampaikan salah satu pidatonya pada sebuah rapat umum yang terkenal di Lapangan Merdeka atau Lapangan Ikada Jakarta, 19 September 1945. Tentang ini, Kahar Muzakkar sangat membanggakan diri bahwa dia adalah satu-satunya orang yang hanya bersenjata golok yang siap melindungi Soekarno dan Hatta terhadap bayonet serdadu Jepang yang berusaha membubarkan pertemuan itu dan yang melingkari mobil yang mengangkut kedua proklamtor Indonesia itu.

Kemudiannya, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Kahar Muzakkar menjadi salah seorang pendiri organisasi pemuda dari Sulawesi yang berdomisili di Pulau Jawa, yang kemudian dinamakan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi atau Gepis. Sejak 21 Oktober 1945, Gepis melebur diri dengan suatu organisasi gerilya lain yang terdiri dari pemuda Sulawesi, Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi atau APIS. Seterusnya organisasi baru ini dinamakan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi atau KRIS.

Mayoritas kalangan pemuda yang turut di dalam KRIS, bahkan semua mereka itu, umumnya datang dari Minahasa, kawasan timur laut di semenanjung Sulawesi. Di Jawa, di wilayah Republik Indonesia yang kental dengan smangat revolusioner dan anti Belanda paska Indonesia merdekla, para pemuda ini mereka dirinya berada dalam satu lingkungan yang berseberangan. Karena itulah, salah satu alasan, mereka membentuk KRIS dengan maksud membela diri dari tudingan bahwa mereka adalah orang-orang yang sejalan dan sehaluan dengan kolonial Belanda. Dan untuk itulah para pemuda ini memperlihatkan kesediaan mereka bertempur melawan Belanda dan berdiri di pihak Republik Indonesia.

Kahar Muzakkar dipercaya sebagai sekretaris pertama KRIS dan dalam kedudukan ini dia ditugasi mendirikan cabang-cabang KRIS di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada satuan-satuan KRIS yang bertempur melawan Belanda di Jawa bahu-membahu dengan tentara Republik Indonesia, sebagaimana halnya dengan satuan gerilyawan lainnya, timbul pertentangan antara mereka dan Tentara Republik yang resmi. Upaya Tentara Republik untuk menggabungkan, dan dan dengan demikian mengawasi, lasykar menghasilkan umumnya pelucutan senjata pasukan-pasukan KRIS di Karawang dan di Rengas Dengklok pada awal 1947.

Dalam pada upaya itu, Kahar Muzakkar tidak hanya membatasi diri mendirikan cabang-cabang KRIS di Jawa. Kemudian setelah ia meninggalkan KRIS, Kahar Muzakkar telah memainkan sebuah peranan yang cukup penting dalam membentuk Batalyon Kesatuan Indonesia (BKI) pada akhir 1945 dan dalam mengatur penyusupan ke Sulawesi, di mana Belanda telah berhasil menegakkan kembali kekuasaannya di sini, dengan perahu layar mengarungi lautan lepas dari Pulau Jawa.

Inti Batalyon Kesatuan Indonesia terbentuk dari orang-orang yang dipenjarakan di Nusakambangan dan Cilacap yang umumnya berasal dari pulau-pulau seberang, khususnya Sulawesi, karena memberontak di daerah asalnya menentang kolonial. Melalui campur tangan Kahar Muzakkar pula, para tahanan ini dibebaskan dan sesudah itu diberi latihan militer singkat.

Kata orang, batalyon ini di tugasnya sebagai pengawal Pesiden Soekarno yang pada waktu itu Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, dan selanjutnya BKI ini diubah menjadi Pasukan Gerak Tjepat Penjelidik Militer Chusus atau Pasukan gerak Cepat (PGC) yang dimotori Kolonel Zukifli Lubis di Yogyakarta. Namun itu hanya berlangsung beberapa bulan saja. Pada Maret 1946 Batalyon Kesatuan Indonesia telah menjadi inti Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi, atau biasanya disebut sebagai KRI Persiapan Sulawesi atau TRIPES. TRIPES dibentuk Kahar Muzakkar ketika ditugaskan mempersiapkan pembentukan Tentara Republik Indonesia di Sulawesi oleh Panglima Besar jenderal Soedirman, Panglima Tentara Republik Indonesia, pada 24 Maret 1946.

Dalam melaksanakan tugas ini, Kahar Muzakkar mengatur penyusupan ke Sulawesi Selatan dengan mengerahkan perahu layar dari Jawa. Mulanya, semuanya berjalan lancar, sekitar 1200 oarng prajurit dikirimkan ke Sulawesi selama 1948, dan lebih dari sepuluh ekspedisi telah dikirimkan dari Jawa oleh TRIPES, terutama ekspedisi yang keempat dan keenam yang sangat penting bagi perkembangan sejarah kemudian. Dalam rangka ekspedisi-ekspedisi ini Saleh Lahade dan Andi Matalatta yang datang ke Jawa untuk membicirakan koordinasi dan konsolidasi gerakan gerilya di Sulawesi pada akhir 1945, ikut kembali ke Sulawesi bersama ekspedisi tersebut.

Sebetulnya, jalinan hubungan Andi Matalatta dengan Soekarno telah melahirkan gagasan dibentuknya Batalyon Kesatuan Indonesia. Walaupun gagasan ini bukan dari Kahar Muzakkar, namun dia yang diangkat sebagai komandan batalyonnya, sedangkan Saleh Lahade ditunjuk sebagi Kepala Staf dan Andi Matalatta sebagai Wakil Komandan. Sekembali mereka ke Sulawesi, Andi Matalatta segera membentuk Divisi Hasanuddin, Kahar Muzakkar sendiri yang menjadi panglimanya dan Saleh Lahade sebagai Kepala Staf pada 21 Januari 1947.

Akan tetapi setelah 1946, kegiatan penyusupan benar-benar terhenti sepenuhnya. Dan sejak itu pula harapan bagi pasukan republik di Sulawesi terasa suram. Penyusupan telah digagalkan oleh taktik anti kekacauan Belanda yang digunakan Turk Westerling. Sebagian besar kaum gerilyawan yang datang dari Jawa tertangkap atau bahkan terbunuh. Sedangkan sisanya yang selamat kembali ke Jawa.

Kemudian kaum gerilyawan setempat yang tidak pernah meninggalkan Sulawesi pun menderita pukulan hebat karena aksi-aksi Westerling. Bertahun-tahun kemudian barulah mereka dapat pulih lagi. Hal ini membuat keadaan semakin terasa lebih gawat, karena demikian banyaknya sudah usaha dilakukan untuk membentuk pasukan gerilya yang punya kekuatan dan merupakan suatu yang sangat berarti sebagai ancaman terhadap Belanda. Namun kemudian seluruh perjuangan gerilya di Sulawesi Selatan mengalami gelombang pasang naik dan pasang surut. Di bulan-bulan pertama sesudah kemerdekaan Indonesia Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan disambut dengan penuh semangat oleh rakyat di sana.

Pada mulanya kalangan feodal lokal kaum bangsawan setempat, termasuk di antaranya misalnya bangsawan Bone Andi Mappandjuki dan sejumlah kepala adat di Luwu, daerah asal Kahar Muzakkar, juga memberikan dukungan mereka. Pada saat itu perasaan anti Belanda demikian kuat, sehingga seorang pamong praja menyimpulakn suatu laporan dengan kata-kata, bahwa “…orang dapat menyimpulkan bahwa keadaan di Sulawesi Selatan adalah di luar harapan, dan sebagai akibat pengaruh Jepang atau karena sebab apapun perasaan umunya anti Belanda”.

Dikatakan pula, “…segera mengubah pendapat ini dengan menambahkan bahwa hal ini tidak seluruhnya benar, dan bahwa walaupun banyak orang yang anti Belanda, banyak juga yang tidak. Tetapi dalam waktu yang singkat keadaan berubah menjadi lebih baik bagi Belanda”. Kemudian pada awal Desember 1945, salah seorang pejabat tinggi Belanda menulis “…udara politik daerah ini, yang sebelumnya tampak agak suram dan terancam, selama akhir-akhir ini telah jauh lebih jernih karena pemerintah-pemerintah otonom Bone, Wajo, Sinjai dan Bulukumba, telah menyatakan kesediaan untuk bekerjsama dengan NICA”.

Sekalipun memperoleh dukungan penuh di fase awal ini, khususnya dari kalangan feodal lokal para bangsawan Bugis—Makassar dan rakyat umum Sulawesi Selatan lainnya, akan tetapi butuh waktu bagi pasukan republik di sini untuk menyusun perlawanan lokal. Menjadi sebab utama mengapa usaha ke arah ini begitu lamban untuk kemudian dapat dilaksanakan dikarenakan faktor gagalnya para peminpin republik di sana dalam memanfaatkan keuntungan sepenuhnya dari keadaan yang muncul ke permukaan paska proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam artian lain, kurang gesitnya memanfaatkan peluang dan kesempatan antara saat vakum kekuasaan imperialis setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Sebuah penilaian mengatakan, bahwa para pemuka dan pemimpin republikein di sana seakan mengabaikan, satu penilaian lain menuding membiarkan, adanya kesempatan yang diberikan oleh keadaan. Bukankah kemudian diketahui bahwa Sekutu dan pasukannya baru mendarat pada penghujung September 1945, dan semuanya berlalu begitu saja.

Kondisi di sana jelas berbeda dengan yang dilihat di Jawa dan Aceh sebagai perbandingan misalnya. Kenyata sekali kurang adanya usaha lebih jauh untuk merebut senjata dari tangan militer Jepang yang sudah tak berdaya. Dan di sisi lain, sementara sangat kurang orang dengan pendidikan militer yang cukup mampu menerima pimpinan setiap aksi anti-Belanda. Selama masa pendudukan fasis militer Jepang, Sulawesi tidak memiliki kekuatan pribumi yang disponsori Jepang yang dapat dibandingkan dengan PETA misalnya, atau Giyugun di Sumatera. Di samping itu, mereka di Sulawesi Selatan yang sempat menerima pendidikan militer sebagai pasukan pembantu Heiho atau Korps Pemuda Seinendan telah gagal membentuk kelompok-kelompok revolusioner untuk melawan pasukan Belanda.

Tak dikesampingkan, belakangan tentu sekali muncul beberapa kelompok gerilya, lebih khususnya sekitar Makassar [sempat juga disebutkan dengan Ujungpandang], atau di Polongbangkang, di sebelah selatan Makassar, di sana terbentuk gerakan pro-republik, atau dengan nama Gerakan Muda Bajeng. Gerakan pemuda revolusioner ini lahir atas prakarsa Karaeng Haji Pajonga Daeng Ngalle. Gerakan ini juga mempunyai cabang kemiliteran, masing-masing terdiri dari bekas anggota-anggota Heiho, beberapa di antara di dalamnya adalah bekas serdadu KNIL, serta pemuda-pemuda lain yang tak berpengalaman sebagai Heiho ataupun KNIL.

Di markas besar itulah di saat yang nyaris bersamaan segera dibentuk Lasykar Pemberontakan Republik Indonesia atau LAPRIS, yang di dalamnya terdiri dari 17 kelompok gerilya di daerah ini pada Juli 1946. LAPRIS dipimpin sekretaris dari sang karaeng, dan merupakan salah seorang pemimpin gerilya Sulawesi yang termasyhur namanya, Robert Wolter Monginsidi. Kelak Monginsidi sesudah tertangkap Belanda ia ditembak mati pada September 1946. Dalam kelasykaran itu ia diangkat mengepalai Lipang Bajang menjadi komandan militernya.

Program anti-kekacauan Westerling menyebabkan para gerilyawan setempat berantakan. Terutama sesudah pasukan-pasukan yang disusupkan dari Jawa benar-benar disapu bersih. Kelompok gerilya lokal yang tak terbilang jumlahnya terus bergolak untuk Republik Indonesia yang nyata telah merdeka. Namun demikian, terkesan lebih kecil gerakannya. Termasuklah di dalamnya ini Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), KRIS Muda, dan Pasukan Lasykar Harimau, yang terakhir adalah kesatuan yang dibentuk Monginsidi dan Muhammadsjah (atau dikenal juga dengan nama Mohammad Dimar) sesudah markas besar LAPRIS diduduki militer Belanda dan mereka berhasil memecah pasuka gerilya ini.

Namun, dalam keadaan yang sangat tertekan dan dengan sendirinya sangat diperlemah ditambah pula tak sepenuhnya mendapat dukungan rakyat karena takut akan intimidasi militer Belanda, serta kolaborasi pihak tertentu yang pro-Belanda, maka oleh militer Belanda mereka dipandang bukan lagi merupakan ancaman yang besar. Dan rezim pemerintah Negara Indonesia Timur yang bikinan Belanda juga melihat hal yang sama sebagaimana sponsor utama keberadaannya. Negara Indonesia Timur adalah sebuah negara boneka federal bentukan Belanda akhir 1946, yang memungut hasil aksi-aksi Westerling. Negara boneka federal ini mampu berdiri dan menyelenggarakan struktur rezim pemerintahan tanpa terlalu banyak rintangan dari kegiatan perlawanan sampai akhir 1946 tersebut.

Di Sulawesi [Selatan khususnya] mengalami pasang surut pergolakan anti-Belanda, maka sementara itu di Jawa, orang-orang (terutama para pemuda revolusioner) Sulawesi terus menerus aktif turut serta dalam kancah revolusi fisik di dalam berbagai pertempuran melawan militer Belanda. Dan di dalam masa pergolakan revolusi ini nama dan kedudukan TRIPES mengalami beberapa kali pergantian. Tak berapa lama waktunya sesudah Perjanjian Linggajati November 1946 namanya berubah menjadi Lasykar Sulawesi. Dan pada sekitar waktu ini pula Kahar Muzakkar membentuk pasukan penggempurnya sendiri, Barisan Berani Mati (BBM), sementara dia dan anak buahnya di Madiun, mereka ini terdiri dari para prajurit TRIPES yang terbaik, dan dalam teori juga terdapat cabangnya di Sulawesi.

Belakangan, sebagai sebuah kelasykaran, Lasykar Sulawesi diintegrasikan ke dalam Biro Perjuangan Kementerian Pertahanan dan beberapa bulan kemudian menjadi Resimen Hasanuddin. Penggabungan ke dalam Biro Perjuangan memiliki makna tersendiri, kekuasaan atas Lasykar Sulawesi atau Resimen Hasanuddin pada pokoknya terletak pada Kementerian Pertahanan, dan bukan pada Panglima Tentara Republik.

Dalam Juni 1947 Tentara Republik Indonesia (TRI) berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), maka praktis semua lasykar diwajibkan bergabung di dalamnya. Demikian pula halnya, Resimen Hasanuddin kemudian berubah menjadi sebuah brigade yang dikenal dengan Brigade II-X bersama dengan lasykar-lasykar lain dari pulau-pulau di luar Pulau Jawa yang bertempur di Jawa. Keberadaan mereka ini populer dinamakan dengan Pasukan Seberang, dan brigade ini merupakan bagian dari KRU-X (Kesatuan Reserse Umum). Nasution, menjadi Kepala Staf Operasi Tentara Indonesia belakangan berkeinginan menjadikan KRU-X sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi dengan baik dari semua lasykar dari seberang yang bergerak di Jawa.

Pada mulanya rencana Nasution ini mengalami kegagalan, terutama karena permusuhan dan kecurigaan di kalangan komandan-komandan lasykar dan karena setiap kelompok ingin mempertahankan kepribadiannya sendiri. Selama beberapa waktu, setiap daerah atau pulau sesungguhnya terus mempunyai brigade sendiri. Tetapi tahun-tahun berikutnya, peleburan menjadi kenyataan dan lahirlah sebuah brigade baru, Brigade XVI. Komponen –komponen pokoknya adalah Brigade II-X pimpinan Kahar Muzakar dan Brigade I-X yang dipimpin J (Jopie) F Warouw, yang selanjutnya akan menjadi Komandan Brigade XVI yang baru, dengan Kahar Muzakkar sebagai orang kedua di dalam pucuk pimpinan, sementara HN Ventje Sumual diangkat menjadi Kepala Staf.

Dari sinilah kemudian segera timbul sebuah pertentangan terbuka antara Warouw dengan Kahar Muzakkar, sesudah Aksi Militer Belanda kedua, pasukan mereka menjadi terpisah. Kahar Muzakkar dan anak buahnya sesudah operasi pergi ke Yogyakarta, sedangkan JF Warouw dan prajuritnya tetap bertahan di Jawa Timur. Di Jawa Tengah lagi-lagi bertentangan dengan salah seorang perwira komandannya, kali ini dengan Letna Kolonel Soeharto, yang kemudian nanti menjadi Presiden kedua Republik Indonesia.

Belakangan lagi Kahar Muzakkar pun ditegur dan diturunkan pangkatnya. Sesudah Yogyakarta dikuasai kembali oleh pasukan Republik Indonesia, Kahar Muzakkar dan anak buahnya dilarang masuk ke dalam kota ini. Untuk meredakan ketegangan Kahar Muzakkar maka kemudian ia diberi tugas baru. Pada Oktober 1949 dia menjadi Komandan Komando Grup Seberang. Tetapi pemindahnnya ini tidaklah menyelesaikan semua persoalan yang timbul dan dilarutinya.

Pada November meletuslah pertempuran internal ketika Brigade XVI yang bergerak di daerah sekitar Lawang, antara Surabaya dan Malang , yang melepaskan diri dari republik. Kesatuan-kesatuan ini belakangan diduga disusupi atau memang pro-komunis. Kesatuan-kesatuan Republik Indonesia yang lain di daerah itu, salah satunya yang dipimpin Abdullah, dicurigai terkena pencemaran komunis. JF Warouw diberi perintah untuk bertindak terhadap kesatuan-kesatuan yang belakangan tadi, tetapi ia tak bisa mendapatkan penyelesaian yang damai.

Di dalam posisi strategis pada kedudukan barunya, Kahar Muzakkar yang pada waktu itu telah dinaikkan kembali pangkatnya ke tingkat pejabat Letnan Kolonel, maka dia ia diberi tugas mengkoordinasi satuasatuan-satuan gerilya di Kalimantan (Borneo), Sulawesi (Celebes), Maluku, dan Nusa Tenggara yang sesungguhya adalah merupakan seluruh daerah seberang. Di samping itu pula, Kahar Muzakkar mendapat tugas untuk membina kader militer di daerah-daerah ini. Namun usaha ini pada 1946 dan 1947 gagal karena aksi-aksi Turk Westerling. Kahar Muzakkar dalam hal ini memulai dengan awal yang baik dengan mengirimkan dua perwira stafnya masing-masing Saleh Sjahban dan Bahar Mattaliu ke Sulawesi untuk mengadakan hubungan dengan pasukan-pasukan gerilya yang tersisa di sini sebelum pengangkatannya Oktober kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar