KAHAR MUZAKKAR PEMBERONTAK PEJOANG (II)
SENTIMEN DAERAH DAN PEMBERONTAKAN
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Sebetulnya sebagaimana diketahui umum, ketidakpuasan kalangan sipil dan militer, dipahami sebagai sebuah pertentangan, telah terbentuk secara intensif di seluruh Indonesia sejak 1955. Krisis kedaerahan selama 1957 hingga 1958 akhirnya meletus ketika kedua kekuatan, ada yang menamakannya sebagai dua aliran, ini bertemu. Kedua kekuatan ini masing-masing menggunakan dan digunakan oleh pihak lain. Tanpa dukungan militer, berbagai tuntutan golongan sipil mendapat sedikit perhatian di pusat tanpa selubung tuntutan politik dari golongan sipil, dan para perwira yang terlibat akan tampak bertindak semata-mata atas kepentingan pribadinya sendiri.
Dalam kenyataan yang terjadi, kepentingan dan keinginan bercampur di dalam kedua golongan ini, sebagaimana biasa terjadi dalam semua usaha yang dilakukan banyak orang. Bahwa apa yang akan menguntungkan suatu daerah tertentu dipandang [diperjuangkan] juga akan menguntungkan mereka yang memimpinnya. Dan orang-orang yang mempunyai pandangan mengenai hari depan yang lebih baik tentulah menyediakan diri sebagai alat untuk melaksanakan itu semua.
Sisa kaum gerilyawan atau yang dituding sebagai gerombolan pemberontak dalam tahun-tahun puncak tersebut semakin menaikkan aktifitas militer mereka. Pada Mei dan Juni di tahun itu dilaporkan dari Luwu dan Mandar adanya suatu tindak perusakan jembatan, perusakan jaringan komunikasi, suatu tindak penyerbuan terhadap barak-barak polisi, pembakaran rumah penduduk juga sekolah dan rumah ibadah, serta tindak pemaksaan agar memeluk Islam terhadap penduduk di daerah non-muslim. Militer Angkatan Darat mengakui pihaknya tidak tahu apakah tidakan-tindakan ini dilakukan atas perintah Kahar Muzakkar atau bukan. Namun Kahar Muzakkar adalah tokoh sentral yang pada pertengahan Juni tersebut meimpin gerombolannya melancarkan serangan gencar atas Kota Palopo.
Rencana semula Kahar Muzakkar untuk lebih dahulu melakukan serangan umum atas kota-kota penting di Sulawesi Selatan pada awal 1952 menemui kegagalan. Salah satu faktor penyebab utamanya adalah menyeberangnya lebih dari separuh dari jumlah pengikutnya sebagai pihak yang kemudian menentang atau berseberangan dengan Kahar Muzakkar. Namun di Luwu adalah satu-satunya daerah yang para pengikutnya tidak mengalami penyeberangan. Maka dari itulah Luwu menjadi daerah strategis sebagai pangkalan Kahar Muzakkar, dan ia telah menguasai semua daerahnya. Namun, Kota Luwu sendiri tak dapat sepenuhnya dikuasainya. Kahar Muzakkar dengan begitu kemudian mengumumkan bahwa ia ingin merayakan berakhirnya bulan Puasa (Juni) di Palopo. Namun hasyrat Kahar Muzakkar dan anak buahnya untuk beridil fitri di sana urung dilakukan, suatu tindak pencegahan untuk itu disertai ancaman dari militer Indonesia di kota itu.
Sebuah ultimatum diberikan, apabila Kahar Muzakkar dan gerombolannya memaksakan diri untuk memasuki Kota Luwu atau bermukim di sana, maka militer Indonesia akan menghancurkan seluruh kota dan seisinya.
Seterusnya, TNI melancarkan serangan balasan yang kuat, dengan mengirimkan satu batalyon di bawah komando Mayor Magenda dari Bone, satu batalyon di bawah Mayor Mahfud dari Sengkang, dan satu batalyon lagi di bawah Mayor Andi Mattalatta. Kesemuanya adalah untuk memerangi anak buah Kahar Muzakkar yang sampai ketika itu ditaksir paling sedikit berjumlah 3.000 orang. Pada 9 Juli juru bicara TT-VII, Mayor Saleh Lahade, mengumumkan bahwa operasi pembersihan masih dilakukan di sebelah utara Pare-Pare, di Soppeng dan di Bone. Juga dilaporkan bahwa dalam operasi-operasi menghadapi gerombolan Kahar Muzakkar tersebut, pihak militer Indonesia atau TNI telah kehilangan 34 orang anggotanya. Sedang kaum pemberontak sebanyak 211 orang.
Saleh Lahade menegaskan [sekaligus menuding] bahwa Kahar Muzakkar nyata telah menggabungkan diri dengan Darul Islam (DI), dan ia berkata bahwa Kartosuwirjo (Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo) telah gagal dalam usahanya untuk mengirimkan bala bantuan. Ia menggunakan kesempatan itu untuk mengumumkan bahwa TT-VII telah mengeluarkan suatu dekrit yang menetapkan hukuman penjara sampai 25 tahun atau hukuman mati bagi mereka, pengikut atau gerombolan Kahar Muzakkar, yang bersalah melakukan pembunuhan, sabotase, pemaksaan, intimidasi, pemilikan senjata api, atau menimbulkan kekacauan di Sulawesi Selatan khususnya.
Suatu kajian mendalam mengatakan, menjelang akhir 1958 anak daerah Sulawesi Selatan (secara evolusi) telah mengambil alih jabatan tertinggi sipil dan militer di daerahnya, dan langkah-langkah awal telah diambil untuk memindahkan pasukan-pasukan dari Jawa, yang kehadirannya mau tidak mau telah memberi aspek konflik kesukuan kepada usaha untuk memadamkan pemberontakan. Dan dengan demikian tersendiri itu telah mengakibatkan membesarnya dukungan rakyat terhadap Kahar Muzakkar dan Darul Islam-nya.
Sangat sedikit daerah di Sulawesi Selatan dan Tenggara yang benar-benar ada di bawah kekuasaan putra-putra daerah itu sendiri, dan akibat langsung dari penarikan mundur pasukan-pasukan Brawijaya dan Diponegoro di sana adalah meluasnya kekuasaan Darul Islam dan yang mengklaim diri mereka sebagai pasukan Tentara Islam Indonesia (TII). Pada Februari 1958 ada laporan-laporan bahwa Kahar Muzakkar telah meningkatkan kegiatannya di dekat Kota Makasar dan Malino sejak Desember tahun sebelumnya, dengan harapan akan dapat mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Tetapi dengan dimasukkannya bekas-bekas pemberontak TKR dan TRI ke dalam RI-23 dan RI-Hasanuddin, barisan anak daerah dalam TNI bertambah hampir dua kali lipat, dan dengan dibukanya depot latihan Malino, suatu langkah awal telah diambil untuk meningkatkan kemampuan militer mereka.
Sementara Kahar Muzakkar tertinggal dengan kesepian sendiri di dalam arena militer dan politik di daerahnya, patut untuk dicatat anak daerah yang mengambil alih jabatan-jabatan yang diakui secara resmi di daerah itu tanpa kecuali adalah dari kalangan aristokrasi, misalnya Andi Pangeran sebagai gubernur, Andi Mattalatta sebagai panglima KDM-SST, Andi Rifai sebagai komandan RI-23, Andi Jusuf sebagai komandan RI-Hasanuddin, untuk menyebutkan beberapa nama saja. Ini adalah tahun-tahun ketika terjadi apa yang disebut Banjir Andi.
Tentulah bukan hanya pada jabatan-jabatan puncak ini saja kaum aristokrasi tampil ke permukaan. Struktur pemerintahan daerah telah dire-organisasikan selama 1957, dan kabupaten dibagi menjadi unit-unit yang lebih kecil yang perbatasan wilayahnya lebih mirip dengan daerah-daerah swapraja sebelumnya yang terpenting. Bone, Gowa, Luwu, Soppeng, Wajo dan Tanah Toraja, dijadikan satuan-satuan tersendiri, dan dalam empat satuan yang tersebut lebih dahulu, para penguasa tradisional ditunjuk sebagai kepala daerah. Rakyat di Bone dan Luwu dikatakan telah mengajukan permintaan agar Andi Mappanjukki dan Andi Djemma ditunjuk sebagai kepala daerah di kedua kabupaten tersebut, dan menerima usul-usul Andi Pangeran agar Raja Gowa dan Soppeng, sekalipun mereka bukan pendukung revolusi di masa sebelum ini, namun karena alasan-alasan politik psikologis, keduanya ditunjuk sebagai kepala daerah di daerah mereka masing-masing tersebut tadi.
Membaca alam pikiran politik di daerah tersebut pada masa itu, sejumlah besar anggota DI/TII tang dipimpin Kahar Muzakkar begitu terkesima. Tak pelak mereka pun meletakkan senjata dan menyatakan bersedia menyerahkan diri langsung kepada pemerintah Sulawesi Selatan yang baru, terutama kepada panutan mereka Arumpone Andi Mappanjukki yang dikenal kharismatis.
Adalah dua orang pesaing utama dalam 1950 dalam memperebutkan kedudukan militer tertinggi di Sulawesi Selatan, masing-masing Kahar Muzakkar dan Saleh Lahade, di mana keduanya memang bukan berasal dari kalangan aristokrasi yang diakui di sana. Sekitar 1957, Kahar Muzakkar dengan dukungan aristokrasi yang semakin merosot jumlahnya, memegang kekuasaan efektif atas sebagian besar Sulawesi Selatan. Sekalipun tuntutannya semula agar Sulawesi Selatan diperintah oleh anak daerah telah dipenuhi, tuntutannya untuk pengakuan pribadi tidak terkabul, dan ia sendiri masih tetap di hutan, dan alih-alih kemudian dicap sebagai seorang pemberontak.
Sedangkan Saleh Lahade, disebabkan pendidikannya yang tinggi dan hubungan eratnya dengan Andi Mattalatta, pada hakikatnya adalah bagian dari kelompok aristokrasi yang mengambilalih kekuasaan di kota-kota. Sekalipun ia dalam status tidak aktif di militer Indonesia, TNI, sejak 1952 sampai 1956, namun ia tetap mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat kecil cendikiawan sipil di Makassar. Setelah tugas singkatnya sebagai Kepala Staf Komando DPSST dan kemudian sebagai Kepala Staf Pemerintah Militer Permesta, sekitar pertengahan 1957 ia sekali lagi menjadi orang tanpa pekerjaan. Keterlibatannya dalam Permesta telah membawanya menjadi tokoh daerah dan nasional pada bulan-bulan pertama 1957, tetapi pada awal 1958 ia harus membayarnya dengan karier dan kebebasannya.
Penghujung 1958 Permesta telah meluas menjadi pemberontakan daerah yang melanda Indonesia. Sebetulnya krisis itu telah berkembang sejak 1956. Sepanjang 1957 telah dilakukan usaha untuk mengatasinya, yang mencapai puncaknya pada Musyawarah Nasional (Munas) September 1957 dan Musyawarah Pembangunan Nasional November 1957. Dalam Munas, sebuah Panitia Tujuh dan sebuah Panitia Pencari Fakta dibentuk khusus untuk menangani masalah personalia dalam militer Angkatan Darat. Sebelum kedua panitia ini menyelesaikan tugasnya, dan di tengah berlangsungnya Konferensi Pembangunan Nasional terjadilah Peristiwa Cikini, suatu usaha membunuh Presiden Soekarno. Pemerintah menuduh tindak kejahatan itu dilakukan para pengikut Kolonel Zulkifli Lubis, yang sejak November 1956 bersembunyi, dan diketahui berhubungan dengan para Kolonel pembangkang di Sumatera yang terkait langsung dalam PRRI di sana.
Peristiwa Cikini telah menaikkan suhu panas kecurigaan dan suasana tegang antara pemerintah pusat dan para kolonel yang memberontak sedemikian rupa. Sehingga persetujuan seperti tidak mungkin tercapai. Persetujuan menjadi tidak mungkin ketika para kolonel itu ditawari bantuan oleh CIA Amerika Serikat.
Suatu kontak diadakan Desember 1957, dan diresmikan dalam suatu pertemuan di Sungai Dareh, Sumatera Barat 8 Januari 1958. Janji bantuan senjata, pesawat terbang, dan kemungkinan pengakuan AS terhadap sebuah pemerintahan anti-komunis di Indonesia, telah membesarkan hati kaum pemberontak dalam tuntutan-tuntutannya kepada rezim pemerintahan Soekarno. Dalam pada itu, dengan diketahuinya keterlibatan kekuatan asing (karena sudah bukan rahasia lagi) telah memperkuat tekad pemerintah pusat menolak berbagai tuntutan kaum pemberontak dan untuk mengambil tindakan cepat dan menentukan terhadap mereka.
Kenyataan, pemberontakan Kahar Muzakar setelah 1962 bukan lagi ancaman sebesar yang pernah terjadi sebelumnya. Sekalipun Kahar Muzakkar sendiri sebagai seorang yang dielu-elukan, khususnya para simpatisannya, sebagai pahlawan rakyat legendaris masa itu, masih mendapat dukungan luas. Sebagian besar basis nyata untuk pemberontakan itu memang telah hilang. Namun belakangan perlu untuk memburu dan menghabisinya dengan tujuan akhir agar pemberontakan itu musnah dan berakhir total.
Untuk menempuh itu, memadamkan sentimen daerah serta melenyapkan sebuah pemberontakan, diputuskan pada 1963 diperlukan pasukan tambahan untuk mengakhiri pemberontakan itu sampai tuntas. Pada 28 Oktober 1963, tiga batalyon Divisi Siliwangi, Jawa Barat, mendarat di Parepare masing-masing Batalyon 303, 323, 321 dan pada 26 Februari 1964 satu batalyon tambahan 330/Kujang menggabungkan diri dengan mereka.
Batalyon Kujang merupakan pasukan para elit lintas udara (linud) yang telah memperoleh pengalaman tempur di dalam kampanye Irian Barat selama 1961–1962, mempunyai persenjataan berat dan perlengkapan baik berupa helikopter serta peralatan modern lainnya yang membuatnya tangguh. Pasukan Siliwangi dipilih untuk tugas ini karena beberapa alasan. Di antaranya, mereka mempunyai pengalaman dalam memerangi DI di Jawa Barat; mereka sendiri dipandang adalah sebagai militer yang berlatar orang-orang muslim yang lebih taat dibanding dengan pasukan-pasukan Jawa dari Brawijaya dan Diponegoro. Dan dengan demikian memiliki pandangan religius yang sama dengan rakyat Sulawesi Selatan. Serta mereka masih mempunyai reputasi baik atas kerjasama mereka dengan pasukan-pasukan gerilya dalam pertempuran dengan KNIL di Makassar dalam Mei dan Agustus 1950.
Sungguh pun begitu, guna menghindari masalah yang timbul sebelumnya dengan pasukan dari Jawa, mereka diberi briefing dengan teliti dan dilengkapi informasi terperinci mengenai kebudayaan dan kebiasaan masyarakat setempat.
Sebuah mata rantai, sejak adanya persetujuan Juli 1962 untuk menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, Angkatan Laut yang telah mendapat sejumlah kapal dalam persiapan operasi tersebut, mampu mengadakan patroli di lautan lebih intensif, dan gangguan yang diakibatkannya pada kaum penyelundup telah mengikis basis ekonomi bagi kekuasaan mandiri. Tentu sekali bukan hanya Kahar Muzakkar melainkan juga para penguasa perang TNI sendiri di sana, sebutlah semisal Andi Sose dan Andi Selle. Selama 1962 Andi Jusuf juga berusaha mendisiplinkan para penguasa perang TNI ini.
Dalam suatu reorganisasi staf yang diperintahkan pada 10 Maret 1962, Andi Sose dan Andi Solle dipindahkan dari kedudukan komandonya di Pare-Pare dan Polewali ke kedudukan staf di markas besar Kodam. Tetapi mereka rupanya tidak pernah memegang posisi yang diberikan di sana, atau mungkin sekali hanya memegangnya dalam waktu yang sangat singkat, karena menjelang akhir 1963 keduanya telah digantikan. Dalam tahun itu, Andi Selle dipensiunkan dan kemudian ia tinggal di Pinrang di rumahnya. Sedangkan Andi Sose diangkat menjadi komandan RI-Hasanuddin. Andi Selle adalah komandan CTN pertama yang diresmikan 17 Agustus 1951.
Andi Selle belakangan dipandang sebagai sumber utama suplai bagi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan ia menjadi kaya dari perdagangan barter yang dipercayakan kepadanya, sebagaimana juga diberikan untuk Andi Sose. Sebagai bagian dari operasi-operasi yang dilancarkan terhadap Kahar Muzakkar pada 1963 dan 1964, Andi Jusuf berusaha agar Andi Selle khususnya dipastikan untuk tidak akan membantu Kahar Muzakkar seperti yang dilakukannya di waktu lampau. Kira-kira pada waktu yang bersamaan terjadi suatu peristiwa yang menyangkut pasukan yang berada di bawah komando Andi Selle dan batalyon Aziz Taba. Andi Selle curiga bahwa peristiwa itu ditujukan kepada dirinya.
Pada 5 April 1964 Jusuf pergi ke Pinrang untuk menemui Andi Selle, untuk meyakinkannya agar tidak menghalangi operasi TNI yang waktu itu sedang dilancarkan terhadap Kahar Muzakkar. Setelah pertemuan itu, Andi Selle menyetujui ajakan Jusuf untuk pergi bersama Jusuf dalam satu kendaraan ke Makassar, menghindarkan kecurigaan pada rakyat setempat ada masalah di antara mereka, dan memberikan bukti mereka telah mencapai suatu persetujuan.
Andi Selle dengan segan menyetujuinya, menggabungkan diri dengan Jusuf, Letnan Kolonel Sugiri (Komandan CPM), Komisaris Polisi Drs Mardjaman, Kapten Andi Patonangi bekas komandan batalyon 003 dan seorang pengemudi dalam kendaraan Jusuf. Anak buah Andi Selle rupanya curiga terhadap maksud-maksud Jusuf, lalu mereka masuk antara mobil panglima dan pengawalnya. Ini tidak sesuai dengan rencana dan Jusuf memerintahkan mobil berhenti. Ia dan Andi Selle melompat keluar mobil, Andi Selle memberi perintah untuk menembak Jusuf.
Terjadi hujan peluru, namun Jusuf selamat dengan tidak terkena sebutir timah panaspun, sedangkan Sugiri dan Suraksono yang ada di salah satu kendaraan pengawal keduanya tertembak mati. Selle sendiri semula berhasil meloloskan diri, maka Jusuf dan rombongan kembali ke Makassar. Hari berikutnya Jusuf ke Jakarta melaporkan peristiwa tersebut kepada Nasution, Yani dan tentu kepada Soekarno. Yani yang kemudian menggantikan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat pada 1962 ketika perwira senior itu diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata, mengatakan tidak akan ada perundingan lagi dengan pemberontak manapun di Sulawesi Selatan. Dan situasi di sana harus dijernihkan.
Jusuf kemudian meminta Kolonel Solihin GP dari Divisi Siliwangi diangkat sebagai Kepala Staf Operasi Militer yang akan dilancarkan terhadap Andi Selle dan terutama sekali terhadap Kahar Muzakkar. Sebagai bagian dari operasi pembersihan, tindakkan juga diambil terhadap Andi Sose. Ia digunakan sebagai kurir di waktu lampau, baik ke Kahar maupun ke MBAD, dan ia dikirim oleh Jusuf ke KSAD Yani pada antara 5 dan 15 April 1964 membawa surat memerintahkan penangkapan dirinya. Ia tidak pernah diajukan ke pengadilan, dan dibebaskan pada 1965, setelah Solihin GP menggantikan Jusuf sebagai panglima, ketika Jusuf diangkat menjadi Menteri Perindustrian Juli 1965.
Pasukan Siliwangi yang diterjunkan memerangi Kahar mula-mula dihadapkan kepada Andi Selle. Pada 12 September 1964 dilaporkan Andi Selle telah ditembak. Penghujung 1964 pasukan Siliwangi, di bawah komando Solihin, berhasil memburu Kahar Muzakkar dan sisa-sisa gerombolan DI/TII sampai memasuki wilayah Sulawesi Tenggara. Di sana, dekat Sungai Lasolo suatu patroli Siliwangi dari Batalyon 330/Kujang, dengan petunjuk suara dari radio transistor Kahar Muzakkar, mengepung perkemahannya. Kali ini Kahar Muzakkar tidak dapat melarikan diri sebagaimana kegagalan penangkapannya sebelum-sebelum ini.
Pemberontakan atau pergolakan yang sedemikian lamanya melanda Sulawesi Selatan adalah refresentatif suatu pergolakan internal di lingkungan daerah itu. Pada mulanya adalah untuk memperebutkan kedudukan dan penguasaan atas sumber-sumber, ekonomi, dan merupakan protes terhadap pelbagai kebijaksanaan nasional yang dianggap bertentangan dengan kepentingan daerah dan pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya secara langsung. Sedang, untuk sebagian kenyataan, disebabkan karena kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditetapkan di tingkat nasional sangat mempengaruhi hasil persaingan di tingkat daerah untuk memperebutkan kedudukan. Maka begitu perjuangan internal untuk kekuasaan di Sulawesi Selatan mengambil aspek-aspek pertentangan antara pusat-daerah.
Sesungguhnya, di dalam persaingan untuk memperebutkan kedudukan terjadi tidak hanya di daerah Sulawesi Selatan. Melainkan juga dalam unit-unit politik dan administratif yang lebih besar yang mencakup daerah itu pula. Sejak 1938, di masa kolonial Hindia Belanda berkuasa, Sulawesi Selatan secara administratif merupakan bagian dari Indonesia Timur, sebuah wilayah yang mencakup dua daerah Hindia Belanda yang mempunya tingkat pendidikan dan melek huruf tertinggi, yaitu Minahasa dan Ambon.
Rakyat Sulawesi Selatan yang kurang berpendidikan mendapati diri mereka, dalam kedudukan yang tidak menguntungkan dalam bersaing dengan orang-orang dari daerah-daerah ini baik untuk kedudukan pribadi maupun kedudukan di dalam struktur birokrasi pemerintahan. Sekalipun hal ini mungkin telah menyelamatkan banyak kepala dan penguasa setempat dari noktah hitam kolaborasi dengan penguasa kolonial, maka dengan begitu mempertahankan kedudukan kaum ningrat yang kuat di dalam masyarakat Sulawesi Selatan, keadaan tersebut kurang mempersiapkan mereka dalam memegang kedudukan yang bertanggung jawab setelah kemerdekaan kemudian nanti.
Makassar sebagai Ibukota Pemerintah Timur Besar pada masa sebelum Perang Dunia II, kemudian pemerintahan Angkatan Laut Jepang (Kaigun), dan di masa rezim pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT), menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan untuk kepulauan sebelah timur Indonesia. Dengan begitu, maka kota ini ditarik ke dalam kesadaran-kesadaran nasional yang berkembang lebih awal dan lebih dalam lagi bila dibanding dengan daerah pedalaman Sulawesi Selatan lainnya.
Pemusatan pendidikan bahasa Belanda di Makassar, dan penyebarluasan sekolah dan organisasi Islan di daerah pedalaman, mempunyai akibat penting dalam perpecahan yang berkembang di Sulawesi Selatan antara kota dan hutan kemudiannya nanti. Belakangan kemudian, di Sulawesi Selatan sendiri, perpecahan timbul di barisan Darul Islam pada 1959. Karena dukungan rakyat terhadap pemberontakan dikaitkan dengan kepercayaan dan simpati terhadap komandan setempat yang pada gilirannya setia kepada Kahar Muzakkar, maka manakala ketika kepercayaan antara Kahar Muzakkar dan para komandan bawahan, dalam hal ini khususnya khususnya Bahar Mattalioe semakin larut, banyak dukungan kepada pemberontakan itu menghilang.
Sangat lamanya waktu pemberontakan Kahar Muzakkar berlangsung, dan makin banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh sebabnya sesudah 1956, serta tak terlihat adanya hasil nyata dari tujuan pemberontakan yang diproklamirkan Kahar Muzakkar itu, telah mengkristal dan menimbulkan kekecewaan kepada rakyat dengan kesediaan mereka untuk kembali ke pangkuan Republik Indonesia.
Pada 3 Februari 1965 Kahar Muzakkar tertembak dan mati. Jasadnya dikirim kembali ke Makassar dengan helikopter; konon kuburannya sampai belakangan tidak pernah diungkapkan. Setelah kematiannya Februari 1965 istrinya Corrie dan sejumlah pendukungnya melaporkan diri kepada pemerintah. Gerungan tertangkap 19 Juli 1965; ia diadili oleh pengadilan sumir dan dihukum mati. Kaso Gani menghilang, Sanusi Daris mengundurkan diri ke rumahnya di Enrekang, tempat ia bersama sekelompok kecil pengikutnya hidup dengan tenang pada tahun 1972, ia tidak pernah menyerah, tetapi tidak menyebabkan kesulitan.
Kahar Muzakkar sebelum kematiannya, di hari-hari menjelang ajalnya tiba, pernah bersumpah bahwa ia tidak akan memasuki Makassar lagi kecuali sebagai Komandan Militer Sulawesi Selatan. Ini adalah sumpah yang ditepatinya, karena seorang Bugis sejati tidak akan mengingkari janjinya, dan sekali layar dipasang ia tidak akan kembali kalau belum sampai ke tujuannya.
Kahar Muzakkar tidak memasuki Makassar, hanya jasadnya yang masuk di sana …
Sabtu, 12 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar