Sabtu, 12 September 2009

KAHAR MUZAKKAR PEMBERONTAK PEJOANG (I)

KAHAR MUZAKKAR PEMBERONTAK PEJOANG (I)
PERSILANGAN IDEOLOGI
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Pemberontakan, begitu sebutan melekat kemudiannya, yang digerakkan Kahar Muzakkar dimulai dari sebuah perselisihan tentang status militer dan suatu tuntutan akan kedailan. Mulanya, grilyawan Sulawesi Selatan menuntut agar mereka diterima ke dalam TNI sebagai pengakuan atas sumbangan mereka untuk revolusi. Kahar Muzakkar, sebagai perwira yang paling senior dari Sulawesi Selatan masa tersebut, menuntut pengakuan atas hak historisnya untuk menjadi komandan militer di Sulawesi Selatan.

Dua tuntutan itu digabungkan dalam desakan Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) agar mereka diakui sebagai divisi atau Brigade Hasanuddin, di bawah komando Letnan Kolonel Kahar Muzakkar. KGSS yang dibentuk Saleh Sahban atas perintah Kahar Muzakkar sebetulnya adalah organisasi yang dipakai kaum revolusioner untuk dapat memperjuangkan tuntutan–tuntutan mereka, dan memberikan pada Kahar Muzakar pengikut yang kuat untuk mendukung tuntutannya atas kedudukan komando teritorial.

Akan tetapi dalam perkembangan terakhir, yang terlibat di dalamnya adalah lebih dari persoalan status pribadi. Mereka justru mencari pembenaran atas pemberontakan yang dilakukan bagi diri mereka sendiri, dan menerima dukungan dari rakyat, atas dasar cita-cita Revolusi 1945, dan atas tuntutan agar sumbangan mereka kepada revolusi itu diakui.

Digariskan, bahwa Sulawesi (Selatan) telah menderita selama revolusi itu, di mana 40.000 rakyatnya menjadi korban teror Belanda, dan kemerdekaan yang dihasilkan oleh revolusi itu hanya akan mempunyai makna bagi rakyat Sulawesi apabila pengorbanan mereka diakui sebagimana pengorbanan rakyat Jawa dan Sumatera. Penolakan terhadap berbagai tuntutan para pejuang itu dirasakan oleh rakyat sebagai suatu penolakan terhadap peranan mereka sendiri di dalam revolusi.

Mereka sesungguhnya bangga mempunyai seorang pejuang Kahar Muzakkar, akan tetapi mereka kecewa karena tuntutannya tidak diterima. Maka mereka merasa mereka sudah tidak diterima, dan menurut mereka pula seakan perjuangan yang telah mereka lakukan sama sekali tak dihargai. Maka, Kahar Muzakkar dan KGSS pun mengklaim kalau telah sepenuhnya mendapat dukungan dari rakyat.

Namun setelah 17 Agustus 1951, argumen yang dikemukakan itu seakan kehilangan sebagian dari kekuatanya. Sebuah persetujuan sebagai suatu kompromi antara desakan Angkatan Darat mengenai penyaringan dan penerimaan para gerilyawan secara perorangan ke dalam TNI dengan tuntutan Kahar Muzakkar beserta KGSS agar Brigade Hasanuddin diakui dan dilantik sebagai satu unit integral di bawah kamando Kahar Muzakkar. Sekarang itu setelah TNI bersedia menerima kaum gerilyawan dalam satuan–satuan berukuran batalyon di bawah komandan–komandan mereka sendiri, maka mereka yang menolak kompromi itu sesegeranya dituduh hanya memikirkan kedudukan mereka sendiri. Tak terkecuali terhadap Kahar Muzakkar sendiri.

Terasa sukar membenarkan sebuah pemberontakan hanya atas dasar perbedaan kebijaksanaan bahwa NIT telah dibubarkan dan Negara Kesatuan telah menggantikan negara federal pada 1950, ditambah dengan berbagai kritik terhadap Persetujuan Meja Bundar, terhadap tetap didudukinya Irian Barat oleh Belanda, dan berlanjutnya penguasaan Belanda atas perekonomian Indonesia. Semua slogan berkaitan etos revolusioner yang digunakan Kahar Muzakkar selama 1950 dan 1951 merupakan kelaziman umum dari perdebatan politik dalam birokrasi yang sah.

Namun kalangan pejuang masih ada di hutan. Sekalipun kebanyakan dari mereka belum dapat menerima kenyataan untuk turun dan menyerah, tetapi tak sedikit dapat diyakinkan untuk kembali ke pangkuan republik. Andi Selle tak lebih merupakan seorang komandan gerilyawan yang pertama peka terhadap janji pengangkatan sebagai kapten dalam TNI dengan komando atas satu batalyon anak buahnya sendiri. Sekalipun demikian, sangatlah sukar bagi orang–orang yang tinggi hati dan berwatak keras ini untuk mengangkat tangan dan menyerah, sehingga perundingan agar mereka kembali kepangkuan republik, begitu sebutan populernya, menghabiskan banyak waktu. Dan biasanya ditangani oleh para perwira TNI yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan mereka. Atau yang telah bersama bertugas dengan mereka selama revolusi fisik di Jawa atau di hutan-hutan.

Penghujung 1951 suatu usaha merundingkan pemecahan masalah dengan Kahar Muzakkar. Desember 1951 hingga Maret 1952, Gubernur Sulawesi Sudiro, kembali dengan bantuan Ny Salawati Daud, berusaha menemui Kahar Muzakkar. Mulanya Kahar Muzakkar setuju bertemu pada Januari 1951, kemudian ia mengusulkan penundaan sampai Maret. Ketika Sudiro tiba di tempat pertemuan yang direncanakan dekat Palopo, diperoleh pesan dari Kahar Muzakkar bahwa ia tidak datang karena khawatir diperdaya dan ditangkap.

Sebetulnya, karena Gubernur Sudiro tak ingin memberi Kahar Muzakkar alasan curiga, ia datang tanpa pengawalan militer. Sekalipun usahanya untuk bertemu Kahar Muzakkar telah disetujui Warouw yang waktu itu menjabat Kepala Staf TT-VII, jadwal dan lokasi tidak dikoordinasikan dengan Warouw, dan operasi militer berjalan terus di wilayah itu saat tersebut. Sudiro memberi jawaban kepada Kahar Muzakkar bahwa pemerintah Indonesia tidak securang pemerintah kolonial Belanda, dan Sudiro sendiri menjaminkan dirinya akan tinggal sebagai sandera selama Kahar Muzakkar setuju dan pergi ke Jawa untuk bertemu pemerintah pusat.

Namun dengan tegas Kahar Muzakkar tak menerima tawaran ini. Dengan bantuan salah satu komandan batalyon bentukan Kahar Muzakkar, yaitu Andi Tenriadjeng, Ny Salwati Daud berhasil menemui Kahar Muzakkar. Namun ia juga gagal meyakinkannya untuk bertemu Gubernur Sudiro, terlebih dengan pemerintah pusat. Mereka yang memilih tetap tinggal di hutan masih menghadapi masalah memberikan pembenaran diteruskannya pemberontakan. Slogan-slogan nasionalis yang berkaitan dengan revolusi, yang berhasil mempertahankan gerilyawan pada 1950, terlalu luas dimiliki bersama dengan kekuatan–kekuatan politik yang dominan setelah 1952 untuk membenarkan suatu pemberontakan.

Sesungguhnya, di dalam diri Kahar Muzakkar, campuran ideologi Nasionalisme, Islam, dan Marxisme adalah tiga kekuatan yang tak dapat dipisahkan. Dan perpaduan ketiganya pula yang meresap dam membentuk watak khas di dalam kehidupan Kahar Muzakar. Ia telah dididik dan diajar di sekolah Muhammadiyah. Ia dibuang dari Luwu karena serangannya terhadap sistem feodal di sana. Selama masa revolusi ia bekerja di Biro Perdjuangan di bawah pengaruh Amir Sjarifuddin dan Djokosujono, dan sejumlah orang yang bersekutu erat dengan golongan kiri.

Di dalam tulisannya sendiri, dan dalam gaya hidupnya, terdapat unsur-unsur dari apa yang bisa dianggap sebagai ideologi dan praktek Marxisme. Ia mendasarkan falsafah kenegaraannya tidak hanya atas agama Islam, tetapi atas keadilan sosial dan demokrasi sejati. Kahar Muzakkar terus menentang watak feodal lokal dari masyarakat Sulawesi Selatan, dan melarang para pengikutnya memakai gelar kebangsawanan. Ia menyerang dipertahankannya hubungan dengan Belanda, dan berlanjutnya dominasi ekonomi mereka di negeri ini, serta terus dikuasainya Irian oleh Belanda.
Kahar Muzakkar sendiri hidup sederhana. Satu-satunya tanda yang membedakan ia dari anak buahnya ialah ia memakai sepatu, memiliki satu unit pesawat radio transistor, dan kumpulan istri yang lebih banyak dari biasanya. Sebuah kenyataan, tidak begitu pasti berapa lama setelah Kahar Muzakkar menabuh genderang pemberontakannya, atau sebagian menyebutnya perjuangan, dengan pelariannya ke hutan Sulawesi Selatan Juli 1950, segera dihubungi sejumlah wakil dari beberapa organisasi yang beraliran komunis dan maupun yang berfaham Islam militran, masing-masing melalui refresentatif Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Darul Islam (DI).

Seorang perempuan politisi Bugis Salawati Daud, yang memainkan peranan begitu penting dalam upaya mengatur perundingan dengan Kahar pada 1950 dan 1951, dituding segelintir pihak dengan pendapatnya sebagai salah seorang pembawa pengaruh kiri pada diri Kahar Muzakkar. Namun, waktu itu ia masih menjadi anggota partai lokal di Makassar, PKR, kemudian kelak 1955 Salawati Daud bergabung dengan PKI saat ia menerima dukungan orang-orang berideologi komunis sebagai salah seorang calon dalam pemilihan untuk DPR 1955.

Sedang dari sebuah sumber lain mengingatkan, Salawati Daud adalah orang yang melaporkan kepada pemerintah dan militer pada akhir 1950, atau sekitar awal 1951, bahwa PKI telah mengirim dua anggotanya, di mana keduanya adalah orang Indonesia Keturunan Cina dari Jawa yang berupaya keras memengaruhi Kahar Muzakkar. Kemudian sebuah penyelidikan lanjut mengenai laporan ini oleh TT-VII menunjukkan laporan itu ternyata benar, namun dalam laporan terakhir ditambahkan bahwa Masyumi di satu pihak dan Darul Islam di pihak tersendiri juga berusaha mempengaruhi Kahar Muzakar.

Belakangan, menurut pengakuan atau mungkin tepatnya cerita yang diungkap Kahar Muzakkar sendiri tentang awal pemberontakan yang ditabuhnya, bahwa Comite Central (komite sentral) PKI benar telah mengirim dua orang yang telah ia kenal semasa di Pulau Jawa untuk menguhubungi dirinya pada akhir 1950. menurut Kahar Muzakkar, keduanya adalah Letnal Kolonel Pramudji rekannya di semasa Dewan Kelasjkaran, dan Mohammad Junus, seorang teman sekelasnya di sekolah Mualimin Muhammaddiyah di Solo.

Dikatakan Kahar Muzakkar dalam keterangan resminya bahwa Mohammad Junus ditunjuk sebagai wakil resmi atau utusan refresentatif PKI untuk wilayah Sulawesi dan Maluku, selaku wakil Karet Supit, dan ia telah membuka kantor di rumah Paiso, seorang anggota PKI, di Makassar.
Dalam dua cerita tadi, pengutipan dari Salawati Daud dan Kahar Muzakkar yang masing-masing memberikan keterangan tersendiri, namun membenarkan bahwa dua delegasi tersebut bertemu dengan Kahar Muzakkar dengan sejumlah komandan versinya, di mana Kahar Muzakkar menyebutkan beberapa nama seperti Saleh Sahban, Kaso Gani, Andi Tenriadjeng, Andi Selle dan Andi Sose di pihak dirinya, bahwa setuju untuk membentuk sebuah Badan Kerja Sama (BKS) untuk mendukung persatuan nasional dan memotong hubungan kolonial yang terjalin oleh tipu muslihat dari Persetujuan Linggarjati, Renville, dan Konferensi Meja Bundar, yang sampai saat itu masih mengikat Republik Indonesia.

Langkah pertama dalam jalinan kerja sama ini, Kahar Muzakkar meminta Pramudji mengirim bantuan militer kepada seorang perwira Jepang yang menggunakan nama samaran Umar, yang merupakan satu di antara sekian jumlah perwira semacam itu di dalam Barisan Sakit Hati di Jawa. Tak langsung dipenuhi, dua tahun kemudian, karena Umar yang dimaksudkan belum kunjung tiba, maka Kahar Muzakkar mengirim seorang kurir ke Pulau Jawa. Kurir ini bernama Hasjim kelaknya kembali ke Makassar dengan disertai bukan oleh Umar yang dinanti dan dijanjikan, melainkan diikuti Kadarisman, mantan mayor, yang untuk lolos menemui Kahar Muzakkar ketika itu menggunakan nama samaran Pitojo.

Sebetulnya eks Mayor Kadarisman yang terlibat di dalam Peristiwa Madiun 1948, adalah orang yang bersebarangan dengan Kahar Muzakkar saat tersebut. Kadarisman mendukung pemberontakan PKI di Madiun dan melakukan perlawanan terhadap militer Indonesia dengan melucuti dua kompi di bawah komando Letnan Sjamsul Bachri dan Letnan Eddy Sabara. Seorang delegasi PKI lainnya yang akan menemui Kahar Muzakkar segera menyusul, adalah Jusuf Karnain, yang belakangan ini dibawa Andi Kuso yang juga dikenal sebagai Akas P. Ia adalah seorang anak lelaki juru bicara Hadat Luwu, Andi Pangerang. Kehadiran Pitojo dan Jusuf Karnain belakangan itu diketahui luas di Sulawesi Selatan. Pitojo diberitakan mengajarkan anak-anak sekolah dasar di daerah Enrekang untuk menyanyikan lagu Internasionale. Juga dilaporkan secara luas Pitojo dan Jusuf Karnanin diperintahkan untuk dibunuh oleh Kahar Muzakkar, sekitar akhir 1952 atau awal 1953 setelah Kahar Muzakkar memutuskan bahwa pemberontakan yang dipimpinnya itu tidak akan berdasarkan faham komunisme.

Masih dalam pengakuan terakhirnya, Kahar Muzakkar yang memilih ideologi Islam dan menolak faham komunisme untuk gerakan sparatis yang dikomandaninya itu namun sedikitpun tidak memberikan cerita terinci yang sama mengenai hubungannya dengan Darul Islam. Sedangkan menurut sumber-sumber resmi dari militer Angkatan Darat Indonesia dikatakan bahwa Kahar Muzakkar menggabungkan diri dengan Darul Islam pada 16 Agustus 1951 ketika ia kembali ke hutan setelah persetujuan CTN-TNI mengalami kegagalan.

Sumber militer mengatakan pula, pada penghujung 1951 TT-VII mendapat salinan atau copy surat-menyurat antara lain copy surat tertanggal Januari 1952. Maka, Angkatan Darat menggunakan fotocopi ini, yang belakangan oleh beberapa kalangan menilai [menegaskan] bahwa copy itu adalah palsu [dipalsukan], dalam kampanye uitholling-nya dalam rangka strategi menarik para komandan batalyon sendiri-sendiri agar menjauhi sekaligus menjadikan Kahar Muzakkar musuh bersama mereka.

Kahar muzakkar dengan tegas membantah bahwa ia telah menulis surat-surat semacam yang dimaksudkan itu, dan di sisi lain, ia menolak keras tudingan bahwa perubahan nama KGSS/CTN menjadi Tentara Kemerdekaan Rakjat (TKR) Maret 1952 dilihat sebagai tanda bahwa pada waktu itu Kahar Muzakkar masih tertarik kepada faham komunisme atau setidaknya Marxisme sebagai dasar pemberontakan atau gerakan yang dipimpinnya.

Akhirnya, kekuatan yang dimiliki Kahar Muzakkar berhasil ditipiskan melalui kampanye uitholling Gatot Soebroto, ditambah ancaman aksi militer yang tidak mengendur terhadap mereka [gerombolan Kahar Muzakkar] yang masih tinggal di hutan, di satu sisi Kahar Muzakkar menghadapi kebutuhan mendesak dalam memastikan kesetiaan pasukan-pasukannya yang masih tersisa dan dukungan rakyat yang diandalkan dalam suatu situasi peperangan gerilya.

Kahar Muzakkar diberitakan telah menyelidiki para komandan bawahannya, dan ia telah memberikan opsi kepada mereka apakah perjuangan [Kahar Muzakkar menyebut gerakannya itu sebagai perjuangan] harus didasarkan pada komunisme atau Islam. Hanya Usman Balo dan Hamid Ali yang bersikap dingin terhadap gagasan sebuah Negara Islam. Bahar Mattalioe terutama yang paling berkeras bahwa hanya dengan mendasarkan perjuangannya pada Islam mereka akan dapat memperoleh dukungan dari rakyat Sulawesi Selatan.

Maka akhirnya, opsi yang dilemparkan itu menyetujui pilihan Islam sebagai dasar gerakan pada 15 September 1952, sekalipun proklamasi bahwa Sulawesi menjadi bagian dari Negara Republik Islam Indonesia, yang kerap disebut Negara Islam Indonesia atau NII, atau Darul Islam (DI) baru diumumkan pada 7 Agustus 1953, sekitar setahun setelah diterimanya opsi tersebut.

Keputusan untuk mendasarkan pemberontakan itu pada Islam, dan bukan pada komunisme-Marxisme, bukan semata hanya merupakan masalah kepercayaan atau keyakinan, melainkan dapat dimengerti menurut situasi khusus yang dihadapi oleh kaum pemberontak yaitu watak atau karakter masyarakat Sulawesi Selatan, sumber-sumber dukungan mereka, dan watak saingan serta lawan yang mereka hadapi.

Meski terjadi tak sedikit perubahan di Sulawesi Selatan selama masa penjajahan kolonial dan revolusi kemerdekaan, beberapa orang aristokrat lokal atau kalangan bangsawan setempat yang dianggap berpengaruh dan dikenal sebagai orang penting, mereka ini tetap merupakan tumpuan kesetiaan dan penghormatan rakyat. Banyak di antara kaum feodal lokal itu yang tinggi wibawanya dan memimpin peperangan atau mengobarkan perlawanan terhadap Belanda pada 1906 dan 1945. Dan sebagaian besar dari kalangan itu terhindar dari noktah hitam kolaborasi dengan aspek-aspek yang paling keras dari kekuasaan Belanda dan fasis militer Jepang.

Kaum aristokrat lokal ini juga sama mengalami penderitaan selama revolusi, mereka ikut dikejar-kejar di hutan, dipenjarakan, dan dibunuh. Mereka juga sama merasa dikecewakan dalam masa kemerdekaan, terutama tidak diterima ke dalam TNI, serta lebih kentara lagi kekecewaan itu memuncak manakala mereka menyaksikan kedudukan pimpinan di provinsi itu dijabat oleh orang-orang luar. Selanjutnya, kalangan bangsawan lokal itu telah memperoleh kembali kedudukannya yang paradoksal, yaitu dekat kepada rakyat yang dikombinasikan dengan kekuasaan atas mereka yang didikung oleh sebuah kekuatan yang adikodrati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar