Sabtu, 12 September 2009

KAMP KONSENTRASI BOVEN DIGOEL

KAMP KONSENTRASI BOVEN DIGOEL
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Tahun-tahun terakhir kekuasaan imperialis sesudah pemberontakan-pemberontakan komunis di Jawa 1926, rezim kolonial Hindia Belanda membangun sebuah kamp pembuangan massal yang kurang mendapatkan perhatian, Boven Digoel, di pedalaman Papua yang penuh nyamuk malaria di pinggiran wilayah Hindia Belanda untuk memaksa para interniran hidup normal di bawah kondisi yang tidak normal.

Boven Digoel, Tanah Tinggi Digoel, disebut demikian karena terletak di dataran tinggi Sungai Digoel. Boven Digoel bukanlah sebuah koloni narapidana. Seperti dijelaskan oleh pemerintah Hindia Belanda, pembuangan bukanlah sanksi yang dijatuhkan melalui proses hukum, penal sanction, melainkan tindakan administratif, ditetapkan oleh kewenangan istimewa gubernur jenderal, exorbitant rechten, yang bisa menentukan para interni hidup di tempat tertentu.

Digoel juga bukan sebuah kamp konsentrasi, sebagaimana dikatakan sejarawan Belanda JM Pluvier, karena tempat ini berbeda dengan kamp konsentrasi Nazi dalam hal bagaimana para penghuninya diperlakukan. Tak seorang pun di Digoel disiksa atau dibunuh seperti kamp-kamp konsentrasi Jerman. Pemerintah Hindia Belanda, hanya membiarkan para penghuni mati, menjadi gila, atau menjadi hancur.

Digoel merupakan terminal tujuan bagi kaum revolusioner, dalam terminologi kolonial Belanda dikenal dengan istilah onverzoenlijken, kepala batu, incorig, die hards, menekan ketakutan yang membuat mereka menjadi revolusioner sejati.

Pendirian kamp pengasingan massal diputuskan pada sebuah pertemuan luar biasa dewan Hindia Belanda, Raad van Nederlandsch Indie, yang diadakan 18 Nopember 1926, kurang dari seminggu sejak pemberontakan komunis yang berawal di Jawa Barat malam 12 Nopember. Pertemuan ini dipimpin oleh Gubernur Jenderal ACD de Graeff dan dihadiri oleh KF Creutzberg, wakil ketua dewan, JW van der Marel, PW Filet, Ch JIM Welter, dan AM Hens, anggota dewan, Sekretaris Jenderal (algemeene secretaris) GR Erdbrink, Gubernur Jawa Barat WP Hillen, Direktur Kehakiman D Rutgers, Direktur Administrasi Internal (binnenlandsch bestuur) AH Mass Geesteranus, jaksa Umum (procureur generaal) HGP Duyfjes, wakil pemerintah untuk urusan umum di Volksraad JJ Schrieke, dan deputi penasihat urusan penduduk asli E Gobee.

Diputuskan pula bahwa prosedur dan formalitas yang harus dipenuhi bagi pengasingan direvisi dan disederhanakan untuk pemberlakuannya. Alasan-alasan yang diberikan dalam rancangan keputusan pengasingan harus jelas. Intinya bahwa orang yang bakal diasingkan adalah anggota PKI, Partai Komunias Indonesia, partai yang mengikuti Internasional Ketiga (Third International), dan bermaksud menggulingkan dan membentuk pemerintahan baru, bahwa PKI membentuk organisasi-organisasi ilegal, bertujuan merekrut elemen-elemen buruk, slechte elementen, melakukan tindakan kriminal melawan milik dan kehidupan para pejabat dan melawan keselamatan masyarakat.

Sementara itu, Dogoel, yang oleh Wakil Gubernur Maluku J Roest dilukiskan sebagai lingkungan gersang tak berpenghuni yang berbahaya, terisolasi, berpenduduk sangat jarang, dengan rute masuk terbatas, diidentifikasi sebagai suatu tempat yang ideal bagi kamp pengasingan massal terisolasi sepenuhnya dari masyarakat, memutuskan sebesar mungkin kontak dengannya dan selalu terpisah untuk selamanya.

Tanggal 10 Desember 1926, wilayah Sungai Digoel dipisahkan dari subdivisi (onderafdeeling) dari Papua Nugini bagian selatan melalui dekrit pemerintah dan dijadikan sebuah pemerintah subdivisi Boven Digoel dengan Tanah Merah sebagai pusat pemerintahannya. Tak lama setelah itu, Kapten L Th Becking, pimpinan kesatuan yang menghancurkan pemberontakan Nopember di Banten, dikirimkan ke Digoel dengan pasukannya yang kebanyakan berasal dari Ambon dan tawanan pekerja, convict worker, untuk membangun kamp tepat pada waktunya bagi kedatangan rombongan pertama para interni yang dijadwalkan tiba 27 Maret.

Kapten Becking dengan orang-orangnya dan tawanan pekerja tiba di Tanah Merah pada Januari 1927 dan selama dua bulan membangun barak, gudang, rumah sakit, stasiun radio, kantor pos, dan tempat mandi besar (badvlot) di aliran sungai bagi tentara dan tawanan. Rombongan pertama interni dan keluarganya tiba bulan Maret, ada 150 interni, termasuk seorang Cina, dan tiga puluh keluarga. Semuanya berpakaian rapi, dengan kostum tropis berwarna-warni, bersepatu dan kaos kaki bersih, topi, koper, dan sebuah payung yang dikempit di bawah lengan.

Penduduk Digoel terus bertambah stabil mulai saat itu. Ketika pengawas MA Monsjou tiba, bersama dengan rombongan ketujuh interni, di Tanah Merah pada 30 Oktober 1927 untuk menggantikan Kapten Becking sebagai penguasa Digoel, pihak pemegang wewenang atau administratur, penduduk kamp tercatat 930 terdiri 538 interni dan 382 anggota keluarga. Pada Februari 1928, angka ini mencapai 1.139, terdiri 666 interni dan 473 anggota keluarga. Ketika WP Hillen, anggota dewan Hindia Belanda, mengunungi Digoel pada April 1930, penghuni kamp berada pada titik puncak, dengan 2.000 orang, termasuk 1.308 interni.

Kunjungan Hillen merupakan kulminasi rangkaian investigasi pemerintah terhadap kondisi Digoel. Investigasi ini dipicu oleh artikel M van Blankenstein yang dipublikasikan di De Nieuwe Rotterdamsche Courant bulan September dan Nopember 1928, di mana ia berargumentasi bahwa terdapat korban-korban tak berdosa diasingkan di Digoel karena kesalahan. Sebagai jawaban dari tuduhan ini, pemerintah mengumumkan di Volksraad pada bulan Nopember 1929 bahwa para interni dikategorikan ke dalam tiga kelompok, aktivis partai (de onverzoenlijken), simpatisan (de halfslactigen), dan penurut (de welwillenden), dan pemerintah telah mempersiapkan pembebasan mereka yang masuk kategori ketiga ini jika pengasingan mereka tidak berdasarkan pada alasan memadai dan mereka berlaku baik di Tanah Merah.

Hillen berargumentasi bahwa tak ditemui sedikitpun bekas petani dan pedagang kecil di Digoel yang mengetahui tentang komunisme, PKI dan SR (Sarekat Rakyat). Ia merekomendasikan bahwa 412 dari 610 interni yang diwawancarainya harus dibebaskan, namun menyarankan tetap dipertahankannya Tanah Tinggi sebagai kamp interniran kedua bagi radikalis. Ia juga sangat meragukan tentang masa depan kamp interniran Tanah Merah. Ia berargumentasi bahwa kelemahan mendasar kamp ini seperti tanahnya yang tandus dan malaria harus lebih diperhatikan dibandingkan lokasinya yang terisolasi ketika memutuskan masa depan Digoel dan bahwa penarikan yang terencana secara politis masuk akal.

De Graeff secara sadar menyaksikan proyek kemanusiaannya gagal. Ia segera melaksanakan rekomendasi Hillen. Kamp di Tanah Tinggi dijadikan kamp penampungan resmi bagi para pemuka. Ia sepakat dengan Hillen mengenai keinginan untuk memindahkan kamp interniran ke tempat lain di wilayah pemerintah Maluku dan menginstruksikan direktur administrasi internal untuk membentuk komisi yang akan mempelajari masalah ini.

Pada permulaan Desember 1930 ia juga memutuskan membebaskan 2.199 interni dari Digoel. Ini barangkali satu dari beberapa keputusan yang tidak penting yang dibuat de Jonge sebagai gubernur jenderal, karena dalam memoirnya ia tidak menyebutkan tentang keputusan ini bahkan sambil lalu pun tidak. Namun waktu yang tersisa terlalu pendek bagi de Graeff untuk membangun sebuah rezim interniran yang baru. Pada bulan Mei 1931, Bonifacius Cornelis de Jonge ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menggantikan de Graeff dan mulai bekerja sejak September 1931. Pada bulan Januari 1931 de Jonge memutuskan untuk mempertahankan Digoel sebagai kamp pengasingan.

Namun sebuah preseden birokratis terbentuk dengan keputusan de Graeff untuk membebaskan para interni. Tak terpengaruh oleh perubahan kekuasaan di Buitenzorg dari de Graeff yang liberal ke de Jonge yang lebih otoriter, interni secara teratur dibebaskan setelah pembebasan pertama itu dan jumlah populasi interni memperlihatkan penurunan tajam dari tahun 1930 hingga 1936. J Th Petrus Blumberger, kepala kabinet urusan koloni di Den Haag dan orang paling ahli tentang gerakan penduduk asli di Hindia Belanda pada masanya, memberikan statistik dalam catatan yang dikirimkannya kepada menteri urusan koloni bulan Oktober 1937.

Petrus Blumberger melaporkan bahwa sekitar tiga perempat interni pada waktu Hillen menyusun laporannya telah dibebaskan sebelum Januari 1937, sementara sekitar seratus interni baru tiba di Digoel pada tahun-tahun yang sama.

Tak lama setelah AW Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menggantikan de Jonge sebagai gubernur jenderal, kantor penuntut umum pada bulan Agustus 1936 melakukan penyelidikan atas situasi 800 eks Digoel dan 2.500 eks komunis yang baru bebas dari penjara. Hasil penyelidikan ini menyatakan bahwa 45 eks Digoel dan 180 eks napi PKI masih di bawah pengawasan ketat polisi karena ancaman potensial dari mereka terhadap tatanan publik, namun hanya sebagian kecil saja dari mereka yang benar-benar memberikan ancaman serius untuk mendapatkan pembuangan kembali.

Namun hal ini tidak berarti bahwa tidak ada eks Digoelis yang dibuang kembali. Penuntut Umum Marcella menyimpulkan bahwa sudah saatnya untuk melakukan pemulangan secara bertahap para interni namun pada saat bersamaan menegaskan bahwa mereka yang berusaha mengembangkan gerakan revolusioner di bawah tanah, juga para tokoh garis keras yang dibuang di Tanah Tinggi tidak akan dibebaskan dari Digoel sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar