Sabtu, 12 September 2009

KEHIDUPAN YANG GANJIL DI BOVEN DIGOEL

KEHIDUPAN YANG GANJIL
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Digoel sungguh berada dalam isolasi yang sempurna dari titik pengawasan Hindia Belanda. Tanah Merah, pusat pemerintahan dan kawasan kamp penampungan utama, berlokasi 455 kilometer ke arah hulu Sungai Digoel, jarak dari mulut sungai ke Tanah Merah sama dengan jarak dari Batavia ke Semarang atau dari Amsterdam ke Paris, di tengah hutan belantara yang tak bersahabat, dan tepat berada di tengah Papua, dekat perbatasan Papua Nugini-Australia. Tanah Tinggi, kamp penampungan kedua, terisolasi lebih jauh lagi dari Tanah Merah, berlokasi 55 kilometer ke arah hulu sungai dari Tanah Merah. Dibutuhkan waktu tiga setengah hari untuk mencapai Tanah Merah dari mulut sungai menggunakan perahu polisi, Albatros, dan lima jam lagi dari Tanah Merah ke Tanah Tinggi dengan perahu motor.

Wilayah ini penuh nyamuk malaria, panas, lembab, gersang, dan sangat jarang penduduknya. Para tetangga interni adalah pemburu kepala serta kanibal di hutan dan buaya di sungai. Tahun pertama, dua orang dimangsa buaya ketika sedang mandi. Tak terdapat kawat berduri di sekeliling kamp penampungan, juga tidak ada menara pengawas. Sebaliknya, para tentara dan keluarga mereka yang tinggal di balik kawat berduri. Para interni dibebaskan untuk berkeliaran dan menetap di kawasan radius 25 kilometer dari kamp. Tetapi tak seorang pun bisa berpergian ke arah utara, barat, dan selatan, karena siapapun yang mencoba untuk kabur telah belajar dari garis batas kematian.

Seandainya ada kesempatan kecil untuk meloloskan diri, satu-satunya rute yang mungkin adalah ke arah timur, melintasi hutan lebat, menghindari penduduk Papua, menyeberangi tiga sungai yang dihuni buaya Mandobo, Kaoh, dan Muyu, dan menuju Fly River di wilayah Australia. Ada 16 kali percobaan meloloskan diri antara tahun 1929 hingga 1943, melibatkan 50 interni, sekitar 40 dari Tanah Tinggi dan sisanya dari Tanah Merah.

Hanya sepertiga dari percobaan meloloskan diri melalui Fly River berhasil, dan sebagian besar mereka yang berhasil akhirnya ditangkap oleh polisi Australia, dikirim ke Thursday Island, diserahkan kembali kepada polisi Belanda di sana, dan dikirimkan kembali ke Digoel dengan kapal polisi. Tak seorang pun berhasil meloloskan diri dari Digoel dalam sejarah keberadaan kamp pembuangan ini. Kebebasan bergerak dan menetap di Digoel adalah palsu. Hal ini berarti bebas untuk hilang ditelan alam, di tengah hutan yang dihuni binatang-binatang pemangsa dan orang Papua yang tak bersahabat dengan mereka.

Tanah Merah terdiri tiga wilayah berbeda yang dipisahkan oleh sungai-sungai kecil: wilayah administratif (bestuursterrein) di mana para pejabat sipil tinggal, wilayah militer, dan kamp pembuangan. Dari dermaga terhampar sebuah jalan berkerikil besar, menuju ke bukit. Di sepanjang lintasan sungai, di sisi kanan, terdapat bangunan memanjang bagi motoris, staf yang dipekerjakan untuk merawat perahu-perahu motor, dan beberapa rumah batu bagi para pegawai sipil rendahan dan staf polisi, semuanya dikelilingi taman-taman berukuran kecil yang terawat rapi di sisi kiri. Lalu, sebuah rumah penginapan baru, pasanggrahan bagi para pelaut, bagunan yang pernah digunakan sebagai rumah klab sipil, burgersocieteit, tempat pemutaran film-film bisu dalam proyektor sederhana.

Tahun 1934, Gubernur Jenderal de Jonge memutuskan untuk mengubah kamp menjadi semi permanen, di luar fakta bahwa ia dengan panik memotong anggaran belanja pemerintah di berbagai sektor dan tempat untuk menyesuaikan dengan krisis keuangan yang diakibatkan oleh depresi Besar. Meskipun keputusannya mempertahankan Digoel tak diketahui para interni, mereka bisa merasakan dari renovasi kamp militer untuk bisa memahami bahwa kamp pembuangan telah dibuat menjadi semi permanen oleh pemerintah.

Kehidupan di Digoel adalah kehidupan yang ganjil. Kehidupan yang normalitas ganjil inilah, yang bisa diidentifikasi sebagai ciri utama Digoel. Keganjilan ini tak hanya psikologis, tetapi sangat terlembaga. Kehidupan yang terstruktur ini di Tanah Merah terdiri empat kategori utama. Yang pertama de werkwillinger, mereka yang mau bekerja. Para interni yang masuk dalam kategori ini bekerja pada beragam pekerjaan, sebagai kepala kampung dan juru tulis pada kantor pemerintah, dan pekerja kasar di sawah-sawah. Seluruh kategori pekerjaan ini digaji oleh pemerintah. Mayoritas interni bersedia bekerja untuk pemerintah karena sejak awal mereka yakin, dan keyakinan mereka ini makin kuat setelah kunjungan Hillen, bahwa dengan demikian akan meningkatkan kesempatanmereka untuk dibebaskan dari Digoel.

Kategori kedua, interni yang memiliki kesempatan paling kecil untuk dibebaskan adalah de eigenwerkzoeokenden, pekerja mandiri. Mereka menerima jatah makan, 18 kilogram beras per bulan, hingga mereka mampu menghidupi diri sendiri. Kategori ketiga adalah de steuntrekkers, penerima bantuan atau mereka yang invalid, orang dengan penyakit kronis serius seperti malaria dan tuberkolusis, penderita gangguan kejiwaan atau mereka yang menjadi gila karena isolasi yang lama. Kategori terakhir adalah de naturalisten, kaum naturalis, disebutkan demikian karena mereka menolak bekerja apa pun untuk pemerintah dan menerima jatah makanan gratis dalam bentuk barang, in natura, dari pemerintah. Karena penguasa lokal memandang mereka sebagai kaum ekstremis yang tak dikehendaki.

Tahun-tahun awal sejarah kamp pembuangan, tidak sedikit dari kalangan kaum naturalis yang ditahan secara tiba-tiba dan dikirim ke kamp pembuangan yang kedua yang disediakan bagi para onverzoenlijken, mereka yang keras kepala, di Tanah Tinggi. Para naturalis ini tak memiliki kesempatan untuk dibebaskan, dan mereka sadar tentang hal ini. Sebagai orang yang setia memegang prinsip, keberadaan mereka mengingatkan seluruh interni, terutama semua yang bersedia bekerja, bahwa mereka telah menyerah, satu sikap yang kadang-kadang mengundang kekaguman tetapi juga lebih sering menimbulkan antipati.

Mentalitas interni di Tanah Tinggi berbeda. Ini tempat bagi para onverzoenlijken, mereka yang nekad, berkemauan baja, berprinsip, keras kepala, dan tak mau menyerah. Mereka menekan harapan untuk pulang dan bertahan dalam kehidupan yang buruk untuk tidak menyerah. Kecuali jatah makanan rutin yang disediakan pemerintah, mereka mengurus seluruh kebutuhannya sendiri. Pada tahun 1930 terdapat 115 penghuni di Tanah Tinggi, 70 interni dan 45 anggota keluarga. Rumah-rumah di Tanah Tinggi, seluruhnya 43, dibangun di tempat-tempat yang mereka pilih sendiri, terpisah satu sama lain, di hutan, dikelilingi oleh taman-taman yang tak terawat.

Satu-satunya jalan di sana adalah adalah sebuah jalan yang dibangun oleh pemerintah, sebuah jalan masuk kecil menuju Tanah Tinggi, dan karena interni menolak membangun jalan sendiri, maka tak ada jalan setapak yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya. Seorang pejabat pemerintah yang dikirim dari Tanah Merah tinggal di sebuah rumah sederhana sekadar bisa melihat para interni, tetapi para interni sengaja menutup diri dari pejabat yang berkunjung kecuali saat menerima jatah makan dua kali seminggu.

Ketika Tjarda van Starkenborgh Statchouwer menggantikan de Jonge sebagai gubernur jenderal tahun 1936, dan khususnya sejak Welter menjadi menteri urusan koloni tahun 1937, Digoel yang untuk beberapa tahun terlupakan kembali menjadi isu besar di Den Haag dan Buitenzorg. Hal ini, sebagian, karena Digoel adalah bagian dari masa lalu Welter, di mana ia turut serta dalam pengambilan keputusan untuk mendirikan sebuah kamp pembuangan massal di akhir 1926 ketika menjadi anggota Dewan Hindia Belanda. Dan ia menjabat Wakil Ketua Dewan Hindia Belanda ketika mendiskusikan laporan Hillen tahun 1930. Tetapi yang lebih penting lagi karena situasi internasional berubah dengan cepat, dengan Nazi berkuasa di Jerman dan invasi militer Jepang ke Cina telah dimulai.

Catatan tentang Digoel yang diserahkan oleh Petrus Blumberger kepada Welter adalah isyarat awal dari tumbuhnya kembali perhatian aktif terhadap isu ini. Keputusan untuk mempertahankan Digoel diambil pada pertemuan Dewan Hindia Belanda bulan Desember 1938, dan semester pertama tahun 1938, 118 orang interni dibebaskan, sehingga mengurangi populasi interni di Digoel menjadi 345 sebelum Juli 1938, termasuk 42 interni di Tanah Tinggi.

Empat belas tahun setelah pendiriannya, salah seorang pendirinya mengakui bahwa Digoel adalah sebuah kamp konsentrasi, bukan hanya kamp pembuangan normal, apalagi sebuah kehidupan normal. Kendetai demikian, Digoel bertahan untuk waktu tiga tahun lagi, hingga 1943, dua tahun setelah sebagian besar wilayah Hindia belanda di pengasingan di Melbourne menjadi sangat ketakutan tentang kemungkinan para interni dibebaskan oleh Jepang, sehingga pemerintah Belanda di pengasingan memutukan untuk menghapuskannya sama sekali dan mengungsikan semua interni ke Australia.

Evakuasi dilakukan oleh Ch O van der Plas dan kamp ditutup tahun 1943. Tahun-tahun pascarevolusi 1927 hingga 1942 bisa dipahami dalam konteks keberadaan Digoel. Untuk menormalkan kehidupan di Hindia Belanda pada tahun-tahun ini pemerintah membutuhkan dunia hantu Digoel. Digoel dan kamp pembuangan berfungsi untuk menjaga dan merefleksikan kondisi normal, bahwa Digoel secara definitif menjadi pemisah garis batas antara normal dan abnormal, kooperasi dan garis keras, karenanya memisahkan tatanan kolonial yang rasional dan penduduk yang berada di ambang kegilaan, dan keseluruhan ini mencerminkan rezim yang melembagakan dan meminggirkan Digoel.

Normalitas menjadi tergantung pada sebuah aparatus pengamanan yang kompleks yang menandai dan memecah kawasan, subjek, dan tanda-tanda kolonial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar