Sabtu, 12 September 2009

TANAH MERAH DAN TANAH TINGGI

TANAH MERAH DAN TANAH TINGGI
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Pemerintah di Boven Digoel memandang orang yang secara aktif mencoba menyusun perlawanan sebagai musuh nomor satu. Pada permulaan mereka dipisahkan, dibuang ke tempat lain yang namanya Gudang Arang. Letaknya dekat dengan Kamp Tanah Merah, dekat dengan Sungai Digoel. Tapi sesudah itu mereka dibuang ke Kamp Tanah Tinggi, kamp yang baru didirikan sekitar tahun 1928. Kamp Tanah Tinggi ini jauh dari Tanah Merah, masih 55 kilometer ke arah hulu, sekitar 5 jam dengan motor boat.

Rezim pemerintah Digoel mengaktifkan teknik-teknik biasa, seperti memasang mata-mata dan segala macam teknik sejenis itu. Di Tanah Merah diberlakukan. Untuk mengawasi orang-orang kamp, pemerintah daerah merekrut orang yang kerjanya sebagai mata-mata, sebagai polisi, sebagai klerk, dan lain-lain. Orang mengerti kalau mereka bekerja sebagai mata-mata atau polisi nanti kemungkinan untuk diperbolehkan pulang bisa lebih besar. Jadi cukup banyak yang mau kerja untuk pemerintah.

Ada perbedaan mentalitas penghuni Tanah Merah dengan yang di Tanah Tinggi. Kalau yang di Tanah Tinggi orangnya sudah nekat. Mereka tidak mau membangun jalan, mereka sama sekali tidak mau bicara dengan orang pemerintah, dan lain-lain. Jadi mereka sama sekali nekat. Tapi kalau yang di Tanah Merah ada dua kelompok. Satu kelompok adalah orang-orang yang mau kerja untuk pemerintah. Mereka tentu berharap diperbolehkan pulang ke tempat asalnya. Sesudah orang Belanda yang namanya Hillen datang ke Boven Digoel, sebagian memang mulai diperbolehkan pulang. Jadi sesudah itu satu-satunya harapan untuk mereka adalah pulang ke kampung asalnya.

Kelompok yang kedua adalah mereka yang tidak mau kerja. Mereka tentu tahu tidak bisa berharap pulang ke kampung asalnya. Tapi mereka mencoba mempertahankan kesadaran. Pokoknya berusaha supaya tidak gila. Misalnya coba konsentrasi mengerjakan sesuatu. Umpamanya Chalid Salim, dia merupakan penulis buku yang sangat bagus tentang Digoel. Setiap hari dia kerjanya cari nyamuk, maksudnya supaya punya kesibukan supaya bisa tetap waras. Setiap hari kesibukannya hanya cari nyamuk. Pokoknya cari kesibukan supaya tidak memikirkan pulang ke kampung. Dia itu selalu sibuk supaya tidak jadi gila. Ini strateginya. Dan itu sangat penting karena orang yang dibuang ke Digoel sama sekali tidak tahu apakah mereka bisa pulang atau tidak. Dan seandainya bisa, kapan juga tidak tahu. Jadi masa depannya sama sekali tidak jelas, dan ini menambah rasa rindunya. Banyak orang yang hancur mentalnya karena putus asa.

Di tempat pembuangan ini sama sekali tidak ada kekejaman secara fisik. Sama sekali tidak ada. Orangnya bisa bebas, dan pemerintah bilang kepada semua orang, mereka boleh bekerja untuk pemerintah dan dibayar. Kalau tidak mau, tidak apa-apa. Orang yang tidak mau bekerja untuk pemerintah punya banyak sekali waktu untuk memikirkan hal-hal lain. Lalu bisa kurang sehat mentalnya. Banyak sekali orang yang menjadi sangat rindu dan putus asa. Itu semacam siksaan mental. Tentu orang Belanda tahu apa yang sedang terjadi itu.

Seluruh kamp tidak dikelilingi kawat berduri. Sama sekali tidak ada. Yang dikelilingi kawat berduri justru tangsi atau kompleks militernya. Alasannya supaya tentara itu tidak bisa dipengaruhi oleh tawanannya. Sedangkan kegiatan keagamaan, biasa saja. Ada masjidnya, ada gereja, ada ulama, ada pendeta dan sebagainya. Tidak kekurangan ulama. Banyak ulama dari Banten, Sumatra Barat dan lain-lain.

Banyak sekali kegiatan, terutama pada awalnya. Yang paling penting adalah kelompok musik. Orang Jawa main gamelan, orang dari Batavia main keroncong, dan lain-lain. Dan satu hal yang lain lagi, adalah Xarim MS yang nanti menjadi pemimpin dari revolusi sosial di Medan. Dia menjadi pemimpin dari jazz band. Rupanya dia orang yang sangat menarik. Dia memilih bekerja untuk pemerintah, entah menjadi apa, tapi pokoknya mau kerja sama dengan pemerintah. Tapi dia juga mendirikan kelompok jazz dan rupanya dia sangat aktif pada akhir 1920-an dan awal 1930-an lalu diperbolehkan pulang pada tahun 1934-1935. Banyak kegiatan kebudayaan terutama musik dan teater seperti ketoprak dan wayang orang. Tapi kesannya lama kelamaan banyak orang putus asa, kegiatan itu kemudian menjadi jarang.

Kelompok yang di Tanah Tinggi terbagi atas tiga kelompok lagi, kelompok Aliarcham, kelompok Sarjono dan kemudian orang-orang didikan Moskow. Ini bisa terjadi dikarenakan dua alasan. Pertama, yang sangat penting, dan ini memisahkan orang yang dilatih di Moskow dengan orang-orang yang lain, mereka sangat yakin bahwa Cuma merekalah orang yang paling mengerti Marxisme dan Leninisme. Mereka belajar di Moskow, jadi mereka tahu bahasa sucinya Marxisme. Mereka sama sekali tidak percaya pada tulisan-tulisan Marxisme dan Komunisme dalam bahasa Melayu. Mereka jadi sombong dan tidak mau bergaul dengan orang-orang lain kalau orang-orang lain itu tidak patuh pada kepercayaannya.
Kalau perpecahan antara kelompok Sarjono dan kelompok Aliarcham, ini tergantung pada bagaimana penilaian masing-masing tentang pemberontakan. Tapi hal ini masih kurang jelas. Orang-orang yang ikut Aliarcham kebanyakan adalah orang yang nantinya menjadi orang Murba, dan ikut Tan Malaka. Kelompok ini orangnya kebanyakan mengalami hari-hari permulaan dari PKI atau ISDV, pada akhir tahun 1910-an dan awal 1920-an, waktu PKI masih dipimpin oleh Semaun, Tan Malaka dan lain-lain.

Sedangkan orang yang masuk kelompok Sarjono adalah mereka yang datang sesudah itu, sesudah markas besar PKI dipindah dari Semarang ke Batavia. Jadi perpecahan ini semacam cerminan dari sejarah PKI sendiri. Karena PKI zaman Semarang dan PKI zaman Batavia dan Bandung cukup lain.

pertama, pemimpin PKI di Semarang secara representatif adalah Semaun dan Tan Malaka. Mereka mengerti pergerakan secara umum dan mereka juga cukup lama dan cukup banyak aktivitasnya di dunia pergerakan. Mereka bukan saja kenal sesama orang komunis tapi juga kenal baik dengan mereka yang menjadi lawan politiknya. Umpamanya Tjokroaminoto dan Agus Salim. Semaun kenal baik dengan Tjokroaminoto, Agus Salim, Suryopranoto, dan lain-lain.

Orang-orang yang menjadi pemimpin PKI di Batavia dan bandung lebih muda. Kedua, mereka mulai aktif di dunia pergerakan pada awal 1920-an, sesudah Serikat Islam pecah. Jadi mereka secara umum memandang Tjokroaminoto dan lain-lain sebagai lawan. Karena tidak mengalami zaman ketika mereka masih berteman. Jadi mereka ikut sektarian dari orang-orang Semarang atau orang yang ikut Aliarcham, Semaun dan Tan Malaka, yang masih ingat zaman pergerakan sebelum PKI lahir pada tahun 1920.

Mereka mulai sangat aktif sesudah tahun 1922. Terutama sesudah pemogokan VSTP, Serikat Buruh Kereta Api, yang kalah pada tahun 1923. Tapi kurang diketahui pasti apakah Sarjono ikut di situ. Sarjono guru dari Surabaya. Tapi umpamanya yang menjadi teman Sarjono, yaitu Budi Sucitro, dia orang Semarang, kemudian pindah dari Semarang ke Batavia. Lalu ada Winanta, tokoh buruh kereta api di Bandung. Mereka jadi sangat radikal sesudah pemogokan kalah. Kelompok merekalah yang mengambil kepemimpinan dari kelompok Semarang. Tiga kelompok itu kemudian tidak juga bisa bersatu lagi. Kalau dilihat dari tulisan-tulisan yang mereka tinggalkan sesudah mereka kembali ke Jawa dan tulisan mereka pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, akhirnya mereka tetap jalan sendiri-sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar