Sabtu, 12 September 2009

AFILIASI POLITIK KAUM DIGOELIS

AFILIASI POLITIK KAUM DIGOELIS
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Digoel sejatinya nama sebatang sungai di Irian Jaya alias Papua, yang mengalir dari gunung tulang punggung Pulau Irian, yang puncaknya selalu tertutup salju indah sekali. Sungai ini mengalir deras menembus hutan belantara, mengalir perlahan melalui rawa-rawa yang luas, dan terus turun berkelak-kelok sampai mencapai muaranya di Laut Arafura, yang terletak di barat laut Merauke. Lebih kurang 500 kilometer di atas muara sungai ini, pemerintah kolonial membangun sebuah kamp konsentrasi untuk tempat pengasingan tahanan politik.

Sudah lama menjadi perangai pemerintah kolonial Hindia Belanda mengasingkan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia yang terkemuka. Situasi berubah pada akhir tahun 1926. sebagai kelanjutan dari pemogokan umum yang gagal, karena buruknya kaum komunis dalam mengorganisasi, pemerintah menangkapi beratus-ratus orang, dan penjara menjadi penuh sesak. Karena pemerintah memang tidak hendak membawa mereka ke pengadilan, maka jawabannya tidak ada lain kecuali pembuangan. Tapi kali ini pembuangan itu harus ke suatu tempat terpencil di Hindia Belanda. Lalu Digul inilah yang menjadi pilihan.

Kapten Becking yang sejak 10 Desember 1926 ditugasi membuka kawasan Tanah Merah sebagai tempat mengasingkan lawan politik pemerintah Hindia Belanda, merencanakan sebuah tempat pemukiman yang terdiri dari tiga bagian, satu untuk militer yang akan bertugas menjaga kamp, satu lagi untuk para petugas sipil, dan yang ketiga berupa kelompok perkampungan untuk para tahanan politik itu sendiri. Kapten Becking membawa 120 serdadu dan sekitar 100 orang tahanan politik bersamanya. Mereka inilah sebagai rombongan pertama yang ditempatkan di tempat penampungan sementara, berupa barak-barak dan gubuk-gubuk. Mereka juga harus membikin jalan dan saluran pembuangan. Artinya, harus menebang hutan dan semak belukar di sepanjang jalan, serta menggali saluran memanjang di kedua sisi jalan.

Para tahanan politik Tanah Merah bisa dibagi dalam kelompok-kelompok menurut kesediaan atau ketidaksediaan mereka bekerja pada penguasa di sana. Untuk mereka yang bersedia bekerja, mereka bisa bekerja dengan upah sebesar 40 sen sehari, atau mereka juga boleh mengikatkan diri untuk pekerjaan yang lebih tetap, seperti misalnya sebagai petugas keamanan kampung, ROB (Rust en Orde Bewaarder, penjaga Keamanan dan ketertiban), dan untuk ini mereka menerima upah teratur setiap bulan. Dua kelompok ini secara kolektif dikenal sebagai kelompok yang mau kerja atau kelompok ko.

Adapun kelompok yang lain, termasuk di dalamnya ini mereka yang bandel, dikenal sebagai kelompok naturalis. Mereka tegas-tegas menolak sama sekali bekerja pada penguasa kolonial, dan oleh karenanya setiap bulan hanya menerima jatah in natura saja, istilah yang ditujukan kepada mereka.

Di mata penguasa kolonial mereka itu merupakan dua jenis manusia yang berbeda, yaitu yang mau menerima dan yang keras kepala. Tapi di kalangan orang-orang buangan itu sendiri kelompok-kelompok itu cenderung untuk saling melihat sebagai yang lunak atau yang lemah dan yang kuat atau yang keras. Walalupun demikian mereka tidak menutup mata terhadap alasan-alasannya, mengapa seseorang mau masuk dalam kelompok yang satu ketimbang dalam kelompok yang lain.

Sekitar tahun 1930 Tanah Merah dirobek-robek oleh pertikaian dan bahkan kekerasan. Ketegangan memuncak antara dua kelompok tahanan politik tersebut, yaitu antara yang mau kerja dengan yang naturalis. Kepala Kampung Gondoyuwono yang pada prinsipnya setuju dengan gagasan bekerja dengan Belanda, sehingga tahanan politik bisa mengharapkan akan dipulangkan pada waktunya, dan ini merupakan iming-iming untuk memberi perangsang bagi kelompok yang mau kerja. Kaum radikal yang tidak setuju terhadap hadiah atas kesetiaan semacam itu menjadi sangat menentang kelompok yang tersebut pertama. Kali ini dalam kalangan radikal termasuk dua tokoh utama Partai Komunis 1926 Sarjono mantan ketua dan Budisucitro mantan sekretaris. Suasana Tanah Merah menjadi eksplosif dan penguasa kolonial mengirim Sarjono dan kemudian juga Budisucitro ke tempat isolasi di Tanah Tinggi di hulu sungai.

Dari konflik saat itu ke hal terkecil yang bisa dilihat adanya dua lapangan sepak bola, yang satu di Kampung B dan yang lain di Kampung C. meski belakangan kemudian rasa permusuhan antara dua kelompok tersebut akhirnya padam.

Bersama berjalannya waktu semakin banyak tahanan politik yang dikirim ke Digoel, dan dengan semakin banyak yang di Tanah Merah maka semakin banyak pula kampung harus dibangun. Akhirnya seluruhnya berjumlah tujuh kampung, dari Kampung A sampai Kampung G. tapi hampir sesegera itu pula Kampung G ditinggalkan lagi. Sejak itu Kampung G dengan cepat menjadi hutan kembali.

Antara bulan Januari dan Agustus 1937, 26 orang dikembalikan ke Tanah Merah dari Tanah Tinggi, di antara mereka ialah Gusti Johan Idrus nomor 210 dari Landak Ngabang Kalimantan Barat, Cokrosumarto nomor 47 dari Yogyakarta, Woworuntu nomor 1271 dari manado Sulawesi Utara, Haji Datuk Batuah nomor 505 dari Sumatera Barat, Ditawilastra nomor 35 dari Priangan, Joyodisastro nomor 855 dari Blitar Jawa Timur. Antara 15 September dan 1 Oktober 1937 dua kelompok sebanyak 17 tahanan politik meninggalkan Tanah Tinggi. Dari 1 Oktober sampai akhir tahun ada 14 tahanan politik lagi dikirim ke Tanah Merah, karena tidak bisa bertahan lagi terhadap keadaan di Tanah Tinggi. Di antara mereka tidak tercantum tempat asal mereka, terdapat antara lain Alibasah Winanta nomor 508, Prawiromiharjo nomor 508, Kusno Gunoko nomor 10 dan Arif Fadilah nomor 1220.

Ini berarti bahwa sepanjang tahun 1937, sebanyak 57 tahanan politik meninggalkan Tanah Tinggi menuju Tanah Merah. Catatan tahun 1937 tidak menunjukkan adanya kematian atau orang yang hilang di hutan, tenggelam di sungai, atau mengalami kecelakaan oleh serangan penduduk Papua. Antara akhir 1937 dan pertengahan 1943, lima setengah tahun kemudian ketika datang perintah evakuasi dari pemukiman interniran, tidak ada tahanan politik lagi dikirim ke Tanah Tinggi, sebaliknya juga tidak ditinggalkan catatan kelompok tahanan politik satu pun yang kembali ke Tanah Merah.

Dewasa ini sering dianggap, orang-orang yang pernah diasingkan Belanda ke kamp interniran Digoel adalah orang-orang komunis. Ini sangat jauh dari kenyataan. Jika orang mau berpikir sedikit, mereka tahu anggapan tersebut tidak benar. Karena semua orang Indonesia tahu, sekurang-kurangnya Hatta dan Sjahrir bukanlah orang yang berkeyakinan komunis, apalagi anggota Partai Komunis dari berbagai bentuknya yang ada di Indonesia.

Dalam sejarah Partai Komunis di Indonesia, berbagai tokoh terkemuka partai ini mempunyai pandangan politik yang sangat berbeda-beda. Semaun dan Darsono, dua pimpinan pertama Partai Komunis Indonesia, PKI nama yang mereka semua menerimanya, tidak menyetujui cara-cara Bolsyewik. Sarekat rakyat, yang di dalamnya termasuk R Safiudin dari Pekalongan, walaupun tidak menamakan dirinya komunis, adalah partai sayap kiri yang didirikan untuk menarik anggota yang simpati pada cita-cita komunis dari Sarekat Islam. Anggota PKI yang dipimpin Sarjono dan Budisucitro sama sekali tidak setuju dengan aksi pemogokan umum 1926-1927, sementara orang di antara mereka bahkan langsung mengutuknya.

Tapi terlepas dari segala keanekaragaman sikap dan politik dari kelompok-kelompok yang berhaluan komunis, apa pun keyakinannya ada tahanan politik di Digul yang mengikuti alur pemikiran politik yang sama sekali berbeda, dan bahkan ada tahanan politik yang tidak berpartai sama sekali. Gusti Sulung Lelanang salah seorang contoh untuk yang tersebut akhir itu. Ia diciduk dan dikirim ke Digoel semata-mata karena kecurigaan, sebab ia secara kebetulan berada sangat dekat dengan salah satu kejadian dalam aksi-aksi pemogokan 1926-1927, meski ia di Kalimantan Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar