SULTAN HAMID II DALAM KECELAKAAN SEJARAH
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
SEBELUM PRAHARA
Pontianak di Kalimantan Barat mempunyai keunikan dengan kota lainnya di Indonesia, letaknya di garis Khatulistiwa. Tidak banyak kota memiliki pemandangan sungai. Pemandangan perahu besar dan kecil lalu lalang menyusuri Sungai Kapuas di malam hari membuat suasana di tepi sungai terasa lengang. Pontianak dibelah Sungai Kapuas sebagai salah satu sungai terbesar di Kalimantan dan sungai terpanjang di Indonesia.
Berawal dengan kedatangan Habib Husin Algadrie—berlanjut pada Syarif Abdurrahman—melalui proses komunikasi dan interaksi yang intens dengan Matan (Kayung) dan Mempawah telah membuka lembaran sejarah baru Pontianak. Kerajaan—lebih tepatnya Kesultanan—Pontianak didirikan Syarif Abdurrahman Algadrie, 23 Oktober 1771. Bersama keluarga dan pengikutnya, menebas hutan dan membangun pemukiman di tepi pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak. Peristiwa pembukaan pemukiman itu pula yang diabadikan sebagai hari jadi Kota Pontianak.
Di lokasi itu berdiri Istana Qadariah tempat memerintah para penguasa feodal lokal setempat. Sultan Hamid II atau Syarif Hamid Algadrie II adalah salah seorang putra Syarif Mohammad sultan terdahulu Pontianak. Hamid dilahirkan di Pontianak 12 Juli 1913 bersamaan 7 Syaban 1331. Ia jelas satu garis keturunan dengan pendiri Pontianak, Abdurrahman Algadrie, yang menjadi sultan pertama Pontianak pada 1771. Leluhurnya itulah yang pada 1779 dipaksa kolonial Belanda memberikan hak monopoli dalam kontrak dagang dengan VOC. Hamid lahir sebagai putra sulung Sultan Syarif Muhammad Algadrie dari istri ketiganya Syecha Jamilah Syarwani, seorang perempuan berdarah Turki.
Ayah Abdurrahman, Husin Algadrie berasal dari Trim Hadramaut, Yaman. Husin mulanya di Kalimantan Barat mendarat di Sukadana 1735, mengajarkan Islam di sana dan menikahi kerabat Raja Matan (Kayung) Ketapang belakangan.
Setelah tamat ELS Hamid melanjutkan di HBS, lalu Techniche Hoge School (THS) Bandung (Institut Teknologi Bandung belakangan). Saat masih kanak-kanak Hamid diasuh pengasuh bangsa Belanda. Itu sejak usia 40 hari, Hamid kecil diangkat anak oleh Miss Fox. Saat berusia 7 tahun, ia diajak ke Jakarta oleh ibu angkatnya itu. Ia mulai belajar di sekolah rendah, lalu HBS V di Malang. Di THS, Bandung, Hamid tidak sampai tamat. Sesudah itu ia pergi ke Negeri Belanda dan masuk Koninklijk Militaire Academie di Breda, Belanda. Pada tahun 1938 ia berpangkat Letnan Dua. Pada tahun 1939 naik menjadi Letnan Satu. Pada saat Perang Dunia mulai tahun 1941, ia ikut bertempur melawan Jepang di Balikpapan.
Hamid menikah dengan bekas temannya di Malang, Marie van Delden, anak Kapten van Delden. Marie kelak lebih dikenal sebagai Didie Algadrie. Didie memberi Hamid dua anak, Syarifah Zohra (Edith Hamid) dan Sayid Yusuf (Max Hamid). Hamid menjadi anggota KNIL dan diangkat sebagai ajudan pribadi Ratu Wilhelmina dengan pangkat Jenderal Mayor.
Hamid yang pernah diasuh wanita Eropa itu, tidak heran kehidupan model barat dianut olehnya. Dia masuk KMA Breda dan menjadi adik kelas Didi Kartasasmita. Lulus dari KMA tahun 1938, Hamid menjadi Letnan Dua KNIL. Setahun kemudian, pangkatnya naik menjadi Letnan Satu sampai meletusnya Perang Dunia II. Sebelum Jepang mendarat, Hamid ikut bertempur dengan Jepang di Balikpapan. Dia termasuk beruntung. Ketika Jepang berhasil merebut Balikpapan, dia lolos dari kekejaman Jepang di sana. Sebuah pantai dekat pelabuhan Semayang di Balikpapan, serdadu Jepang membunuh banyak serdadu KNIL di pantai ini.
Bulan September 1945, Hamid menjadi penasihat politik pemerintah Hindia Belanda, di mana pada masa itu dia merangkap jabatan istimewa dari pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai ajudan istimewa Ratu Belanda. Di saat berlakunya sistem swapraja, Hamid yang berasal dari golongan faodal Pontianak diangkat sebagai Kepala Daerah Swapraja Pontianak. Pada masa revolusi, Sultan Hamid sempat menjadi Ketua BFO (Bijeenkomst voor Federale Orvleg: Majelis Permusyawaratan Negara Federal). Dalam BFO ini terdapat negara-negara boneka yang diciptakan dan didukung Belanda selama revolusi kemerdekaan Indonesia.
Sebagai Ketua BFO, Hamid ikut dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Dalam proses penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, sebagai Ketua BFO, Hamid menjadi anggota delegasi Indonesia untuk KMB. Dalam dinas militer KNIL, pangkatnya dinaikkan menjadi Jenderal Mayor Tituler beberapa waktu sebelum penyerahan kedaulatan, di Indonesia. Setelah itu, Hamid diberi jabatan Menteri Negara tanpa portofolio. Sebagai Menteri Negara antara lain mengurusi pembuatan lambang negara. Dalam masa kerja singkatnya, Hamid berhasil menciptakan burung garuda sebagai lambang negara Republik Indonesia.
Sebagai putra bangsawan pewaris tahta kesultanan Pontianak, Hamid bisa bersekolah di sekolah elit Belanda dan bergaul dengan anak-anak pembesar pribumi pada masa kolonial Hindia Belanda. Semasa sekolah di Yogyakarta, Hamid berteman dengan Dorojatun (kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwono IX). Dalam pergaulannya dengan bangsa Eropa, Hamid dikenal dengan nama Max. hamid menyukai musik Jazz.
Pada tahun 1944, ayahnya ditangkap dan dibunuh tentara Jepang bersama anak lelaki dan menantunya. Hamid saat itu dibawa ke Jawa sebagai tawanan Jepang. Oleh pemerintah Belanda, sejak tahun itu, Hamid diangkat sebagai sultan Pontianak. Namun ia baru bisa kembali ke Pontianak pada Oktober 1945 bersama tentara NICA, setelah Jepang menyerah. Ia menjadi sultan menggantikan Thaha Algadrie, yang diangkat oleh Jepang antar-waktu.
Secara pribadi, Hamid kurang dikenal masyarakat Pontianak, tetapi sebagai sultan, ia sangat ditaati dan dicintai oleh warga suku Dayak. Sebagai sultan, ia berusaha memajukan wilayahnya. Misalnya, ia berupaya mendirikan sekolah dan memberi beasiswa kepada yang akan melanjutkan pendidikannya. Dengan bantuan Belanda, ia mendirikan Dewan Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang ditentang oleh kalangan pergerakan nasional. Ia mengangkat Kapten van der Meyde sebagai Pangeran Paku Alam.
FEODAL YANG BERKEPRIBADIAN
Pribadi Hamid dianggap sulit dipahami. Suatu saat ia pernah mengatakan, “Aku sudah bersumpah biar bagaimanapun terjadinya, tetap setia pada Koningin Wilhelmina!”. Tetapi ketika berbicara di depan sejumlah serdadu KNIL dan Indo-Belanda di Societeit La Bella Aliance, ia membujuk mereka untuk tidak pergi ke Nieuw Guinea (Irian Barat). “Kamu toh bukan Belanda 100 persen, maka sebaiknya tinggal di Indonesia. Di Nieuw Guinea kamu nanti hanya akan dipandang sebagai Belanda setengah-setengah saja dan tidak akan mendapat penghargaan yang sama”.
Sebuah catatan menjelaskan, pada 31 Mei 1938, Hamid alias Max melangsungkan pernikahan di Malang dengan wanita Belanda kelahiran Surabaya 5 Januari 1915, Dina (Didi) van Delden. Dari pernikahan ini mempunyai dua anak, Syarifah Zahra Algadrie atau Edith Dinise Corry Algadrie lahir 26 Februari 1939 di Malang dan Syarif Yusuf Algadrie atau Max Nico Algadrie lahir 19 Januari 1942 di Malang. Di kemudian hari, Hamid menikah lagi dengan Reni seorang perempuan dari Yogyakarta.
Hamid setelah dibebaskan sebagai tawanan Jepang di Jakarta, selanjutnya diutus Letnan Gubernur Jenderal Dr HJ van Mook—langkah politiknya berusaha menguasai daerah-daerah di luar Pulau Jawa, khususnya Kalimantan dan Timur Besar melalui federasi—ke Pontianak. Mook memerintahkan Hamid—perwira aktif KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger)—telah dipandang memahami dan menguasai Kalimantan Barat. Setelah tiba di Pontianak, Hamid disambut oleh keponakannya Sultan Syarif Thaha Algadrie. Dalam pertemuan keduanya, Hamid keheranan dan kaget mengetahui Thaha sebagai Sultan Pontianak dalam usia 18 tahun. Hamid mengusulkan kepada Thaha untuk mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan sultan kepada dirinya, alasan Hamid didasarkan bahwa Thaha terlalu masih muda untuk menghadapi situasi pergolakan dan keamanan di Pontianak.
Sehari sejak berkuasanya pemerintah sipil NICA, pada 23 Oktober 1945, pemerintah Belanda mengeluarkan pengumuman bertujuan untuk mengangkat Hamid sebagai Sultan Pontianak. Dalam masa sulit, Thaha menyerahkan tahta Kerajaan Pontianak kepada pamannya, Hamid—selanjutnya dikenal Sultan Hamid II—sebagai sultan Pontianak. Thaha adalah sultan tersingkat dan termuda dalam perjalanan sejarah Kerajaan Pontianak, selanjutnya kembali melanjutkan pendidikannya di Pontianak. Pada 29 Oktober 1945 Sultan Hamid II dinobatkan secara resmi sebagai Sultan Pontianak melalui upacara oleh pemerintah NICA. Selain sebagai Sultan Pontianak, Hamid II atas nama pemerintah Belanda diangkat sebagai Ajudan Ratu Belanda (Ajudant in Buitengewone Dienst bij HM Koningen der Nederlander) dan Wali Negara Kalimantan Barat.
Dalam pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat, Hamid II ditunjuk sebagai anggota penyusun kabinet. Dalam Kabinet RIS pimpinan Hatta, Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara zonder fortofolio. Setelah penyerahan kedaulatan dan pengakuan Belanda terhadap RIS 27 Desember 1949, Hamid menghadapi berbagai kekecewaan dalam pembentukan RIS.Kekecewaan pertama karena Hamid II hanya diberi jabatan Menteri Negara tanpa fortofolio. Ia hanya diserahi tugas menyiapkan gedung parlemen dan menyusunan rencana lambang negara. Sampai dirinya ditangkap dan kemudian ditahan tak ada tugas lain padanya.
SEJARAH BURAM
Sejarah buram Sultan Hamid II pada 24 Januari 1950 betul-betul dikendalikan oleh pikiran yang tak dapat dipandang rasional. Setelah memarahi Westerling secara kasar, masih dalam suasana emosi, kecewa, pedih dan amarah, ia memerintahkan Westerling dan Inspiktur Polisi Nayoan dengan pasukannya untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS di Pejambon Jakarta. Rencana dan perintah emosional ini yang tumbuh seketika sebagai puncak kekecewaan Hamid terhadap keadaan negara yang dihadapinya. Keinginannya untuk menjadi Menteri Pertahanan supaya dapat memimpin kemiliteran dalam upayanya mempertahankan negara federal. Akan tetapi diakuinya setelah agak tenang sesudah mandi insyaflah dirinya akan perbuatan itu tidak patut pada dirinya.
Atas berbagai peristiwa yang telah melibatkan dirinya itu, sidang Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan pada 18 April 1953, Sultan Hamid II divonis 10 tahun penjara dipotong selama berada dalam tahanan. Keputusan ini diterima Hamid dan kemudian mengajukan grasi kepada Presiden Soekarno, namun ditolak. Hamid menjalani hukuman itu dengan tenang dan baik. Setelah menyelesaikan hukuman yang dijalaninya di rumah tahanan di Jakarta dan Yogyakarta, Hamid II yang telah pensiun sebagai Jenderal Mayor KNIL, mantan kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mantan Menteri Negara RIS serta sultan terakhir Pontianak hidup tenang bersama keluarganya. Sejak 1967 hingga akhir hayatnya selaku Presiden Komisaris PT indonesia Air Transport.
Wacana pemikiran Hamid berkeinginan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui bentuk federasi atau negara serikat. Hamid berpandangan, kesenjangan, ketertinggalan daerah dari pusat di Jawa, dan kekecewaan daerah, tak terkecuali Kalimantan Barat yang dipimpinnya, disebabkan justru bangsanya terlalu takut dengan sistem pemerintahan federasi yang dinilainya lebih mampu memakmurkan dan sistem yang mengandung keadilan sebagai suatu sistem yang mengandung otonomi khusus atau daerah istimewa.
Kekeliruan Hamid boleh jadi terletak pada fakta bahwa ide atau pemikiran politik walalupun masih dalam wacana ketika itu. Wacana itu digulirkan ketika bangsa Indonesia baru saja selesai mengalami trauma diperbudak bangsa lain. Kekeliruan lainnya mungkin terletak pada beberapa hal. Pertama, kekuasaannya sebagai sultan di Pontianak didukung oleh Belanda, kedua, Hamid aktif memperjuangkan gagasannya bekerjasama dengan negara-negara bagian lainnya di Indonesia sehingga ia sering dicurigai sebagai pengkhianat bangsa, ketiga, ia sering mengikuti konferensi federal di dalam dan di luar negeri baik mewakili Kalimantan Barat, RIS maupun Bijeenkomst voor federal Overleg (BFO) yang dirinya selaku ketua, dan keempat, kekecewaan Hamid lainnya adalah realisasi bentuk Negara RIS tidak seperti diharapkan BFO, ketidakberhasilannya menduduki jabatan Menteri Pertahanan padahal reputasi dan karir militernya terpenuhi untuk itu. Ia juga kecewa terhadap dominasi TNI di dalam APRIS.
Politik nasional berkenaan dengan politik lokal di Kalimantan Barat yang berkaitan langsung dengan Sultan Hamid II adalah kontroversi terutama persepsi berkenaan dengan hubungan segitiga antara pewaris terakhir Kesultanan Pontianak dengan pemerintah Republik Indonesia awal kemerdekaan dan dengan pemerintah Belanda.
Di satu pihak Hamid dinilai miring yang dianggap telah menghianati Republik Indonesia karena ide federasinya, di lain pihak ia dianggap sebagai figur berpikiran cemerlang ke depan, dengan gagasan besarnya akan pentingnya harkat dan martabat manusia—human dignity—dan hak-hak asasi manusia—human basic rights—di dalam setiap struktur bangunan negara dibanding dengan bangunan negara itu sendiri, yaitu ide tentang yang sekarang dikenal sebagai otonomi daerah—regional autonomy—dan otonomi khusus—special autonomy—yang telah dan akan terus diperjuangkan secara universal. Ide besar yang cemerlang itu ternyata tidak atau kurang dapat dipahami sejak dicetuskannya proklamasi kemerdekaan.
Karena pemahaman miring dan pengingkaran terhadap ide kemanusiaan seperti itu, Hamid II dituduh sebagai seorang penghianat bangsa dan dijebloskan ke dalam penjara selama 10 tahun. Padahal ia hanya mengingini bahwa daerah Kalimantan Barat yang dibangun oleh para kesultanan yang juga mengalami penderitaan yang sama di bawah kekuasaan kolonial Belanda, bahkan lebih sangat menderita di bawah kekuasaan fasis militer Jepang. Itulah salah satu kerangka alasan mengapa Hamid meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat, di samping ia dipenjara 10 tahun. Hamid telah membayar mahal ide besarnya dalam politik yang dipertahankannya secara konsekuen dan atas kesenjangan pemikiran dan wawasan antara dirinya dan pemuka masyarakat di daerahnya sendiri pada masanya.
SETELAH PRAHARA
Pada tanggal 18 Agustus 1961, bekas raja Gianyar yang mangkat akan dibakar menurut adat Bali dalam upacara besar. Anak Agung, putra raja juga tokoh politik yang penting di Indonesia pasca kolonial, dan pria yang selama tahun 1950-an berhubungan dengan PSI, mengundang sejumlah temannya. Sjahrir, Hatta, Roem, Subadio dan Sultan Hamid II dari Pontianak yang telah keluar dari penjara yang diajalaninya selama sepuluh tahun hingga 1958, menghadirinya, tentu saja, dengan puluhan ribu tamu dan penonton yang lain.
Tidak seorang pun, kecuali mereka yang langsung terlibat, akan pernah mengetahui apa yang terjadi di Gianyar, di samping pembakaran mayat dan bersilaturahmi. Akan tetapi, dalam beberapa hari saja, Soebandrio orang yang makin penting dalam sistem Soekarno dan Kepala Badan Pusat Intelijen, menerima laporan rahasia bahwa di Bali telah terjadi komplotan atau konspirasi dan dibicarakan tindakan subversif terhadap negara. Soekarno segera menerima laporan itu dan memerintahkan diadakan penyelidikan.
Anak Agung, bahkan 20 tahun sesudah kejadian ini berlangsung dan ketika tekanan jelas sudah reda, dengan tegas menyangkal bahwa ada suatu komplotan. Dia membuat faux pas, katanya, dia pada mulanya mengundang teman dan sejawat, dan tidak untuk Soekarno. Dia segera menyadari dan mengirimkan undangan tambahan kepada Presiden. Akan tetapi, Soekarno, menurut keyakinan Anak Agung, sudah merasa dihina dan menolak untuk datang. Kemudian, menurut Anak Agung, Soekarno menjadi kecewa.
Tidak banyak pembicaraan politik terjadi, kecuali bincang-bincang dan keluhan. Tidak ada tuduhan terhadap Anak Agung dan yang lain-lain selama empat bulan sesudah pemakaman di Bali. Malahan, ada gelombang desas-desus yang lain tentang kesehatan Soekarno yang sangat berarti, dan pada waktu yang sama, tentang agen-agen intelijen militer Indonesia yang membongkar dokumen rahasia mengenai organisasi gelap, ilegal, yang hanya diketahui namanya yang aneh, bahkan lebih aneh daripada nama Belanda. Nederlandse Indische Guerrilla Organisatie (Organisasi Gerilya Hindia Belanda).
Soekarno berbicara semakin berapi-api tentang revolusi yang belum selesai. Pada tanggal 16 Desember 1961, dia memerintahkan mobilisasi umum untuk membebaskan Irian Barat, bagian terakhir dari bekas Hindia Belanda yang masih belum kembali ke Republik. Pada tanggal 7 Januari 1962, ketika Soekarno dalam perjalanan untuk berpidato di makassar, untuk tahap terakhir kampanye yang akan datang bagi Irian Barat, sebuah granat dilemparkan ke arah iring-iringan presiden.
Seminggu kemudian, pada tanggal 15 Januari, dua warga negara Belanda ditangkap. Didesas-desuskan bahwa sesuatu menunjuk ke arah Bali Connection. Soekarno memerintahkan penyelidikan lebih lanjut. Kali ini, di samping agen Soebandrio, intelijen militer dan polisi militer dilibatkan. Organisasi lain mulai didesas-desuskan, dengan nama yang lebih aneh, Verenigde Ondergrondse Corps (Persatuan Korps Gerakan Bawah Tanah) dengan inisial VOC, sudah tentu bersifat sugestif, VOC yakni maskapai dagang Belanda tempo dulu.
Pada tanggal 16 Januari 1962, pukul empat pagi, Sultan Hamid II ditangkap. Pada jam yang sama, Sutan Sjahrir, Anak Agung, dan Subadio Sastrosatomo juga ditangkap, seperti halnya beberapa pemimpin Masyumi yang dilarang, seperti Prawoto Mangkusasmito, Yunan Nasution, Isa Anshary dan Mohammad Roem. Di luar negeri memang ada reaksi yang menyedihkan tanpa kata-kata. Seperti hampir menjadi tradisi dalam sejarah Indonesia pasca penjajahan. Radio Nederland di Hilversum kemudian diyakini telah menyiarkan berita tentang penangkapan sebelum hal itu sungguh terjadi. Dr W Drees, Perdana Menteri di tahun 1948, dan waktu itu berunding dengan Sjahrir ingat:
Pada suatu hari kami membaca bahwa dua pemimpin federasi Indonesia, Anak Agung dan Sultan Hamid II, yang rupanya sudah lama sekali didepak, dipenjara di Jakarta dan bersama mereka Mohammad Roem, tokoh terkemuka dalam delegasi Indonesia dan Sjahrir yang dengan sungguh-sungguh berusaha mencapai persetujuan dengan Belanda.
Dalam sehari atau dua hari sesudah penangkapan, Hatta yang juga hadir di Gianyar namun tidak ditahan, mulai menyusun surat pribadi kepada Soekarno. Menurut Hatta sendiri, surat itu mengeluh tentang hukuman penjara yang dilakukan dengan gaya kolonial dan tidak masuk akal. Pada atau sekitar tanggal 22 Januari, Hatta mengirim surat itu dan itu tampaknya yang paling dapat dilakukan. Di pagi hari penangkapannya, pada tangal 2 Januari 1962, Hamid sebagaimana juga Sjahrir dan yang lainnya yang ditahan, dibawa ke asrama Polisi Militer di Jalan Hayam Wuruk Jakarta. Tiga bulan sesudah penangkapan mereka, Hamid bersama Sjahrir, Anak Agung, Prawoto, Roem dan Subadio dipindahkan ke Madiun dan ditempatkan di rumah tahanan militer setempat di Jalan Wilis.
Hamid dan Sjahrir masing-masing mempunyai kamar yang cukup besar, dulu tiap kamar dipakai untuk 15 tahanan wanita. Selama dua bulan pertama, keamanan masih ketat. Sesudah itu, tahanan boleh main tenis, dan juga kolam renang umum disediakan untuk mereka beberapa jam dalam seminggu. Kaum pria melakukan gerak badan bersama yang dipimpin oleh Sultan Hamid alias Max.
Hamid II wafat di Jakarta, 30 Maret 1978 sekitar dua belas tahun setelah bebas dari kurungan rezim Orde Lama Soekarno. Ia dimakamkan dengan upacara kebesaran Kerajaan Pontianak di pemakaman Batu Layang Pontianak. Sultan Pontianak ini wafat tanpa menunjuk pengganti. Akibatnya mata rantai dinasti ini putus sampai di situ. Bahkan putra Hamid yang bermukim di Belanda, tak merasa otomatis bisa menggantikan sang ayah. Karya besar pribadinya ialah sebagai perancang dan pembuat Lambang Garuda Pancasila, lambang Bhinneka Tunggal Ika.
Sabtu, 12 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar